• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS SINKRONISASI LEGALITAS PENYADAPAN

(WIRETAPPING) OLEH JAKSA PENYIDIK DALAM PENANGANAN

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh Cipta Pertiwi

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi merupakan salah satu extra ordinary crimes karena merupakan kejahatan yang terorganisir dan bersifat transnasional sehingga sulit untuk diberantas. Para pelaku pada umumnya adalah mereka yang memiliki jabatan dan wewenang yang dengan wewenangnya itu berusaha untuk memperkaya diri sendiri. Dampak yang diakibatkan cukup besar, karena korupsi mengakibatkan kerugian negara hal ini akan berimbas pada tingkat kemakmuran rakyat. Karena dana yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat akan tetapi dipergunakan secara pribadi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu agar dampak yang diakibatkan tidak semakin meluas, maka korupsi harus segera ditangani. Cara penanganannya pun harus dengan cara yang khusus mengingat pelakunya adalah mereka yang memiliki posisi dan kedudukan yang kuat sehingga hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi dalam proses penegakan hukumnya. Salah satu upaya khusus yang dimaksud adalah melalui penyadapan.

(3)

2

persidangan terungkap bahwa melalui penyadapan telepon diketahui adanya hubungan antara Artalyta Suryani dengan Jaksa Urip dan bahkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Untung Uji Santoso. Dalam kasus Bibit-Chandra, kemudian tersebutlah tokoh bernama Anggodo dan kawan-kawan.1

Berkaitan dengan substansi hukumnya, yang menjadi permasalahan ialah mengenai legalitas penyadapan, apakah secara hukum hal tersebut sah dilakukan dan tidak melanggar hak asasi manusia, mengingat fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan.2

Pada sisi lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak lain yang terlibat (penasehat hukum). Permasalah yang muncul adalah “penggunaan kewenangan yang tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum”. Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hukum.

1

(Jalan Tengah Penyadapan,hsutadi.blogspot.com, 10 Januari 2012)

2

(4)

Masalah sah-tidak sahnya penyadapan ini sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh banyak pihak (termasuk di dalamnya para akademisi hukum) hingga uji tuntas di muka persidangan konstitusional yang semuanya berkesimpulan bahwa penyadapan oleh KPK merupakan tindakan yang diperbolehkan, sah dan konstitusional walaupun membatasi atau terkesan mengenyampingkan HAM, namun penerapannya masih dalam koridor yang tepat. Biasanya argumen yang dibangun adalah Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK melanggar hak warga negara atas rasa aman dan jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Sepintas argumen tersebut terlihat benar, namun apabila kita cermati bahwa hak konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 bukanlah termasuk hak-hak konstitusional yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Hak konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tersebut dapat dibatasi/dikurangi apabila diatur dengan undang-undang, sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

“dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.3

3

(5)

4

Pembatasan hak tersebut juga diatur dalam ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat UU HAM). Pembatasan oleh undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 73 UU HAM tersebut terhadap hak konstitusional Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, telah diatur di dalam UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (selanjutnya disingkat UU Telekomunikasi) yaitu Pasal 42 ayat (2) huruf b menyatakan ”Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku”. Dengan adanya ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf b UU Telekomunikasi tersebut maka Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU KPK) tentang kewenangan KPK melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan adalah pengecualian dari Pasal 40 UU Telekomunikasi karena dilakukan untuk keperluan proses peradilan pidana yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Dengan demikian keberadaan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK tidaklah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.4

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji kembali mengenai legalitas penyadapan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi terkait dengan pearturan perundang-undangan yang mengaturnya, oleh karena itu peneliti ingin menuangkan hasil penelitian tersebut

4

(6)

dalam Penelitian hukum yang berjudul “Analisis Sinkronisasi Legalitas Penyadapan (wiretapping) Oleh Jaksa Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas yang diuraikan sebelumnya maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah sinkronisasi vertikal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945?

b. Bagaimanakah sinkronisasi horizontal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi antara KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK?

2. Ruang Lingkup

(7)

6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui sinkronisasi vertikal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

b. Mengetahui sinkronisasi horizontal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi antara KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK.

2. Kegunaan Penelitian

Peneliti berharap bahwa kegiatan penelitian dalam Penelitian hukum ini akan bermanfaat bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

(8)

b. Secara praktis, yaitu memberikan masukan kepada DPR dan aparat penegak hukum mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan sinkronisasi vertikal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan sinkronisasi horizontal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi antara KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.5

Penerapan hukum pidana tidak terlepas dari adanya peraturan undangan pidana, menurut Sudarto usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang berarti melaksanakan politik hukum pidana.6 Politik hukum pidana dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan kebijakan hukum pidana. Menurut Marc Ancel, kebijakan hukum adalah upaya menanggulangi kejahatan dengan pemberian sanksi pidana atau penal. Sebagai

5

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Cet III, UI Press. Jakarta. Hlm 125

6

(9)

8

suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan positif dirumuskan secara lebih baik.

Politik hukum sebagai kebijakan yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi:

a. Pembangunan hukum berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;

b. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan Pembina para penegak hukum.7

Kebijakan hukum dengan sarana pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri atas tiga tahap yakni:

a. Tahap kebijakan legislatif/formulatif; b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif; c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif.

Tahapan legislasi dalam proses penanggulangan kejahatan memberikan tanggungjawab kepada aparat pembuat hukum (aparat legislatif) menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana disusun dalam satu kesatuan sistem hukum pidana (kebijakan legislatif) yang harmonis dan terpadu.

Berkaitan dengan peran legislatif tersebut Nyoman Serikat Putra Jaya, menyatakan lembaga legislatif berpartisipasi dalam menyiapkan kebijakan dan memberikan kerangka hukum untuk memformulaikan kebijakan dan menerapkan program kebijakan yang telah diterapkan. Keseluruhannya itu, merupakan bagian

7

(10)

dari kebijakan hukum atau politik hukum yang pada hakikatnya berfungsi dalam tiga bentuk, ialah:

a. Politik tentang pembentukan hukum; b. Politik tentang penegakan hukum;dan

c. Politik tentang pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.8

Walaupun ada keterkaitan erat antara kebijakan legislasi dengan penegakan hukum dan politik hukum, namun dilihat secara teoritis dan dari sudut realitas, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan semata-mata hanya dengan memperbaiki/memperbaharui sarana undang-undang. Namun evaluasi tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan formulasi dalam perundang-undangan yang ada. Evaluasi terhadap kebijakan formulasi mencakup tiga masalah pokok dalam hukum pidana yaitu masalah perumusan tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan.9

Membahas mengenai sinkronisasi perundang-undangan, sinkronisasi merupakan sebuah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan memiliki maksud agar substansi yang diatur dalam produk peraturan perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Sedangkan tujuan dari sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan

8

Jaya, Nyoman Serikat Putra. 2006. Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang. Hlm 13

9

(11)

10

kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif.10

Sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan terdapat dua taraf, yaitu: a. Sinkronisasi Vertikal

Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Disamping harus memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan, dalam sinkronisasi vertikal juga harus diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

b. Sinkronisasi Horizontal

Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga harus dilakukan secara kronologis yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang besangkutan.11

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.12

Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini Peneliti memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam

10

(www.penataanruang.net, diakses 9 Januari 2012)

11

(prosedur penyusunan sinkronisasi, www.penataanruang.net. diakses 9 Januari 2012)

12

(12)

memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.13

b. Sinkronisasi adalah sebuah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu.14

c. Legalitas adalah suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya (Pasal 1 ayat (1) KUHAP).

d. Penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi (Pasal 31 ayat (1) UU ITE).

e. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 UU PTPK).

13

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hlm 32

14

(13)

12

E. Sistematika Penelitian Hukum

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, maka Peneliti menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 5 (lima) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun Peneliti menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika Penelitian.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini Peneliti akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan tentang sinkronisasi peraturan perundang-undangan, tinjauan tentang penyadapan, tinjauan tentang pengaturan penyadapan dalam beberapa produk undang-undang dan diakhiri dengan kerangka pemikiran.

BAB III. METODE PENELITIAN

(14)

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasan tentang analisis sinkronisasi hukum legalitas penyadapan (wiretapping) oleh jaksa penyidik dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Sinkronisasi yang dimaksud dilakukan secara vertikal maupun horizontal terhadap beberapa undang-undang.

BAB V. PENUTUP

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Setiap negara, baik besar atau kecil, berbentuk republik atau monarki, pasti memiliki sistem administrasinya sendiri yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara tersebut. Peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai penjabaran dari nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia merupakan piranti dalam rangka pencapaian cita-cita dan tujuan nasional. Oleh karena itu landasan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia adalah Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai landasan konstitusional.15

a. Pancasila Sebagai Landasan Idiil

Pancasila sebagai sebagai dasar Negara Republik Indonesia merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sumber dari segala sumber hukum adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar negara yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan:

15

(16)

1) Dasar Negara Republik Indonesia yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia.

2) Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan bangsa serta memberi petunjuk dalam pencapaian kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin dalam bangsa Indonesia yang beraneka ragam.

3) Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena pancasila merupakan corak yang khas kepada bangsa Indonesia dan tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia serta merupakan ciri khas yang membedakan bangsa Indonesia dari bangsa lain. Terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain bersifat universal yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Akan tetapi kelima sila tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah.

4) Tujuan yang akan dicapai, yakni suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan yang aman, tentram dan tertibdan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

(17)

16

b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional.

Landasan konstitusional bagi penyelenggara perundang-undangan negara adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan perwujudan dari tujuan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang terdiri dari pembukaan, batang tubuh dan penjelasan. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 selain merupakan penuangan jiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yaitu Pancasila, juga mengandung cita-cita luhur dari proklamasi kemerdekaan itu sendiri. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga merupakan sumber motivasi dan aspirasi perjuangan serta tekat bangsa Indonesia dan sumber cita-cita hukum dan cita-cita moral yang ingin ditegaskan oleh bangsa Indonesia serta sekaligus merupakan dasar dan sumber hukum dari batang tubuhnya. Batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bentuk dan kedaulatan, kekuasaan pemerintah negara, kedudukan dan fungsi lembaga tinggi negara serta pemerintahan daerah, merupakan dasar bagi penyelenggaraan dan pengembangan sistem perundang-undangan negara Republik Indonesia. Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

Penjelasan umum memuat:

a. Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar. b. Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan.

c. Undang-Undang Dasar 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dan dalam pasal-pasalnya.

(18)

e. Sistem Pemerintaha Negara.16

2. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan perundang-undangan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan tertulis yang bersifat pengaturan (relegen) yang dibuat oleh aparatur negara mulai dari MPR sampai dengan Direktur Jenderal/Pimpinan LPND pada lingkup nasional dan gubernur kepala daerah tingkat I, bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II pada lingkup wilayah/daerah yang bersangkutan. Tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan adalah ketentuan yang sifatnya konkret, individual dan final (beschiking), misalnya pemberian IMB, SIUP dan sebagainya.17

Tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini diatur dalam Undang-undang nomor 10 Tahun 2004:

a. Undang-undang Dasar 1945 b. UU/Perpu

c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah

Tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut mengandung prinsip, yaitu: a. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat

dijadikan landasana atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau dibawahnya.

16

Ragawino, Bega. 2005. Pengantar Ilmu hukum. Pahala Khatulistiwa. Bandung. Hlm 4-6

17

(19)

18

b. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar dari peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.

c. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

d. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak sederajat.

e. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama dicabut. Selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum.18

1. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

Sinkronisasi adalah sebuah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan memiliki maksud agar substansi yang diatur dalam produk peraturan perundangundangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Sedangkan tujuan dari sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu

18

(20)

yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif.19

Sinkronisai terhadap peraturan perundang-undangan terdapat dua taraf yaitu: a. Sinkronisasi vertikal

Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Disamping harus memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan, dalam sinkronisasi vertikal juga harus diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

b. Sinkronisasi Horizontal

Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga harus dilakukan secara kronologis yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang besangkutan.20

Dalam melakukan sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan pada umumnya menggunakan prosedur 4 tahap sebagai berikut:

1) Inventarisasi

Adalah suatu kegiatan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang peraturan perundangundangan terkait dengan bidang tertentu. Selanjutnya, peraturan perundang-undangan yang telah diinventarisasi kemudian dievaluasi untuk mendapatkan peraturan yang paling relevan atau yang mempunyai kaitan secara teknis dan substansial terhadap bidang tertentu

19

(prosedur penyusunan sinkronisasi, www.penataanruang.net, diakses 9 Januari 2012)

20

(21)

20

yang telah dipilih sebelumnya. Dengan demikian, proses atau kegiatan inventarisasi sesungguhnya telah dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis dan melalui proses yang logis dan sistematis.

2) Analisa substansi

Pada tahap ini dilakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, secara umum pengakajian tersebut dilakukan terhadap seluruh instansi. Secara lebih khusus, pengkajian substansi tersebut mencakup peristilahan, definisi dan substansi.

3) Hasil analisa

Dari substansi tersebut, selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mendapatkan hasil yang valid dan benar kemudian digunakan sebagai bahan untuk melakukan sinkronisasi.

4) Pelaksanaan sinkronisasi

Merumuskan dan mensinkronkan substansi peraturan perundang-undangan serta merinci substansi peraturan perundang-undangan yang disusun. 21

B. Tinjauan tentang Penyadapan

1. Pengertian Penyadapan

Dalam frase Bahasa Inggris penyadapan disebut sebagai interception. Kamus.net menerjemahkan intercept sebagai menahan, menangkap, mencegat atau memintas. Sedangkan di dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai to cut off from access or communication. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyadap adalah

21

(22)

mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya.22

Sementara itu, penyadapan menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau. Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Sedangkan pengertian dari Penyadapan secara sah atau Lawful Interception adalah suatu cara penyadapan dengan menempatkan posisi penyadap di dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi sedemikiann rupa sehingga penyadapan memenuhi syarat tertentu yang dianggap sah secara hukum. Dalam hal ini syarat-syarat tersebut diatur secara yuridis oleh negara yang bersangkutan. Sehingga dimungkinkan terdapat perbedaan aturan serta standar antara suatu negara dengan negara lainnya.

Jika ditinjau dari keberadaan tentang aturan Lawful Interception di Indonesia, negara kita telah mengeluarkan Peraturan Menkomino Nomor 11/PER/M. KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi yang berisi pedoman-pedoman dalam melakukan penyadapan secara sah. Dari definisi sesuai peraturan tersebut disebutkan bahwa Penyadapan Informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh

22

(23)

22

Aparat Penegak Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut. Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa Penyadapan Secara Sah, berfokus pada pemotongan informasi di tengah jalan dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur oleh yuridikasi masing-masing negara.23

2. Tujuan Penyadapan

Telah didefinisikan sebelumnya bahwa tujuan dari Lawful Interception dapat beragam dan berbeda untuk setiap negara. Hal ini merujuk pada definisi dari yuridikasi tiap negara, serta definisi awal dari Lawful Interception itu sendiri yaitu memenuhi syarat sehingga sah di mata hukum negara yang bersangkutan. Adapun dalam hal ini di Indonesia, Peraturan Menkomino Nomor 11 /PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi menyatakan bahwa penyadapan terhadap informasi secara sah (lawful interception) dilaksanakan dengan tujuan untuk keperluan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu peristiwa tindak pidana (Pasal 3). Sedangkan hal ini hanya dapat dilakukan oleh Penegak Hukum serta wajib bekerjasama dengan Penyelenggaraan Telekomunikasi (Pasal 4 dan 11).

C. Tinjauan tentang Pengaturan Penyadapan (Wiretapping)

1. Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut UUD 1945

Komunikasi oleh warga negara merupakan hak pribadi yang harus dilindungi hukum, sehingga penyadapannya dilarang. UUD 1945 menjamin hak setiap orang

23

(24)

atas diri pribadi, kekayaan, kehormatan, martabat dan harta bendanya, konstitusi juga menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 28F, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) yang menyebutkan: Pasal 28F:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 28D ayat (1):

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28G ayat (1):

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(25)

24

Berdasarkan pasal-pasal di atas bahwa komunikasi oleh warga negara merupakan hak pribadi yang harus dilindungi oleh hukum. Penyadapan atas suatu proses komunikasi oleh pihak lain merupakan tindakan yang tercela karena melanggar hak-hak privasi yang dilindungi secara hukum. Tapi, hak-hak yang diatur dalam pasal tersebut termasuk hak untuk berkomunikasi bukanlah hak yang tidak dapat disimpangi/dikurangi (nonderogable rights) sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:

Pasal 28I ayat (1):

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Menurut ketentuan pasal tersebut, bahwa hak untuk berkomunikasi tidak termasuk ke dalam hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights), sehingga hak ini dapat dikesampingkan. Dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

(26)

dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

2. Pengaturan Penyadapan (wiretapping) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

KUHAP tidak mengatur mengenai legalitas penyadapan (wiretapping) yang dilakukan oleh jaksa penyidik. KUHAP hanya menjelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j, “penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sedangkan dalam penjelasan pasal tersebut, merujuk pada Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 bahwa yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyidikan untuk

kepentingan penyelidikan dengan syarat:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;

c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.

(27)

26

BAB IV bagian Kelima (Pasal 83 & Pasal 84) tentang Penyadapan, dapat dilakukan terhadap tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan untuk waktu 30 hari dengan perpanjangan 1 kali untuk waktu 30 hari lagi, yaitu tindak pidana terhadap keamanan negara, perampasan kemerdekaan, pencurian dengan kekerasan, pemerasan, pengancaman, perdagangan orang, penyelundupan, korupsi, pencucian uang, pemalsuan uang, keimigrasian, mengenai bahan peledak dan senjata api, terorisme, pelanggaran berat HAM dan narkotika, serta pemerkosaan.

3. Pengaturan Penyadapan (wiretapping) menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Keabsahan penyadapan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi menurut UU pemberantasan tindak pidana korupsi, diatur dalam Pasal 26 dan 26A yang menyatakan :

Pasal 26:

“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Pasal 26A:

(28)

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman dan/atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan. Suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Pasal 26 tersebut dalam penjelasannya mengatakan bahwa kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretapping). Sedangkan penjelasan mengenai pasal 26A, yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik“ misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk

Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan “alat optik atau yang serupa dengan itu“ dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.

4. Pengaturan Penyadapan (wiretapping) menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(29)

28

inilah yang menjadi dasar bagi KPK untuk melakukan penyadapan guna mengungkap pelaku tindak pidana korupsi. Sejumlah undang-undang di Indonesia, memang telah memberikan kewenangan khusus pada penyidik untuk melakukan penyadapan telepon dan merekam pembicaraan, termasuk penyidikan dengan cara under cover. Paling tidak ada 4 (empat) undang-undang yang memberi kewenangan khusus itu, yaitu Undang Narkotika, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang-Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Bila dicermati, ketentuan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan terdapat perbedaan prinsip antara satu dengan undang-undang lainnya.

(30)

tertentu di lembaga ini, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia. Ke depan, prosedur untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan oleh KPK harus diatur secara tegas paling tidak untuk dua hal: Pertama, penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan tidak memerlukan izin dari siapa pun, tetapi harus memberi tahu ketua pengadilan negeri setempat dengan catatan pemberitahuan itu bersifat rahasia. Kedua, harus ada jangka waktu berapa lama KPK boleh menyadap telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkapkan kasus korupsi.24

D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kamus Umum Bahasa Indonesia, mendefinisikan kata korupsi sebagai perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang penerimaan uang suap dan sebagainya.25 Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruption atau corruptus yang berarti menyuap. Dan selanjutnya dikatakan bahwa corruption itu berasal dari kata asal corrumpere yang berarti merusak.26 Dari Bahasa Latin ini kemudian turun ke banyak bahasa Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis dan Belanda. Menurut Jur Andi Hamzah, kata korupsi dalam bahasa Indonesia adalah turunan dari Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie) yang berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,

24

(didiindra.wordpress.com, 20 Desember 2012)

25 Poerwadarminta. WJS. 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai

Bahasa. Jakarta. Hlm 524

26

(31)

30

penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.27

Istilah korupsi pada awalnya bersifat umum, namun kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam konsideran peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan korupsi perlu segera menetapkan sesuatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan usaha memberantas korupsi.28

Berdasarkan konsideran peraturan tersebut, korupsi memiliki dua unsur: pertama, perbuatan yang berakibat pada kerugian perekonomian Negara. Kedua, perbuatan yang berbentuk penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh keuntungan tertentu.29

Kajian ilmu pengetahuan, korupsi merupakan objek hukum yang pada konteks di Indonesia dikategorikan sebagai salah satu delik kasus di luar KUHP dan pada saat ini telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, disebutkan bahwa: Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

27

Hamzah, Andi.2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi. RajaGrafiado Persada. Jakarta. Hlm 5

28

Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. Hlm 33

29

(32)

memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidanapenjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, menghendaki agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah “setiap orang”. Istilah “setiap orang” dalam

(33)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.30

A. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif, di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Menurut Johnny Ibrahim, beberapa pendekatan penelitian tersebut yaitu pendekatan perundang-undangan (satute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan pendekatan kasus (case approach).31

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Untuk itu Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

30

Marzuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. Hlm 41

31

(34)

a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis.

b. All-inclusive artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan kekurangan hukum.

c. Systematic, bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis. Adapun pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Undang-undang yang digunakan sebagai acuan adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis sumber penelitian yang Peneliti pergunakan dalam penelitian ini berupa jenis sumber penelitian sekunder. Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

(35)

34

catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-undang yang digunakan sebagai acuan adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar 1945;

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan perundang-undangan pelaksana dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kepres, Perda dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.32

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum sekunder terdiri dari kamus, dan bahan-bahan dari internet.

32

(36)

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisis lebih lanjut.

b. Studi Dokumen

Mempelajari berkas-berkas dokumen yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam Penelitian skripsi ini.

2. Pengolahan Data

(37)

36

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar obyektif. c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah

ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterpretasikan data.

D. Analisis Data

(38)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Sinkronisasi vertikal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam

penanganan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945

(39)

62

untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi, terkait dalam pelaksanaan penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Selanjutnya, sinkronisasi antara Undang-Undang KPK terhadap UUD 1945 yang dilakukan secara vertikal menunjukkan bahwa terdapat keselarasan pengaturan mengenai penyadapan. Kewenangan Jaksa Penyidik dalam KPK untuk melakukan penyadapan merupakan salah satu bentuk upaya penegakan hukum dalam rangka memenuhi tuntutan yang adil sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

2. Sinkronisasi horizontal legalitas penyadapan oleh jaksa penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi antara KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK

(40)

dari penyidik, akan tetapi penyadapan tidak diatur secara tersendiri. Mengenai sinkronisasi secara horizontal antara Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menunjukkan kesinkronan antara keduanya dalam pengaturan mengenai penyadapan. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang mengatur lebih lanjut mengenai kedudukan hasil penyadapan baik yang diatur dalam Undang itu sendiri maupun dalam Undang-Undang KPK.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, Peneliti menyarankan:

1. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat selaku pembentuk undan-gundang harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang KUHAP sebagai salah satu jalan tengah untuk mengatasi ketidaksinkronan terhadap berbagai produk hukum yang telah diteliti tersebut, agar dalam pelaksanaan penyadapan yang merupakan salah satu cara yang efektif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dapat berjalan dengan lancar dan mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam rangka penegakan hukum bagi para koruptor.

(41)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Arief, Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti. Bandung

Departemeu Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta

Fockema, Andreae. 1983. Kamus Huhum. Bina Cipta. Bandung.

Hamzah, Andi.2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi. RajaGrafiado Persada. Jakarta

Jaya, Nyoman Serikat Pvitra. 2006. Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang. Koeswadji. 1994. Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana

Korupsi. Citra Aditya Bakti. Bandung

Marzuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta

MD, Moh. Mahfud, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media dan Ford Foundation. Yogyakarta

Ragawino, Bewa. 2005. Penganlar Ilmu hokum. Pahala Khatulistiwa. Bandung Reksodiputro, Mardjono. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana, UI Press. Jakarta Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Cet III, UI Press. Jakarta Sudarto. 1984. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru.

Bandung

Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung

(42)

Universitas Lampung. 2008. Format Penelitian Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung

B. Undang-Undang

Peraturan Menkomino Nomor 11 /PER/M. KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun

1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentaug Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Korupsi.

C. Sumber Lain

(43)
(44)
(45)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 22 April 1990, anak ketiga dari lima bersaudara, pasangan Bapak Mahbur, B.Sc., dan Ibu Dra. Artika.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Merapi Way Halim Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 29 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005. Pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1) Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Pidana, melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (UMPTN) di Universitas Lampung.

(46)

Yang Utama Dari Segalanya...

Alhamdulillahirabbil Alamin…

Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta memperkenalkanku dengan cinta. Atas karunia serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan.

Sholawat dan salam selalu terlimpahkan keharibaan Rasullah Muhammad SAW.

Ibunda dan Ayahanda Tercinta (ARTIKA DAN MAHBUR)

Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya kecil ini kepada Ibu dan Ayah yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata

cinta dan persembahan.

Terima Kasih Ibu.... Terima Kasih Ayah...

Saudaraku dan Keluarga Besar

(Affandi dan Mb’Dewi,Indira,Dayat,Zaky,Mubin,Kayla dan Si Dibul)

Untuk kakak dan adik-adikku, tiada yang paling mengharukan saat kumpul bersama kalian, terima kasih atas doa dan bantuan kalian selama ini, hanya karya kecil ini yang dapat aq persembahkan.

Akhir kata, semoga skripsi ini membawa kebermanfaatan. Jika hidup bisa kuceritakan di atas kertas, entah berapa banyak yang dibutuhkan hanya untuk kuucapkan terima kasih... :)

Almamater Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung

(47)

MOTTO

Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah

dilaksanakan/diperbuatnya"

(Ali Bin Abi Thalib)

"Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat

kesalahan, selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya."

(Alexander Pope)

Saya datang, saya bimbingan, saya ujian, saya revisi dan saya menang.

(48)

SANWACANA

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahirabbil’alamin,segala puji hanyalah milik Allah SWT Rab semesta alam yang tak hentinya memberikan nikmat. Berkat, rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rosulullah Muhammad SAW, para sahabat, keluarga serta pengikutnya yang tetapistiqomah hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi berjudul “Analisis Sinkronisasi Legalitas Penyadapan (Wiretapping) oleh Jaksa Penyidik dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi” ini merupakan syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hukum pada jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Lampung. Penulis berharap, karya yang merupakan wujud kerja dan pemikiran maksimal serta didukung dengan bantuan dan keterlibatan berbagai pihak ini akan dapat bermanfaat di kemudian hari.

Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, baik bimbingan, maupun saran dan kritik dari berbagai pihak dan sebagai rasa syukur perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan saran dan masukan demi kebaikan penulisan skripsi ini;

(49)

bimbingan, dan pengarahan sehingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan;

4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah sabar meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, serta petunjuk dan pengarahan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini; 5. Ibu Dona Raisa, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II terima kasih atas

perhatian, masukan, kritik dan saran yang sangat berarti selama proses penulisan skripsi ini;

6. Seluruh dosen dan karyawan/wati Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuannya selama peneliti menyelesaikan studi; 7. Kedua orang tuaku, Ibu Dra. Artika dan Ayah Mahbur Haris, B.Sc., yang

telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini;

8. Kakak dan adik ku, Affandi Marguna dan Dewi Syarifah, Indira Sari, S.E., Rahmat Hidayat, Zaky Aslam, dan Fadhlul Mubin, Kayla Athaya, Gita; 9. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan aku semangat dan

motivasi;

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya;

11.Untuk Almamater tercinta Unila yang telah mendewasakan baik dalam berfikir maupun bertindak.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada peneliti dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi peneliti dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Wassalamualaikum, Wr., Wb.

Bandar Lampung, Desember 2015 Penulis,

(50)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penelitian Hukum ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan tentang Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan ... 14

1. Dasar Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ... 14

2. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan ... 17

1. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan ... 18

B.Tinjauan tentang Penyadapan ... 20

1. Pengertian Penyadapan ... 20

2. Tujuan Penyadapan ... 22

C.Tinjauan tentang Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) ... 22

1. Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut UUD 1945 ... 22

2. Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... 25

(51)

ii 4. Pengaturan Penyadapan (Wiretapping) menurut Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi ... 27

D.Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 29

III. METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ... 32

B.Jenis dan Sumber Data ... 33

C.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

D.Analisis Data ... 36

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sinkronisasi Vertikal Legalitas Penyadapan (wiretapping) Oleh Jaksa Penyidik Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, KUHAP, UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK ... 37

1. Sinkronisasi antara KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar 1945 37 2. Sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ... 42

3. Sinkronisasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ... 47

B. Sinkronisasi Horizontal Legalitas Penyadapan Oleh Jaksa Penyidik Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Antara KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU KPK ... 51

1. Sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap KUHAP ... 51

(52)

iii Tindak Pidana Korupsi Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ... 57

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 61 B. Saran ... 63

(53)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Sinkronisasi Vertikal antara KUHAP terhadap Undang-Undang

Dasar 1945 ... 38 2. Sinkronisasi antara Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ... 43 3. Sinkronisasi Vertikal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

KPK terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ... 47 4. Sinkronisasi Horizontal Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi terhadap KUHAP ... 51 5. Sinkronisasi Horizontal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang KPK terhadap KUHAP ... 54 6. Sinkronisasi Horizontal Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan penerapan metode eksperimen materi alat optik dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa, maka disarankan kepada

Sistem yang ditujukan untuk menangani proses bisnis yang bertumpu pada pelayanan kepada pelanggan dengan tujuan dapat memberikan layanan yang lebih baik kepada pelanggan,

Metode tes digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar matematika pada pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Datar. Teknik tes ini dilakukan setelah perlakuan diberikan

Analisa statistik yang digunakan adalah koefisien korelasi Rank Spearman untuk mengetahui hubungan faktor internal dan faktor eksternal terhadap motivasi kerja karyawan

[r]

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya salah satu kegiatan pemerintah yang berusaha untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan melalui

Make sure that you keep a certain portion above the ground level to prevent surface water from flowing inside. waste water from a factory, waste water from workers’ village,

Selain itu, terdapat penemuan bahwa untuk menyukseskan kinerja perusahaan dapat dicapai melalui daya saing yang berasal dari strategi dife- rensiasi, yang terkait