KADAR PROCALCITONIN SEBAGAI MARKER
DAN HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT KEPARAHAN
SEPSIS
T E S I S
DONALD BOY P PURBA
077101016
PROGRAM MAGISTER KLINIS-SPESIALIS
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA
KADAR PROCALCITONIN SEBAGAI MARKER
DAN HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT KEPARAHAN SEPSIS
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran klinik
(Penyakit Dalam)
Dalam program Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi Penyakit Dalam
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
DONALD BOY P PURBA
077101016
PROGRAM MAGISTER KLINIK-SPESIALIS ILMU PENYAKIT DALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : Procalcitonin Sebagai Marker dan
Hubungannya dengan Derajat
Keparahan Sepsis
Nama Mahasiswa : Donald Boy P Purba
Nomor Induk Mahasiswa : 077101016
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Penyakit Dalam
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Yosia Ginting, SpPD KPTI Ketua
Dr. Franciscus Ginting SpPD Anggota
Ketua Program Studi Ketua TKP-PPDS
Dr. Zulhelmi Bustami ,SpPD KGH Dr. H. Zainudin Amir, SpP(K)
Telah diuji pada
Tanggal : Juni 2010
Panitia Penguji Tesis
Ketua : Prof.dr.Sutomo Kasiman, SpPD KKV
Anggota :
1. Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD KGH ……….……...
2. Dr. Abdul Rahim Lubis, SpPD KGH ……….…..
3. Dr. Dharma Lindarto, SpPD KEMD ……….……..
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan kasih dan berkatNya serta telah memberikan
kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini
dengan judul : Kadar Procalcitonin sebagai marker dan hubungannya
dengan derajat keparahan sepsis.
Tesis ini merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan
Magister Kedokteran Klinik Penyakit Dalam dan dokter ahli di bidang llmu
Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya tesis ini, maka penulis ingin menyampaikan
terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada :
1. dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH., selaku Ketua Departemen
llmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang
telah memberikan bimbingan dan kemudahan buat penulis dalam
menyelesaikan pendidikan.
2. dr. Zulhelmi Bustami KGH., dan dr. Dharma Lindarto
SpPD-KEMD., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi llmu Penyakit
Dalam yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan
membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas,
handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan
3. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH., selaku Ketua TKP-PPDS
ketika penulis diterima sebagai peserta Program Pendidikan Dokter
Spesialis llmu Penyakit Dalam yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk diterima sebagai peserta Program Pendidikan
Dokter Spesialis llmu Penyakit Dalam
4. dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI., sebagai Kepala divisi Penyakit Tropis
dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam sebagai Pembimbing I
dan dr.Franciscus Ginting, SpPD., sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan banyak bimbingan, dorongan dan bantuan dalam
menyelesaikan pendidikan.
5. Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD-KKV, SpJP (K)., selaku Ketua Komisi
Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan persetujuan untuk
pelaksanaan penelitian ini
6. Seluruh staf Departemen llmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUD dr
Pirngadi/ RSUP H. Adam Malik Medan : Prof. dr. Harun Rasyid Lubis,
SpPD-KGH., Prof. dr. Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM., Prof. dr.
Habibah Hanum Nasution, SpPD-Kpsi., Prof. dr. Sutomo Kasiman
SpPD-KKV., Prof. dr. Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAl, SpMK., Prof. dr.
Pengarapen Tarigan, KGEH., Prof. dr. OK Moehad Sjah
SpPD-KR., Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH., Prof. dr. M Yusuf
Nasution, SpPD-KGH., Prof. dr. Azmi S Kar, SpPD-KHOM., Prof. dr.
Gontar A Siregar, SpPD-KGEH., Prof. dr. Harris Hasan SpPD,
KKV., dr. Syafii Piliang, KEMD., dr. Betthin Marpaung,
KGEH., dr. Sri M Sutadi KGEH., dr. Mabel Sihombing,
SpPD-KGEH., Dr. dr. Juwita Sembiring, SpPD-SpPD-KGEH., dr. Alwinsyah Abidin,
SpPD-KP., dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH., dr. Dharma
Lindarto SpPD-KEMD., Dr.dr. Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA.,
dr. Refli Hasan SpPD,SpJP (K)., dr.Pirma Siburian SpPD-KGER., dr.
EN Keliat SpPD-KP., dr. Blondina Marpaung SpPD-KR., dr. Leonardo
Dairy SpPD-KGEH., dr. Dairion Gatot SpPD-KHOM., dr. Zainal Safri
SpPD,SPJP., dr. Soegiarto Gani SpPD., dr. Savita Handayani SpPD.,
yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan
arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.
7. dr. Armon Rahimi, SpPD-KPTI., dr. Daud Ginting SpPD., dr. Saut
Marpaung SpPD., dr. Mardianto, SpPD., dr. Zuhrial SpPD., dr. Dasril
Efendi SpPD-KGEH., dr. llhamd SpPD., dr. Calvin Damanik SpPD., dr.
Zainal Safri SpPD.,SpJP., dr. Rahmat Isnanta, SpPD., dr. Santi Safril,
SpPD., dr. Jerahim Tarigan SpPD., dr. Endang Sembiring SpPD., dr.
Abraham SpPD., dr. Syafrizal Nasution SpPD., dr. Imelda Rey SpPD
sebagai dokter kepala ruangan/senior yang telah amat banyak
membimbing saya selama mengikuti pendidikan.
8. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr Pirngadi Medan
yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam
menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang
9. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan
menerima saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.
10. dr. M. Gusti Syahfredi, dr. Abida, dr. Immanual Tarigan, dr. Rini
Miharti, dr. Ira Ramadani, dr. M. Aron Pase,dr. Sari,dr. Fuad, dan dr.
Chacha, yang telah bersama mengalami suka dan duka selama
mengikuti pendidikan.
14. Kepada senior kami dr. Radar Radius Tarigan SpPD., para sejawat
peserta PPDS llmu Penyakit Dalam, perawat dan paramedis
SMF/Bagian llmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan/
RSUD Dr Pirngadi Medan serta Bapak Syarifudin, Kak Leli, Yanti, Ari,
Fitri, Deni dan Ita terima kasih atas kerja sama dan bantuannya
selama ini.
15. Para pasien rawat inap dan rawat jalan di SMF/Bagian llmu Penyakit
Dalam RSUP H Adam Malik Medan/RSUD Dr. Pirngadi Medan,
karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat
menyelesaikan pendidikan ini.
16. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes., yang telah memberikan bantuan
dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.
Rasa hormat dan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis
tujukan kepada ayahanda almarhum Maripin Purba., dan ibunda Tonggo
br Siburian BA, yang sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata
atas segala jasa – jasa ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin
terucapkan dan terbalaskan.
Kepada Ayah mertua Pdt. Saur Pasaribu Sth dan Ibu mertua
Masnur br Siahaan yang telah memberikan dorongan semangat dalam
menyelesaikan pendidikan ini, saya ucapkan terimakasih yang setulusnya,
kiranya Bapa yang di surga selalu memberikan kesehatan dan
kebijaksaaan kepada kalian orangtua yang sangat saya cintai dan
sayangi.
Teristimewa kepada istriku tercinta dr. Nathaly Grace Christiana br
Pasaribu, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan
dukungan yang telah diberikan selama ini, semoga apa yang kita capai ini
dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan
senantiasa diberkati oleh Tuhan Yesus. Demikian juga kepada putraku
yang kusayangi Fredrich Samuel Christofel Purba, yang selalu menjadi
penambah semangat serta pelipur lara dikala senang dan susah semoga
apa yang kita jalani bersama selama ini menjadi pendorong untuk
mencapai cita – cita yang lebih baik lagi.
Terima kasihku yang tak terhingga untuk Abang/kakak: Ir.Sabar
Surya Antariksa Purba, Ir. Victor Ari Krismas Purba/Olophon Rimery br
Simatupang Amd. Ito/lae: Drg. Martha Hasianna br Purba/ Haratua
Marpaung, Shelly Prima Sari br Purba/ Anggiat Gultom Amd., dan seluruh
anggota keluarga yang telah banyak membantu, memberi semangat dan
Kepada semua pihak, baik perorangan maupun yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan pendidikan spesialis ini, kami
mengucapkan terima kasih.
Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya
atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga
segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis
selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat
ganda dari Tuhan Kita Yesus Kristus.
Medan, Juni 2010
Donald Boy P Purba
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... i
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
ABSTRAK ... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar belakang... 1
1.2. Perumusan masalah... 4
1.3. Hipotesa ... 4
1.4. Tujuan Penelitian... 4
1.5. Manfaat penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN... 3
2.1. Biosintesis dan patofisiologi ... 6
2.3. Sepsis... 9
2.3.1. Epidemiologi ... 11
2.3.2. Etiologi ... 12
2.3.3. Patogenesis ... 12
2.3.4. Peran mediator inflamasi pada sepsis... 15
2.4. C-Reactive protein... 15
2.5. Kerangka konseptual... 16
BAB 3 Metodologi ... 17
3.1. Desain penelitian ... 17
3.2. Waktu dan tempat penelitian ... 17
3.3. Populasi penelitian ... 17
3.4. Besar sampel ... 18
3.5. Kriteria yang dimasukkan dan dikeluarkan ... 18
3.5.1. Kritria yang dimasukkan... 18
3.5.2. Kriteria yang dikeluarkan ... 18
3.6. Persetujuan setelah penjelasan... 19
3.7. Etika penelitian ... 19
3.8. Kerangka Operasional... 19
3.9. Cara kerja ... 20
3.9.1.1. Pemeriksaan Procalcitonin ... 20
3.9.1.2. C-Reactive Protein... 22
3.9.1.3. Kultur darah BACTEC... 23
3.10. Defenisi operasional ... 25
3.10.1. Procalcitonin ... 25
3.10.2. Sepsis... 25
3.11. Analisa statistik... 25
BAB 4 Hasil Penelitian... 27
4.1. Karakteristik subjek penelitian ... 27
BAB 5 Pembahasan ... 41
BAB 6 Kesimpulan dan saran... 45
6.1. Kesimpulan... 45
6.2. Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 46
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1.1.Karakteristik dasar penelitian ... 29
Tabel 4.1.2.Data laboratorium pasien secara keseluruhan... 30
Tabel 4.1.3.Tanda vital dan status mental pasien... 31
Tabel 4.1.4.Perbandingan rerata variabel antara infeksi non
sepsis dan sepsis secara keseluruhan... 32
Tabel 4.1.5.Korelasi antara PCT dan CRP pada kelompok sepsis
dan non sepsis ... 33
Tabel 4.1.6.Perbandingan rerata PCT dan CRP berdasarkan
derajat keparahan sepsis ... 34
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1.1.Skema asam amino dari procalcitonin ... 7
Gambar 4.1.1.Rerata kadar Procalcitonin pada infeksi non sepsis,
sepsis, sepsis berat dan syok sepsis ... 35
Gambar 4.1.2.Korelasi kadar PCT dengan derajat keparahan
sepsis ... 36
Gambar 4.1.3.Etiologi sepsis sesuai dengan hasil kultur
darah... ... 38
Gambar 4.1.4.Distribusi pasien berdasarkan diagnosa
sepsis... ... 39
Gambar 4.1.5.Jenis-jenis Antibiotika yang diberikan pada
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.Master Tabel. ... 52
Lampiran 2.Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian.. 54
Lampiran 3.Lembar Persetujuan Subjek Penelitian ... 57
Lampiran 4.Persetujuan Komisi Etik ... 58
DAFTAR SINGKATAN
PCT : Procalcitonin
CRP : C-Reactive Protein
BACTEC : Best Patient Care Drug Neutralization Capabilities
HR : Heart Rate
RR : Respiratory Rate
SIRS : Sistemic Inflamatory Response Syndrome
HB : Haemoglobin
USU : Universitas Sumatera Utara
ICU : Intensive Care Unit
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
WBC : White Blood Cel
AA : Asam amino
BM : Berat Molekul
CGRP : Calcitonin Gene- Related Peptide
mRNA : Messenger Ribo Nucleic Acid
LPS : Lipopolisakarida
ng/ml : nano gram per milliliter
MRSA : Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus
LBP : Lipopolysacharide Binding Protein
kDA : kilo Dalton
TK : Tyrosin Kinase
PKC : Protein Kinase C
TLR2 : Toll Like receptor-2
LTA : Lipotheichoic Acid
Abstract
Background : The mortality on sepsis is still high. It’s because of delayed ofthe treatment resulted from the diagnosis of sepsis estabilished more frequently imprecise. The inflammatory makers as c reactive protein and leucocyte apparently have high sensitivity and specifity where do contemn whereas blood culture examination required so long time and the result of culture often negatively. Research on Procalcitonin (PCT) formering have important of the role for the establishment diagnosis of sepsis because it’s utilized as sepsis marker and in reference to severity sepsis’degree .
Objective: To determine whether procalcitonin can be used as sepsis marker and severity of sepsis.
Method : Patients were assigned as 2 groups, sepsis and without sepsis with their consisting of 21 samples respectively. In the sepsis subgroup separated as sepsis only (8 samples), severe sepsis (6 samples) and sepsis shock (7 samples). All of them were examined by procalcitonin, C reactive protein, blood culture and white blood cell count.
Result : The fourty two of sample were examined (21 samples for sepsis and 21 samples for without sepsis). In the sepsis group were found rate of average PCT'S and CRP rate 18,44±27,60 ng/ml and 64942,80±41199,36 mg/l, respectively. In without sepsis were found average PCT'S and CRP rate 1,33±1,50 ng/ml and 49214,28±38193,31 mg/l,respectively. The subgroup of sepsis separated as sepsis only ( 8 samples), severe sepsis ( 6 samples) and sepsis shock (7 samples) were found rate of average PCT’S 4,5±1,65, 6,34±0,74 and 44,72±36,41 ng/ml, respectively.
A p value <0,05 is considered statistically significant.
Conclusion : The inflammatory marker of procalcitonin can be used as sepsis marker and determined severity of sepsis. This findings showed that PCT́́́́´S rate have positively correlation with severity of sepsis.
Abstrak:
Kadar Procalcitonin sebagai marker dan hubungannya dengan derajat keparahan sepsis
Donald B P Purba, Franciscus Ginting , Yosia Ginting
Latar belakang : Angka kematian pada sepsis masih tinggi. Hal ini dikarenakan kerterlambatan dalam penatalaksanaan oleh karena penegakan diagnose sepsis sering tidak tepat. Marker inflamasi seperti C-reactive protein dan leukosit ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah sedangkan pemeriksaan kultur membutuhkan waktu yang lama dan hasil yang didapatkan sering negative. Procalcitonin (PCT) pada penelitian-penelitian terdahulu memiliki peran yang penting dalam penegakan diagnose sepsis oleh karena dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berhubungan dengan derajat keparahan sepsis.
Tujuan : Untuk mengetahui apakah Kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berhubungan dengan derajat keparahan sepsis.
Metode : Pasien yang memenuhi kriteria dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu sepsis dan non sepsis dengan masing-masing terdiri dari 21 orang sampel. Khusus untuk kelompok sepsis dibagi lagi menjadi sepsis (8 sampel), sepsis berat (6 sampel) dan syok sepsis (7 sampel). Kemudian dilakukan pemeriksaan kadar Procalcitonin, C-reactive protein, kultur dan darah lengkap.
Hasil : Terdapat 42 sampel yang diperiksa (21 sepsis dan 21 non sepsis). Dari kelompok sepsis secara keseluruhan didapatkan rerata kadar PCT dan CRP masing-masing 18,44±27,60 ng/ml dan 64942,80±41199,36 mg/l. Kelompok non sepsis didapatkan rerata kadar PCT dan CRP 1,33±1,50 ng/ml dan 49214,28±38193,31 mg/l secara berurutan. Pasien sepsis yang terbagi atas sepsis ( 8 orang), sepsis berat ( 6 orang) dan syok sepsis (7 orang) didapatkan rata-rata PCT 4,5±1,65 , 6,34±0,74 dan 44,72±36,41 ng/ml secara berurutan. Hal ini bermakna secara statistik, p<0,05.
Kesimpulan : Kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berkorelasi positif dengan derajat keparahan sepsis.
Abstract
Background : The mortality on sepsis is still high. It’s because of delayed ofthe treatment resulted from the diagnosis of sepsis estabilished more frequently imprecise. The inflammatory makers as c reactive protein and leucocyte apparently have high sensitivity and specifity where do contemn whereas blood culture examination required so long time and the result of culture often negatively. Research on Procalcitonin (PCT) formering have important of the role for the establishment diagnosis of sepsis because it’s utilized as sepsis marker and in reference to severity sepsis’degree .
Objective: To determine whether procalcitonin can be used as sepsis marker and severity of sepsis.
Method : Patients were assigned as 2 groups, sepsis and without sepsis with their consisting of 21 samples respectively. In the sepsis subgroup separated as sepsis only (8 samples), severe sepsis (6 samples) and sepsis shock (7 samples). All of them were examined by procalcitonin, C reactive protein, blood culture and white blood cell count.
Result : The fourty two of sample were examined (21 samples for sepsis and 21 samples for without sepsis). In the sepsis group were found rate of average PCT'S and CRP rate 18,44±27,60 ng/ml and 64942,80±41199,36 mg/l, respectively. In without sepsis were found average PCT'S and CRP rate 1,33±1,50 ng/ml and 49214,28±38193,31 mg/l,respectively. The subgroup of sepsis separated as sepsis only ( 8 samples), severe sepsis ( 6 samples) and sepsis shock (7 samples) were found rate of average PCT’S 4,5±1,65, 6,34±0,74 and 44,72±36,41 ng/ml, respectively.
A p value <0,05 is considered statistically significant.
Conclusion : The inflammatory marker of procalcitonin can be used as sepsis marker and determined severity of sepsis. This findings showed that PCT́́́́´S rate have positively correlation with severity of sepsis.
Abstrak:
Kadar Procalcitonin sebagai marker dan hubungannya dengan derajat keparahan sepsis
Donald B P Purba, Franciscus Ginting , Yosia Ginting
Latar belakang : Angka kematian pada sepsis masih tinggi. Hal ini dikarenakan kerterlambatan dalam penatalaksanaan oleh karena penegakan diagnose sepsis sering tidak tepat. Marker inflamasi seperti C-reactive protein dan leukosit ternyata memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah sedangkan pemeriksaan kultur membutuhkan waktu yang lama dan hasil yang didapatkan sering negative. Procalcitonin (PCT) pada penelitian-penelitian terdahulu memiliki peran yang penting dalam penegakan diagnose sepsis oleh karena dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berhubungan dengan derajat keparahan sepsis.
Tujuan : Untuk mengetahui apakah Kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berhubungan dengan derajat keparahan sepsis.
Metode : Pasien yang memenuhi kriteria dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu sepsis dan non sepsis dengan masing-masing terdiri dari 21 orang sampel. Khusus untuk kelompok sepsis dibagi lagi menjadi sepsis (8 sampel), sepsis berat (6 sampel) dan syok sepsis (7 sampel). Kemudian dilakukan pemeriksaan kadar Procalcitonin, C-reactive protein, kultur dan darah lengkap.
Hasil : Terdapat 42 sampel yang diperiksa (21 sepsis dan 21 non sepsis). Dari kelompok sepsis secara keseluruhan didapatkan rerata kadar PCT dan CRP masing-masing 18,44±27,60 ng/ml dan 64942,80±41199,36 mg/l. Kelompok non sepsis didapatkan rerata kadar PCT dan CRP 1,33±1,50 ng/ml dan 49214,28±38193,31 mg/l secara berurutan. Pasien sepsis yang terbagi atas sepsis ( 8 orang), sepsis berat ( 6 orang) dan syok sepsis (7 orang) didapatkan rata-rata PCT 4,5±1,65 , 6,34±0,74 dan 44,72±36,41 ng/ml secara berurutan. Hal ini bermakna secara statistik, p<0,05.
Kesimpulan : Kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis dan berkorelasi positif dengan derajat keparahan sepsis.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui
dan ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat
tersebut. Meskipun SIRS, sepsis dan syok sepsis biasanya berhubungan
dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteremia. Bakteremia
adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah.
Bakteremia bersifat sepintas, seperti biasanya dijumpai setelah jejas pada
permukaan mukosa, primer ( tanpa fokus infeksi teridentifikasi ) atau
seringkali sekunder terhadap fokus infeksi intravaskuler atau
ekstravaskuler.1
Telah lama diketahui bahwa beberapa tes laboratorium yang
dapat digunakan untuk mengetahui adanya proses-proses inflamasi
seperti jumlah leukosit, laju endap darah, C-reaktif protein (CRP), Tumor
Necrosis Factor dan Interleukin 1 dan 6. Namun berbagai tes tersebut
tidaklah terlalu spesifik, karena itu sulit sekali membedakan diagnose
antara Systemic Inflammatory Respons Syndrome (SIRS) dan sepsis
dalam waktu yang cepat , karena harus menunggu hasil kultur darah
selama beberapa hari, sementara pasien harus mendapat pengobatan
yang cepat dan tepat dalam waktu segera dan hasil kultur darah positif
bisa juga karena faktor kontaminasi dan hasil kultur negatif belum tentu
Pengukuran secara klinis dan laboratorium adalah kurang sensitif
dan spesifik sehingga diperlukan tes yang dapat membedakan antara
inflamasi karena infeksi dan inflamasi karena non infeksi. Akhir-akhir ini
telah dikembangkan tes baru untuk mendeteksi inflamasi karena infeksi
yaitu PCT. Tes ini banyak digunakan untuk membedakan antara SIRS dan
sepsis.5,6
PCT dikenal sebagai protein yang dirangsang oleh inflamasi sejak
tahun 1993. Sejak saat itu banyak penelitian yang menunjukkan
peningkatan protein ini pada plasma yang berhubungan dengan infeksi
berat, sepsis dan syok sepsis. PCT juga dapat membantu dalam
differensial diagnosis penyakit infeksi atau bukan, menilai keparahan
sepsis dan juga respon dari pengobatan.6,7
PCT adalah prohormon calcitonin, kadarnya meningkat saat sepsis
dan sudah dikenali sebagai petanda penyakit infeksi. Kepekatan
procalcitonin dapat mencapai 1000 ng/ml saat sepsis berat dan syok
sepsis.8
Pengukuran PCT secara berkala dapat digunakan untuk memonitor
perjalanan penyakit dan sebagai tindak lanjut (monitoring) dari terapi pada
semua infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Peningkatan nilai PCT atau
nilai yang tetap konsisten tinggi menunjukkan aktifitas penyakit yang
berkelanjutan. Penurunan nilai PCT menunjukkan menurunnya reaksi
inflamasi dan terjadi penyembuhan infeksi.9,10
Kenaikan serum PCT adalah berhubungan erat dengan infeksi
bakteri sistemik dan keadaan inflamasi akut yang bukan disebabkan
infeksi.11
Canan Balci dkk, pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang
penggunaan PCT untuk diagnosa sepsis yang dilakukan pada ruang
intensif. Mereka mendapatkan bahwa PCT merupakan parameter
diagnostik yang paling akurat untuk membedakan antara SIRS dan sepsis,
dan PCT dapat membantu dalam monitoring pasien yang sakit berat.11
Penelitian oleh FM Brunkhorst dkk pada tahun 2000 mendapatkan
bahwa kadar PCT berhubungan dengan derajat keparahan sepsis. Kadar
PCT berbeda cukup signifikan pada masing-masing tingkatan sepsis,
demikian juga hasil yang sama diperoleh pada penelitian oleh Gholamali
Ghorbani dkk pada tahun 2008 dan Gian Paolo Castelli pada tahun
2000.12,13,14
Penelitian oleh Cut Murzalina dkk pada tahun 2008 mendapatkan
bahwa peningkatan kadar PCT dapat digunakan untuk menegakkan
sepsis secara dini. Namun penelitian ini hanya dilakukan pada
pasien-pasien sepsis di ICU dan tidak ada membandingkan pasien-pasien sepsis dan
infeksi non sepsis sehingga tidak dapat diketahui perbandingan kadar
PCT pasien sepsis dengan infeksi non sepsis dan hubungan antara kadar
PCT dengan derajat keparahan sepsis.15
Di Bangsal penyakit dalam Rumah Sakit H. Adam Malik Medan,
angka kematian oleh karena sepsis ternyata cukup tinggi yaitu 520 per
tahun. Namun apakah kematian tersebut benar disebabkan oleh sepsis
yang ternyata hasilnya tidak selalu positif, sehingga sangat diperlukan
pemeriksaan lain seperti PCT untuk dapat digunakan sebagai marker
sepsis dan mengetahui hubungannya dengan derajat keparahan sepsis
sehingga diagnosa dan penatalaksanaan sepsis dapat lebih cepat dan
tepat yang menyebabkan penurunan angka mortalitas. Hal-hal inilah yang
menjadi latar belakang timbul keinginan untuk meneliti tentang PCT pada
sepsis.
1.2. Perumusan masalah
1. Apakah Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis?
2. Apakah ada hubungan kadar Procalcitonin dengan derajat
keparahan sepsis ?
1.3. Hipotesa
1. Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker sepsis.
2. Ada hubungan antara kadar Procalcitonin dengan derajat
keparahan Sepsis.
1.4. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah kadar Procalcitonin dapat digunakan
sebagai marker sepsis.
2. Untuk mengetahui hubungan kadar Procalcitonin dengan derajat
keparahan sepsis.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Di bidang akademik/ ilmiah : meningkatkan pengetahuan peneliti di
kadar Procalcitonin sebagai marker sepsis dan hubungannya
dengan derajat keparahan sepsis.
1.5.2. Di bidang pelayanan kesehatan masyarakat : Dengan mengetahui
bahwa kadar Procalcitonin dapat digunakan sebagai marker dan
berhubungan dengan derajat keparahan sepsis maka diagnosa dan
penatalaksanaan sepsis menjadi lebih cepat dan tepat.
1.5.3. Di bidang pengembangan penelitian : memberi data awal kepada
Divisi PTI tentang kadar procalcitonin sebagai marker dan
hubungannya dengan derajat keparahan sepsis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biosintesis dan patofisiologi Procalcitonin
PCT pertama kali diidentifikasi dari sel medullary tiroid carcinoma.
PCT adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino (AA) dengan BM ± 13
kDa, yang dikode dengan gen Calc-I yang terletak pada kromosom 11 dan
diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari calcitonin
6,11,16,17
.
Gen Calc-I menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh
tissue-spesific alternative splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1-4 dari 6
exon yang merupakan kode untuk prePCT, adalah sebuah rantai peptide
yang terdiri dari 141 asam amino dimana memiliki sebuah rantai peptide
yang terdiri dari 25 asam amino signal hidrophobik. Pada sel C kelenjar
tiroid, proses proteolitik menghasilkan sebuah fragmen N-terminal (57 AA),
calcitonin (32 AA) dan katacalcin (21 AA). Kehadiran sinyal peptide
membuat PCT disekresikan secara intak setelah glikosilasi oleh sel lain.
Transkrip yang kedua di potong secara terpilih yang mengandung exon
1,2,3,5,6 dan merupakan kode untuk Calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP), dimana CGRP diekspresikan secara luas pada saraf di otak,
pembuluh darah dan saluran cerna. CGRP ini mempunyai peranan dalam
Gambar 2.1.1. Skema asam amino dari procalcitonin.3
Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan
bahwa tiroid C cell bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT
mensekresikan semua produk-produk biosintetik pathway dan telah
dideteksi dalam homogenitas small cell carcinoma pada paru manusia.
PCT mRNA diekspresikan pada sel monuklear darah perifer manusia dan
bermacam-macam sitokin proinflamatory dan lipopolisakarida mempunyai
efek stimulasi. Sekitar 1/3 dari limfosit dan monosit manusia yang tidak di
stimulasi mengandung protein PCT yang dapat didemonstrasikan secara
imunologi, keadaan ini dipicu oleh lipopolisakarida bakteri, tetapi monosit
dari pasien dengan syok sepsis memperlihatkan nilai basal yang
meningkat dan peningkatan kadar PCT yang di stimulasi oleh
lipopolisakarida.7,17
Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolisis spesifik
gagal sehingga terjadi konsentrasi yang tinggi dari protein precursor,
begitu juga fragmen PCT yang berakumulasi dalam plasma. Asal mula
utama PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total tetap mampu
menghasilkan PCT pada keadaan sepsis.17,18
Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan
injeksi lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah yang rendah. Peninggian
konsentrasi PCT, pertama kali terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin
dan dalam waktu 6 hingga 8 jam kadar PCT akan meningkat dan mencapai
plateu dalam waktu ± 12 jam. Setelah 2-3 hari, kadar PCT akan kembali
normal. Induksi yang spesifik dan cepat oleh stimulus yang adekuat akan
menimbulkan produksi yang tinggi dari PCT pada pasien dengan infeksi
bakteri berat atau sepsis. Keadaan ini memperlihatkan patofisiologi PCT
pada respon imun akut.7,19
Pada orang sehat PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke
aliran darah, karena itu kadar PCT tidak terdeteksi (< 0,1 ng/ml). Tetapi
selama infeksi berat yang bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat
meningkat hingga melebihi 100 ng/ml. Berbeda dengan waktu paruh
calcitonin yang hanya 10 menit, PCT memiliki waktu paruh yang panjang
yaitu 25-30 jam.6,16
2.2. Hal-hal yang mempengaruhi kadar Procalcitonin.
Kadar PCT sangat stabil baik secara in vivo atau ex vivo walaupun
pada suhu ruangan. Juga terhadap pembekuan dan pencairan tidak
mempengaruhi konsentrasi PCT secara signifikan. Konsentrasi PCT pada
sampel arteri dan vena juga tidak berbeda. Tidak ada perbedaan
konsentrasi PCT dalam sampel serum dan plasma dengan anti koagulan
lithium-heparin. Bagaimanapun, perbedaan ini sangat kecil dengan rata-rata
perbedaan <8%. Selain itu, kehilangan konsentrasi PCT sehubungan
dengan penyimpanan pada suhu 25ºC juga rendah. Walau setelah 24 jam
penyimpanan pada suhu ruangan, hanya 12,4% (mean) dari konsentrasi
sebenarnya yang hilang dan sebanyak 6,3% (mean) yang hilang pada
suhu 4C. Penyimpanan pada suhu ruangan lebih disarankan. Persentase
kerusakan konsentrasi PCT pada suhu 25°C dan 4°C adalah sama untuk
kadar yang tinggi (PCT > 8 ng/ml) dan kadar yang rendah (PCT <8
ng/ml).20
Konsentrasi PCT berhubungan dengan ringan atau beratnya infeksi,
tetapi tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. Namun demikian, kadar PCT
tertinggi dijumpai pada pasien infeksi jamur, khususnya infeksi aspergillus.
Pada infeksi jamur seperti kandidiasis mukosa mulut, kadar PCT berada
dalam batas normal. Rata-rata kadar PCT tidak dapat dibedakan secara
signifikan pada pasien yang diinfeksi oleh bakteri atau jamur yang berbeda.
Kadar PCT menurun pada pasien yang berhasil (membaik) diterapi dengan
antibiotik atau anti jamur yang efektif.21
2.3. SEPSIS
Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi,
dimana lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah
sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan
perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah leukosit, tachycardia dan
tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan
Pada tahun 1992, menurut The American College of Chest Physician
(ACCP) and The Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus
Conference on Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan
suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis
dan keadaan-keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsis
dibawah ini:
- Bakteremia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur
darah positif.
- SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau
lebih keadaan berikut :
1. Suhu > 38ºC atau < 36ºC
2. Takikardia (HR > 90 kali/menit)
3. Takipneu (RR > 20 kali/menit) atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit darah > 12.000/µL, < 4.000/µL atau neutrofil
batang > 10%
- Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman.
- Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi
atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan
penurunan kesadaran.
- Syok sepsis : sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan
resusitasi cairan secara adekuat, bersama dengan
disfungsi organ.
mmHg dari tekanan darah normal pasien.
- Multiple Organ Dysfunction Syndrome: Disfungsi dari satu organ atau
lebih, memerlukan Intervensi untuk mempertahankan homeostasis.1,22
Internasional Sepsis Definitions Conference pada tahun 2001
menambahkan beberapa kriteria diagnosis baru untuk sepsis.
Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari PIRO yaitu
penetapan predisposisi, insult infection (keadaan infeksi), respon
fisiologis dan organ disfunction.1,23
2.3.1. Epidemiologi
Sepsis dalam 20 tahun terakhir meningkat di Amerika Serikat, di
perkirakan jumlah kasus sepsis 400.000 – 500.000 setiap tahunnya. Data
di Amerika Serikat menunjukkan pada tahun 1979 tercatat 164.000 kasus
sepsis (82,7/100.000 populasi), sedangkan pada tahun 2000 tercatat
660.000 kasus (240,4/100.000 populasi) sehingga terjadi peningkatan
insiden pertahun 8,7%. Sepsis merupakan penyebab terbanyak kematian
di ruang 33 rawat intensif pada seluruh dunia dengan angka mortalitas
20% untuk sepsis, 40% sepsis berat dan > 60% syok sepsis. Di Amerika
Serikat, sepsis merupakan penyebab kematian utama pada pasien jantung
yang dirawat di Intensive care unit (ICU).24
2.3.2. Etiologi
Infeksi pada sepsis dapat disebabkan oleh bakteri gram negative
atau gram positif. Selama periode 1979 – 2000 di Amerika Serikat angka
kuman yang tumbuh, 52,1% diantaranya adalah gram positif, 37,5% gram
negatif, 4,7% polimikrobial, 4,6% jamur dan 1% bakteri anaerob. Infeksi
bakteri gram positif terus meningkat disebabkan oleh peningkatan infeksi
nosokomial dari berbagai sumber seperti kateterisasi atau terapi
imunosupresif. Hal ini ditunjukkan dari meningkatnya kasus MRSA
(Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus) dari 29% menjadi 45%.
Infeksi terutama terjadi pada saluran nafas (40-44%), diikuti oleh infeksi
saluran genitourinarius (9-18%) dan infeksi intra abdominal (9-14%).25
2.3.3. Patogenesis
Perbedaan stadium pada sepsis merupakan suatu kesinambungan,
dimana kondisi pasien sering berubah dari stadium ke stadium dalam
beberapa hari atau bahkan hanya beberapa jam setelah masuk rumah
sakit.
Sepsis umumnya dimulai dengan infeksi lokal, dimana bakteri masuk
kedalam aliran darah secara langsung menyebabkan bakteremia atau bisa
juga berproliferasi secara lokal dan melepaskan toksin kedalam aliran
darah. Toksin ini bisa muncul dari komponen struktur bakteri ( contohnya,
endotoksin, teichoic acid antigen) atau bisa juga sebagai eksotoksin
dimana protein-protein disintesa dan dilepaskan oleh bakteri. Endotoksin
yang dimaksud adalah lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada bakteri
gram negatif. Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat
Pada bakteri gram negatif, dinding sel terdiri dari 3 lapisan yaitu
membrane luar, periplasma dan membran dalam. Lipopolisakarida terdapat
pada membran luar dinding sel, yang terdiri dari 3 bagian: antigen O, core
dan lipid A. Antigen O adalah polimer yang tersusun dari 4-5 monosakarida,
salah satu ujung dari rantainya terpapar pada permukaaan bakteri, ujung
lainnya berikatan dengan core. Core berikatan dengan lipid A. Lipid A
merupakan fosfolipid dengan basis glukosamin. Lipid A berikatan dengan
membran luar dinding sel pada gugus asil yang bersifat hidrofobik. Lipid A
merupakan bagian LPS yang bersifat toksik, dimana gugus fosfat pada
posisi C1 dan C4 menentukan toksisitasnya. Struktur core pada LPS
berbeda pada setiap spesies bakteri. Core LPS pada E.coli berbeda
dengan Pseudomonas aeruginosa ataupun dengan Klebsiella
pneumonia.26
Injeksi LPS pada hewan percobaan dan manusia menimbulkan
tanda dan gejala demam, hipotensi dan pelepasan mediator inflamasi.
Monosit atau makrofag, netrofil dan sel endotel berperan dalam respon
terhadap infeksi dan mempunyai reseptor terhadap endotoksin. Suatu
protein di dalam plasma dikenal dengan lipopolysacharide binding protein
(LBP), dengan berat molekul 55 kDa dan disintesis oleh hepatosit berperan
penting dalam metabolism LPS. LBP terdapat dalam 2 bentuk, bentuk
terlarut dan dalam ikatan dengan reseptor LPS yaitu CD14.26
Bila LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor
inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan
mempercepat ikatan dengan CD14 di permukaan sel maupun CD14
terlarut. Selanjutnya kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal
intraseluler melalui nuclear factor kappa B (NFkB), tyrosin kinase (TK),
protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan
diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga
akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like resceptor-2(TLR2).26
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri yang
merupakan induktor sitokin adalah lipotheichoic acid (LTA) dan
peptidoglikan (PG). LTA merupakan polimer gliserol dan fosfat, berikatan
dengan membrane sel monosit pada gugus asil di reseptor LTA (reseptor
scavenger tipe 1). Mekanisme transduksi sinyal intrasel LTA masih belum
jelas. Peptidoglikan terdiri dari polimer ß1-4, glukosamin-N- asam
asetilmuramat, dengan ikatan silang ntibio. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa PG dapat menginduksi produksi sitokin pada monosit
dengan ikatan pada CD14. Mekanisme transduksi sinyal intrasel PG juga
belum diketahui.26,28
Pada infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes
dapat terjadi sindrom renjatan toksik (toxic shock syndrome/TSS).
Mekanisme yang berperan adalah diproduksinya eksotoksin yang bersifat
superantigen. Pada keadaan normal antigen akan diproses oleh Antigen
presenting cells (APC) dan membentuk kompleks histokompatibilitas
mayor (MHC) tipe II dan dipresentasikan pada reseptor sel T (T
kompleks dengan MHC dan TCR sehingga terjadi proliferasi sel T dan
produksi sitokin yang berlebih.26,28
2.3.4. Peran mediator inflamasi pada sepsis
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan host terhadap
infeksi dan invasi mikroorganisme. Immunitas host bereaksi dengan
melepaskan protein endogen, aktivasi sel sehingga mikroorganisme dapat
dibunuh, sel-sel yang rusak dibersihkan dan terjadi perbaikan jaringan.28
Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang
berlebih. Mediator inflamasi ini mencakup sitokin yang bekerja lokal
maupun sistemik, mengaktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel,
trombosit dan sel lainnya; aktivasi kaskade protein plasma seperti
komplemen, sistem koagulasi dan fibrinolisis; pelepasan proteinase dan
mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator yang bersifat
proinflamasi, dilepaskan pula mediator yang bersifat anti inflamasi seperti
sitokin anti inflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor
proteinase dan berbagai hormon.28
2.4. C-Reactive protein (CRP).
CRP merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan
oleh hepatosit, merupakan suatu petanda inflamasi yang memberikan
respon pada keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase
akut ini dapat berupa respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja
terjadi pada kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan keganasan. Secara
kepada perubahan konsentrasi dari protein-protein fase akut itu sendiri,
yang dapat bersifat positif dan negative, dalam artian dapat naik ataupun
turun sebanyak 25%.29
Protein fase akut ini sebenarnya terdiri dari banyak jenis dari sistem
komplemen, sistem kagulasi dan fibrinolitik, anti protease, protein
transport dan lain-lain yang akan mengalami perubahan konsentrasi, baik
berupa peningkatan maupun penurunan sebesar 25% dan termasuk di
dalamnya adalah CRP.29
Pada orang sehat didapati bahwa nilai tengah kadar CRP di
sirkulasi adalah 0,8 mg/L, dimana bila terdapat stimulus yang bersifat akut,
dapat terjadi peningkatan hingga 10.000 kali dari nilai normalnya. Waktu
paruh dari CRP ini kira-kira 19 jam dan dari penelitian ternyata didapatkan
hal ini konstan pada seluruh keadaan baik pada orang sehat maupun
pada orang sakit.29
2.5. Kerangka Konseptual.
INFEKSI
SEPSIS
NON SEPSIS
KADAR PCT
BAB 3
METODOLOGI
3.1. Desain penelitian
Desain penelitian adalah potong lintang dan bersifat deskriptif
analitik.
3.2. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan April sampai Juni 2010 di Ruang
Rawat inap terpadu penyakit dalam dan Ruang ICU RSH.Adam
Malik Medan.
3.3 Populasi penelitian
Populasi adalah semua penderita sepsis .
Sampel adalah semua penderita sepsis yang dirawat Ruang rawat
inap terpadu penyakit dalam dan ruang ICU RSUP H. Adam malik
Medan. Sebagai kelompok kontrol adalah pasien infeksi yang tidak
mengalami sepsis yang diambil dari ruang rawat inap terpadu
3.4 . Besar Sampel
Perkiraan besar sampel :
N = ( Zα+ Zβ) Sd 2 Keterangan :
d α = 0,05 Zα = 1,96
= ( 1,96 + 1,036) 1,171 2 β = 0,15 Zβ = 1,036
0,8 Sd = Standart deviasi PCT= 1,171
= (4,385)2 d = 0,8
= 19,2 ≈ 19 pasang orang (jumlah minimal sampel 19 orang
kontrol dan 19 orang pasien sepsis).
3.5 Kriteria yang dimasukkan dan yang dikeluarkan
3.5.1. Kriteria yang dimasukkan
Pasien sepsis berusia diatas 17 tahun
3.5.2. Kriteria yang dikeluarkan
• Sepsis dengan pancreatitis
• Sepsis dengan Carcinoma tiroid
• Sepsis dengan HB<5 g/dl
• Sepsis dengan severe trauma
• Sepsis dengan post CABG
• Sepsis dengan Ca Paru
3.6. Persetujuan setelah penjelasan/Informed Consent
Seluruh subjek penelitian dimintakan persetujuan secara tertulis
tentang
Kesediaan mengikuti penelitian ( Informed Consent).
3.7 Etika Penelitian
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran
Universitas
Sumatera Utara.
3.8. Kerangka Operasional
Pasien Sepsis
Kadar
Procalcitonin Hubungan ? Derajat Keparahan sepsis
Darah lengkap, CRP, kultur
Analisa Statistik
3.9. Cara Kerja
3.9.1.Bahan dan prosedur penelitian
3.9.1.1. Pemeriksaan PCT
• Metode pemeriksaan : ELFA
• Persyaratan sampel : Serum, plasma (Li Heparin)
• Nilai rujukan : <0,05 ng/ml
• Reagen/ alat : Elecsys BRAHMS PCT /COBAS e 601
Pengambilan sampel darah
• Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti dengan terlebih
dahulu dilakukan tindakan anti septik dengan alkohol 70% dan
dibiarkan kering. Pengambilan darah sebanyak 6 cc dilakukan
dengan menggunakan dispossible syringe 10 cc yang dibagi
atas 2 bagian. Bagian pertama sebanyak 3 cc darah dengan
antikoagulan EDTA untuk pemeriksaan darah lengkap. Bagian
kedua sebanyak 3 cc darah tanpa antikoagulan dan diambil
serumnya untuk pemeriksaan PCT Pengambilan sampel darah
dilakukan tanpa memperdulikan hari keberapa pasien dirawat,
dimana apabila ditemukan pasien sepsis maka diambil sampel
darahnya dalam waktu 24 jam. Dan pada saat pengambilan
sampel darah , pasien dalam posisi berbaring.
Prinsip tes : Sandwich principle. Total durasi pemeriksaan : 18
• Inkubasi 1 : antigen dalam sampel (30uL), suatu antibody
spesifik PCT biotinylated monoclonal dan suatu antibody
spesifik monoklonal yang di label dengan kompleks ruthenium
dan bereaksi membentuk kompleks sandwich.
• Inkubasi 2 : Setelah penambahan mikropartikel yang dilapisi
streptavidin, kompleks akan menjadi berikatan ke solid phase
melalui interaksi dari biotin dan streptavidin
• Campuran reaksi diaspirasi kedalam masuring cell dimana
mikropartikel ditangkap secara magnetic ke permukaan
elektroda. Substansi yang tidak berikatan kemudian
dipindahkan dengan Procell. Aplikasi voltase terhadap
elektroda akan menginduksi emisi chemiluminescent yang
diukur oleh photomultiplier.
• Hasil ditentukan melalui kurva kalibrasi yang merupakan
instrument spesifik oleh 2-point calibration dan suatu kurva
master yang disediakan melalui barcode reagen.
Nilai PCT (ng/ml)
• kategori I : < 0,05 ng/ml : Normal
• kategori II : 0,05 ng/ml - < 2 ng/ml : Infeksi non sepsis
• kategori III : 2 ng/ml - < 5 ng/ml : Sepsis
• Kategori III : 5 – 10 ng/ml : Sepsis berat
• kategori IV : > 10 ng/ml: Syok sepsis
Darah dengan antikoagulan EDTA segera dilakukan pemeriksaan
dilakukan dengan alat Cell Dyne 3700 dan morfologi ® darah tepi
diidentifikasi dari blood film dengan pewarnaan Giemsa. Pemeriksaan Laju
Endap Darah dilakukan dengan cara Westergren.
3.9.1.2. C-Reactive Protein (CRP)
Metode : Imunochemiluminescent
Sampel :
Jenis : Serum/ Plasma (EDTA/ Heparin)
Jumlah : 0,2 (0,1) ml
Stabilitas : 2-8 oC : 3 hari
: -20oC : 2 bulan
Catatan : Sampel lipemik harus dilakukan sentrifuge sebelum
diperiksa. Hindari Menggunakan sampel beku ulang
Persiapan Sampel: Sampel harus diencerkan 1:101 dengan CRP
sample diluent misal 10 ul serum/plasma + 1000 ul CRP sample
diluent
Reagen
Jenis : Reagen C-Reactive Protein DCP
Alat : Immulite
Prinsip Kerja : Immulite C-reactive Protein adalah pemeriksaan
imunometrik berlabel enzim chemiluminescent yang didasarkan pada
antibodi monoklonal berlabel ligand dan pemisahan oleh fase padat yang
dilapisi anti ligand. Sampel yang telah diencerkan, ligand berlabel antibodi
monoklonal anti CRP dimasukkan ke dalam test unit yang mengandung
sekali pengocokan. Selama pengocokan, CRP dalam sampel membentuk
komplek sandwich antibodi yang berikatan dengan anti ligand pada fase
padat. Konjugat yang tidak berikatan dibuang pada pencucian berputar,
kemudian ditambahkan substrat dan test unit diinkubasi selama 10 menit.
Substrat chemiluminescent, ester phosphate dari adamanthyl dioxetan
mengalami hidrolisis dengan adanya alkaline phosphatase menghasilkan
emisi cahaya yang terus menerus jadi memperbaiki presisi dengan
menyediakan jendela pembacaan multipel. Ikatan komplek dan photon
yang dihasilkan, diukur dengan luminometer sebanding dengan
konsentrasi CRP dalam sampel
Interpretasi Hasil :
Secara otomatis hasil tampak dilayar komputer dan akan dicetak pada
printer.
Hasil dalam satuan ng/ml
Nilai rujukan : < 11 mg/l
3.9.1.3. KULTUR DARAH DAN GAL DENGAN BACTEC 9050
Prinsip Pemeriksaan: Membiakkan dan menginokulasikan bakteri yang
terdapat pada sample darah pada media agar. Jika terdapat pertumbuhan
koloni bakteri, dilakukan identifikasi dan selanjutnya dilakukan uji
kepekaan.
Metode: Kultur
Sampel
• Jenis : Darah
• Stabilitas: 24 Jam pada suhu ruang pada media Bactec plus
Aerobic
Langkah Kerja
• Persiapan
• Prosedur Kerja
Penanganan Sampel
- Disinfeksi penutup botol dengan kapas alkohol 70%
- Dengan menggunakan spuilt, masukkan 8-10 ml (untuk pasien
dewasa) darah ke dalam botol Bactec Plus Aerobic atau 1-3 ml
(untuk pasien anak) darah ke dalam botol Bactec Peds Plus.
- Masukkan botol ke alat Bactec 9050
- Inkubasi botol fan aerobic selama 5 hari
- Keluarkan botol dari alat Bactec 9050
Inokulasi Sampel
- Dengan menggunakan spuit, ambil 1 ml sampel dari botol yang
menunjukan hasil positif kemudian ratakan dengan ose
(dilakukan secara aseptis) pada permukaan media agar.
- Inkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam.
- Lakukan pewarnaan Gram, identifikasi dan atau uji kepekaan
terhadap koloni tersangka
Catatan : untuk kultur Gal, lakukan konfirmasi dengan test serologi
3.10. Definisi Operasional
3.10.1. Procalcitonin ( PCT) : adalah protein yang terdiri dari 116 asam
amino (AA) dengan BM ± 13 kDa, yang dikode dengan gen Calc-I yang
terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid
sebagai prohormon dari calcitonin.
3.10.2. Sepsis :
- Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman.
- Sepsis berat : sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi
atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan
penurunan kesadaran.
- Syoksepsis : sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusi-
tasi cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi
organ.
3.11. Analisa Statistik
3.11.1. Untuk melihat gambaran karasteristik dan kadar PCT pada
kelompok sepsis dan infeksi non sepsis disajikan dalam bentuk
tabulasi dan dideskripsikan.
3.11.2. Untuk melihat perbedaan rata-rata variabel antara kelompok
sepsis dan infeksi non sepsis digunakan uji T independen jika
data berdistribusi normal dan jika sebaliknya digunakan uji Mann-
3.11.3. Untuk melihat hubungan variabel dengan kadar PCT pada
kelompok sepsis dan infeksi non sepsis digunakan uji korelasi
Pearson Jika kedua kelompok berdistribusi normal, dan jika
sebaliknya digunakan uji korelasi Spearman.
3.11.4. Untuk melihat perbedaan rata-rata variabel dengan derajat
keparahan sepsis digunakan uji Anova.
3.11.5. Hasil analisa bermakna secara statistik jika p<0,05.
3.11.6. Pengolahan data dilakukan dengan program komputer.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Karakteristik Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan april 2010 hingga Juni 2010
pada Ruang rawat inap terpadu penyakit dalam dan ruang ICU RSUP H.
Adam Malik Medan. Pada pelaksanaan penelitian didapatkan 42 orang
sampel penelitian, yaitu 21 orang penderita infeksi non Sepsis dan 21
orang penderita sepsis. Dari 21 orang penderita sepsis dibagi menjadi 3
kelompok sesuai dengan derajat keparahan sepsis, yaitu sepsis, sepsis
berat dan syok sepsis sebanyak 8 orang,6 orang dan 7 orang secara
berurutan.
Pada penelitian ini kelompok sepsis dijumpai pria sebanyak 5
orang, wanita 3 orang. Sepsis berat pria sebanyak 3 orang dan wanita 3
orang, sedangkan syok sepsis pria 6 orang dan wanita 1 orang. Kelompok
infeksi non Sepsis sebanyak 21 orang, pria sebanyak 11 orang dan wanita
10 orang.
Rerata umur kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis adalah
62,88±12,48 , 44,83±18,01 dan 44,14±13,04 tahun secara berurutan.
Sedangkan pada kelompok infeksi non sepsis adalah 46,62 ± 16,68 tahun.
Rerata temperatur pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis
adalah 38,61±0,46 , 39,21±0,49 dan 39,15±0,47°C secara berurutan,
Rerata frekuensi jantung pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok
sepsis adalah 101,88±8,36 , 122,00±6,81 dan 119,14±4,59 x/menit
secara berurutan, sedangkan pada kelompok infeksi non sepsis adalah
86,00±5,44 x/menit. Rerata frekuensi nafas pada kelompok sepsis, sepsis
berat dan syok sepsis adalah 31,88±3,56 , 36,17±1,33 dan 35,57±2,15
x/menit secara berurutan sedangkan pada kelompok infeksi non sepsis
adalah 24,10±3,71 x/menit.
Rerata kadar Hb kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis
adalah 10,70±2,0 , 10,04±2,40 dan 8,13±0,60 mg/dl secara berurutan,.
Sedangkan pada kelompok infeksi non sepsis adalah 11,01±1,39 mg/dl.
Rerata jumlah leukosit pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok
sepsis adalah 17.863±6498 , 13.516±12.950 dan 17.440±8353 /µl secara
berurutan. Sedangkan pada kelompok infeksi non sepsis adalah
15.928±7059 /µl.
Rerata kadar CRP pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok
sepsis adalah 63187,55±42009,86 , 55316,71±42825,73 dan
75199,74±43024,59 mg/L secara berurutan, sedangkan pada kelompok
infeksi non sepsis adalah 49214,28±38193,31 mg/L. Rerata kadar PCT
pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis adalah 4,53±1,65 ,
6,34±0,74 dan 44,72±36,41 ng/ml secara berurutan, sedangkan pada
kelompok infeksi non sepsis adalah 1,33±1,50 ng/ml.
Pada kelompok sepsis, sepsis berat dan syok sepsis ternyata
semua telah mendapat terapi antibiotik sebelumnya. Sedangkan pada
Tabel 4.1.1. Karakteristik dasar penelitian
Tabel 4.1.2 menggambarkan data laboratorium pasien secara
keseluruhan. Dapat kita lihat bahwa pasien dengan leukopenia dan
leukositosis secara berurutan adalah 2 orang (4,76%) dan 33 orang
(78,57%). Pasien dengan anemia dijumpai sebanyak 33 orang (78,57%).
Pasien dengan trombositopenia dijumpai sebanyak 8 orang (19,05%).
Pasien dengan Laju Endap darah <30 mm/jam, 30-100 mm/jam dan >100
mm/jam secara berurutan adalah 16 orang (38,09%), 19 (45,24%) dan 7
orang (16,67%). Kultur darah positif dijumpai sebanyak 10 orang (23,80%).
Kultur sputum dan urin positif masing-masing dijumpai pada 4 orang
(21,05%) dan 3 orang (42,85%).
Tabel 4.1.2. Data Laboratorium pasien secara keseluruhan
Test Laboratorium Variabel Analisis Frekuensi Persentase
Leukosit ‐ Leukopenia ‐ Normal
Haemoglobin ‐ Normal ‐ Anemia
‐ 9 ‐ 33
‐ 21,43 ‐ 78,57 Trombosit ‐ Normal
Tabel 4.1.3 menggambarkan tanda vital dan status mental pasien.
Dapat kita lihat bahwa secara keseluruhan bahwa pasien dengan demam,
temperatur normal dan hipotermia secara berurutan adalah 19 orang
(45,23%), 23 orang (54,77%) dan tidak ada yang hipotermi. Pasien
dengan denyut nadi < 90 x/menit dan > 90 x/menit secara berurutan
adalah 18 orang (42,85%) dan 24 orang (57,15%). Pasien dengan
frekuensi nafas < 20 x/ menit dan > 20 x/menit secara berurutan adalah 4
orang (9,52%) dan 38 orang (90,48%). Pasien dengan penurunan
kesadaran didapatkan sebanyak 8 orang (19,05%).
Tabel 4.1.3. Tanda vital dan status mental pasien
Tanda Vital Variabel analisis Frekwensi Persentase
Temperatur ‐ >38,2 ‐ 36‐38.2 Tekanan darah ‐ Hipotensi
‐ Normal Status mental ‐ Penurunan kesadaran
‐ Normal
‐ 8 ‐ 34
Tabel 4.1.4 menggambarkan rerata variabel antara kelompok
infeksi non Sepsis dan sepsis secara keseluruhan . Dapat kita amati pada
tabel ini bahwa kedua kelompok ini ternyata berbeda signifikan dalam
variabel temperatur, HR, RR dan PCT Pada kelompok infeksi non Sepsis
dengan 21 orang didapatkan rerata PCT 1,33 ± 1,50 ng/ml sedangkan
pada kelompok sepsis juga dengan 21 orang didapatkan rerata PCT 18,44
± 27,60 ng/ml. Hal ini menunjukkan bahwa kadar PCT kelompok sepsis
adalah lebih tinggi secara bermakna dibanding infeksi non
sepsis.(p<0,05)
Tabel 4.1.4. Perbandingan rerata variabel antara Infeksi non Sepsis dan Sepsis secara keseluruhan
Kadar CRP ternyata berkorelasi positif dengan kadar PCT pada
kelompok non sepsis dengan r (0,56). Hal ini bermakna secara statistik.
(p<0,05). Semakin meningkat kadar PCT maka kadar CRP juga akan
semakin meningkat. Namun tidak demikian hal nya pada kelompok sepsis .
( Tabel 4.1.5 )
Tabel 4.1.5. Korelasi antara PCT dan CRP pada kelompok sepsis dan
non sepsis.
Variabel yang dihubungkan dengan PCT
n
r
P CRP pada Non sepsisd)
21 0,56 0,008*
CRP pada sepsisc)
21 0,09 0,69
Pada penelitian ini dapat kita perhatikan bahwa rerata PCT berbeda
secara bermakna dengan derajat keparahan sepsis, semakin meningkat
derajat keparahan sepsis maka akan semakin meningkat pula rerata PCT.
Hal ini bermakna secara statistik. (p<0,05). Namun hal berbeda
didapatkan pada pemeriksaan CRP, semakin meningkat derajat
keparahan sepsis ternyata tidak diikuti dengan semakin meningkatnya
kadar CRP.(Tabel 4.1 6).
Gambar 4.1.1 menggambarkan tentang rerata kadar PCT pada
kelompok infeksi non sepsis, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis. Dapat
kita lihat bahwa semakin berat derajat keparahan sepsis maka rata-rata
kadar PCT juga akan semakin meneningkat.
Derajat kerparahan sepsis
shock sepsis severe sepsis
sepsis infeksi non sirs
Mean of PCT
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Gambar 4.1.2 menggambarkan tentang korelasi kadar PCT dengan
derajat keparahan sepsis. Dapat kita lihat bahwa derajat keparahan sepsis
berkorelasi positif dengan kadar PCT. Semakin berat derajat keparahan
sepsis maka kadar PCT juga semakin meningkat. Koefisien korelasi (r)
sebesar 0,61 (p<0,05).
Derajat kerparahan sepsis
4 3.5
3 2.5
2
PCT
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
R Sq Linear = 0.382 r = 0,61
Pada penelitian ini didapatkan sensitifitas dan spesifisitas PCT
ternyata cukup tinggi yaitu 80% dan 81,3%. (Tabel 4.1.7).Sedangkan
Positif Predictive Value (PPV) dan Negatif Predictive Value (NPV)
masing-masing sebesar 57,14% dan 92,85%.
Tabel 4.1.7. Sensitivitas dan Spesifisitas PCT
POSITIVE PREDICTIVE VALUE : 8/14 x 100% = 57,14%
Gambar 4.1.3 menggambarkan etiologi sepsis sesuai dengan hasil
kultur darah. Dapat kita lihat bahwa etiologi terbanyak sepsis adalah
pseudomonas (30%), diikuti oleh Klebsiella pneumonia (20%),
Enterobacter sp (20%). S.epidermidis, S.arizonae dan S.saprophyticus
masing-masing adalah 10 %.
Gambar 4.1.4 menggambarkan distribusi pasien berdasarkan
diagnosa sepsis. Kita lihat bahwa sepsis peneumonia adalah diagnosa
terbanyak (90,48%) diikuti urosepsis dan sepsis ec gangren diabeticum
sebanyak masing- masing 4,76%.
4.76 %
90.48 %
Gambar 4.1.5 menggambarkan jenis-jenis antibiotika yang diberikan
kepada pasien selama perawatan. Dapat kita lihat bahwa antibiotik yang
terbanyak diberikan adalah kombinasi ceftriaxon + Ciprofloxacin
(42,87%), diikuti ceftriaxon + eritromisin (28,57%), ceftazidime (9,52%),
meropenem (9,52%) , meropenem + Ciprofloxacin (4,76%) dan
Cefotaxime + Ciprofloxacin (4,76%).
Jenis-jenis antibiotik yang diberikan pada kelompok
sepsis (n=21)
Ceftriaxon + Ciprofloxacin Ceftriaxon + Eritromisin
Ceftazidime
Meropenem
Meropenem + Ciprofloxacin Cefotaxime + Ciprofloxacin
4,76% 4,76% 9,52%
42,87% 9,52%
28,57%%
BAB 5
PEMBAHASAN
Kami melaporkan pemeriksaan kadar PCT pada pasien sepsis
yang dirawat di Ruang rawat inap terpadu penyakit dalam dan Ruang ICU
RSUP H. Adam Malik Medan. Hal yang sama juga dilakukan pada
kelompok kontrol yaitu pasien yang mengalami infeksi non sepsis.
Kelompok sepsis diperiksa sebanyak 21 orang yang terdiri dari 8 orang
sepsis, 6 orang sepsis berat dan 7 orang syok sepsis, demikian juga
kelompok infeksi non Sepsis sebanyak 21 orang. Terhadap kedua
kelompok juga dilakukan pemeriksaan kultur, darah lengkap dan CRP.
Pada penelitian ini dijumpai perbedaan rata-rata variabel antara
kelompok sepsis secara keseluruhan dan infeksi non Sepsis. Pada
kelompok sepsis secara keseluruhan didapatkan rata-rata kadar PCT
18,44 ± 27,60 ng/ml sedangkan pada kelompok infeksi non Sepsis
1,33±1,50 ng/ml. Hasil ini bermakna secara statistik. (p<0,05). Hasil yang
sama didapatkan pada penelitian sebelumnya oleh Assicot M, dkk (1993)
yang mendapatkan bahwa pasien dengan infeksi lokal bakteri tanpa
adanya respon sistemik umum tampaknya tidak memiliki kadar PCT yang
tinggi dibanding pasien dengan infeksi sistemik dan bakteremia. Demikian
juga yang didapatkan pada penelitian oleh Eberhard OK, dkk (1998). 30,31
Demikian juga halnya pada pemeriksaan tanda vital yang meliputi
kadar PCT ternyata memiliki korelasi yang bermakna secara
statistik.(p<0,05). Hasil berbeda didapatkan pada penelitian sebelumnya
oleh Ghorbani G (2009). Namun pada pemeriksaan laboratorium meliputi
kadar CRP, leukosit dan laju endap darah yang dihubungkan dengan
kadar PCT ternyata tidak bermakna secara statistik. (p>0,05). Hal ini
sesuai dengan hasil yang didapatkan Ghorbani G (2009).13
Pemeriksaan kadar PCT yang dihubungkan dengan derajat
keparahan sepsis terdiri dari sepsis, sepsis berat dan syok sepsis
didapatkan rata-rata secara berurutan adalah 4,53±1,65 , 6,34±0,74 dan
44,72±36,41 ng/ml. Semakin meningkat derajat keparahan sepsis maka
kadar PCT juga akan semakin meningkat. Hasil ini bermakna secara
statistik.(p<0,05). Namun berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya
oleh Ghorbani G (2008) dan juga Barati, dkk (2008) yang mendapatkan
bahwa Kadar PCT tidak dapat membedakan antara infeksi non Sepsis,
sepsis, sepsis berat dan syok sepsis . Hal ini mungkin disebabkan pasien
telah mendapatkan antibiotik sebelum datang ke rumah sakit.13,32.
Demikian juga hasil yang sama didapatkan pada penelitian oleh Endo,
dkk (2008).33
Kelompok pasien sepsis secara keseluruhan terdiri dari sepsis,
sepsis berat dan syok sepsis semuanya sebanyak 21 orang (100%) dan
kelompok infeksi non Sepsis sebanyak 9 orang (42,85%) ternyata telah
mendapatkan terapi antibiotik sebelum datang ke rumah sakit. Namun
kadar PCT dalam penelitian ini berbeda rata-rata antara kelompok sepsis
sepsis. Hal ini mungkin disebabkan sebagian besar infeksi tersebut telah
resisten terhadap antibiotik atau antibiotik yang diberikan tidak sesuai
dengan hasil kultur dan tes sensitivitas. Penelitian oleh Buchori, dkk
(2006) mendapatkan bahwa pengaruh pemberian antibiotik terhadap
kadar PCT ternyata sangat rendah.8
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian oleh Nobre, dkk
(2008), antibiotik yang diberikan sebelum pasien datang ke rumah sakit
dapat menghilangkan infeksi dan mengurangi keparahan infeksi dan
menurunkan kadar PCT. Untuk alasan ini, pemeriksaan kadar PCT
setelah pemberian antibiotik hanya dapat menentukan respons terhadap
pengobatan, tetapi jika infeksi tersebut resisten terhadap terapi antibiotik
maka kadar PCT akan tetap tinggi.34
Kultur darah diperlukan untuk diagnosa penyakit infeksi dan
membantu untuk memilih terapi antibiotik yang spesifik. Pemeriksaan
kultur darah pada penelitian ini ternyata hanya positif pada 10 dari 42
sampel (23,80%). Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan pada
penelitian oleh Muller B, dkk (2000) 34. Pada penelitian ini, hasil kultur
darah positif paling banyak dijumpai pada kelompok sepsis, yaitu 8 dari 10
sampel (80%). Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan pada
penelitian Charles, dkk (2008) yang mendapatkan bahwa pasien sepsis
memiliki hasil kultur darah positif lebih banyak dibanding penyakit lain.
Sehingga kultur darah diperlukan untuk diagnosa bakteri spesifik saat