(Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam
No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
SARI DEVI TUMANGGOR
080200269
Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(Study KasusPutusanPengadilanNegeriLubukPakam No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
SARI DEVI TUMANGGOR 080200269
Departemen Hukum Pidana
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
(Dr.H.M.Hamdan,S.H.,M.H NIP. 195703261986011001 )
Pembimbing I Pembimbing II
(Dr.H.M.Hamdan,S.H.,M.Hum) (Dr.Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum NIP. 195703261986011001 NIP. 1974040120021001
)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah s.w.t atas segala berkat dan
anugerahNya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi gunamencapai
gelar Sarjana Hukum dalam program studi Ilmu Hukum, yang berjudul
“PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN(Study Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Lubuk PakamNo. 1243/Pid B/2006/PN-LP)”.
Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa skripsi ini masih
kurang dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian maupun dari segi materinya.
Hal ini dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan, kemampuan, wawasan, serta
bahan-bahan literatur yang penulis miliki dan dapatkan. Oleh karena itu penulis
mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca guna memperbaiki dan memperluas pemikiran dan pengetahuan penulis.
Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis
mengucapkan terima kasih setulusnya kepada seluruh pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan seluruh pihak yang telah menjadi
bagian penting selama penulis menjalankan perkulihan di Fakultas Hukum
Unversitas Sumatera Utara Medan, antara lain dibawah ini:
1. Bapak Prof.Dr.Runtung Sitepu,S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Fakultas Hukum Universitas Suamtera Utara Medan;
3. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H.,M.H.,DFM., selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Suamtera Utara Medan;
4. Bapak Muhammad Husni,S.H.,M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Suamtera Utara Medan;
5. Bapak Dr.H.M.Hamdan,S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dan selaku Dosen
Pembimbing I, yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan
bimbingan serta nasihat kepada penulis hingga penulisan skripsi ini selesai;
6. Ibu Liza Erwina,S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara Medan;
7. Bapak Prof.Dr.Bismar Nasution,S.H.,M.Hum., selaku Dosen Wali yang telah
memberi dorongan, semangat dan bimbingan selama menjalankan perkuliahan
di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;
8. Bapak Dr.Mahmud Mulyadi,S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bimbingan serta nasihat
dengan penuh kesabaran mulai dari awal penulisan skripsi ini sampai dengan
selesainya penulisan ini;
9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang
telah memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis
yang telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan;
11.Teristimewa rasa hormat dan terima kasih penulis ucapkan kepada kedua
orangtua penulistercinta yaitu S.Tumanggor,S.T dan D.Nainggolan, yang telah
membesarkan, mendidik, mendorong untuk tetap semangat dan mendengar
setiap cerita penulis.Serta terima kasih untuk doa, kasih sayang, kerja keras,
nasihat dan pengorbanan yang luar biasa penulis rasakan selama ini. Semoga
penulis dapat memberikan setitik kebahagiaan dan kebanggaan;
12.Untuk adik-adik tersayang, Deynisa Bella Tumanggor (Mahasiswi Semester
VI Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, semoga cepat
menjadi Sarjana Hukum), Putri Ananda Tumanggor (Mahasiswi Semester I
Fakultas Kedokteran UISU dan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU,
semoga menjadi dokter yang baik, ramah dan berdedikasi tinggi), Boy Rizky
Tumanggor (Siswa SMAN 5 Medan, semoga cita-citamu menjadi Akpol/
IPDN tercapai), dan Choky Dicky Tumanggor (Siswa SD Primbana Medan,
semoga cita-citamu menjadi artis/ dokter/ anggota Dewan tercapai). Terima
kasih untuk dukungan, doa, kasih sayang dan bantuan yang kalian berikan
selama ini. Semoga penulis dapat menjadi contoh yang baik bagi adik-adik
tersayang;
13.Untuk peliharaan tersayang dan terlucu, Oxyn (monyet cantik yang manja),
Manis (kucing ganteng yang selalu menemani penulis begadang dan tidur
hampir setiap malam), Mino danMomo (yang telah meninggal dunia) dan
selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini (Yessi K Manik, Yuyun Kartika,
Berlian S ketaren, Monika Y, Juni S Simanjuntak dan lain-lain yang tidak
disebuti dalam skripsi ini yang turut memberikan semangat dan bantuan
kepada penulis);
Akhir kata, kiranya Tuhan Yang Maha Esa menjadikan kehendakNya
kepada mereka, dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi setiap orang yang
membacanya.
Medan, Februari 2012
Penulis
(Sari Devi Tumanggor)
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAKSI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1
B. Perumusan Masalah ……… 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………... 6
D. Keaslian Penulisan ………. 6
E. Tinjauan Kepustakaan ……….... 7
F. Metode Penelitian ……….. 21
G. Sistematika Penulisan ……… 23
BAB II PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN A. Teori Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana ………….. 25
B. Kedudukan VisumEet Repertum Sebagai Alat Bukti ….….. 29
C. Peranan Visum Et Repertum Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pembunuhan ……….….. 44
BAB III KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM NO.1243/Pid B/2006/PN-LP A. Kasus Posisi ………..… 51
1. Kronologis Kasus ………... 51
4. Fakta-Fakta Hukum ………... 64 5. Putusan Hakim ………... 89 B. Analisis Kasus ……….. 91
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 101 B. Saran ... 103
Majelis Hakim dalam perkara ini mempertimbangkan Visum et Repertum dalam penjatuhan pidananya terhadap terdakwa-terdakwa. Dalam penelitian ini, Visum et Repertum berperan untuk memberikan Majelis Hakim suatu kenyataan akan fakta-fakta pada tubuh korban dan penyebab kematian korban. Majelis Hakim dalam perkara ini memutuskan bahwa terdakwa-terdakwa terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana dan dijatuhi pidana mati.
Dr.Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum** Sari Devi Tumanggor***
Tujuan umum pemeriksaan suatu perkara dalam proses peradilan adalah untuk mencari dan menemukan/ setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil (materiil waarheid). Usaha-usaha yang digunakan oleh penegak hukum untuk mencari kebenaran materil adalah dengan pengumpulan bukti maupun fakta-fakta hukum yang terkait perkara pidana tersebut, sesuai dengan sistem pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP yaitu sistem negatif menurut undang-undang (negatif wettelijk). Di dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan diperlukan bukti konkrit berupa dokumen yang dibenarkan oleh undang-undang sebagai pengganti atas barang bukti tersebut untuk mengungkapkan keadaan barang bukti yang berupa tubuh/ bagian tubuh manusia. Hal ini dikarenakan barang bukti tersebut tidak dapat dihadirkan dalam persidangan di pengadilan. Dokumen yang dimaksud adalah Visum et Repertum. Dari uraian diatas tersebut, maka penullis tertarik untuk membahas suatu tulisan yang berjudul “Peranan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP)”.
Identifikasi permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimanakah peranan Visum et Repertum sebagai alat bukti dalam tindak pidana pembunuhan, serta bagaimanakah kekuatan pembuktian Visum et Repertum dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP. Metode penelitian penulisan ini adalah penelitian hukum normatif (legal research) dengan jenis penelitiannya adalah penelitian terhadap sistematika hukum pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam hukum. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan alat pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan (library research) serta penellitian kasus terhadap putusan perkara pidana pembunuhan No.1243/Pid B/2006/PN-LP (field research). Secara keseluruhan, analisis diatas dilakukan menggunakan analisis kualitatif dan akan diuraikan secara konfrehensif untuk menjawab permasalahan yang ada.
1
Ketua Departemen Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
** Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
Majelis Hakim dalam perkara ini mempertimbangkan Visum et Repertum dalam penjatuhan pidananya terhadap terdakwa-terdakwa. Dalam penelitian ini, Visum et Repertum berperan untuk memberikan Majelis Hakim suatu kenyataan akan fakta-fakta pada tubuh korban dan penyebab kematian korban. Majelis Hakim dalam perkara ini memutuskan bahwa terdakwa-terdakwa terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana dan dijatuhi pidana mati.
Dr.Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum** Sari Devi Tumanggor***
Tujuan umum pemeriksaan suatu perkara dalam proses peradilan adalah untuk mencari dan menemukan/ setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil (materiil waarheid). Usaha-usaha yang digunakan oleh penegak hukum untuk mencari kebenaran materil adalah dengan pengumpulan bukti maupun fakta-fakta hukum yang terkait perkara pidana tersebut, sesuai dengan sistem pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP yaitu sistem negatif menurut undang-undang (negatif wettelijk). Di dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan diperlukan bukti konkrit berupa dokumen yang dibenarkan oleh undang-undang sebagai pengganti atas barang bukti tersebut untuk mengungkapkan keadaan barang bukti yang berupa tubuh/ bagian tubuh manusia. Hal ini dikarenakan barang bukti tersebut tidak dapat dihadirkan dalam persidangan di pengadilan. Dokumen yang dimaksud adalah Visum et Repertum. Dari uraian diatas tersebut, maka penullis tertarik untuk membahas suatu tulisan yang berjudul “Peranan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP)”.
Identifikasi permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimanakah peranan Visum et Repertum sebagai alat bukti dalam tindak pidana pembunuhan, serta bagaimanakah kekuatan pembuktian Visum et Repertum dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP. Metode penelitian penulisan ini adalah penelitian hukum normatif (legal research) dengan jenis penelitiannya adalah penelitian terhadap sistematika hukum pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis yang bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam hukum. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan alat pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan (library research) serta penellitian kasus terhadap putusan perkara pidana pembunuhan No.1243/Pid B/2006/PN-LP (field research). Secara keseluruhan, analisis diatas dilakukan menggunakan analisis kualitatif dan akan diuraikan secara konfrehensif untuk menjawab permasalahan yang ada.
1
Ketua Departemen Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
** Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
A. Latar Belakang
Setiap warga Negara wajib “menjunjung hukum”. Dalam kenyataan
sehari-hari, warga negara yang lalai atau sengaja tidak melaksanakan
kewajibannnya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara
tersebut “melanggar hukum” karena kewajibannya tersebut telah ditentukan
berdasarkan hukum.2
Hukum ditujukan untuk manusia. Kaedah-kaedahnya yang berisi perintah,
larangan dan perkenaan itu ditujukan kepada anggota-anggota masyarakat.
Hukum mengatur hubungan antara anggota-anggota masyarakat dan antara
subyek hukum. Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak
dan kewajiban dari hukum, dan yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari
hukum hanyalah manusia.
3
Bangsa Indonesia menjamin perlindungan terhadap nyawa setiap warga
negaranya, dari yang ada dalam kandungan sampai yang akan meninggal.
Tujuannya adalah untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dalam suatu
perbuatan khususnya yang dilakukan dengan cara merampas nyawa orang lain
(pembunuhan). Dipandang dari sudut agama, pembunuhan merupakan sesuatu
yang terlarang bahkan tidak boleh dilakukan.4
2
Leden Marpaung, Proses penanganan perkara pidana (penyelidikan dan penyidikan), Bagian pertama, Edisi kedua, Cetakan kedua, Sinar Grafika, 2009, Jakarta, hlm. 22
3
Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum suatu pengantar, Edisi kelima, Cetakan pertama, Liberty, 2003, Yogyakarta, hlm.73.
4
Disamping kejahatan terhadap jiwa seseorang yang diatur dalam Bab XIX
Buku II KUHP terdapat juga dua macam pembagian jenis-jenis kejahatan
terhadap jiwa seseorang, yaitu sengaja dan kesalahan. Kejahatan terhadap jiwa
seseorang mempunyai hubungan erat dengan kejahatan terhadap badan atau tubuh
seseorang. Kejahatan terhadap badan tersebut dapat juga menimbulkan akibat
hilangnya jiwa seseorang, meskipun akibatnya tidak dikehendaki, sedangkan
kejahatan terhadap jiwa seseorang mempunyai kehendak hilangnya jiwa
seseorang.5
Perbuatan menghilangkan nyawa dirumuskan dalam bentuk aktif dan
abstrak. Bentuk aktif, artinya mewujudkan perbuatan tersebut harus dengan
gerakan dari sebagian anggota tubuh, tidak boleh diam atau pasif, walau sekecil
apapun, misalnya memasukkan racun pada minuman. Sedangkan bentuk abstrak,
artinya perbuatan tersebut tidak menunjuk bentuk konkrit tertentu. Oleh karena
itu, dalam kenyataan secara konkrit, perbuatan tersebut dapat beraneka macam
wujudnya, misalnya menembak, mengampak, memukul, membacok, meracun,
dan lain sebagainya yang tidak terbatas banyaknya.6
Kejahatan terhadap jiwa seseorang yang menimbulkan akibat matinya
seseorang merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Praktek kejahatan terhadap jiwa meliputi jumlah yang besar
setelah kejahatan terhadap harta benda.7
5
H.A.K. Moch Anwar (Dading), Hukum pidana bagian khusus (KUHP Buku II), Penerbit Alumni, 1980, Bandung, hlm. 88.
6
Adami Chazawi, Kejahatn terhadap tubuh dan nyawa, cetakan pertama, PT.Raja Grafindo Persada, 2010, Jakarta, hlm.59.
7
Pembunuhan adalah suatu kejahatan yang tidak manusiawi, karena
pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian orang
lain, yang dilakukan secara sadis. Pembunuhan dengan rencana (moord) atau
disingkat dengan pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat
ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap jiwa manusia.
Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada
umumnya adalah bertujuan untuk mencari dan menemukan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut.8
Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk
mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti
penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.9
Van Bemmelan dalam bukunya Strafordering Leerbook van Het Nederlandsch
Procesrecht menyatakan bahwa yang terpenting dalam hukum acara pidana
adalah mencari dan menemukan kebenaran.10
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari
kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya
kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : “Tidak seorang pun dapat dijatuhi
pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
8
Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut, maka dalam proses
penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan
bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap
mungkin.11
Syarat mutlak tindak pidana materil adalah akibat.12 Pengungkapan suatu
tindak pidana secara hukum tentang benarkah telah terjadi tindak pidana yang
menyebabkan matinya seseorang serta apakah sesungguhnya yang menyebabkan
kesemuanya itu, diperlukan bukti yang konkrit pada waktu terjadinya tindak
pidana atau dengan kata lain diperlukan adanya pengganti alat bukti yang
dibenarkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu dokumen yang
dapat menceritakan tentang terjadinya tindak pidana yang menyebabkan luka,
terganggunya kesehatan dan juga matinya korban, yang dapat menjadi bukti yang
kemudian dapat diusut dalam waktu yang lain. Dokumen yang dimaksudkan
adalah “Visum Et Repertum”.13
Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP
merupakan kasus pembunuhan berencana dengan empat korban meninggal dunia
yang dilakukan oleh tiga orang pelaku (salah satu pelaku pembunuhan berencana
tersebut masih menjadi daftar pencarian orang (DPO)). Majelis Hakim pada
12
Tongat, Hukum Pidana Materiil, edisi pertama, cetakan kedua, UMM Press, 2003, Malang, hlm.4
13
putusannya, mempertimbangkan visum et repertum sebagai salah satu alat bukti
yang menerangkan penyebab kematian para korban dalam hal untuk menjatuhkan
pidana terhadap Terdakwa I dan Terdakwa II.
Visum Et Repertum sangat penting dalam suatu perkara pidana khususnya
untuk peristiwa pembunuhan. Hal ini dikarenakan korban dari peristiwa
pembunuhan telah meninggal dunia sehingga tidak dapat dihadirkan dalam
persidangan.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah diperlukan untuk memperjelas dan mempermudah
pelaksanaan agar sasaran penelitan menjadi runtut, jelas, dan tegas guna mencapai
hasil yang diharapkan. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang
menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peranan Visum Et Repertum sebagai alat bukti dalam tindak
pidana pembunuhan?
2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam Putusan
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui peranan Visum Et Repertum sebagai alat bukti dalam tindak
2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam Putusan
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara teoritis, hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum dan terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana.
2. Secara praktis, dari adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan mengenai peranan Visum Et Repertum dalam proses pembuktian
tindak pidana pembunuhan di pengadilan serta pengaruh Visum Et Repertum
terhadap putusan hakim dalam perkara tindak pidana pembunuhan.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti
Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus : Putusan Pengadilan
Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid B/2006/PN-LP”.
Judul skripsi ini telah terlebih dahulu dikonfirmasikan kepada Sekretariat
Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara serta melakukan
pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi
tersebut belum ada dan belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum
Apabila dikemudian hari terdapat judul skripsi yang sama atau telah ditulis
oleh orang lain sebelum skripsi ini saya buat, maka hal itu menjadi tanggung
jawab saya sendiri.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Visum et repertum
Visum et repertum berasal dari bahasa Latin. Visum adalah kependekan
dari Visum et Repertum. Visum berarti apa yang dilihat dan Repertum berarti apa
yang ditemukan.14
Secara harafiah, visum et repertum berasal dari kata-kata “visual” yaitu
melihat dan “repertum” yaitu melaporkan. Berarti, ”apa yang dilihat dan
diketemukan” sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari
dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan
diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain,
kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Atas dasar itu selanjutnya diambil kesimpulan, yang juga merupakan pendapat
dari seorang ahli ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis, sebagaimana yang
tertuang dalam bagian pemberitaan (hasil pemeriksaan).
15
14
Ratna Sari dan Harun Ginting, Buku I Seminar/Lokakarya: Penempatan Visum Et Repertum Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia , diselenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara bekerjasama dengan Kepolisian RI, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, Kanwil Dep.Kes.Prop.Sumatera Utara, pada tanggal 9-12 Pebruari 1981. Bagian Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran USU/RS.Dr.Pirngadi, 1981, Medan, hlm.299.
15
R. Soeparmono, Keterangan ahli dan visum et repertum dalam aspek hukum acara pidana. Mandar Maju, 2002, Bandung, hlm. 98.
Secara peristilahan,
visum et repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan
luka atau yang meninggal dunia (mayat).16 Secara letterlijk, visum et repertum
dapat diartikan sebagai berikut:17
a) Keterangan tentang apa yang dilihat dari para ahli (schouwverslag van
deskundigen);
b) Keterangan dari pemeriksaan seorang dokter (verslag van geneeskundig
onderzoek);
c) Keterangan dari suatu pembedahan mayat (verslag van een lijkopening);
Dari rumusan-rumusan diatas, dapat diambil gambaran bahwa visum et
repertum itu tidak dapat dibuat sembarangan, karena adanya beberapa faktor yang
harus diperhatikan, diantaranya:18
a) Dibuat secara tertulis;
Visum et repertum itu adalah laporan tertulis oleh yang diberi hak untuk
membuatnya. Laporan lisan tidak dapat diterima atau dianggap sah, karena
sewaktu-waktu dapat berubah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepastiannya.
b) Dari seorang ahli;
Visum et Repertum merupakan satu condition sine qua non, ialah yang
mengeluarkan laporan itu harus seorang ahli.
c) Ahli tersebut harus disumpah;
16
Waluyadi, op.cit, hlm.32. 17
Rajo Harahap, Buku I Seminar/Lokakarya:Visum Et Repertum Ditnjau Dari Segi Praktek Peradilan Dan Kekuatannya Sebagai Alat Bukti, diselenggarakan oleh Universitas Sumatera Utara bekerjasama dengan Kepolisian RI, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi, Kanwil Dep.Kes.Prop.Sumatera Utara, pada tanggal 9-12 Pebruari 1981. Bagian Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran USU/RS.Dr.Pirngadi, 1981, Medan, hlm.249.
18
Seorang ahli tersebut harus disumpah, karena sumpah bagi orang
yang beragama adalah suatu peringatan terhadap dirinya untuk tidak
berbohong. Orang yang beragama takut melanggar sumpah, oleh karena
itu peranan sumpah juga sangat memegang arti yang penting bagi pejabat
yang ditunjuk untuk sesuatu tugas.
d) Hanya untuk kepentingan justisi;
Bagi seorang dokter “visum” yang dikeluarkan hanya dapat
dipergunakan untuk kepentingan justisi, sehingga tidak bertentangan
dengan undang-undang, yang mana adalah untuk menghindarkan
kemungkinan-kemungkinan dipergunakannya “visum” itu untuk
tujuan-tujuan tertentu.
D.H Hutagalung memberikan batasan tentang visum et repertum sebagai
sesuatu keterangan dokter terhadap seseorang yang diduga meninggal dunia
karena sesuatu kejahatan atau luka-luka yang diakibatkan oleh kejahatan.
Jadi,dokter mengambil kesimpulan sebab apa dia meninggal dunia atau juga kalau
dalam penganiayaan.19
Berdasarkan pembatasan D.H Hutagalung, maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan visum et repertum adalah keterangan dokter atas hasil
pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau terganggu kesehatannya atau
mati, yang diduga sebagai akibat kejahatan, yang berdasarkan hasil pemeriksaan
19
tersebut dokter akan membuat kesimpulan tentang perbuatan dan akibat dari
perbuatannya itu.20
Visum et repertum bertujuan sebagai pengganti Corpus Delicti, karena apa
yang telah dilihat dan diketemukan dokter (ahli) itu dilakukan seobyektif
mungkin, sebagai pengganti peristiwa atau keadaan yang terjadi dan pengganti
bukti yang telah diperiksa dengan menurut kenyataan atau fakta-faktanya,
sehingga berdasarkan atas pengetahuan yang sebaik-baiknnya atas dasar
keahliannya tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dan akurat.
Disamping itu kemungkinan yang lain adalah apabila waktu dilakukan
pemeriksaan perkaranya tersebut di sidang pengadilan, maka suatu luka
(misalnya) yang disebabkan tindak pidana penganiayaan telah sembuh atau
korban yang telah meninggal akibat tindak pidana pembunuhan sewaktu sidang
dilakukan telah membusuk atau dikubur, maka guna mencegah perubahan
keadaan tersebut, dibuatlah visum et repertum.21
Tujuan visum et repertum adalah untuk memberikan kepada majelis hakim
(majelis) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua
keadaan atau hal sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar hakim
dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta
tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan hakim. Jadi Visum et
Repertum merupakan barang bukti yang sah karena termasuk surat sah sesuai
dengan KUHP Pasal 184.22
20
Ibid, hlm.33 21
Soeparmono, op.cit. hlm.100
22
Ada 3 tujuan pembuatan Visum et Repertum, yaitu:23
1) Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim
2) Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat
3) Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk membuat
kesimpulan Visum et Repertum yang lebih baru
2. Tindak pidana
Pembentuk Undang-Undang telah menggunakan kata strafbaar feit untuk
menyebut “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa
memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud
dengan kata strafbaar feit tersebut. Oleh karena itu, muncul di dalam doktrin
berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.24
Menurut POMPE, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat di
rumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari
suatu kennyataan” atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedang strafbaar
berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harafiah perkataan strafbaar feit itu
dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat
dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita
ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi
dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.
diakses pada tanggal 15 oktober 2011, pada pukul 15.24 Wib. 24
yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang
pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” atau sebagai de
normovertreding (verstoring der rechtsorde), waaraan de overtreder schuld heft
en waarvan de bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde en de
behartiging van het algemeen welzijn.25
Ada beberapa pakar dalam menyebutkan kata “tindak pidana”
menggunakan istilah-istilah lain, seperti delik (delictum), perbuatan pidana,
peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum dan
perbuatan yang dapat dihukum.26 Mengenai definisi “delik atau tindak pidana”
(strafbaar feit) dapat dilihat menurut pendapat pakar-pakar, antara lain:27
Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” dan beliau tidak setuju
dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek dari
pada “perbuatan”, tapi “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak
seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.28
E.Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau adalah
peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana, Mr.Tirtaamidjaja memakai istilah
“pelanggaran pidana”. Sedangkan Leden Marpaung, memakai istilah delik untuk
strafbaar feit agar tidak menimbulkan persepsi yang tidak tepat.29
25
Ibid, hlm.182. 26
Menurut D.Simon, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.30Akan
tetapi, strafbaar feit itu oleh HOGE RAAD juga pernah diartikan bukan sebagai
“suatu tindakan” melainkan sebagai suatu peristiwa atau sebagai suatu keadaan,
yaitu seperti yang dapat kita baca dari arrestnya tanggal 19 November 1928, N.J.
1928 halaman 1671,W.11915, dimana HOGE RAAD telah menjumpai sejumlah
tindak pidana di bidang perpajakan yang terdiri dari peristiwa-peristiwa atau
keadaan-keadaan, di mana seseorang itu harus dipertanggungjawabkan atas
timbulnya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan tersebut tanpa ia telah
melakukan sesuatu kealpaan atau tanpa adanya orang lain yang telah melakukan
suatu kealpaan, hingga ia harus dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.31
Pengertian Tindak Pidana lebih luas dari pada kejahatan. Kejahatan dalam
hukum pidana adalah perbuatan pidana yang pada dasarnya diatur di dalam Buku
II KUHP dan di dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang di dalamnya
dinyatakan perbuatan itu sebagai kejahatan. Perbuatan pidana lebih luas dari
kejahatan, karena juga meliputi pelanggaran, yaitu perbuatan yang diatur dalam
Buku III KUHP dan diluar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu
sebagai pelanggaran. Pada umumnya para ahli tidak menerima pengertian
30
Mohammad Ekaputra, dasar-dasar hukum pidana, USU Press, 2010, Medan, hlm.74
31
kejahatan dalam kriminologi adalah sama luasnya dengan kejahatan dalam hukum
pidana.32
3. Tindak pidana pembunuhan
Secara prinsip, penggolongan berbagai tindak pidana dalam KUHP
didasarkan pada kepentingan umum yang ingin dilindungi.33 Kejahatan terhadap
nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa
orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan obyek
kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia.34 Menurut Leden Marpaung,
menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang
secara umum disebut “pembunuhan”. Tindak pidana ini termasuk delik materiil
(material delict), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup
dengan dilakukannya perbuatan, akan tetapi menjadi syarat juga adanya akibat
dari perbuatan itu. Timbulnya akibat yang berupa hilangnya nyawa orang atau
matinya orang dalam tindak pidana pembunuhan merupakan syarat mutlak.35
Tindak pidana tehadap “nyawa” dalam KUHP dimuat pada Bab XIX
dengan judul “Kejahatan terhadap Nyawa Orang” yang diatur dalam pasal 338
sampai dengan pasal 350. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat
dibedakan atau dikelompokkan atas 2 (dua) dasar, yaitu: atas dasar kesalahannya
dan atas dasar obyeknya (nyawa).36
32
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, 1987, Jakarta, hlm 17 33
Tongat, op.cit, hlm.1 34
Adami Chazawi, op.cit, hlm.55
35
Serenity Deliver Refisis, Analisis hukum terhadap putusan dalam tindak pidana pembunuhan. USU Press. 2010, Medan, hlm. 5.
36
Kejahatan terhadap nyawa ini disebut delik materiil, yakni delik yang
hanya menyebut sesuatu akibat yang timbul, tanpa menyebut cara-cara yang
menimbulkan akibat tersebut. Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat KUHP
adalah sebagai berikut:37
a) Pembunuhan/ Murder (Pasal 338 KUHP).
Hal ini diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”
Unsur-unsur pembunuhan adalah:
1) Objektif:
(a) Barangsiapa: ada orang tertentu yang menghilangkan jiwa seseorang
2) Subjektif:
(a) Dengan sengaja: dalam ilmu hukum pidana, dikenal 3 jenis bentuk
sengaja (dolus), yakni:
- Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)
- Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zakerheids bewustzijn)
- Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn
atau dolus eventualis)
b) Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339 KUHP)
Hal ini diatur pada Pasal 339 KUHP yang berbunyi:
“pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, atau jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya dari pada hukuman, atau supaya barang yang didapatnya dengan melawan hukum tetap
37
ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun”
Unsur-unsur pembunuhan dengan pemberatan adalah:
1) Objektif:
(a) Unsur pembunuhan dalam pasal 338 KUHP baik unsur yang subjektif
(dengan sengaja) maupun objektif (menghilangkan nyawa orang lain)
(b) Unsur diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain.
2) Subjektif:
(a) Unsur dengan maksud:
- Untuk mempersiapkan tindak pidana lain.
- Untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain
- Dalam hal tertangkap tangan, ditunjuk untuk Menghindarkan diri
sendiri atau peserta laindari pidana dan Memastikan penguasaan benda
yang diperolehnya secara melawan hukum.
c) Pembunuhan berencana/ Moord (Pasal 340 KUHP)
Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang berbunyi:
“barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain dihukum karena salahnya pembunuhan berencana, dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun”
Unsur-unsur pembunuhan berencana adalah:
1) Unsur objektif:
(a) Menghilangkan atau merampas nyawa orang lain
2) Unsur subjektif:
(b) Unsur dengan rencana terlebih dahulu (voorbedachte rade)
d) Pembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341 KUHP)
Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang berbunyi:
“seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum karena pembunuhan anak dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun”
Unsur-unsur pembunuhan (biasa) anak adalah:
1) Unsur objektif:
(a) Seorang ibu
(b) Karena takut akan ketahuan melahirkan anak
(c) Pada saat anak dilahirkan
(d) Tidak lama kemudian (setelah dilahirkan)
(e) Merampas nyawa anak itu
2) Unsur subjektif:
(a) Dengan sengaja
e) Pembunhan bayi oleh ibunya secara berencana/ kinder moord (Pasal 342
KUHP)
Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang berbunyi:
“seorang ibu yang dengan sengaja akan menjalankan keputusan yang diambil sebab takut ketahuan bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, menghilangkan jiwa anaknya itu pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian dari pada itu dihukum karena membunuh bayi secara berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun”
Unsur-unsur pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana adalah:
1) Unsur objektif:
(b) Adanya niat yang sudah ditentukan sebelumnya
(c) Karena takut akan ketahuan melahirkan anak
(d) Pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian setelah anak
dilahirkan
(e) Merampas nyawa anaknya
2) Unsur subjektif:
(a) Dengan sengaja.
f) Pembunuhan atas permintaan sendiri/ yang bersangkut an (Pasal 344 KUHP)
Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang berbunyi:
“barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”
Unsur-unsur pembunuhan atas permintaan sendiri adalah:
1) Unsur menghilangkan atau merampas nyawa orang lain
2) Atas permintaan orang itu sendiri
3) Yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
g) Penganjuran/ membujuk/ membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345 KUHP)
Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang berbunyi:
“barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun, kalau jadi orangnya bunuh diri”.
Unsur-unsur penganjuran agar bunuh diri adalah:
1) Unsur objektif, yang terdiri dari:
(a) Mendorong orang lain untuk bunuh diri
(c) Memberikan sarana untuk bunuh diri
(d) Orang tersebut jadi bunuh diri
2) Unsur subjektif:
(a) Dengan sengaja.
h) Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346 KUHP)
Kata “pengguguran kandungan” adalah terjemahan dari kata abortus
provocateur yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan “membuat
keguguran”. Hal ini diatur dalam Pasal 346 KUHP yang berbunyi:
“perempuan dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun”
Unsur-unsur pengguguran kandungan dengan izin ibunya adalah:
1) Unsur objektif, yang terdiri dari unsur:
(a) Perempuan
(b) Menggugurkan
(c) Mematikan
(d) Menyuruh orang lain menggugurkan
(e) Menyuruh orang lain mematikan kandungannya sendiri
2) Unsur subjektif:
(a) Dengan sengaja
i) Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang
mengandung (Pasal 347 KUHP)
“(1). Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan tidak dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.
(2). Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.”
Unsur-unsur pengguguran kandungan tanpa izin ibunnya adalah:
1) Unsur objektif, yang terdiri dari unsur:
(a) Menggugurkan kandungan seorang perempuan
(b) Mematikan kandungan seorang perempuan
(c) Tanpa persetujuan perempuan itu
2) Unsur subjektif:
(a) Dengan sengaja
j) Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang mengandung tersebut
(Pasal 348 KUHP)
Hal ini diatur dalam Pasal 348 KUHP yang berbunyi:
“(1). Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun 6 bulan
(2). Jika perbuatan itu berakibat perempuan itu mati, ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun”.
Unsur-unsur penguguran kandungan dengan izin perempuan yang
mengandungnya adalah:
1) Unsur objektif, yang terdiri dari:
(a) Menggugurkan kandungan seorang perempuan
(b) Mematikan kandungan seorang perempuan
2) Unsur subjektif:
(a) Dengan sengaja.
k) Pengguguran kandungan yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai
kualitas tertentu (Pasal 349 KUHP).
Dalam hal ini, dokter, bidan atau tukang obat yang membantu
pengguguran atau matinya kandungan. Hal ini juga secara tegas diatur dalam
Pasal 349 KUHP yang berbunyi:
“jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346 KUHP, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348 KUHP, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”
F. Metode Penelitian
Metode penelitian menjelaskan mengenai bagaimana data dan informasi
diperoleh dalam melaksanakan penelitian. Adapun metode penelitian hukum yang
digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini antara lain:
1) Jenis penelitian
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (legal
research), jenis penelitiannya adalah penelitian terhadap sistematika hukum.
Penelitian terhadap sistematik hukum dapat dilakukan pada peraturan
perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis. Tujuan pokoknya adalah
dasar dalam hukum yaitu masyarakat hukum, subjek hukum, hak dan
kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.38
Penelitian ini penting artinya karena masing-masing pengertian pokok atau
dasar tersebut mempunyai arti tertentu dalam kehidupan hukum, misalnya
pengertian pokok atau dasar “peristiwa hukum” yang mempunyai arti penting
dalam kehidupan hukum, mencakup keadaan (omstandigheden), kejadian
(gebeurtenissen) dan perilaku atau sikap tindak (gedragingen).39
2) Metode pengumpulan data
Data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder merupakan
ukuran-ukuran resmi tentang pengertian dari unsur-unsur yang diteliti.40
Sumber data diperoleh dari:
Alat
pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) serta penelitian kasus terhadap putusan perkara
pidana pembunuhan No. 1243/Pid B/2006/PN-LP (field research). Alat yang
dipergunakan untuk mengumpulkan data adalah studi dokumen.
41
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu:
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
(2) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peranan visum et
repertum sebagai alat bukti dalam tindak pidana pembunuhan.
38
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, 2010, Jakarta. hlm.93
39
Ibid.
40
Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Banngsa Press, 2007, Medan, hlm.75
41
b) Bahan hukum sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti : buku-buku bacaan terkait visum et repertum,
pembunuhan, karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.
c) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan-bahan
yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum
primer dan sekunder, seperti: kamus hukum dan artikel-artikel yang
berasal dari internet.
3) Analisis data
Analisis data yang digunakan pada skripsi ini adalah analisa kualitatif,
yaitu mengikhtiarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin serta
memilah-milahnya dalam satuan konsep, kategori atau tema tertentu.42
G. Sistematika Penulisan
untuk
mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang
diperlukan dan akan diuraikan secara konfrehensif sehingga dapat menjawab
permasalahan-permasalahan yang ada dalam skripsi ini.
Keseluruhan sistematika yang ada dalam penulisan skripsi ini merupakan
satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak
dapat terpisahkan. Pembagian sub bab ini dimaksudkan untuk mempermudah
penulis dalam menguraikan permasalahan secara teoritis hingga akhirnya
diperoleh kesimpulan dan saran. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
42
BAB I : Pendahuluan, yang tediri dari: latar belakang, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Pembahasan peranan visum et repertum sebagai alat bukti dalam
tindak pidana pembunuhan, yang terdiri dari: teori pembuktian
dalam hukum acara pidana, kedudukan visum et repertum sebagai
alat bukti, dan peranan visum et repertum sebagai salah satu alat
bukti dalam tindak pidana pembunuhan.
BAB III : Pembahasan kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam
Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.1243/Pid
B/2006/PN-LP, yang terdiri dari: kasus posisi yang terbagi atas kronologis
kasus, dakwaan, tuntutan, fakta-fakta hukum dan putusan hakim
serta analisis kasus.
BAB IV : Penutup, yang terdiri dari: kesimpulan seluruh tulisan atau
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Teori Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana
Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana
yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang
dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti
tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu
pembuktian.43
Sumber-sumber hukum pembuktian adalah:
44
a. Undang-Undang;
b. Doktrin atau ajaran;
c. Yurisprudensi.
Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum
acara pidana (formeel strafrecht/ strafprocessrecht) pada khususnya, aspek
“pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan
seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim.45
43
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum pembuktian dalam perkara pidana untuk mahasiswa dan praktisi, Mandar Maju, 2003, Bandung, hlm.10.
44
Ibid, hlm.10.
45
Serenity Deliver Refisis, op.cit, hlm 41.
Hakim di dalam menjatuhkan
suatu putusan, tidak hanya dalam bentuk pemidanaan, tetapi dapat juga
menjatuhkan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim)
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan
dan meyakinkan. Kemudian putusan lepas dari segala tuntutan hukum, akan
dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana. 46
Beberapa teori pembuktian dalam hukum acara, yaitu:47
1. Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim.
Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, yakni
dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi
masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim
dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil
pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik
keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Kelemahan sistem pembuktian conviction-in time adalah hakim dapat saja
menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar
keyakinan” belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim
yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa.
Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan
terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati
dalam sistem pembuktian ini. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim
terlalu besar, sehingga sulit diawasi.
46
Waluyadi, op.cit, hlm 39.
47
2. Conviction-Raisonee
Sistem conviction-raisonee pun, “keyakinan hakim” tetap memegang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi,
pada sistem ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem
pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas
maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung
dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim harus mendasarkan
putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh
karena itu putusan juga bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal
(reasonable). Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa
yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori
pembuktian ini disebut juga pembukt ian bebas karena hakim bebas untuk
menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijs bewijstheorie).
3. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke stelsel)
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau
tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang
sah”. Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang,
sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan
keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan
terdakwa, bukan menjadi masalah.
Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada prinsip “penghukuman berdasar
diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi diatas kewenangan
undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru dapat dihukum dan
dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti
berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem
ini disebut teori pembukt ian formal (foemele bewijstheorie).
4. Pembuktian menurut undang-undang secara negative ( negatief wettelijke
stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Sistem ini
memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah atau
tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur
tersebut.
Terdakwa dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan
kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan itu “dibarengi”
dengan keyakinan hakim. Berdasarkan sistem pembuktian undang-undang
secara negatif, terdapat dua komponen untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang terdakwa, yaitu:48
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang;
48
b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negative.49 Sistem pembuktian negative diperkuat oleh
prinsip “kebebasan kekuasaan kehakiman”.50 Namun dalam praktik peradilannya,
sistem pembuktian lebih mengarah pada sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif. Hal ini disebabkan aspek “keyakinan” pada Pasal 183
KUHAP tidak diterapkan secara limitatif.51
a. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa
tersebut memang sudah demikian hal yang benarnya atau semestinya
demikian.
Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal-hal
yang secara umum sudah diketahui biasanya disebut notoire feiten (Pasal 184 ayat
(2) KUHAP). Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
b. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu
mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian52
B. Kedudukan Visum Et epertum Sebagai Alat Bukti
KUHAP menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum
bagi seseorang , dalam pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman
49
Ibid, hlm.280.
50
Romli Atmasasmita, Kapita selekta hukum pidana dan kriminologi, CV. Mandar Maju, 1995, Bandung, hlm.106.
51
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya, PT. Alumni, 2007, Bandung, hlm.199.
52
pada sistem pembuktian yang digariskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem
Negatif menurut Undang-Undang (Negatif Wettelijk).53
Alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang
disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah:54
1. Keterangan Saksi
Berdasarkan tata urutan alat-alat bukti dalam KUHAP tersebut, maka akan
didengar atau menjadi saksi utama (kroon getugie) ialah saksi korban. Saksi
korban ialah orang yang dirugikan akibat terjadi kejahatan atau pelanggaran
tersebut. Oleh karena itu, adalah wajar jika ia didengar sebagai saksi yang
pertama-tama dan ia merupakan saksi utama atau “kroon getugie”. Akan
tetapi, dalam praktek tidak menutup kemungkinan saksi lain didengar
keterangannya terlebih dahulu, misalnya jika pada sidang yang telah
ditetapkan saksi korban tidak hadir, sesuai dengan asas pemeriksaan cepat.
Saksi ini diharapkan dalam proses acara pidana ialah saksi yang ia mendengar,
ia mengalami, atau ia melihat dengan mata kepala sendiri, dan bukan saksi,
yang ia mendengar atau memperoleh keterangan dari orang lain. Saksi terakhir
ini disebut sebagai testimonium d’ auditu.
Menurut pendapat Andi Hamzah, sesuai penjelasan KUHAP yang
menyatakan:55
53
Serenity Deliver Refisis, op.cit, hlm.18
54
Ibid, hlm.44.
55
Andi Hamzah, op.cit, hlm.242
Syarat formil, menurut Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa
sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
Penjelasan Pasal 161 ayat (2) tersebut menunjukkan bahwa pengucapan
sumpah merupakan syarat mutlak.
Sumpah atau janji dapat dilakukan sebelum atau sesudah saksi
memberikan keterangan di muka persidangan, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Syarat materiil, bahwa keterangan seorang saja tidak dapat dianggap sah
sebagai alat pembuktian (Unus Testis Nullum Testis). Akan tetapi keterangan
seorang saksi, adalah cukup untuk membuktikan salah satu unsur kejahatan
yang dituduhkan.
Terhadap penilaian seorang saksi, hakim harus sungguh-sungguh
memperhatikan:
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lain
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan yang tertentu
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya
Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas:
1) Saksi A Charge (memberatkan terdakwa): saksi A Charge adalah saksi
dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum,
dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa
2) Saksi A De Charge (menguntungkan terdakwa): saksi A De Charge adalah
saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau
penasihat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa
2. Keterangan Ahli (Verklaringen Van Een Deskundige; Expert Testimony)
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28
KUHAP). Sedangkan menurut Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli ialah apa
yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli itu dapat
juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat mengingat sumpah
di waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada
waktu pemeriksaan penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di
sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara
pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah
atau janji di hadapan hakim (penjelasan Pasal 186 KUHAP).
3. Surat
Surat menurut A.Pitlo adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti,
dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan. Adapun contoh-contoh
dari alat bukti surat itu, adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat
oleh polisi, BAP Pengadilan, Berita Acara Penyitaan, Surat Perintah
Penahanan, Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin Penyitaan, dan lain-lainnya.
Aspek fundamental “surat” sebagai alat bukti diatur pada Pasal 184 ayat (1)
huruf c KUHAP. Kemudian secara substansial tentang bukti “surat” ini
ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang berbunyi:
“surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.”
Andi Hamzah berpendapat bahwa surat di bawah tangan masih
mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang
lain.56
4. Petunjuk
Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk adalah sebagai
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara
56
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diperoleh
dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat (2)
KUHAP). Menurut Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang mengatakan bahwa
penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya. Disini tercermin bahwa pada akhirnya
persoalannya diserahkan kepada hakim, dengan demikian menjadi sama
dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan
oleh hakim (eigen waarneming van dde rechter) harus dilakukan selama
sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak
dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu
telah diketahui oleh umum.
5. Keterangan Terdakwa
Dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti
tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa
hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun
pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak
perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti
mempunyai syarat-syarat:
b. Mengaku ia bersalah.
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas
pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van
Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti sah.
D.Simons, agak keberatan mengenai hal ini, karena hak kebebasan terdakwa
untuk mengaku atau menyangkal harus dihormati, oleh sebab itu suatu
penyangkalan terhadap suatu perbuatan mengenai suatu kedaaan tidak dapat
dijadikan bukti. Tetapi suatu hal yang jelas bebeda antara “keterangan
terdakwa” (erkentenis) sebagai alat bukti dengan “pengakuan terdakwa”
(bekentenis) ialah bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan,
tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada
terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.
Istilah visum et repertum ini masih dipertahankan sampai sekarang biarpun
telah ada keinginan untuk merubahnya ke bahasa Indonesia. Hal ini ternyata
dalam naskah RUU Kedokteran Kehakiman yang dibuat oleh Projek Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman 1977/ 1978 dimana istilah
visum diganti dengan surat bedah mayat lengkap sebagai pengganti istilah visum
mayat sekarang.57
57
Amri Amir, Memasyarakatkan ilmu kedokteran kehakiman, ttp, 1979, hlm.11 Dalam KUHAP Visum Et Repertum diatur dalam beberapa Pasal yaitu:
Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Pasal 133 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
“Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat”
Pasal 134 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Dalam hal sangat diperlukan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban”.
Pasal 134 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
“Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut”.
Pasal 135 KUHAP yang berbunyi
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini”.
Dalam KUHP juga terdapat pengaturan yang berhubungan dengan visum
et repertum yaitu:
Pasal 222 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja menghalang-halangi, merintangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau setinggi-tingginya Rp.4.500,-“
Pasal 216 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Pasal 216 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“Yang disamakan dengan pegawai negeri yang dimasukkan dalam bahagian pertama dari ayat di atas ini, ialah segala seorang yang menurut peraturan undang-undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan sesuatu pekerjaan umum”.
Alat-alat bukti yang sah yang dibenarkan oleh undang-undang dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP, yang secara garis besar meliputi:58
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Visum et repertum adalah hasil pemeriksaan seorang dokter, tentang apa
yang dilihatnya, apa yang diketemukannya, dan apa yang ia dengar, sehubungan
dengan seseorang yang luka, seseorang yang terganggu kesehatannya, dan
seseorang yang mati. Dari pemeriksaan tersebut diharapkan akan terungkap
sebab-sebab terjadinya kesemuanya itu dalam kaitannya dengan kemungkinan
telah terjadinya tindak pidana.59
Aktivitas seorang dokter ahli kehakiman sebagaimana tersebut di atas,
dilaksanakan berdasarkan permintaan dari pihak yang berkompeten dengan
masalah tersebut.60
Visum et repertum termasuk kedalam alat bukti surat dan sebagai
pengganti alat bukti (corpus delicti).61
58
H.Nurbama Syarief, Diktat Ilmu Kedokteran Kehakiman, ttp, 1985, Medan, hlm.12
59
Waluyadi, op.cit, hlm.37
60
Ibid.
61
H.Nurbama Syarief, op.cit. hlm.12
dibuat atas sumpah jabatan, yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga surat
tersebut mempunyai keotentikan.62
Sebagaimana dalam Pasal 184 ayat (1) dan Pasal 187 KUHAP, maka
visum et repertum dalam bingkai alat bukti yang sah menurut undang-undang,
masuk dalam kategori alat bukti surat. Dalam proses selanjtnya, visum et
repertum dapat menjadi alat bukti petunjuk. Yang demikian itu didasarkan oleh
karena petunjuk sebagaimana tersebut dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP hanya
dapat diperoleh dari:
1) Keterangan saksi
2) Surat
3) Keterangan terdakwa63
Proses awal visum et repertum yang selanjutnya disebut sebagai alat bukti
surat yang untuk memperoleh visum et repertum tersebut berasal dari kesaksian
dokter terhadap seorang menunjukkan bahwa di dalamnya telah terselip alat bukti
berupa keterangan saksi.
Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan:64
1) Untuk adanya visum et repertum harus ada terlebih dahulu keterangan saksi
2) Alat bukti surat sesungguhnya merupakan penjabaran dari visum et repertum
3) Dari alat bukti tersebut, dapat diperoleh alat bukti baru yaitu petunjuk. Dengan
demikian, antara keterangan saksi, visum et repertum, alat bukti surat dan
petunjuk merupakan empat serangkai yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya.
62
Waluyadi, loc.cit.
63
Ibid.
64