SKRIPSI
PENGARUH KEPATUHAN DAN MOTIVASI PENDERITA TB PARU TERHADAP TINGKAT KESEMBUHAN DALAM PENGOBATAN
DI PUSKESMAS SADABUAN KOTA PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2011
Oleh :
INDAH DOANITA HASIBUAN NIM. 091000195
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan penting bagi masyarakat di dunia hingga saat ini termasuk Indonesia. Puskesmas Sadabuan merupakan puskesmas yang memiliki angka kesembuhan terendah dari 9 puskesmas yang ada di Kota Padangsidimpuan. Jumlah penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan pada Tahun 2008 sebanyak 103 orang dengan angka kesembuhan 85,44%. Pada Tahun 2009, terdapat 61 penderita TB Paru BTA positif tapi angka kesembuhan hanya 63,93%. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kesembuhan di Puskesmas Sadabuan dan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.
Jenis penelitian ini menggunakan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh kepatuhan dan motivasi (dukungan keluarga/PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kesembuhan dalam pengobatan TB paru di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011. Populasi adalah seluruh penderita TB paru BTA positif yang tercatat di form TB-01 dengan sampel sebanyak 44 orang. Uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik ganda.
Hasil uji statistik bivariat menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh terhadap tingkat kesembuhan pengobatan TB paru yaitu kepatuhan penderita (p=0,000), dukungan keluarga/PMO (p=0,005), dorongan petugas kesehatan (p=0,033), dan rasa tanggung jawab (p=0,000). Variabel yang paling dominan memberikan pengaruh terhadap tingkat kesembuhan pengobatan TB Paru, yaitu kepatuhan penderita (B=3.408).
Untuk meningkatkan kesadaran (awarenes) penderita TB, perlu adanya komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit TB paru, penyuluhan atau pemberian bimbingan konseling kepada penderita sehingga penderita lebih paham akan penyakit yang dideritanya dan bertanggung jawab atas kesembuhannya.
ABSTRACK
Tuberculosis (TB) is one of the infectious disease remains a significant health problem for people in the world till now, including Indonesia. Sadabuan Health Center is a clinic that has the lowest cure rate of 9 health centers in Padangsidimpuan City. The number of patients with Pulmonary TB positive BTA at Sadabuan health center Padangsidimpuan City by the Year 2008 as many as 103 people with cure rate 85.44%. In the year 2009, there were 61 patients with Pulmonary TB positive BTA but cure rate only 63.93%. This means decreasing of cure rate in Sadabuan Health Center and did not reach the target yet that was set at least 85%.
This type of research using explanatory research that aims to explain the effect of adherence and motivation (family support / PMO, staff support and sense of responsibility) to cure level of pulmonary tuberculosis treatment at Sadabuan health center Padangsidimpuan City on 2011. The population were all patients with positive BTA pulmonary TB were recorded in the form of TB-01 with a sample size of 44 people. The statistic test was used multiple logistic regression.
The results of bivariat statistic test showed that variables which had influence on treatment of Pulmonary TB cure rate, were patient compliance (p=0.000), the family support/PMO (p=0.005), staff support (p=0.033) and sense of responsibility (p=0.000). Variables that had dominant influence with treatment of Pulmonary TB cure rate was patient compliance (B=3.408).
For increase TB patients awareness need IEC (Information, Education and Communication) about pulmonary tuberculosis diseases, extension or counseling to patients so that patients more understand about their diseases and responsible on their recovery.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Indah Doanita Hasibuan
Tempat/Tgl Lahir : Sibuhuan, 26 Nopember 1984
Agama : Islam
Status Perkawianan : Belum Menikah
Jumlah anggota keluarga : 5 (anak ke-1 dari 5 bersaudara)
Alamat Rumah : Jl. Setia Gg. Mulia No 36i Medan
Riwayat Pendidikan
1990 – 1996 : SD Negeri No.142926 Barumun Kecamatan
Barumun Kabupaten Padang Lawas
1996 – 1999 : SMP Negeri I Barumun Kecamatan Barumun
1999 – 2002 : SMU Negeri I Barumun
2002 – 2005 : DIII Ilmu Keperawatan USU Medan
2009 – 2011 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan
Riwayat Pekerjaan
2005 – 2006 : Perawat Klinik Bersalin Elly Medan
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh
Kepatuhan dan Motivasi Penderita TB Paru Terhadap Tingkat Kesembuhan dalam Pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011,
guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
bantuan baik moril maupun materil oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Heldy B.Z, M.P.H., selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan, Dosen Pembimbing I sekaligus sebagai Ketua Penguji.
3. Siti Khadijah Nst., SKM, M. Kes., selaku Dosen Pembimbing II dan Dosen
Penguji I.
4. Prof. dr. Aman Nasution, M.P.H selaku Dosen Penguji II.
5. dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji III.
6. Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademik.
7. Para Dosen dan Staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
8. Seluruh jajaran Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan secara khusus
kepada drg. Khairunnisa, selaku Kepala Puskesmas Sadabuan Kota
Padangsidimpuan.
9. Terkhusus kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Darman Hasibuan dan
Ibunda Pinta Marsaulina, adik-adikku Rini, Ikhsan, Hafiz dan Obi yang
senantiasa mendukung dan mendoakan penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini.
10.Sahabat-sahabat terbaikku Sondari, Hariyanti dan Syafrina.
11.Teman-teman seperjuangan di Departemen Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukannya.
Medan, Juli 2011
Penulis
DAFTAR ISI
2.1.3. Gejala-gejala Tuberkulosis... 10
2.1.4. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru... 10
2.1.5. Diagnosis Tuberkulosis Paru... 11
2.1.6. Klasifikasi Penyakit... 11
2.1.7. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru... 12
2.1.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru... 13
2.1.8.1. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis... 13
2.1.8.2. Hasil Pengobatan... 14
2.2. Penanggulangan TB Paru... 15
2.2.1. Rencana Global Penanggulangan TB Paru... 16
2.2.2. Strategi DOTS... 16
2.3. Pengawas Minum Obat (PMO)... 18
2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesembuhan... 19
3.3. Populasi dan Sampel... 28
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 29
3.5. Definisi Operasional... 29
3.6. Aspek Pengukuran... 31
3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen... 31
3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen... 32
3.7. Teknik Analisa Data... 32
4.2.1. Deskripsi Karakteristik Responden... 36
4.2.2. Deskripsi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penderita.. 37
4.2.3. Deskripsi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga/PMO... 39
4.2.4. Deskripsi Responden Berdasarkan Dorongan Petugas Kesehatan ... 41
4.2.5. Deskripsi Responden Berdasarkan Rasa Tanggung Jawab... ... 43
4.2.6. Deskripsi Responden Berdasarkan Tingkat Kesembuhan Pengobatan... 44
4.3. Analisis Bivariat... 45
4.4. Analisis Multivariat... 47
4.5. Hasil Wawancara... 48
BAB V PEMBAHASAN... 50
5.1. Pengaruh Kepatuhan Penderita terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 50
5.2. Pengaruh Motivasi terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 52
5.2.1. Pengaruh Dukungan Keluarga/PMO terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 52
5.2.2. Pengaruh Dorongan Petugas Kesehatan terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 53
5.2.3. Pengaruh Rasa Tanggung Jawab terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 54
5.3. Pengaruh Kepatuhan dan Motivasi (Dukungan Keluarga/ PMO, Dorongan Petugas Kesehatan dan Rasa Tanggung Jawab) terhadap Tingkat Kesembuhan Pengobatan TB Paru... 54
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 56
6.1. Kesimpulan... 56 6.2. Saran... 57
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1. Kuesioner
2. Hasil Pengolahan Statistik
3. Surat Permohonan Izin Penelitian
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1. Jumlah Kesakitan dan Kesembuhan TB Paru Menurut
Puskesmas di Kota Padangsidimpuan Tahun 2008 - 2009 ... 6
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen... 32
Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen ... 32
Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 35
Tabel 4.2. Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja Puskesmas Sadabuan ... 35
Tabel 4.3. Jenis Tenaga Kesehatan di Puskesmas Sadabuan ... 36
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan ... 37
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penderita ... 38
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kepatuhan Penderita ... 39
Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga/ PMO ... 40
Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Dukungan Keluarga/ PMO ... 41
Tabel 4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Dorongan Petugas Kesehatan .. 42
Tabel 4.10. Distribusi Kategori Dorongan Petugas Kesehatan ... 42
Tabel 4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Rasa Tanggung Jawab ... 43
Tabel 4.12. Distribusi Kategori Rasa Tanggung Jawab ... 44
Tabel 4.13. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kesembuhan Pengobatan ... 44
Tabel 4.15. Hubungan Dukungan Keluarga/PMO dengan Tingkat Kesembuhan ... 46
Tabel 4.16. Hubungan Dorongan Petugas Kesehatan dengan Tingkat Kesembuhan ... 46
Tabel 4.17. Hubungan Rasa Tanggung Jawab dengan Tingkat Kesembuhan .... 47
DAFTAR GAMBAR
Halaman
ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan penting bagi masyarakat di dunia hingga saat ini termasuk Indonesia. Puskesmas Sadabuan merupakan puskesmas yang memiliki angka kesembuhan terendah dari 9 puskesmas yang ada di Kota Padangsidimpuan. Jumlah penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan pada Tahun 2008 sebanyak 103 orang dengan angka kesembuhan 85,44%. Pada Tahun 2009, terdapat 61 penderita TB Paru BTA positif tapi angka kesembuhan hanya 63,93%. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kesembuhan di Puskesmas Sadabuan dan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.
Jenis penelitian ini menggunakan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh kepatuhan dan motivasi (dukungan keluarga/PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kesembuhan dalam pengobatan TB paru di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011. Populasi adalah seluruh penderita TB paru BTA positif yang tercatat di form TB-01 dengan sampel sebanyak 44 orang. Uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik ganda.
Hasil uji statistik bivariat menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh terhadap tingkat kesembuhan pengobatan TB paru yaitu kepatuhan penderita (p=0,000), dukungan keluarga/PMO (p=0,005), dorongan petugas kesehatan (p=0,033), dan rasa tanggung jawab (p=0,000). Variabel yang paling dominan memberikan pengaruh terhadap tingkat kesembuhan pengobatan TB Paru, yaitu kepatuhan penderita (B=3.408).
Untuk meningkatkan kesadaran (awarenes) penderita TB, perlu adanya komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang penyakit TB paru, penyuluhan atau pemberian bimbingan konseling kepada penderita sehingga penderita lebih paham akan penyakit yang dideritanya dan bertanggung jawab atas kesembuhannya.
ABSTRACK
Tuberculosis (TB) is one of the infectious disease remains a significant health problem for people in the world till now, including Indonesia. Sadabuan Health Center is a clinic that has the lowest cure rate of 9 health centers in Padangsidimpuan City. The number of patients with Pulmonary TB positive BTA at Sadabuan health center Padangsidimpuan City by the Year 2008 as many as 103 people with cure rate 85.44%. In the year 2009, there were 61 patients with Pulmonary TB positive BTA but cure rate only 63.93%. This means decreasing of cure rate in Sadabuan Health Center and did not reach the target yet that was set at least 85%.
This type of research using explanatory research that aims to explain the effect of adherence and motivation (family support / PMO, staff support and sense of responsibility) to cure level of pulmonary tuberculosis treatment at Sadabuan health center Padangsidimpuan City on 2011. The population were all patients with positive BTA pulmonary TB were recorded in the form of TB-01 with a sample size of 44 people. The statistic test was used multiple logistic regression.
The results of bivariat statistic test showed that variables which had influence on treatment of Pulmonary TB cure rate, were patient compliance (p=0.000), the family support/PMO (p=0.005), staff support (p=0.033) and sense of responsibility (p=0.000). Variables that had dominant influence with treatment of Pulmonary TB cure rate was patient compliance (B=3.408).
For increase TB patients awareness need IEC (Information, Education and Communication) about pulmonary tuberculosis diseases, extension or counseling to patients so that patients more understand about their diseases and responsible on their recovery.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis menjadi salah satu perhatian global karena kasus
tuberkulosis yang tinggi dapat berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi
bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. Tuberkulosis (TB) merupakan salah
satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan penting bagi
masyarakat di dunia hingga saat ini. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan biasa terdapat pada paru-paru tetapi
dapat mengenai organ tubuh lainnya. Sekitar 75% penderita TB adalah kelompok usia
yang paling produktif secara ekonomis (Depkes RI, 2008).
Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari
aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi. Diperkirakan seorang
pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan yang
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%
yang pada akhirnya akan berdampak terhadap ekonomi secara nasional. Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 Tahun.
Dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan
dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang
terhadap penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan,
ketidakproduktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2010, World Health
Organization (WHO) memerkirakan Prevalensi TB paru di dunia sekitar 14 juta
kasus, kemudian 9,4 juta kasus baru TB paru pada Tahun 2009 dan terdapat 1,7 juta
orang meninggal akibat TB paru pada tahun yang sama, dengan 4.700 kematian per
hari. Kejadian tingkat global diperkirakan turun menjadi 137 kasus per 100.000
penduduk pada Tahun 2009, setelah memuncak pada Tahun 2004 yaitu 142 kasus per
100.000 penduduk. Akan tetapi menurunnya angka ini dinilai masih terlalu lambat.
Secara global, persentase penduduk yang berhasil diobati mencapai level tertinggi
86% pada Tahun 2008. Sebagian besar kasus ditemukan di Asia tenggara, Afrika dan
wilayah pasifik barat.
Berdasarkan Global Tuberculosis Control (Global Report TB, 2010), situasi
epidemiologi TB Indonesia pada Tahun 2009, menunjukkan bahwa Insidensi kasus
baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus
baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB paru 39 per 100.000 penduduk
atau 250 orang per hari. Tingginya angka kematian dari penyakit tuberkulosis paru ini
menunjukkan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dari sisi kesehatan dan
adanya penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (Kurniasih,
2009).
Dengan munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan
TB Paru. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB Paru secara
signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap obat anti
kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya epidemi TB Paru yang sulit ditangani (Depkes RI, 2008).
Menurut IDI (2008), Indonesia sebagai negara dengan urutan ke-3 terbanyak
setelah India dan Cina dalam jumlah penderita tuberkulosis dengan angka prevalensi
225/100.000 penduduk, seyogianya harus berupaya semaksimal mungkin untuk
menurunkan angka tersebut menjadi 50% nya pada Tahun 2015. WHO
mencanangkan tahun kedaruratan global penyakit tuberkulosis paru (TB) pada Tahun
1993 karena penyakit TB tidak terkendali pada sebagian besar negara di dunia akibat
banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular
BTA (Bakteri Tahan Asam) positif (Depkes RI, 2002).
Sejak Tahun 1995, program Pemberantasan Tuberculosis Paru, telah
dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse
Chemotherapy) yang direkomendasikan oleh WHO. Kemudian berkembang seiring
dengan pembentukan Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) TB, maka
pemberantasan penyakit tuberkulosis Paru berubah menjadi program penanggulangan
tuberkulosis. Strategi DOTS mengandung lima komponen, yaitu : 1) komitmen politis
para pengambil keputusan untuk menjalankan program TB nasional, 2) diagnosis TB
dengan pemeriksaan BTA mikroskopik, 3) pengobatan dengan obat anti TB yang
diawasi langsung oleh pengawas menelan obat (PMO), 4) ketersediaan obat, 5)
pencatatan dan pelaporan hasil kinerja program TB (Depkes RI, 2002).
Kunci sukses penanggulangan TB adalah menemukan penderita dan
mengobati penderita sampai sembuh. WHO menetapkan target global Case Detection
kesembuhan/keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Hasil yang dicapai Indonesia
dalam menanggulangi TB hingga saat ini telah meningkat. Angka penemuan kasus
TB Paru yang ditemukan pada Tahun 2007 sebesar 160.617 orang (69,12%)
meningkat menjadi 161.115 orang (69,82%) pada Tahun 2008. Keberhasilan
pengobatan TB dari 81,5 % pada kelompok penderita yang ditemukan pada tahun
2007 meningkat menjadi 82,8 % pada Tahun 2008. Akan tetapi angka tersebut masih
di bawah target yang ditetapkan oleh WHO (Depkes RI, 2009).
Dalam lima tahun terakhir jumlah kasus TB paru BTA positif di Sumatera
Utara menunjukkan angka yang tidak stabil. Selama Tahun 2005-2006 kasus TB paru
mengalami peningkatan dari 13.401 kasus menjadi 16.678 kasus, namun Tahun 2007
mengalami penurunan dengan jumlah 13.369 kasus. Jumlah kasus TB paru naik
menjadi 14.158 kasus pada Tahun 2008 dan mengalami peningkatan lagi menjadi
17.026 kasus pada Tahun 2009 (Dinkes Sumut, Bid. P2 & PL 2010).
Penelitian Amiruddin (2006), menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang
memengaruhi terjadinya kesembuhan dalam pengobatan penderita TB paru di Kota
Ambon yakni Pengawas Menelan Obat (PMO), kepatuhan berobat penderita TB paru
dan efek samping obat. Penelitian Pratiwi (2004), di Kabupaten Kudus menunjukkan
adanya hubungan bermakna antara perilaku dan lingkungan sosial ekonomi dengan
kesembuhan pengobatan TB Paru. Hasil penelitian lainnya, Rizkiyani (2008),
menunjukkan bahwa faktor keteraturan berobat memiliki pengaruh yang kuat dalam
menentukan kesembuhan penderita TB paru di Jakarta Barat.
Menurut Smeltzer dan Bare dalam Sujana (2010), yang menjadi alasan
dalam waktu yang diharuskan. Pasien biasanya bosan harus minum banyak obat
setiap hari selama beberapa bulan, karena itu pada pasien cenderung menghentikan
pengobatan secara sepihak.
Perilaku penderita untuk menjalani pengobatan secara teratur dipengaruhi
beberapa faktor. Menurut Mantra dalam Sujana (2010), perilaku dipengaruhi oleh
faktor pengetahuan, motivasi, kepercayaan dan sikap positif, tersedianya sarana dan
prasarana yang diperlukan dan terdapat dorongan yang dilandasi kebutuhan yang
dirasakan.
Menurut Stoner dan Freedman dalam Sujana (2010), untuk terwujudnya
sebuah perilaku menjadi suatu tindakan maka diperlukan sebuah motivasi. Motivasi
adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat
komitmen seseorang, hal ini termasuk faktor yang menyebabkan, menyalurkan, dan
mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu.
Menurut Harita dalam Nasution (2003), untuk mencapai keberhasilan
pengobatan dibutuhkan motivasi kesembuhan dari penderita yang menjadi daya
penggerak dalam diri individu sebagai upaya untuk mencari jalan keluar. Orang
dengan motivasi tinggi akan cepat pulih dari penyakitnya.
Banyak yang memengaruhi motivasi seseorang untuk sembuh dari
penyakitnya. Secara umum dapat dibagi menjadi tiga faktor yaitu : 1) Faktor dari
dalam individu, 2) Faktor dari luar individu, dan 3) Faktor religiusitas. Faktor dari
dalam individu dapat berasal dari keinginan seseorang untuk sembuh karena adanya
Kota Padangsidimpuan terdiri dari 6 kecamatan dengan 9 Puskesmas.
Berdasarkan Profil Dinas kesehatan Kota Padangsidimpuan Tahun 2007, diketahui
bahwa dari 870 penderita TB paru klinis dan 118 penderita TB Paru BTA positif yang
ada di Puskesmas Sadabuan, sebanyak 112 orang dinyatakan sembuh (94,91%). Pada
Tahun 2008, terdapat 927 penderita TB paru klinis dan 103 BTA (+) dengan angka
kesembuhan sebesar 85,44%. Meskipun angka kesembuhan tersebut sudah melebihi
target nasional, akan tetapi angka kesembuhan di Puskesmas Sadabuan terus
mengalami penurunan hingga pada Tahun 2009, Puskesmas Sadabuan merupakan
puskesmas dengan angka kesembuhan paling rendah dari 9 puskesmas yang ada di
Kota Padangsidimpuan yaitu sebesar 63,93%. Kemudian pada Tahun 2010 terdapat
peningkatan jumlah penderita TB Paru BTA (+) yaitu sebanyak 83 orang.
Data dari Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan mengenai jumlah
kesakitan dan kesembuhan TB Paru di Kota Padangsidimpuan dari Tahun 2008
hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.1. berikut :
Tabel 1.1. Jumlah Kesakitan dan Kesembuhan TB Paru Menurut Puskesmas di Kota Padangsidimpuan Tahun 2008 - 2009
No Puskesmas 2008 2009
Klinis BTA (+) % Sembuh Klinis BTA(+) % Sembuh 1 Sadabuan 927 103 85,44 610 61 63,93 2 Padangmatinggi 1.157 160 76,88 717 61 75,41 3 Sidangkal 135 12 50,00 107 10 70,00 4 Batunadua 204 19 78,95 177 14 85,71 5 Hutaimbaru 113 19 89,47 193 18 100,00 6 Pijorkoling 197 13 92,31 250 26 76,92 7 Labuhan Rasoki 138 16 62,50 138 28 75,00
8 Pokenjior 89 12 91,67 52 10 90,00
9 Pintu Langit - - -
Jumlah 2.960 354 79,66 2.244 228 75,44
Data di atas menunjukkan bahwa angka kesembuhan penderita TB paru
terendah terdapat di Puskesmas Sadabuan sebesar 63,93% dan jika dibandingkan
dengan angka kesembuhan nasional 85%, maka persentase angka kesembuhan ini
belum mencapai target minimal yang telah ditetapkan WHO tersebut.
Berdasarkan survei pendahuluan peneliti, dari pernyataan beberapa penderita
TB paru di Puskesmas Sadabuan dapat diketahui bahwa kurangnya motivasi berobat
penderita TB Paru baik motivasi yang berasal dari individu itu sendiri maupun dari
luar dirinya. Salah satu penyebabnya adalah karena penderita merasa bosan dan lelah
dalam menjalani pengobatan.
Masih rendahnya cakupan angka kesembuhan berdampak negatif pada
kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program, karena masih memberi
peluang terjadinya penularan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga dan
masyarakat sekitarnya. Selain itu memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB
Paru terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sehingga menambah penyebarluasan
penyakit TB Paru, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru (Amiruddin,
2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh kepatuhan dan motivasi penderita TB Paru terhadap
tingkat kesembuhan dalam pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota
1.2. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kepatuhan dan motivasi
penderita TB Paru terhadap tingkat kesembuhan dalam pengobatan di Puskesmas
SadabuanKota Padangsidimpuan Tahun 2011.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menjelaskan pengaruh kepatuhan dan motivasi penderita TB Paru
terhadap tingkat kesembuhan dalam pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota
Padangsidimpuan Tahun 2011.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi dan bahan masukan kepada pihak Dinas Kesehatan Kota
Padangsidimpuan dalam penanggulangan penyakit TB Paru.
2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan
dalam melaksanakan program penanggulangan TB Paru dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan kepada penderita TB paru.
3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan bagi penelitian sejenis dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman yang disebut Mycobacterium tuberculosis dan bukanlah penyakit keturunan
tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Aditama, 1994).
Kuman tuberkulosis mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB Paru
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant,
tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002).
2.1.1. Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif yang belum
diobati. Kuman TB menyebar dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei), pada
waktu penderita batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Percikan dahak dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Kemungkinan seseorang
terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
2.1.2. Risiko Penularan
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI
sebesar 1 %, berarti diantara 1000 penduduk terdapat sepuluh orang terinfeksi setiap
tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3 %. Kemungkinan seseorang menjadi
penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS
dan malnutrisi/gizi buruk (Depkes RI, 2008).
2.1.3. Gejala-Gejala Tuberkulosis
Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan. Setiap orang dengan gejala tersebut dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) penderita TB dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis (Depkes RI, 2008).
2.1.4. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru
Menurut Depkes RI (2008), penemuan penderita merupakan langkah
pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB Paru yang terdiri dari
penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita.
Penemuan penderita TB paru dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka penderita dilakukan di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK);
masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita TB. Selain
itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya.
2.1.5. Diagnosis Tuberkulosis Paru
Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga
patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua,
hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada spesimen
penderita dengan cara pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ketiga, pemeriksaaan rontgen dada yang
akan memperlihatkan gambaran paru yang akan diperiksanya. Selain ketiga patokan
tersebut kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan
darah atau pemeriksaan tambahan lain (Aditama, 1994).
2.1.6. Klasifikasi Penyakit 1. Tuberkulosis (TB ) Paru
Menurut Depkes RI (2008), Tuberkulosis (TB ) Paru adalah tuberkulosis
yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam :
a. TB Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS) hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA
b. TB Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto
toraks menunjukkan gambaran TB. Tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika dan non OAT (Obat Anti Tuberkulosis).
2. Tuberkulosis (TB ) Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura
(selaput paru), selaput otak, pericardium (selaput jantung), kelenjar lymfe, tulang,
ginjal dan lain-lain. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu :
a. TB ekstra paru ringan, misalnya TB kelenjar lymfe, tulang (kecuali
tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. TB ekstra paru berat, misalnya Meningitis millier, perikarditis, TB
tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes
RI, 2008).
2.1.7. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru
Menurut Depkes RI (2008), tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu :
1. Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan
2. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh,
kemudian didiagnosis kembali dengan BTA positif.
3. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah penderita yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Gagal (Failure) adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke lima atau lebih selama
pengobatan.
5. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang dipindahkan dari Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK) yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
6. Lain-lain adalah kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronis, yaitu penderita dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
2.1.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru
2.1.8.1. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru
Menurut Depkes RI (2008), OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap awal
1. Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap awal (Intensif) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi (kekebalan). Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka
waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment
Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (Depkes RI, 2002).
2.1.8.2. Hasil Pengobatan
1. Sembuh
Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak sebelum akhir pengobatan dan pada akhir
2. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
3. Meninggal
Adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
4. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain
dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
5. Default/ Drop Out
Penderita yang tidak berobat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
6. Gagal
Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan
(Depkes RI, 2008).
2.2. Penanggulangan TB
2.2.1. Rencana Global Penanggulangan TB
Menurut Depkes RI (2007), Rencana Global 2006-2015 mencakup enam
elemen utama dalam strategi baru Stop TB –WHO yang terdiri dari :
1. Memperluas dan meningkatkan ekspansi DOTS yang berkualitas,
terfokus pada penderita agar pelayanan DOTS yang berkualitas dapat
menjangkau seluruh penderita, khususnya kelompok masyarakat yang
miskin dan rentan.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV , MDR-TB dan tantangan lainnya, dengan
cara meningkatkan kolaborasi TB/HIV, DOTS-Plus dan pendekatan lainnya.
3. Berkontribusi dalam memperkuat sistem kesehatan melalui kerjasama
dengan berbagai program dan pelayanan kesehatan lainnya, misalnya dalam
memobilisasi sumber daya manusia dan finansial untuk implementasi dan
mengevaluasi hasilnyaserta pertukaran informasi dalam keberhasilan
pencapaian dalam program penanggulangan TB.
4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan swasta, dengan cara memperluas
pendekatan berbasis public-private mix (PPM) dengan menggunakan ISTC.
5. Melibatkan penderita TB dan masyarakat untuk memberikan kontribusi
dalam penyediaan pelayanan yang efektif. Hal ini meliputi perluasan
pelayanan TB di masyarakat, menciptakan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan TB, advokasi yang spesifik; komunikasi dan mobilisasi sosial;
serta mendukung pengembangan piagam pasien TB dalam masyarakat, dan
6. Memberdayakan dan meningkatkan penelitian operasional.
2.2.2. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB Paru nasional yang telah
1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB
Paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja. Dengan strategi DOTS
diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru
BTA positif yang ditemukan (Aditama, 2002).
Pengertian DOTS dimulai dengan keharusan pengelola program TB untuk
memfokuskan perhatian dalam usaha menemukan penderita. Dalam arti deteksi kasus
dengan pemeriksaan mikroskopik, yaitu dengan keharusan mendeteksi kasus secara
baik dan akurat. Kemudian, setiap pasien harus diobservasi dalam memakan obatnya,
setiap obat yang ditelan pasien harus di depan seorang pengawas. Pasien juga harus
menerima pengobatan yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dan
penyediaan obat secara baik. Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik,
artinya pengobatan jangka pendek standard yang telah terbukti ampuh secara klinik.
Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program
penanggulangan TB mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan
(Aditama, 2002).
Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap
penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan
melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang
ditetapkan.
Strategi DOTS mempunyai lima komponen :
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB.
2.3. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan
seorang PMO. Menurut Depkes RI (2008), persyaratan seorang PMO adalah :
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh
penderita.
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
c. Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan
penderita.
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,
sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), atau tokoh masyarakat lainnya atau
Tugas seorang PMO antara lain :
1. Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai
selesai pengobatan.
2. Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang
mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB Paru untuk segera
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
2.4. Faktor- faktor yang memengaruhi Kesembuhan 2.4.1. Kepatuhan Berobat
Menurut Sacket dalam Ester (2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana
perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan.
Menurut Sarafino dalam Bart (1994), ketidaktaatan meningkatkan risiko
berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk
kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah
opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan
pengobatan. Kepatuhan atau ketaatan merupakan tingkat pasien melaksanakan cara
pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau boleh yang lain.
Kepatuhan berobat adalah tingkah perilaku penderita dalam mengambil
suatu tindakan atau upaya untuk secara teratur menjalani pengobatan. Penderita yang
tanpa terputus selama 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak
patuh berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai
rencana yang ditetapkan (Depkes RI, 2002).
Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi
empat bagian yaitu :
1. Pemahaman Tentang Instruksi
Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi
yang diberikan padanya. Ley dan Spelman dalam Ester (2000) menemukan bahwa
lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti
tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan
oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap,
penggunaan istilah-istilah medis dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat
oleh pasien.
Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh
DiNicola dan DiMatteo dalam Ester (2000), yaitu:
a. Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan.
b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal
lain.
c. Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus
diingat, maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka berusaha
mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis.
d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan
2. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian
yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Hal ini perlu ditingkatkan untuk
memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang
diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa
penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti ini.
3. Isolasi Sosial dan Keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan individu, menentukan program pengobatan yang dapat
mereka terima juga dapat memberikan dukungan dan membuat keputusan mengenai
perawatan anggota keluarga yang sakit
4. Keyakinan, Sikap, Kepribadian
Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara
pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian
secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal.
Orang-orang yang tidak patuh adalah Orang-orang-Orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas,
sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan
yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri.
Blumenthal et al dalam Ester (2000), mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang
disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out)
dari program pengobatan.
Dalam proses penyembuhan, penderita TB Paru dapat diberikan obat anti-
ketat. Masa pemberian obat memang cukup lama yaitu 6-8 bulan secara
terus-menerus, sehingga dapat mencegah penularan kepada orang lain. Oleh sebab itu, para
penderita TB jika ingin sembuh harus minum obat secara teratur. Tanpa adanya
keteraturan minum obat, penyakit sulit disembuhkan. Jika tidak teratur minum obat
penyakitnya sukar diobati, kuman TB dalam tubuh akan berkembang semakin banyak
dan menyerang organ tubuh lain yang akan membutuhkan waktu lebih lama untuk
dapat sembuh (Ainur, 2008).
Beberapa faktor yang mempengaruhi keteraturan berobat antara lain:
a. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, maka semakin baik
penerimaan informasi tentang pengobatan penyakitnya sehingga akan
semakin teratur proses pengobatan dan penyembuhan.
b. Mutu pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan yang memuaskan pasien tersebut akan menimbulkan
keinginan pasien untuk datang kembali.
c. Sarana dan Prasarana Pelayanan
Pada sarana dan prasarana memadai, penderita TB paru lebih banyak yang
teratur minum obat dan yang tidak teratur terbukti lebih sedikit.
d. Efek samping obat
2.4.2. Motivasi
2.4.2.1. Definisi Motivasi
Menurut Branca dalam Walgito (2003), menyatakan bahwa motivasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu movere yang berarti bergerak atau to move yang berarti
kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang mendorong untuk berbuat sesuatu.
Menurut Notoatmodjo (2003) motivasi diartikan sebagai dorongan dalam bertindak
untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam
bentuk perilaku. Adapun perilaku itu sendiri terbentuk melalui proses tertentu, dan
berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.
Motivasi mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam penyembuhan
pasien. Hal itu sesuai dengan yang dikatakan Siswanto (1999), bahwa motivasi
kesembuhan sebagai salah satu objek studi psikologi kesehatan akan menentukan
semangat juang para pasien untuk sembuh atau setidaknya mampu bertahan dalam
menghadapi penyakit yang dideritanya. Motivasi kesembuhan disini akan menjadi
daya penggerak dalam diri individu sebagai upaya untuk mencari jalan keluar dalam
proses pengobatan dan penyembuhan.
Banyak faktor yang memengaruhi motivasi seseorang untuk sembuh dari
penyakitnya. Secara umum dibagi menjadi tiga faktor yaitu ; faktor dari dalam
individu, faktor dari luar individu dan faktor religiusitas. Faktor dari dalam individu
dapat berasal dari keinginan seseorang untuk melepaskan dirinya dari rasa sakit yang
dideritanya. Faktor dari luar individu adalah lingkungan sekitar individu dapat berupa
Menurut Walgito (2003), motivasi merupakan keadaan dalam diri individu
yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Motivasi itu mempunyai 3 aspek, yaitu : (1)
keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving state), yaitu kesiapan bergerak
karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani atau karena keadaan mental seperti
berpikir dan ingatan; (2) perilaku yang timbul terarah karena keadaan ini; (3) tujuan
yang dituju oleh perilaku tersebut.
2.4.2.2. Teori Motivasi 1. Teori Harapan
Teori Harapan adalah sebuah teori proses yang menyatakan bahwa kuatnya
seseorang bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan harapan bahwa
tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan pada daya tarik dari hasil
itu bagi orang yang bersangkutan. Kuatnya motivasi seseorang berprestasi (usahanya)
tergantung pada pandangannya tentang betapa kuatnya keyakinan yang terdapat
dalam dirinya bahwa ia akan dapat mencapai apa yang diusahakan untuk dicapai
(Siagian, 1995).
Teori ini mengandung tiga variabel, yaitu daya tarik, hubungan antara
prestasi dengan imbalan serta hubungan antara usaha dan prestasi. Daya tarik adalah
sampai sejauh mana seseorang merasa pentingnya hasil atau imbalan yang diperoleh
dalam penyelesaian tugasnya. Teori harapan mengatakan bahwa apakah seseorang
mempunyai keinginan untuk menghasilkan sesuatu karya pada waktu tertentu
tersebut tentang nilai suatu prestasi sebagai wahana untuk mencapai tujuan tersebut
(Siagian, 1995).
2. Teori Penguatan
Teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti bahwa
penguatan menentukan perilaku seseorang. Para penganut teori penguatan melihat
perilaku seseorang sebagai akibat lingkungannya. Yang dimaksud dengan
faktor-faktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang apabila timbul mengikuti suatu
respon, memperbesar kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi (Siagian, 1995).
Teori ini menjelaskan bagaimana konsekuensi perilaku di masa yang lalu
mempengaruhi tindakan di masa datang dalam suatu siklus proses belajar. Dalam
pandangan teori ini jika seseorang individu berperilaku tertentu dan diikuti oleh
konsekuensi yang menyenangkan maka perilaku tersebut cenderung akan diulangi,
dan sebaliknya jika suatu perilaku tertentu menghasilkan konsekuensi negatif, maka
perilaku ini cenderung tidak akan diulang di masa datang (Notoadmodjo, 2003).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inti teori ini terletak pada
pandangan bahwa jika tindakan seorang manajer kepada bawahan mendorong
perilaku positif tertentu, bawahan yang bersangkutan akan cenderung mengulangi
tindakan serupa. Sebaliknya, jika seorang manajer menegur bawahannya karena
melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak dilakukannya, bawahan tersebut akan
cenderung untuk tidak mengulangi tindakan tersebut terlepas dari dalam diri orang
yang bersangkutan. Singkatnya, motivasi seseorang bawahan untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti
Dalam hal kepatuhan berobat pada penderita TB Paru, faktor-faktor di luar
dirinya seperti dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas dapat
menjadi faktor-faktor penguat yang mendorong penderita TB Paru untuk persisten
dalam menjalani pengobatannya sehingga tidak menyebabkan penderita putus
berobat. Bentuk penguatan tersebut dapat berupa perhatian maupun teguran dari
keluarga dan PMO bila penderita jenuh dalam menjalani proses pengobatan, serta
sikap petugas yang senantiasa mendengar segala keluhan penderita, meresponsnya
dan memberikan solusi dengan baik.
2.5. Kerangka Konsep
Kerangka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Motivasi
• Dukungan Keluarga/ PMO • Dorongan Petugas
• Rasa Tanggung Jawab
Kepatuhan berobat penderita
Definisi Konsep :
1. Kepatuhan penderita TB Paru adalah ketaatan penderita TB Paru dalam
melaksanakan pengobatan sesuai aturan dan jadwal yang ditentukan.
2. Motivasi adalah suatu perasaan, pikiran dan dorongan atau daya penggerak
yang berasal dari dalam diri penderita TB Paru maupun yang berasal dari
kekuatan di luar pribadi penderita yang menyebabkan kepatuhan berobat
penderita TB Paru, meliputi : dukungan keluarga (PMO), dorongan petugas,
dan rasa tanggung jawab.
3. Tingkat kesembuhan penderita TB Paru adalah tingkat hasil pengobatan
penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap selama
6-8 bulan dan pemeriksaan dahak ulang.
2.6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh kepatuhan penderita TB Paru terhadap tingkat kesembuhan
dalam pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun
2011.
2. Ada pengaruh motivasi penderita TB paru (dukungan keluarga/PMO,
dorongan petugas, rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kesembuhan dalam
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan
pendekatan explanatory atau penelitian penjelasan yang bertujuan untuk menjelaskan
pengaruh kepatuhan dan motivasi penderita TB Paru terhadap tingkat kesembuhan
dalam pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011
(Singarimbun, 1995).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan
dengan pertimbangan bahwa angka kesembuhan di puskesmas ini belum mencapai
target yang ditetapkan pemerintah yaitu minimal 85% dan merupakan angka
kesembuhan yang paling rendah dari sembilan puskesmas yang terdapat di Kota
Padangsidimpuan. Waktu penelitian ini dilakukan pada Bulan Juni sampai dengan
Juli Tahun 2011.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB paru BTA positif
yang tercatat di formulir TB-01 Puskesmas Sadabuan pada Bulan Juni sampai dengan
Desember Tahun 2010 sebanyak 44 orang.
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB paru BTA positif
yang tercatat di formulir TB-01 Puskesmas Sadabuan pada Bulan Juni sampai dengan
3.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan data
primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden,
dengan berpedoman pada kuesioner penelitian yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan data dari laporan
pelaksanaan program penanggulangan TB Paru (kartu pengobatan
tuberkulosis TB-01) di Puskesmas Sadabuan dan Profil Dinas Kesehatan
Kota Padangsidimpuan.
3.5. Definisi Operasional
Untuk memudahkan penelitian serta memiliki persepsi yang sama, maka
definisi operasional penelitian ini adalah :
1. Kepatuhan adalah ketaatan responden dalam menelan obat, mengambil obat
dan melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan dan
menaati segala nasehat dari petugas kesehatan. Dibedakan menjadi 2
kategori yaitu :
a. Patuh, bila responden menelan obat secara teratur dan melakukan
pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan serta menaati
b. Tidak patuh, bila responden tidak menelan obat secara teratur, tidak
memeriksakan dahak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan tidak
menaati segala nasehat dari petugas kesehatan.
2. Dukungan keluarga/PMO adalah penilaian responden tentang partisipasi dan
dorongan keluarga dalam membantu pemulihan penyakit TB Paru,
dibedakan menjadi 3 kategori :
a. Baik, bila partisipasi dan dorongan keluarga/PMO sangat baik terhadap
penderita TB Paru.
b. Sedang, bila partisipasi dan dorongan keluarga/PMO kurang baik
terhadap penderita TB Paru.
c. Buruk, bila partisipasi dan dorongan keluarga/PMO tidak baik terhadap
penderita TB Paru.
3. Dorongan petugas adalah persepsi responden terhadap tindakan petugas
dalam memberikan dorongan dan pengetahuan kepada responden selama
pengobatan TB Paru, dibedakan menjadi 3 kategori :
a. Baik, bila persepsi penderita TB Paru sangat positif terhadap tindakan
petugas dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.
b. Sedang, bila persepsi penderita TB Paru positif terhadap tindakan
petugas dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.
c. Buruk, bila persepsi penderita TB Paru negatif terhadap tindakan
4. Rasa tanggung jawab adalah tuntutan dalam diri responden untuk sembuh
dari penyakitnya dengan menjalani pengobatan dan menjaga kesehatan
keluarganya agar tidak tertular penyakit TB Paru.
a. Baik, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari penyakitnya
dengan menjalani pengobatan sudah tinggi.
b. Sedang, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari
penyakitnya dengan menjalani pengobatan masih rendah.
c. Buruk, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari
penyakitnya dengan menjalani pengobatan sangat rendah.
5. Tingkat kesembuhan adalah tingkat hasil pengobatan, dimana penderita telah
menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan melakukan pemeriksaan
akhir yang dinyatakan negatif kuman TB paru.
a. Sembuh, jika memenuhi syarat diatas : skor 1
b. Tidak sembuh, jika tidak memenuhi syarat diatas : skor 0
(dapat dilihat pada Formulir TB-01)
3.6. Aspek Pengukuran
3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Indpenden
Variabel predisposisi, pemungkin dan kebutuhan meliputi skala pengukuran
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Independen
Variabel Skor
Skala
3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen
Variabel terikat adalah tingkat kesembuhan dalam pengobatan. Secara rinci
dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Dependen
No Variabel Jumlah
Indikator
Skala Ukur Hasil Ukur
1 Tingkat kesembuhan
dalam pengobatan 1 Nominal
0 = tidak sembuh 1 = sembuh
3.7. Teknik Analisis Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi logistik
ganda pada α = 0,05, dengan alasan variabel terikat merupakan variabel binary
(dikotomus) yang mempunyai 2 kategori, yaitu sembuh dan tidak sembuh. Analisis
bivariat menggunakan uji chi square pada tingkat kemaknaan α = 0,05.
Uji Regresi Logistik ganda digunakan untuk mengetahui hubungan antara
dikotomus. Tujuannya adalah untuk mendapatkan model yang paling baik dan
sederhana yang dapat menggambarkan hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen.
Rumus regresi logistik ganda
( )
( o X X iXi )e z
P −β +β +β + +β +
= 1 1 2 2 ...
1
1
Keterangan :
P(z) = Variabel dependen
β0 = Koefisien regresi
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Letak Geografis
Puskesmas Sadabuan berada di Kelurahan Sadabuan wilayah Kecamatan
Padangsidimpuan Utara Kota Padangsidimpuan dengan luas wilayahnya 76,59 Ha
dan merupakan puskesmas induk yang membawahi 10 puskesmas pembantu lainnya
yang ada di kecamatan tersebut. Kecamatan Padangsidimpuan Utara memiliki
batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Hutaimbaru, Sabungan Jae (Padangsidimpuan Barat)
b. Sebelah Selatan : Kelurahan Ujung Padang (Padangsidimpuan Selatan)
c. Sebelah Barat : Wek VI Padangsidimpuan Selatan
d. Sebalah Timur : Wek V Padangsidimpuan Selatan
Jumlah kelurahan yang terdapat di Kecamatan Padangsidimpuan Utara
sebanyak 16 kelurahan yang seluruhnya merupakan wilayah kerja Puskesmas
Sadabuan.
4.1.2. Demografis
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Sadabuan pada Tahun 2010
mencapai 59.535 jiwa (17.033 kepala keluarga). Berdasarkan jenis kelamin,
penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 29.493 jiwa dan penduduk yang
berjenis kelamin perempuan sebanyak 30.042 jiwa. Secara rinci dapat dilihat pada
Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah (jiwa) Persentase %
1 Laki-laki 29.493 49,54
2 Perempuan 30.042 50,46
Jumlah 59.535 100
Sumber : Profil Puskesmas Sadabuan Tahun 2010
4.1.3. Sumber Daya Kesehatan
Perencanaan sumber daya kesehatan meliputi sumber daya tenaga, sarana
dan biaya sangat besar pengaruhnya terhadap kemajuan pembangunan kesehatan.
Sarana kesehatan yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Sadabuan terdiri dari 10
(sepuluh) puskesmas pembantu. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Table 4.2. Puskesmas Pembantu di Wilayah Kerja Puskesmas Sadabuan
No Kelurahan Puskesmas Pembantu
1 Wek I Samora
Salak
2 Wek II Wek II
3 Wek III Wek III
4 Timbangan Timbangan
5 Panyanggar Panyanggar
6 Batang Ayumi Julu Batang Ayumi Julu
7 Losung Batu Losung Batu
8 Tobat Tobat
9 Bincar Bincar
Jumlah 10
Sumber : Profil Puskesmas Sadabuan Tahun 2010
Tenaga kesehatan yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Sadabuan
terdiri dari dokter, bidan, perawat dan tenaga lainnya.Secara rinci dapat dilihat pada
Table 4.3. Jenis Tenaga Kesehatan di Puskesmas Sadabuan
No Tenaga Kesehatan Jumlah
1 Dokter Umum 1
2 Dokter Gigi 1
3 Tenaga Kesmas 1
4 Bidan 25
5 Perawat 15
6 Tenaga Kefarmasian 2
7 Tenaga Gizi 2
8 Tenaga Sanitasi 2
9 Tenaga Teknisi Medis 1
Jumlah 50
Sumber : Profil Puskesmas Sadabuan Tahun 2010
4.2. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dari variabel
independen dan dependen dalam penelitian yang meliputi: kepatuhan penderita,
dukungan keluarga/PMO, dorongan petugas, rasa tanggung jawab dan tingkat
kesembuhan dalam pengobatan.
4.2.1. Deskripsi Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah penderita TB paru BTA positif yang
tercatat di formulir TB-01 pada Bulan Juni sampai Desember Tahun 2010.
Berdasarkan pengumpulan data di lapangan, diperoleh gambaran karakteristik
responden secara umum menurut kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan dan
pekerjaan.
Hasil penelitian, menunjukkan bahwa umur responden yang terbanyak
terdapat pada kelompok umur dewasa awal, yaitu <40 tahun sebanyak 27 responden
kelamin laki-laki sedangkan 18 responden (40,9%) berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan tingkat pendidikan, responden terbanyak berpendidikan tamat
SLTA/sederajat yaitu 23 responden (52,3%). Berdasarkan pekerjaan, sebanyak 25
responden (56,8%) memiliki pekerjaan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan
No Variabel f %
1. Umur (Tahun)
Umur dewasa awal (<40 Tahun) Umur dewasa madya (40-60 Tahun)
27
Tamat Akademi/Perguruan Tinggi
4
4.2.2. Deskripsi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penderita
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kepatuhan penderita, dapat diketahui
bahwa ada 33 responden (75%) yang minum obat setiap hari pada pengobatan tahap
awal (2 bulan). Distribusi responden yang menyatakan minum obat sesuai dosis yang
ditentukan yaitu sebanyak 33 responden (75%) dan ada 11 responden (25%) yang
Distribusi responden yang menyatakan teratur berobat ke puskesmas sesuai
kesepakatan dengan petugas, yaitu sebanyak 18 responden (40,9%). Responden
terbanyak yang menyatakan mematuhi jadwal pemeriksaan dahak yang telah
ditentukan yaitu 19 responden (43,2%). Responden yang menyatakan minum obat
tiga kali seminggu pada pengobatan tahap lanjutan (4 bulan), yaitu sebanyak 20
responden (45,5%). Distribusi responden yang mengikuti petunjuk dan anjuran
petugas kesehatan dalam pengobatan, yaitu sebanyak 21 responden (47,7%). Secara
rinci dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Penderita
No Kepatuhan Penderita f (%)
1 Pengobatan tahap awal (2 bulan), minum obat setiap hari a. Ya
2 Minum obat sesuai dosis yang ditentukan a. Ya
3 Teratur berobat ke puskesmas sesuai kesepakatan dengan petugas
4 Mematuhi jadwal pemeriksaan dahak yang telah ditentukan a. Ya
Tabel 4.5. (Lanjutan)
6
Selalu mengikuti petunjuk dan anjuran petugas kesehatan dalam pengobatan
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa responden terbanyak berada
dalam kategori tidak patuh yaitu 24 responden (54,5%) dan kategori patuh yaitu 20
responden (45,5%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kepatuhan Penderita
4.2.3. Deskripsi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga/PMO
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan keluarga/PMO, dapat
diketahui sebanyak 15 responden (34,1%) menyatakan bahwa selama menjalani
pengobatan, keluarga/PMO selalu mengawasi minum obat dan memberikan dorongan
agar minum obat secara teratur. Distribusi responden yang menyatakan bahwa selama
menjalani pengobatan, keluarga/PMO menganjurkan kepada responden agar istirahat
dan makan makanan bergizi untuk membantu proses pengobatan, yaitu sebanyak 16
responden atau sebesar 36,4%.
Hasil distribusi responden yang menyatakan bahwa selama pengobatan,
keluarga/PMO tetap memberikan bantuan kepada responden yaitu sebanyak 25
responden (56,8%). Mayoritas responden yang menyatakan keluarga/PMO pernah
telah ditentukan selama menjalani pengobatan, yaitu sebanyak 25 responden (56,8%).
Sebagian besar responden (61,4%) menyatakan bahwa selama menjalani pengobatan,
anggota keluarga tidak pernah menggantikan mereka untuk mengambil obat ke
puskesmas. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga/ PMO
No Dukungan Keluarga/PMO f (%)
1 Keluarga selalu mengawasi minum obat dan memberikan dorongan agar minum obat secara teratur
a. Ya
2 Selama menjalani pengobatan, keluarga menganjurkan untuk istirahat dan makan makanan bergizi
a. Ya
3 Selama pengobatan, keluarga tetap memberikan bantuan a. Ya
4 Keluarga/PMO pernah mengingatkan untuk berobat atau periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan
a. Ya
5 Selama pengobatan, anggota keluarga pernah menggantikan responden mengambil obat ke puskesmas
a. Ya
Hasil penelitian, menunjukkan bahwa 10 responden (22,7%) menerima
dukungan keluarga dalam kategori baik, kategori sedang sebanyak 19 responden
(43,2%), dan kategori buruk sebanyak 15 responden (34,1%). Secara rinci dapat
Tabel 4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Dukungan Keluarga/ PMO
No Kategori Dukungan Keluarga/PMO f (%)
1 2 3
Baik Sedang Buruk
10 19 15
22,7 43,2 34,1
Jumlah 44 100
4.2.4. Deskripsi Responden Berdasarkan Dorongan Petugas Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dorongan petugas kesehatan kepada
responden, dapat diketahui sebanyak 22 responden (50%) menyatakan bahwa petugas
pernah memberikan penyuluhan tentang TB. Distribusi responden yang menyatakan
bahwa petugas pernah menanyakan keadaan/kemajuan mereka selama pengobatan
yaitu sebesar 65,9%.
Distribusi responden yang menyatakan bahwa petugas pernah mengingatkan
akibat bila tidak minum obat secara teratur sebanyak 26 responden (59,1%).
Sebagian besar responden (65,9%) menyatakan bahwa petugas pernah menganjurkan
minum obat secara teratur. Distribusi responden yang menyatakan bahwa selama
pengobatan, petugas pernah menjelaskan tentang jadwal minum obat yaitu sebanyak