PENGGUNAAN CHITOSAN DARI CANGKANG UDANG (Litopenaeus vannamei) UNTUK MEMPERLAMA
WAKTU SIMPAN PADA TAHU DI MEDAN TAHUN 2010
SKRIPSI
Oleh :
NIM. 061000002
HERLINA AFRIYANTI Br KELIAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGGUNAAN CHITOSAN DARI CANGKANG UDANG (Litopenaeus vannamei) UNTUK MEMPERLAMA
WAKTU SIMPAN PADA TAHU DI MEDAN TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
NIM. 061000002
HERLINA AFRIYANTI Br KELIAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul
PENGGUNAAN CHITOSAN DARI CANGKANG UDANG (Litopenaeus vannamei) UNTUK MEMPERLAMA
WAKTU SIMPAN PADA TAHU DI MEDAN TAHUN 2010
Yang Dipersiapkan dan Dipertahankan Oleh :
NIM. 061000002
HERLINA AFRIYANTI Br KELIAT
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 21 Juli 2010 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
Ir.Evi Naria, M.Kes
NIP.196803201993032001 NIP.1970219199822001 dr.Devi Nuraini Santi, M.Kes
Penguji II Penguji III
Ir.Indra Chahaya S, M.Si
NIP.196811011993032005 NIP.196501091994032002
Dr.Dra.Irnawati Marsaulina, MS
Medan, Agustus 2010 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
ABSTRAK
Devisa yang diperoleh dari sektor perikanan 34% berasal dari ekspor udang sebesar 125.596 ton pada tahun 2007. Produksi udang menghasilkan limbah ± 35%-50% dari berat udang. Penelitian untuk memanfaatkan limbah kulit udang menjadi chitosan telah dilakukan. Chitosan adalah modifikasi dari senyawa chitin yang banyak terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang. Khasiat chitosan sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan chitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan.
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui lama waktu simpan tahu dengan menggunakan chitosan, mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang optimal dalam pengawetan tahu serta mengetahui pengaruh chitosan terhadap sifat fisik tahu seperti tekstur, bau dan warna.
Jenis penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu. Percobaan dilakukan dengan 5 konsentrasi yang berbeda yaitu larutan chitosan 0% (sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2% dengan 4 kali pengulangan.
Berdasarkan penelitian chitosan yang diaplikasikan pada tahu dengan konsentrasi 0%, 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% menunjukkan waktu simpan tahu dalam perendaman larutan chitosan 0% (kontrol) dapat bertahan hingga hari ke-1 atau selama 16 jam, dalam perendaman larutan chitosan 0,5% dapat bertahan hingga hari ke-3 atau selama 64, dalam perendaman larutan chitosan 1%, 1,5% dan 2% dapat bertahan hingga hari ke-3 atau selama 56 jam, dimana ciri fisik tahu menunjukkan tekstur baik, berbau tahu, dan tahu berwarna putih. Konsentrasi chitosan yang optimal untuk digunakan pada tahu ialah sebesar 0,5% dengan lama waktu simpan hingga 3 hari atau selama 64 jam.
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa chitosan dari cangkang udang dapat menambah lama waktu simpan pada tahu. Oleh karena itu perlu diadakan sosialisasi agar hasil penelitian ini dapat diketahui oleh masyarakat bahwa chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami, alternatif pengga nti formalin pada makanan.
ABSTRACT
Devisal obtained from fishery sector come from shrimp export were 125,596 ton at 2007. Shrimp production results 35%-50% shrimp waste. Researches to utilize shrimp waste to be chitosan had been done. Chitosan is the modification of chitin, which found on the outer skin of Crustaceae species such as shrimps. The typical quality of chitosan as antibacterial with the ability to immobilize bacteria, it might chitosan is used to be food preservation.
The aims of this research were knowing how long this food preservative used chitosan would be defence in tofu, knowing the optimal concentration of chitosan for tofu preservation and knowing the effect of chitosan in tofu physics such as texture, odor and colour.
This research was descriptive’s survey to know the use of chitosan from shrimp shell (Litopenaeus vannamei) to lengthen preserved time in tofu. The experiments were done with 5 concentrations of chitosan at 0% (control), 0,5%, 1%, 1,5%, and 2% with 4 replications.
Based on the research of chitosan were applied on tofu with concentration 0%, 0.5%, 1%, 1,5% and 2%, show were soaking of chitosan concentration for use at 0% (control) with a long shelf life up to day or as long as 16 hours, chitosan concentration for use at 0,5% with a long shelf life up to 3 days or as long as 64 hours, chitosan concentrations for use at 1%, 1,5%, and 2% with a long shelf life up to 3 days or as long as 56 hours, where the characteristic of tofu show good texture, aroma of tofu and white. The optimum concentration of chitosan to preserves tofu was 0,5% for three days or as long as 64 hours.
From this research the conclusion is chitosan from shrimp shell could increase lengthen preserved time in tofu. Therefore it should be held socialization this research were knowing the public that the chitosan can be used as a natural preservative, an alternative to change of formaldehyde in foods.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Herlina Afriyanti Br Keliat
Tempat/Tanggal Lahir : Bandar Baru / 02 April 1988
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Belum Kawin
Jumlah Bersaudara : 4 Orang
Alamat Rumah : Jl. Jamin Ginting KM 14 Gg Karo
Kecamatan Medan Tuntungan
Riwayat Pendidikan
1. 1994-2000 : SD Negeri No.066038 Medan
2. 2000-2003 : SLTP Negeri 1 Medan
3. 2003-2006 : SMA Negeri 17 Medan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul : “PENGGUNAAN CHITOSAN DARI
CANGKANG UDANG (Litopenaeus vannamei) UNTUK MEMPERLAMA WAKTU SIMPAN PADA TAHU DI MEDAN TAHUN 2010” yang merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Dengan segenap kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada orangtua terkasih Darwin Keliat dan Pelimin Br
Sembiring, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayang dan
juga yang tak henti-hentinya memberikan motivasi, nasehat dan doa pada penulis
setiap saat, dan juga untuk saudara/i penulis bang David, Lisa dan Anja yang telah
memberikan dukungan, doa, dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes selaku dosen pembimbing I dan Ibu dr. Devi Nuraini Santi,
M.Kes selaku dosen pembimbing II, yang telah membimbing, mendidik, dan
memberi banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku Dosen Penasehat Akademik yang
telah membimbing penulis selama melaksanakan perkuliahan di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Ir. Indra Chahaya, M.Si, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Dra. Jumirah, Apt. M.Kes selaku Ketua Departemen Gizi Masyarakat FKM
USU yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
5. Marihot Samosir, ST selaku asisten Laboratorium Gizi Masyarakat FKM
USU yang telah memberi izin penulis untuk melakukan penelitian.
6. Seluruh dosen dan staf pegawai FKM USU yang telah membantu dalam
penyelesaian pendidikan dan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat penulis Artiti dan Vivi yang telah memberikan dukungan
pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabat penulis “KK HOC” (K’Eka, Olva, Paulina) yang telah
memberikan dukungan dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan di peminatan Kesehatan Lingkungan serta
rekan-rekan FKM 2006 yang tidak disebutkan namanya.
10. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan inspirasi
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga
membutuhkan banyak masukan dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya
membangun dalam memperkaya materi skripsi ini. Namun demikian, penulis
berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan berarti bagi ilmu
pengetahuan khususnya di bidang kesehatan masyarakat.
Medan, Juli 2010
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ... i
Abstrak ... ii
Abstract ... iii
Daftar Riwayat Hidup ... iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... vii
Daftar Tabel ... ix
Daftar Lampiran ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.3.1. Tujuan Umum ... 6
1.3.2. Tujuan Khusus ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1. Pengertian Makanan ... 8
2.2. Higiene dan Sanitasi Makanan ... 9
2.3. Bahan Tambahan Pangan ... 10
2.4. Bahan Pengawet ... 11
2.4.1. Pengertian Bahan Pengawet Makanan ... 11
2.4.2. Teknik Pengawetan Makanan ... 12
2.4.3. Manfaat Pengawetan Makanan ... 13
2.5. Pemanfaatan Chitosan dari Cangkang Udang Sebagai Pengawet Makanan ... 14
2.5.1. Produksi Udang (Litopenaeus vannamei) ... 14
2.5.2. Potensi Limbah Udang ... 15
2.5.3. Chitin dan Chitosan ... 17
2.5.4. Kegunaan Chitin dan Chitosan ... 21
2.6. Pengawetan Pada Tahu ... 23
2.6.1. Asal Usul Tahu ... 23
2.6.2. Macam-Macam Tahu ... 24
2.6.3. Proses Pembuatan Tahu ... 24
2.6.4. Ciri-Ciri Tahu yang Baik ... 27
2.6.5. Ciri-Ciri Tahu yang Rusak ... 27
2.6.6. Pengawetan Tahu dengan Bahan Alami... 28
2.7. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 32
3.1. Jenis Penelitian ... 32
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 32
3.2.2. Waktu Penelitian ... 33
3.3. Objek Penelitian ... 33
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 33
3.4.1. Data Primer ... 33
3.4.2. Data Sekunder ... 33
3.5. Alat dan Bahan Penelitian ... 34
3.5.1. Alat Penelitian ... 34
3.5.2. Bahan Penelitian ... 34
3.6. Cara Kerja Penelitian ... 35
3.6.1. Cara Membuat Chitosan ... 35
3.6.2. Cara Membuat Larutan Chitosan ... 36
3.7. Prosedur Penelitian ... 37
3.7.1. Aplikasi Larutan Chitosan Pada Tahu ... 37
3.8. Defenisi Operasional... 38
3.9. Analisa Data ... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 40
4.1. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan ... 40
BAB V PEMBAHASAN ... 58
5.1. Penggunaan Chitosan dari Cangkang Udang (Litopenaeus vannamei) Untuk Memperlama Waktu Simpan Pada Tahu ... 58
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 62
6.1. Kesimpulan ... 62
6.2. Saran ... 63
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Hasil Pengawetan Tahu Tanpa formalin ... 28 Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 0% Pada Hari I ... 40 Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 0,5% Pada Hari I ... 41 Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 1% Pada Hari I ... 42 Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 1,5% Pada Hari I ... 43 Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 2% Pada Hari I ... 44 Tabel 4.6 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 0% Pada Hari II ... 45 Tabel 4.7 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 0,5% Pada Hari II ... 46 Tabel 4.8 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 1% Pada Hari II ... 47 Tabel 4.9 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 1,5% Pada Hari II ... 48 Tabel 4.10 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 2% Pada Hari II ... 49 Tabel 4.11 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 0% Pada Hari III ... 50 Tabel 4.12 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 0,5% Pada Hari III ... 51 Tabel 4.13 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 1% Pada Hari III ... 53 Tabel 4.14 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
Chitosan 1,5% Pada Hari III ... 54 Tabel 4.15 Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Master Data.
Lampiran 2. Dokumentasi.
Lampiran 3. Surat Permohonan Izin Pemakaian Laboratorium Gizi Kesehatan
Masyarakat USU.
Lampiran 4. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian dari Laboratorium Gizi
ABSTRAK
Devisa yang diperoleh dari sektor perikanan 34% berasal dari ekspor udang sebesar 125.596 ton pada tahun 2007. Produksi udang menghasilkan limbah ± 35%-50% dari berat udang. Penelitian untuk memanfaatkan limbah kulit udang menjadi chitosan telah dilakukan. Chitosan adalah modifikasi dari senyawa chitin yang banyak terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang. Khasiat chitosan sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan chitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan.
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui lama waktu simpan tahu dengan menggunakan chitosan, mengetahui berapa konsentrasi chitosan yang optimal dalam pengawetan tahu serta mengetahui pengaruh chitosan terhadap sifat fisik tahu seperti tekstur, bau dan warna.
Jenis penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif untuk menggambarkan penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu. Percobaan dilakukan dengan 5 konsentrasi yang berbeda yaitu larutan chitosan 0% (sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2% dengan 4 kali pengulangan.
Berdasarkan penelitian chitosan yang diaplikasikan pada tahu dengan konsentrasi 0%, 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% menunjukkan waktu simpan tahu dalam perendaman larutan chitosan 0% (kontrol) dapat bertahan hingga hari ke-1 atau selama 16 jam, dalam perendaman larutan chitosan 0,5% dapat bertahan hingga hari ke-3 atau selama 64, dalam perendaman larutan chitosan 1%, 1,5% dan 2% dapat bertahan hingga hari ke-3 atau selama 56 jam, dimana ciri fisik tahu menunjukkan tekstur baik, berbau tahu, dan tahu berwarna putih. Konsentrasi chitosan yang optimal untuk digunakan pada tahu ialah sebesar 0,5% dengan lama waktu simpan hingga 3 hari atau selama 64 jam.
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa chitosan dari cangkang udang dapat menambah lama waktu simpan pada tahu. Oleh karena itu perlu diadakan sosialisasi agar hasil penelitian ini dapat diketahui oleh masyarakat bahwa chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet alami, alternatif pengga nti formalin pada makanan.
ABSTRACT
Devisal obtained from fishery sector come from shrimp export were 125,596 ton at 2007. Shrimp production results 35%-50% shrimp waste. Researches to utilize shrimp waste to be chitosan had been done. Chitosan is the modification of chitin, which found on the outer skin of Crustaceae species such as shrimps. The typical quality of chitosan as antibacterial with the ability to immobilize bacteria, it might chitosan is used to be food preservation.
The aims of this research were knowing how long this food preservative used chitosan would be defence in tofu, knowing the optimal concentration of chitosan for tofu preservation and knowing the effect of chitosan in tofu physics such as texture, odor and colour.
This research was descriptive’s survey to know the use of chitosan from shrimp shell (Litopenaeus vannamei) to lengthen preserved time in tofu. The experiments were done with 5 concentrations of chitosan at 0% (control), 0,5%, 1%, 1,5%, and 2% with 4 replications.
Based on the research of chitosan were applied on tofu with concentration 0%, 0.5%, 1%, 1,5% and 2%, show were soaking of chitosan concentration for use at 0% (control) with a long shelf life up to day or as long as 16 hours, chitosan concentration for use at 0,5% with a long shelf life up to 3 days or as long as 64 hours, chitosan concentrations for use at 1%, 1,5%, and 2% with a long shelf life up to 3 days or as long as 56 hours, where the characteristic of tofu show good texture, aroma of tofu and white. The optimum concentration of chitosan to preserves tofu was 0,5% for three days or as long as 64 hours.
From this research the conclusion is chitosan from shrimp shell could increase lengthen preserved time in tofu. Therefore it should be held socialization this research were knowing the public that the chitosan can be used as a natural preservative, an alternative to change of formaldehyde in foods.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Menurut Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996 Bab II pasal 10 tentang Bahan
Tambahan Makanan dicantumkan: (1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan
yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang telah
ditetapkan. (2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau
dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses
produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(Widyaningsih, 2006).
Bahan tambahan makanan (food additives) merupakan bahan kimia yang
secara legal ditambahkan pada makanan untuk melengkapi tujuan secara teknologi
dan aman untuk manusia (Mukono, 2000). Untuk menghindari dan mengurangi
kemungkinan pencemaran suatu produk oleh mikroorganisme, dilakukan proses
pengawetan produk. Syarat zat pengawet adalah mampu membunuh kontaminan
mikroorganisme, tidak toksik atau menyebabkan iritasi pada pengguna, stabil dan
aktif, serta selektrif dan tidak bereaksi dengan bahan (Pratiwi, 2008).
Meningkatnya penggunaan formalin pada bahan makanan merupakan berita
yang sangat mengejutkan pada penghujung tahun 2005 dan awal 2006, walaupun
sebenarnya masalah tersebut sudah muncul ke permukaan sejak beberapa tahun
Indonesia. Hasilnya beberapa jenis bahan makanan olahan, yaitu mi basah, bakso,
tahu, dan ikan asin, positif mengandung formalin (Widyaningsih, 2006).
Sejak meningkatnya penggunaan formalin pada bahan makanan sebagai
pengawet maka banyak pihak yang mencari alternatif pengganti formalin. Hal yang
perlu diperhatikan pada penggunaan bahan pengawet penganti formalin adalah
bahannya harus aman, sifatnya alami sehingga mudah diperoleh, dan harganya
terjangkau agar produsen makanan tidak akan kembali lagi menggunakan formalin
yang berbahaya bagi kesehatan. Bahan pengawet alternatif yang dapat digunakan
sebagai pengganti formalin disesuaikan dengan jenis makanannya. Salah satu bahan
pengawet dan pengenyal yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti formalin
menurut Permenkes No.772/IX/1998 adalah Sodium Tri Poly Phosphate (STPP)
sebanyak 0,3% untuk bakso dan mi basah, gliserin atau gliserol 1% untuk mi basah,
Carboxy Methyl Cellolose (CMC) 0,5-1% untuk mi basah, garam dapur 1% untuk
ikan asin dan perendam tahu, cuka untuk perendam tahu sebanyak 0,3% dan bumbu
dapur (bawang putih, kunyit, lengkuas, dan ketumbar) untuk pengolahan ikan
(Widyaningsih, 2006).
Departemen THP FPIK-IPB secara intensif telah melakukan riset bahan aktif
untuk aplikasi produk-produk perairan guna menggantikan bahan-bahan kimia seperti
formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut adalah chitosan. Chitosan
merupakan produk turunan dari polimer chitin yaitu produk samping (limbah) dari
pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan (Wardaniati, 2009).
Devisa yang diperoleh dari sektor perikanan 34% berasal dari ekspor udang
menghasilkan limbah yang banyak juga mengingat hasil samping produksi yang
berupa kepala, kulit, ekor, dan kaki adalah sekitar 35%-50% dari berat awal. Limbah
yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan
kerupuk udang berkisar antara 30%-75% dari berat udang. Meningkatnya jumlah
limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya
pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan
udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang
ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang
kurang bagus (Swastawati, 2008).
Melalui pendekatan teknologi yang tepat, potensi limbah ini dapat diolah
lebih lanjut menjadi senyawa polisakarida dimana didalamnya termasuk chitin
[(C8H13NO5)n]. Chitin ini dapat diolah lebih lanjut menjadi chitosan [(C6H11NO4)n]
dan glukosamin (C6H13NO5). Ketiga produk ini mempunyai sifat mudah terurai dan
tidak mempunyai sifat beracun sehingga sangat ramah terhadap lingkungan
(Swastawati, 2008).
Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena
mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan
chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dan kapang (Wardaniati, 2009).
Karakteristik makanan yang biasa dilakukan upaya pengawetan adalah
(suhu ruang) daya tahannya rata-rata 1 – 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut
rasanya menjadi asam lalu berangsur-angsur busuk, sehingga tidak layak dikonsumsi
lagi. Untuk itu perlu dilakukan upaya pengawetan dengan bahan alami yang tidak
berbahaya bagi kesehatan (Kusuma, 2010).
Beberapa penelitian tentang chitosan antara lain, Swastawati, dkk (2008)
memanfaatkan limbah kulit udang menjadi edible coating untuk mengurangi
pencemaran lingkungan. Pada penelitiannya, aplikasi chitosan dilakukan pada produk
perikanan yaitu pindang ikan layang dengan konsentrasi 0,25%. Larutan chitosan
tersebut akan membentuk edible coating yaitu pelapisan chitosan pada permukaan
pindang ikan layang sehingga laju pertumbuhan bakteri dapat dihambat. Dengan
konsentrasi 0,25% penyimpanan pindang ikan layang selama 2 hari masih dapat
diterima untuk dikonsumsi. Dengan memanfaatkan kulit udang menjadi edible
coating, chitosan bukan hanya memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan
udang, tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan, terutama
masalah bau dan menurunnya estetika lingkungan.
Menurut penelitian Wardaniati dan Setyaningsih (2009) dalam pembuatan
chitosan dari kulit udang dan aplikasinya untuk pengawetan bakso, menunjukkan
bahwa konsentrasi chitosan yang paling optimal untuk digunakan sebagai bahan
pengawet bakso adalah 1,5 % dengan masa simpan selama 3 hari. Selama 3 hari
dilihat dari kondisi fisiknya, tekstur bakso masih bagus, kenyal dan aroma dagingnya
masih terasa. Bakso yang direndam dengan chitosan memiliki citarasa yang tidak
berbeda dengan bakso yang tidak direndam dengan chitosan, sehingga dapat
Pada penelitian ini, peneliti mencoba memanfaatkan chitosan untuk
memperpanjang waktu penyimpanan makanan terutama pada tahu yang merupakan
makanan sehari-hari masyarakat Indonesia. Tahu merupakan salah satu bahan
makanan yang dapat diawetkan, dan sampai saat ini masih diduga mengandung
formalin. Pada pembuatan tahu, penambahan formalin dilakukan pada proses
penggumpalan tahu yang akan menyebabkan tekstur tahu menjadi lebih keras atau
tidak mudah hancur. Formalin juga digunakan pada perendaman tahu yang sudah jadi
karena tahu yang direndam formalin selain tekstur tahu menjadi lebih keras juga tahu
lebih awet, tidak berbau atau berlendir selama 5 hari dalam air rendaman. Tahu tanpa
formalin, satu hari setelah produksi berbau agak asam dan berlendir (Widyaningsih,
2006). Dari penelitian ini diharapkan chitosan dapat dijadikan sebagai pengawet
alami yang tidak berbahaya bagi kesehatan manusia serta dapat mempertahankan
aspek gizi yang terkandung di dalamnya.
1.2Rumusan Masalah
Chitosan merupakan limbah yang banyak dijumpai pada industri pengolahan
udang yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal. Khasiat chitosan sebagai
bahan antibakteri dan kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri tampaknya
menjadikan chitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan, seperti pada tahu.
Berdasarkan uraian tersebut, menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan penelitian
guna mengetahui gambaran tentang penggunaan chitosan dari cangkang udang
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran tentang penggunaan chitosan dari cangkang
udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan
chitosan dengan konsentrasi 0% (aquadest sebagai kontrol) dan dilihat ciri
fisik tahu yaitu tekstur, bau dan warna.
2. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan
chitosan dengan konsentrasi 0,5% dan dilihat ciri fisik tahu yaitu tekstur, bau
dan warna.
3. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan
chitosan dengan konsentrasi 1% dan dilihat ciri fisik tahu yaitu tekstur, bau
dan warna.
4. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan
chitosan dengan konsentrasi 1,5% dan dilihat ciri fisik tahu yaitu tekstur, bau
dan warna.
5. Untuk mengetahui waktu simpan tahu yang direndam dengan 500 ml larutan
chitosan dengan konsentrasi 2% dan dilihat ciri fisik tahu yaitu tekstur, bau
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi bagi industri pengolahan udang agar limbah
cangkang udang dimanfaatkan dengan cara memodifikasi chitin dari cangkang
udang menjadi chitosan.
2. Sebagai bahan informasi bagi produsen makanan seperti tahu, bahwa chitosan
dapat dijadikan sebagai pengawet alami dan dapat dijadikan alternatif
pengganti formalin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Makanan
Berdasarkan definisi dari WHO di dalam (Chandra, 2006), makanan adalah
semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan
substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Makanan merupakan
salah satu bagian yang penting untuk kesehatan manusia mengingat setiap saat dapat
saja terjadi penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh makanan. Terdapat 2 faktor yang
menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi manusia, antara lain:
1. Kontaminasi
Kontaminasi pada makanan dapat disebabkan oleh:
a) Parasit, misalnya cacing dan amuba.
b) Golongan mikroorganisme, misalnya Salmonella dan Shigella.
c) Zat kimia, misalnya bahan pengawet dan pewarna.
d) Bahan-bahan radioaktif, misalnya kobalt dan uranium.
e) Toksin atau racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme, seperti
Staphilococcus dan Clostridium botulinum.
2. Makanan yang pada dasarnya telah mengandung zat berbahaya, tetapi tetap
dikonsumsi manusia karena ketidaktahuan mereka dapat dibagi menjadi 3
golongan:
a) Secara alami makanan itu memang telah mengandung zat kimia beracun,
mengandung unsur toksik tertentu (logam berat, misalnya Hg dan Cd)
yang dapat melumpuhkan sistem saraf dan napas.
b) Makanan dijadikan sebagai media perkembangbiakan sehingga dapat
menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia, misalnya dalam kasus
keracunan makanan akibat bakteri (bacterial food poisoning).
c) Makanan sebagai perantara. Jika suatu makanan yang terkontaminasi
dikonsumsi manusia, di dalam tubuh manusia agent penyakit pada
makanan itu memerlukan masa inkubasi untuk berkembang biak dan
setelah beberapa hari dapat mengakibatkan munculnya gejala penyakit.
Contoh penyakitnya antara lain Typhoid abdominalis dan Disentri basiler.
2.2. Higiene dan Sanitasi Makanan
Di samping aspek-aspek biologis, teknologis, komersial dan hukum, setiap
produk pangan yang diproduksi dan diperdagangkan wajib pula memenuhi
persyaratan higienis agar produk itu tidak mengandung bahan yang akan
membahayakan kesehatan konsumen (Ilyas, 1993). Berdasarkan Kepmenkes RI
No.942/Menkes/SK/VII/2003, higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan
faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat
menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan.
Menurut Chandra (2006), sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan
untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan
dan penyakit pada manusia. Dengan demikian, tujuan sebenarnya dari upaya sanitasi
1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan.
2. Mencegah penularan wabah penyakit.
3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat.
4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan.
2.3. Bahan Tambahan Pangan
Menurut FAO bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja
ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat
dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi
untuk memperbaiki warna, bentuk, citarasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa
simpan, dan bukan merupakan bahan utama (Saparinto, 2006).
Bahan tambahan makanan yang digunakan diizinkan karena tidak berbahaya
atau aman bagi kesehatan sesuai Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996 tentang
Pangan. Pemakaian bahan tambahan makanan memberikan keuntungan besar bagi
industri makanan. Salah satunya adalah makanan menjadi tidak cepat rusak atau
busuk karena makanan menjadi lebih awet (Widyaningsih, 2006). Namun,
penggunaan bahan tambahan pangan dapat merugikan kesehatan. Penyalahgunaan
bahan pewarna tekstil dan kertas untuk pangan, bahan pengawet yang berlebihan,
penggunaan bungkus bekas pestisida, kesalahan penggunaan bahan karena kesalahan
label seperti tertukarnya bikarbonat dengan nitrit merupakan kecerobohan yang
sebenarnya dapat dihindarkan (Baliwati, 2004).
Bahan tambahan makanan di dalam (Widyaningsih, 2006) adalah bahan yang
ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil, dengan tujuan
simpan. Selain itu, juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral, dan
vitamin. Jenis-jenis bahan tambahan makanan yang sering digunakan adalah bahan
pengawet, pewarna, pemanis, antioksidan, pengikat logam, pemutih, pengental,
pengenyal, emulsifier, buffer (asam, alkali), zat besi, flavoring agent, dan sebagainya.
2.4. Bahan Pengawet
2.4.1. Pengertian Bahan Pengawet Makanan
Menurut Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, salah satu bahan
tambahan pangan yang diizinkan digunakan pada makanan diantaranya pengawet
yaitu untuk memperpanjang masa simpan suatu makanan. Sebagian besar kerusakan
bahan makanan, khususnya hasil olahan, disebabkan oleh aktivitas mikroba yang
memanfaatkan bahan makanan untuk metabolismenya. Bahan pengawet bersifat
menghambat atau mematikan pertumbuhan mikroba penyebab kerusakan ini sehingga
sering juga disebut dengan senyawa antimikroba.
Pengawetan dan pengolahan bertujuan mengurangi kerugian fisik, gizi, dan
ekonomi, dengan mengurangi limbah dan memanfaatkannya, dan dengan
meningkatkan daya simpan dan nilai tambah (Ilyas, 1993). Jenis bahan pengawet
diantaranya asam benzoat, asam propionat, asam sorbat dan garamnya, nitrat, nitrit,
2.4.2. Teknik Pengawetan Makanan
Secara garis besar teknik pengawetan dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu
pengawetan secara alami, pengawetan secara biologis, dan pengawetan secara kimia
(Pratiwi, 2008).
1. Pengawetan Secara Alami
Proses pengawetan secara alami meliputi proses pemanasan dan pendinginan.
Teknik liofilisasi atau teknik pengeringan beku yang diperkenalkan oleh Perlman dan
Kikuchi (1977) dan Heckly(1978) merupakan teknik preservasi (pengawetan) yang
sangat terkenal dan biasa digunakan untuk mikroorganisme dengan kisaran yang luas.
2. Pengawetan Secara Biologis
Proses pengawetan secara biologis dapat dilakukan dengan fermentasi
(peragian), yaitu proses perubahan karbohidrat menjadi alkohol. Zat-zat yang bekerja
pada proses ini adalah enzim yang dibuat oleh sel-sel ragi. Lamanya proses peragian
tergantung pada bahan yang akan diragikan.
3. Pengawetan Secara Kimia
Pada proses pengawetan secara kimia, digunakan bahan-bahan kimia yang
bersifat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai contoh adalah
penggunaan gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat, asam propionat,
asam sitrat, garam sulfat, dan lain-lain. Proses pengasapan juga termasuk cara kimia,
sebab bahan-bahan kimia dalam asap dimasukkan ke dalam bahan makanan yang
2.4.3. Manfaat Pengawetan Makanan
Menurut Chandra (2006), adapun manfaat yang dapat kita peroleh dalam
upaya pengawetan makanan, antara lain:
1) Segi ekonomi
Makanan yang diawetkan dapat dikonsumsi atau dijual ke tempat-tempat yang
jauh kapan saja dan tanpa mengurangi kualitas makanan. Dengan begitu,
kelebihan makanan di suatu daerah dapat diperluas pemasarannya, tanpa terikat
oleh waktu.
2) Mempermudah transportasi
Di Indonesia yang beriklim tropis, makanan mudah sekali membusuk. Dengan
adanya pengawetan, makanan dapat dipertahankan atau diolah dengan cara lain
sehingga dapat dibeli dengan mudah dan tidak berbahaya serta dapat menghemat
biaya transpor.
3) Mudah dihidangkan
Sebagian makanan yang telah diawetkan siap dihidangkan karena bagian yang
tidak diperlukan telah dibuang. Dengan begitu, untuk pola kehidupan masyarakat
yang telah maju, masalah kendala waktu dapat diatasi.
4) Bermanfaat dalam keadaan tertentu
Misalnya dalam kejadian bencana alam, kelaparan, pengungsian, dan kondisi
genting lainnya, bantuan makanan yang telah diawetkan dapat segera didatangkan
2.5. Pemanfaatan Chitosan dari Cangkang Udang Sebagai Pengawet Makanan 2.5.1. Produksi Udang (Litopenaeus vannamei)
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati tertinggi di dunia. Namun, kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki
hingga saat ini belum dimanfaatkan secara optimal (Sugandhy, 2009). Saat ini
budidaya dengan tambak telah berkembang dengan pesat karena udang merupakan
komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non migas dan
merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi (Kaban, dkk.,
2006).
Dalam perkembangannya, Indonesia memasukkan udang vannamei
(Litopenaeus vannamei) sebagai salah satu jenis udang budidaya tambak, selain
udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih/udang jrebung (Penaeus
merguiensis) yang sudah terkenal lebih dahulu (Amri, 2008). Udang windu saat ini
tidak berkembang lagi karena terserang berbagai macam penyakit
yang ganas adalah white spot at
saat ini banyak memelihara udang putih (Pennaeus vannamei) (Anonimous, 2009).
Setelah melalui serangkaian penelitian dan kajian akhirnya melalui SK
Menteri Kelautan dan Perikanan RI No.41/2001 pemerintah secara resmi melepas
udang vannamei sebagai varietas unggul untuk dibudidayakan petambak di tanah air
Berikut tata nama udang vannamei menurut ilmu taksonomi (Haliman, 2008).
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.5.2. Potensi Limbah Udang
Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian depan dan
bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari
bagian kepala dan dada yang menyatu. Oleh karena itu dinamakan kepala-dada
(cepholothorax). Bagian perut (abdomen) terdapat ekor di bagian belakangnya.
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat
dari bahan chitin (Suyanto, 2001).
Bagian kepala beratnya kurang lebih 36-49%, bagian daging antara 24-41%,
kerupuk udang berkisar antara 30-75% dari berat udang. Dengan demikian jumlah
bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi. Limbah kulit udang
mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, chitin,
pigmen, abu dan lain-lain. Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan
masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan
nilai tambah pada usaha pengolahan udang akan tetapi juga dapat menanggulangi
masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan (Kaban, dkk., 2008).
Perkembangan teknologi dan industri yang pesat dewasa ini ternyata
membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak yang bersifat positif
maupun dampak yang bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif memang
diharapkan oleh manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan
hidup. Dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia berupaya
dengan segala daya untuk mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada
demi tercapainya kualitas hidup yang diinginkan. Segala macam organisme yang ada
di alam ini selalu menghasilkan limbah atau bahan buangan. Mengingat akan hal ini
maka perlu pemikiran lebih lanjut bagaimana mengurangi jumlah limbah dengan
memanfaatkan kembali limbah tersebut untuk kepentingan manusia melalui proses
daur ulang limbah (bahan buangan), sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi
pencemaran daratan. Pemanfaatan kembali limbah ternyata banyak memberikan
keuntungan bagi kehidupan manusia. Limbah (bahan buangan) yang semula tidak
berharga, setelah dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang, menjadi bernilai
Dalam industri pembekuan udang ada dua jenis limbah. Pertama adalah
limbah cair yang berupa suspensi air dan kotoran udang serta yang kedua limbah
padat yang berupa kepala udang. Limbah cair jika didiamkan akan menimbulkan bau
tidak sedap dan akan mencemari sungai atau areal persawahan yang ada di dekatnya.
Begitu juga limbah padat yang sarat akan bakteri jika didiamkan akan merupakan
sumber kontaminan yang akan mengganggu lingkungan. Limbah yang berbentuk cair
sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Lain halnya dengan limbah padat. Limbah ini
masih bisa dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi, misalnya chitin, tepung ikan untuk pakan ternak, dan flavor udang. Limbah
udang merupakan sumber yang kaya akan chitin, yaitu kurang lebih 30% dari berat
kering. Chitin dapat diproses lebih lanjut menjadi chitosan. (Purwaningsih, 2000).
2.5.3. Chitin dan Chitosan
Chitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa)
yang paling melimpah di alam setelah selulosa. Chitin tidak beracun dan bahkan
mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan
amorf yang berwarna putih. Keberadaan chitin di alam umumnya terikat dengan
protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (Sugita, 2009). Chitin banyak
dijumpai pada jamur, crustaceae, insecta, mollusca dan arthropoda. Dalam cangkang
udang, chitin terdapat sebagai mukopoli sakarida yang berikatan dengan
garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk
Chitosan adalah poli-(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) yang dapat
diperoleh dari deasetilasi chitin. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang
berwarna putih kekuningan (Sugita, 2009). Untuk memperoleh chitin dari cangkang
udang melibatkan proses deproteinasi (penghilangan protein) dan demineralisasi
(penghilangan mineral). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan
proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) (Wardaniati, 2009).
Deproteinasi chitin merupakan reaksi hidrolisis dalam suasana asam dan basa.
Umumnya hidrolisis dilakukan dalam suasana basa dengan menggunakan larutan
NaOH. Demineralisasi secara umum dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain
seperti H2SO4 pada kondisi tertentu. Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10%
lebih tinggi daripada H2SO4. Hal yang terpenting dalam tahap penghilangan mineral
adalah jumlah asam yang digunakan. Secara stoikiometri, perbandingan antara
padatan dan palarut dapat dibuat sama atau dibuat berlebih pelarutnya agar reaksinya
berjalan sempurna. Urutan deproteinasi dan demineralisasi juga berperan penting.
Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu jika protein yang terlarut akan
dimanfaatkan lebih lanjut. Deproteinasi pada tahap awal dapat memaksimumkan
hasil dan mutu protein serta mencegah kontaminasi protein pada proses
demineralisasi. Kandungan gugus asetil pada chitin secara teoritis ialah sebesar
21,2%. Deasetilasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan basa kuat
Cara pembuatan chitin dan chitosan dari cangkang udang sebagai bahan
pengawet alami pada makanan dapat dilihat melalui tahapan deproteinasi,
demineralisasi dan deasetilasi pada skema di bawah ini (Pratiwi, dkk., 2008).
a. Deproteinasi
Cangkang udang
Cuci air dingin
Cuci air panas
Dikeringkan
Diblender sampai halus
Deproteinasi
Direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:5
(gr serbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam
Dipanaskan 900C selama 1 jam
Didinginkan
Dicuci dengan air sampai pH netral
b. Demineralisasi
Cangkang udang berupa serbuk hasil deproteinasi
Demineralisasi
Direndam dalam larutan HCl 1M perbandingan 1:10
(gr serbuk/ml HCl) diaduk 1 jam
Dipanaskan 900C selama 1 jam
Didinginkan dan disaring
Dicuci dengan air sampai pH netral
dikeringkan
c. Deasetilasi
2.5.4. Kegunaan Chitin dan Chitosan
Saat ini aplikasi chitin dan chitosan sangat banyak dan meluas. Chitin dan
chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau
farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah,
industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya
(Wardaniati, 2009).
Di bidang industri, chitin dan chitosan berperan antara lain sebagai koagulan
polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam, Deasetilasi
Direndam dalam larutan NaOH 1M perbandingan 1:20
(gr serbuk/ml NaOH) diaduk 1 jam
Dipanaskan 1400C selama 90 menit
Didinginkan dan disaring
dikeringkan
Chitosan chitin
mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak tanin, PCB
(poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel
dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentukan film dan
membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil
(Sugita, 2009).
Sementara di bidang pertanian dan pangan, chitin dan chitosan digunakan
antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, antimikroba, antijamur, serat
bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan
pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi,
pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan
penjernih sari buah (Sugita, 2009).
Di dalam pangan chitosan dapat dijadikan sebagai bahan antimikroba untuk
memperpanjang waktu penyimpanan makanan karena chitosan mengandung enzim
lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroba (Wardaniati, 2009).
Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan dibidang
kedokteran. Chitin dan chitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan
Staphvcoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai
antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan
pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan
kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut
luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan,
2.6. Pengawetan Pada Tahu 2.6.1. Asal Usul Tahu
Tahu merupakan bahan makanan sumber protein nabati yang sangat populer
setelah tempe (Widyaningsih, 2006). Tahu mengandung 7-8 gram zat protein dan 124
mg zat kalsium per 100 gram tahu. Tahu berasal dari negara Cina, yang disebut taufu.
Tahu dibuat dari kacang kedelai kuning atau dari kacang hijau (Tarwotjo, 1998).
Kacang kedelai dikenal sebagai makanan terbaik kadar proteinnya, dapat mencapai
35% daripada beratnya (Liwijaya, 2001). Tahu merupakan bahan makanan yang
sudah sejak lama dikenal masyarakat. Namun, dengan meningkatnya kasus formalin
pada makanan, ternyata formalin juga ditemukan pada tahu yang beredar di pasaran
(Widyaningsih, 2006).
Menurut Widyaningsih (2006), tahu adalah bahan pangan yang tinggi protein
dengan kadar air yang tinggi (85%) karena itu tahu tidak tahan lama. Satu hari setelah
diproduksi tahu akan mulai rusak yang ditandai dengan berbau asam dan berlendir.
Dengan merendam tahu pada air yang diberi formalin tahu akan awet sampai 7 hari.
Jadi penggunaan formalin dapat dilakukan pada proses penggumpalan dan
perendaman setelah jadi tahu. Mungkin pada proses penggumpalan di pabrik tahu
tidak menggunakan formalin seperti yang dibantah oleh produsen tahu. Namun,
pedagang juga tidak mau berisiko dagangannya rusak sebelum laku terjual. Oleh
karena itu tahu direndam pada air yang dicampuri formalin agar tahu tetap awet tidak
rusak. Perendaman tahu dengan formalin jelas tidak dapat diterima, walaupun untuk
2.6.2. Macam-Macam Tahu
Menurut Tarwotjo (1998), macam-macam tahu sebagi berikut.
1. Tahu putih, tebal dan halus sehingga disebut tahu sutera (silk) dan cocok untuk
dimasak sup tahu.
2. Tahu putih, tebal dan agak keras, tidak selembut jenis tahu silk sehingga cocok
untuk masakan, seperti tahu isi dan perkedel tahu.
3. Tahu yang sangat padat, tipis, dan diberi warna kuning disebut tahu cina. Banyak
digunakan dalam masakan Cina.
4. Tahu pong, bila digoreng sampai kering, bagian dalamnya kosong, rasanya gurih
dan ringan.
5. Tahu jepang, halus sekali dan lunak (silk), dibuat dari kacang hijau.
2.6.3. Proses Pembuatan Tahu
Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang terkandung dalam
kedelai menggunakan air sebagai pelarutnya. Setelah protein tersebut larut,
diusahakan untuk diendapkan kembali dengan penambahan bahan pengendap sampai
terbentuk gumpalan-gumpalan protein yang akan menjadi tahu (Anonimous, 2000).
Kadang-kadang ada tahu yang terasa agak asam atau pahit. Hal ini disebabkan
Secara garis besar, pembuatan tahu adalah sebagai berikut.
1) Pilih kedelai yang bersih, kemudian dicuci.
2) Rendam dalam air bersih selama 8 jam (paling sedikit 3 liter air untuk 1 kg
kedelai). Kedelai akan mengembang jika direndam.
3) Cuci berkali-kali kedelai yang telah direndam. Apabila kurang bersih maka tahu
yang dihasilkan akan cepat menjadi asam.
4) Tumbuk kedelai dan tambahkan air hangat sedikit demi sedikit hingga berbentuk
bubur.
5) Masak bubur tersebut, jangan sampai mengental pada suhu 700-800C (ditandai
dengan adanya gelembung-gelembung kecil).
6) Saring bubur kedelai dan endapkan airnya dengan menggunakan batu tahu
(Kalsium Sulfat = CaSO4) sebanyak 1 gram atau 3 ml asam cuka untuk 1 liter sari
kedelai, sedikit demi sedikit sambil diaduk perlahan-lahan.
Diagram Alir Pembuatan Tahu
Sumber: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Anonimous, 2000. Dicuci
Direndam (8 jam)
Dicuci
Ditiriskan
Ditumbuk
Dimasak sampai mengental
Disaring
Diendapkan dengan batu tahu atau asam cuka
Dicetak
Tahu Air untuk rendaman
(3:1)
Air hangat
2.6.4. Ciri-Ciri Tahu yang Baik
Tahu yang baik adalah tahu yang berkualitas baik, bergizi dan tahan terhadap
penyimpanan. Tahu yang baik tidak cepat mengalami kerusakan yang dapat
menurunkan nilai gizi yang rendah bahkan sampai tahu tidak memenuhi syarat
sebagai makanan. Misalnya tahu cepat menjadi basi, tahu cepat menjadi bau yang
tidak disenangi, tahu cepat ditumbuhi jamur yang menghasilkan toksin/racun yang
dapat mengganggu kesehatan tubuh bagi yang memakan tahu tersebut. Faktor-faktor
yang menentukan mutu tahu adalah, kualitas kedelai yang digunakan, proses
pembuatan tahu, dan pemakaian bahan-bahan pembantu lainnya (Anonimous, 1981).
Ciri-ciri tahu yang baik adalah:
1. Berbau khas tahu dan tidak berbau asam.
2. Teksturnya padat dan tidak lunak sehingga bila diolah tidak mudah hancur.
3. Pori-porinya halus yang menandakan bahwa kualitas tahu bagus.
4. Tidak berlendir (Anonimous, 2010).
2.6.5. Ciri-Ciri Tahu yang Rusak
Umumnya tahu bersifat mudah rusak (busuk). Disimpan pada kondisi biasa
(suhu ruang) daya tahannya rata-rata 1 – 2 hari saja. Setelah lebih dari batas tersebut
rasanya menjadi asam lalu berangsur-angsur busuk, sehingga tidak layak dikonsumsi
lagi. Akibatnya banyak usaha yang dilakukan produsen tahu untuk mengawetkannya,
termasuk menggunakan bahan pengawet yang dilarang, misalnya formalin. Ciri-ciri
tahu yang mengandung formalin:
2. Tahu terlampau keras, namun tidak padat, permukaan menjadi lebih kering.
3. Bau khas agak menyengat, bau formalin.
Dengan meningkatnya penggunaan formalin sebagai pengawet tahu, maka
dirasakan perlu untuk mencari alternatif lain yang aman untuk mengawetkan tahu
(Kusuma, 2010).
2.6.6. Pengawetan Tahu dengan Bahan Alami
Pengawetan merupakan cara untuk menghambat pertumbuhan atau
membunuh mikroorganisme. Makanan yang dimasak akan membunuh organisme
tetapi tidak dijamin menjadi awet (Mukono, 2000). Makanan yang mengandung
formalin umumnya awet dan dapat bertahan lebih lama, tetapi dapat membahayakan
dan merugikan kesehatan masyarakat. Sejak meningkatnya penggunaan formalin
pada bahan makanan sebagai pengawet maka banyak pihak yang mencari alternatif
pengganti formalin. Pengawetan tahu tanpa formalin dapat dilakukan dengan cara:
1. Tahu direndam dalam air yang diberi garam dapur 3% atau cuka 0,1% atau
campuran keduanya. Tahu akan awet sampai 3-4 hari.
2. Tahu dikukus atau direbus dan direndam dengan air perebusannya juga dapat
[image:43.612.113.539.579.698.2]memperpanjang daya awetnya.
Tabel 2.1 Hasil Pengawetan Tahu Tanpa Formalin
Perlakuan Perendaman
1 hari 2 hari 3 hari
Tahu pada suhu kamar tanpa perendaman
Mulai berbau Rusak Rusak
Perendaman dengan air tidak diganti
Normal, air keruh Berbau Rusak
Perendaman dengan air dan air perendam diganti-ganti
Perendaman air dan garam 3%
Normal, air keruh Normal Mulai berbau
Perendaman air garam 3% dan cuka 0,1%
Normal Normal Normal
Pengukusan 20 menit dan direndam air panas
Normal Normal Mulai berbau
Perebusan 20 menit dan direndam air rebusan
Normal Normal Mulai berbau
Sumber: Widyaningsih, 2006
Salah satu pengawetan tahu tanpa formalin, tetapi dengan bahan alami juga
dapat dilakukan dengan cara perendaman tahu pada larutan chitosan. Aplikasi
chitosan juga sudah dilakukan peneliti dari Departemen Teknologi Hasil Perairan
(THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB)
yang telah berhasil memanfaatkan limbah dari udang dan rajungan sebagai bahan
pengawet makanan. Keunggulan penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet ikan
berdasarkan indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain : (1) Pada
keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, di mana pada konsentrasi
chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan, (2) Pada
keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan dan rasa, di mana hasil riset
menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating atau pelapisan chitosan lebih
baik bila dibandingkan dengan ikan asin tanpa formalin dan ikan asin dengan
formalin. Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik
dibanding dengan tanpa formalin dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu
ke delapan, (3) Pada keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, di mana
nilai TPC (bakteri) sampai pada minggu kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan
Swastawati, dkk. (2008) telah mengawetkan ikan pindang layang dengan
larutan chitosan 0,25% sehingga masih dapat dikonsumsi sampai hari kedua.
Demikian juga Wardaniati dan Setyaningsih (2009) menggunakan larutan chitosan
untuk mengawetkan bakso dengan konsentrasi 1,5% sehingga dapat disimpan sampai
hari ketiga.
Chitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang
dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan
sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal
antara produk dan lingkungannya. Mekanisme kerja chitosan lewat dua cara. Pertama,
chitosan bisa membunuh bakteri, dengan cara mengikat organisme patogen dengan
polikation bermuatan positif. Organisme pun tidak bisa tumbuh atau bergerak. Kedua,
chitosan akan melapisi kulit luar produk yang diawetkan, sehingga rasa dari dalam
tidak bisa keluar dan kontaminan dari luar tidak bisa masuk (Swastawati, dkk., 2008).
2.7. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi
Chitosan adalah serbuk yang dihasilkan dari deasetilasi chitin, senyawa yang banyak diperoleh di kerangka luar (eksoskeleton) hewan Crustacea seperti udang,
kerang, dan kepiting (Rhamnosa, 2006). Serbuk yang telah dilepaskan asetilnya
merupakan zat murni, tinggi sifat basanya, serta mengandung banyak molekul
glukosa. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh
manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan
cairan tubuh manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh. Zat itu
positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu,
zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun (Nasir, 2008).
Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi
kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam
asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih
aman (Wardaniati, 2009).
Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di
Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan
belum bisa diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak masyarakat yang belum
mengetahui fungsi dari chitin-chitosan (Swastawati, dkk., 2008).
Jurnal Jonathan Rhodes dan Bob Rastall menyebutkan tentang paten produk di
Rusia yang menggunakan chitosan sebagai pengawet untuk kaviar, yang dinyatakan
efektif dengan kombinasi masing-masing 0,1% chitosan dan asam sorbat (Rhamnosa,
2006). Di Indonesia produksi chitosan dalam skala relatif besar mulai diujicobakan
CV Dinar yang berlokasi di sebuah kawasan nelayan di Jl.Raya Dadap, Tangerang
Banten (Anonimous, 2006).
2.8. Kerangka Konsep
Tahu putih Chitosan dari
cangkang udang
Larutan chitosan 0 %, 0,5%, 1%,
1,5%, 2%
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif untuk
menggambarkan penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei)
untuk memperlama waktu simpan pada tahu. Percobaan dilakukan dengan 5
konsentrasi yang berbeda yaitu larutan chitosan 0% (sebagai kontrol), 0,5%, 1%,
1,5%, 2% dan dilakukan 4 kali pengulangan.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi pengambilan sampel dan observasi tahu dilakukan di Pabrik Tahu
yang berada di Jl. Flamboyan Raya II Kelurahan Tanjung Selamat Kecamatan Medan
Tuntungan Provinsi Sumatera Utara. Sampel penelitian diambil di pabrik tahu
didasarkan pada suatu pertimbangan bahwa:
1. Tahu di tempat tersebut tidak menggunakan formalin sebagai pengawet.
2. Pabrik tahu tersebut merupakan industri rumah tangga yang memproduksi
tahu secara kecil-kecilan yang di distribusikan ke pedagang-pedagang pasar
tradisional di kota Medan dan banyak dibeli atau dikonsumsi oleh masyarakat.
Sementara lokasi penelitian akan dilakukan di Laboratorium Gizi Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan pertimbangan
3.2.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan Mei-Juni 2010.
3.3 Objek Penelitian
Objek penelitian adalah tahu yang dibeli langsung dari pabrik tahu. Dari
tempat tersebut diambil sejumlah tahu sebagai bahan yang langsung diawetkan di
laboratorium dengan kriteria dipilih tahu yang fisiknya berkualitas baik dan masih
baru.
Sampel tahu yang dibutuhkan untuk setiap perlakuan dalam penelitian adalah
sepotong tahu segar (±150 gram). Kemudian sampel tahu diawetkan melalui
perendaman dengan 500 ml larutan chitosan dengan konsentrasi masing-masing 0 %
(sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%. Kemudian diamati perubahan yang
terjadi pada tahu baik tekstur, bau dan warnanya serta dihitung waktu simpan tahu
dalam rendaman larutan chitosan. Dari masing-masing perlakuan, dilihat tahu dalam
perendaman dengan konsentrasi berapa yang lebih lama waktu simpannya tanpa ada
perubahan tekstur, bau dan warna.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil perlakuan di Laboratorium Gizi Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan informasi berupa
3.5. Alat dan Bahan Penelitian 3.5.1 Alat Penelitian
- Batang pengaduk
- Blender
- Gelas beker
- Gelas ukur
- Kertas saring/saringan
- Oven
- Panci stainless steel
- pH meter atau kertas lakmus
- Timbangan
- Wadah untuk larutan chitosan
3.5.2. Bahan Penelitian - Asam asetat 1%
- Aquadest
- Cangkang udang
- Larutan NaOH 1M
- Larutan HCl 1M
3.6. Cara Kerja Penelitian 3.6.1. Cara Membuat Chitosan
1) Cangkang udang yang telah terkumpul dicuci dengan air kran hingga bersih,
lalu ditiriskan, kemudian dicuci kembali dengan air panas, selanjutnya
dikeringkan.
2) Cangkang udang yang sudah kering tersebut diblender hingga menjadi halus
seperti serbuk.
3) Kemudian dilakukan proses deproteinasi. Serbuk udang direndam dalam larutan
NaOH 1M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1:5 (gram
serbuk/ml NaOH) sambil diaduk konstan selama 1 jam.
4) Panaskan pada suhu 900C selama 1 jam.
5) Dinginkan, kemudian cuci dengan air sampai pH netral, keringkan.
6) Dilanjutkan dengan proses demineralisasi dengan perendaman dalam larutan
HCl 1M dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1:10 (gram
serbuk/ml HCl) sambil diaduk konstan selama 1 jam.
7) Panaskan pada suhu kamar 900C selama 1 jam.
8) Dinginkan lalu disaring, kemudian cuci dengan air sampai pH netral, keringkan.
9) Hasil dari proses tersebut disebut chitin.
10) Pada proses deasetilasi, chitin kemudian direndam dalam larutan NaOH 1M
dengan perbandingan 1:20 (gr serbuk/ml NaOH) sambil diaduk konstan selama
1 jam
12) Dinginkan dan hasilnya disaring, lalu dicuci dengan air sampai pH netral lalu
dikeringkan.
13) Hasil yang diperoleh disebut chitosan.
3.6.2 Cara Membuat Larutan Chitosan
Untuk mendapatkan larutan chitosan dapat dilihat pada skema di bawah ini:
(Swastawati, dkk., 2008).
Dari skema diatas, dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan penelitian.
1) Untuk mendapatkan larutan chitosan 0,5% digunakan 10 gram serbuk chitosan.
Chitosan tersebut kemudian dilarutkan dalam asam asetat 1% sehingga
terbentuk larutan tersuspensi.
2) Larutan tersebut kemudian diencerkan dengan 2 liter aquadest.
3) Dihasilkanlah larutan chitosan untuk konsentrasi 0,5 %.
4) Demikian selanjutnya untuk membuat larutan chitosan 1% diperlukan 20 gr
serbuk chitosan, untuk larutan chitosan1,5% diperlukan 30 gr serbuk chitosan,
dan larutan chitosan 2% sebanyak 40 gram serbuk chitosan. Serbuk chitosan
Penimbangan 50 gr
Pelarutan dengan asam asetat 1% sehingga terbentuk larutan tersuspensi
Pengenceran dengan aquadest hingga 10 liter
3.7. Prosedur Penelitian
3.7.1 Aplikasi Larutan Chitosan Pada Tahu
1) Hasil larutan chitosan tiap-tiap konsentrasi dimasukkan dalam wadah yang
sudah diberi kode. Kode A untuk wadah larutan chitosan 0% (aquadest), kode
B untuk wadah larutan chitosan 0,5 %, kode C untuk wadah larutan chitosan
1%, kode D untuk wadah larutan chitosan 1,5%, dan kode E untuk wadah
larutan chitosan 2%.
2) Setiap wadah perlakuan diisi dengan larutan chitosan sebanyak 500 ml untuk
masing-masing konsentrasi. Perlakuan setiap konsentrasi dilakukan 4 kali
pengulangan, kecuali perendaman tahu dalam larutan chitosan 0% yang
menggunakan aquadest sebagai kontrol hanya sekali ulangan. Ulangan pertama
diberi kode A, B1, C1, D1, E1. Ulangan kedua diberi kode A, B2, C2, D2, E2.
Ulangan ketiga diberi kode A, B3, C3, D3, E3. Ulangan keempat diberi kode A,
B4, C4, D4, E4.
3) Tahu yang sudah disiapkan dimasukkan ke dalam wadah yang sudah diisi
larutan chitosan 0% (sebagai kontrol), 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%, seperti yang
sudah disiapkan sebelumnya.
4) Diamkan tahu dalam perendaman dan selanjutnya dilakukan pengamatan setiap
4 jam untuk melihat perubahan fisik pada tahu selama perendaman dalam
larutan chitosan.
5) Tabulasi hasil data yang didapat kemudian dianalisa sesuai dengan metode
3.8. Definisi Operasional
1. Cangkang udang adalah kerangka udang bagian luar yang agak keras yang
terdiri dari kepala, kulit, ekor.
2. Chitosan adalah bahan pengawet alami yang dibuat secara kimiawi dari
cangkang udang dan kemudian digunakan untuk menghambat pertumbuhan
bakteri pada tahu. Chitosan dalam penelitian ini diracik oleh peneliti dari
bahan baku cangkang udang dengan tahapan deproteinasi, demineralisasi
dan deasetilasi. Deproteinasi adalah proses menghilangkan protein dari
cangkang udang yang telah dihaluskan dengan cara merendam serbuk udang
dalam larutan NaOH 1M dengan perbandingan 1:5 (gr/ml). Kemudian
dilanjutkan dengan tahap demineralisasi yaitu proses yang dilakukan setelah
proses deproteinasi, untuk menghilangkan mineral dengan cara merendam
serbuk udang dalam larutan HCl 1M dengan perbandingan 1:10 (gr/ml).
Tahap terakhir adalah proses deasetilasi, yaitu melakukan perendaman dalam
larutan NaOH 1M dengan perbandingan 1:20 (gr/ml) untuk mendapatkan
chitosan yang diinginkan.
3. Larutan chitosan didapatkan melalui penambahan asam asetat 1% pada
serbuk chitosan yang kemudian dilarutkan kembali dengan aquadest.
Misalnya untuk mendapatkan larutan chitosan 0,5 % artinya serbuk chitosan
sebanyak 10 gram ditambah dengan asam asetat 1 % sehingga terbentuk
larutan tersuspensi, kemudian diencerkan dengan aquadest 2 liter. Demikian
4. Tahu adalah bahan makanan sumber protein nabati yang terbuat dari kacang
kedelai, berbentuk potongan segiempat berwarna putih (±150 gram), tebal,
halus, dan tidak mengandung bahan pengawet buatan seperti formalin.
5. Waktu simpan tahu yaitu lamanya penyimpanan tahu yang masih dapat
diterima untuk dikonsumsi setelah dilakukan perendaman dalam larutan
chitosan dengan mengamati ciri fisik terdiri dari tekstur (apakah terlihat baik
atau berlendir), bau (tercium aroma tahu atau berbau asam), warna (terlihat
berwarna putih alami tahu atau tidak).
3.9. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil perlakuan disajikan dalam bentuk tabel
kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui gambaran tentang
penggunaan chitosan dari cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk
memperlama waktu simpan pada tahu dengan tingkat konsentrasi larutan chitosan 0%
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan
Hasil penelitian yang telah dilakukan tentang penggunaan chitosan dari
cangkang udang (Litopenaeus vannamei) untuk memperlama waktu simpan pada tahu
dengan 5 perlakuan perendaman tahu dalam larutan chitosan dengan konsentrasi (0%
sebagai kontrol, 0,5%, 1%, 1,5%, dan 2%) dan 4 kali pengulangan dapat dilihat pada
[image:55.612.114.503.334.657.2]tabel berikut .
Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 0% Pada Hari I
Lama Waktu Simpan (Jam)
Ciri Fisik Tahu Keterangan 0 - Tekstur baik
- Berbau tahu - Berwarna putih
Larutan jernih
4 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih
Larutan jernih
8 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih
Larutan jernih
12 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih
Larutan jernih
16 - Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna putih
Larutan jernih
20 - Tekstur mulai berlendir - Mulai berbau asam - Berwarna putih
Larutan mulai keruh, terdapat lapisan di permukaan larutan
24 - Tekstur berlendir - Berbau asam
- Warna mulai menguning
Pada tabel 4.1. tersebut terlihat bahwa tahu dalam perendaman larutan
chitosan 0% sudah mulai menunjukkan tanda-tanda tahu yang rusak setelah direndam
selama 20 jam. Larutannya mulai keruh dan mulai membentuk lapisan di permukaan
larutan. Dari pengamatan terlihat bahwa larutan chitosan 0% yang sudah mulai keruh
[image:56.612.118.587.262.689.2]dapat dengan cepat mempengaruhi tekstur, bau dan warna tahu menjadi rusak.
Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Tahu Dalam Perendaman Larutan Chitosan 0,5% Pada Hari I
Lama Waktu Simpan (Jam)
Ciri Fisik Tahu Keterangan
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 0 - Tekstur baik
- Berbau tahu - Berwarna
putih
- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna
putih
- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna
putih
- Tekstur baik - Berbau tahu - Berwarna
putih
Larutan jernih
4 - Tekstur baik - Berbau tahu