• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA SAING USAHA BUDIDAYA IKAN HIAS NEON TETRA

DI KECAMATAN BOJONGSARI KOTA DEPOK

DEA TRI JANNATUN NISAA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2013

(3)

RINGKASAN

DEA TRI JANNATUN NISAA. Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA dan HASTUTI

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor produk perikanan terbesar di dunia pada beberapa komoditi ekspor perikanan seperti ikan hias, ikan tuna, udang, kepiting, serta siput (Ramadhan, 2011). Volume dan nilai ekspor ikan hias air tawar berfluktuasi dari tahun 2006 sampai tahun 2011. Trend volume ekspor ikan hias air tawar Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2011 adalah 36.84 persen dan trend nilai adalah 35.15 persen. Pada tahun 2011 volume ekspor ikan hias air tawar sebesar 671 105 kg dengan nilai ekspor sebesar 9 051 652 US$ (Badan Pusat Statistik, 2012).

Kota Depok merupakan salah satu sentra penghasil ikan hias air tawar di Jawa Barat. Wilayah yang paling besar memproduksi Ikan Neon Tetra di Kota Depok adalah Kecamatan Bojongsari. Pada era perdagangan bebas muncul tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya. Tantangan tersebut diantaranya ketatnya syarat mutu dari keamanan pangan yang ditetapkan oleh negara pengimpor. Selain itu, permasalahan yang terjadi di lokasi penelitian adalah posisi tawar-menawar peternak ikan yang lemah karena peternak tidak memiliki alternatif lain untuk menjual Ikan Neon Tetra selain kepada pedagang pengumpul serta biaya produksi yang masih tinggi karena pakan ikan

artemia masih diimpor dari luar negeri. Beberapa permasalahan tersebut menyebabkan pengusahaan Ikan Neon Tetra dituntut untuk terus meningkatkan daya saing agar mampu bersaing di pasar internasional. Tujuan penelitian adalah untuk (1) mengidentifikasi karakteristik peternak Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok, (2) menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari Kota Depok, dan (3) menganalisis pengaruh perubahan harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari Kota Depok. Analisis daya saing menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM).

(4)

sebesar 0.44, pada skala usaha sedang diperoleh sebesar 0.33, dan pada skala usaha besar diperoleh sebesar 0.31. Secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan domestik komoditas Ikan Neon Tetra lebih baik diproduksi di dalam negeri dibandingkan mengimpor dari negara lain.

Analisis daya saing menggunakan PAM merupakan analisis yang bersifat statis, tidak mengikuti perubahan–perubahan yang terjadi. Analisis perubahan dilakukan untuk mengetahui perubahan pada tingkat daya saing usaha budidaya Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari apabila terjadi perubahan pada harga output maupun harga input. Skenario yang dilakukan diantaranya adalah penurunan harga output 6.15 persen, penurunan harga input 18.75 persen, kombinasi penurunan harga output 6.15 persen serta penurunan harga input 18.75 persen, dan kombinasi penurunan harga output 6.15 persen serta penurunan harga input 35 persen.

Simpulan penelitian adalah (1) usaha budidaya Ikan Neon Tetra pada ketiga skala usaha secara finansial dan ekonomi menguntungkan serta memiliki daya saing, dan (2) penurunan harga output 6.15 persen atau kombinasi penurunan harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 18.75 persen akan menurunkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif usaha budidaya Ikan Neon Tetra kecuali pada skala usaha besar di skenario 3 akan meningkatkan keunggulan komparatif usaha budidaya Ikan Neon Tetra, sedangkan penurunan harga input 18.75 persen atau kombinasi penurunan harga output 6.15 persen dan penurunan harga input 35 persen akan meningkatkan keunggulan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra.

Berikut saran yang dapat diajukan untuk meningkatkan pengembangan budidaya Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari adalah (1) guna meningkatkan posisi tawar menawar peternak Ikan Neon Tetra agar peternak tidak selalu bergantung kepada pedagang pengumpul, pemerintah disarankan mengaktifkan kembali peran kelompok pembudidaya Ikan Neon Tetra untuk membantu peternak mendapatkan informasi pasar, (2) guna meningkatkan daya saing usaha budidaya Ikan Neon Tetra, rencana kebijakan subsidi pakan ikan oleh pemerintah pada tahun 2013 agar direalisasikan karena subsidi pemerintah menyebabkan harga pakan ikan yang tinggi akan menjadi lebih murah, sehingga biaya produksi akan menurun, dan (3) guna mengetahui potensi daya saing Ikan Neon Tetra Indonesia, diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai daya saing Ikan Neon Tetra pada tingkat nasional.

Kata Kunci: Ikan Neon Tetra, Keunggulan Kompetitif, Keunggulan Komparatif,

(5)

DAYA SAING USAHA BUDIDAYA IKAN HIAS NEON TETRA

DI KECAMATAN BOJONGSARI KOTA DEPOK

DEA TRI JANNATUN NISAA H44080076

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok

Nama : Dea Tri Jannatun Nisaa NIM : H44080076

Disetujui

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA NIP. 19481130 197412 1 002

Hastuti, SP, MP, MSi

Diketahui Ketua Departemen

Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Judul skripsi ini adalah “Daya Saing Usaha Budidaya Ikan Hias Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari Kota Depok”. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik peternak Ikan Neon Tetra, menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha dan menganalisis pengaruh perubahan harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha. Semoga penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pembaca, pengambil kebijakan, dan para pelaku peternak Ikan Neon Tetra.

Bogor, Juni 2013

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:

1. Bapak Dedi Rohadi dan Ibu Titin Suprihatin serta M. Iksan Rohadi dan M. Ridho Rahman, orang tua dan kakak yang selalu memberikan materi, kekuatan, dukungan, serta limpahan doa yang tak pernah putus kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Ibu Hastuti, SP, MP, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mengarahkan dan memberi banyak ilmu serta wawasan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Adi Hadianto, SP, MSi dan Ibu Nia Kurniawati Hidayat, SP, MSi atas kesediaannya menjadi dosen penguji utama dan perwakilan departemen. 4. Sahabatku Ponda Hairul Aisa, Dini Adi Chahyanti, Rahayu Aryandini, dan

Indah Silvina atas saran serta waktu yang diberikan untuk mendengarkan keluh kesah dan atas segala kebersamaan dan keceriaannya.

5. Yanuar Andriansyah atas motivasi, dukungan, dan perhatiannya selama ini. 6. Diani Kurniawati dan Imam Mukti Wibowo atas masukan-masukan yang

diberikan untuk perbaikan skripsi.

(9)

8. Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok, Pemerintah Kecamatan Bojongsari, Bapak Rodi, Bapak Nana, Teh Dewi, dan peternak ikan yang telah membantu penulis dalam memperoleh data.

9. Keluarga besar ESL 45 Envirangers atas semangat kekeluargaan selama kuliah di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuannya. Serta kakak-kakak dan adik-adik ESL 43, 44, 46, dan 47.

Bogor, Juni 2013

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 6

1.3. Tujuan Penelitian... 8

1.4. Manfaat Penelitian... 9

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Sentra Penghasil Ikan Hias Air Tawar ... 10

2.2. Pemasaran Ikan Hias Air Tawar... 10

2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Ikan Hias Air Tawar ... 11

2.4. Penelitian Terdahulu ... 12

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 20

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 20

3.1.1. Konsep Daya Saing ... 20

3.1.1.1. Keunggulan Komparatif ... 20

3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif ... 21

3.1.1.3. Kebijakan Pemerintah ... 22

3.1.1.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output 24

3.1.1.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input ... 29

3.1.2. Policy Analysis Matrix ... 31

3.1.2.1. Analisis Keuntungan ... 33

3.1.2.2. Analisis Daya Saing ... 34

3.1.2.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah ... 35

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional... 39

IV. METODE PENELITIAN ... 42

(11)

4.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data ... 42

4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data... 43

4.4. Penentuan Input Output ... 44

4.4.1. Alokasi Biaya ke dalam Komponen Domestik dan Asing .. 44

4.4.2. Penentuan Harga Bayangan Input dan Output ... 47

4.5. Analisis Perubahan ... 53

V. GAMBARAN UMUM KECAMATAN BOJONGSARI ... 56

5.1. Keadaan Geografis Kecamatan Bojongsari ... 56

5.2. Keadaan Demografis Kecamatan Bojongsari ... 56

5.3. Teknik Budidaya Ikan Hias Air Tawar ... 58

VI. KARAKTERISTIK PETERNAK IKAN NEON TETRA ... 65

6.1. Karakteristik Umum ... 65

6.1.1. Karakteristik Jenis Kelamin ... 65

6.1.2. Karakteristik Usia ... 66

6.1.3. Karakteristik Tingkat Pendidikan ... 66

6.1.4. Karakteristik Status Usaha ... 68

6.1.5. Karakteristik Lama usaha Budidaya Ikan Neon Tetra ... 68

6.2. Karakteristik Usaha ... 69

6.2.1. Karakteristik Luas Lahan ... 69

6.2.2. Karakteristik Proses Budidaya Ikan Neon Tetra ... 70

6.2.3. Karakteristik Pengupahan Tenaga Kerja ... 71

VII. KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA BUDIDAYA IKAN HIAS NEON TETRA ... 73

7.1. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial ... 74

7.2. Analisis Daya Saing ... 75

7.2.1. Keunggulan Kompetitif ... 75

7.2.2. Keunggulan Komparatif ... 76

7.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah... 77

7.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output ... 77

7.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input ... 78

(12)

VIII. PENGARUH PERUBAHAN HARGA OUTPUT DAN HARGA INPUT TERHADAP DAYA SAING BUDIDAYA IKAN

HIAS NEON TETRA ... 82

8.1. Skenario 1: Penurunan Harga Output 6.15 persen ... 82

8.2. Skenario 2: Penurunan Harga Input 18.75 persen ... 83

8.3. Skenario 3: Kombinasi Penurunan Harga output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 18.75 persen ... 84

8.4. Skenario 4: Kombinasi Penurunan Harga output 6.15 persen dan Penurunan Harga Input 35 persen ... 85

IX. SIMPULAN DAN SARAN... 87

9.1. Simpulan... 87

9.2. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90

LAMPIRAN ... 93

(13)

Halaman DAFTAR TABEL

Nomor

1. Volume dan Nilai Ekspor Ikan Hias Air Tawar Nasional Tahun

2006-2011... 3

2. Potensi Ikan Hias Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2010... 4

3. Volume dan Nilai Produksi Ikan Hias Air Tawar di Kota Depok Tahun 2011... 4

4. Volume dan Nilai Produksi Ikan Hias Air Tawar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011... 5

5. Penelitian Terdahulu... 13

6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas... 22

7. Policy Analysis Matrix... 33

8. Rincian Sampel Peternak Ikan Berdasarkan Skala Usaha... 42

9. Matriks Analisis Data... 43

10. Alokasi Komponen Biaya Input-Output dalam Komponen Domestik dan Asing... 46

11. Jumlah Rumah Tangga Kecamatan Bojongsari... 57

12. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin... 57

13. Karakteristik Jenis Kelamin Peternak Ikan Neon Tetra... 65

14. Karakteristik Usia Peternak Ikan Neon Tetra... 66

15. Karakteristik Tingkat Pendidikan Peternak Ikan Neon Tetra... 67

16. Karakteristik Status Usaha Peternak Ikan Neon Tetra... 68

17. Karakteristik Lama Usaha Budidaya Ikan Neon Tetra... 69

18. Karakteristik Luas Lahan Peternak Ikan Neon Tetra... 70

19. Karakteristik Proses Budidaya Ikan Neon Tetra... 71

20. Karakteristik Pengupahan Tenaga Kerja... 72

21. Policy Analysis Matrix Budidaya Ikan Hias Neon Tetra pada tiap Skala Usaha di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011... 73

22. Indikator-Indikator PAM pada Budidaya Ikan Hias Neon Tetra pada tiap Skala Usaha di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011... 74

(14)

24. Penurunan Harga Input 18.75 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon

Tetra... 83 25. Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 persen dan

Penurunan Harga Input 18.75 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon

Tetra... 85 26. Kombinasi Penurunan Harga Output 6.15 persen dan

Penurunan Harga Input 35 persen terhadap Indikator RBP dan BSD pada setiap Skala Usaha Budidaya Ikan Neon

(15)

Halaman DAFTAR GAMBAR

Nomor

1. Skema Rantai Pemasaran Ikan Hias Domestik... 10

2. Skema Rantai Pemasaran Ikan Hias Ekspor... 11

3. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Ekpor dan Impor... 26

4. Restriksi Perdagangan pada Barang Impor... 28

5. Subsidi dan Pajak pada Input... 29

6. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Non Tradable... 30

7. Alur Kerangka Pemikiran Operasional... 40

(16)

Halaman DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

1. Karakteristik Responden Desa Bojongsari Lama dan Desa Curug... 94

2. Perhitungan Premium Nilai Tukar dan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2011... 97

3. Perhitungan Harga Bayangan Ikan Neon Tetra Tahun 2011... 97

4. Perhitungan Harga Bayangan Input Pakan Artemia Tahun 2011... 98

5. Perhitungan Harga Bayangan Input Garam Tahun 2011... 98

6. Rata-rata Penerimaan Output dan Penggunaan Input Budidaya Ikan Neon Tetra pada Skala Usaha Kecil di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011... 99

7. Rata-rata Penerimaan Output dan Penggunaan Input Budidaya Ikan Neon Tetra pada Skala Usaha Sedang di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011... 100

8. Rata-rata Penerimaan Output dan Penggunaan Input Budidaya Ikan Neon Tetra pada Skala Usaha Besar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011... 101

9. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing pada Skala Usaha Kecil di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011... 102

10. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing pada Skala Usaha Sedang di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011... 104

11. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing pada Skala Usaha Besar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011... 106

12. Kuesioner Daya Saing Ikan Hias Neon Tetra... 108

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya yang sangat berpotensi adalah sumberdaya laut yang didalamnya terdapat berbagai jenis makhluk hidup yaitu ikan-ikanan, tanaman air, dan lain-lain. Indonesia memiliki daerah perairan yang sangat luas dibandingkan daerah daratannya. Oleh karena itu, Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan sektor perikanannya.

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor produk perikanan terbesar di dunia pada beberapa komoditi ekspor perikanan seperti ikan hias, ikan tuna, udang, kepiting, serta siput. Pada tahun 2009 negara Cina menjadi negara eksportir perikanan terbesar yaitu senilai $US 6 813 577 517 di pasar internasional, sedangkan Indonesia pada tahun 2009 berada pada peringkat dua belas dengan nilai ekspor perikanan sebesar $US 1 709 538 525 (UN Comtrade (2011) dalam Ramadhan (2011)).

Perkembangan volume ekspor perikanan Indonesia dari tahun 2009 sampai tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 25.21 persen (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Tahun 2009 volume ekspor mencapai 881 413 ton, dan pada tahun 2010 volume ekspor mencapai 1 103 576 ton. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor perikanan mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan negara.

(18)

(over dan excess capacity) (Fauzi, 2010). Perikanan budidaya sebaiknya dikembangkan, karena potensinya masih besar dan menjanjikan banyak menyumbangkan devisa bagi negara, serta berkontribusi besar dalam ketahanan pangan yang bergizi. Berdasarkan hal tersebut, untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mendorong peningkatan produksi perikanan budidaya hingga 353 persen, yaitu dari 5.37 juta ton pada tahun 2010 menjadi 16.9 juta ton pada tahun 2014. Target tersebut dapat terwujud apabila pemerintah daerah dan masyarakat memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan produksi perikanan budidaya.1

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Tujuan usaha budidaya diantaranya adalah meningkatkan jumlah pangan, mengimbangi penurunan persediaan ikan secara alami, mencukupi kebutuhan protein hewani, meningkatkan produk lain yaitu mutiara, rumput laut, dan lain-lain.

Ikan hias merupakan salah satu komoditas perikanan yang berpotensi menjadi komoditas ekspor. Ikan hias yang berasal dari Indonesia sangat diminati oleh pasar internasional. Berdasarkan Tabel 1 trend volume ekspor ikan hias air tawar Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2011 adalah 36.84 persen dan trend

nilai adalah 35.15 persen. Volume dan nilai ekspor ikan hias air tawar berfluktuasi dari tahun 2006 sampai tahun 2011, namun secara nasional permintaan ikan hias masih terbuka sehingga berpotensi bagi para pengusaha yang bergerak dalam

1

(19)

bidang perikanan. Pada tahun 2010 volume dan nilai ekspor ikan hias air tawar mencapai nilai tertingi, sedangkan pada tahun 2008 volume dan nilai ekspor ikan mencapai nilai terendah.

Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Ikan Hias Air Tawar Nasional Tahun 2006 - 2011

No. Tahun Ikan Hias Air Tawar

Volume (Kg) Nilai (US$)

1. 2006 407 643 3 272 994

2. 2007 103 189 1 917 161

3. 2008 72 931 2 852 226

4. 2009 305 892 5 644 033

5. 2010 1 082 481 9 413 181

6. 2011 671 105 9 051 652

Trend (%) 36.84 35.15

Sumber : Badan Pusat Statistik (2012)

Potensi ekspor ikan hias dari Indonesia tidak diimbangi dengan produksi ikan hias yang berasal dari laut. Direktur Pengembangan Produk Non Konsumsi KKP menyatakan hampir 60 persen ikan hias nasional masih sangat bergantung

pada hasil tangkapan alam sehingga pasokan ikan hias Indonesia terancam

tersendat dan suatu saat akan terjadi kepunahan. Habitat alami ikan hias seperti di

Kalimantan, Sumatera, dan Papua semakin kritis dan sistem logistik di Indonesia

tidak sebagus Singapura.2 Budidaya ikan hias pun semakin berkembang karena untuk memenuhi permintaan pasar internasional.

Potensi Ikan hias di Kota Depok ditunjukkan pada Tabel 2. Kota Depok mempunyai 10 Kecamatan dengan potensi luas areal untuk budidaya ikan hias sebesar 15.49 ha, akuarium sebanyak 11 355 unit dan bak sebanyak 1 071 unit. Kecamatan Bojongsari merupakan salah satu daerah yang paling berpotensi karena luas lahan areal yang digunakan untuk budidaya ikan hias paling tinggi

2

(20)

diantara yang lain yaitu 8.40 ha, serta jumlah akuarium sebanyak 6 375 unit. Rumah tangga pemternak ikan hias di Bojongsari sebanyak 85 orang.

Tabel 2. Potensi Ikan Hias Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2010

No. Kecamatan

Sumber : Badan Pusat Statistik Depok (2010)

Kota Depok merupakan salah satu sentra penghasil ikan hias air tawar di Jawa Barat. Jumlah volume ikan hias air tawar yang diproduksi di Depok pada tahun 2011 mencapai 87 081 817 ekor dengan nilai sebesar Rp 37 128 329 000. Wilayah yang paling besar memproduksi ikan hias air tawar di Depok adalah Kecamatan Bojongsari menghasilkan 34 435 813 ekor ikan hias dengan nilai sebesar Rp 14 973 062 975. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Volume dan Nilai Produksi Ikan Hias Air Tawar di Kota Depok

Sumber : Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok (2011)

(21)

relatif stabil serta permintaan pasar ekspor yang tinggi. Selain sebagai ikan hias, di Eropa, Ikan Neon Tetra ini diambil zat warnanya untuk bahan kosmetika3.

Ikan Neon Tetra merupakan ikan hias yang paling banyak dikembangkan di Kecamatan Bojongsari Kota Depok. Peternak Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari menghasilkan jumlah produksi sebesar 8 014 143 ekor dengan nilai produksi sebesar Rp 2 003 535 750 pada tahun 2011. Jenis ikan hias lainnya yang dibudidayakan di Kecamatan Bojongsari antara lain Manvis, Anulatus, Platis Pedang, Siver Dollar, dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Volume dan Nilai Produksi Ikan Hias Air Tawar di Kecamatan Bojongsari Tahun 2011

No. Jenis Ikan Ikan Hias Air Tawar Volume (Ekor) Nilai (Rp)

1. Neon Tetra 8 014 143 2 003 535 750

2. Manvis 4 522 586 1 582 905 100

3. Anulatus 3 636 072 1 090 821 600

4. Platis Pedang 1 317 842 263 568 400

5. Siver Dollar 1 484 816 445 444 800

6. Cupang 1 722 243 861 121 500

7. Blackghost 935 644 1 169 555 000

Sumber : Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok (2011)

Secara morfologi, Ikan Neon Tetra mempunyai bentuk tubuh yang unik dan memiliki warna yang menarik. Ikan hias yang diekspor umumnya mempunyai kriteria tersendiri, antara lain kesehatan dan ukuran ikan yang seragam untuk memenuhi permintaan dan kepuasan konsumen. Pengetahuan dan keterampilan peternak sangat dibutuhkan, sehingga pembudidayaannya berhasil dengan baik dan kriteria tersebut tercapai. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mengenai daya saing Ikan Neon Tetra penting untuk dilakukan.

3

(22)

1.2. Perumusan Masalah

Ikan hias merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai

potensi ekspor ke pasar internasional. Indonesia mempunyai peluang yang besar

menyangkut lingkungan, ragam ikan, dan sumber daya manusia, namun potensi

tersebut belum tergarap secara maksimal (Suprapto, 2005). Pada era globalisasi dan perdagangan bebas serta berkembangnya isu-isu internasional, muncul tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembangan usaha akuakultur. Tantangan tersebut antara lain: (1) perdagangan global yang sangat kompetitif, (2) ketatnya syarat mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, dan (3) iklim usaha yang kurang kondusif terutama mengenai jaminan kepastian dan keamanan usaha (Mastuti, 2011). Beberapa permasalahan tersebut

menyebabkan pengusahaan ikan hias dituntut untuk terus meningkatkan daya

saing agar mampu bersaing di pasar internasional.

Salah satu sentra produksi Ikan Neon Tetra yang potensial di Jawa Barat yaitu Kota Depok. Daerah produksinya berada di Kecamatan Bojongsari. Selama ini produk yang dihasilkan sudah dipasarkan ke berbagai daerah di pasar lokal maupun di pasar internasional seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Timur Tengah.

(23)

perubahan kualitas air, dengan demikian diperlukan kualitas air yang relatif stabil selama masa pemeliharaan.

Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terhadap barang-barang pertanian maupun perikanan diharapkan dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha budidaya ikan hias. Pemerintah Kota Depok sudah memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada para peternak ikan hias mengenai budidaya ikan hias. Kegiatan tersebut cukup rutin dilakukan oleh pemerintah, namun belum ada kebijakan khusus dari pemerintah pusat baik input maupun output produksi bagi peternak ikan hias dalam mengembangkan budidaya ikan hias.

Harga yang diterima peternak relatif rendah pada Kecamatan Bojongsari. Hal ini disebabkan oleh ketidakefektifan peran kelompok pembudidaya ikan, serta kurangnya penguasaan informasi harga dan jaringan pasar oleh peternak. Permasalahan tersebut membuat para peternak berada dalam posisi tawar-menawar yang lemah karena peternak tidak memiliki alternatif lain untuk menjual Ikan Neon Tetra selain kepada pedagang pengumpul.

Jenis pakan ikan yang digunakan dalam budidaya ikan hias salah satunya adalah artemia salina yang masih di impor dari luar negeri. Hal ini menyebabkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh para peternak ikan tetap tinggi. Pemerintah mencanangkan kebijakan subsidi pakan ikan untuk mengatasi permasalahan biaya pakan ikan yang tinggi.4 Subsidi yang akan dikeluarkan adalah sebesar 6 Triliun dari sumber Anggaran Pemerintah Belanja Negara Tahun 2013 atau akan menghemat biaya input pakan ikan 18.75 persen5. Kebijakan subsidi pakan ikan

4

Subsidi Pakan dan Benih Ikan. www.kkp.go.id. Diakses tanggal 16 Oktober 2012.

5

(24)

tersebut diharapkan akan menurunkan biaya produksi peternak Ikan Neon Tetra, namun hingga saat ini kebijakan tersebut belum diterapkan.

Ikan Neon Tetra sangat berpotensi untuk dikembangkan karena para peternak ikan sudah berhasil dalam membudidayakan Ikan Neon Tetra di daerahnya. Penelitian tentang daya saing bertujuan untuk mengukur keunggulan ikan hias ini di pasar domestik maupun di pasar internasional. Ikan hias air tawar yang berdaya saing tinggi dapat meningkatkan pendapatan peternak maupun pemerintah daerah. Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah penelitian adalah

1. Bagaimana karakteristik peternak Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok?

2. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok?

3. Bagaimanakah pengaruh perubahan harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah

1. Mengidentifikasi karakteristik peternak Ikan Neon Tetra di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.

(25)

3. Menganalisis pengaruh perubahan harga output dan harga input terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usaha budidaya Ikan Neon Tetra berdasarkan skala usaha di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi para peneliti dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pertanian,

khususnya perikanan.

2. Bagi para peternak Ikan Neon Tetra dapat memberikan informasi yang berguna dalam melakukan evaluasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

3. Rujukan bagi peneliti yang ingin melakukan studi lainnya yang berhubungan dengan perikanan, terutama perikanan budidaya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sentra Penghasil Ikan Hias Air Tawar

Pengembangan budidaya ikan hias di Indonesia berada di sebagian besar wilayah Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Produksi ikan hias nasional tahun 2010 mencapai 600 juta ekor, jumlah tersebut merupakan peningkatan dari tahun 2001 hingga 2008 karena memang produksi ikan hias berorientasi ekspor di Indonesia sedang giat dikembangkan. Sentra pengembangan ekspor ikan hias terdapat di Cibinong, atau dikenal dengan Cibinong Raiser yang merupakan terbesar di Indonesia. Selain itu, ada juga pusat pemasaran produk ikan hias lainnya yaitu di daerah Blitar dan Yogyakarta (Ramadhan, 2011).

2.2. Pemasaran Ikan Hias Air Tawar

Ikan hias dari produsen ke konsumen akan melalui banyak jalur pemasaran. Gambar 1 menunjukkan jalur pemasaran untuk pasar domestik. Panjang pendeknya jalur pemasaran akan mempengaruhi harga ikan di konsumen.

Sumber: Lesmana dan Dermawan (2001)

Gambar 1. Skema Rantai Pemasaran Ikan Hias Domestik

Prosedur dalam perdagangan ikan hias adalah bebas, artinya tidak ada aturan dalam pembatasan jumlah, namun jika perdagangan ikan hias dengan skala ekspor, maka eksportir harus memiliki ijin perdagangan dari Kementrian Industri Perdagangan. Skema rantai pemasaran ikan hias untuk ekspor dapat dilihat pada Gambar 2.

Pengumpul

di kota besar Pengecer Konsumen Pengumpul

(27)

Sumber: Lesmana dan Dermawan (2001)

Gambar 2. Skema Rantai Pemasaran Ikan Hias Ekspor

Selain jalur pemasaran, tingginya resiko pemasaran akan meningkatkan biaya, sehingga harga ikan juga akan meningkat. Ikan hias yang akan dipasarkan harus melalui proses penyeleksian, pengemasan, dan pengangkutan yang baik untuk mengurangi resiko (Lesmana dan Dermawan, 2001).

2.3. Kebijakan Pemerintah terhadap Ikan Hias Air Tawar

Kementrian Kelautan dan Perikanan akan mendorong peningkatan produksi perikanan budidaya hingga 353 persen, yaitu dari 5.37 juta ton pada tahun 2010 menjadi 16.9 juta ton pada tahun 2014 dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia tahun 2015. Target tersebut dapat terwujud apabila Pemerintah Daerah dan masyarakat memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan produksi perikanan budidaya.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.27/MEN/2012 menjelaskan bahwa dalam rangka mendorong percepatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan, diperlukan kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan melalui peningkatan nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan. Industrialisasi kelautan dan perikanan adalah integrasi sistem produksi hulu dan hilir untuk meningkatkan skala dan kualitas produksi, produktivitas, daya saing, dan nilai tambah sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Tujuan industrialisasi kelautan dan perikanan adalah

Pasar Ekspor Pengumpul

di kota besar Eksportir Pengumpul

(28)

terwujudnya percepatan peningkatan pendapatan pembudidaya, nelayan, pengolah, pemasar, dan petambak garam.

Selain kebijakan industrialisasi, dalam rangka mendorong peningkatan produksi perikanan budidaya diperlukan pengembangan usaha bidang perikanan berbasis kelompok masyarakat menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/PERMEN-KP/2013. Ruang lingkup pengembangan usaha bidang perikanan berbasis kelompok masyarakat meliputi kegiatan pembudidayaan ikan dan kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan minat masyarakat berusaha, menumbuh kembangkan kelompok usaha baru, serta meningkatkan produksi dan pendapatan di bidang perikanan.

Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Depok sudah memberikan penyuluhan mengenai budidaya ikan hias dan bantuan berupa modal yang diberikan kepada peternak ikan hias secara bergilir melalui kelompok pembudidaya ikan yang dibentuk di Kelurahan Bojongsari Lama pada tahun 2008. Bantuan berbentuk modal tersebut dirasakan belum cukup meningkatkan produktivitas budidaya ikan hias karena masih banyak kendala dalam proses pengembalian modal, dan tidak berjalan efektif lagi sampai saat ini. Peternak ikan hias dengan skala usaha yang masih kecil sangat bergantung kepada modal usaha yang akan dikeluarkan apabila ingin berkembang lebih luas lagi.

2.4. Penelitian Terdahulu

(29)

Tabel 5. Penelitian Terdahulu

No. Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil

1. Bayu Rahmawan (2004) keuntungan usaha Adil Fish Farm. kelayakan usaha akibat terjadinya kenaikan harga pakan dan harga bahan bakar minyak.

Analisis pendapatan usaha dan analisis kelayakan investasi.

1. Tingkat keuntungan diperoleh Rp 126 781 000 dengan nilai R/C Ratio lebih dari satu yaitu 1.15, artinya setiap Rp 1 yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan Rp 1.15.

2. Aspek pasar, menunjukkan usaha ini memiliki peluang pasar yang baik. Aspek finansial, usaha ini layak untuk dijalankan dilihat dari NPV>0 yaitu Rp 483 160 979, Net B/C Ratio>1 yaitu 2.7, dan IRR>tingkat suku bunga yang berlaku yaitu 66 persen.

3. Kenaikan harga bahan bakar minyak lebih mempengaruhi usaha pemasok (supplier) ikan hias Adil Fish Farm dibandingkan dengan kenaikan harga cacing (pakan) namun dengan adanya perubahan tersebut usaha masih tetap layak untuk dilanjutkan. 2. Intan Dyah Mastuti

(2011) / Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus: Perusahaan Deddy Fish Farm).

1. Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin Deddy Fish Farm. 2. Menganalisis dampak

perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya terhadap

1. Usaha pembenihan ikan patin memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dilihat dari nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu. Pada tahun 2008 nilai PCR=0.548 dan nilai DRC=0.567. Pada tahun 2009 nilai PCR=0.597 dan nilai DRC=0.572.

(30)

Tabel 5. Lanjutan

No. Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil

3. Restu Edianur Rohman

1. Menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani padi Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru di Desa Bunikasih,Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur.

2. Menganalisis daya saing usahatani padi Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru akibat adanya perubahan variabel penerimaan dan variabel biaya di Desa Bunikasih,

1. Pengusahaan beras Pandan Wangi dan beras Varietas Unggul Baru memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Nilai PCR dan DRC yang bernilai kurang dari satu.

2. Jika terjadi penurunan output sebesar 20 persen, komoditas beras Pandan Wangi masih tetap memiliki daya saing dan layak diusahakan secara finansial maupun ekonomi. Namun komoditas beras Varietas Unggul Baru, kehilangan keunggulan kompetitifnya dan secara finansial komoditas ini tidak memberikan keuntungan pada saat terjadi perubahan.

Pada kondisi terjadi kenaikan harga input pupuk sebesar 16.67 persen dan saat terjadi penurunan harga output serta biaya imbangan penggunaan lahan sebesar 12 persen kedua komoditi masih tetap memiliki daya saing dan tetap layak diusahakan baik secara finansial dan maupun ekonomi.

Perubahan 16 persen pada masing-masing variabel, menunjukan bahwa pengusahaan kedua komoditi beras yang dianalisis lebih peka terhadap perubahan harga jual output, terutama jika terjadi penurunan harga.

4. Suprapto (2005) / Keunggulan Kompetitif dan Koparatif Ekspor Ikan Hias DKI Jakarta di Pasar Internasional.

1. Mengetahui penerimaan, biaya, dan keuntungan usahatani ikan hias di DKI ekonomi sebesar Rp 13 198 280.

2. Pengusahaan ikan betta memiliki keunggulan komparartif dan keunggulan kompetitif. PCR=0.18 dan DRC=0.03.

(31)

Tabel 5. Lanjutan

No. Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil

hias DKI Jakarta di pasar internasional.

3. Mengetahui dampak kebijakan pemerintah terhadap ekspor ikan hias.

menyebabkan penurunan penerimaan karena harga output yang diterima lebih rendah daripada harga yang sesungguhnya. Kebijakan terhadap input menyebabkan penerimaan berkurang karena harus membayar input lebih besar daripada harga ekonominya. Kebijakan pemerintah terhadap output dan input menyebabkan keuntungan yang diterima lebih rendah daripada keuntungan sesungguhnya jika tidak ada kebijakan. Agribisnis Jagung di Nusa Tenggara Barat Pasca Krisis Ekonomi.

1. Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas jagung di NTB 2. Menganalisis dampak

kebijakan pemerintah dalam penerapan harga dan mekanisme pasar jagung setelah tiga tahun masa krisis berlangsung (1997).

Analisis daya saing menggunakan Policy Analysis Matrix.

1. Pengembangan usaha jagung efisien, sebab produksi jagung pada saat krisis berlangsung mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif lebih baik daripada sebelum terjadi masa krisis.

2. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dalam subsidi input memberikan insentif terhadap petani jagung menyebabkan biaya input lebih rendah dari harga sosial. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dalam harga dan mekanisme pasar output kurang memberi perlindungan terhadap pembentukan harga jagung sehingga pendapatan yang diterima petani lebih rendah daripada harga sosial. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar input-output kurang memberikan rangsangan, nilai tambah atau keuntungan yang diperoleh petani lebih rendah dari keuntungan sosial yang seharusnya diterima petani.

(32)

Tabel 5. Lanjutan

No. Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil

6. A. Husni Malian, Benny Rachman, dan Adimesra Djulin (2004) / Permintaan Ekspor dan Daya Saing Panili di Provinsi Sulawesi Utara.

1. Menganalisis struktur dan permintaan pasar ekspor komoditas panili.

2. Menganalisis daya saing komoditas panili dari Provinsi Sulawesi Utara di pasar dunia.

Analisis permintaan menggunakan model analisis permintaan pasar ekspor. Analisis daya saing menggunakan Policy Analysis Matrix.

1. Nilai impor panili dan PDB Amerika Serikat mempengaruhi pangsa ekspor panili Indonesia. Elastisitas nilai impor = 1.14 dan elastisitas pendapatan = 0.95. Elastisitas substitusi = -0.46 menunjukan bahwa setiap kenaikan harga panili dari negara pesaing sebesar 10 persen, maka pangsa ekspor panili Indonesia ke Amerika Serikat akan meningkat sebesar 4.6 persen, cateris paribus.

2. Petani panili memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dengan nilai DRCR dan PCR lebih kecil profitabilitas finansial dan ekonomi usahatani kedelai berdasar agrosistem wilayah.

2. Menganalisis daya saing dan kelayakan ekonomi usahatani kedelai.

1. Nilai profitabilitas di ketiga wilayah agroekosistem diperoleh nilai yang tertinggi di lokasi lahan sawah irigasi dengan profitabilitas privat 49 persen dan profitabilitas ekonomi 41 persen.

2. Kegiatan usahatani kedelai pada lahan sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan lahan kering/tegalan, berdasar analisis PAM menunjukkan keuntungan yang positif serta memiliki keunggulan daya saing komoditas pada tingkat kompetitifnya maupun komparatifnya.

3. Penetapan harga dasar yang memadai untuk melindungi petani serta menjamin memberikan keuntungan yang layak sehingga pendapatan meningkat. 2. Analisis daya saing

(33)

Tabel 5. Lanjutan

No. Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil

Pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan.

kering.

2. Menganalisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) usahatani jagung lahan kering di

efisien secara teknis, tetapi belum efisien secara alokatif dan ekonomis. Hal ini karena penggunaan input yang berlebihan sehingga kurang efisien.

2. Komoditas jagung memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dan dianggap mampu membiayai input domestiknya. Peningkatan efisiensi alokatif, dengan cara menurunkan penggunaan pupuk N menjadi sesuai rekomendasi, menyebabkan daya saing meningkat. 9. Rohayati Suprihatini

(2005) / Daya Saing Ekspor Teh Indonesia di Pasar Teh Dunia

Menyajikan posisi pertumbuhan dan daya saing ekspor teh Indonesia dibandingkan dengan negara-negara pengekspor teh lainnya di pasar dunia

Analisis daya saing menggunakan

pendekatan Constant Market Share (CMS)

Pertumbuhan ekspor teh Indonesia jauh di bawah pertumbuhan ekspor teh dunia bahkan mengalami pertumbuhan negatif. Kondisi tersebut disebabkan karena (1) komposisi produk teh yang diekspor Indonesia kurang mengikuti kebutuhan pasar yang tercermin dari angka komposisi komoditas teh Indonesia yang bertanda negatif (-0.032); (2) negara-negara tujuan ekspor teh Indonesia kurang ditujukan ke negara-negara pengimpor teh yang memiliki pertumbuhan impor teh tinggi yang tercermin dari angka distribusi yang bertanda negatif (-0.045); dan (3) daya saing teh Indonesia di pasar teh dunia yang cukup lemah yang tercermin dari angka faktor persaingan yang bertanda negatif (-0.211).

10. Ikin Sadikin (2003) / Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Pemerintah Pada

1. Pengembangan usaha produksi jagung di daerah Bengkulu memiliki keunggulan komparatif cukup tinggi seperti terlihat dari nilai DRCR 0.5814.

(34)

Tabel 5. Lanjutan

No. Peneliti/Judul Tujuan Metode Hasil

usaha tani jagung di Bengkulu.

sosial yang seharusnya, seperti tercermin dari nilai NPCI 1.1704, IT 13.766, dan NPRI 17.04 persen. 3. Dampak dari instrumen kebijakan pemerintah dalam

pasar output saat ini, berpengaruh negatif terhadap harga jagung, sebab harga jagung yang diterima petani lebih rendah daripada (harga sosial) yang seharusnya, seperti tercermin dari nilai NPCO 0.8587, OT -150.489, dan NRPO -14.13 persen

4. Dampak bersih dari instrumen kebijakan pemerintah dan mekanisme pasar input-output yang berlaku saat ini kurang memberikan rangsangan (insentif) terhadap produsen jagung di Bengkulu, sehingga nilai tambah yang diperoleh petani lebih rendah daripada yang seharusnya diterima, sebagaimana tercermin dari nilai EPC 0.8331 dan EPR -16.69.

11. Rohayati Suprihatini (1998) / Analisis Daya Saing Nenas Kaleng Indonesia.

Menganalisa daya saing nenas kaleng Indonesia

Analisis daya saing menggunakan Policy Analysis Matrix.

Angka PCR yang kurang dari satu yaitu 0,65 menunjukkan bahwa pengusahaan nenas kaleng di Indonesia memiliki efisiensi secara finansial, atau memiliki keunggulan kompetitif. Nilai DRCR menunjukkan angka sebesar 0,60 menunjukkan bahwa pengusahaan nenas kaleng di indonesia memiliki keunggulan komparatif. Guna meningkatkan daya saing nenas kaleng Indonesia, perlu dilakukan deregulasi untuk mengurangi distorsi kebijakan pemerintah baik pada output dan input tradable maupun input domestik. Deregulasi dapat dimulai dari penurunan tarif impor input tradable sehingga privat input tradable mendekati harga impornya.

(35)

(2005), dan Sadikin (2003). Penelitian tersebut bertujuan mengukur daya saing komoditas yang berpotensi menghasilkan pendapatan daerah di pasar domestik maupun di pasar internasional. Analisis yang digunakan dalam mengukur daya saing adalah dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.

Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Rahmawan (2004) dan Suprapto (2002) adalah komoditas yang diteliti yaitu ikan hias. Persamaan penelitian ini dengan penelitian penelitian Mastuti (2011), Suprapto (2002), Sadikin (2000), Malian et al.,(2004), Zakaria et al.,(2010), Rohman (2008), Kurniawan (2008), Sadikin (2003), dan Suprihatini (1998) adalah analisis pengolahan data menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM).

(36)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah, sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional, komoditi tersebut diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi, sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak, 1992). Konsep daya saing berawal dari pemikiran Adam Smith dengan teori keunggulan absolut. Teori tersebut menjelaskan bahwa apabila suatu negara memproduksi suatu komoditi lebih efisien dan kurang efisien dalam memproduksi komoditi kedua (alternatif) dari negara lainnya, maka keuntungan dapat diperoleh dengan melakukan spesialisasi dalam meproduksi komoditi unggulan tersebut. Teori Adam Smith tersebut diperluas oleh David Ricardo yang dipopulerkan melalui bukunya Principles of Political Economy and Taxation, yaitu teori keunggulan komparatif (Hadi, 2004). 3.1.1.1. Keunggulan Komparatif

(37)

berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil (Salvatore, 1997). Komoditi yang diusahakan suatu negara akan memiliki keunggulan komparatif jika komoditi tersebut memiliki ketidakunggulan absolut terkecil. Keunggulan absolut adalah keunggulan suatu komoditi karena dapat memproduksi lebih efisien dibanding negara-negara lain (Salvatore, 1997).

Tahun 1977 Heckscher dan Ohlin kemudian menyempurnakan konsep keunggulan komparatif yang dikenal dengan teorema Heckscher-Ohlin (H-O). Teorema ini menganggap bahwa setiap negara akan mengekspor komoditi yang menyerap faktor produksi yang melimpah dan relatif murah di negara tersebut. Negara akan mengimpor komoditi yang proses produksinya menyerap sumber daya yang langka dan relatif mahal di negara tersebut. Teorema H-O memberikan penjelasan mengenai keunggulan komparatif pada suatu negara berdasarkan kepemilikan faktor produksi yang tersedia di masing-masing negara (Salvatore, 1997).

3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif

(38)

relevan bagi suatu negara, maka keunggulan kompetitif merupakan ukuran daya saing untuk suatu perusahaan individu.

Teori keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter (1990) sebagai perluasan dari teori keunggulan komparatif. Menurut Porter keunggulan kompetitif tidak bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitas. Porter menyebutkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam peningkatan daya saing selain faktor produksi. Keunggulan dapat diciptakan antara lain melalui implementasi kebijakan pemerintah (Lindert dan Kindleberger, 1995).

3.1.1.3. Kebijakan Pemerintah

Intervensi pemerintah terhadap suatu komoditas antara lain berupa kebijakan harga dan kebijakan perdagangan. Kebijakan tersebut menimbulkan perbedaan harga pada input dan output pada kondisi finansial dan ekonomi. Pengaruh kebijakan pemerintah terhadap komoditas digambarkan pada Tabel 6. Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Harga Komoditas

Instrumen Dampak terhadap (semua mengubah harga pasar domestik)

(39)

Berdasarkan Tabel 6, kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria yaitu tipe instrumen, penerimaan atau keuntungan yang diperoleh (produsen dan konsumen), dan tipe komoditas (impor atau ekspor). Pelaksanaan dari kebijakan tersebut dapat memengaruhi kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditas.

1. Tipe Instrumen

Dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan dalam tipe instrumen ini. Menurut Salvatore (1997), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pajak atau subsidi negatif merupakan pembayaran kepada pemerintah, sedangkan pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif. Efek dan tujuan subsidi yaitu menciptakan harga domestik yang berbeda dengan harga dunia, kadang-kadang kebijakan menciptakan harga domestik yang terpisah antara konsumen dan produsen.

Kebijakan perdagangan adalah suatu pembatasan terhadap barang impor atau ekspor (Monke dan Pearson, 1989). Pembatasan dapat berupa pajak perdagangan atau pun kuota perdagangan. Tujuannya yaitu untuk mengurangi jumlah perdagangan internasional dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasional dengan harga domestik. Kebijakan pembatasan ekspor bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri karena harga domestik yang lebih rendah dibandingkan harga dunia. Kebijakan pembatasan impor dilakukan untuk melindungi produsen karena harga di pasar dunia lebih murah dibandingkan harga domestik.

(40)

dasar yaitu TPI dan TPE. Subsidi positif yang diterapkan kepada produsen maupun konsumen akan membuat harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan pada konsumen menjadi lebih rendah. Kondisi ini lebih baik dibandingkan saat sebelum adanya kebijakan subsidi positif. Subsidi negatif akan mengakibatkan harga yang diterima produsen menjadi lebih rendah dan pada konsumen menjadi lebih tinggi. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan saat sebelum adanya kebijakan subsidi negatif.

2. Kelompok Penerimaan

Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen, dan pemerintah. Anggaran pemerintah tidak dibayarkan seluruhnya untuk transfer, hal ini mengakibatkan produsen mengalami keuntungan dan konsumen mengalami kerugian. Akan tetapi, dengan adanya transfer yang diikuti efisiensi ekonomi yang hilang akan menyebabkan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dari kerugian yang diterima. 3. Tipe Komoditas

Klasifikasi ini bertujuan untuk membedakan harga barang impor dan ekspor. Jika tidak ada kebijakan ini, maka harga domestik sama dengan harga dunia, dimana untuk ekspor digunakan harga fob (free on board) dan untuk impor digunakan harga cif (cost freight and insurance). Adanya kebijakan komoditas menyebabkan harga domestik berbeda dengan harga fob dan cif.

3.1.1.3.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Output

(41)

subsidi produsen barang sustitusi impor (S+PI) akan menguntungkan bagi produsen lokal barang substitusi impor karena dengan adanya kebijakan subsidi bagi produsen barang substitusi impor, penerimaan produsen lokal akan meningkat. Kebijakan subsidi konsumen barang substitusi impor (S+CI) akan menguntungkan konsumen barang substitusi impor. Kebijakan subsidi positif baik pada barang ekspor maupun impor ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 hanya untuk dampak subsidi positif, sedangkan untuk subsidi negatif adalah kebalikannya. Gambar 3(a) menunjukkan subsidi positif untuk produsen pada barang impor di mana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga dunia. Hal ini mengakibatkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 ke Q2 sedangkan konsumsi tetap di Q3. Subsidi ini mengakibatkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (Pd-Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke produsen sebesar Q2 (Pd-Pw) atau PdABPw. Pembiayaan ini akan menghilangkan efisiensi ekonomi karena pemerintah memilih untuk tidak mengalokasikan sumberdaya pada harga dunia (Pw). Subsidi mengakibatkan barang yang sebelumnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost jika barang tersebut dimpor adalah sebesar Q1CBQ2 sehingga efisiensi yang hilang sebesar CAB.

Gambar 3(c) menunjukkan subsidi positif pada konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw-Pd mengakibatkan produksi turun dari Q1 ke Q2 dan konsumsi naik dari Q3 ke Q4 sehingga impor meningkat dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer yang terjadi terdiri dari dua bagian yaitu transfer

(42)

(a) S+ PI (b) S+ PE

(c) S+ CI (d) S+ CE

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Gambar 3. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Ekpor dan Impor

Keterangan :

Pw : Harga di pasar dunia Pd : Harga domestik

S+ PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor S+ PE : Subsidi kepada produsen untuk barang ekspor S+ CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor S+ CE : Subsidi kepada konsumen untuk barang ekspor

(43)

dari pemerintah ke konsumen sebesar ADEB dan transfer dari produsen kepada konsumen sebesar PwABPd. Dengan demikian kehilangan efisiensi ekonomi terjadi baik pada produksi maupun konsumsi. Di sisi produksi turunnya output dari Q1 ke Q2 mengakibatkan terjadinya kehilangan pendapatan sebesar Pw (Q1 -Q2) atau Q2ACQ1. Dengan berkurangnya output, input dapat dihemat sebesar Q2BCQ1 sehingga efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ACB. Dilihat pada sisi konsumsi, opportunity cost dari peningkatan konsumsi adalah Pw (Q4-Q3) atau Q3FDQ4, sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3FEQ4 sehingga efisiensi yang hilang sebesar FDE.

Selain kebijakan subsidi pada output, pemerintah juga memberlakukan kebijakan restriksi (hambatan) perdagangan pada barang-barang impor. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4(a) menunjukkan adanya hambatan tarif pada barang impor di mana terdapat tarif sebesar Pd–Pw sehingga menaikkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan konsumsi turun dari Q4 ke Q3. Dengan demikian impor turun dari Q4-Q1 menjadi Q3-Q2. Terdapat transfer penerimaan dari konsumen sebesar PdABPw yaitu kepada produsen sebesar PdDEPw dan kepada pemerintah sebesar EDAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari konsumen adalah perbedaan antara opportunity cost konsumen dalam mengubah konsumsi sebesar Q4BCQ3 dengan kemampuan membayar yang sama Q3ACQ4 sehingga didapatkan efisiensi ekonomi yang hilang pada konsumen sebesar ABC dan pada produsen sebesar DEF.

(44)

dunia yaitu sebesar Pw. Dengan tingkat harga sebesar Pw, output yang dihasilkan produsen adalah sebesar Q4 dan konsumsi sebesar Q1, sehingga terjadi ekses suplai di dalam negeri sebesar segitiga BHI. Terjadinya ekses suplai tersebut membuat output yang dihasilkan harus diekspor ke luar negeri yaitu sebesar Q4 -Q1. Besarnya surplus konsumen adalah ABPw, sedangkan surplus produsen sebesar PwHJ.

(a) TPI (b) TCE

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Gambar 4. Restriksi Perdagangan pada Barang Impor

Keterangan :

TPI : Hambatan perdagangan pada produsen untuk barang impor TCE : Hambatan perdagangan pada konsumen untuk barang impor

Adanya subsidi negatif pada produsen output (KPON negatif), mengakibatkan perubahan harga dalam negeri yaitu harga yang diterima produsen dan konsumen (harga finansial) menjadi lebih rendah dari harga pasar dunia (Pd<Pw). Dengan tingkat harga sebesar ini, mengakibatkan konsumsi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2, penurunan produksi dari Q4 menjadi Q3, penurunan ekspor dari Q4–Q1 menjadi Q3-Q2, terjadi perubahan surplus produsen

(45)

yaitu sebesar PwHGPd, perubahan surplus konsumen sebesar PdEBPw, dan besarnya transfer output atau transfer pajak kepada pemerintah sebesar DFGE. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar BDE dan FGH yang merupakan kesempatan yang hilang dari produsen untuk memperoleh keuntungan dan juga tidak ditransfer baik kepada konsumen maupun pemerintah.

3.1.1.3.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Input

Kebijakan harga input bisa merupakan pemberian subsidi atau pajak pada sarana produksi. Gambar 5(a) menunjukkan efek pajak terhadap input tradable

yang digunakan. Pajak menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva supply bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah segitiga ABC, merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang dari Q2ACQ1 dengan biaya produksi dari output Q2BCQ1.

(a) S- II (b) S+ II

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

(46)

Gambar 5(b) memperlihatkan dampak subsidi input menyebabkan harga input maupun biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke bawah dan produksi meningkat dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ABC, merupakan perbedaan antara biaya produksi setelah terjadi peningkatan output Q1ACQ2 dan peningkatan penerimaan output Q1ABQ2.

(a) S- N (b) S+ N

Sumber : Monke dan Pearson (1989)

Gambar 6. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Non Tradable

Keterangan :

S- N : Pajak untuk barang non tradable S+ N : Subsidi untuk barang non tradable

(47)

harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BDA dan dari konsumen sebesar BCA.

Gambar 6(b) menunjukkan adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandigan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya biaya produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.

3.1.2. Policy Analysis Matrix

(48)

Tujuan utama dari analisis PAM ada tiga, yaitu pertama memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam ketiga isu di atas. Kedua, menghitung tingkat keuntungan sosial dari sebuah usahatani. Ketiga, menghitung efek transfer sebagai dampak dari sebuah kebijakan (dengan membandingkan biaya dan pendapatan).

Input yang digunakan dalam proses produksi pada analisis PAM dapat dipisahkan menjadi tradable goods dan nontradable goods (faktor domestik). Barang tradable merupakan barang yang dapat diperdagangkan secara internasional dimana produsen dalam negeri cukup efisien sehingga tidak ada hambatan perdagangan (peraturan/kebijakan), oleh karena itu harga FOB memberikan rangsangan yang efektif untuk mengekspor. Barang nontradable

merupakan barang yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional (dapat dipenuhi oleh produksi setempat pada harga di bawah nilai CIF, sedangkan harga FOB (yang selalu lebih rendah dari harga CIF) terlalu rendah untuk merangsang ekspor. Hasil Analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan informasi dasar yang penting bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian (Pearson et al., 2005).

(49)

tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan divergensi.

Tabel 7. Policy Analysis Matrix

Keterangan Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Faktor Domestik

Privat A B C D

Sosial E F G H

Divergensi I J K L

Sumber : Pearson et al., 2005 Keterangan :

A : Penerimaan Privat G : Biaya Faktor Domestik Sosial

B : Biaya Input Tradable Privat H : Keuntungan Sosial C : Biaya Faktor Domestik Privat I : Transfer Output

D : Keuntungan Privat J : Transfer Input Tradable

E : Penerimaan Sosial K : Transfer Faktor Domestik

F : Biaya Input Tradable Sosial L : Transfer Bersih

Kolom pertama matriks PAM merupakan kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input asing (tradable). Kolom ketiga merupakan kolom biaya input domestik (non tradable) dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan (selisih antara penerimaan dengan biaya). Analisis tabel PAM dapat dilakukan sebagai berikut (Pearson et al., 2005):

3.1.2.1. Analisis Keuntungan

1. Keuntungan Privat (KP)

Keuntungan privat mengacu pada penerimaan dan pengeluaran aktual, menunjukkan daya saing. Jika nilai KP lebih besar dari nol (KP>0), berarti pengusaaan budidaya ikan hias memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika nilai KP kurang dari nol (KP<0), berarti tidak mendapatkan keuntungan. KP diperoleh dengan rumus:

Keuntungan Privat (D) = A – (B + C) Keterangan :

A = Penerimaan privat

(50)

2. Keuntungan Sosial (KS)

Keuntungan sosial adalah perhitungan untung-rugi dengan menggunakan harga ekonomi/sosial yang mencerminkan tingkat efisiensi dari suatu sistem usahatani atau penggunaan lahan. Sebuah negara akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengedepankan aktivitas-aktivitas yang menghasilkan keuntungan sosial yang tinggi. Jika nilai KS lebih besar dari nol (KS>0), maka budidaya ikan hias memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika KS kurang dari nol (KS<0), maka tidak memperoleh keuntungan. KS diperoleh dengan rumus:

Keuntungan Sosial (H) = E – (F + G) Keterangan :

E = Penerimaan sosial

F = Biaya input tradable sosial G = Biaya faktor domestik sosial 3.1.2.2. Analisis Daya Saing

1. Rasio Biaya Privat (RBP)

Rasio biaya privat adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai RBP mencerminkan kemampuan budidaya ikan hias membiayai faktor domestik pada harga privat. Nilai ini juga digunakan sebagai ukuran efisiensi secara finansial dan menjadi satu indikator keunggulan kompetitif. Nilai RBP diusahakan kurang dari satu karena untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan diharapkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu. Semakin kecil nilai RBP maka semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. RBP dapat diperoleh dari rumus:

(51)

2. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (BSD)

Biaya sumberdaya domestik (BSD) menggambarkan efisiensi ekonomi suatu pengusahaan komoditi. Jika rasio biaya sumberdaya domestik (BSD) kurang dari satu berarti sistem komoditas efisien. Komoditas tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah, sehingga lebih efisien apabila diproduksi di dalam negeri dibanding dengan impor (untuk komoditas substitusi impor) atau memiliki peluang ekspor yang tinggi (untuk komoditas orientasi ekspor). BSD dapat diperoleh dari rumus :

S Penerimaan So ial ia a nput ia a aktor ome tik So ial So ial

3.1.2.3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah

1. Kebijakan Output

a. Transfer Output (TO)

Transfer output (TO) merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat dengan penerimaan yang dihitung atas harga sosial. Nilai TO menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah pada output sehingga ada perbedaan antara harga output privat dan sosial. Nilai TO yang positif (TO>0) menunjukkan bahwa ada insentif masyarakat terhadap produsen, artinya harga yang dibayarkan oleh konsumen pada produsen lebih tinggi dari seharusnya, atau ada kebijakan pemerintah berupa subsidi output yang menyebabkan harga privat output yang diterima oleh produsen lebih tinggi dari harga sosialnya. Sebaliknya jika nilai TO negatif, maka harga privat lebih rendah dari harga sosialnya. Transfer Output dapat diperoleh dengan rumus :

(52)

Keterangan :

A = Penerimaan privat B = Penerimaan sosial

b. Koefisien Proteksi Output Nominal (KPON)

Koefisien proteksi output nominal adalah rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikator dari tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Jika nilai KPON lebih dari satu (KPON>1) berarti telah terjadi penambahan penerimaan akibat adanya kebijakan yang memengaruhi harga output (efek divergensi), begitu pula sebaliknya. KPON dirumuskan sebagai berikut:

P Penerimaan PrivatPenerimaan So ial

2. Kebijakan Input

a. Transfer Input

Nilai Transfer Input (TI) menunjukkan bahwa kebijakan input yang diharapkan pada input tradable yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara biaya input tradable privat dan biaya input tradable sosial. Jika nilai TI positif (TI>0) hal ini menunjukan harga sosial input asing yang lebih rendah. Akibatnya produsen harus membayar input lebih mahal. Sebaliknya jika TI kurang dari nol (TI<0) hal ini menunjukan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan. Transfer Input dapat diperoleh dengan rumus :

Transfer Input (J) = B – F Keterangan :

(53)

b. Koefisien Proteksi Input Nominal (KPIN)

Koefisien proteksi input nominal adalah rasio antara biaya input tradable

yang dihitung berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung berdasarkan harga bayangan dan merupakan indikasi adanya transfer input. Apabila nilai KPIN kurang dari satu (KPIN<1) maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap input dan produsen menerima subsidi atas input asing yang tradable sehingga produsen dapat membeli dengan harga yang lebih rendah. Apabila nilai KPIN lebih dari satu (KPIN>1) maka terdapat proteksi terhadap produsen input asing tradable, yang menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut akan merasa dirugikan dengan tingginya biaya produksi. KPIN dapat diperoleh dengan rumus:

P ia a nput ia a nput Privat So ial

c. Transfer Faktor (TF)

Transfer faktor (TF) menunjukkan besarnya subsidi terhadap faktor domestik. Jika nilai transfer faktor positif (TF>0) menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada faktor domestik. Sedangkan jika nilai transfer faktor negatif (TF<0), berarti terdapat subsidi positif pada faktor domestik. Transfer faktor dapat diperoleh dengan rumus :

Transfer Faktor (K) = C – G Keterangan :

Gambar

Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Ikan Hias Air Tawar Nasional Tahun 2006 - 2011
Tabel 2. Potensi Ikan Hias Menurut Kecamatan di Kota Depok Tahun 2010
Tabel 5. Penelitian Terdahulu
Tabel 5. Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apabila Vizan Farm melakukan kegiatan produksi sesuai kriteria budidaya ikan Black Ghost yang baik seperti, jarak antara lokasi usaha dengan lokasi pakan dan

Penelitian ini tentang usaha budidaya ikan hias di Kelurahana Simpang Tiga telah dilaksanakan pada bulan Januari 2016, ditempat pembudidayaan ikan hias di Kelurahan

Pada tahap identifkasi masalah, Tim IbM Unsrat mendapati bahwa semua anggota kelompok ibu rumah tangga mitra IbM belum memiliki pemahaman yang baik tentang manfaat dan