• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kepatuhan dan Motivasi Penderita TB Paru Terhadap Tingkat Kesembuhan dalam Pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Kepatuhan dan Motivasi Penderita TB Paru Terhadap Tingkat Kesembuhan dalam Pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH KEPATUHAN DAN MOTIVASI PENDERITA TB PARU TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN DALAM PENGOBATAN

DI PUSKESMAS SADABUAN KOTA PADANGSIDIMPUAN

TAHUN 2011

Oleh :

INDAH DOANITA HASIBUAN NIM. 091000195

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan penting bagi masyarakat di dunia hingga saat ini termasuk Indonesia. Puskesmas Sadabuan merupakan puskesmas yang memiliki angka kesembuhan terendah dari 9 puskesmas yang ada di Kota Padangsidimpuan. Jumlah penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan pada Tahun 2008 sebanyak 103 orang dengan angka kesembuhan 85,44%. Pada Tahun 2009, terdapat 61 penderita TB Paru BTA positif tapi angka kesembuhan hanya 63,93%. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kesembuhan di Puskesmas Sadabuan dan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.

Jenis penelitian ini menggunakan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh kepatuhan dan motivasi (dukungan keluarga/PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kesembuhan dalam pengobatan TB paru di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011. Populasi adalah seluruh penderita TB paru BTA positif yang tercatat di form TB-01 dengan sampel sebanyak 44 orang. Uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik ganda.

Hasil uji statistik bivariat menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh terhadap tingkat kesembuhan pengobatan TB paru yaitu kepatuhan penderita (p=0,000), dukungan keluarga/PMO (p=0,005), dorongan petugas kesehatan (p=0,033), dan rasa tanggung jawab (p=0,000). Variabel yang paling dominan memberikan pengaruh terhadap tingkat kesembuhan pengobatan TB Paru, yaitu kepatuhan penderita (B=3.408).

Untuk meningkatkan kesadaran (awarenes) penderita TB, perlu adanya komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit TB paru, penyuluhan atau pemberian bimbingan konseling kepada penderita sehingga penderita lebih paham akan penyakit yang dideritanya dan bertanggung jawab atas kesembuhannya.

(3)

ABSTRACK

Tuberculosis (TB) is one of the infectious disease remains a significant health problem for people in the world till now, including Indonesia. Sadabuan Health Center is a clinic that has the lowest cure rate of 9 health centers in Padangsidimpuan City. The number of patients with Pulmonary TB positive BTA at Sadabuan health center Padangsidimpuan City by the Year 2008 as many as 103 people with cure rate 85.44%. In the year 2009, there were 61 patients with Pulmonary TB positive BTA but cure rate only 63.93%. This means decreasing of cure rate in Sadabuan Health Center and did not reach the target yet that was set at least 85%.

This type of research using explanatory research that aims to explain the effect of adherence and motivation (family support / PMO, staff support and sense of responsibility) to cure level of pulmonary tuberculosis treatment at Sadabuan health center Padangsidimpuan City on 2011. The population were all patients with positive BTA pulmonary TB were recorded in the form of TB-01 with a sample size of 44 people. The statistic test was used multiple logistic regression.

The results of bivariat statistic test showed that variables which had influence on treatment of Pulmonary TB cure rate, were patient compliance (p=0.000), the family support/PMO (p=0.005), staff support (p=0.033) and sense of responsibility (p=0.000). Variables that had dominant influence with treatment of Pulmonary TB cure rate was patient compliance (B=3.408).

For increase TB patients awareness need IEC (Information, Education and Communication) about pulmonary tuberculosis diseases, extension or counseling to patients so that patients more understand about their diseases and responsible on their recovery.

(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Indah Doanita Hasibuan

Tempat/Tgl Lahir : Sibuhuan, 26 Nopember 1984

Agama : Islam

Status Perkawianan : Belum Menikah

Jumlah anggota keluarga : 5 (anak ke-1 dari 5 bersaudara)

Alamat Rumah : Jl. Setia Gg. Mulia No 36i Medan

Riwayat Pendidikan

1990 – 1996 : SD Negeri No.142926 Barumun Kecamatan

Barumun Kabupaten Padang Lawas

1996 – 1999 : SMP Negeri I Barumun Kecamatan Barumun

1999 – 2002 : SMU Negeri I Barumun

2002 – 2005 : DIII Ilmu Keperawatan USU Medan

2009 – 2011 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan

Riwayat Pekerjaan

2005 – 2006 : Perawat Klinik Bersalin Elly Medan

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh

Kepatuhan dan Motivasi Penderita TB Paru Terhadap Tingkat Kesembuhan dalam Pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011,

guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

bantuan baik moril maupun materil oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Heldy B.Z, M.P.H., selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan

Kesehatan, Dosen Pembimbing I sekaligus sebagai Ketua Penguji.

3. Siti Khadijah Nst., SKM, M. Kes., selaku Dosen Pembimbing II dan Dosen

Penguji I.

4. Prof. dr. Aman Nasution, M.P.H selaku Dosen Penguji II.

5. dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji III.

6. Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

7. Para Dosen dan Staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

(6)

8. Seluruh jajaran Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan secara khusus

kepada drg. Khairunnisa, selaku Kepala Puskesmas Sadabuan Kota

Padangsidimpuan.

9. Terkhusus kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Darman Hasibuan dan

Ibunda Pinta Marsaulina, adik-adikku Rini, Ikhsan, Hafiz dan Obi yang

senantiasa mendukung dan mendoakan penulis untuk menyelesaikan skripsi

ini.

10.Sahabat-sahabat terbaikku Sondari, Hariyanti dan Syafrina.

11.Teman-teman seperjuangan di Departemen Administrasi dan Kebijakan

Kesehatan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang

memerlukannya.

Medan, Juli 2011

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

2.1.3. Gejala-gejala Tuberkulosis... 10

2.1.4. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru... 10

2.1.5. Diagnosis Tuberkulosis Paru... 11

2.1.6. Klasifikasi Penyakit... 11

2.1.7. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru... 12

2.1.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru... 13

2.1.8.1. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis... 13

2.1.8.2. Hasil Pengobatan... 14

2.2. Penanggulangan TB Paru... 15

2.2.1. Rencana Global Penanggulangan TB Paru... 16

2.2.2. Strategi DOTS... 16

2.3. Pengawas Minum Obat (PMO)... 18

2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesembuhan... 19

(8)

3.3. Populasi dan Sampel... 28

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 29

3.5. Definisi Operasional... 29

3.6. Aspek Pengukuran... 31

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen... 31

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen... 32

3.7. Teknik Analisa Data... 32

4.2.1. Deskripsi Karakteristik Responden... 36

4.2.2. Deskripsi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penderita.. 37

4.2.3. Deskripsi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga/PMO... 39

4.2.4. Deskripsi Responden Berdasarkan Dorongan Petugas Kesehatan ... 41

4.2.5. Deskripsi Responden Berdasarkan Rasa Tanggung Jawab... ... 43

4.2.6. Deskripsi Responden Berdasarkan Tingkat Kesembuhan Pengobatan... 44

4.3. Analisis Bivariat... 45

4.4. Analisis Multivariat... 47

4.5. Hasil Wawancara... 48

BAB V PEMBAHASAN... 50

5.1. Pengaruh Kepatuhan Penderita terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 50

5.2. Pengaruh Motivasi terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 52

5.2.1. Pengaruh Dukungan Keluarga/PMO terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 52

5.2.2. Pengaruh Dorongan Petugas Kesehatan terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 53

5.2.3. Pengaruh Rasa Tanggung Jawab terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 54

5.3. Pengaruh Kepatuhan dan Motivasi (Dukungan Keluarga/ PMO, Dorongan Petugas Kesehatan dan Rasa Tanggung Jawab) terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 54

(9)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 56

6.1. Kesimpulan... 56 6.2. Saran... 57

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

1. Kuesioner

2. Hasil Pengolahan Statistik

3. Surat Permohonan Izin Penelitian

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1. Jumlah Kesakitan dan Kesembuhan TB Paru Menurut

Puskesmas di Kota Padangsidimpuan Tahun 2008 - 2009 ... 6

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen... 32

Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen ... 32

Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 35

Tabel 4.2. Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja Puskesmas Sadabuan ... 35

Tabel 4.3. Jenis Tenaga Kesehatan di Puskesmas Sadabuan ... 36

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan ... 37

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penderita ... 38

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kepatuhan Penderita ... 39

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga/ PMO ... 40

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Dukungan Keluarga/ PMO ... 41

Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Dorongan Petugas Kesehatan .. 42

Tabel 4.10. Distribusi Kategori Dorongan Petugas Kesehatan ... 42

Tabel 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Rasa Tanggung Jawab ... 43

Tabel 4.12. Distribusi Kategori Rasa Tanggung Jawab ... 44

Tabel 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kesembuhan Pengobatan ... 44

(11)

Tabel 4.15. Hubungan Dukungan Keluarga/PMO dengan Tingkat Kesembuhan ... 46

Tabel 4.16. Hubungan Dorongan Petugas Kesehatan dengan Tingkat Kesembuhan ... 46

Tabel 4.17. Hubungan Rasa Tanggung Jawab dengan Tingkat Kesembuhan .... 47

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(13)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan penting bagi masyarakat di dunia hingga saat ini termasuk Indonesia. Puskesmas Sadabuan merupakan puskesmas yang memiliki angka kesembuhan terendah dari 9 puskesmas yang ada di Kota Padangsidimpuan. Jumlah penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan pada Tahun 2008 sebanyak 103 orang dengan angka kesembuhan 85,44%. Pada Tahun 2009, terdapat 61 penderita TB Paru BTA positif tapi angka kesembuhan hanya 63,93%. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kesembuhan di Puskesmas Sadabuan dan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.

Jenis penelitian ini menggunakan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh kepatuhan dan motivasi (dukungan keluarga/PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kesembuhan dalam pengobatan TB paru di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011. Populasi adalah seluruh penderita TB paru BTA positif yang tercatat di form TB-01 dengan sampel sebanyak 44 orang. Uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik ganda.

Hasil uji statistik bivariat menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh terhadap tingkat kesembuhan pengobatan TB paru yaitu kepatuhan penderita (p=0,000), dukungan keluarga/PMO (p=0,005), dorongan petugas kesehatan (p=0,033), dan rasa tanggung jawab (p=0,000). Variabel yang paling dominan memberikan pengaruh terhadap tingkat kesembuhan pengobatan TB Paru, yaitu kepatuhan penderita (B=3.408).

Untuk meningkatkan kesadaran (awarenes) penderita TB, perlu adanya komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit TB paru, penyuluhan atau pemberian bimbingan konseling kepada penderita sehingga penderita lebih paham akan penyakit yang dideritanya dan bertanggung jawab atas kesembuhannya.

(14)

ABSTRACK

Tuberculosis (TB) is one of the infectious disease remains a significant health problem for people in the world till now, including Indonesia. Sadabuan Health Center is a clinic that has the lowest cure rate of 9 health centers in Padangsidimpuan City. The number of patients with Pulmonary TB positive BTA at Sadabuan health center Padangsidimpuan City by the Year 2008 as many as 103 people with cure rate 85.44%. In the year 2009, there were 61 patients with Pulmonary TB positive BTA but cure rate only 63.93%. This means decreasing of cure rate in Sadabuan Health Center and did not reach the target yet that was set at least 85%.

This type of research using explanatory research that aims to explain the effect of adherence and motivation (family support / PMO, staff support and sense of responsibility) to cure level of pulmonary tuberculosis treatment at Sadabuan health center Padangsidimpuan City on 2011. The population were all patients with positive BTA pulmonary TB were recorded in the form of TB-01 with a sample size of 44 people. The statistic test was used multiple logistic regression.

The results of bivariat statistic test showed that variables which had influence on treatment of Pulmonary TB cure rate, were patient compliance (p=0.000), the family support/PMO (p=0.005), staff support (p=0.033) and sense of responsibility (p=0.000). Variables that had dominant influence with treatment of Pulmonary TB cure rate was patient compliance (B=3.408).

For increase TB patients awareness need IEC (Information, Education and Communication) about pulmonary tuberculosis diseases, extension or counseling to patients so that patients more understand about their diseases and responsible on their recovery.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis menjadi salah satu perhatian global karena kasus

tuberkulosis yang tinggi dapat berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi

bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. Tuberkulosis (TB) merupakan salah

satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan penting bagi

masyarakat di dunia hingga saat ini. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan biasa terdapat pada paru-paru tetapi

dapat mengenai organ tubuh lainnya. Sekitar 75% penderita TB adalah kelompok usia

yang paling produktif secara ekonomis (Depkes RI, 2008).

Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari

aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi. Diperkirakan seorang

pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan yang

berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%

yang pada akhirnya akan berdampak terhadap ekonomi secara nasional. Jika ia

meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 Tahun.

Dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan

dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang

terhadap penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan,

ketidakproduktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis. Selain merugikan secara

ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan

(16)

Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2010, World Health

Organization (WHO) memerkirakan Prevalensi TB paru di dunia sekitar 14 juta

kasus, kemudian 9,4 juta kasus baru TB paru pada Tahun 2009 dan terdapat 1,7 juta

orang meninggal akibat TB paru pada tahun yang sama, dengan 4.700 kematian per

hari. Kejadian tingkat global diperkirakan turun menjadi 137 kasus per 100.000

penduduk pada Tahun 2009, setelah memuncak pada Tahun 2004 yaitu 142 kasus per

100.000 penduduk. Akan tetapi menurunnya angka ini dinilai masih terlalu lambat.

Secara global, persentase penduduk yang berhasil diobati mencapai level tertinggi

86% pada Tahun 2008. Sebagian besar kasus ditemukan di Asia tenggara, Afrika dan

wilayah pasifik barat.

Berdasarkan Global Tuberculosis Control (Global Report TB, 2010), situasi

epidemiologi TB Indonesia pada Tahun 2009, menunjukkan bahwa Insidensi kasus

baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus

baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB paru 39 per 100.000 penduduk

atau 250 orang per hari. Tingginya angka kematian dari penyakit tuberkulosis paru ini

menunjukkan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dari sisi kesehatan dan

adanya penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (Kurniasih,

2009).

Dengan munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan

TB Paru. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB Paru secara

signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap obat anti

(17)

kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan

menyebabkan terjadinya epidemi TB Paru yang sulit ditangani (Depkes RI, 2008).

Menurut IDI (2008), Indonesia sebagai negara dengan urutan ke-3 terbanyak

setelah India dan Cina dalam jumlah penderita tuberkulosis dengan angka prevalensi

225/100.000 penduduk, seyogianya harus berupaya semaksimal mungkin untuk

menurunkan angka tersebut menjadi 50% nya pada Tahun 2015. WHO

mencanangkan tahun kedaruratan global penyakit tuberkulosis paru (TB) pada Tahun

1993 karena penyakit TB tidak terkendali pada sebagian besar negara di dunia akibat

banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular

BTA (Bakteri Tahan Asam) positif (Depkes RI, 2002).

Sejak Tahun 1995, program Pemberantasan Tuberculosis Paru, telah

dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse

Chemotherapy) yang direkomendasikan oleh WHO. Kemudian berkembang seiring

dengan pembentukan Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) TB, maka

pemberantasan penyakit tuberkulosis Paru berubah menjadi program penanggulangan

tuberkulosis. Strategi DOTS mengandung lima komponen, yaitu : 1) komitmen politis

para pengambil keputusan untuk menjalankan program TB nasional, 2) diagnosis TB

dengan pemeriksaan BTA mikroskopik, 3) pengobatan dengan obat anti TB yang

diawasi langsung oleh pengawas menelan obat (PMO), 4) ketersediaan obat, 5)

pencatatan dan pelaporan hasil kinerja program TB (Depkes RI, 2002).

Kunci sukses penanggulangan TB adalah menemukan penderita dan

mengobati penderita sampai sembuh. WHO menetapkan target global Case Detection

(18)

kesembuhan/keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Hasil yang dicapai Indonesia

dalam menanggulangi TB hingga saat ini telah meningkat. Angka penemuan kasus

TB Paru yang ditemukan pada Tahun 2007 sebesar 160.617 orang (69,12%)

meningkat menjadi 161.115 orang (69,82%) pada Tahun 2008. Keberhasilan

pengobatan TB dari 81,5 % pada kelompok penderita yang ditemukan pada tahun

2007 meningkat menjadi 82,8 % pada Tahun 2008. Akan tetapi angka tersebut masih

di bawah target yang ditetapkan oleh WHO (Depkes RI, 2009).

Dalam lima tahun terakhir jumlah kasus TB paru BTA positif di Sumatera

Utara menunjukkan angka yang tidak stabil. Selama Tahun 2005-2006 kasus TB paru

mengalami peningkatan dari 13.401 kasus menjadi 16.678 kasus, namun Tahun 2007

mengalami penurunan dengan jumlah 13.369 kasus. Jumlah kasus TB paru naik

menjadi 14.158 kasus pada Tahun 2008 dan mengalami peningkatan lagi menjadi

17.026 kasus pada Tahun 2009 (Dinkes Sumut, Bid. P2 & PL 2010).

Penelitian Amiruddin (2006), menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang

memengaruhi terjadinya kesembuhan dalam pengobatan penderita TB paru di Kota

Ambon yakni Pengawas Menelan Obat (PMO), kepatuhan berobat penderita TB paru

dan efek samping obat. Penelitian Pratiwi (2004), di Kabupaten Kudus menunjukkan

adanya hubungan bermakna antara perilaku dan lingkungan sosial ekonomi dengan

kesembuhan pengobatan TB Paru. Hasil penelitian lainnya, Rizkiyani (2008),

menunjukkan bahwa faktor keteraturan berobat memiliki pengaruh yang kuat dalam

menentukan kesembuhan penderita TB paru di Jakarta Barat.

Menurut Smeltzer dan Bare dalam Sujana (2010), yang menjadi alasan

(19)

dalam waktu yang diharuskan. Pasien biasanya bosan harus minum banyak obat

setiap hari selama beberapa bulan, karena itu pada pasien cenderung menghentikan

pengobatan secara sepihak.

Perilaku penderita untuk menjalani pengobatan secara teratur dipengaruhi

beberapa faktor. Menurut Mantra dalam Sujana (2010), perilaku dipengaruhi oleh

faktor pengetahuan, motivasi, kepercayaan dan sikap positif, tersedianya sarana dan

prasarana yang diperlukan dan terdapat dorongan yang dilandasi kebutuhan yang

dirasakan.

Menurut Stoner dan Freedman dalam Sujana (2010), untuk terwujudnya

sebuah perilaku menjadi suatu tindakan maka diperlukan sebuah motivasi. Motivasi

adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat

komitmen seseorang, hal ini termasuk faktor yang menyebabkan, menyalurkan, dan

mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu.

Menurut Harita dalam Nasution (2003), untuk mencapai keberhasilan

pengobatan dibutuhkan motivasi kesembuhan dari penderita yang menjadi daya

penggerak dalam diri individu sebagai upaya untuk mencari jalan keluar. Orang

dengan motivasi tinggi akan cepat pulih dari penyakitnya.

Banyak yang memengaruhi motivasi seseorang untuk sembuh dari

penyakitnya. Secara umum dapat dibagi menjadi tiga faktor yaitu : 1) Faktor dari

dalam individu, 2) Faktor dari luar individu, dan 3) Faktor religiusitas. Faktor dari

dalam individu dapat berasal dari keinginan seseorang untuk sembuh karena adanya

(20)

Kota Padangsidimpuan terdiri dari 6 kecamatan dengan 9 Puskesmas.

Berdasarkan Profil Dinas kesehatan Kota Padangsidimpuan Tahun 2007, diketahui

bahwa dari 870 penderita TB paru klinis dan 118 penderita TB Paru BTA positif yang

ada di Puskesmas Sadabuan, sebanyak 112 orang dinyatakan sembuh (94,91%). Pada

Tahun 2008, terdapat 927 penderita TB paru klinis dan 103 BTA (+) dengan angka

kesembuhan sebesar 85,44%. Meskipun angka kesembuhan tersebut sudah melebihi

target nasional, akan tetapi angka kesembuhan di Puskesmas Sadabuan terus

mengalami penurunan hingga pada Tahun 2009, Puskesmas Sadabuan merupakan

puskesmas dengan angka kesembuhan paling rendah dari 9 puskesmas yang ada di

Kota Padangsidimpuan yaitu sebesar 63,93%. Kemudian pada Tahun 2010 terdapat

peningkatan jumlah penderita TB Paru BTA (+) yaitu sebanyak 83 orang.

Data dari Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan mengenai jumlah

kesakitan dan kesembuhan TB Paru di Kota Padangsidimpuan dari Tahun 2008

hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.1. berikut :

Tabel 1.1. Jumlah Kesakitan dan Kesembuhan TB Paru Menurut Puskesmas di Kota Padangsidimpuan Tahun 2008 - 2009

No Puskesmas 2008 2009

Klinis BTA (+) % Sembuh Klinis BTA(+) % Sembuh 1 Sadabuan 927 103 85,44 610 61 63,93 2 Padangmatinggi 1.157 160 76,88 717 61 75,41 3 Sidangkal 135 12 50,00 107 10 70,00 4 Batunadua 204 19 78,95 177 14 85,71 5 Hutaimbaru 113 19 89,47 193 18 100,00 6 Pijorkoling 197 13 92,31 250 26 76,92 7 Labuhan Rasoki 138 16 62,50 138 28 75,00

8 Pokenjior 89 12 91,67 52 10 90,00

9 Pintu Langit - - -

Jumlah 2.960 354 79,66 2.244 228 75,44

(21)

Data di atas menunjukkan bahwa angka kesembuhan penderita TB paru

terendah terdapat di Puskesmas Sadabuan sebesar 63,93% dan jika dibandingkan

dengan angka kesembuhan nasional 85%, maka persentase angka kesembuhan ini

belum mencapai target minimal yang telah ditetapkan WHO tersebut.

Berdasarkan survei pendahuluan peneliti, dari pernyataan beberapa penderita

TB paru di Puskesmas Sadabuan dapat diketahui bahwa kurangnya motivasi berobat

penderita TB Paru baik motivasi yang berasal dari individu itu sendiri maupun dari

luar dirinya. Salah satu penyebabnya adalah karena penderita merasa bosan dan lelah

dalam menjalani pengobatan.

Masih rendahnya cakupan angka kesembuhan berdampak negatif pada

kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program, karena masih memberi

peluang terjadinya penularan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga dan

masyarakat sekitarnya. Selain itu memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB

Paru terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sehingga menambah penyebarluasan

penyakit TB Paru, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru (Amiruddin,

2006).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pengaruh kepatuhan dan motivasi penderita TB Paru terhadap

tingkat kesembuhan dalam pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota

(22)

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan

masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kepatuhan dan motivasi

penderita TB Paru terhadap tingkat kesembuhan dalam pengobatan di Puskesmas

SadabuanKota Padangsidimpuan Tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menjelaskan pengaruh kepatuhan dan motivasi penderita TB Paru

terhadap tingkat kesembuhan dalam pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota

Padangsidimpuan Tahun 2011.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi dan bahan masukan kepada pihak Dinas Kesehatan Kota

Padangsidimpuan dalam penanggulangan penyakit TB Paru.

2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan

dalam melaksanakan program penanggulangan TB Paru dan meningkatkan

kualitas pelayanan kesehatan kepada penderita TB paru.

3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan bagi penelitian sejenis dan

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman yang disebut Mycobacterium tuberculosis dan bukanlah penyakit keturunan

tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain. Sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Aditama, 1994).

Kuman tuberkulosis mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB Paru

cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam

di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant,

tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002).

2.1.1. Cara Penularan

Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif yang belum

diobati. Kuman TB menyebar dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei), pada

waktu penderita batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak. Percikan dahak dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan

yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil

pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Kemungkinan seseorang

terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya

(24)

2.1.2. Risiko Penularan

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =

ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI

sebesar 1 %, berarti diantara 1000 penduduk terdapat sepuluh orang terinfeksi setiap

tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3 %. Kemungkinan seseorang menjadi

penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS

dan malnutrisi/gizi buruk (Depkes RI, 2008).

2.1.3. Gejala-Gejala Tuberkulosis

Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,

batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,

rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,

demam meriang lebih dari satu bulan. Setiap orang dengan gejala tersebut dianggap

sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan

dahak secara mikroskopis (Depkes RI, 2008).

2.1.4. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru

Menurut Depkes RI (2008), penemuan penderita merupakan langkah

pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB Paru yang terdiri dari

penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita.

Penemuan penderita TB paru dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.

Penjaringan tersangka penderita dilakukan di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK);

(25)

masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita TB. Selain

itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa

dahaknya.

2.1.5. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga

patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil

pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua,

hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada spesimen

penderita dengan cara pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari

berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ketiga, pemeriksaaan rontgen dada yang

akan memperlihatkan gambaran paru yang akan diperiksanya. Selain ketiga patokan

tersebut kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan

darah atau pemeriksaan tambahan lain (Aditama, 1994).

2.1.6. Klasifikasi Penyakit 1. Tuberkulosis (TB ) Paru

Menurut Depkes RI (2008), Tuberkulosis (TB ) Paru adalah tuberkulosis

yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada

hilus. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam :

a. TB Paru BTA (+)

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu

(SPS) hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA

(26)

b. TB Paru BTA (-)

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto

toraks menunjukkan gambaran TB. Tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika dan non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

2. Tuberkulosis (TB ) Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura

(selaput paru), selaput otak, pericardium (selaput jantung), kelenjar lymfe, tulang,

ginjal dan lain-lain. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu :

a. TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar lymfe, tulang (kecuali

tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra paru berat, misalnya Meningitis millier, perikarditis, TB

tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes

RI, 2008).

2.1.7. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru

Menurut Depkes RI (2008), tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat

pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu :

1. Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan

(27)

2. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh,

kemudian didiagnosis kembali dengan BTA positif.

3. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah penderita yang telah

berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4. Gagal (Failure) adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap

positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau lebih selama

pengobatan.

5. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang dipindahkan dari Unit

Pelayanan Kesehatan (UPK) yang memiliki register TB lain untuk

melanjutkan pengobatannya.

6. Lain-lain adalah kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk Kasus Kronis, yaitu penderita dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.1.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru

2.1.8.1. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru

Menurut Depkes RI (2008), OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal

(28)

1. Tahap Awal (Intensif)

Pada tahap awal (Intensif) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi (kekebalan). Bila

pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian

besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam

2 bulan.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan.

Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka

waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat

(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu

dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment

Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (Depkes RI, 2002).

2.1.8.2. Hasil Pengobatan

1. Sembuh

Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan

pemeriksaan ulang dahak sebelum akhir pengobatan dan pada akhir

(29)

2. Pengobatan Lengkap

Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap

tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

3. Meninggal

Adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab

apapun.

4. Pindah

Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain

dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

5. Default/ Drop Out

Penderita yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih

sebelum masa pengobatannya selesai.

6. Gagal

Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan

(Depkes RI, 2008).

2.2. Penanggulangan TB

2.2.1. Rencana Global Penanggulangan TB

Menurut Depkes RI (2007), Rencana Global 2006-2015 mencakup enam

elemen utama dalam strategi baru Stop TB –WHO yang terdiri dari :

1. Memperluas dan meningkatkan ekspansi DOTS yang berkualitas,

(30)

terfokus pada penderita agar pelayanan DOTS yang berkualitas dapat

menjangkau seluruh penderita, khususnya kelompok masyarakat yang

miskin dan rentan.

2. Menghadapi tantangan TB/HIV , MDR-TB dan tantangan lainnya, dengan

cara meningkatkan kolaborasi TB/HIV, DOTS-Plus dan pendekatan lainnya.

3. Berkontribusi dalam memperkuat sistem kesehatan melalui kerjasama

dengan berbagai program dan pelayanan kesehatan lainnya, misalnya dalam

memobilisasi sumber daya manusia dan finansial untuk implementasi dan

mengevaluasi hasilnyaserta pertukaran informasi dalam keberhasilan

pencapaian dalam program penanggulangan TB.

4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah, lembaga

swadaya masyarakat (LSM) dan swasta, dengan cara memperluas

pendekatan berbasis public-private mix (PPM) dengan menggunakan ISTC.

5. Melibatkan penderita TB dan masyarakat untuk memberikan kontribusi

dalam penyediaan pelayanan yang efektif. Hal ini meliputi perluasan

pelayanan TB di masyarakat, menciptakan kebutuhan masyarakat akan

pelayanan TB, advokasi yang spesifik; komunikasi dan mobilisasi sosial;

serta mendukung pengembangan piagam pasien TB dalam masyarakat, dan

6. Memberdayakan dan meningkatkan penelitian operasional.

2.2.2. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah

(31)

1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB

Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS

diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru

BTA positif yang ditemukan (Aditama, 2002).

Pengertian DOTS dimulai dengan keharusan pengelola program TB untuk

memfokuskan perhatian dalam usaha menemukan penderita. Dalam arti deteksi kasus

dengan pemeriksaan mikroskopik, yaitu dengan keharusan mendeteksi kasus secara

baik dan akurat. Kemudian, setiap pasien harus diobservasi dalam memakan obatnya,

setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Pasien juga harus

menerima pengobatan yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dan

penyediaan obat secara baik. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik,

artinya pengobatan jangka pendek standard yang telah terbukti ampuh secara klinik.

Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program

penanggulangan TB mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan

(Aditama, 2002).

Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap

penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan

melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang

ditetapkan.

Strategi DOTS mempunyai lima komponen :

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.

(32)

3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek

dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB.

2.3. Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek

dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan

seorang PMO. Menurut Depkes RI (2008), persyaratan seorang PMO adalah :

a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas

kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh

penderita.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.

c. Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan

penderita.

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,

sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang

memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan

Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), atau tokoh masyarakat lainnya atau

(33)

Tugas seorang PMO antara lain :

1. Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai

selesai pengobatan.

2. Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.

3. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah

ditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang

mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB Paru untuk segera

memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

2.4. Faktor- faktor yang memengaruhi Kesembuhan 2.4.1. Kepatuhan Berobat

Menurut Sacket dalam Ester (2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana

perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.

Menurut Sarafino dalam Bart (1994), ketidaktaatan meningkatkan risiko

berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk

kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah

opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan

pengobatan. Kepatuhan atau ketaatan merupakan tingkat pasien melaksanakan cara

pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau boleh yang lain.

Kepatuhan berobat adalah tingkah perilaku penderita dalam mengambil

suatu tindakan atau upaya untuk secara teratur menjalani pengobatan. Penderita yang

(34)

tanpa terputus selama 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak

patuh berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai

rencana yang ditetapkan (Depkes RI, 2002).

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi

empat bagian yaitu :

1. Pemahaman Tentang Instruksi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi

yang diberikan padanya. Ley dan Spelman dalam Ester (2000) menemukan bahwa

lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti

tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan

oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap,

penggunaan istilah-istilah medis dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat

oleh pasien.

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh

DiNicola dan DiMatteo dalam Ester (2000), yaitu:

a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal

lain.

c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus

diingat, maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka berusaha

mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis.

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan

(35)

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian

yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Hal ini perlu ditingkatkan untuk

memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang

diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa

penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti ini.

3. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu, menentukan program pengobatan yang dapat

mereka terima juga dapat memberikan dukungan dan membuat keputusan mengenai

perawatan anggota keluarga yang sakit

4. Keyakinan, Sikap, Kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara

pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian

secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal.

Orang-orang yang tidak patuh adalah Orang-orang-Orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas,

sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan

yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.

Blumenthal et al dalam Ester (2000), mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang

disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out)

dari program pengobatan.

Dalam proses penyembuhan, penderita TB Paru dapat diberikan obat anti-

(36)

ketat. Masa pemberian obat memang cukup lama yaitu 6-8 bulan secara

terus-menerus, sehingga dapat mencegah penularan kepada orang lain. Oleh sebab itu, para

penderita TB jika ingin sembuh harus minum obat secara teratur. Tanpa adanya

keteraturan minum obat, penyakit sulit disembuhkan. Jika tidak teratur minum obat

penyakitnya sukar diobati, kuman TB dalam tubuh akan berkembang semakin banyak

dan menyerang organ tubuh lain yang akan membutuhkan waktu lebih lama untuk

dapat sembuh (Ainur, 2008).

Beberapa faktor yang mempengaruhi keteraturan berobat antara lain:

a. Tingkat pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, maka semakin baik

penerimaan informasi tentang pengobatan penyakitnya sehingga akan

semakin teratur proses pengobatan dan penyembuhan.

b. Mutu pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan yang memuaskan pasien tersebut akan menimbulkan

keinginan pasien untuk datang kembali.

c. Sarana dan Prasarana Pelayanan

Pada sarana dan prasarana memadai, penderita TB paru lebih banyak yang

teratur minum obat dan yang tidak teratur terbukti lebih sedikit.

d. Efek samping obat

(37)

2.4.2. Motivasi

2.4.2.1. Definisi Motivasi

Menurut Branca dalam Walgito (2003), menyatakan bahwa motivasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu movere yang berarti bergerak atau to move yang berarti

kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang mendorong untuk berbuat sesuatu.

Menurut Notoatmodjo (2003) motivasi diartikan sebagai dorongan dalam bertindak

untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam

bentuk perilaku. Adapun perilaku itu sendiri terbentuk melalui proses tertentu, dan

berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.

Motivasi mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam penyembuhan

pasien. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Siswanto (1999), bahwa motivasi

kesembuhan sebagai salah satu objek studi psikologi kesehatan akan menentukan

semangat juang para pasien untuk sembuh atau setidaknya mampu bertahan dalam

menghadapi penyakit yang dideritanya. Motivasi kesembuhan disini akan menjadi

daya penggerak dalam diri individu sebagai upaya untuk mencari jalan keluar dalam

proses pengobatan dan penyembuhan.

Banyak faktor yang memengaruhi motivasi seseorang untuk sembuh dari

penyakitnya. Secara umum dibagi menjadi tiga faktor yaitu ; faktor dari dalam

individu, faktor dari luar individu dan faktor religiusitas. Faktor dari dalam individu

dapat berasal dari keinginan seseorang untuk melepaskan dirinya dari rasa sakit yang

dideritanya. Faktor dari luar individu adalah lingkungan sekitar individu dapat berupa

(38)

Menurut Walgito (2003), motivasi merupakan keadaan dalam diri individu

yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Motivasi itu mempunyai 3 aspek, yaitu : (1)

keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving state), yaitu kesiapan bergerak

karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani atau karena keadaan mental seperti

berpikir dan ingatan; (2) perilaku yang timbul terarah karena keadaan ini; (3) tujuan

yang dituju oleh perilaku tersebut.

2.4.2.2. Teori Motivasi 1. Teori Harapan

Teori Harapan adalah sebuah teori proses yang menyatakan bahwa kuatnya

seseorang bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan harapan bahwa

tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan pada daya tarik dari hasil

itu bagi orang yang bersangkutan. Kuatnya motivasi seseorang berprestasi (usahanya)

tergantung pada pandangannya tentang betapa kuatnya keyakinan yang terdapat

dalam dirinya bahwa ia akan dapat mencapai apa yang diusahakan untuk dicapai

(Siagian, 1995).

Teori ini mengandung tiga variabel, yaitu daya tarik, hubungan antara

prestasi dengan imbalan serta hubungan antara usaha dan prestasi. Daya tarik adalah

sampai sejauh mana seseorang merasa pentingnya hasil atau imbalan yang diperoleh

dalam penyelesaian tugasnya. Teori harapan mengatakan bahwa apakah seseorang

mempunyai keinginan untuk menghasilkan sesuatu karya pada waktu tertentu

(39)

tersebut tentang nilai suatu prestasi sebagai wahana untuk mencapai tujuan tersebut

(Siagian, 1995).

2. Teori Penguatan

Teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti bahwa

penguatan menentukan perilaku seseorang. Para penganut teori penguatan melihat

perilaku seseorang sebagai akibat lingkungannya. Yang dimaksud dengan

faktor-faktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang apabila timbul mengikuti suatu

respon, memperbesar kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi (Siagian, 1995).

Teori ini menjelaskan bagaimana konsekuensi perilaku di masa yang lalu

mempengaruhi tindakan di masa datang dalam suatu siklus proses belajar. Dalam

pandangan teori ini jika seseorang individu berperilaku tertentu dan diikuti oleh

konsekuensi yang menyenangkan maka perilaku tersebut cenderung akan diulangi,

dan sebaliknya jika suatu perilaku tertentu menghasilkan konsekuensi negatif, maka

perilaku ini cenderung tidak akan diulang di masa datang (Notoadmodjo, 2003).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inti teori ini terletak pada

pandangan bahwa jika tindakan seorang manajer kepada bawahan mendorong

perilaku positif tertentu, bawahan yang bersangkutan akan cenderung mengulangi

tindakan serupa. Sebaliknya, jika seorang manajer menegur bawahannya karena

melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak dilakukannya, bawahan tersebut akan

cenderung untuk tidak mengulangi tindakan tersebut terlepas dari dalam diri orang

yang bersangkutan. Singkatnya, motivasi seseorang bawahan untuk melakukan atau

tidak melakukan sesuatu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti

(40)

Dalam hal kepatuhan berobat pada penderita TB Paru, faktor-faktor di luar

dirinya seperti dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas dapat

menjadi faktor-faktor penguat yang mendorong penderita TB Paru untuk persisten

dalam menjalani pengobatannya sehingga tidak menyebabkan penderita putus

berobat. Bentuk penguatan tersebut dapat berupa perhatian maupun teguran dari

keluarga dan PMO bila penderita jenuh dalam menjalani proses pengobatan, serta

sikap petugas yang senantiasa mendengar segala keluhan penderita, meresponsnya

dan memberikan solusi dengan baik.

2.5. Kerangka Konsep

Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Motivasi

• Dukungan Keluarga/ PMO • Dorongan Petugas

• Rasa Tanggung Jawab

Kepatuhan berobat penderita

(41)

Definisi Konsep :

1. Kepatuhan penderita TB Paru adalah ketaatan penderita TB Paru dalam

melaksanakan pengobatan sesuai aturan dan jadwal yang ditentukan.

2. Motivasi adalah suatu perasaan, pikiran dan dorongan atau daya penggerak

yang berasal dari dalam diri penderita TB Paru maupun yang berasal dari

kekuatan di luar pribadi penderita yang menyebabkan kepatuhan berobat

penderita TB Paru, meliputi : dukungan keluarga (PMO), dorongan petugas,

dan rasa tanggung jawab.

3. Tingkat kesembuhan penderita TB Paru adalah tingkat hasil pengobatan

penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap selama

6-8 bulan dan pemeriksaan dahak ulang.

2.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah :

1. Ada pengaruh kepatuhan penderita TB Paru terhadap tingkat kesembuhan

dalam pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun

2011.

2. Ada pengaruh motivasi penderita TB paru (dukungan keluarga/PMO,

dorongan petugas, rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kesembuhan dalam

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan

pendekatan explanatory atau penelitian penjelasan yang bertujuan untuk menjelaskan

pengaruh kepatuhan dan motivasi penderita TB Paru terhadap tingkat kesembuhan

dalam pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011

(Singarimbun, 1995).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan

dengan pertimbangan bahwa angka kesembuhan di puskesmas ini belum mencapai

target yang ditetapkan pemerintah yaitu minimal 85% dan merupakan angka

kesembuhan yang paling rendah dari sembilan puskesmas yang terdapat di Kota

Padangsidimpuan. Waktu penelitian ini dilakukan pada Bulan Juni sampai dengan

Juli Tahun 2011.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB paru BTA positif

yang tercatat di formulir TB-01 Puskesmas Sadabuan pada Bulan Juni sampai dengan

Desember Tahun 2010 sebanyak 44 orang.

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB paru BTA positif

yang tercatat di formulir TB-01 Puskesmas Sadabuan pada Bulan Juni sampai dengan

(43)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan data

primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden,

dengan berpedoman pada kuesioner penelitian yang telah dipersiapkan

sebelumnya.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan data dari laporan

pelaksanaan program penanggulangan TB Paru (kartu pengobatan

tuberkulosis TB-01) di Puskesmas Sadabuan dan Profil Dinas Kesehatan

Kota Padangsidimpuan.

3.5. Definisi Operasional

Untuk memudahkan penelitian serta memiliki persepsi yang sama, maka

definisi operasional penelitian ini adalah :

1. Kepatuhan adalah ketaatan responden dalam menelan obat, mengambil obat

dan melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan dan

menaati segala nasehat dari petugas kesehatan. Dibedakan menjadi 2

kategori yaitu :

a. Patuh, bila responden menelan obat secara teratur dan melakukan

pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan serta menaati

(44)

b. Tidak patuh, bila responden tidak menelan obat secara teratur, tidak

memeriksakan dahak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan tidak

menaati segala nasehat dari petugas kesehatan.

2. Dukungan keluarga/PMO adalah penilaian responden tentang partisipasi dan

dorongan keluarga dalam membantu pemulihan penyakit TB Paru,

dibedakan menjadi 3 kategori :

a. Baik, bila partisipasi dan dorongan keluarga/PMO sangat baik terhadap

penderita TB Paru.

b. Sedang, bila partisipasi dan dorongan keluarga/PMO kurang baik

terhadap penderita TB Paru.

c. Buruk, bila partisipasi dan dorongan keluarga/PMO tidak baik terhadap

penderita TB Paru.

3. Dorongan petugas adalah persepsi responden terhadap tindakan petugas

dalam memberikan dorongan dan pengetahuan kepada responden selama

pengobatan TB Paru, dibedakan menjadi 3 kategori :

a. Baik, bila persepsi penderita TB Paru sangat positif terhadap tindakan

petugas dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.

b. Sedang, bila persepsi penderita TB Paru positif terhadap tindakan

petugas dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.

c. Buruk, bila persepsi penderita TB Paru negatif terhadap tindakan

(45)

4. Rasa tanggung jawab adalah tuntutan dalam diri responden untuk sembuh

dari penyakitnya dengan menjalani pengobatan dan menjaga kesehatan

keluarganya agar tidak tertular penyakit TB Paru.

a. Baik, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari penyakitnya

dengan menjalani pengobatan sudah tinggi.

b. Sedang, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari

penyakitnya dengan menjalani pengobatan masih rendah.

c. Buruk, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari

penyakitnya dengan menjalani pengobatan sangat rendah.

5. Tingkat kesembuhan adalah tingkat hasil pengobatan, dimana penderita telah

menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan melakukan pemeriksaan

akhir yang dinyatakan negatif kuman TB paru.

a. Sembuh, jika memenuhi syarat diatas : skor 1

b. Tidak sembuh, jika tidak memenuhi syarat diatas : skor 0

(dapat dilihat pada Formulir TB-01)

3.6. Aspek Pengukuran

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Indpenden

Variabel predisposisi, pemungkin dan kebutuhan meliputi skala pengukuran

(46)

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen

Variabel Skor

Skala

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen

Variabel terikat adalah tingkat kesembuhan dalam pengobatan. Secara rinci

dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen

No Variabel Jumlah

Indikator

Skala Ukur Hasil Ukur

1 Tingkat kesembuhan

dalam pengobatan 1 Nominal

0 = tidak sembuh 1 = sembuh

3.7. Teknik Analisis Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi logistik

ganda pada α = 0,05, dengan alasan variabel terikat merupakan variabel binary

(dikotomus) yang mempunyai 2 kategori, yaitu sembuh dan tidak sembuh. Analisis

bivariat menggunakan uji chi square pada tingkat kemaknaan α = 0,05.

Uji Regresi Logistik ganda digunakan untuk mengetahui hubungan antara

(47)

dikotomus. Tujuannya adalah untuk mendapatkan model yang paling baik dan

sederhana yang dapat menggambarkan hubungan antara variabel independen dan

variabel dependen.

Rumus regresi logistik ganda

( )

( o X X iXi )

e z

P β +β +β + +β +

= 1 1 2 2 ...

1

1

Keterangan :

P(z) = Variabel dependen

β0 = Koefisien regresi

(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Letak Geografis

Puskesmas Sadabuan berada di Kelurahan Sadabuan wilayah Kecamatan

Padangsidimpuan Utara Kota Padangsidimpuan dengan luas wilayahnya 76,59 Ha

dan merupakan puskesmas induk yang membawahi 10 puskesmas pembantu lainnya

yang ada di kecamatan tersebut. Kecamatan Padangsidimpuan Utara memiliki

batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Hutaimbaru, Sabungan Jae (Padangsidimpuan Barat)

b. Sebelah Selatan : Kelurahan Ujung Padang (Padangsidimpuan Selatan)

c. Sebelah Barat : Wek VI Padangsidimpuan Selatan

d. Sebalah Timur : Wek V Padangsidimpuan Selatan

Jumlah kelurahan yang terdapat di Kecamatan Padangsidimpuan Utara

sebanyak 16 kelurahan yang seluruhnya merupakan wilayah kerja Puskesmas

Sadabuan.

4.1.2. Demografis

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Sadabuan pada Tahun 2010

mencapai 59.535 jiwa (17.033 kepala keluarga). Berdasarkan jenis kelamin,

penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 29.493 jiwa dan penduduk yang

berjenis kelamin perempuan sebanyak 30.042 jiwa. Secara rinci dapat dilihat pada

(49)

Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah (jiwa) Persentase %

1 Laki-laki 29.493 49,54

2 Perempuan 30.042 50,46

Jumlah 59.535 100

Sumber : Profil Puskesmas Sadabuan Tahun 2010

4.1.3. Sumber Daya Kesehatan

Perencanaan sumber daya kesehatan meliputi sumber daya tenaga, sarana

dan biaya sangat besar pengaruhnya terhadap kemajuan pembangunan kesehatan.

Sarana kesehatan yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Sadabuan terdiri dari 10

(sepuluh) puskesmas pembantu. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Table 4.2. Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja Puskesmas Sadabuan

No Kelurahan Puskesmas Pembantu

1 Wek I Samora

Salak

2 Wek II Wek II

3 Wek III Wek III

4 Timbangan Timbangan

5 Panyanggar Panyanggar

6 Batang Ayumi Julu Batang Ayumi Julu

7 Losung Batu Losung Batu

8 Tobat Tobat

9 Bincar Bincar

Jumlah 10

Sumber : Profil Puskesmas Sadabuan Tahun 2010

Tenaga kesehatan yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Sadabuan

terdiri dari dokter, bidan, perawat dan tenaga lainnya.Secara rinci dapat dilihat pada

(50)

Table 4.3. Jenis Tenaga Kesehatan di Puskesmas Sadabuan

No Tenaga Kesehatan Jumlah

1 Dokter Umum 1

2 Dokter Gigi 1

3 Tenaga Kesmas 1

4 Bidan 25

5 Perawat 15

6 Tenaga Kefarmasian 2

7 Tenaga Gizi 2

8 Tenaga Sanitasi 2

9 Tenaga Teknisi Medis 1

Jumlah 50

Sumber : Profil Puskesmas Sadabuan Tahun 2010

4.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel

independen dan dependen dalam penelitian yang meliputi: kepatuhan penderita,

dukungan keluarga/PMO, dorongan petugas, rasa tanggung jawab dan tingkat

kesembuhan dalam pengobatan.

4.2.1. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah penderita TB paru BTA positif yang

tercatat di formulir TB-01 pada Bulan Juni sampai Desember Tahun 2010.

Berdasarkan pengumpulan data di lapangan, diperoleh gambaran karakteristik

responden secara umum menurut kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan dan

pekerjaan.

Hasil penelitian, menunjukkan bahwa umur responden yang terbanyak

terdapat pada kelompok umur dewasa awal, yaitu <40 tahun sebanyak 27 responden

(51)

kelamin laki-laki sedangkan 18 responden (40,9%) berjenis kelamin perempuan.

Berdasarkan tingkat pendidikan, responden terbanyak berpendidikan tamat

SLTA/sederajat yaitu 23 responden (52,3%). Berdasarkan pekerjaan, sebanyak 25

responden (56,8%) memiliki pekerjaan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan

No Variabel f %

1. Umur (Tahun)

Umur dewasa awal (<40 Tahun) Umur dewasa madya (40-60 Tahun)

27

Tamat Akademi/Perguruan Tinggi

4

4.2.2. Deskripsi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penderita

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kepatuhan penderita, dapat diketahui

bahwa ada 33 responden (75%) yang minum obat setiap hari pada pengobatan tahap

awal (2 bulan). Distribusi responden yang menyatakan minum obat sesuai dosis yang

ditentukan yaitu sebanyak 33 responden (75%) dan ada 11 responden (25%) yang

(52)

Distribusi responden yang menyatakan teratur berobat ke puskesmas sesuai

kesepakatan dengan petugas, yaitu sebanyak 18 responden (40,9%). Responden

terbanyak yang menyatakan mematuhi jadwal pemeriksaan dahak yang telah

ditentukan yaitu 19 responden (43,2%). Responden yang menyatakan minum obat

tiga kali seminggu pada pengobatan tahap lanjutan (4 bulan), yaitu sebanyak 20

responden (45,5%). Distribusi responden yang mengikuti petunjuk dan anjuran

petugas kesehatan dalam pengobatan, yaitu sebanyak 21 responden (47,7%). Secara

rinci dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penderita

No Kepatuhan Penderita f (%)

1 Pengobatan tahap awal (2 bulan), minum obat setiap hari a. Ya

2 Minum obat sesuai dosis yang ditentukan a. Ya

3 Teratur berobat ke puskesmas sesuai kesepakatan dengan petugas

4 Mematuhi jadwal pemeriksaan dahak yang telah ditentukan a. Ya

(53)

Tabel 4.5. (Lanjutan)

6

Selalu mengikuti petunjuk dan anjuran petugas kesehatan dalam pengobatan

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa responden terbanyak berada

dalam kategori tidak patuh yaitu 24 responden (54,5%) dan kategori patuh yaitu 20

responden (45,5%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kepatuhan Penderita

4.2.3. Deskripsi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga/PMO

Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan keluarga/PMO, dapat

diketahui sebanyak 15 responden (34,1%) menyatakan bahwa selama menjalani

pengobatan, keluarga/PMO selalu mengawasi minum obat dan memberikan dorongan

agar minum obat secara teratur. Distribusi responden yang menyatakan bahwa selama

menjalani pengobatan, keluarga/PMO menganjurkan kepada responden agar istirahat

dan makan makanan bergizi untuk membantu proses pengobatan, yaitu sebanyak 16

responden atau sebesar 36,4%.

Hasil distribusi responden yang menyatakan bahwa selama pengobatan,

keluarga/PMO tetap memberikan bantuan kepada responden yaitu sebanyak 25

responden (56,8%). Mayoritas responden yang menyatakan keluarga/PMO pernah

(54)

telah ditentukan selama menjalani pengobatan, yaitu sebanyak 25 responden (56,8%).

Sebagian besar responden (61,4%) menyatakan bahwa selama menjalani pengobatan,

anggota keluarga tidak pernah menggantikan mereka untuk mengambil obat ke

puskesmas. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga/ PMO

No Dukungan Keluarga/PMO f (%)

1 Keluarga selalu mengawasi minum obat dan memberikan dorongan agar minum obat secara teratur

a. Ya

2 Selama menjalani pengobatan, keluarga menganjurkan untuk istirahat dan makan makanan bergizi

a. Ya

3 Selama pengobatan, keluarga tetap memberikan bantuan a. Ya

4 Keluarga/PMO pernah mengingatkan untuk berobat atau periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan

a. Ya

5 Selama pengobatan, anggota keluarga pernah menggantikan responden mengambil obat ke puskesmas

a. Ya

Hasil penelitian, menunjukkan bahwa 10 responden (22,7%) menerima

dukungan keluarga dalam kategori baik, kategori sedang sebanyak 19 responden

(43,2%), dan kategori buruk sebanyak 15 responden (34,1%). Secara rinci dapat

(55)

Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Dukungan Keluarga/ PMO

No Kategori Dukungan Keluarga/PMO f (%)

1 2 3

Baik Sedang Buruk

10 19 15

22,7 43,2 34,1

Jumlah 44 100

4.2.4. Deskripsi Responden Berdasarkan Dorongan Petugas Kesehatan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai dorongan petugas kesehatan kepada

responden, dapat diketahui sebanyak 22 responden (50%) menyatakan bahwa petugas

pernah memberikan penyuluhan tentang TB. Distribusi responden yang menyatakan

bahwa petugas pernah menanyakan keadaan/kemajuan mereka selama pengobatan

yaitu sebesar 65,9%.

Distribusi responden yang menyatakan bahwa petugas pernah mengingatkan

akibat bila tidak minum obat secara teratur sebanyak 26 responden (59,1%).

Sebagian besar responden (65,9%) menyatakan bahwa petugas pernah menganjurkan

minum obat secara teratur. Distribusi responden yang menyatakan bahwa selama

pengobatan, petugas pernah menjelaskan tentang jadwal minum obat yaitu sebanyak

Gambar

Tabel 1.1.  Jumlah Kesakitan  dan  Kesembuhan TB Paru Menurut   Puskesmas di Kota Padangsidimpuan Tahun  2008 - 2009
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen
Table 4.2.  Puskesmas Pembantu di Wilayah No Kerja Puskesmas Sadabuan Kelurahan Puskesmas Pembantu
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Untuk membuat Modul ini penulis membuat struktur navigasi dan storyboard dengan menggunakan Macromedia Flash MX 2004 serta komponen-komponen lainnya yang mendukung proses

Definisi, lingkup, dan syarat kerja sama Gelar Bersama, Gelar Ganda, Kegiatan Alih atau Ambil Kredit wajib mengikuti Panduan Penyelenggaraan Program Kerja Sama Perguruan

Diagnosis NTI yang disebutkan secara eksplisit didapatkan pada tiga kasus yaitu satu pasien nefritis lupus kelas 4 dengan diagnosis histopatologis glomerulonefritis sklerosing

[r]

Dapat dijadikan sebagai bahan kajian dan acuan untuk pengembangan penelitian yang lebih spesifik dan mendalam, khususnya hal-hal yang berhubungan dengan obesitas

4. Pameran literasi dapat dilaksanakan di luar kelas dengan meja-meja yang diatur untuk memamerkan karya tulisan siswa dan bahan bacaan. Kegiatan membaca dapat dilakukan di

For the analysis of cluster structures in a multidimensional data volume it is proposed to use elastic maps technologies, which are methods for mapping points of the