SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Ahmad Fauzi 106034001202
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(STUDI ANALISIS METODOLOGI PENAFSIRAN AL-QUR’AN KARYA AL-SABÛNÎ)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Ahmad Fauzi
106034001202
Pembimbing
Dr. Mafri Amir, M.A.
NIP: 19580301 1992031 001
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Penafsiran al-Qur’an Karya al-Sâbûnî )” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana program strata satu ( S1 ) pada jurusan Tafsir-Hadis.
Jakarta, 2 September 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua,
Dr. Bustamin, M.Si. NIP: 19630703 199803 1 003
Sekretaris,
Rifqi Muhammad Fathi, M.A. NIP: 19770120 200312 1 003
Anggota I,
Prof. Dr. Ahmad Mubarok NIP: 150 050 741
Anggota II,
Ahmad Rifqi Mukhtar, M.A. NIP: 19690822 199703 1 002 Pembimbing,
ABSTRAK
“Islam sebagai agama terbesar di dunia memuliki peran penting dalam menjaga moral manusia. Ia diharapkan mampu memberikan peran aktif dalam memajukan peradaban dunia. Muhammad sebagai pembawanya hanya mengatakan bahwa ia meninggalkan dua hal bagi umatnya, yakni alquran dan hadis. Di sisi lain sejarah hidupnya menjadi bagian penting dari pembentukan sejarah peradaban manusia. Peradaban yang bersih dan penuh kejujuran dari tindakan korupsi. Korupsi yang saat ini menjadi extra ordinary crime harus menjadikan Islam memiliki jawaban tersendiri dalam memberi solusi terhadapnya. Dan hadis yang menjadi gambaran kehidupan nabi menjadi penting untuk diketahui karena telah memberi jawaban solutif terhadap korupsi. Karena memang korupsi bukan barang baru untuk diatasi oleh umat islam. Sehingga bentuk kontekstualisasi hadis adalah kemutlakan pilihan dalam era yang berbeda ini, yakni era yang lebih modern dengan budaya yang berbeda, istilah yang berbeda, dan sistem hukum yang berbeda. Atau bahkan definisi korupsi yang rumit ditemukan dalam kesalahan dan kebenaran tindakan.”
Kata Kunci : Muhammad, Hadis, Korupsi, Teks, dan Konteks
vii
"Islam as the world's largest religion has an important role in maintaining human morality. It is expected to provide an active role in advancing world civilization. Muhammad as a prophet only says that he left two things for his people, Quran and Hadith. On the other hand the history of his life became an important part of the formation history of human civilization. Civilization is clean and full of honesty from acts of corruption. Corruption is now a crime must be extraordinary to make Islam has its own answer to give a solutions. And Hadith, that a description of the life of the prophet became important to know because it has given answers solutes against corruption. Because corruption is not new to resolved by the Islamic Ummah. So the form of contextualization of the hadith is the absoluteness of different options in this era, namely the more modern era with a different culture, different terms, and different legal systems. Or even an elaborate definition of corruption found in the error and truth of action."
Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah swt, yang dengan taufiq-Nya penelitian berjudul “Safwat al-Tafâsîr ( Studi Analisis Metodologi
Penafsiran al-Qur’an Karya al-Sâbûnî ) ini dapat selesai, demikian juga,
salawat serta salam smoga tercurahkan untuk Rasulullah saw.
Sebagai karya tulis yang da’if, terutama di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaah dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materil. Atas segala bantuan tersebutpenulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada:
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F.,MA (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir-Hadis) dan Rifqi Muhammad Fatkhi, MA (Sekjur Tafsir-Tafsir-Hadis).
2. Dr. Mafri Amir, MA, selaku pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing, dan mengarahkan penulisan skripsi ini.
3. Ahmad Rifqi Mukhtar, MA yang telah banyak memberikan masukan, arahan dan motivasi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
x
5. Kedua orang tua penulis H. Moh. Nur Sasi dan Hj. Hafizoh yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, pendidikan, dan pengajaran, serta senantiasa mendoakan penulis untuk mencapai kesuksesan di masa depan. 6. Kakak ( Umniyati ), abang ( Riky Syolihin, Mahfuz, dan Moh. Yasin Nur ),
adik ( A. Fakhrurrazi ) serta keponakan ( A. Fatih Taftazani dan Fawwaz al-Banna ) penulis yang selalu setia memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi.
7. Sahabat-sahabat penulis di mana pun berada khususnya Syaima Muhammad, sahabat-sahabat penulis mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007 ( Ubed, Zami, Hasan, Haikal, Khalid, Irfan, Tubi, Umam, dll ), dan teman-teman KKN Hura-Hura yang telah berjuang bersama penulis selama ini. Dan juga tak lupa untuk kakanda di Komisariat HMI Fakultas Ushuluddin khususnya Kanda Fajar, Kanda Muamar, dan Kanda Fikri yang telah memberikan pelajaran dan pengalaman yang sangat banyak bagi penulis
8. Terakhir, untuk seluruh orang yang pernah melihat saya, bertemu dengan saya, dan bertukar pikiran dengan saya.
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا tidak dilambangkan
ب B be
ت T te
ث Ts te dan es
ج J Je
ح H h dengan garis bawah
خ Kh ka dan ha
د D da
ذ Dz De dan zet
ر R Er
ز Z Zet
س S Es
ش Sy es dan ye
ص S es dengan garis bawah
ض D de dengan garis bawah
ط T te dengan garis bawah
ظ Z zet dengan garis bawah
ع ‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
غ Gh ge dan ha
ف F Ef
ق Q Ki
ك K Ka
ل L El
م M Em
ن N En
1
Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105
ـه H Ha
ء ‘ Apostrof
ي Y Ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
___
___ a fathah
______ i kasrah
___ u dammah
___
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي__َ__ ai a dan i
__َ __
و au a dan u
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﺎَــ â a dengan topi di atas
ﻲــ î i dengan topi di atas
ﻮـــ û u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tashdid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tamarbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
no Kata Arab Alih aksara
1 ﺔﻘ ﺮﻃ tarîqah
2 ﺔ ﻣﻼﺳﻹاﺔﻌﻣﺎ ﻟا al-jâmî ah al-islâmiyyah
3 دﻮﺟﻮﻟاةﺪﺣو wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
v ii
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad saw. Al-Qur’an sebagaimana diyakini oleh umat Islam merupakan kalâm Allah. Dari dulu hingga sekarang umat Islam telah sepakat bahwa al-Qur’an adalah kitab Allah yang kekal, tidak terbatas pada dimensi ruang dan waktu dan tidak ada sedikitpun keraguan. Al-Qur’an juga diakui sebagai teman berdialog yang sempurna serta diturunkan sebagai gambaran cara yang benar bagi setiap orang serta memberikan jalan keluar dari berbagai kesulitan dan masalah yang muncul dihadapan manusia.1
Salah satu dari fungsi al-Qur’an adalah sebagai petunjuk yang universal-eternal. Universal dalam arti berlaku di mana saja, menjangkau seluruh letak geografis dan eternal dalam arti bahwa al-Qur’an berlaku kekal abadi untuk selama-lamanya sampai akhir zaman. Ini adalah pandangan teologi umat Islam bahwa al-Qur’an cocok untuk setiap waktu dan tempat.
Objek kajian penafsiran adalah al-Qur’an, kitab suci yang dibawa oleh nabi Muhammad untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Tidak diragukan lagi di dalamnya terdapat mukjizat baik dari susunan katanya maupun makna yang dikandungnya.
1 Muhammad al-Ghâzali, Berdialog dengan al-Qur’an; Memahami Kitab Suci dalam
Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasulullah saw sendiri sabagai mufasir yang menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dapat dipahami atau yang samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai wafatnya Rasulullah saw, walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua bisa diketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena Rasulullah sendiri tidak menjelaskan semua kandungan al-Qur’an.2
Tafsir al-Qur’an berkembang terus sesuai dengan zaman. Kitab-kitab tafsir yang begitu banyaknya dalam kepustakaan Islam adalah salah satu buktinya. Namun, ini bukan berarti usaha menafsirkan al-Qur’an sudah menjadi sesuatu yang final dan sudah tercukupi dengan kitab-kitab tafsir yang sudah ada, yang ada kalanya pada tingkatan tertentu kitab-kitab tersebut sudah tidak layak/ relevan dengan situasi yang dihadapi sekarang. Permasalahannya adalah karena kitab-kitab tersebut ditulis pada masa dan tempat tertentu yang berbeda-beda, sedangkan masa dan tempat yang berbeda tersebut pasti akan mempengaruhi produk tafsirnya, sehingga akan sangat mungkin sekali produk tafsir pada satu masa kurang cocok atau bahkan tidak cocok sama sekali pada masa yang lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Syahrur bahwa al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntunan era kontemporer yang dihadapi umat manusia.3 Akan Tetapi Tidak boleh diingkari, bahwa kitab-kitab terdahulu masih memiliki peran yang penting, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat.
2
M.Quraish Sihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan,1996), ,h.71
3 Adul Mustaqim, “kata pengantar editor” dalam Studi al-Qur’an Kontemporer, Abdul
Berkaitan dengan anggapan adanya pengaruh masa dan tempat terhadap karya tafsir ini, Muhammad Arkoun berpendapat bahwa al-Qur’an tunduk pada kesejarahan.4 Ungkapan ini mungkin dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa al-Qur’an termasuk juga penafsiran terhadapnya itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya.
Kegiatan penafsiran al-Qur’an di dunia Islam tampak sangat bergairah. Hal ini ditunjukkan oleh begitu banyaknya kitab-kitab tafsir yang dicatat dalam khasanah kepustakaan Islam. Pada generasi permulaan penafsiran, Mufassir lebih condong kepada tafsir bi al-Ma’tsûr. kemudian barulah di abad pertengahan penafsiran al-Qur’an berkembang dengan gabungan antara tafsir bi al-Ma’tsûr dan bi al-Ra’yi.
Secara garis besar generasi penafsiran al-Qur’an terbagi menjadi tiga generasi, yaitu: periode klasik, periode pertengahan, dan periode kontemporer.5
Periode klasik, sebagaimana yang telah dipetakan oleh Muhammad Husein al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn terbagi menjadi terbagi menjadi tiga tahap: tafsir al-Qur’an masa Nabi dan Sahabat, tafsir al-Qur’an masa Tabiin, dan tafsir al-Qur’an pada masa kodifikasi. Dalam kata lain periode klasik merentang dari masa Nabi Saw, Sahabat,6 dan tabiin.7
4 Farid Esack, al-Qur’an, Liberalisme, dan pluralisme; Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000) h. 69
5
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an. ( Yogyakarta; Pustaka Insan Madani,2008) h. 21
6
Periode ini bertumpu pada katagorisasi sejarah Islam yang dicetus Harun Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Menurutnya, periode ini merujuk pada tahun 650 M hingga 1206 M. Akan tetapi, sangat minim sekali khasanah tafsir yang dihasilkan pada priode ini yang sampai pada masa kini dengan utuh. Yang hanya sampai, yaitu serpihan penafsiran mereka melalui nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka.
Periode kedua, yaitu periode pertengahan. Periode ini dimulai sejak 1250 M hingga 1800 M. Periode ini merupakan zaman keemasan ilmu pengetahuan. Pada periode ini banyak sekali Mufassir-mufassir yang bermunculan, dan menghasilkan karya-karya tafsir yang masih bias dirasakan pada masa kini. Penafsiran pada periode ini syarat atas kepentingan idiologis Mufassirnya. Diantara Mufassir pada periode ini adalah Ibn Jarîr al-Tabari (w. 256 H) “ Jâmi’ Bayân Fi Tafsîr Qur’an”, Zamakhsyari (w. 538 H) “Tafsîr al-Kasyâf”, al-Râzi “Mafâtih al-Ghaib”, dan al-Baidâwi “Tafsir Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl”.
Periode ketiga, yaitu periode kontemporer. Periode ini disebut juga sebagai periode moderen yang dimulai selepas tahun 1800 M sampai sekarang. Generasi kontemporer beranggapan bahwa kitab-kitab tafsir di masa lampau
Usman bin Affan, Anas bin Malik, Abu Huraira, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr, bin Ash, dan Aisyah.
7
lebih menyibukkan diri dalam masalah bahasa, dan belum maksimal untuk mengfungsikan al-Qur’an sebagai petunjuk. Diantara muffasir yang tergabung dalam periode ini adalah Muhammad Abduh, Rasyid Rida, Mahmud Syaltut, Tantawi Jawhari, Amin al-Khauli, Amina Wadud dan lain-lain termasuk mufassir-mufasir dari daratan Indonesia.
Dalam ketiga periode tersebut, semua mufassir menggunakan metode, sumber, dan corak yang berbeda-beda. Metode penafsiran al-Qur’an terdiri dari metode Tahlili, Maudu’i, Muqarran, dan Ijmali. Sedangkan Sumber penafsiran terdiri dari tafsir bi al-Ra’yi dan bi al-Ma’tsûr. Dan corak penafsiran terdiri dari Fiqhi, Sufi, Falsafi, Ilmi, dan Adabi Ijtima’i.
Perbedaan metode, sumber, dan corak penafsiran tersebut dilandasi oleh perbedaan latar belakang pendidikan, kondisi sosial, politik dan lain-lain yang dapat mempengaruhi penafsiran seorang mufasir. Perbedaan ini sebagai bukti bahwa al-Qur’an mencangkup seluruh zaman dan tempat.
juga seputar masalah kebahasaan. Dalam tafsir ini bahasa yang digunakan di dalamnya tidak begitu sulit untuk dipahami oleh para pelajar yang ingin mendalami makna dan maksud yang terkandung di dalam al-Qur’an
Karena pentingnya tafsir ini digunakan pada masa kini, maka penulis menganggap penting pula, tafsir ini dikaji dari segi metodologi yang dipakai, dan mengingat belum ada buku atau literature yang mengupas tentang kitab Safwat al-Tafâsîr. Oleh karena itu penulis memberi judul skripsi ini “Safwat al-Tafâsîr ( Study Analisis Metodologi Penafsiran Qur’an Karya al-Sâbûnî).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam mengurai skripsi ini, penulis hanya membahas seputar metodologi penafsiran yang digunakan al-Sâbûnî dalam kitab Safwat al-Tafâsîr. Hal tersebut melingkupi metode, sumber, dan corak penafsiran yang ia pakai. Disamping itu penulis juga membahas seputar sejarah hidup al-Sâbûnî , karya-karyanya dan motivasi penulisan Safwat al-Tafâsîr.
Adapun perumusan masalah yang ingin penulis angkat adalah “Bagaimana metodologi penafsiran al-Sabûnî dalam kitab Safwat al-Tafâsîr ?”.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah
2. menambah khasabah keilmuan Islam terutama dalam mengetahui metodologi penafsiran yang digunakan Sâbûnî dalam kitab Safwat al-Tafâsîr
3. Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S ) I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun manfaat skripsi ini adalah:
1. Mengetahui metodologi penafsiran yang digunakan al-Sâbûnî dalam tafsir Safwat al-Tafâsîr.
2. Menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar sarjana Strata ( S ) I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang metodologi yang dipakai seorang mufassir dalam tafsirnya sudah banyak dibahas baik tafsir yang berbahasa Arab atau pun tafsir yang berbahasa Indonesia, seperti:
1. Metode dan Corak Penafsiran al-Qur’an dalam Tafsir al-Dûr al-Mansûr fi Al-Tafsîr al-Ma’tsûr karya Jalaluddin al-Suyûthi. Skripsi ini membahas tentang metode dan corak yang digunakan al-Suyûthi dalam menafsirkan Tafsir al-Dûr al-Mansûr fi al-Tafsir al-Ma’tsûr.
al-Ghaib, pengaruh Mafatih al-Ghaib terhadap tafsir-tafsir setelahnya, dan pandangan ulama terhadap Fakhr al-Din al-Râzi dan tafsirnya.
3. Tafsîr al-Ibriz ( Study atas Metodologi Penafsiran Bisri Mustafa ). Skripsi ini membahas analisis terhadap sumber, metode, dan corak dalam Tafsîr al-Ibriz.
4. Mengenal Tafsir Tarjuman al-Mustafîd karya Abd al-Rauf Singkel (Analisa Terhadap Sumber, Metode, dan Corak Tafsir Tarjuman al-Mustafîd). Skripsi ini membahas analisa sumber, metode, dan corak Tafsir Tarjuman al-Mustafîd, dan kontribusinya terhadap mufasir setelahnya. Selanjutnya penulis hanya menemukan penelitian yang membahas tentang salah karya dia, yaitu: Tafsir Ayat al-Ahkâm (Studi Atas Metode Tafsir Ayat al-Ahkâm karya al-Sâbûnî). Dalam skripsi ini, hal yang pertama dibahas adalah Tinjauan Umum tentang Tafsir Ayat al-Ahkam. Kemudian membahas metode Tafsir Ayat al-Ahkâm pra al-Sâbûnî. Dan yang terakhir membahas biografi al-Shâbûnî dan metode Tafsir Ayat al-Ahkâm karya al-Sâbûnî.
Sedangkan penelitian tentang kitab Safwat al-Tâfâsîr belum penulis temukan, baik yang membahas isi tafsir ataupun metodologi yang dipakai di dalamnya. Oleh karena itu penulis ingin meneliti metodologi yang digunakan dalam kitab Safwat al-Tafâsîr, dengan harapan bisa memberikan deskripsi tentang metodologi penafsiran Safwat al-Tafâsîr.
E. Metodologi Penelitian
macam liteatur yang relevan dan menelaah dengan pokok masalah yang dibahas. Adapun buku yang menjadi rujukan utama/ sumber primer dalam penulisan skripsi ini adalah kitab Safwat al-Tafâsîr karya al-Sâbûnî.
Adapun metode pembahasan skripsi ini adalah deskriptif analisis. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang metodologi penafsiran al-Qur’an secara jelas, kemudian metodologi penafsiran tersebut dianalisa kembali sesuai dengan sumber data yang penulis peroleh.
Sebagai pedoman penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.
F. Sistematika Penulisan
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika penulisan.
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari empat bab, setiap bab dibagi menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yag antara satu dan lainnya saling berkaitan.
Adapun bab pertama, diawali dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi signifikansi studi ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka , tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
al-Qur’an, baik sumber, metode, dan corak penafsiran secara umum. Karena ketiganya sangat berpengaruh dalam penulisan tafsir al-Qur’an.
TINJAUAN UMUM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
A. Pengetian Terjemah, Tafsir, dan Ta’wil
1. Pengertian Terjemah
Terjemah secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Arab
ﺔﻤﺟﺮ
isim masdar dari
"
ﻢﺟﺮ
“
yang artinya menterjemahkan, menerangkan.1Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia terjemah diartikan menyalin
(memindahkan) dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain atau mengalih
bahasakan..
Muhammad bin Sâlih dalam kitabnya Usûl fi al-Tafsîr, mengatakan
bahwa kata terjemah menurut bahasa adalah menetapkan suatu makna
yang mampu memberikan keterangan dan kejelasan.2
Secara terminologi (istilah) kata terjemah yang dalam bahasa arabnya
“
ﺔﻤﺟﺮ
“
adalah sebagai berikut:Muhammad bin Sâlih dalam kitabnya Usûl fi al-Tafsîr, mengatakan
bahwa terjemah menurut istilah yaitu, menerangkan suatu pembicaraan
dengan menggunakan bahasa yang lain.3
Menurut Abu al-Yaqzan ‘Atiyyah al-Jaburi dalam kitab Dirâsah Fi
al-Tafsir wa Rijâlihi, terjemah didefinisikan menjadi dua:
1
Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir. Kamus Bahasa Indonesia- Arab.
2
Muhamma bin Salih al-Usaimin, Usûl fi al-Tafsîr, ( Al-Maklakah al-‘Arabiyyah: Dar Ibn al-Qayim, 1989) Cet. Ke 1, h. 31
3
1. Memindahkan suatu kalâm (pembicaraan) dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dengan tidak menerangkan makna asal dari kalam
yang diterjemahkan.
2. Menafsirkan suatu kalâm (pembicaraan) dan juga makna kalâm
(pembicaraan) tersebut dalam bahasa yang lain.4
Sedangkan Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqâni dalam kitabnya
Manâhil al-‘Irfân Fi ‘Ulûm al-Qur’an, mendefinisikan terjemah menjadi empat pengertian:
1. Menyampaikan kalâm (pembicaraan) kepada orang yang belum pernah
menerimanya.
2. Menafsirkan kalâm (pembicaraan) dengan memakai bahasa itu sendiri.
3. Menafsirkan kalâm (pembicaraan) dengan memakai bahasa selain
bahasa kalam itu.
4. Mengalihkan suatu kalâm (pembicaraan) dari suatu bahasa ke dalam
bahasa yang lain.5
Sedangkan menurut al-Dzahabi, terjemah terbagi menjadi dua pengerian:
1. Mengalihkan suatu kalâm (pembicaraan) dari suatu bahasa ke dalam
bahasa lain tanpa menjelaskan makna asal yang diterjemahkan itu. Hal
seperti ini dilakukan dengan menetapkan sinonim pada tempat
sinonimnya dari satu bahasa.
4
Abu al-Yaqzan ‘Atyyah al-Jaburi, Dirâsah Fi al-Tafsir wa Rijalih, (Bairut: Dar al- Nadwah al-Jadidah, 1996) cet. Ke- 3 h. 9
5
2. Menjelaskan suatu pembicaraan dan menerangkan makna-maknanya
dengan bahasa lain.6
Dari keempat pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa terjemah yang
berasal dari bahasa arab yaitu
“
ﺔﻤﺟﺮ
“ mempunyai arti secara umumyaitu memindahkan suatu kalâm (pembicaraan) dari suatu bahasa ke
bahasa yang lain dan mengungkapkan suatu pengertian dengan kalâm
(pembicaraan) yang lain dalam bahasa yang lain, dengan memenuhi arti
dan maksud yang terkandung di dalam pengertian tadi.
Lebih lanjut lagi Manna’ Khalîl al-Qattân mengklasifikasikan terjemah
menjadi dua bagian yaitu:
1. Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari suatu bahasa ke
dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain, sehingga susunan dan
tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama
2. Terjemah tafsîriyah atau maknawiyah, yaitu menjelaskan makna kalâm
(pembicaraan) dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib bahasa
asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.7
Menurut al-Dzahabi secara harfiyah terjemah al-Qur’an, dibagi
menjadi dua bagian:
1. Tarjamah Harfiyah Bi al-Mitsli, yaitu menerjemahkan susunan al-Qur’an dengan bahasa lain sedikit demi sedikit sesuai dengan keadaan
mufradaât yang akan diterjemahkan dengan kedudukan uslûbnya
6
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: dar Kutub al-Hadisah, 1996), Jilid I h. 23
7
sehingga terjemah itu mencukupi apa yang terkandung dari makna asli
majâz dan ketentuan tasyri’.
2. Tarjamah Harfiyah Bi Ghairi al-Mitsli, yaitu menerjemahkan bahasa al-Qur’an sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan penerjemah.
Selanjutnya al-Dzahabi berkesimpulan bahwa arti terjemah secara
harfiyah ini bukanlah tafsir bagi al-Qur’an karena hanya mengganti dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain, tidak mengungkapkan serta
menjelaskan objek al-Qur’an, tidak menghasilkan konklusi hukum, tidak
menjelaskan keadaan dari segi makna, dan di dalamnya tidak menyangkup
hal-hal yang meliputi pengertian tafsir yang biasa dikenal.8
2. Pengertian Tafsir
Secara etimologi (bahasa) kata tafsir diambil dari kata
"
ﺮ ﺴ ﻟا
"
isim mashdar dari
"
ﺮﺴ
"
,
yang berarti menerangkan, menjelaskan,memberi komentar, dan penjelasan.9 Kemudian kata tafsir juga dapat
diartikan pelepasan dan pembebasan.10
Secara terminologi (istilah) kata tafsir dapat diartikan suatu ilmu yang
membahas tentang al-Qur’an al-Karîm dari segi penunjukannya terhadap
maksud firman Allah swt, sesuai dengan kemampuan manusia.11
8
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn Jilid I h. 26
9
Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir. Kamus Bahasa Indonesia- Arab
10
Yusur Qardhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999) h.209
11
Menurut Abu Hayyan, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang
al-Qur’an al-Karîm dari segi petunjuk-petunjuknya guna menyikapi makna
yang dikehendaki Allah swt, sesuai dengan kemampuan manusia.12
Sedangkan Hasan al-Banna mendefinisikan penafsiran al-Qur’an yaitu
memahami al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab yang tidak
dibuat-buat dan dipaksakan.13
M. Quraish Shihab menyatakan, bahwa tafsir adalah suatau upaya
memahami maksud-maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan
manusia.14
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa objek
pembahasan tafsir adalah al-Qur’an, yang berguna untuk menyikapi atau
memahami apa yang ada di balik kalâm Allah sesuai dengan kemampuan
manusia itu sendiri (penafsir al-Qur’an).
3. Pengertian Ta’wil
Secara etimologi (bahasa) kata ta’wil berasal dari bahasa arab
وﺄ ﻟا
isim mashdar dari
"
لوأ
"
yang berarti menafsirkan, menjelaskan, danmengembalikan.15 Menurut Manna Khalil al-Qattân ta’wil berasal dari
kata
"
لوﻷا
"
(al-aul), yang berarti kembali ke asal.16
12
Muhammad Yusuf Abu Hayyan, Al-Bahru al-Muhît Fi al-Tafsir, ( Mekkah: al-Tijariyah Musthafa Ahmad al-Baz, 1992), Jilid I, h. 10
13
Yusuf Qordhowi, al-Qur’an dan al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islam, (Jakarta: Robbani press, 1997) h.29
14
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan 1996), h. 15
15
Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir. Kamus Bahasa Indonesia- Arab
16
Sebagian ulama ada juga yang mengartikan ta’wil berasal dari kata
"
ﻷا
"
(al-‘ail) yang berarti memalingkan ayat dari makna yang zahîrkepada satu makna yang dapat diterima oleh ayat tersebut.17
Sedangkan pengertian ta’wil secara terminologi (istilah) terbagi
menjadi dua bagian:
1. Menurut ulama mutaqaddimîn (terdahulu), mempunyai dua arti, yaitu
menafsirkan kalâm (pembicaraan) dan menjelaskan maknanya, baik
relevan dengan zahirnya atau menyalahinya. Dengan demikian ulama
mutaqaddimîn mengatakan bahwa pengertian tafsir dan ta’wil sama.
Arti yang kedua adalah kandungan yang dimaksud dari suatu kalâm
(pembicaraan), karena memungkinkan mempunyai makna yang
tersimpan, baik tentang masa lalu atau masa yang akan datang.
2. Ta’wil menurut ulama mutaakhirîn, fiqh, teologi, ahli hadis, dan
tasawuf adalah memalingkan lafaz yang râjih (kuat) kepada lafaz yang
marjûh (lemah) karena ada dalil yang menyertainya.18
Sedangkan menurut al-Sa’id al-Jurjazi, ta’wil adalah memalingkan
makna yang zâhir kepada makna yang muhtamil, apabila makna yang
muhtamil itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.19
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulakan bahwa ta’wil adalah
usaha untuk mendapatkan makna yang terbaik dengan cara memalingkan
dari makna aslinya dengan syarat, tidak berlawanan dengan syara’.
17
Jalaluddin al-Suyuti, Al-Itqân Fi ‘Ulûm al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr) Jilid II, h. 23
18
Manna’ Khalil al-Qattân, Mabahits Fi ‘Ulûm al-Qur’an, h. 453
19
B. Sumber Penafsiran al-Qur’an
Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitab al-Tafsîr wa al-Mufassirûn
menjelaskan ada dua sumber penafsiran al-Qur’an yaitu tafsir bi al-Ma’tsûr
dan tafsir bi al-Ra’yi.
1. Tafsir bi al-Ma’tsûr
Tinjauan defenitif tentang Tafsir bi al-Ma’tsûr dari berbagai ahli
Tafsir, yaitu:
a. Muhammad Husain al-Dzahabi, tafsir bi al-Ma’tsûr meliputi
hal-hal yang ada dalam al-Qur’an yang dijelaskan dengan ayat yang
lain, diambil dari nabi, sahabat, dan tabi’in.20
b. Menurut al-Farmawi, Tafsir bi al-Ma’tsûr adalah penafsiran ayat
dengan ayat, penafsiran dengan hadis, yang menjelaskan makna
ayat yang sulit dipahami oleh para sahabat atau penafsiran ayat
dengan hasil ijtihad para sahabat atau pula penafsiran ayat dengan
hasil ijtihad para tabi’in.21
c. Hasbi al-Sidiqy dalam bukunya mengatakan bahwa tafsir bi
al-Ma’tsûr adalah ayat al-Qur’an, hadis Rasul, dan pendapat sahabat
yang menjadi penjelasan bagi makna al-Qur’an.22
d. Yunus Hasan Abidu berpendapat bahwa Tafsir bi al-Ma’tsûr
adalah menjelaskan makna-makna ayat al-Qur’an dan
20
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafîir wa al-Mufassirûn h. 152
21
Abd al-Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i: Suatu Pengantar, terj. Surya A. Jumarah (Jakarta: Raja Grifindo Persada, 1996) h.12
22
menguraikannya dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an, sunnah
sahîhah atau pendapat para sahabat.23
Dari pendapat-pendapat di atas, penulis berkesimpulan bahwa dalam
menafsirkan al-Qur’an dengan sumber bi al-Ma’tsûr, mufassir akan
berusaha untuk menampilkan riwayat-riwayat dari al-Qur’an, hadis,
pendapat sahabat, dan pendapat tabi’in.
1) Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Ayat al-Qur’an yang satu dengan yang lainnya saling
membenarkan dan saling memberi penafsiran. Tidak menjadi
persoalan dikalangan ulama bahwa di antara sumber tafsir pada masa
Rasulullah saw adalah Qur’an itu sendiri. Allah saw menurunkan
al-Qur’an dengan bentuk yang sesuaikan dengan isi petunjuk-petunjuk
yang diberikan.24
Adapun bentuk-bentuk penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
sebagai berikut:
a. Menggunakan ayat yang singkat dengan menggunakan
ayat-ayat yang lebih luas
b. Menafsirkan ayat yang global dengan menggunakan ayat terperinci
c. Menentukan makna ayat yang mutlaq dengan uraian ayat yang
Muqayyad (tertentu)
d. Mengkhususkan makna yang umum
23
Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode para Mufasir, terj. Qadirun nur dan Ahmad Musyafiq ( Gaya Media Pratama; Jakarta, 2007) h. 4
24
e. Mengumpulkan makna beberapa ayat yang nampaknya seperti
bertentangan satu sama lain.25
Contoh penafsiran seperti ini adalah: ketika para sahabat nabi
bertanya tentang tafsir kata
ﻢ ﻇ
(kezaliman) dalam surat al-An’amayat 82, Nabi menjelaskan dengan keterangan Qur’an yaitu surat
al-Luqman ayat 13 yang artinya: “Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. Dengan demikan
yang dimaksud zalim dari surat al-An’am adalah mempersekutukan
Allah.26
2) Tafsir al-Qur’an dengan al-Sunnah
Umat Islam telah mengakui bahwa dalam tataran sumber Islam,
yang menjadi pedoman setelah al-Qur’an adalah hadis Nabi saw.27
Oleh karena itu, jika tidak ditemukan penjelasan ayat yang dijelaskan
dengan ayat lain, maka haruslah dicari penjelasannya di dalam Hadis
Nabi saw.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap hukum yang diterapkan
oleh Rasul merupakan pemahaman yang berasal dari al-Qur’an.28
Adapun peranan hadis dalam menjelaskan al-Qur’an, sebagai
berikut:
25
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al- Mufassirûn, jilid I, h. 28.
26
Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an ( Yogyakarta; Pustaka Pelajar,2000) h. 4-5.
27
Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah: Ma’alim wa
Dhawabitt, (Kairo: Bank al-Taqwa) h. 27
28
1. Menjelaskan ayat yang global, menerangkan yang musykil,
mengkhususkan yang umum, dan membatasi yang mutlaq.
2. Menerangkan makna lafaz atau kalimat yang sukar.
3. Menerangkan hukum-hukum tambahan dan hukum-hukum yang
disebut dalam al-Qur’an.
4. Menerangkan tentang naskh.
5. Menguatkan keterangan, yaitu jika hadis Nabi memberi keterangan
yang sejajar dengan keterangan al-Qur’an, maka posisinya sebagai
penguat terhadap al-Qur’an.29
Contoh penafsiran ini adalah ketika sahabat nabi tidak mengerti
makna “al-Khaitt al-Abyad” dan “al-Khait al-Aswad dalam Qs.
Al-Baqarah 2: 187, kemudian Rasulullah menjelaskan yang dimaksud
dengan Khait al-Abyad” adalah siang dan “al-Khait al-Aswad”
adalah malam.
3) Tafsir al-Qur’an dengan Ijtihad Sahabat
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jika tidak menemukan
penafsiran suatu ayat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka rujuklah
pada pendapat sahabat, karena sesungguhnya mereka lebih luas
pandangannya terhadap masalah itu, mereka juga mengetahui
keterkaitan kondisi ketika ayat tersebut diturunkan, mereka
mempunyai pemahaman yang sempurna dan ilmu yang benar.30
29
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 39-40.
30
Generasi sahabat adalah generasi yang paling memahami
kandungan al-Qur’an sepeninggalan Rasul. Mereka hidup pada masa
al-Qur’an turun dan apabila mereka sulit dalam memahami al-Qur’an
maka mereka dapat menanyakannya kepada Rasul. Menurut al-Hakim,
penafsiran sahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya al-Qur’an
kedudukannya adalah marfu’.31
Menurut al-Qattân, tafsiran ini memadai untuk berpegang padanya
karena mereka memilki kecakapan bahasa, pemahaman yang
komprehensif dan amal salih yang tidak diragukan lagi, sehingga
tentunya mereka lebih memahami apa yang terkandung di balik
turunnya al-Qur’an. Lebih lanjut lagi, al-Qattân bependapat bahwa
penafsiran sahabat yang yang tidak terlibat dengan kronologis
turunnya ayat, maka ulama memberi katagori Mauqûf.32
Oleh sebab itu, jika tidak ditemukan penafsiran al-Qur’an dengan
al-Qur’an atau hadis Nabi, maka sangat relevan sumber ketiga ini
dipakai, karena bagaimanapun generasi sahabat adalah generasi yang
langsung terlibat dalam proses turunnya wahyu.
4) Tafsir al-Qur’an dengan Ijtihad Tabi’in
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa apabila tidak ditemukan
penafsiran di dalam al-Qur’an dan juga dalam sunnah serta tidak
31
Muhammad Ali al-Shabuni, Pengantar Studi al-Qur’an, terj. Chudori Umar dan M.Matsna (Bandung: al-Ma’arif, 1987)h.211.
32
ditemukan pula penafsiran para sahabat, maka dalam hal ini biasanya
para imam merujuk pada ijtihad tabi’in.33
Memang ada perbedaan dalam masalah ijtihad tabi’in ini, ada yang
memasukkan ijtihad tabi’in dalam tafsir bi al-Ma’tsûr dan ada juga
yang tidak memasukkannya. Adapun ulama yang memasukkan
pendapat tabi’in dalam tafsir bi al-Ma’tsûr dengan alasan bahwa
pendapat para tabi’in umumnya dari para sahabat. Sedangkan ulama
yang tidak memasukkanya, dengan alasan bahwa banyak perbedaan di
kalangan tabi’in dan karena besarnya kemungkinan mereka mengambil
pendapat dari Ahlu al-Kitab yang telah masuk Islam. 34
Adapun kitab-kitab yang termasuk dalam tafsir bi al-Ma’tsûr
antara lain: Jâmi’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’an karya Ibnu Jarîr
al-Tabari, Ma’âlim al-Tanzîl karya al-Baghawi, al-Dûr al-Mansûr fi
Tafsîr bi al-Ma’tsûr karya Jalaluddin al-Suyûti, Tafsîr Qur’an
al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr.
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama
setelah seorang penafsir mengetahui perihal bahasa arab, asbâb al-Nuzûl,
nâsikh mansûkh, dan hal-hal yang diperlukan oleh lazimnya seorang mufassir.35
Orang yang melakukan analogi digolongkan sebagai ahli ra’yi, karena
mereka berpendapat berdasarkan pemikiran atau analisis mereka. Tafsir bi
33
Yusuf Qardawi, al-Qur’an dan al-Sunnah; Referensi Tertinggi Umat Islam. h. 53
34
Yunus Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode para Mufasirh. 4-5
35
al-Ra’yi lebih mengedepankan akal dari pada riwayat, sehingga terjadi pro-kontra antara boleh tidaknya tafsir corak ini digunakan. Menurut
Manna al-Qattân menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu dan ijtihad semata
tanpa ada dasar yang sâhih adalah haram.36
Latar belakang lahirnya sumber ini adalah ketika ilmu keislaman
berkembang pesat dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga bermunculan
berbagai karya, termasuk karya tafsir dengan berbagai kecenderungan.
Kecenderungan tersebut lahir dari individu mufassir yang dilatarbelakangi
oleh bidang ilmu yang menjadi keahliannya.37
Hal ini dilakukan selepas masa sahabat sampai saat ini, penalaran
mereka haruslah dilandasi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
al-Qur’an dan hadis Nabi.38
Lebih lanjut lagi seorang mufassir yang menggunakan tafsir bi
al-Ra’yi juga harus menghindari hal-hal berikut ini:
1. Memaksa diri mengetahui makna yang dikendaki oleh Allah swt pada
suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2. Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah
swt.
3. Menafsirkan disertai hawa nafsu dan bersikap istihsân (menilai sesuatu
itu baik semata-mata berdasarkan pendapat pribadi).
4. Menafsirkan ayat-ayat dengan makna yang bukan kandungannya.
36
Manna Khalil al-Qattan, Mabâhits Fi ‘Ulûm al-Qur’an, h.357
37
Abd al-Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i: Suatu Pengantar h. 14
38
5. Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab sebagai dasar,
sedangkan penafsirannya mengikuti faham mazhab tersebut.
6. Menafsirkan dengan disertai kepastian bahwa yang dikehendaki Allah
adalah demikian, dengan tanpa didukung dalil.39
Di antara kitab tafsir bi al-Ra’yi adalah Mafâtih al-Ghaib karya
Fakhruddin al-Râzi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wil karya karya
al-Baidâwi, al-Bahr al-Muhît karya Abu Hayyân.
C. Metode Penafsiran
Menurut Abdul Hay al-Farmawi dalam buku metode tafsir maudû’i yang
mengelompokkan metode penafsiran al-Qur’an dalam empat metode, yaitu
Tahlili, Ijmali, Muqarran, dan Maudû’i.
1. Metode Tahlili
Metode Tahlili sering disebut juga dengan metode analitis. Dalam
pembahasan ini penulis akan mengemukakan beberapa pendapat Mufassir
tentang definisi dari metode Tahlili.
Muhammad Baqir mengatakan bahwa metode Tahlili adalah
pendakatan dimana mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai
dengan urutan ayat yang tersusun dalam al-Qur’an. Dengan pendekatan ini
mufassir mengikuti al-Qur’an dengan menjelaskan sedikit demi sedikit
secara rinci, menggunakan berbagai sarana yang diyakini efektif untuk
menafsirkan al-Qur’an seperti penggunaan arti leksikal, penggunaan hadis,
ataupun menggunakan ayat-ayat yang dipandang mempunyai kesamaan
39
kata atau pun istilah dengan ayat-ayat yang sedang menjadi kajian
utama.40
Menurut Quraish Shihab, metode Tahlili adalah tafsir yang menyoroti
ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam
al-Qur’an Mushaf Utsmâni. Langkah-langkah yang dilakukan mufassir
menerangkan munasabah baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun
satu surat dengan surat lain, menjelaskan asbâb al-Nuzûl, mengalisis
kosakata, memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya,
menerangkan unsur fasâhah, bayân, menjelaskan hukum yang dapat
ditarik dari ayat yang dibahas khususnya ayat Ahkam. Sebagai
sandarannya mufassir mengambil manfaat dari ayat lain, hadis Nabi,
pendapat sahabat atau tabi’in di samping ijtihad mufassir sendiri.41
Metode Tahlili merupakan metode yang banyak digunakan oleh
ulama-ulama terdahulu walaupun diantara mereka berbeda ragam dan
corak penafsirannya. Pada awalnya metode ini bertujuan untuk memahami
konsep Allah agar mudah dipahami oleh orang awam pada permulaan
Islam. Namun dengan berlalunya waktu dan jauhnya jarak generasi Islam
berikutnya dengan wahyu, serta ada perkembangan dan perubahan situasi,
akhirnya maksud-maksud tersebut tidak tercapai. Hal tersebut diakibatkan
40
Muhammad Baqir al-Sadr, Pedoman Tafsir Modern, (Jakarta:Risalah Masa,1992) cet ke-5, h.11
41
timbulnya konflik keagamaan, karena para mufassir melegitimasi
mazhabnya dengan al-Qur’an.42
Metode ini mempunyai beberapa keistimewaan, diantaranya:
1. Penafsiran terhadap suatu ayat dapat dilakukan seluas mungkin dengan
tinjauan dari berbagai sudut dan aspek
2. Penafsiran terhadap suatau ayat dilakukan secara tuntas, baik dari segi
bahasa maupun asbâb al-Nuzûl, munasabah, maupun kandungan
isinya.
3. Pada saat penafsiran, mufassir dapat memfokuskan perhatiannya
kepada ayat itu saja tanpa harus menghubungkan dengan ayat-ayat lain
yang membicarakan masalah ini.43
Di samping mempunyai keistimewaan, metode ini juga mempunyai
kelemahan, diantaranya:
1. Metode ini walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan
suatu pokok bahasan karena sering kali satu bahasan diuraikan sisinya
atau kelanjutan pada ayat yang lain.
2. Metode ini tidak jarang digunakan mufassir sebagai senjata
pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur’an.44
Diantara kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Tafsir
al-Manâr karya Rasyid Ridha, Mafâtih al-Ghaib karya al-Razi, dan Jâmi’
al-Bayân Fi Tafsîr al-Qur’an karya al-Tabari.
42
Muhammad Baqir al-Sadr, Pedoman Tafsir Modern,, h.12-13
43
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 86
44
2. Metode Ijmali
Metode ini menafsirkan al-Qur’an dengan mengemukakan makna
secara global tanpa uraian yang panjang. Di dalam pembahasannya
penafsiran akan menguraikan ayat demi ayat sesuai dengan susunan
mushaf. Penyajiannya menggunakan bahasa yang ringkas dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri
lalu penafsir menambahkan kata-kata atau kalimat penghubung sehingga
memberi kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.45
Selain menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an,
metode ini juga menyertakan asbâb al-Nuzûl, hadis Nabi dan ‘atsar
orang-orang salih terdahulu.46
Metode ini memiliki kelebihan diantaranya:
1. Praktis dan mudah dipahami
2. Bebas dari penafsiran Israiliyat
3. Akrab dengan bahasa al-Qur’an47
Adapun kekurangan metode ini diantaranya:
1. Menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial
2. Tak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai48
3. Tidak cukup mengantarkan pembaca untuk mendialogkan dengan
persoalan sosial maupun problematika keilmuan yang aktual.49
45
Ali Hasan al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 29
46
Syurbasi, Studi tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an al-Karim (Jakarta: Kelana mulia,1999) h. 79
47
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2000) cet 2, h. 22
48
Di antara kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Tafsir
al-Jalâlain karya Jalal al-Din al-Suyûti dan Jalal al-Din al-Mahali, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhîm karya Muhammad Farid al-Wajdi, dan Tafsir
al-Muyassar karya Abd al-Jalil Isa.
3. Metode Muqâran
Metode Muqâran adalah suatu metode yang ditempuh oleh seorang
mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian
mengemukakan penafsiran para ulama, serta membandingkan segi-segi
dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan
al-Qur’an, kemudian menjelaskan bahwa di antara mereka ada yang corak
penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. 50
Mufassir yang menggunakan metode ini dituntut harus mampu
menganalisa pendapat-pendapat ulama tafsir yang dikemukakan untuk
mengambil sikap menerima atau menolak penafsiran yang dianggap
bertentangan dengan daya nalar sekaligus menjelaskan kepada para
pembaca alasan dari sikap yang diambil. Mufassir yang menggunakan
metode ini harus memperhatikan beberapa hal, seperti:
1. Kondisi sosial politik pada masa seorang mufasir hidup
2. Kecenderungan dan latar belakang pendidiknya.
3. Pendapat yang dikemukakan, apakah pendapat pribadi ataupun
pengembangan pendapat sebelumya atau juga hanya pengulangan.
49
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta :Paramadina,1996) Cet. Ke-1, h. 192
50
4. Setelah melakukan hal yang di atas, mufassir melakukan analisa untuk
mengemukakan penilaiannya tentang pendapat tersebut, baik
menguatkan maupun melemahkan pendapat yang dibandingkan
tersebut.51
Keistimewaan dari metode ini diantaranya:
1. Penafsir dapat mengungkapkan sesuatu yang dibicarakan oleh
al-Qur’an dengan kehendak al-al-Qur’an sendiri. Hal ini dapat dicapai bila
dilakukan perbandingan antara ayat-ayat dengan hadis atau pendapat
ulama
2. Penafsir dapat mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan
sebab-sebab, maksud dan tujuan dari adanya perbedaan ayat-ayat dalam
al-Qur’an, ayat dengan hadis ataupun penafsiran para ulama.52
Adapun kelemahan metode ini, diantaranya:
1. Metode ini tidak mengungkapkan secara tuntas makna dan maksud
suatu ayat, karena pembahasannya ditekankan pada usaha
perbandingan
2. Metode ini terbatas pada sejumlah ayat atau surat tertentu sesuai
dengan yang diperbandingkannya.
Karya tafsir yang memakai metode ini diantaranya: Durrat al-Tanzîl
wa Gurrat al-Ta’wil, karya al-Khatib al-Ihksafi, al-Burhan Fi Taujîh
Mutasyâbit al-Qur’an karya Muhammad ibn Hamzah.
51
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h.119-120
52
4. Metode Maudu’i (Tematik)
Metode yang banyak digunakan oleh para mufassir adalah metode
maudu’i. Yaitu metode yang menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang suatu masalah atau tema, serta mengarah pada satu
pengertian dan satu tujuan sekalipun ayat-ayat itu turunnya berbeda-beda,
tersebar dalam berbagai surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dan
tempat turunnya.53
Dalam tafsir maudu’i ini ada dua bentuk kajian yang dilakukan. Yaitu:
1. Seorang mufassir menentukan uraian ayat-ayat, mengemukakan asbâb
nuzûlnya (jika memang ada) kemudian menjelaskan makna dan tujuannya, mengkaji seluruh segi dan apa yang dapat diistimewakan
darinya, unsur-unsur balaghahnya, segi-segi I’jaznya dan lain
sebagainya, sehingga tema itu dapat dipecahkan secara tuntas
berdasarkan seluruh ayat al-Qur’an.
2. Penafsiran yang dilakukan oleh seorang Mufassir dengan mengambil
satu surat dari surat-surat al-Qur’an. Surat itu dikaji secara keseluruhan
dari awal sampai akhir surat, kemudian menjelaskan tujuan-tujuan
umum dan khusus dari surat itu serta menghubungkan antara
masalah-masalah yang dikemukakan pada ayat-ayat dari surah itu, sehingga
jelas surah itu merupakan satu kesatuan.54
Sedangkan tujuan dari tafsir ini sendiri yaitu untuk menggali hukum
yang ada dalam al-Qur’an, mengetahui kolerasi antara ayat dan untuk
53
al-Munawwar, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir, h. 39
54
membantah tuduhan bahwa di dalam al-Qur’an sering terjadi pengulangan
juga untuk menepis tuduhan yang dilontarkan oleh sebagian orientalis.
Kemudian metode ini juga bertujuan untuk memperlihatkan betapa
besarnya perhatian al-Qur’an terhadap kemaslahatan manusia.55
Di Mesir, metode ini pertama kali dicetuskan oleh Ahmad Sayyid
al-Kumi, beliau adalah ketua Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Al-Azhar sampai tahun 1981.56 Pada tahun 1977, Abd al-Hay
al-Farmawi dalam bukunya Al-Bidâyah fi al-Tafsir al-Maudu’i
mengemukakan langkah-langkah yang ditempuh untuk menerapkan
metode ini, antara lain: menetapkan masalah (tema) yang akan dibahas,
kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut,
menyusun tuntunann ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut,
kemudian memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya
masing-masing, selanjutnya menyusun pembahasan dalam kerangka yang
sempurna, melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan
dengan pokok bahasan, dan yang terakhir adalah mempelajari ayat-ayat
tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan antara yang
‘âm dan yang khâs, mutlaq dan muqayyad, atau pada lahirnya
bertentangan, sehingga semuanya berkumpul dalam satu muara tanpa ada
perbedaan atau pemaksaan.57
55
al- Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i, h.35
56
Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 144
57
Keistimewaan metode Tafsir Maudu’i ini adalah: menghindari problem atau kelemahan pada metode lain, menafsirkan ayat dengan ayat atau
hadist nabi, satu cara dalam menafsirkan al-Qur’an, kesimpulan yang
dihasilkan mudah difahami, dan yang terakhir adalah metode ini
memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam al-Qur’an, dan sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa
al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
masyarakat.58
Di antara kitab-kitab tafsir yang memakai metode ini adalah: Kitab min
Hadyi al-Qur’an karya Mahmud Syaltut, Al-Mar’atu fi al-Qur’an karya
Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Al-Riba fi al-Qur’an karya Abu A’la
al-Maududi, Al-‘aqaidatu fi al-Qur’an karya Muhammad Abu Zahrah, dan
Tafsir Surah Yasin karya Ali Hasan al-Aridl.
D. Corak Penafsiran
Kata corak berasal dari bahasa Inggris: Characteristic yang berarti
sifat-sifat khusus atau sifat-sifat yang khas, yang dipakai untuk melukiskan sifat-sifat-sifat-sifat
khusus dari sesorang/ benda yang membantu kita mengenal seorang tersebut.
Sedangkan corak penafsiran mempunyai makna: sifat-sifat khusus seseorang
yang mewarnai suatu penafsiran aya-ayat al-Qur’an karena dipengaruhi oleh
latar belakang pendidikan, kelimuan, atau kepentingan mazhabnya.
Secara umum corak penafsiran terbagi menjadi lima macam, yaitu: tafsir
Fiqhi, Sufi, Falsafi, ‘Ilmi, dan Adabi Ijtimâ’i.
58
1. Tafsir Fiqhi
Tafsir fiqhi adalah corak tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang
mengkhususkan perhitungan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum
syar’i.59 Dalam hal ini penafsiran memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam kaitannya dengan masalah- masalah fiqh. Mereka
berusaha menggali hukum-hukum fiqh yang terkandung di dalam berbagai
ayat. Aspek-aspek hukum di dalam al-Qur’an yang mereka gali dikenal
dengan istilah ayat al-Ahkâm (ayat-ayat hukum).
Tafsir ini lahir bersamaan dengan lahirnya tafsir bi al-Ma’tsûr, karena
para sahabat bertanya langsung kepada nabi tentang ayat-ayat yang tidak
difahami dan merasa kesulitan dalam memahami kandungan hukum yang
terdapat di dalam al-Qur’an. Rasulullah menjawab pertanyaan para sahabat
dengan tafsir bi al-Ma’tsûr juga dengan tafsir fiqhi (berkenaan dengan
hukum-hukum). Setelah Rasulullah wafat pasa sahabat senantiasa
berijtihad dalam mencari keputusan hukum dari al-Qur’an. Begitu pula
dikalangan tabi’in, tafsir fiqhi ini terus berkembang bersamaan dengan
perkembangan ijtihad, hasilnya terus berkembang dan bertambah, serta
disebar luaskan dengan baik. Fenomena ini berlangsung dari turunnya
al-Qur’an sampai munculnya berbagai madzhabfiqhi.60
Ketika madzhab-madzhab fiqh terutama mazhab yang empat mulai
muncul, munculah banyak persoalan – persoalan baru yang dihadapi, dan
persoalan ini belum dibahas oleh para ulama terdahulu, maka para ulama
59
Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafîir wa al-Mufassirûn, h. 357
60
pada masa kini dengan merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, serta
sumber-sumber hukum lain melakukan pemecahan terhadap persoalan itu
dan mengambil kesimpulannya.
Pada perkembangan selanjutnya, masing-masing imam madzhab itu
mempunyai pengikut yang banyak. Beberapa para pengikutnya itu ada
yang fanatik dalam memahami ayat-ayat itu dengan mengacu hanya pada
madzhabnya. Akan tetapi, di antara merekapun ada yang memahami
ayat-ayat dengan objektif, tanpa ada tendensi dan kepentingan madzhab.
Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an seperti apa adanya. Dan banyak
pula tafsir fiqhi dikalangan ahli sunnah yang semula objektif kemudian
terjebak kedalam fanatisme madzhab. Dari kalangan Madzhab Zahir
terdapat tafsir fiqhi yang berdasarkan pengertian zahir ayat-ayat al-Qur’an.
Kemudian dikalangan Khawarij juga mempunyai tafsir fiqhi tersendiri.
Begitu pula kaum Syi’ah, mereka mempunyai tafsir fiqhi yang berbeda
dengan yang lain.61
Masing-masing madzhab itu berupaya menafsirkan dan menta’wilkan
ayat-ayat al-Qur’an untuk dijadikan dasar penguat bagi madzhabnya
sendiri, sehingga banyak di antara mereka yang berlebih-lebihan dalam
menta’wilkan ayat-ayat yang kemudian keluar dari makna dan maksud
yang dikandung oleh lafadz-lafadz al-Qur’an itu sendiri.
Tafsir fiqhi ini banyak ditemuakan di dalam kitab-kitab fiqhi karangan
imam-imam dari berbagai madzhab yang berbeda, sebagaimana kita
61
menentukan sebagian ulama mengarang kitab tafsir dengan latar belakang
madzhab masing-masing berbeda.62
Kitab-kitab tafsir yang termasuk bercorakkan tafsir fiqhi, diantaranya
adalah: Ahkam al-Qur’an karya al- Jasshash, Ahkam al-Qur’an karya
al-Syafi’I, Ahkam al-Qur’an karangan Ibn’Arabi al-Malaki, dan al-Jami’
Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtubi.
2. Tafsir Sufi
Tafsir sufi adalah penafsiran yang dilakukan oleh para ahli tasawuf
yang pada umumnya dikuasai mistik. Ungkapan tersebut tidak dapat
difahami kecuali oleh orang-orang sufi dan yang mencari diri untuk
menghayati pelajaran tasawuf.63
Tasawuf pun berkembang dan menjadi kecenderungan seiring dengan
semakin meluasnya cakrawala budaya dan berkembang pesatnya ilmu
pengetahuan dan penganutnya pun menjadi dua arah yang mempunyai
pengaruh di dalam penafsiran al-Qur’an. Pertama, tasawuf Teoritis (
al-Tasawuf al-Nazari). Aliran ini meneliti dan mengkaji al-Qur;an berdasarkan teori-teori yang sesuai dengan ajaran mereka. Di dalam
penafsirannya mereka tampak berlebihan dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an dan dari penafsirannya sering keluar dari arti zâhir yang
dimaksudkan oleh syara’ tanpa didukung oleh kajian bahasa.64
Al-Dzahabi menegaskan bahwa tidak ada seorang penafsir pun yang di
dalam Tafsir Sufi Teoritis membahas seluruh susunan al-Qur’an ayat
62
al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 60
63
al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i, h. 17
64
perayat, yang ada hanya penafsiran ayat-ayat al-Qur’an secara acak dan
parsial. Seperti yang terdapat dalam kitab Al-Futuhât al-Makkiyah karya
Ibnu ‘Arabi.65
Kedua, Tasawuf Praktisi (al-Tasawuf al-‘Amali), maksudnya adalah
cara hidup yang berdasarkan atas hidup yang sederhana, zuhud, menahan
lapar, tidak tidur di waktu malam, hidup menyendiri, menjaga diri dari
segala kenikmata, memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan
menghanyutkan diri dalam taat kepada Allah swt.
Al-Aridl mengutip ucapan Ahmad Ibn Sahl yang mengatakan
musuhmu ada empat, yaitu: Pertama, dunia dan senjatanya adalah hidup
membaur dengan sesama manusia, penangkalnya adalah hidup
menyendiri. Kedua, syaitan senjatanya adalah kenyang, penangkalnya
adalah menahan lapar. Ketiga, jiwa senjatanya adalah tidur, penangkalnya
adalah tidak tidur di malam hari. Dan yang keempat adalah hawa nafsu,
senjatanya adalah banyak berbicara dan penangkalnya adalah diam. 66
Para tokoh aliran ini menamakan tafsir mereka dengan Tafsir al-Isyari,
yaitu menta’wilkan ayat-ayat berbeda dengan arti zahirnya, berdasarkan
isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas oleh para pemimpin
suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti zahir yang dimaksud.
Corak tafsir jenis ini bukanlah hal yang baru, sebab hal ini sudah ada
sejak Qur’an diturunkan, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh
65
al-Dzahabi, Tafsîr wa Al-Mufassirûn, h. 342
66
Qur’an itu sendiri. Rasulullah telah memberitahukan dan para sahabat
telah mengenal dan memperbincangkannya. Dari sinilah dapat diketahui
bahawa tafsir dan tasawuf praktis telah ada sejak dulu sebagaimana
halnya Tafsir bil al-Ma’tsûr.
Al-Farmawi menjelaskan bahwa penafsiran semacam ini dapat
diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak menafsirkan makna lahir (pengertian tekstual) dari ayat-ayat
al-Qur’an.
2. Didukung oleh dalil-dalil lain.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan dalil syara’ dan rasio.
4. Penafsirannya tidak mengklaim bahwa hanya penafsirannya yang
dikehendaki Allah, bukan tekstual, sebaiknya ia harus mengakui
pengertian tekstual dari ayat terdahulu.67
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka barulah dapat diterima
tafsir ini, apabila sebaliknya, tidak memenuhi persyaratan maka penafsiran
tersebut bisa mardûd (ditolak).
Dan berikut ini adalah beberapa kitab tafsir Sufi: Tafîir Qur’an
al-Karim karangan al-Tusturi, Haqâiq al-Tafsîr karangan al-Salami, Arâis
al-Bayân Haqâiq al-Qur’an karangan imam al-Syairâzi68
3. Tafsir Falsafi
Tafsir Falsafi adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan
menggunakan teori–teori filsafat. Dalam hal ini penafsiran yang
67
al-Farmawi, Metode, h. 18
68
menggunakan corak ini sudah menguasai pengetahuan tentang filsafat,
sehinggga mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan teori tersebut.
Kemunculan corak tafsir jenis ini dilatarbelakangi dengan berkembangnya
ilmu dan budaya. Gerakan para penerjemah tumbuh dan giat dilaksanakan
pada masa Bani Abbasiyah dan berbagai ilmu digali, terutama buku-buku
filsafat karya filosof.
Dalam menanggapi buku-buku filsafat, para ulama dibagi menjadi dua
kelompok yaitu yang menerima dan yang menolak. Kelompok yang
mengagumi dan menerima filsafat mencoba mengkompromikan titik temu
antara filsafat dan agama, serta menyingkirkan beberapa pertentangan
walaupun di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran yang bertentangan
dengan nas-nas syara’. Golongan ini hendak menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an berdasarkan teori filsafat semata, akan tetapi mereka gagal karena
tidak mungkin nas-nas al-Qur’an mengandung teori mereka. Sedangkan
kelompok yang menolak berpendapat bahwa mereka menemukan adanya
pertentangan antara agama dan filsafat. Kelompok ini secara radikal
menentang filsafat dan berupaya menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor
kelompok ini adalah al-Ghazali dan al-Fakhr al-Râzi. Kedua tokoh ini
memaparkan pemikiran- pemikiran filsafat yang bertentangan dengan
agama, khususnya dengan al-Qur’an dan akhirnya ia menolak filsafat
dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil-dalil yang dianggap memadai.69
69
4. Tafsir ‘Ilmi
Tafsir I’lmi adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat
al-Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat yang
akan ditafsirkan adalah ayat-ayat kauniah, sedangkan menurut Farid Abd
al-Rahman definisi tafsir ‘ilmi yang menghendaki pada yang jamai’
(global) dan ma’ani (mengandung beberapa makna) adalah usaha keras
para mufassir untuk mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah di
dalam al-Qur’an dengan penemuan ilmiah yang bertujuan memperlihatkan
kemukjizatan al-Qur’an.70
Penafsiran ini telah dimulai sejak zaman Bani Abbasiyah al-Zahabiyah
yang pada saat itu ada upaya-upaya dari sebagian ulama untuk
mengkompromikan ajaran-ajaran Islam dengan tsaqofah (kebudayaan)
asing yang diterjemahkan, serta sains murni yang ditemukan di
tengah-tengah kaum muslimin.71 Al-Ghâzali (w. 1059-1111 M) adalah tokoh yang
paling gigih dalam mendukung tentang ide-ide tafsir ini. Dalalm kitabnya
Ihya Ulûm al-Dîn dan Jawâhir al-Qur’an, beliau mengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya. Disini al-Ghâzali menyatakan
bahwa segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu maupun yang
kemudian, baik yang telah diketahui atau belum, itu semua bersumber dari
al-Qur’an.72
70
Farid Abdur Rahman, Ijtihad al-Tafsir fi al-Qorn al-Rabi Asyar (Jeddah: mamlakah Al-Arabiyah As- Su’udiyah, 1986), h.549
71
Abd al-Majid Abdussalam Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an
Kontemporer, Moh. Mansur Wahid (penerj.) (Bangil: Al- Izzah, 1977), Cet. Ke-1, h.257
72
Seperti halnya tafsir falsafi, sikap para ulama dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. Sebagian ulama mendukung dan menerima Tafsir ‘Ilmi, sehingga
menjadikan al-Qur’an sebagai mukjizat ilmiah, oleh karena itu ia
mencangkup segala macam penemuan dan teori-teori ilmiah modern.
Mereka berkata: “al-Qur’an itu menghimpun ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak keseluruhannya tidak dapat
dijangkau oleh manusia, bahkan ia mengemukakan hal-hal yang terjadi
jauh dan yang akan terjadi sebelum ia turun.” Pandangan mereka
dilandasi dengan firman Allah SWT:
ﺊﻴﺷ
ﻣ
بﺎ ﻜ ا
ﻲﻓ
ﺎ ﻃﺮﻓ
ﺎﻣ
)
مﺎ ﻻا
:
30
(
“Tidaklah kami alpakan (hilangkan) sesuatu pun dalam kitab al-Qur’an” (al- An’am:30)
Juga firman Allah SWT:
ﺊﻴﺷ
ﻜ
ﺎ ﺎﻴﺒ
بﺎ ﻜ ا
ﻚﻴ
ﺎ ﺰ و
)
ﺤ ا
:
89
(
"Dan Kami tururnkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”(al-Nahl: 89)
2. Sebagian ulama lain menolak tafsir ini, mereka menilai bahwa tafsir ini
telah melangkah begitu jauh sehingga ayat-ayat al-Qur’an harus
dihadapkan dengan teori-teori tidak benar selama berpuluh-puluh
tahun. Mereka beranggapan bahwa al-Qur’an bukanlah berbicara
kepada manusia tentang problematika kosmologi dan
kebenaran-kebenaran ilmiah, akan tetapi al-Qur’an semata-mata merupakan kitab
karena itu, al-Qur’an harus dijauhkan dari pemikiran-pemikiran yang
mengada-ada dan tidak boleh menundukkannya kepada teori-teori dan
penemuan-penemuan ilmiah. Di antara sikap ulama ini, terdapat
beberapa ulama yang bersikap moderat dengan mengatakan bahwa
tidak ada salahnya mengetahui ilmu dengan mengungkapkan hikmah
dan cahaya yang terkandung dalam ayat-ayat kauniyah. Mereka
beranggapan bahwa ayat-ayat itu tidak hanya bisa dipahami menurut
pemahaman bahasa Arab, oleh karena itu al-Qur’an diturunkan untuk
semua umat manusia. Semua orang dapat menggali sesuatu dari
al-Qur’an sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sepanjang hal itu
tidak bertentangan dengn tujuan pokok al-Qur’an, yaitu sebagai
petunjuk dan sasaran yang hendak ditujunya adalah sebagai tuntutan
hidup manusia.73