• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengadopsian Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak (Kasus di Kabupaten Manokwari, Papua Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengadopsian Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak (Kasus di Kabupaten Manokwari, Papua Barat)"

Copied!
374
0
0

Teks penuh

(1)

PENGADOPSIAN INOVASI PERTANIAN

SUKU PEDALAMAN ARFAK

(Kasus di Kabupaten Manokwari, Papua Barat)

M U L Y A D I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengadopsian Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak (Kasus di Kabupaten Manokwari, Papua Barat) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalan Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007

(3)

ABSTRACT

MULYADI. The Adoption of Agricultural Innovation by the Arfak Tribal (a case in Manokwari Regency, West Papua). Under the supervision of Mr. BASITA GINTING SUGIHEN as a chairman, PANG S. ASNGARI and DJOKO SUSANTO as the members of the committee.

Although agricultural development has been undergoing for a number of years, subsistence agricultural activities of the Arfak tribal group in Manokwari have still dominated their agricultural system. Any outside innovation tends to be adopted partially and temporary. Moreover, innovation is always viewed as disturbance to the norm conserved from one generation to another. The failure of this tribe in adopting suggested technology, however, is not due to their conservations, but the fact that the technology offered is not suitable with both socio-economic conditions and ecology of the farming society in the villages.

In line with the above problem, this study aims: (1) to identify factors affecting the process of agricultural innovation adoption in Arfak society; (2) to identify the attitudes of Arfak society towards agricultural innovation and the extension programs they have received; (3) to identify social cultural values (habits, norms, and customs) which support or hindrance agricultural activities in Arfak society, and (4) to find out the knowledge system and local agricultural technology of Arfak society.

Sample in taken this study was probability area sampling; namely offering the same opportunity to every head of a family to become a sample. This covers 4 districts, 10 villages and 100 respondents, including head of farmer families, chief of tribes, preaches, and other key persons. The methods used were surveys and participative observations to obtain not only quantitative data (factorial analysis, proportion, and SEM) but also qualitative one.

The results of the study were: (1) the earlier stage (knowledge stage) of innovation adoption process was significantly crucial. This includes the stage of knowing the innovation and understanding the way the innovation functions. A factor which plays an essential role at this stage was the motivation to know and then use this innovation. (2) In fact, Arfak farmers have undergone social, cultural, and economic orientation changes (from traditional to modern); (3) Factors of social value supporting the development of Arfak farmers were their emphatic ability; while the obstacles were pessimistic, irrational, and afraid of taking risk; (4) The shifting field for Arfak farmers means: (a) soil fertility, (b)eternal conservation, and (c) food security (5) Arfak farmers have a “food security” concept; namely: (a) three planting periods, (b) multi crops, (c) natural warehouse; (6) The production of Arfak society agriculture has generally used to fulfill the needs of the customs. The belief on the supra natural power refers to “swaggi” is extremely strong so that they are afraid of conducting activities outside their house.

______________________

(4)

RINGKASAN

MULYADI. Pengadopsian Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak (Kasus di Kabupaten Manokwari, Papua Barat). Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN sebagai Ketua; PANG S. ASNGARI dan DJOKO SUSANTO sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Provinsi Papua Barat memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan manusia (ratusan suku/klen) yang belum diberdayakan secara maksimal, kendatipun pembangunan pertanian sudah berlangsung cukup lama, kegiatan pertanian tradisional (subsistens) masih dominan pada Suku Pedalaman Arfak di Manokwari. Inovasi dari luar cenderung diadopsi sebagian dan sementara, setelah itu mereka kembali ke cara semula. Inovasi selalu dicurigai akan mengganggu sistem norma lama yang sudah mereka anut secara turun temurun. Namun gagalnya masyarakat mengadopsi teknologi anjuran disebabkan mereka konservatif, tetapi lebih dikarenakan rancang-bangun teknologi anjuran tersebut tidak sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat tani di pedesaan.

Sejalan dengan permasalahan di atas, penelitian dilakukan dengan tujuan: (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi

pertanian masyarakat Arfak; (2) Mengetahui sikap masyarakat Arfak terhadap inovasi pertanian dan kegiatan penyuluhan yang mereka terima selama ini; (3) Mengidentifikasi nilai-nilai sosial budaya (kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat) yang mendukung dan menghambat usahatani pada masyarakat Arfak dan (4) Menemukan sistem pengetahuan dan teknologi pertanian lokal masyarakat Arfak.

Teknik penarikan sampel pada penelitian ini adalah probability area sampling yaitu memberikan peluang yang sama pada setiap kepala keluarga petani Arfak yang tinggal pada wilayah geografis Pegunungan Arfak untuk menjadi anggota sampel. Diperoleh 4 Distrik, 10 Kampung, dan 100 responden (Kepala Keluarga petani dan Kepala suku, pendeta, tokoh masyarakat sebagai responden kunci). Menggunakan metode penelitian survei dan observasi partisipatif untuk mendapatkan data kuantitatif (analisis faktorial, proporsi, dan SEM) dan kualitatif.

Hasil-hasil penelitian adalah: (1) Tahap awal (tahap pengetahuan) proses adopsi inovasi sangat menentukan yaitu mulai mengenal adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang cara inovasi tersebut berfungsi. Faktor yang sangat berperan adalah sikap mental yaitu keinginan besar untuk mengetahui dan menggunakan inovasi tersebut; (2) Secara nyata petani Arfak telah mengalami perubahan sosial, budaya, dan orientasi ekonomi (masa transisi) dari masyarakat tradisional ke modern; (3) Faktor-faktor nilai sosial pendorong pengembangan petani Arfak adalah kemampuan berempati. Kekuatan pengganggu menghambat proses adopsi inovasi yaitu pesimistis, irasional, dan tidak berani mengambil resiko; (4) Konsep ladang berpindah bagi petani Arfak adalah bermakna sebagai: (a) kesuburan tanah, (b) pelestarian hayati, dan (c) ketersediaan pangan; (5) Petani Arfak memiliki konsep “Ketahanan Pangan” yaitu waspada terhadap: (a) tiga waktu tanam, (b) tanaman campuran (multicrop), dan (c) lumbung alam; (6) Produksi pertanian masyarakat Arfak lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan adat. Masih kuat kepercayaan terhadap kekuatan gaib “swanggi” yang menyebabkan mereka takut beraktivitas di luar rumah.

________________________

(5)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

(6)

PENGADOPSIAN INOVASI PERTANIAN

SUKU PEDALAMAN ARFAK

(Kasus di Kabupaten Manokwari, Papua Barat)

M U L Y A D I

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Disertasi : Pengadopsian Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak (Kasus di Kabupaten Manokwari, Papua Barat)

Nama : M u l y a d i NRP : P061030071

Program Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua

Prof. Dr. Pang S. Asngari Prof (Ris) Dr. Djoko Susanto, SKM, APU Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi dan Pengembangan Instiut Pertanian Bogor Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi berjudul: Pengadopsian Inovasi Pertanian Suku Pedalaman Arfak (Kasus di Kabupaten Manokwari, Papua Barat) berhasil diselesaikan. Disertasi ini telah dipertahankan dalam Sidang Ujian Terbuka Sekolah Pascasarjana IPB Bogor pada hari Selasa, 3 Juli 2007 sebagai syarat untuk mendapatkan gelar doktor.

Selama proses penyelesaian studi penulis menyampaikan terima kasih kepada Yth. Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA selaku ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Pang S. Asngari dan Prof (Ris) Dr. Djoko Susanto, SKM, APU selaku anggota Komisi Pembimbing. Mereka bertiga telah banyak mencurahkan waktu, pikiran, jiwa dan tenaganya dalam memberikan bimbingan kepada penulis. Hal yang sama juga kepada Bapak Dr. Ir. Rillus A. Kinseng, MA, Dosen Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (KPM FEMA IPB) selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, Dosen KPM FEMA IPB; dan Dr. Drs. H. Wahidin Puarada MSi, Bupati Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat sebagai penguji luar komisi ujian terbuka. Masukan dalam bentuk pertanyaan dan saran kritis konstruktif telah memberi warna tersendiri dalam perbaikan disertasi ini.

Penghargaan penulis sampaikan kepada pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB mulai

dari Dekan Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS; Dekan FEMA Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS; Ketua Departemen KPM Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS;

dan Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) yang lama Dr. Ir. Amri Jahi, MSc serta yang baru terpilih Dr. Ir. Siti Amanah, MSc (saat penyelesaian disertasi ini keduanya dalam proses serah terima jabatan) yang telah memberikan pelayanan administrasi dan akademik secara baik sehingga proses pendidikan penulis dapat berlangsung dengan lancar.

(9)

program doktoral dan sebagai penyandang dana. Tidak lupa juga kepada pemberi rekomendasi dan dukungan ketika akan masuk ke IPB yaitu Dr. Ir. H.A.M. Killian; Dr. Ir. Agus Sumule; dan Ir. Elyono Gunawan, MTp.

Demikian juga terima kasih kepada Pimpinan Daerah: Gubernur Provinsi Papua Barat, Bupati Kabupaten Manokwari Drs. Dominggus Mandacan yang juga selaku sesepuh Suku Besar Pedalaman Arfak; Kepala Distrik Minyambow, Sururey, Warmare, dan Manokwari Utara yang telah menerima dan memberi fasilitas kepada penulis untuk melakukan penelitian. Tidak kalah penting kepada Johny Wonggor dan keluarga di Minyambow dan Korinus Ahoren dan keluarga di Sururey, serta Kepala Suku, Kepala Kampung, Pendeta di kedua distrik tersebut yang berkenan menerima penulis untuk menginap di rumahnya dan sekaligus sebagai nara sumber. Demikian juga kepada enumarator Benyamin Asmorom, teman-teman LSM Perdu, STT-Erikson Tritt Manokwari yang telah membantu memberikan informasi dan data melengkapi disertasi ini.

Teman-teman seperjuangan di Program Studi PPN terutama angkatan 2003: Kandidat Dr. Marius Djelamu, S.Phil, MSi; Syafiudin, SPd, MSi; Ir. Sapja, MSi; Dra. Sri Tjahyorini, MSi; Dr. Wildani Pinkan, ST, MS; Dr. Drs. H. Ibrahim Saragih, MM; Dr. Drs. Dwi Purwoko, MSi; Dr. Dasmin Sidu, SP, MS; Dr. Mukhsin, SP, MSi serta teman-teman dari Ikatan Mahasiswa Papua IPB Bogor. Merekalah yang ikut memberi spirit dan membantu ketika penulis menghadapi kejenuhan dan kesulitan dalam proses pembelajaran.

Terkhusus kepada keluarga tercinta: istriku Dra. Hindun Adam dan anakku Alif dan Afif yang begitu sabar dan setia menunggu selama enam tahun lebih (S2 dan S3). Bogor - Manokwari terasa jauh, namun berkat doa mereka penulis lancar menyelesaikan studi ini. Syukur Alhamdulillah karena melalui semua dukungan di atas Allah SWT mengabulkan untuk mendapatkan gelar doktor.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna, oleh karena itu masukan dan saran demi penyempurnaan tulisan sangat penulis harapkan. Semoga semua usaha menuju kesempurnaan selalu dituntun dan diberkati oleh yang Maha Kuasa Allah SWT. Amien.

Bogor, Agustus 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Taliwang, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 23 Januari 1963 dari ayah seorang guru Bapak H. Hasanuddin Ali (Alm) dan Ibu Ny. Hj. Androng. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Penulis tamat Sekolah Dasar Negeri 4 Taliwang tahun 1975, SMP Negeri 1 Sumbawa Besar tahun 1979, dan pada tahun 1982 menamatkan pendidikan di SMA Negeri 2 Sumbawa Besar; selanjutnya pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Peternakan Universitas Mataran (UNRAM), lulus tahun 1987. Menempuh pendidikan jenjang S2 pada Program Studi Komunikasi Pembangunan dan Perdesaan, Program Pascasarjana IPB (1998-2001) dan semenjak 2003 penulis terdaftar kembali sebagai mahasiswa S3 Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional.

(11)

DAFTAR ISI

Pengertian Perladangan Berpindah ………... 18

Konsep Konservasi ………...…... 19

Sistem Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Tradisional ………..… 20

Dampak Pembangunan Pertanian Konvensional ………..….. 20

Pengertian dan Kearifan Lokal di Papua ………...…….. 22

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi…..…… 44

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ………...……. 49

Kerangka Berpikir ……….…... 49

Paradigma Adopsi Inovasi ………..… 49

Pola Pengaruh dalam Keputusan Adopsi Inovasi ………..…. 50

Pengaruh Kondisi Adopter terhadap Tahap Pengetahuan- Adopsi ………...…. 51

Faktor-faktor Kekuatan Masyarakat dalam Adopsi Inovasi…... 54

Hipotesis Penelitian ………..……… 57

METODE PENELITIAN ………...………. 58

(12)

Populasi ………..………. 58

Pengembangan Ubi-ubian dan Hortikultura ... 75

Distrik Lokasi Penelitian ………..……... 76

Pola Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat Arfak …..………….. 81

Pangan ……….…...… 81

Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Suku Pedalaman Arfak ………. 84

Pola Pertanian Masyarakat Arfak ………...……. 84

Teknologi dan Pengetahuan Rotasi Kebun ………..…………... 85

Kesuburan Tanah ………...…………. 85

Pelestarian Hayati ………...……… 86

Ketersediaan Pangan ………...…... 88

Teknologi Pengetahuan Pertanian Lokal ………...……….. 88

Musim Tanam ………...…. 88

Rapat Keluarga ………...… 89

Membuka Lahan: Pembersihan, Pembakaran dan Pemagaran ...…... 89

Pembibitan ………...…... 92

(13)

Penanaman ………...…….. 94

Pemeliharaan ………...…... 95

Panen ………...……... 97

Pascapanen ………...………... 99

Pengaruh Misionaris dalam Pembangunan Pertanian Arfak ...………. 99

Tipologi Budaya Pertanian Masyarakat Arfak ………...……….. 102

Makna Ternak Babi ………..……… 102

Pagar Kebun ………..………... 103

Maskawin ………..………..…… 104

Denda Adat ………...………...…………... 106

Swanggi ……… 107

Karakteristik Petani Arfak …….………...………. 108

Sosial Ekonomi ………..…..……... 108

Kebutuhan Belajar Masyarakat Arfak ………...………... 116

Nilai-nilai Budaya ………...………. 119

Hakekat Hidup Masyarakat Arfak ……….……….. 119

Hakekat Karya Masyarakat Arfak ……….……….. 121

Hakekat Waktu Masyarakat Arfak ………...….…….. 122

Pandangan Masyarakat Arfak terhadap Alam ………...…….…. 124

Hakekat Hubungan Sesama Manusia ……….………...……….. 125

Sikap terhadap Penyuluhan ………...…………... 126

Atribut Inovasi ……….. 128

Komunikasi Inovasi ……….. 129

Perubahan Tingkat Kebutuhan Belajar, Nilai Budaya, dan Sikap Masyara- kat Arfak ………...… 130

Pengaruh Faktor-faktor kekuatan Petani Arfak dalam Adopsi Inovasi…..….. 133

Kekuatan Nilai Sosial ………...……... 133

Kekuatan Atribut Inovasi ………..…….. 135

Hubungan saling Pengaruh Kondisi dan Karakteristik Petani Arfak ter- hadap Proses Adopsi Inovasi ………...…………. 136

Hubungan saling Pengaruh antara Atribut Inovasi terhadap Tahap Persua- sif Adopsi Inovasi Masyarakat Arfak ………...… 140

Hubungan saling Pengaruh antara Saluran Komunikasi Penyuluhan dengan Tahap Adopsi Inovasi ……….…. 142

Pola Umum Hubungan saling Pengaruh dalam Proses Adopsi Inovasi Masyarakat Arfak ………..……... 143

Tahap 1 (Proses Adopsi Tahap Pengetahuan) ………...…….. 143

(14)

Tahap 3 (Tahap Keputusan/Adopsi) ………..………. 148

Implementasi Strategis Adopsi Inovasi Petani Arfak ... 149

KESIMPULAN DAN SARAN ………... 154

Kesimpulan ………..………. 154

Saran ……….. 155

DAFTAR PUSTAKA ……….. 156

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Urutan Jenjang Kepentingan Sifat Inovasi terhadap Kecepatan Adopsi

Inovasi ………..… 47

2. Teknik Penentuan Lokasi dan Responden Penelitian ………..… 59 3. Kisi-kisi Instrumen Skala Sikap dan Menghimpun ……….… 64 4. Kisaran Nilai Koefisien Korelasi Uji Validitas Instrumen ………….…. 67 5. Jumlah Penduduk Kab. Manokwari Berdasarkan Jenis Kelamin……..….. 71 6. Perkembangan Produksi Tanaman Pangan di Kab. Manokwari……..…… 73 7. Perkembangan Populasi Ternak di Kab. Manokwari ……….….. 74 8. Keadaan Umum Lokasi Penelitian (Penduduk, Topografi, Iklim, Tanah

dan Aksesibilitas) ………..….. 79 9. Keadaan Umum Lokasi Penelitian berdasarkan Vegetasi, Fauna, dan

Usaha Tani ………...…. 80

10. Tingkat Konsumsi Barang dari Luar Lingkungan Kampung Anggra

Distrik Minyambow ………. 81

11. Distribusi Frekuensi Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Arfak…... 109 12. Distribusi Frekuensi Karakteristik Nilai Individu Petani Arfak………...… 113 13. Distribusi Frekuensi Karakteristik Komunikasi Petani Arfak …………... 115 14. Distribusi Skor dan Ranking Kebutuhan Belajar Petani Arfak …...…. 116 15. Distribusi Skor dan Ranking Nilai Budaya (Hakekat Hidup) Petani

Arfak ... 119 16. Distribusi Skor dan Ranking Nilai Budaya (Hakekat Karya) Petani

Arfak ... 121 17. Distribusi Skor dan Ranking Nilai Budaya (Hakekat Waktu) Petani

Arfak ……...…….. 122 18. Distribusi Skor dan Ranking Nilai Budaya (Pandangan terhadap Alam)

Petani Arfak …... 124 19. Distribusi Skor dan Ranking Nilai Budaya (Hakekat Hubungan Sesama)

Petani Arfak ... 125 20. Distribusi Skor dan Ranking Sikap Petani Arfak terhadap

Penyuluhan …... 127 21. Distribusi Skor dan Ranking Atribut Inovasi Petani Arfak …...……... 128 22. Distribusi Skor dan Ranking Saluran Komunikasi Inovasi Petani

(16)

23. Uji Tingkat Kebutuhan Belajar, Nilai Budaya, dan Sikap Petani Arfak terhadap Penyuluhan………

130 24. Faktor-faktor yang Mendukung Variabel Nilai Sosial Petani Arfak….….. 133 25. Faktor-faktor yang Mendukung Variabel Atribut Inovasi……… 135 26. Hubungan Saling Mempengaruhi Kondisi dan Karakteristik Petani Arfak

terhadap Tahap Pengetahuan Adopsi Inovasi ……….. 137 27. Hubungan saling Mempengaruhi antara Atribut Inovasi terhadap tahap

Persuasif Adopsi Inovasi Masyarakat Arfak ... 140 28. Hubungan saling Mempengaruhi antara Saluran Komunikasi Penyuluhan

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Pengaruh Kondisi dan Karakteristik Adopter terhadap Tahap Pengetahuan

Adopsi Inovasi ……… 53

2. Pengaruh Faktor-faktor Kekuatan (Sosial Budaya) terhadap Adopsi Inovasi. 55 3. Kerangka Berpikir dan Hubungan Saling Pengaruh Peubah Penelitian…….. 56 4. Batas dan Luas Kabupaten Manokwari ………...……… 70 5. Empat Distrik Lokasi Penelitian ………... 76 6. Masyarakat Arfak mememliki pengetahuan konservasi yang dikenal dengan

istilah “Igya Ser Hanjob” ...

87 7. Tiga Musim Tanam Masyarakat Arfak ……… 88 8. Hasil pembersihan rumput, semak dan ranting-ranting kayu disimpan di

atas bale-bele agar cepat kering dan menghindari tikus bersarang ……….. 90 9. Pohon kayu bekas pembersihan ladang selain dibuat pagar, juga untuk

cadangan bahan bakar dan pemanas tubuh dengan cara pohon tidak ditebang semua namun dibiarkan kering ………. 91 10. Pembakaran ladang dilakukan dengan melihat kondisi cuaca, tanah bekas

pembakaran subur, penanaman segera dilakukan sebelum tikus bersarang… 91 11. Kentang yang akan dijadikan bibit dibiarkan di atas tanah 1-2 hari, diambil

kemudian disimpan dalam dos karton atau dalam noken yang digantung... 92 12. Selain dimakan dagingnya dan kebutuhan adat, ternak babi juga

dimanfaatkan sebagai alat membajak tanah ………. 93 13 Stek bibit ubi jalar diambil dari kebun lama untuk ditanam pada kebun

baru. Stek dipotong 30 cm, ditanam dalam galian 8-10 cm, jumlah stek per lubang 6 batang dengan sistem silang ……….. 95 14. Teknik panen ubi jalar masyarakat Arfak adalah sekaligus “lumbung alam”

untuk cadangan makanan selama 1-2 tahun ……… 98 15. Model pagar masyarakat Arfak, berfungsi untuk mencegah ternak terutama

babi dan sebagai tanda batas tanah dalam kelompok marga/keluarga ... 104 16. Maskawin wajib disiapkan oleh setiap keluarga yang memiliki anak pria.

Nilai maskawin mencapai ratusan juta. Kemampuan menyediakan maskawin adalah sebuah pristise bagi keluarga tersebut ………. 105 17. Pengaruh Nilai Koefisien Jalur Peubah Kebutuhan Belajar terhadap Tahap

Pengeatahuan Adopsi Inovasi ……….. 138 18. Pengaruh Nilai Koefisien Jalur Peubah Karakteristik Petani Arfak

(18)

19. Pengaruh Nilai Koefisien Jalur Peubah Atribut Inovasi terhadap Tahap Persuasif Adopsi Inovasi ………. 141 20. Pola Hubungan Adopsi Inovasi Masyarakat Arfak ...……… 144 21. Identifikasi SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) Adopsi

Inovasi Pertanian Masyarakat Arfak ... 150 22. Strategi Pengadopsian Inovasi Pertanian Masyarakat Pedalaman Arfak

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Uji Statistik Uji Proporsi ... 163 2. Hasil Analisis Uji Faktorial menggunakan SPSS ..……….. 164 3. Hasil Analisis SEM menggunakan Lisrel

(Linier Structural Relationship) ……….. 167

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Provinsi Papua Barat merupakan provinsi pemekaran dari Provinsi Papua memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Di sisi lain, memiliki ratusan suku bangsa/klen yang hidup terpencil mulai dari wilayah pantai, dataran rendah seperti sungai dan rawa, selanjutnya naik ke lembah hingga pegunungan. Keanekaragaman sumber daya tersebut telah mewarnai pola kehidupan masyarakat di sana, terutama yang tinggal di wilayah pegunungan seperti Suku Arfak yaitu bercocok tanam sebagai mata pencaharian pokok mereka, selain meramu dan berburu di hutan.

Pembangunan pertanian sudah berlangsung cukup lama di Kabupaten Manokwari, namun kegiatan pertanian tradisional masih dominan, yakni berpola subsisten -- hasilnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam keluarga, dan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga itu sendiri. Inovasi pertanian bagi masyarakat Papua Barat masih bertujuan non ekonomi. Inovasi yang datang dari luar sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan, namun bagi petani Arfak hanya diadopsi sebagian dan sementara setelah itu mereka kembali ke cara semula, selalu dicurigai mengganggu sistem norma lama yang sudah mereka anut secara turun temurun.

Pembangunan pertanian terlambat bukan berarti tanpa solusi, karena proses regenerasi dan didorong oleh pengaruh kemajuan jaman, pada suatu saat secara evolusi masyarakat Papua Barat pasti akan mengalami perubahan, yaitu melalui perencanaan pembangunan yang sesuai dengan karakter wilayah dan sosial budaya masyarakatnya. Karena pengaruh arus modern, nilai-nilai sosial primitif lambat laun akan menyesuaikan diri dengan kemampuan yang mereka miliki. Nilai-nilai sosial dalam masyarakat petani primitif, menurut Mosher (1983:47-48), adalah upaya mempertahankan diri dari bencana kelaparan dan malapetaka lainnya. Artinya, masyarakat pedesaan memiliki energi sosial kreatif sebagai daya internal (kearifan lokal) dalam bentuk gagasan, idaman, dan persaudaraan untuk mempertahankan diri menghadapi pengaruh lingkungan yang ekstrim bila terjadi kekurangan pangan (Saefuddin, et al., 2003:22).

(21)

masyarakat yang berhasil mengatasi tantangan dan masalah sendiri dari luar lingkungannya.

Kendala yang dihadapi dalam penerapan pembangunan di Papua Barat adalah disebabkan oleh kondisi geografis yang luas, terisolir dan kurangnya sarana infrastruktur, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), dan diversitas (keanekaragaman) budaya yang membentuk perilaku berpola yang beraneka pula. Transportasi untuk mengangkut produksi pertanian dari pedalaman ke pasar hanya dilakukan oleh pesawat terbang atau berjalan kaki seharian untuk bisa mencapai ruas jalan raya menuju kota kecamatan atau kabupaten. Mereka membawa hasil kebun berupa wortel, kentang, ubi jalar, ubi kayu, keladi, pisang dengan menggunakan noken (tas berbentuk jaring) yang digantung di atas kepala. Di pasar mereka membeli bahan makanan seperti minyak goreng, garam, gula, tembakau, pinang, siri, dan bibit.

Di sisi lain, tenaga penggerak pembangunan seperti penyuluh kesulitan mencapai wilayah pedalaman, sehingga mereka kebanyakan tinggal di kota. Pemerintah telah melakukan program Transmigrasi Nasional dan Lokal yaitu mendatangkan penduduk dari luar Papua kemudian dimukimkan bersama dengan penduduk lokal dengan harapan terjadi alih informasi, pengetahuan, dan ketrampilan cara bertani pada dua budaya tersebut. Kenyataan yang terjadi adalah masyarakat lokal kembali ke pemukiman semula dengan anggapan cara pertanian sawah orang “Jawa” rumit dan sulit dipraktekkan di lahan yang mereka miliki.

Karakteristik permasalahan di atas bukan hanya berlaku di Papua, tetapi umumnya yang memiliki wilayah terpencil yang disebut pedalaman. Suatu hal yang menarik dikaji untuk dijadikan prototype pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penggerak pembangunan pertanian di Papua Barat atau wilayah pedalaman lainnya adalah keberadaan Suku Besar Pedalaman Arfak di Kabupaten Manokwari, Wilayah “Kepala Burung”, Provinsi Papua Barat. Sebagai suku asli yang dominan jumlahnya dibanding suku-suku lain (dari dalam dan luar Papua Barat), memiliki tingkat ekonomi dan taraf pendidikan yang relatif rendah sehingga dianggap sulit berpartisipasi dalam pembangunan.

(22)

pelaksanaan program pembangunan. Selama ini pemahaman terhadap kondisi lokal terutama tentang sosial budaya kurang diperhatikan oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan pembangunan. Pembangunan fisik dan ekonomi yang digunakan selama ini hanya menghasilkan partisipasi semu dan menambah ketergantungan masyarakat terhadap bantuan dari pemerintah. Permasalahan tersebut di atas yang menyebabkan masyarakat Papua Barat masih tergolong sangat terbelakang dibanding dengan provinsi lainnya di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, maka pada masa mendatang penerapan pembangunan melalui diseminasi/penyuluhan teknologi inovasi lebih dahulu mengetahui nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dan menemukan pengetahuan serta teknologi lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat sehingga mampu memadu-padankan menjadi teknologi tepat guna bagi masyarakat Papua Barat khususnya masyarakat Arfak di Manokwari.

Masalah Penelitian

Terdapat dua gejala yang dijadikan dasar masalah dalam penelitian ini yaitu masalah filosofis dan masalah kebijakan pembangunan pertanian terutama pertanian tanaman pangan jenis ubi-ubian sebagai sumber makanan pokok dan tanaman sayur-sayuran sebagai mata pencaharian utama bagi masyarakat lokal Papua hingga saat ini.

Masalah filosofis adalah gejala yang tidak sesuai dengan nilai dan norma budaya setempat yaitu adopsi inovasi pertanian yang tidak sesuai dengan sosial budaya masyarakat Arfak. Banyak teknologi inovasi selama ini ditolak oleh petani/masyarakat Arfak karena tidak sesuai dengan pengetahuan dan teknologi mereka. Mengadopsi inovasi yang hampir sama dengan cara bertani yang dimiliki sebelumnya yaitu teknologi inovasi yang tidak melanggar etika, norma, peraturan, hukum dan aturan-aturan khusus yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat setempat.

(23)

bentuk nilai budaya dan norma (kebiasaan, peraturan, dan adat istiadat). Penyuluhan tanpa melihat nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal yang menyebabkan penyuluhan terhambat.

Banyak inovasi teknologi yang ditolak atau tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada pada masyarakat Arfak, disebabkan para peneliti dan penyuluh kurang dapat memahami hambatan dan peluang yang berkembang di masyarakat itu sendiri. Namun dalam perkembangannya, justru membalik menuding masyarakat Arfak yang konservatif sebagai penyebab rendahnya tingkat adopsi teknologi ataupun gagalnya pembangunan di Papua. de Boef et al. (1993:206) membantah bahwa gagalnya masyarakat mengadopsi teknologi anjuran dikarenakan mereka konservatif, tetapi lebih dikarenakan rancang-bangun teknologi anjuran yang bersifat top-down tersebut tidak sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat tani.

Di sisi lain Pemerintah sebagai pembuat kebijakan selalu melihat adanya gejala-gejala yang tidak diinginkan menghambat terjadinya adopsi teknologi inovasi. Penyuluh pertanian ketika melakukan kegiatan di lapangan, kesulitan “menembus” ranah sosial budaya yang penuh dengan perilaku masyarakat Arfak. Inovasi teknologi yang disuluh oleh penyuluh Pemerintah, akulturasi melalui transmigran dan stakeholder lainnya sangat sulit diadopsi oleh masyarakat Arfak karena dinilai rumit dan tidak memperlihatkan hasil secara langsung. Hal ini didasarkan pada pengalaman yang dimilikinya, karena itu sulit bagi masyarakat Arfak memahami pesan-pesan para agen pembangunan tentang hal yang tidak ada dalam bingkai acuan mereka, misalnya tentang budidaya pertanian sawah dan berladang menetap. Masyarakat Arfak sangat curiga terhadap setiap orang atau inovasi yang datang dari luar kelompok adat mereka. Perlu ada bukti atau jaminan yang meyakinkan bahwa teknologi inovasi tersebut tidak merusak sistem norma lama. Masalah itu akan lebih berat apabila agen pembangunan menggunakan bahasa atau lambang abstrak yang sulit mereka mengerti. Masyarakat Arfak lebih mudah dikumpulkan oleh pastur/pendeta dan kepala suku, daripada oleh aparat pemerintah. Kondisi demikian menggambarkan pembangunan pertanian berjalan lamban di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

(24)

untuk saling bunuh antar penduduk. Mengganti tradisi “Perang Suku” menjadi pertunjukan seni-budaya sebagai paket wisata, dan adat istiadat lain yang dianggap menghambat

pembangunan. Kenyataannya, pada masa transisi budaya tradisional ke modern justru memunculkan masalah baru: masyarakat lokal menjadi apatis dan fatalistis, sangat

bergantung kepada bantuan pemerintah. Hal tersebut di atas yang menyebabkan kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Pegunungan Tengah Papua pada Desember 2005 lalu, karena masyarakat mulai meninggalkan cara bertani tradisional yang dimiliki, sementara teknologi inovasi modern belum diadopsi secara bijaksana.

Beberapa kasus tersebut dapat diindikasikan bahwa pada masa-masa lalu sudah ada cara efektif untuk mengatasinya yaitu dengan pengetahuan lokal yang dimilikinya. Namun demikian, pengatahuan lokal tidak selalu dipercaya akan mampu mengatasi masalah sehingga dijadikan rujukan atau dengan kata lain masih mengandung kesalahan, seperti: perladangan berpindah, penggembalaan babi secara bebas, dan berburu yang cenderung merusak lingkungan.

Diharapkan dalam penelitian ini dapat ditemukan strategi dan pola yang tepat dalam melaksanakan penyuluhan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Untuk menjawab aneka hambatan adopsi inovasi teknologi pertanian pada masyarakat Arfak, maka dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

(1) Mengapa proses inovasi pertanian berjalan lamban pada petani Arfak?

(2) Mengapa mereka mau dan mampu mempertahankan inovasi, pengetahuan dan teknologi pertanian yang digunakan saat ini?

(3) Bagaimana sikap dan perilaku petani Arfak terhadap inovasi dan penyuluhan pertanian yang diterima selama ini?

(4) Apakah petani Arfak memiliki sistem pengetahuan dan teknologi lokal (local wisdom) yang mendukung pembangunan pertanian?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengungkap:

(25)

(2) Faktor nilai-nilai sosial budaya yang berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi pertanian.

(3) Sikap petani Arfak terhadap inovasi pertanian dan kegiatan penyuluhan yang mereka terima selama ini.

(4) Sistem pengetahuan dan teknologi pertanian lokal yang mendukung dan menghambat usaha tani pada masyarakat Arfak.

Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan dalam pengembangan teori maupun praktis bagi pihak terkait, yakni untuk kepentingan:

(1) Pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan dengan pendekatan multi disiplin ilmu sosial (sosiologi, psikologi, komunikasi, antropologi) dengan ilmu alam (pertanian/etnobotani, ekologi, lingkungan), guna menuntaskan permasalahan Pembangunan Sumberdaya Daya Manusia (PSDM).

(2) Menambah khasanah ilmiah tentang keberadaan Suku Besar Pedalaman Arfak di Manokwari, Papua Barat yaitu terdokumentasinya nilai-nilai sosial budaya dan pengetahuan-teknologi lokal (indigenous knowledge) atau lebih dalam disebut kearifan lokal (local wisdom).

(3) Pemerintahan Daerah Papua Barat dan Kabupaten Manokwari dalam menentukan kebijakan pembangunannya melakukan penyesuaian inovasi yang akan diterapkan terhadap kondisi sosial budaya, pengetahuan dan teknologi lokal, sehingga mengecilnya ketidaksesuaian (disonansi), menemukan teknologi yang lebih tepat guna; (4) Pemerintahan Nasional dapat merencanakan pengembangan ketahanan pangan

berdasarkan sumber daya dan kearifan lokal yang berakar dalam masyarakat, termasuk dalam pengembangan komoditas bahan makanan pokok menjadi komoditas unggulan yang kompetitif baik di pasar lokal maupun global.

(26)

(6) Agen perubahan khususnya penyuluh pembangunan dapat menemukan model penyuluhan berbasis karakteristik masyarakat dan ilmu pengetahuan lokal.

Definisi Istilah

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat dengan memfokuskan pada petani suku pedalaman Arfak. Di dalam operasional penelitian menggunakan istilah-istilah yang dijadikan sebagai peubah untuk keperluan pengukuran maupun untuk memperjelas pengertian atau konsep baru yang ditemukan dalam penelitian ini. Berkaitan dengan keperluan pengukuran dan dukungan konsep-konsep, maka digunakan istilah-istilah yang didefinisikan sebagai berikut:

(1) Adopsi inovasi pertanian adalah keputusan petani untuk menerima gagasan, informasi, dan pengetahuan yang dianggap baru dalam rangka menjalankan kegiatan usaha tani yang baik.

(2) Suku Besar Pedalaman Arfak adalah sekumpulan suku Hatam, Meyakh, Sougb (Manikon/Mantion) dan Moile yang tinggal di sekitar pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Mereka biasa disebut masyarakat Arfak atau dalam penyebutan sehari-hari “Orang Arfak.”

(3) Kebutuhan belajar (learning need) adalah keinginan yang dirasakan dan dinyatakan, baik lisan maupun tulisan tentang tingkat pengetahuan, keterampilan, dan atau sikap yang dimiliki selama ini dibanding dengan tingkat pengetahuan, keterampilan, dan atau sikap yang harus dipenuhi melalui kegiatan belajar.

(4) Nilai-nilai budaya adalah konsep-konsep yang hidup dalam pikiran masyarakat Arfak mengenai hal-hal yang mereka anggap paling bernilai dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai pedoman tertinggi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya. Penelitian ini menggunakan kerangka konsep yang dikembangkan oleh antropologi Clide Kluckhon dan F.L Strodtbeck (Koentjaraningrat, 2004) yaitu:

(a) Hakekat hidup manusia adalah pandangan hidup masyarakat Arfak, bahwa hidup suatu hal yang buruk, menerima apa adanya atau menggembirakan.

(b) Hakekat dari karya manusia adalah masyarakat Arfak tentang bekerja sebagai sesuatu yang memberikan kedudukan terhormat dan menghargainya.

(27)

(d) Hakekat dari kedudukan manusia dengan alam sekitarnya adalah masyarakat Arfak memandang alam ini sebagai sesuatu yang potensial dan dapat memberikan kehidupan, sebagai suatu yang harus dipelihara, atau suatu yang sakral dan maha dahsyat sehingga manusia itu pada hakekatnya hanya bisa pasrah dan menerima sebagaimana adanya.

(e) Hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya adalah memandang bahwa hubungan vertikal, horizontal, atau mandiri secara individual antara manusia dengan sesamanya adalah amat penting.

(5) Sikap terhadap penyuluhan adalah kecenderungan memberikan penilaian atau respon masyarakat Arfak yang didasari oleh pengetahuan, perasaan dan motif mereka terhadap kegiatan penyuluhan dan perilaku penyuluh itu sendiri.

(6) Karakteristik Masyarakat Arfak adalah kondisi atau ciri-ciri yang dimiliki oleh masyarakat Arfak dalam melakukan kegiatan pertanian yaitu ciri-ciri dalam bentuk: sosial ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi.

(a) Karakteristik sosial ekonomi (eksternal) adalah bentuk-bentuk kegiatan yang mampu mendapatkan manfaat atau meningkatkan kondisi sosial dan ekonominya.

• Tingkat pendidikan adalah tingkat dimana responden pernah mengikuti proses belajar mengajar di pendidikan formal dan nonformal, yang dikategorikan rendah-sedang-tinggi.

• Pengalaman bertani adalah lama waktu responden melakukan kegiatan bertani sampai saat ini yang dihitung dengan tahun, berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi akan diperoleh klasifikasi menjadi sedikit-sedang-banyak.

• Status sosial adalah predikat yang dicapai atau disandang oleh responden di dalam kelompok kegiatan pertanian sehingga mampu mempengaruhi lingkungannya, yang dikategorikan rendah-sedang-tinggi.

• Luas kepemilikan lahan adalah jumlah hamparan lahan yang digunakan oleh responden dalam berusaha tani, baik lahan milik sendiri, lahan sewa, bagi hasil. Pengukurannya dalam hektar, berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi akan diperoleh klasifikasi menjadi sempit-sedang-luas.

(28)

dalam rupiah. Berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi yang diperoleh akan diklasifikasikan menjadi rendah-sedang-tinggi.

• Ketersediaan sarana adalah kemudahan memperoleh bahan dan alat yang dibutuhkan oleh responden dalam mengadopsi inovasi bercocok tanam ubi-ubian yaitu tepat waktu dan jumlah. Indikatornya adalah (a) adanya sarana sesuai dengan jumlah dan waktu dibutuhkan, dan (b) keterjangkauan harga. Hasil pengukuran diklasifikasikan menjadi rendah-sedang-tinggi.

(b) Karakteristik individu adalah sifat-sifat pribadi (internal) atau ungkapan kepribadian (psikologi) yang muncul ketika melakukan hubungan dengan anggota kelompoknya.

• Empati adalah kesediaan untuk merasakan sesuatu atau hal-hal yang dirasakan pada diri orang lain misalnya kepada anggota keluarga atau anggota kelompoknya. Rasa empati diukur dari kepedulian responden terhadap masalah yang dihadapi oleh anggota kelompok taninya yaitu simpati, biasa, dan tidak mau tahu.

• Rasionalitas adalah kemampuan seorang untuk memahami keadaan dan mengendalikan dirinya; berpikir dan berbuat tanpa terlalu dikuasai perasaan secara berlebihan; mampu menghindarkan diri dari perbuatan yang hanya mengandalkan kekuatan fisik. Sikap rasionalitas ini diukur dari kemampuan analisis selanjutnya menyimpulkan permasalahan yang dihadapinya yaitu baik-sedang-buruk.

• Sikap mau ambil resiko adalah keberanian bertindak, mengambil keputusan tanpa terlalu banyak minta pertimbangan dengan anggota kelompoknya dengan sudah memikirkan akibatnya, yaitu diukur dari keberanian bertindak seperti: berani, ragu-ragu, dan diam.

• Optimis adalah sikap selalu berpandangan baik dalam menghadapi semua hal, tidak menyerah dengan kondisi negatif yang dihadapi oleh responden dan selalu menanggapi dengan sikap positif. Optimisme diukur melalui ungkapan keluhan yaitu besar-sedang-kecil.

(29)

anggota kelompok tani lainnya, yang dapat digolongkan menjadi: inovator, pelopor, pengikut dini, pengikut akhir dan kolot.

• Sikap terhadap perubahan adalah keinginan yang kuat untuk mau belajar dan memanfaatkan hal baru untuk kegiatan pertanian yang dilakukan, diukur dengan tingkat menerima dan menolak inovasi dari luar.

(c) Karakteristik komunikasi adalah ciri-ciri eksternal responden dalam hal melakukan interaksi, komunikasi, dan mencari informasi dalam rangka kebutuhan kegiatan usaha taninya: (1) Hubungan dengan agen pembaharu, (2) Keterdedahan media massa, (3) Komunikasi sesama petani.

• Hubungan dengan agen pembaharu adalah frekuensi mengunjungi atau bertemu sumber informasi seperti penyuluh, produsen saprodi, tokoh agama, tokoh adat. Hasil pengukuran dikategorikan dalam rendah, sedang, tinggi.

• Keterdedahan media massa adalah frekuensi memanfaatkan media massa seperti radio, televisi, dan koran. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.

• Komunikasi sesama petani adalah frekuensi kegiatan bertemu sesama petani membicarakan masalah pertanian yang dihadapinya. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.

(6) Atribut inovasi adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh inovasi bercocok tanam ubi-ubian menurut pandangan responden yang berhubungan dengan tahapan keputusan proses inovasi yang terdiri dari:

(a) Keuntungan relatif adalah tingkatan dimana penerapan inovasi kepada masyarakat Arfak lebih menguntungkan dari pada sebelum penerapannya. Indikatornya adalah (1) jumlah biaya yang dibutuhkan, (2) tingkatan resiko kegagalan yang dirasakan, (3) jumlah tenaga yang dibutuhkan, (4) jumlah waktu yang dibutuhkan, dan (5) tingkat keuntungan ekonomis. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.

(30)

dan (3) kesesuaian inovasi dengan kebutuhan responden. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi tidak sesuai, kurang sesuai dan sesuai.

(c) Kerumitan (kompleksitas) adalah tingkat keadaan inovasi bercocok tanam ubi-ubian dianggap sulit/tidak untuk dipahami dan diterapkan. Indikatornya adalah (1) tingkat kesulitan responden dalam memahami, (2) tingkat kesulitan responden dalam menerapkan inovasi. Hasil pengukuran dikategorikan sulit, kadang-kadang sulit dan tidak sulit.

(d) Kemungkinan dapat dicoba (triabilitas) adalah tingkat inovasi bercocok tanam ubi-ubian mudah dicoba. Indikatornya adalah mudah tidaknya inovasi tersebut dicoba oleh responden. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi tidak mudah, sebagian mudah, semua mudah.

(e) Kemudahan diamati (observabilitas) adalah kemudahan penerapan, diamati/dilihat hasil inovasi bercocok tanam ubi-ubian oleh responden. Indikatornya adalah (1) mudah tidaknya responden mengamati, melihat proses atau hasil inovasi, dan (2) mudah tidaknya hasil inovasi dikomunikasikan kepada orang lain. Hasil pengukuran dikategorikan menjadi tidak mudah, kadang-kadang mudah, dan mudah.

(f) Ketersediaan bahan dan alat inovasi adalah siap dan tersedianya bahan dan alat inovasi di tempat tinggal petani.

(7) Saluran komunikasi inovasi adalah alat atau media yang digunakan oleh penyuluh yang digunakan ketika melakukan penyuluhan bercocok tanam sehingga bisa diterima oleh responden misalnya (1) melalui kegiatan pertemuan di ruangan kelas, (2) langsung di kebun, (3) di rumah responden, dan lewat media massa radio. Hasil pengukuran menjadi tidak pernah, kadang-kadang dan sering pada masing-masing media.

(8) Proses adopsi inovasi adalah proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai seseorang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan, menggunakan hal baru tersebut). Penerimaan atau penolakan suatu inovasi ialah keputusan yang dibuat oleh seseorang dan memerlukan jangka waktu tertentu.

(31)

(a) Tahap pengetahuan adalah tingkatan responden membuka diri terhadap keberadaan inovasi dan memperoleh beberapa pengetahuan tentang inovasi bercocok tanam ubi-ubian dan fungsinya. Hasil pengukuran diklasifikasikan menjadi rendah, sedang dan tinggi.

(b) Tahap persuasi adalah tingkatan responden membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai inovasi bercocok tanam ubi-ubian. Hasil pengukuran diklasifikasikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.

(c) Tahap keputusan adalah tingkatan responden dalam situasi menetapkan pilihan menerima atau menolak inovasi bercocok tanam ubi-ubian.

(10) Pengetahuan dan teknologi lokal pertanian masyarakat Arfak adalah hasil olah pikir dalam bentuk seperangkat pengetahuan dan teknologi bercocok tanam yang diciptakan, dimiliki dan digunakan oleh masyarakat Arfak dari generasi ke generasi untuk digunakan sebagai penopang kehidupan sehari-hari.

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Pertanian di Papua

Perkembangan sistem pertanian di Papua dipengaruhi oleh lingkungan ekologi dan mata pencaharian yang tercermin pada pola makanan pokok masyarakat setempat. Pembangunan pertanian mulai nampak ketika misionaris, penyuluh pertanian pemerintah RI, transmigrasi, serta penelitian dan introduksi teknologi yang dilakukan oleh LIPI, LSM dan perguruan tinggi seperti Faperta Uncen yang kini menjadi Universitas Negeri Papua (UNIPA) di Manokwari.

Mansoben (2004:96) membagi empat lingkungan atau zona ekologi utama yang berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi (pertanian), sosial, budaya penduduk New Guinea khususnya Papua yaitu (1) Zona ekologi rawa (Swampy Areas), daerah pantai dan muara sungai (Coastal & Riverine). (2) Zona ekologi daerah pantai (Coastal Lowland Areas). (3) Zona ekologi kaki gunung serta lembah-lembah kecil (Foothills and Small Valleys), dan (4) Zona ekologi pegunungan tinggi (Highlands).

Masyarakat Papua yang hidup dalam zona ekologi yang berbeda-beda akan mewujudkan pola perilaku berbeda dalam hal mencari makanan untuk kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat yang hidup di wilayah berawa seperti misalnya masyarakat Asmat, Mimika dan Waropen bermata pencaharian pokok meramu sagu dan menangkap ikan merupakan mata pencaharian pelengkap. Sebaliknya masyarakat Dani dan Me yang yang hidup di wilayah dataran tinggi, pertanian merupakan mata pencaharian pokok di samping beternak babi. Lebih lanjut masyarakat Muyu, Genyem, Arso yang hidup pada wilayah kaki gunung dan lembah-lembah kecil menjadikan perladangan dan meramu sagu sebagai mata pencaharian pokok di samping berburu dan beternak. Masyarakat yang hidup di wilayah ekologi pantai, muara sungai dan kepulauan misalnya masyarakat Biak, Wandamen, Moi, kepulauan Raja Ampat, menjadikan menangkap ikan sebagai mata pencaharian pokok di samping berburu sebagai mata pencaharian pelengkap (Mansoben, 2004:96).

(33)

sebagai bahan makanan pokok sehari-hari dan dilakukan dengan teknologi sederhana, dan ladang berpindah. Cara seperti itu mereka belum mampu meningkatkan taraf hidup petani dan memenuhi kebutuhan pangan secara lengkap.

Masyarakat asli Papua dikenal sebagai petani, tetapi pada waktu-waktu tertentu masih melakukan peramuan hasil-hasil hutan lainnya untuk tambahan makanan. Secara tidak sengaja sisa-sisa hasil ramuan kadang-kadang dibuang di sekitar sili (lingkungan rumah masyarakat Dani) yang akhirnya tumbuh sebagai tanaman yang dapat dipanen kembali. Oleh sebab itu kebun di sekitar tempat tinggal masyarakat Papua secara tidak langsung merupakan lahan untuk penjinakan tumbuhan liar (domistikasi) menjadi tanaman budidaya. Contoh yang sampai saat ini masih sering dijumpai adalah penjinakan dan penanaman buah merah (Pandanus conodius) dan pandan hutan (Pandanus juliantinus) (Walujo, 1996:124).

Hal yang sama juga diungkapkan dalam penelitian Karafir (1988:35), Rochani (1990:25), dan Tim Faperta Uncen (1992:27), masyarakat asli Papua dapat digolongkan dalam tiga kelompok utama berdasarkan bahan makanan pokok mereka. (1) Masyarakat pantai yang mengkonsumsi sagu dan ubi-ubian; (2) masyarakat dataran rendah yang mengkonsumsi sagu dan pisang, sedangkan (3) masyarakat dataran tinggi, ubi-ubian adalah makanan pokok mereka.

Ekosistem tersebut sering mempunyai ciri-ciri spesifik karena wilayahnya terisolir dari daerah-daerah lain. Pada daerah-daerah yang merupakan sentra penduduk, wilayah tersebut mempunyai ekosistem yang memungkinkan dilakukan usaha produksi pertanian. Tetapi, lahan-lahan di Papua umumnya adalah lahan yang kurang ideal untuk usaha produksi pertanian, antara lain disebabkan air tanah yang tinggi dan miskin unsur hara. Produktivitas tanah sangat tergantung pada kandungan bahan organik tanahnya. Oleh sebab itu Soenarto (2003:43) mengatakan bahwa usaha keras penduduk agar dapat tetap hidup di daerah-daerah tersebut menghasilkan suatu teknologi tradisional (indigenous technology) dalam budidaya tanaman bahan makanan.

(34)

sekelompok masyarakat yang dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam sering kita jumpai dalam bentuk tatanan misalnya hukum perputaran sistem perladangan, proteksi terhadap hutan atau padang perburuan, sumber air dan lain-lain (Walujo, 1996:120).

Upaya meningkatkan produksi pertanian di Papua, pada tahun 1988/89 LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) melalui program “Pengembangan Wilayah Pedesaan Wamena” memperkenalkan berbagai teknologi pertanian yang lebih maju dan dianggap tepat guna untuk daerah tersebut yang sesuai dengan tingkat kemampuan masyarakat setempat. Menurut Darmajana salah seorang tim LIPI (1996:156), rendahnya tingkat teknologi di Lembah Baliem ini dipengaruhi oleh (1) tingkat pendidikan dan pengetahuan secara umum masih rendah; (2) sistem pertanian subsistens; (3) pengaruh adat dan tradisi masyarakat yang kuat yang kurang menunjang pengembangan di sektor pertanian, dan (4) terisolirnya daerah Baliem dari dunia luar.

Teknologi budidaya pertanian yang telah dijalankan oleh masyarakat petani Wamena merupakan teknologi tradisional yang dikenal melalui teknologi turun temurun dari kehidupan adat. Teknologi tradisional tersebut merupakan hasil pola fikir dalam jangka waktu yang lama dari nenek moyang penduduk setempat yang hidup beberapa abad lalu. Sebagian besar yang sudah mereka pahami adalah seperti teknik budidaya ubi jalar, mulai dari pengolahan tanah, pemilihan bibit, penanaman, pemeliharaan, panen sampai penyimpanan hasil (Darmajana, 1996:157 dan Soenarto, 2003:46).

(35)

petugas pertanian melakukan percobaan di halaman rumahnya yang akhirnya mengundang perhatian masyarakat sekitar untuk melihat-lihat tanaman baru tersebut dan mencoba menanamnya (Widjojo, et al., 1995:93).

Darmajana (1996:190) mengungkap permasalahan sosial budaya yang menghambat proses introduksi teknologi pertanian di Lembah baliem Jayawijaya adalah (1) sering terjadi kedukaan (kematian) yang menimpa anggota kelompok, sehingga menyita waktu kerja cukup lama; (2) Sering terjadi pencurian perempuan atau ternak babi sehingga timbul masalah dan memerlukan waktu khusus untuk menyelesaikannya; dan (3) Kesibukan adat sebagai sisa kebiasaan pada pria waktu perang suku masih berkecamuk berupa negosiasi tentang situasi di pasar dan sekitarnya daripada kerja. Tentang pengaruh sosial budaya masyarakat Papua, Mansoben (2004:97) mengungkapkan bahwa setiap wilayah ekologi memiliki intensitas pesta adat yang berbeda. Masyarakat Papua yang hidup dari meramu sagu di zona ekologi rawa dan muara sungai, pada umumnya menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan atau adat lebih meriah dibandingkan dengan masyarakat Papua yang makan ubi-ubian, atau yang hidup dari ekologi daratan tinggi.

(36)

Sistem Perladangan Berpindah

Pengertian Perladangan Berpindah

Conclin dan Okigbo (Iskandar, 1992) mensinyalir bahwa sistem pertanian ladang merupakan peradaban perkembangan pertanian hingga abad ini. Sudah lama dikenal dan dipraktekkan di berbagai negara tropis seperti di Asia, Amerika dan Afrika, termasuk di Indonesia. Pulau Jawa sebagai baromater pembangunan pertanian di Indonesia, ladang berpindah sudah ditinggalkan kecuali sedikit di daerah Sukabumi Selatan dan Banten Selatan (Masyarakat Badui). Sedangkan di luar pulau Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua masih mempraktekkan pertanian ladang berpindah (Iskandar, 1992, dan Pardosi, 2005).

Sistem pertanian ladang umumnya memiliki ciri yang sama, namun banyak pula variasinya tergantung kondisi bio-fisik lahan yang berbukit dan perilaku budaya masyarakat tertutup karena keisolasiannya sehingga memiliki ciri khusus yaitu berpindah-pindah, menggunakan alat yang sederhana, dan tanaman masih berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan pokok. Umumnya melakukan kegiatan kegiatan: menebang hutan – membakar – menanam – ditinggalkan – panen. Pindah ke lokasi baru ketika produksi pada ladang pertama sudah nampak berkurang yaitu digarap 1-2 tahun kemudian diistirahatkan (diberakan) selama 3-6 tahun.

Berdasarkan ciri dan perilaku pertanian tersebut di atas, banyak istilah ladang berpindah pada masing-masing negara dan wilayah di Indonesia. Misalnya dalam istilah berbahasa inggeris dikenal dengan shifting, swidden, cut and burn, five field, land rotation, nomadik, slash and burn, dan transient cultivation. Namun secara umum (60 %) dalam buku-buku ilmiah memberi nama istilah perladangan dengan istilah shifting cultivation dan hanya (15 %) yang memberi nama dengan istilah swidden, dan sisanya menggunakan istilah lain. Di daerah tropis seperti di Vietnam disebut ray, di Muangthai dinamakan tam ray, di Filiphina dikenal dengan nama hanumo atau caingin, sedangkan di Indonesia dan Malaysia dikenal dengan nama ladang. Di daerah-daerah Indonesia dikenal dengan beberapa nama seperti huma di Jawa Barat, juma di Sumatera, umai di Kalimantan, rauh di Sumbawa (Iskandar, 1992).

(37)

ditanami tanaman secara tidak berkesinambungan. Selanjutnya Freeman (Pardosi, 2005), perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan kegiatan ekonomi dengan ciri utama adalah rotasi perladangan daripada tanaman; membersihkan dengan membakar; tanpa tenaga hewan dan pupuk; hanya menggunakan tenaga manusia; menggunakan tongkat kayu sebagai alat mananam benih; menanami lahan untuk jangka pendek dan mengosongkannya untuk jangka panjang yang dilakukan secara bergiliran. Menurut Warner (1991:9), perladangan berpindah adalah sistem pertanian dilakukan dengan cara

membersihkan (biasanya dibakar) dan ditanami untuk jangka pendek kemudian mereka kosongkan.

Konsep Konservasi

Akibat perkembangan zaman, kini perladangan mengalami perubahan seperti adanya pertambahan penduduk, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan ekonomi yang pesat. Okigbo (Iskandar, 1992) pada umumnya penyebab terjadinya perubahan sistem perladangan adalah: (1) tekanan penduduk, (2) berkurangnya tenaga kerja; perkembangan mekanisasi, dan (3) adanya gangguan dari daur unsur hara di alam, seperti akibat hutan yang rusak atau adanya erosi tanah dan lain-lain.

Mengurangi kerusakan hutan akibat perladangan saat ini diintegrasikan dengan pola konservasi ekologi hutan yang disebut agroekosistem. Pendekatan agroekosistem berusaha mengintegrasikan keanekaragaman faktor yang mempengaruhi sistem pola tanam (Warner, 1991:8). Pola bera merupakan bagian dari strategi dan respons fleksibel terhadap perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan alam. Penekanan pada strategi dan agroekosistem dinamis akan mengakibatkan perladangan tidak statis dan tidak pula menjadi sistem pertanian stabil, namun akan menciptakan suatu sistem pertanian yang fleksibel dalam menjawab perubahan (Pardosi, 2005).

Sistem Pengetahuan dan Teknologi Pertanian Tradisional

Dampak Pembangunan Pertanian Konvensional

(38)

kesenjangan sosial dan berkurangnya pemerataan dan kesejahteraan masyarakat serta peningkatan perusakan dan kerusakan lingkungan hidup. Oleh sebab itu menurut Soedijanto (2004:4) pembangunan pertanian di Indonesia, tuntutan pentingnya pelestarian lingkungan hidup dari hari ke hari menjadi semakin mendesak sebagai akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan yang tidak ramah lingkungan.

Penggunaan teknologi modern dalam pembangunan pertanian (revolusi hijau), diakui dapat meningkatkan produksi pertanian secara cepat. Pemanfaatan teknologi tersebut Indonesia mampu untuk berswasembada beras pada tahun 1984. Namun, pada panen berikutnya produksi pertanian menjadi menurun kembali sejalan dengan terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang nyata dan laten. Salah satu contoh kerusakan lingkungan sebagai dampak negatif dari pembangunan pertanian diungkapkan oleh Intan Achmad (Soedijanto, 2004:4) bahwa akibat penggunaan pestisida berlebihan maka 500 spesies serangga menjadi resisten terhadap penggunaan berbagai jenis pestisida. Beberapa serangga diramalkan akan muncul menjadi monster yang sangat ditakutkan karena serangga-serangga tersebut sudah kebal terhadap pemakaian semua pestisida.

Data penelitian serta pengalaman lapangan diungkap oleh Untung (1996:2), menunjukkan bahwa penggunaan masukan produksi pertanian yang berkelebihan dan terus menerus dapat meningkatkan dampak samping negatif bagi lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati, membahayakan kesehatan masyarakat dan pengurangan pemerataan kesejahteraan sosial. Dampak samping tersebut yang mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan secara tidak langsung menurunkan produktivitas pertanian, menghambat tercapainya keselamatan dan keamanan pangan, serta keberlanjutan program pembangunan. Terjadinya penurunan daya dukung lingkungan diakibatkan karena penerapan teknologi intensifikasi yang dapat meningkatkan erosi tanah dan air, penurunan kesuburan tanah karena pengurangan kadar unsur hara, salinasi, peningkatan keasaman tanah, dan meningkatnya kepadatan tanah.

(39)

mesin-mesin pertanian. Salah satu gejala penurunan daya dukung lingkungan adalah semakin tidak efisiennya penggunaan masukan produksi untuk memperoleh satuan peningkatan hasil yang sama bila dibandingkan dengan waktu sebelumnya.

Mekanisasi pertanian membutuhkan anggaran yang cukup tinggi, harga yang cukup mahal tidak terjangkau kemampuan keuangan petani, dan biaya pemeliharaannya akan semakin mahal karena petani jarang yang mempunyai kesiapan pengetahuan dan ketrampilan memperbaiki sendiri alat-alat pertanian yang rusak. Ternak kerbau yang merupakan alat penarik bajak dan sumber tabungan petani, semula berperan sebagai tenaga bantu manusia yang utama dalam mengolah sawah, menjadi kurang diperhatikan lagi, hal ini berakibat terhadap menurunnya populasi ternak itu. Akibat selanjutnya adalah menurunnya sumber pupuk kandang yang murah serta produk lain dari hewan tersebut yang bisa menunjang pendapatan dan sumber daya investasi bagi petani (Adimihardja, 2004:8).

Kecerobohan pelaksanaan pembangunan pertanian akan menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang dapat mengganggu kualitas lingkungan hidup, dan pada gilirannya akan mengganggu sistem lingkungan hidup (ecosystem) dan kelestariannya (sustainability). Kerusakan lingkungan yang hebat seringkali menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kerusakan infra struktur pembangunan pertanian yaitu jaringan irigasi dan prasarana transportasi. Hal ini akan berakibat langsung terhadap penurunan produksi dan gangguan pelaksanaan pembangunan pertanian (Soedijanto, 2004:4).

Pengertian Kearifan Lokal di Papua

Saat ini berkembang diskusi sistem pengetahuan dan teknologi dalam bidang konservasi dan utilisasi sumberdaya genetik tumbuhan yang muncul dan tumbuh di masyarakat asli atau lokal dengan berbagai macam sebutan antara lain: pengetahuan

indigenous, pengetahuan lokal, kearifan lokal, kearifan tradisional dan terakhir yang disebut Sistem Pengetahuan dan Teknologi Lokal (SPTL) atau dalam bahasa Inggeris disebut

Indegenous Knowledge (IK).

(40)

hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan merupakan hasil kreativitas dan uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru. Salah jika kita berpikir bahwa pengetahuan indigenous itu kuno, terbelakang, statis atau tak berubah.

Diperjelas oleh Adimihardja (2004:1), sesungguhnya yang menjadi ciri utama Sistem Pengetahuan dan Teknologi Lokal (SPTL), bukanlah nilai-nilai “keaslian” atau “teritorial” tertentu, baik yang didukung sistem pengetahuan yang bersifat “asli” maupun yang telah beradaptasi dengan nilai-nilai dari luar. Jadi, SPTL adalah sebagai seperangkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang tinggal di suatu wilayah atau teritorial tertentu, dengan dukungan teknologi tertentu sebagai sarana yang diciptakannya untuk digunakan sebagai penopang kehidupannya sehari-hari.

Winoto, et al., (1993:5) mendefinisikan kearifan tradisional adalah pengetahuan secara turun temurun yang dimiliki oleh masyarakat pedesaan untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungannya yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan. Sedangkan Ostrom (1993) menyebutkan kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan yang diwujudkan dalam kebijaksanaan-keijaksanaan berdasarkan nilai dan norma-norma budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya, sebagai suatu kekuatan dan kemampuan potensial menuntun perilaku masyarakat dalam kehidupan komunitasnya.

Sebagai bagian dari kekayaan intelektual masyarakat, SPTL merupakan ungkapan budaya yang khas yang terkandung di dalamnya tata nilai, etika, norma, aturan, dan ketrampilan dari suatu komunitas dalam memenuhi tantangan yang berlanjutan dalam kehidupannya. Menurut Adimihardja, SPTL banyak dipahami sebagai local level decision making, sebagaimana berlaku dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai aktivitas sosial lainnya dalam lingkungan kehidupan masyarakat.

(41)

pola pembukaan kebun baru secara gotong royong dalam mengerjakan lahan, penghormatan hak adat atas batas tanah dan hutan dari masing-masing suku atau marga, pola bertani, mempertahankan hidup, dan pelestarian lingkungan (Cohen, 1983).

Adimihardja (2004:13-49) telah membagi sistem pengetahuan dan teknologi lokal dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tiga wilayah yaitu pada alam hutan; darat; pesisir dan laut. Berhubungan dengan fokus penelitian ini adalah ingin melihat sistem pengetahuan dan teknologi masyarakat di pedalaman pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat atau Papua, maka lebih banyak membahas tentang SPTL lingkungan hutan dan darat (pertanian tanaman pangan).

Masyarakat Arfak yang banyak mendiami kawasan pegunungan Arfak, Manokwari, Papua Barat memiliki konsep igya ser hanjop, yaitu pembagian wilayah dalam mengatur proses pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya hayati di hutan. Mereka membagi wilayah menjadi (1) Bahamti, yaitu kawasan yang tidak boleh diganggu; (2) Nimahamti, yaitu kawasan yang boleh diambil hasilnya bila sangat dibutuhkan;dan (3) Susti, kawasan pemanfaatan. Konsep ini juga mangharuskan bagi orang masyarakat Arfak sedapat mungkin menghindari pemanfaatan tumbuhan dan hewan yang berlebihan di hutan. Mereka beranggapan bahwa hutan merupakan “ibu” yang memberikan air susunya, artinya sebagai sumber kehidupan, oleh karenanya harus dijaga (Laksono et al., 2001:188-189).

Soenarto (2003:44-48) mengungkapkan empat kelompok teknologi tradisional budidaya tanaman pangan di Provinsi Papua yaitu sebagai berikut:

(42)

mereka berhasil membuka kebun yang ketiga. Petani di Anggi (Pegunungan Arfak) Manokwari, sistem rotasi kebun juga dilakukan. Kebun yang sudah tidak berproduksi baik diistirahatkan untuk jangka waktu kurang lebih 4-5 tahun, kemudian dibuat kebun baru sesudah masa beranya dipandang cukup lama. Masyarakat Arfak menggunakan tanaman Alnov (Dodonea viscose Jack) sebagai indikator penentu waktu kapan kebun tua atau hutan sekunder bisa dibuka untuk dijadikan kebun baru. Jenis tanaman yang pertama ditanam adalah kentang, kemudian ditanami dengan tanaman sayuran seperti wortel, kubis, kapri, buncis dan sayuran lainnya. Setelah tanaman sayur dipanen, selanjutnya menanam tanaman jenis ubi-ubian seperti ubi jalar dan keladi. Sesudah ubi jalar dipanen, tanah digunakan untuk penggembalaan babi. Kurang lebih dua bulan – dianggap tanah sudah kembali subur – babi dikeluarkan, dan kebun diistirahatkan. (2) Teknik agronomi digunakan untuk memodifikasi lingkungan pertanian dari kondisi

awal yang kurang produktif menjadi suatu lingkungan pertanian yang lebih baik, merupakan urutan kegiatan dalam pembuatan kebun ubi jalar, dari awal sampai akhir. Teknik agronomi dilakukan pada lahan kering terutama untuk menanam ubi jalar. Kebun dibuat dengan membentuk bedengan yang dikelilingi parit dangkal. Pada bedengan dibuat gundukan-gundukan tanah (kuming) sebagai tempat menanam ubi jalar. Kebutuhan air hanya diperoleh dari air hujan. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan, perawatan tanaman, pemetikan cabang-cabang yang terlalu panjang, pembuangan akar-akar muda yang tumbuh sesudah tanaman berumur 5 bulan, pemanenan dan pembersihan parit. Panen umbi dilakukan setiap hari. Hanya umbi yang besar yang dipetik, sedangkan yang masih muda dan masih kecil ditinggalkan di tanaman, dibiarkan menjadi besar untuk dapat dipanen pada kesempatan berikutnya. (3) Teknik bercocok tanam untuk konservasi kelembaban tanah. Teknik ini dijalankan

(43)

(4) Pembuatan bedengan-bedengan baru pada daerah rawa atau danau dimana ketinggian permukaan airnya dipengaruhi oleh musim di daerah itu. Teknik ini dijumpai di Pulau Kolepom dan Kimaam, Kabupaten Merauke. Pulau ini berbentuk sebuah belanga, pada waktu musim hujan, pulau berupa danau atau rawa-rawa besar, sedangkan pada musim kering, air surut. Pada kesempatan ini penduduk ramai-ramai membuat bedengan tanah di daerah perairan untuk dijadikan tempat menanam tanaman pangan seperti keladi, ubi jalar dan secara permanen dapat ditanam kelapa dan sagu.

Nilai Sosial Budaya

Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengertian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa sudut pandang, yaitu antropologis, filsafat dan psikologis.

Secara antropologis dikemukakan oleh Kluckhon (Koentjaraningrat, 2004:27-31) bahwa nilai merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas baik individu maupun kelompok. Secara filosofis dikemukan oleh Spranger (Adisubroto, 1993:13-17) menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Spranger, corak sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang paling bernilai. Nilai dari perspektif psikologis dikemukan oleh Munn (Mulyana, 2004:7-23) bahwa nilai merupakan aspek kepribadian, sesuatu yang dipandang baik, berguna atau penting dan diberi bobot tertinggi oleh seseorang. Geert Hofstede (Dananjaya, 1986:65) berpendapat bahwa nilai merupakan suatu kecenderungan luas untuk lebih menyukai atau memilih keadaan-keadaan tertentu dibanding dengan yang lain. Nilai merupakan suatu perasaan yang mendalam yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang akan sering menentukan perbuatan atau tindak tanduk perilaku anggota masyarakat.

(44)

hidup masyarakat baik dalam bersikap maupun bertingkah laku, terdiri atas nilai-nilai dan norma-norma yang tertib meliputi norma agama, norma susila, norma kesopanan, dan norma hukum (Ostrom, 1993). Budaya sebagai pedoman hidup dalam memenuhi kebutuhan sosial mencakup: (1) perwujudan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan hukum; (2) aktivitas dan tindakan berpola dari manusia untuk masyarakat, dan (3) perwujudan semua hasil karya manusia.

Menurut Koentjaraningrat (2004:25), suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya.

Para individu itu sejak kecil, menurut Koentjaraningrat, telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat. Melihat definisi di atas maka nilai sosial budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok masyarakat dan menjadi referensi (kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat), dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya.

Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck (Kontjaraningrat, 2004:28), semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia terdiri dari lima masalah pokok: (1) masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (MH), (2) masalah mengenai hakekat dari karya manusia (MK), (3) masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu (MW), (4) masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (MA), dan (5) masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya (MM).

Gambar

Gambaran Umum Suku Besar Pedalaman Arfak    ...............……………….
Tabel 1.
Gambar 2. Pengaruh Faktor-faktor Kekuatan (Sosial Budaya) terhadap Adopsi Inovasi
Gambar 3. Kerangka Berpikir dan Hubungan saling Pengaruh Peubah Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

JuduL Laporan PL : Z3PAGAAN PEMIMPIN INFO% SIDANG.. PERTANIAN DALAM DIFUSI

Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian (Kasus Adopsi Inovasi Traktor Tangan di Desa Neglasari, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Propinsi

Penelitian ini bertujuan untuk mendes- kripsikan peran pemerintah daerah Kabupaten Manokwari melalui petugas penyuluh lapangan dalam menyebarkan inovasi dan peran masyarakat

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Tingkat Adopsi Inovasi Petani Dalam Penyuluhan Pertanian Tanaman Padi Jajar Legowo Di Kelurahan Karatuang Kecamatan

Variabel penciri yang membangun model penyesuaian hubungan sikap, norma sosial, kontrol sosial, dan karakteristik responden terhadap minat masyarakat dalam bidang pertanian

Penelitian ini bertujuan untuk mendes- kripsikan peran pemerintah daerah Kabupaten Manokwari melalui petugas penyuluh lapangan dalam menyebarkan inovasi dan peran masyarakat

Penetrasi inovasi di tengah masyarakat adat tersebut telah “mengganggu” pola ketahanan pangan.Ubi jalar dan keladi sebagai bahan makanan pokok sudah berubah

Pengambilan keputusan inovasi pada adopter pertanian organik sayuran pada tahap tingkat pengetahuan ternyata tergolong sedang, sikap petani terhadap pertanian organik