KONSUMSI DAN KECERNAAN NUTRIEN SERTA KUALITAS
SEMEN DOMBA GARUT DENGAN RANSUM YANG BERNILAI
NERACA KATION ANION BERBEDA
DIAH ANGGREINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
DIAH ANGGREINI. Konsumsi dan Kecernaan Nutrien serta Kualitas Semen Domba Garut dengan Ransum Bernilai Neraca Kation Anion Berbeda. Di bimbing oleh TOTO TOHARMAT dan IMAN SUPRIATNA.
Kebutuhan ternak akan energi, protein, lemak, serta vitamin dan mineral harus terpenuhi agar berproduksi secara optimum. Mineral berfungsi sebagai katalisator kerja enzim, menjaga keseimbangan membran sel, dan berperan penting dalam aktivitas mikroba rumen. Keseimbangan kation anion dalam ransum diketahui berperan dalam menjaga sel-sel tubuh untuk menjalankan fungsinya secara normal.
Penelitian dilakukan di dua tempat, yaitu di kandang dan analisis sampel di Laboratorium. Penelitian ini menggunakan domba Garut jantan sebagai objek penelitian yang berasal dari Garut dengan umur 2.5 tahun dan telah mencapai tahap sexual maturity (kematangan seksual). Jumlah domba yang digunakan dalam penelitian sebanyak 12 ekor. Rataan bobot hidup awal domba penelitian Hasil perhitungan nilai DCAB ransum basal dijadikan dasar dalam penambahan kation atau anion agar menjadi sebesar -10 dan +40. Penambahan Na2CO3 dan
K2CO3, masing-masing menyumbangkan Na dan K, sedangkan penambahan
CaCl2 dan CaSO4 masing-masing menyumbangkan anion Cl dan S. Zn-fitat
ditambahkan sebagai sumber Zn.
Hasil menunjukkan bahwa neraca kation anion yang berbeda dalam ransum domba Garut tidak memberikan efek yang negatif terhadap konsumsi, kecernaan, absorbsi mineral dan pertumbuhan. Ransum dengan neraca kation anion hanya akan menganggu absorpsi Ca pada nilai DCAB negatif. Volume semen meningkat jika domba diberi ransum dengan nilai DCAB positif. Kualitas makroskopis dan mikrokopis semen domba Garut tidak dipengaruhi oleh nilai DCAB ransum. Hal ini berarti bahwa DCAB ransum diduga hanya akan mengganggu metabolisme yang terkait dengan Ca.
Kesimpulan menunjukkan bahwa neraca kation anion + 40 dan -10 tidak mengganggu metabolisme domba.
ABSTRACT
DIAH ANGGREINI. Nutrients Intake, Digestibility and Semen Quality of Garut Sheep Offered Diets Containing Different Dietary Cation Anion.
Under direction of TOTO TOHARMAT and IMAN SUPRIATNA.
A study of this research was conducted to examine the effect of dietary cation anion balance (DCAB) on dry matter intake, nutrient digestibility and semen quality of sheep. Four dietary treatments: basal, basal + zn-fitat 40 ppm (RN), RN + DCAB level (+ 40 meq), RN+ DCAB level (–10 meq)) were formulated by altering levels of Na2CO3, K2CO3, CaCl2 and CaSO4 in the diets.
Experimental diets were offered randomly to 12 two years old Garut rams and have reached phase of sexual maturity for 75 days in a randomly block design. Mean of early live weight was 47 ± 5.22 kg. Feed intake, dry matter and organic matter digestibility, absorption of Ca, P, Mg and Zn, and semen quality were not influenced significantly by DCAB. The result indicated that DCAB had no effect on nutrient utilization and semen quality. Rams indicated homeostasis ability to response the variation in DCAB in the range of -10 to +40.
KONSUMSI DAN KECERNAAN NUTRIEN SERTA KUALITAS SEMEN DOMBA GARUT DENGAN RANSUM YANG BERNILAI
NERACA KATION ANION BERBEDA
DIAH ANGGREINI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul karya ilmiah ini adalah
Konsumsi dan Kecernaan Nutrien serta Kualitas Semen Domba Garut dengan
Ransum yang Bernilai Neraca Kation Anion Berbeda disusun dan diajukan
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Master pada Program Studi Ilmu Ternak
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Toto Toharmat
M.Agr.Sc dan Bapak Dr. drh. Iman Supriatna selaku pembimbing, serta Bapak
Dr. Ir. Jajat Jachja M.Sc atas saran yang telah diberikan.
Ucapan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Ternak Bapak Dr.
Ir. M. Ridla, Bapak Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc, dan Mas Supri beserta staf lainnya
yang telah membantu penulis selama mengikuti program magister.
Ucapan terimakasih kepada Ibu Ir. Farida Fathul, M.S atas arahan,
bimbingan dan bantuannya selama masa perkuliahan, penelitian hingga penulisan
tesis, serta kepada Mba Dian Anggraeni atas bantuannya selama penelitian di
laboratorium.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman PTK 2005
khususnya kepada Mba Ika dan Mba Lely terimakasih atas persahabatan,
persaudaraan dan kasih sayangnya, serta kepada Mba Fera terimakasih atas
dukungan dan persahabatannya
Rasa hormat dan terima kasih penulis persembahkan kepada Papi dan Mami
tercinta, serta adik-adikku tersayang Tama (alm), Meita, dan Hafiid. Akhirnya
penulis persembahkan karya ilmiah ini untuk Ahmad Husna, S.STP, M.H
terimakasih atas semangat, cinta dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat.
Bogor, November 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 3 Oktober 1982 dari
ayah Drs. Somad Raku dan Ibu Dra. Sumiarti. Penulis merupakan putri pertama
dari empat bersaudara.
Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 10 Bandar Lampung dan pada
tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Produksi Ternak Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung lulus melalui jalur UMPTN
dan selesai pada tahun 2005.
Pada tahun yang sama penulis diterima pada Sekolah Pascasarjana IPB
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perbedaan utama komposisi kompartemen cairan tubuh... 9
2. Status asam basa dan pH darah, urine, cairan rumen serta respirasi pada ruminansia ... 10
3. Hubungan antara kekentalan/warna dengan konsentrasi spermatozoa domba... 14
4. Sifat-sifat fisik dan kimiawi semen domba ... 15
5. Kandungan nutrien ransum basal perlakuan ... 18
6. Rataan konsumsi ransum domba penelitian ... 25
7. Ratan kecernaan dan absorpsi mineral domba penelitian ... 26
8. Rataan pH urine dan produksi urine domba penelitian... 27
9. Ratan bobot badan domba penelitian... 28
10. Kualitas makroskopis semen domba penelitian ... 29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bentuk kandang individu domba Garut yang dipakai dalam penelitian ... 17
2. Pengumpulan feses domba harian ... 20
3. Penampungan semen domba ... 20
4. Suhu lingkungan kandang ... 23
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data konsumsi ransum domba penelitian ... 41
2. Data produksi feses, KCBK dan KCBO domba penelitian... 41
3. Data absorpsi Ca domba penelitian ... 42
4. Data absorpsi P domba penelitian... 42
5. Data absorpsi Mg domba penelitian ... 43
6. Data absorpsi Zn domba penelitian ... 43
7. Data pH urine dan produksi urine domba penelitian ... 44
8. Data bobot badan domba selama penelitian ... 44
9. Data kualitas semen domba penelitian pada awal perlakuan ... 45
10. Data kualitas semen domba penelitian pada akhir penelitian... 46
11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsumsi BK ... 47
12. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsumsi BO ... 47
13. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap KCBK... 48
14. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap KCBO... 48
15. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap absorpsi Ca ... 49
16. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap absorpsi P... 50
17. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap absorpsi Mg ... 50
18. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap absorpsi Zn ... 51
19. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap pH urine ... 51
20. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi urine ... 52
21. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan ... 52
22. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap volume sperma ... 53
23. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap pH... 54
24. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap warna semen ... 54
25. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsistensi sperma ... 55
KONSUMSI DAN KECERNAAN NUTRIEN SERTA KUALITAS
SEMEN DOMBA GARUT DENGAN RANSUM YANG BERNILAI
NERACA KATION ANION BERBEDA
DIAH ANGGREINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
DIAH ANGGREINI. Konsumsi dan Kecernaan Nutrien serta Kualitas Semen Domba Garut dengan Ransum Bernilai Neraca Kation Anion Berbeda. Di bimbing oleh TOTO TOHARMAT dan IMAN SUPRIATNA.
Kebutuhan ternak akan energi, protein, lemak, serta vitamin dan mineral harus terpenuhi agar berproduksi secara optimum. Mineral berfungsi sebagai katalisator kerja enzim, menjaga keseimbangan membran sel, dan berperan penting dalam aktivitas mikroba rumen. Keseimbangan kation anion dalam ransum diketahui berperan dalam menjaga sel-sel tubuh untuk menjalankan fungsinya secara normal.
Penelitian dilakukan di dua tempat, yaitu di kandang dan analisis sampel di Laboratorium. Penelitian ini menggunakan domba Garut jantan sebagai objek penelitian yang berasal dari Garut dengan umur 2.5 tahun dan telah mencapai tahap sexual maturity (kematangan seksual). Jumlah domba yang digunakan dalam penelitian sebanyak 12 ekor. Rataan bobot hidup awal domba penelitian Hasil perhitungan nilai DCAB ransum basal dijadikan dasar dalam penambahan kation atau anion agar menjadi sebesar -10 dan +40. Penambahan Na2CO3 dan
K2CO3, masing-masing menyumbangkan Na dan K, sedangkan penambahan
CaCl2 dan CaSO4 masing-masing menyumbangkan anion Cl dan S. Zn-fitat
ditambahkan sebagai sumber Zn.
Hasil menunjukkan bahwa neraca kation anion yang berbeda dalam ransum domba Garut tidak memberikan efek yang negatif terhadap konsumsi, kecernaan, absorbsi mineral dan pertumbuhan. Ransum dengan neraca kation anion hanya akan menganggu absorpsi Ca pada nilai DCAB negatif. Volume semen meningkat jika domba diberi ransum dengan nilai DCAB positif. Kualitas makroskopis dan mikrokopis semen domba Garut tidak dipengaruhi oleh nilai DCAB ransum. Hal ini berarti bahwa DCAB ransum diduga hanya akan mengganggu metabolisme yang terkait dengan Ca.
Kesimpulan menunjukkan bahwa neraca kation anion + 40 dan -10 tidak mengganggu metabolisme domba.
ABSTRACT
DIAH ANGGREINI. Nutrients Intake, Digestibility and Semen Quality of Garut Sheep Offered Diets Containing Different Dietary Cation Anion.
Under direction of TOTO TOHARMAT and IMAN SUPRIATNA.
A study of this research was conducted to examine the effect of dietary cation anion balance (DCAB) on dry matter intake, nutrient digestibility and semen quality of sheep. Four dietary treatments: basal, basal + zn-fitat 40 ppm (RN), RN + DCAB level (+ 40 meq), RN+ DCAB level (–10 meq)) were formulated by altering levels of Na2CO3, K2CO3, CaCl2 and CaSO4 in the diets.
Experimental diets were offered randomly to 12 two years old Garut rams and have reached phase of sexual maturity for 75 days in a randomly block design. Mean of early live weight was 47 ± 5.22 kg. Feed intake, dry matter and organic matter digestibility, absorption of Ca, P, Mg and Zn, and semen quality were not influenced significantly by DCAB. The result indicated that DCAB had no effect on nutrient utilization and semen quality. Rams indicated homeostasis ability to response the variation in DCAB in the range of -10 to +40.
KONSUMSI DAN KECERNAAN NUTRIEN SERTA KUALITAS SEMEN DOMBA GARUT DENGAN RANSUM YANG BERNILAI
NERACA KATION ANION BERBEDA
DIAH ANGGREINI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul karya ilmiah ini adalah
Konsumsi dan Kecernaan Nutrien serta Kualitas Semen Domba Garut dengan
Ransum yang Bernilai Neraca Kation Anion Berbeda disusun dan diajukan
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Master pada Program Studi Ilmu Ternak
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Toto Toharmat
M.Agr.Sc dan Bapak Dr. drh. Iman Supriatna selaku pembimbing, serta Bapak
Dr. Ir. Jajat Jachja M.Sc atas saran yang telah diberikan.
Ucapan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Ternak Bapak Dr.
Ir. M. Ridla, Bapak Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc, dan Mas Supri beserta staf lainnya
yang telah membantu penulis selama mengikuti program magister.
Ucapan terimakasih kepada Ibu Ir. Farida Fathul, M.S atas arahan,
bimbingan dan bantuannya selama masa perkuliahan, penelitian hingga penulisan
tesis, serta kepada Mba Dian Anggraeni atas bantuannya selama penelitian di
laboratorium.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman PTK 2005
khususnya kepada Mba Ika dan Mba Lely terimakasih atas persahabatan,
persaudaraan dan kasih sayangnya, serta kepada Mba Fera terimakasih atas
dukungan dan persahabatannya
Rasa hormat dan terima kasih penulis persembahkan kepada Papi dan Mami
tercinta, serta adik-adikku tersayang Tama (alm), Meita, dan Hafiid. Akhirnya
penulis persembahkan karya ilmiah ini untuk Ahmad Husna, S.STP, M.H
terimakasih atas semangat, cinta dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat.
Bogor, November 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 3 Oktober 1982 dari
ayah Drs. Somad Raku dan Ibu Dra. Sumiarti. Penulis merupakan putri pertama
dari empat bersaudara.
Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 10 Bandar Lampung dan pada
tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Produksi Ternak Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung lulus melalui jalur UMPTN
dan selesai pada tahun 2005.
Pada tahun yang sama penulis diterima pada Sekolah Pascasarjana IPB
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perbedaan utama komposisi kompartemen cairan tubuh... 9
2. Status asam basa dan pH darah, urine, cairan rumen serta respirasi pada ruminansia ... 10
3. Hubungan antara kekentalan/warna dengan konsentrasi spermatozoa domba... 14
4. Sifat-sifat fisik dan kimiawi semen domba ... 15
5. Kandungan nutrien ransum basal perlakuan ... 18
6. Rataan konsumsi ransum domba penelitian ... 25
7. Ratan kecernaan dan absorpsi mineral domba penelitian ... 26
8. Rataan pH urine dan produksi urine domba penelitian... 27
9. Ratan bobot badan domba penelitian... 28
10. Kualitas makroskopis semen domba penelitian ... 29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bentuk kandang individu domba Garut yang dipakai dalam penelitian ... 17
2. Pengumpulan feses domba harian ... 20
3. Penampungan semen domba ... 20
4. Suhu lingkungan kandang ... 23
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data konsumsi ransum domba penelitian ... 41
2. Data produksi feses, KCBK dan KCBO domba penelitian... 41
3. Data absorpsi Ca domba penelitian ... 42
4. Data absorpsi P domba penelitian... 42
5. Data absorpsi Mg domba penelitian ... 43
6. Data absorpsi Zn domba penelitian ... 43
7. Data pH urine dan produksi urine domba penelitian ... 44
8. Data bobot badan domba selama penelitian ... 44
9. Data kualitas semen domba penelitian pada awal perlakuan ... 45
10. Data kualitas semen domba penelitian pada akhir penelitian... 46
11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsumsi BK ... 47
12. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsumsi BO ... 47
13. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap KCBK... 48
14. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap KCBO... 48
15. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap absorpsi Ca ... 49
16. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap absorpsi P... 50
17. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap absorpsi Mg ... 50
18. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap absorpsi Zn ... 51
19. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap pH urine ... 51
20. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap produksi urine ... 52
21. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan ... 52
22. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap volume sperma ... 53
23. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap pH... 54
24. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap warna semen ... 54
25. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsistensi sperma ... 55
27. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap motilitas sperma ... 56
28. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap viabilitas sperma ... 56
29. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi sperma ... 57
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakan merupakan suatu kebutuhan yang amat penting dalam usaha untuk
meningkatkan produksi dan kualitas hasil ternak. Pemberian pakan pada ternak
harus sesuai dengan kebutuhan. Walaupun tidak terlepas dari faktor genetik,
namun manajemen lingkungan termasuk pemberian pakan merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi dalam menentukan produktivitas ternak. Faktor genetik
hanya mempengaruhi sekitar 30% sedangkan 70% dari produktivitas ternak
terutama pertumbuhan dan kemampuan berproduksinya, dipengaruhi oleh
lingkungan (Siregar 1994). Faktor lingkungan terdiri atas pakan, teknik
pemeliharaan, kesehatan, serta iklim, dan diantara faktor lingkungan tersebut,
pakan mempunyai pengaruh paling besar, yaitu sekitar 60% (Siregar 1994).
Pemberian pakan harus dapat memenuhi kebutuhan akan energi, protein,
lemak, serta vitamin dan mineral. Mineral berfungsi sebagai katalisator kerja
enzim, menjaga keseimbangan membran sel, dan berperan penting dalam aktivitas
mikroba rumen (Arora 1995). Pemberian pakan ternak juga harus memperhatikan
keseimbangan asam basa yang sangat berperan dalam menjaga sel-sel tubuh
menjalankan fungsinya secara normal.
Tubuh hewan terdiri atas banyak sel yang tersusun menjadi jaringan yang
kompleks. Masing-masing sel merupakan struktur yang hidup dan fungsi organ
dilaksanakan oleh sel-sel yang membangunnya. Sel-sel hewan memerlukan
lingkungan yang uniform dan stabil untuk menjalankan fungsinya. Pergeseran
kecil ke arah yang menyimpang dari keadaan keseimbangan yang optimal akan
mengganggu fungsi sel secara normal dan bahkan dapat mengancam kehidupan.
Montgomery et al. (1993) mengemukakan bahwa paru-paru dan ginjal
melalui sirkulasi cairan tubuh merupakan kesatuan sistem yang mempertahankan
pH darah. Keseimbangan asam basa di dalam darah dikontrol oleh tiga
mekanisme yaitu: sistem buffer, respirasi dalam hal pengambilan dan pelepasan
CO2 serta ekskresi dan absorbsi bikarbonat (Smith & Brain 1980).
Gangguan yang diakibatkan ketidakseimbangan asam basa diklasifikasikan
2
adalah kira-kira 7.4 (Dobson 1980). Ketidakseimbangan disebabkan oleh
perubahan tekanan CO2 terkait dengan fungsi respirasi dan sebaliknya
ketidakseimbangan oleh perubahan tekanan HCO3- penyebabnya adalah fungsi
metabolisme.
Keseimbangan asam basa dalam tubuh dapat dipengaruhi oleh kandungan
asam basa dalam pakan. Dietary cation-anion balance (DCAB) mempengaruhi
status asam basa tubuh ternak. Status ini tidak sama dengan level pH rumen, lebih
terkait kepada sistem asam basa darah. Dua kation yaitu sodium (Na) dan
potassium (K), serta dua anion yaitu chlorida (Cl) dan sulfur (S) merupakan
komponen dalam perhitungan DCAB.
Dietary cation anion balance (DCAB) banyak digunakan pada sapi kering
karena pengaruhnya terhadap parturient paresis (milk fever), pada sapi yang
sedang tumbuh karena pengaruhnya terhadap dry matter intake (DMI) dan
pertumbuhan, serta sapi perah laktasi karena pengaruhnya dengan DMI dan
produksi susu. Pemberian sodium bicarbonate sebagai buffer rumen pada hewan
yang diberi hijauan dan pakan kaya kalium dapat meningkatkan kadar
kation-anion pakan. Pemberian pakan yang kelebihan Cl dan S menunjukkan pengaruh
yang sangat tidak baik pada pH urine (Tucker et al. 1991) dan metabolisme Ca
sebagai hubungannya dengan milk fever (Jackson et al. 2001).
Pengukuran DCAB pada sapi laktasi telah banyak dilakukan, dan
membuktikan bahwa dengan adanya nilai negatif dan positif pada DCAB dapat
mempengaruhi produktivitas sapi. Selain itu juga mempunyai hubungan dengan
mineral-mineral lain, khususnya berhubungan dengan metabolisme Ca. Oleh
karena itulah pengukuran DCAB dan hubungannya dengan metabolisme mineral
3
Tujuan
1. Mengkaji pengaruh neraca kation anion ransum terhadap konsumsi, kecernaan
nutrien, absorpsi mineral dan kualitas semen.
2. Menentukan jenis ransum yang dapat memberi pengaruh optimal terhadap
konsumsi, kecernaan nutrien, absorpsi mineral dan kualitas semen.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan untuk dapat
digunakan dalam menjaga keseimbangan asam basa tubuh, sehingga diharapkan
dapat meningkatkan konsumsi, kecernaan nutrien dan kualitas semen.
Hipotesis
1. Neraca kation anion ransum mempengaruhi konsumsi, kecernaan nutrien,
absorpsi mineral dan kualitas semen.
2. Ransum dengan neraca kation anion negatif berpengaruh baik terhadap
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pencernaan Ruminansia
Domba sama dengan kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang
memiliki organ pencernaan yang terdiri atas empat bagian penting, yaitu mulut,
perut, usus halus, dan organ pencernaan bagian belakang. Kambing memiliki
abomasum (perut sejati) dan lambung muka yang terdiri atas tiga bagian, yaitu
rumen (perut beludru), retikulum (perut jala), dan omasum (perut buku). Pada tiga
bagian utama tersebut tidak terdapat mucus dan enzim pencernaan atau asam,
akan tetapi pencernaan bisa terjadi karena adanya aktivitas mikroorganisme di
dalam rumen dan retikulum (Annison 1965). Pada ternak ruminansia muda,
rumen dan retikulum masih kecil dan belum berkembang. Bila ternak muda
tersebut mulai mengkonsumsi makanan padat terutama hijauan, bagian
retikulorumen mulai membesar sehingga berukuran daya tampung isi makanan
yang mencapai 60 – 65% dari seluruh saluran pencernaan (Tillman et al. 1998).
Pencernaan merupakan rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang
dialami oleh bahan makanan di dalam alat pencernaan. Proses pencernaan
makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan dengan
proses pencernaan pada jenis ternak lainnya. Menurut Sutardi (1980) proses
pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis di dalam mulut, secara
fermentatif (oleh enzim-enzim yang berasal dari mikroba rumen) dan secara
hidrolisis (oleh enzim-enzim pencernaan induk semang).
Proses pencernaan domba dimulai dari mulut. Di dalam ruang mulut
ransum yang berbentuk kasar dipecah menjadi partikel-partikel kecil dengan cara
pengunyahan dan pengeluaran saliva. Sebelum ditelan masuk ke dalam ruang
retikulorumen cairan ini mengandung 85% air dan terdapat dalam dua bagian,
yaitu bagian bawah dan bagian atas. Bagian bawah cair dan mengandung
makanan halus dalam suspensi, sedangkan bagian atas lebih kering yang terdiri
atas makanan kasar dan padat seperti hijauan.
Ternak ruminansia mempunyai kemampuan mengembalikan makanan dari
5
(1998) menyatakan bahwa para ahli telah menemukan bolus-bolus dikunyah ulang
40 – 50 kali sebelum ditelan kembali.
Pada studi fisiologi pencernaan ternak ruminansia, rumen dan retikulum
sering dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum
disebut sebagai perut buku karena dipenuhi oleh lembaran jaringan (tissue leaves),
yaitu sekitar 100 lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi
pada organ tersebut ada penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan
elektrolit, serta ada produksi amonia dan mungkin asam lemak terbang (Forbes &
France 1993). Termasuk organ pencernaan bagian belakang adalah sekum, kolon,
rektum.
Proses pencernaan fermentatif di dalam retikulorumen terjadi sangat
intensif dan dalam kapasitas yang sangat besar. Proses pencernaan tersebut
terletak sebelum usus halus (organ penyerapan utama). Keuntungan produk
fermentasi adalah mudah diserap usus, dapat mencerna selulosa, dapat
menggunakan non-protein nitrogen seperti urea, dan dapat memperbaiki kualitas
protein pakan yang nilai hayatinya rendah. Kerugiannya adalah banyak energi
yang terbuang sebagai methan dan panas, protein bernilai hayati tinggi mengalami
degradasi menjadi amonia (NH3) sehingga menurunkan nilai protein, dan peka
terhadap ketosis atau keracunan asam yang paling sering terjadi pada domba
(Siregar 1994).
Retikulorumen merupakan tempat utama terjadinya proses fermentasi dan
didalamnya terdapat 1010 – 1011 bakteri dan lebih dari 107 protozoa per gram isi
rumen (Annison 1965, Banerjee 1978).
Penyerapan Zat-zat Nutrisi
Dalam tubuh akan terjadi proses metabolisme apabila ada asupan pakan dari
luar. Proses metabolime ini terdiri atas dua proses yaitu proses pembentukan
(anabolisme) dan proses pemecahan (katabolisme). Metabolisme dalam tubuh
berfungsi untuk menghasilkan energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari
dan untuk produktifitas. Beberapa makro nutrien yang mengalami proses
metabolisme dalam tubuh adalah karbohidrat, protein, lemak, air dan mikro
6
Karbohidrat merupakan zat makanan yang cepat mensuplai energi sebagai
bahan bakar tubuh, terutama jika tubuh dalam keadaan lapar (Piliang 2006).
Karbohidrat diklasifikasikan sebagai monosakarida, disakarida dan polisakarida.
Monosakarida utama yang terdapat dalam bentuk bebas dalam makanan ialah
glukosa. Pada hewan ruminansia apabila kadar glukosa darah sangat sedikit
sekali maka glukosa didapatkan dari pemecahan asam laktat menjadi propionat.
Semua volatile fatty acid (VFA) yang diproduksi dalam rumen dapat
menghasilkan energi, yaitu asetat, propionat dan butirat, tetapi propionat
merupakan satu-satunya sumber utama glukosa.
Zat makanan penghasil energi lainnya adalah lemak. Banyak fungsi-fungsi
tubuh yang sangat bergantung pada lemak. Beberapa komponen lemak adalah
trigliserida dan kolesterol. Lemak tidak dapat larut dalam air, sehingga molekul
lemak harus diemulsifikasi terlebih dahulu agar dapat bercampur dengan air.
Suatu zat pengemulsi (emulsifier) adalah suatu molekul yang mengandung
kelompok yang larut air dan kelompok yang larut dalam lemak. Kemudian lemak
dibawa melalui plasma dalam bentuk lipoprotein. Oleh karena plasma merupakan
media bersifat air (aqueous), maka lemak tidak dapat ditranspor tanpa adanya
suatu zat perantara, yaitu kelompok protein yang mempunyai kemampuan untuk
mengikat lemak, yang dalam hal ini suatu kelompok protein khusus berfungsi
untuk mengangkut atau mentransport lemak, diantaranya adalah low density
lipoprotein (LDL), mempunyai fungsi utama untuk mentransport fosfolipid dan
kolesterol ester, dan high density lipoprotein (HDL), mempunyai fungsi untuk
mentransport fosfolipid dan kolesterol lipid (Piliang 2006).
Selain makro nutrien, tubuh juga membutuhkan mikro nutrien untuk
stabilitas fungsi sel, salah satu mikro nutrien yang diperlukan adalah mineral.
Mineral merupakan unsur kimiawi yang diperlukan oleh jaringan hidup untuk
fungsi biologis normal. Berdasarkan jumlahnya, unsur-unsur tersebut
dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu unsur makro dan unsur mikro.
Unsur mineral makro diperlukan tubuh dalam jumlah relatif besar,
mencakup K, Na, Ca, P, Mg, S, dan Cl, mineral mikro yang diperlukan dalam
jumlah relatif jauh lebih sedikit dibandingkan mineral makro mencakup Zn, Cu,
7
Tillman et al. (1998) menyatakan secara umum mineral-mineral
mempunyai fungsi yaitu sebagai bahan pembentukan tulang dan gigi (menguatkan
dan mengeraskan jaringan), memelihara keseimbangan asam basa dalam tubuh,
sebagai aktivator sistem enzim tertentu, sebagai komponen suatu enzim dan
mempunyai sifat yang spesifik terhadap kepekaan otot dan syaraf. Annekov
(1982) menambahkan, faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan ternak akan
mineral yaitu tingkat produksi, umur, adaptasi, bangsa ternak, dan kandungan
berbagai zat makanan yang diberikan pada ternak.
Parakkasi (1985) menyatakan kebutuhan mineral dari ternak dipengaruhi
beberapa faktor, yaitu jenis dan tingkat produksi, tingkat dan bentuk ikatan
konsumsi, umur dan hubungan dengan zat makanan lain. Defisiensi
ketidakserasian atau keracunan mineral dapat menghambat produksi ternak dan
berakibat buruk pada penggunaan pakan (Sutardi 1980).
Mineral mikro yang mempunyai fungsi penting salah satunya adalah Zn.
Zink (Zn) terlibat terutama dalam metabolisme asam nukleat dan metabolisme
protein dan juga dalam proses penggantian sel. Zn juga penting untuk aktifitas
enzim. Enzim yang mengandung Zn antara lain anhidrase karbonat, urease,
dehidrogenase alkohol, dehidrogenase glutamat dan polimerase RNA dan DNA.
Zn ditemukan terikat dengan kelenjar insulin dan juga digunakan dalam
metabolisme vitamin A (Church 1988).
Pemberian mineral Zn dapat memacu pertumbuhan mikroba rumen dan
meningkatkan penampilan ternak (Hartati 1998). Little et al. (1986) melaporkan
bahwa kandungan Zn pada pakan ruminansia di Indonesia berkisar antara 20 – 38
mg/kg bahan kering ransum, nilai ini jauh dibawah kebutuhan ruminansia seperti
yang direkomendasikan NRC (1985) 40 – 50 mg/kg bahan kering ransum.
Jumlah penyerapan tergantung kepada jumlah dalam makanan dan permintaan
fisiologis. Hal ini berarti bahwa penyerapan meningkat bila jumlahnya dalam
makanan yang dikonsumsi dibawah kebutuhan. Penyerapan Zn akan menurun
bila kadar Ca tinggi. Defisiensi Zn dapat lebih ditoleransi oleh ternak bila kadar
Ca lebih rendah. Fosfor mempunyai pengaruh yang sama dengan Ca terhadap
penyerapan Zn. (Supriyati 2000). Tempat utama penyerapan Zn pada
8
rumen lebih besar dibandingkan usus halus (McDowell 1992). Ruminansia
dewasa mampu menyerap 20 – 40% Zn asal ransum, pada ternak muda lebih
tinggi lagi (Georgievskii et al. 1982). Masuknya Zn ke dalam membran sel usus
relatif cepat, sedangkan ketika masuk ke aliran darah relatif lambat.
Zn juga sangat diperlukan dalam fungsinya untuk sistem reproduksi, Zn
diperlukan dalam produksi sperma, perkembangan embrio dan tumbuh kembang
anak. Kekurangan Zn akan mengganggu proses pembentukan sperma dan
perkembangan organ seks primer dan sekunder pada hewan jantan. Kekurangan
zat gizi Zn tersebut pada pejantan menyebabkan menurunnya fungsi testikular
(testicular hypofunction) yang berdampak pada terganggunya proses
spermatogenesis dan produksi hormon testosteron oleh sel-sel Leydig. Testosteron
adalah hormon yang mempengaruhi libido dan ciri-ciri kelamin sekunder jantan.
Dilaporkan, kekurangan zat gizi seng akan merusak perkembangan dan fungsi
organ reproduksi pria/jantan pada hewan dan manusia. Dalam uji coba pada
hewan dengan memberikan diet rendah seng (2 ppm) selama 20 – 24 minggu
menyebabkan rusaknya perkembangan testikular dan proses pembentukan sperma
terhenti. Oleh karena itu, pria yang mengalami gangguan ereksi dan mandul
diduga kuat penyebabnya antara lain adalah kekurangan mineral seng.
Keseimbangan Asam Basa pada Ternak Ruminansia
Secara normal, di dalam tubuh ternak asam akan terus menerus diproduksi
dalam proses metabolisme dan yang paling banyak diproduksi adalah asam
karbonat, sedangkan pembentukan asam laktat dan asam keto merupakan
metabolit perantara. Produksi asam yang terus menerus ini menuntut agar ion
hidrogen dapat dipisahkan tanpa menyebabkan perubahan lingkungan.
Sistem buffer dalam mempertahankan pH akibat penambahan asam (H+)
atau basa (OH-) terdiri dari asam lemah (donor proton) dan basa konyugat
(akseptor proton) dan kekuatan buffer bukan merupakan sesuatu yang istimewa.
Dua reaksi kuilibrium timbal balik mendasar yang terjadi di dalam larutan donor
proton dan akseptor proton terjadi jika keduanya terdapat pada konsentrasi yang
9
Sistem buffer yang paling penting pada mamalia adalah sistem fosfat dan
bikarbonat (Lehninger 1990). Pada hewan mamalia, cairan tubuh total (total body
fluid) terdiri dari 1/3 bagian cairan ekstraseluler, yaitu cairan yang ada di luar sel,
terdiri dari plasma darah (blood plasma) dan interstitial (interstitial fluid), dan 2/3
cairan intraseluler yaitu cairan yang ada di dalam sel (cell fluid). Hampir 25%
dari komponen ekstraseluler adalah cairan intravaskuler yaitu cairan yang ada di
dalam sistem vaskuler dan 75% adalah cairan interstitial yaitu cairan cairan yang
ada di luar sistem vaskuler dan menggenangi sel.
Kadar elektrolit dalam berbagai kompartemen sangat jelas berbeda dalam
kandungan anion protein yang relatif rendah di dalam cairan interstitial
dibandingkan dengan di dalam cairan intrasel dan plasma. Selanjutnya Na+ dan
Cl- lebih banyak di cairan ekstrasel, dan K+ di cairan intrasel.
Perbedaan utama dalam komposisi kompartemen cairan tubuh (Tabel 1)
menunjukkan K+ sebagai kation penting dalam sel dan perpindahan Na+ secara
terus menerus ke dalam sel mendapatkan reaksi angkutan aktif kembali ke
ruangan ekstrasel mempertahankan konsentrasi K+ dalam kompartemen intrasel.
Tabel 1. Perbedaan utama komposisi kompartemen cairan tubuh
Cairan ekstrasel Cairan intrasel
Plasma Interstitial
Air (% berat badan tanpa
lemak
5 15 45 – 50
Kation utama Na+ Na+ K+
Anion utama Cl- Cl- HPO4=
Lain-lain Protein, glukosa Sedikit protein, glukosa Sumber : Montgomery et al. 1993.
Gangguan Terhadap Keseimbangan Asam Basa
Dobson (1980) mengklasifikasikan gangguan terhadap keseimbangan asam
basa atas dua kategori, yaitu asidosis dan alkalosis dengan kondisi normal pH
10
Tabel 2. Status asam basa dan pH darah, urine, cairan rumen serta respirasi pada ruminansia
Normal Alkalosis Asidosis
Darah pH 7.4 > 7.4 < 7.4
(HCO3-) : (H2CO3) 20 > 20 < 20
Urine pH 7.5 – 8.5 > 8.5 < 7.5
Rumen pH 5.5 – 7.0 > 7.0 < 5.5
Respirasi Ventilasi normal hiper hipo
Sumber : Kronfeld 1976.
Perubahan diakibatkan bekerjanya oleh fungsi pulmonarik atau fungsi
metabolik, atau keduanya menghasilkan asidosis atau alkalosis oleh kenaikan atau
penurunan dalam salah satu [HCO3] atau tekanan CO2. Ketidakseimbangan
disebabkan oleh perubahan tekanan CO2 terkait dengan fungsi respirasi dan
sebaliknya ketidakseimbangan oleh perubahan HCO3- penyebabnya adalah fungsi
metabolisme. Dengan demikian ada empat kondisi yang terjadi pada gangguan
keseimbangan asam basa yaitu asidosis dan alkalosis respiratori (respiratory
acidosis and alkalosis) dan asidosis dan alkalosis metabolitik (metabolic acidosis
and alkalosis).
Dietary Cation-Anion Balance (DCAB)
Dietary cation anion balance (DCAB) atau yang disebut pula sebagai
ransum berkeseimbangan kation-anion mengacu pada status asam basa hewan.
Status ini tidak berhadapan dengan tingkatan pH rumen, tetapi lebih ke systemic
(darah) asam basa. Ada empat mineral yang melibatkan perhitungan DCAB.
Persen yang berkenaan dengan aturan penggunaan dua kation, sodium ( Na) dan
potassium ( K) dan dua anion, klorid ( Cl) dan belerang (S) digunakan untuk
menghitung: DCAB= ( Na+ K)- ( Cl+ S) dimana DCAB dinyatakan dalam
milliequivalent ( meq) setiap 100 g bahan kering (BK). Milliequivalen untuk
masing-masing mineral sebagai berikut: Na, 0.023; K, 0.039; Cl, 0.0355; dan,
0.016. Kelebihan Na dan K adalah alkalogenic dan mendorong kearah suatu
peningkatan pH darah. Anion berkenaan dengan aturan penggunaan pakan, Cl
adalah acidogenic dan akan menurunkan pH darah (Ballantine 1998). Pada sapi
11
akan berhenti pada placenta, tetapi pada saat laktasi kebutuhan akan Ca akan
semakin meningkat. Hypocalcemia parturien paresis merupakan kesalahan
metabolisme yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pool Ca dalam
plasma, yang sekarang dikenal dengan istilah milk fever (Roche et al. 2003).
Parturien paresis diderita oleh sekitar 2 sampai 5% sapi-sapi di Australia (Caple
1987) dan 2% sapi-sapi di New Zealand (McDougall 2001).
Konsentrasi plasma Ca dibawah kontrol dari parathyroid hormone (PTH),
calcitonin, dan metabolisme vitamin D (Lindsay & Pethick 1983). Kehilangan Ca
dari plasma merupakan tanda kesalahan pada mekanisme homeostasis yang
merupakan akibat dari pemeliharaan eucalcemia (Ramberg et al. 1984).
Pembentukan hypocalcemia pada beberapa sapi sebagai akibat untuk
memperlambat mekanisme timbal balik ini. Bagaimanapun, pada beberapa
hewan, hypocalcemia tidak sepenuhnya menjadi tanda klinis dan level Ca darah
secepatnya akan kembali normal.
Stewart (1983) menunjukkan bahwa dengan penambahan anion merupakan
suatu solusi untuk menurunkan pH darah. Penambahan anion kedalam cairan
tubuh melalui suplementasi pakan dapat menurunkan pH cairan tubuh. Meskipun
demikian, pH darah yang tinggi telah diatur, variasi yang rendah dapat
mempengaruhi metabolisme Ca dan pakan prepartum dengan negatif dietary
cation-anion balance telah dapat menunjukkan peningkatan homeostasis calcium
periparturien. Rendahnya pH urine, merupakan indikator dari pH darah (Vagnoni
& Oetzel 1998), yang berhubungan dengan peningkatan absorbsi gastrointestinal
dan pengeluaran Ca.
Pada sapi perah, apabila keseimbangan kation-anion positif dalam ransum
semakin ditingkatkan, maka terjadi peningkatan pH darah dan urin (Hu & Murphy
2004), Na/creat, Cl/creat, dan S/creat (Roche et al. 2003a), jumlah konsumsi
ransum, jumlah produksi susu dan kandungan protein susu. Akan tetapi,
menurunkan K dan Cl darah (Hu & Murphy 2004), konsumsi bahan kering,
pertambahan bobot badan, dan kandungan protein susu (Roche et al. 2003a).
Sebaliknya, tidak mempengaruhi Na darah (Hu & Murphy 2004), P dalam feces
12
Apabila dilakukan penurunan keseimbangan kation-anion ransum sampai
menjadi negatif (dari +69 menjadi -12 meq/100 BK), maka terjadi peningkatan
Mg dan Ca darah, Ca/creat, Mg/creat, Cl/creat, S/creat, tetapi menurunkan
Na/creat dan jumlah konsumsi ransum (Roche et al. 2003b), pH darah dan urin
(Roche et al. 2003b; Castro et al. 2004).
Gambaran Umum Semen dan Reproduksi Domba
Organ kelamin domba jantan terdiri atas tiga komponen yaitu : (a) organ
kelamin primer yaitu testes, (b) kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu
kelenjar vesikularis, kelenjar prostat, kelenjar bulbourethralis dan saluran-saluran
terdiri atas epididimis serta duktus deferen, (c) alat kelamin luar yaitu penis
(Toelihere 1993).
Komponen-komponen yang penting pada gonad jantan adalah tubulus
seminiferus yang mensekresi sperma, dan sel Leydig yang terdapat pada jaringan
interstitial yang mensekresi androgen. Hal ini mudah ditunjukkan bahwa (kecuali
pada ayam) LH saja menstimulasi sel Leydig untuk mensekresi androgen, tetapi
untuk spermatogenesis yang sempurna diperlukan FSH, LH, dan mungkin juga
androgen. Androgen mempertahankan sifat seks sekunder (jenggot, suara, tanduk,
jengger, agresivitas, dan sebagainya) dan kelenjar aksesori (kelenjar-kelenjar
prostat, vesikula seminalis, dan kelenjar Cowper). Sekresi kelenjar aksesori
merupakan komponen essensial semen.
Menurut Toelihere (1993), semen adalah sekresi kelamin jantan yang
diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi, tetapi dapat
pula ditampung dengan berbagai cara untuk keperluan inseminasi buatan (IB).
Semen terdiri atas massa spermatozoa yang bersuspensi didalam medium
semigelatinous yang disebut plasma semen. Spermatozoa diproduksi didalam
tubuli seminiferi testes, sedangkan plasma semen disekresikan oleh epididymis
dan kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap lainnya, yaitu vesikularis dan prostata.
Menurut analisa kimia sperma dan plasma semen terdiri atas rangkaian zat-zat
organik tertentu, misalnya sekresi kelenjar vesika seminalis pada kambing
mengandung prostaglandin, suatu asam lemak tidak jenuh dengan C-20, yang
13
Proses pembentukan spermatozoa didalam tubuli seminiferi testes disebut
spermatogenesis. Siklus spermatogenesis pada ternak/hewan terdiri atas dua
tahapan, yaitu spermatositogenesis, dan spermiogenesis. Kedua tahapan ini
dicirikan oleh adanya pembelahan mitosis pada spermatogonia (2n) dan
pembelahan meiosis pada spermatosit (n) dan metamorfosis dari spermatid tanpa
ekor menjadi spermatozoa (n) dengan ekornya yang siap bergabung dengan oosit
(n) dalam proses fertilisasi untuk membentuk mahluk baru (2n) yang mewarisi
sifat-sifat genetik tetuanya. Waktu yang dibutuhkan mulai dari aktivasi
”stem-cell” sampai pelepasan spermatozoa ke dalam tubuli seminiferi mencapai 22 hari
pada kambing (Evans & Maxwell 1987), sedangkan pada domba dapat mencapai
46-49 hari (Toelihere 1993) dan dikontrol melalui mekanisme hormonal.
Pengamatan terhadap motilitas spermatozoa merupakan indikator fertilitas
spermatozoa yang dapat diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya.
Motilitas spermatozoa pada semen segar domba mempunyai rata-rata sekitar
60-80% (Garner & Hafez 2000), >90% (Arthur et al. 1996) dan 75% (Bearden &
Fuquay 1997). Motilitas spermatozoa sangat sensitif terhadap panas yang
berlebihan dan keberadaan benda asing serta bahan-bahan kimia yang dapat
mengganggu kelangsungan hidup spermatozoa (Ax et al. 2000).
Semen domba yang fertil secara normal tidak boleh mengandung lebih dari
15% spermatozoa abnormal (Ax et al. 2000). Menurut Bearden dan Fuquay
(1997), angka morfologi abnormal 8-10% tidak memberi pengaruh yang cukup
berarti bagi fertilitas, namun jika abnormalitas lebih dari 25% dari satu ejakulat
maka penurunan fertilitas tidak dapat diantisipasi.
Secara normal, rata-rata volume semen domba per ejakulasi adalah 0.8 -1.2
ml (Toelihere 1993), 0.5 – 2.0 ml (Arthur et al. 1996) dan 0.8 – 1.2 ml (Garner &
Hafez 2000). Menurut Toelihere (1993) semen domba memiliki volume yang
rendah tetapi konsentrasi yang tinggi, sehingga memperlihatkan warna krem/putih
susu. Konsentrasi spermatozoa domba yang normal adalah 2x109 – 3x109/ml
(Garner & Hafez 2000), 1.25x109 – 3x109/ml (Arthur et al. 1996) dan 2x109/ml
(Bearden & Fuquay 1997). Hubungan antara kekentalan/warna dengan
konsentrasi spermatozoa domba yang dikemukakan oleh Williams (1995) dapat
14
Tabel 3. Hubungan kekentalan/warna dengan konsentrasi spermatozoa domba
Skor Kekentalan/warna Konsentrasi spermatozoa (109 sperma/ml)
5 Krem tua 5.0 (4.5 – 6.0)
4 Krem 4.0 (3.5 – 4.5)
3 Krem pucat 3.0 (2.5 – 3.5)
2 Putih susu 2.0 (1.0 – 2.5)
1 Bening berwarna 0.7 (0.3 – 1.0)
0 Bening bersih 0
Sumber : Williams 1995.
Plasma semen mempunyai pH sekitar 7 dengan tekanan osmotik sama
dengan darah atau ekuivalen dengan NaCl 0.9%. Semen domba mempunyai pH
sebesar 5.9 – 7.3 (Garner & Hafez 2000; Bearden & Fuquay 1997). Semen
dengan konsentrasi yang tinggi bereaksi agak asam, sedangkan konsentrasi rendah
biasanya bereaksi agak basa.
Komponen utama plasma semen domba sebagian besar (75%) adalah air,
sedangkan natrium dan kalium merupakan kation utama dalam semen. Selain
mengandung mukoprotein, peptida, asam-asam amino bebas, lipida, asam-asam
lemak, vitamin dan berbagai enzim serta antiaglutinin (zat pelindung terhadap
aglutinasi kepala spermatozoa), dalam plasma semen juga ditemukan kandungan
persenyawaan organik spesifik seperti fruktosa, sorbitol, inositol,
15
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi semen antara lain
umur pejantan, musim, bangsa dan individu dalam bangsa (Memon & Ott 1981).
Untuk keberhasilan IB semen harus diproduksi dalam jumlah yang cukup dan
kualitas yang baik (Toelihere 1985). Selanjutnya dijelaskan bahwa kualitas semen
yang menurun dapat memperkecil angka konsepsi (angka kebuntingan) yang
dihasilkan. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap produksi semen
baik kualitas maupun kuantitas menurut Toelihere (1985) adalah makanan. Pada
prinsipnya kebutuhan makanan untuk reproduksi hewan jantan tidak melebihi
kebutuhan untuk pertumbuhan hewan muda atau untuk mempertahankan
kehidupan hewan dewasa dalam kondisi yang sehat. Ransum harus cukup
seimbang antara karbohidrat, protein dan mineral serta suplai vitamin yang
essensial untuk reproduksi. Tingkatan makanan yang rendah dapat menurunkan
jumlah sperma per ejakulat dan kehilangan libido.
Akibat kekurangan makanan kelenjar-kelenjar pelengkap akan lebih nyata
terganggu untuk pembentukan sperma. Sedangkan tingkatan makanan yang tinggi
menyebabkan pejantan menjadi lamban, sulit untuk berkopulasi karena malas,
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Kandang Penelitian Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor (IPB) pada bulan Maret – Mei 2007. Analisis sampel penelitian
dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Laboratorium Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PAU), dan Laboratorium Balai
Penelitian Tanah. Analisis kualitas semen dilakukan di Bagian Reproduksi dan
Kebidanan Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Materi Penelitian Ternak dan Kandang Percobaan
Domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba Garut jantan
yang berasal dari Garut dengan umur 2.5 tahun dan telah mencapai kematangan
seksual (sexual maturity). Jumlah domba yang digunakan dalam penelitian
sebanyak 12 ekor. Rataan bobot hidup awal domba penelitian per ekor 47 ± 5.22
kg. Domba tersebut dialokasikan ke dalam 4 perlakuan ransum. Domba
dipelihara secara acak dalam kandang individu dengan ukuran 1.25 x 1 x 0.75 m3.
Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Kandang individu
terletak dalam bangunan berupa sistem panggung dengan lantai papan dan beratap
asbes serta berventilasi baik. Di bawah kandang individu ditempatkan ram kawat
untuk koleksi feses. Pada perut domba dipasang ban yang diikat dengan karet
elastis ke punggungnya dan berfungsi sebagai popok, kemudian dibawahnya
terdapat pentil dengan selang yang dihubungkan dengan wadah penampung urine
17
Gambar 1. Bentuk kandang individu domba Garut yang dipakai dalam penelitian
Pemeliharaan Domba
Domba dipelihara selama 75 hari dengan 12 hari periode adaptasi, 14 hari
periode pendahuluan dan 49 hari pencatatan data. Pada awal domba datang
dilakukan penimbangan bobot awal dan pemberian vitamin, kemudian 7 hari
setelahnya dilakukan pemberian obat cacing. Pada satu minggu terakhir
dilakukan pengumpulan sampel urine dan feses. Setiap hari dilakukan
pembersihan kandang. Ransum diberikan 2 kali sehari setiap pukul 07.00 dan
14.00. Air minum selalu tersedia dalam ember dan setiap hari dilakukan
pembersihan ember dan penggantian air minum.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu di kandang dan analisis sampel
di laboratorium. Penelitian ini mengkaji empat perlakuan ransum, yaitu : Basal =
Ransum basal (RO), RN = RO + Suplementasi Zn-fitat 40 ppm, RB = RN +
DCAB (+40 mEq/100g), RA = RN + DCAB (-10 mEq/100g).
Ransum basal terdiri atas hijauan dan konsentrat yang dicampur menjadi
ransum komplit (complete feed). Bahan penyusun nutrien ransum basal yang
digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Ransum tersebut
dianalisis kandungan nutriennya termasuk mineral Na, K, Cl dan S total. Neraca
kation anion dihitung dengan menggunakan rumus Tucker et al. (1992) sebagai
berikut : DCAB = (Na + K) – (Cl – S) (meq/100 g BK ransum).
Ransum basal kemudian ditambah kation atau anion agar nilai DCAB
18
menyumbangkan Na dan K, sedangkan penambahan CaCl2 dan CaSO4
masing-masing menyumbangkan anion Cl dan S.
Zn-fitat ditambahkan sebagai sumber Zn, dibuat dengan cara menambahkan
ZnCl2 ke dalam filtrat hasil ekstraksi dedak padi dengan larutan asam asetat 1%
dan dengan perbandingan 1:3. Jumlah ZnCl2 yang ditambahkan ke dalam filtrat
hasil ekstrak, dihitung berdasarkan jumlah fitat yang terekstrak atau kandungan
fitat dalam ekstrak.
Sumber : Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PAU) * Laboratorium Balai Penelitian Pertanian
# Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok, dengan 4 perlakuan
dan 3 kelompok domba, yang dikelompokkan berdasarkan bobot tubuh domba.
Model linear rancangan percobaan adalah : Yij : µ + τi + Kj + εij ; Yij = respon
pengamatan yang memperoleh perlakuan ke-i kelompok ke-j, µ = rataan umum, τi
= pengaruh perlakuan ke-i, Kj = pengaruh kelompok ke-j, εij = galat.
Pelaksanaan Penelitian
1. Pada awal percobaan kandang dibersihkan dan diberi desinfektan, kemudian
setiap ekor domba jantan dikandangkan secara acak dan ditempatkan dalam
kandang individual.
2. Sebelum domba ditempatkan dalam kandang terlebih dahulu dilakukan
penimbangan bobot domba, kemudian dikelompokkan menjadi 3 tergantung
satuan bobot badannya. Bobot yang paling ringan diberi kode A, bobot
19
3. Seluruh domba penelitian diberi vitamin dan obat pencegah penyakit cacing.
4. Ransum perlakuan diberikan 2 kali sehari pada pk 07.00 dan 14.00. Air
minum diberikan secara ad libitum. Dilakukan penimbangan pada ransum
perlakuan yang diberikan dan sisa ransum keesokan harinya
5. Periode pendahuluan (prelium) untuk ransum perlakuan dilaksanakan selama
2 minggu, kemudian dilakukan pengambilan sampel selama 1 minggu.
Sampel yang diambil meliputi ransum yang diberikan, sisa ransum keesokan
harinya dan sampel feses. Dari feses yang diperoleh selama periode koleksi
diambil sampel sebanyak 10% per hari untuk analisis kecernaan dan kadar
mineral.
6. Koleksi semen dilakukan pada hari ke 49 setelah pemberian ransum perlakuan
dengan menggunakan vagina buatan.
Peubah Penelitian
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :
a. Konsumsi ransum harian (g/hari). Jumlah konsumsi ransum sehari diperoleh
dengan cara berikut : jumlah konsumsi (g) = jumlah ransum yang diberikan
(g) – jumlah sisa ransum keesokan harinya (g).
Sejumlah ransum yang diketahui beratnya diberikan setiap hari dan
penimbangan sisa ransum pada keesokan harinya, sebelum pemberian
ransum pagi hari, sehingga diketahui berapa konsumsi ransum ternak pada
hari itu. Ransum yang diberikan setiap harinya 3% bobot tubuh domba atau
disesuaikan dengan konsumsinya pada hari sebelumnya. Apabila konsumsi
ransum tidak bersisa maka untuk keesokan harinya pemberian selalu
ditambah jumlahnya.
b. Feses harian (g/hari). Pengumpulan feses dilakukan secara komposit.
Pengumpulan feses dilakukan selama 7 hari. Pengumpulan feses segar
dilakukan setiap hari pukul 7.00, setelah ditimbang beratnya kemudian
diambil 10% dari berat segarnya, kemudian diletakkan dalam kantung kertas
yang berpori untuk kemudian dimasukkan ke dalam oven 600 (Gambar2).
Hal tersebut dilakukan berturut-turut selama 7 hari, setelah terkumpul feses
kering oven 600 selama 7 hari kemudian ditimbang kembali serta dilakukan
20
Gambar 2. Pengumpulan feses domba harian
c. Kecernaan Bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO).
Kecernaan dihitung berdasarkan bahan kering dengan rumus :
Σ zat makanan dikonsumsi (g) - Σ zat makanan dalam feses (g) x 100%
Σ zat makanan dikonsumsi (g)
Selanjutnya jumlah zat-zat makanan tercerna dihitung dengan cara
mengalikan konsumsi bahan kering dengan kecernaan.
d. Kadar mineral (Ca, P, Mg dan Zn) dalam ransum, feses dan semen diukur
dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS).
e. Kualitas semen.
Pengukuran kualitas semen langsung dilakukan setelah semen ditampung.
Penampungan semen dilakukan dengan menggunakan alat vagina buatan
dengan bantuan domba betina pemancing (Gambar 3). Penampungan semen
dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 6.30 – 9.00, pada saat libido/birahi
tinggi. Setiap penampungan dilakukan pada tiga ekor domba dan segera
diperiksa kualitas makroskopis dan mikroskopisnya.
21
Evaluasi semen secara makroskopis, meliputi:
a. Volume (ml), pengamatan volume dilakukan dengan cara
pengamatan langsung pada tabung penampung semen yang memiliki
skala.
b. Warna ejakulat terdiri atas enam warna, yaitu : krem tua, krem, krem
pucat, putih susu, bening berwarna dan bening bersih, dapat dilihat
langsung dengan mata.
c. pH , nilai pH semen dilihat menggunakan kertas indikator pH 6.5 –
10.0 (dengan skala terkecil 0.2)
d. Konsistensi (uji kekentalan), diukur dengan cara memiringkan tabung
kemudian ditegakkan kembali pada posisi semula. Nilai kekentalan
dilihat dari kecepatan ejakulat kembali ke posisi semula. Ejakulat
memiliki nilai kental (K) jika waktu kembali ke posisi semula sangat
lambat, ejakulat memiliki nilai (S) jika waktu kembali ke posisi
semula lambat dan ejakulat memiliki nilai (E) jika waktu kembali ke
posisi semula cepat (encer).
Evaluasi semen secara mikroskopis, meliputi:
a. Gerakan massa (total gelombang dan kecepatan gerakan), diamati
dengan cara meneteskan sampel semen segar pada gelas objek tanpa
gelas penutup kemudian diamati dengan mikroskop cahaya
pembesaran objektif 10 kali. Semen mendapat nilai (-) jika tidak ada
gerakan, (-/+) jika ada sangat sedikit gerakan, (+) jika ada sedikit
gerakan, (+/++) jika terjadi gerakan yang agak besar, (++) jika terjadi
gelombang gerakan yang besar, (++/+++) jika terjadi gelombang
besar yang hampir menyerupai gumpalan awan yang menggulung dan
(+++) jika terjadi gelombang gerakan seperti awan yang menggulung.
b. Motilitas atau pergerakan individu (%), persentase motilitas adalah
perbandingan spermatozoa yang bergerak kedepan (progresif)
dibandingkan jumlah spermatozoa yang diamati. Pengenceran
dilakukan dengan menggunakan NaCl fisiologis. Jumlah sperma
motil progresif diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan
22
berbeda (atau 200 spermatozoa) dengan cara berurutan dan zig zag.
Penilaian yang diberikan dari angka 0% (tak ada yang bergerak)
sampai dengan 100% (seluruh spermatozoa bergerak ke depan).
c. Konsentrasi (juta/ml), diamati menggunakan haemocytometer
Neubauer, konsentrasi spermatozoa merupakan jumlah spermatozoa
yang terkandung dalam setiap milimeter semen. Pengukuran
konsentrasi dilakukan dengan cara semen dihisap dengan pipet
penghitung butir darah merah (eritrosit) sampai angka 0.5 kemudian
dilap dengan tisu kertas bagian ujung luar pipet tersebut dilanjutkan
dengan menghisap larutan eosin 0.2% sampai angka 101. Setelah itu
larutan tersebut dihomogenkan dengan cara diputar dengan tangan
membentuk angka 8 selama 2-3 menit. Sebagian larutan dibuang
dengan cara meneteskan pada kertas tisu, kemudian ujung pipet
disentuh pada bagian tepi gelas penutup (cover glass) yang terpasang
pada kamar hitung Neubauer. Larutan sperma yang masuk kedalam
kamar hitung dibiarkan mengendap dan dihitung sel spermatozoanya.
Perhitungan konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan cara
menghitung jumlah spermatozoa yang terdapat pada lima kotak
dalam kamar hitung haemocytometer.
d. Persentase hidup, dievaluasi dengan menggunakan pewarnaan eosin
(Toelihere 1993). Spermatozoa yang hidup ditandai oleh kepala yang
tidak menyerap zat warna, sedangkan yang mati ditandai oleh kepala
yang berwarna merah. Evaluasi dilakukan pada minimal 200
spermatozoa diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya
pembesaran 400 kali.
e. Morfologi (abnormal) (%), adalah persentase kerusakan spermatozoa
yang ditandai dengan adanya kelainan pada kepala dan ekor, dihitung
dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran objektif 40 kali
dan jumlah spermatozoa yang diamati sebanyak 200 ekor.
Pengukuran yang diberikan mulai dari 0% bila semua spermatozoa
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu Lingkungan
Suhu lingkungan kandang selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Domba yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis domba Garut yang
diperoleh dari daerah Garut dengan suhu lingkungan 23 – 250C. Suhu kandang
selama penelitian pada pagi hari masih tergolong sejuk, namun ketika siang hari
sangat panas yaitu berkisar antara 320C ± 1. Hal ini tentu sangat mempengaruhi
proses adaptasi domba dengan suhu lingkungan kandang. Pada awal kedatangan
domba hingga 10 hari, terjadi adaptasi yang mengakibatkan konsumsi ransum
belum stabil, sebagai salah satu mekanisme untuk menurunkan produksi panas
tubuh dan juga mengakibatkan pertambahan bobot badan pada periode tersebut
negatif.
Peningkatan suhu lingkungan menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan fisiologis pada domba, diantaranya adalah kenaikan suhu tubuh yang
akan mempercepat proses metabolisme sehingga terjadi timbunan energi yang
24
Konsumsi
Ransum yang bernilai DCAB berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap
konsumsi ransum pada domba Garut jantan. Pemberian ransum dengan
penambahan Zn fitat maupun pemberian nilai DCAB +40 dan -10 meq/100 g BK
tidak mempengaruhi palatabilitas pakan dan diduga tidak mengganggu selera
makan yang dikendalikan syaraf pusat. Roche et al. (2003b) menyatakan bahwa
apabila dilakukan penurunan DCAB ransum dari +69 menjadi -12 meq/100 g BK,
mengakibatkan penurunan konsumsi ransum. Hasil penelitian ini menggambarkan
bahwa pemberian ransum dengan DCAB +40 dan -10 meq/100 g BK secara terus
menerus selama 7 minggu tidak mempengaruhi konsumsi, karena domba diduga
telah mengalami adaptasi terhadap ransum dengan DCAB yang cukup ekstrim.
Rataan konsumsi nutrien oleh domba penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Penelitian pada ikan didapat hasil bahwa konsumsi ransum dan
pertumbuhan meningkat seiring dengan makin tingginya nilai DCAB.
Peningkatan laju pertumbuhan dicapai dengan tingginya konsumsi ransum
(Dersjant-Li et al. 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya hewan
cenderung menyukai ransum yang bersifat basa daripada asam. Kecukupan
ransum pada ternak berhubungan dengan pemeliharaan homeostasis tubuh. DCAB
-100 meq/kg pada ikan membutuhkan energi lebih untuk menjaga keseimbangan
asam basa tubuhnya, oleh karena itu untuk aktivitas makan ternak kekurangan
energi, yang menyebabkan konsumsi dan pertumbuhan rendah pada perlakuan ini
(Dersjant-Li et al. 1999).
Hasil penelitian menggambarkan bahwa keseimbangan asam basa tubuh
tidak berpengaruh terhadap DCAB +40 dan -10, sehingga nilai DCAB yang
digunakan pada pada penelitian ini masih dalam kisaran aman untuk konsumsi
25
Hasil penelitian menunjukkan bahwa DCAB ransum perlakuan tidak
berpengaruh terhadap KCBK dan KCBO ransum. Nilai DCAB +40 dan -10
meq/100 g BK ransum yang diberikan kemungkinan tidak mempengaruhi aktifitas
mikroba rumen dan pencernaan enzimatis pasca rumen. KCBK dan KCBO
ransum penelitian mempunyai nilai yang tinggi dan berarti bahwa ransum
perlakuan yang diberikan kepada domba penelitian berkualitas baik. Nilai KCBK
dan KCBO pakan yang diberikan kepada domba garut dapat dilihat pada Tabel 6.
Semakin tinggi angka kecernaan suatu bahan makanan maka menunjukkan
bahwa bahan makanan tersebut berkualitas baik untuk dikonsumsi ternak dan
dimanfaatkan untuk proses metabolisme tubuhnya. Hal ini dikarenakan pada
umumnya pakan dengan kandungan zat makanan yang dapat dicerna tinggi, maka
26
Menurut Anggorodi (1994), nilai gizi makanan antara lain diukur dari
jumlah zat-zat makanan yang dicerna, sedangkan kualitas suatu bahan makanan
dicerminkan dari angka konsumsi bahan kering. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kecernaan, yaitu: suhu, laju perjalanan makanan pada organ
pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, dan pengaruh
perbandingan dari zat-zat makanan lainnya.
Absorbsi mineral dapat dilihat pada Tabel 7. Ransum dengan nilai DCAB
-10 (RA) menurunkan absorbsi mineral Ca. Rendahnya absorpsi terkait dengan
tingginya kadar Ca dalam feses. Hal ini menggambarkan bahwa Ca ransum tidak
tersedia dan sulit diabsorpsi dalam kondisi nilai DCAB ransum negatif. Penelitian
pada manusia menunjukkan bahwa kadar protein yang tinggi cenderung
mengurangi utilisasi Ca, walaupun tidak mempengaruhi absorbsinya(Underwood
1997). Hal ini diduga terkait dengan jumlah sulfur yang disumbangkan protein
dalam mengendalikan asam basa tubuh dan metabolisme Ca. Ransum dengan nilai
DCAB yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap absorbsi mineral lain
selain Ca. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya kation atau anion dalam ransum
tidak mengganggu ketersediaan dan kebutuhan ternak terhadap P, Mg dan Zn.
Tabel 7. Rataan kecernaan dan absorpsi mineral domba penelitian
Keterangan : Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
pH Urine dan Produksi Urine Domba
Tabel 8 menunjukkan perubahan pH urine dan produksi urine domba
penelitian yang mendapat ransum dengan DCAB yang berbeda. Ransum
perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap pH urine dan produksi urine domba.
Hal ini berarti bahwa ransum perlakuan pada penelitian ini tidak mengganggu
27
meningkat dengan adanya peningkatan DCAB. Data tersebut menggambarkan
bahwa domba Garut dapat beradaptasi dengan perubahan nilai DCAB ransum
antara 40 sampai dengan -10. Proses adaptasi domba salah satunya adalah dengan
cara memperbanyak konsumsi air minum yang dapat dilihat dari jumlah produksi
urine. Ternak secara alami akan menjaga homeostasis tubuhnya dengan cara
mengambil air dalam jumlah yang banyak apabila tubuhnya kehilangan air yang
banyak pula, sebaliknya akan menghindari pemasukan air yang terlalu banyak
kedalam tubuhnya apabila air yang keluar juga sedikit (Isnaeni 2006).
Penelitian pada kambing menunjukkan bahwa dengan penggunaan DCAB
+75 Meq/kg akan menyebabkan pH urine turun tapi dengan periode waktu akan
meningkat dan kemudian akan semakin turun hingga mencapai 6.5, dan bersifat
acidosis, sedangkan untuk DCAB 0, -75 dan -150 Meq/kg akan lebih stabil
dengan pH 5.5 – 6.0. Selain itu, pengambilan urine 5 – 7 jam setelah pemberian
ransum dan garam memberikan waktu yang baik untuk melihat pengaruh
perlakuan terhadap nilai pH, dikatakan bahwa pada waktu tersebut urine mulai
menunjukkan perubahan pH (Jones 2006).
Hasil penelitian dengan menggunakan DCAB -10 dan +40 Meq/100 g BK
memberikan nilai pH dalam kisaran normal yaitu 8.0 – 9.1, hal ini mungkin
dikarenakan pengambilan urine yang terlalu lama setelah pemberian pakan dan
garam, sehingga telah tercampur dengan urine yang sudah beradaptasi dengan
konsumsi air minum.
Tabel 8. Rataan pH urine dan produksi urine domba penelitian
Perlakuan Peubah
Basal RN RB RA
pH urine 8.6 ± 0.5 9.1 ± 0.1 8.7 ± 0.4 8.0 ± 0.5
Produksi urine