• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TAFSIR KLASIK DAN KONTEMPORER. Sebagian ulama tafsir membagi periodisasi penafsiran al-qur an ke dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TAFSIR KLASIK DAN KONTEMPORER. Sebagian ulama tafsir membagi periodisasi penafsiran al-qur an ke dalam"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

32 BAB III

TAFSIR KLASIK DAN KONTEMPORER

A. Definisi Tafsir Klasik dan Kontemporer

Sebagian ulama tafsir membagi periodisasi penafsiran al-Qur‟an ke dalam tiga fase yaitu : periode klasik pada (abad 1-4 H), Periode pertengahan pada (abad 4-12H), dan periode kontemporer (abad 12-sekarang).1 Namun dalam pembahasan ini penulis hanya mengungkapkan dua periode saja, yaitu periode klasik dan periode kontemporer. Pertama periode klasik, yaitu masa permulaan penulisan tafsir yang terpisah dari hadis-hadis sehingga tafsir berdiri sendiri sebagai suatu ilmu. Masa ini berawal pada akhir masa tabi‟in sampai akhir dinasti bani Abbasyiah pada tahun tahun 650 H/1258 M.2

Di antara ulama klasik yang dianggap sebagai penulis tafsir pertama adalah Sufyan bin Uyaynah, Waki‟ bin Djarrah, Syu‟bah bin Hajjaj, Yazid bin Harun dan Ibnu Humaid. Kemudian mereka diikuti oleh al-Thabari yang menulis kitab tafsir Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil Ayi al-Qur‟an. Di antara mufasir klasik yang lain adalah Abu Ishak al-Zujjaj (w. 310 H) yang menulis tafsir Ma‟anil Qur‟an. Abu Bakar Ahmad al-Djashash (w. 370 H) yang menulis tafsir Ahkam al-Qur‟an. Abu Ali al-Farisi (w. 377 H). Abu Bakar An-Naqas (w. 324 H). dan Abu Ja‟far An-Nahhas (w. 351 H).3 Sementara itu, secara ringkas sumber-sumber tafsir yang dipakai pada zaman klasik ini ialah al-Qur‟an al-Karim, hadis nabi saw, riwayat

1https://iermafikria.wordpress.com/metodologi-tafsir-klasik-hingga-modern-kontemporer/ 2 Nailul Rahmi, Ilmu Tafsir, (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang, 2010), cet I, h. 9 3 Ibid., h. 9-10

(2)

para sahabat, riwayat para tabi‟in, riwayat para tabi‟it tabi‟in, cerita-cerita ahli kitab, ijtihad dan istinbat mufasir.

Di masa klasik ini, al-Qur‟an sudah mulai tidak hanya bersumber kepada riwayat-riwayat saja, tetapi sudah ditambah lebih banyak dengan pendapat-pendapat orang dan cerita-cerita israiliyat , dan penukilan riwayat-riwayat mereka tidak lagi menggunakan sanad, sehingga bercampurlah antara tafsiran-tafsiran yang benar dan yang salah, yang mengakibatkan adanya pemalsuan di dalam tafsir. Banyak mufasir yang menerima pendapat-pendapat orang dan cerita-cerita

israiliyat dan memasukkannya dalam tafsir mereka tanpa disaring mana yang

benar dan mana yang salah, sehingga orang-orang yang membacanya mengira semua itu kuat dan benar dan mau menerima seluruhnya.4

Kedua periode tafsir kontemporer, pada masa kontemporer dimulai sejak

diadakannya gerakan-gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin al-Afgani setelah umat Islam terpecah belah oleh kaum penjajah Barat sampai sekarang. Penafsiran al-Qur‟an pada masa kontemporer dilatarbelakangi dengan tujuan pembaharuan pemikiran dan pemahaman Islam. Hal ini dikarenakan umat Islam yang telah mengalami banyak kemunduran dan penjajahan dari berbagai belahan dunia Islam. 5 Dalam penafsiran al-Qur‟an pada masa ini kebanyakan bersumber kepada riwayat-riwayat dan pendapat mufasir pada masa-masa sebelumnya. Adapun para mufasir yang terkenal pada masa kontemporer ini antara lain adalah Sayid Rasyid Ridha (w. 1345 H) menyelesaiakan tafsir gurunya

4 Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu‟I Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990),

h. 31

(3)

M. Abduh kitab tafsir al-Manar. Syeikh Jamaluddin al-Qasimi (w. 1914 M) menulis tafsir Mahaasin al-Takwil. Syeikh Ahmad Mustafa al-Maraghi (w. 1883 H) menulis tafsir al-Maraghi. Syekh Mahmud Salthut Syaikhul Azhar menulis tafsir al-Qur‟an kontemporer. Sayid Quthub menulis tafsir Fii Zhilalil Qur‟an. Sumber-sumber tafsir pada zaman kontemporer ini adalah campuran antara riwayat dan dirayah.6

Kontemporer bermakna sekarang atau modern yang berasal dari bahasa inggris( contemporary).7 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa ini.8 Ahmad Syukri mengatakan dalam bukunya tidak ada kesepakatan yang jelas tentang istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 atau 21. Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer diidentik dengan modern, peristilahannya saja yang agak berbeda, namun keduanya saling digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam dengan Barat. Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer disini mengacu pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern.9

Maka dapat disimpulkan bahwa tafsir kontemporer ialah “ tafsir atau penjelasan ayat al-Qur‟an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini”. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni usaha untuk

6 Abdul Djalal, op. cit., h. 40 7

http://ushuluddins.multiply.com/journal/item/30

8 …….., Softwar KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) v1.3

9 Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir al-Qur`an Kontemporer dalam pandangan Fazlur

(4)

menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan menta‟wilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.10 Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran al-Qur‟an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya. Pengertian kontemporer biasanya dikaitkan dengan zaman yang berlangsung. Istilah kontemporer ini sering kali dipakai untuk menunjukkan periode yang tengah dijalani sekarang, bukan periode yang telah berlalu. Dalam konteks perkembangan tafsir, istilah masa kontemporer terkait dengan situasi dan kondisi tafsir pada saat ini.

Dengan demikian, tafsir masa kontemporer sangat tidak bisa dilepaskan dengan perkembangannya di masa modern. Gagasan-gagasan yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula sejak zaman modern, yakni pada masa Muhammad „Abduh dan Rashid Rida. Hanya saja secara substansial, terdapat banyak perbedaan antara masa kedua mufasir ini dengan perkembangan tafsir yang terjadi saat ini.

Berangkat dengan tujuan untuk mengembalikan al Qur‟an sebagai hudan

li al Nas,metode yang digunakan oleh para mufasir kontemporer pun sedikit

banyak berlainan dengan yang digunakan oleh para mufasir tradisional (klasik). Kalau para mufasir tradisional (klasik) kebanyakan cenderung melakukan

(5)

penafsiran dengan memakai metode tahlily (analitis), maka dalam masa kontemporer penafsiran dilakukan dengan menggunakan metode ijmaly (global),

maudhu‟iy (tematik) atau penafsiran ayat-ayat tertentu dengan menggunakan

pendekatan-pendekatan modern.

Kemunculan metode tafsir kontemporer di antaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al Qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Shah waliyullah ( 1701-1762 ) seorang pembaharu Islam dari Delhi, merupakan orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “modern”, dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al

balighah dan Ta`wil al Hadits fi Rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang

memuat tentang pemikiran modern. Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa, maka di Mesir, munculah tafsir Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya. Di penjuru Timur Tengah, semisal Amin Al Khull, Hasan Hanafi, Bita Shathi, Nasr Abu Zayd, Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman.11

11

http://www.slideshare.net/roedyblackvone/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-ilmu-tafsir, Diakses 19/05/2017, Jam 18:45.

(6)

B. Mufasir Klasik : al-Thabari dan al-Razi 1. Al-Thabari dan Kitab Tafsirnya

Nama lengkap al-Thabari adalah Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Khalid al-Thabari. Ia merupakan imam yang sangat alim, penghafal hadis, serta ahli dalam bidang sejarah. Usianya 86 tahun, yaitu lahir pada tahun 224 H dan wafat pada tahun 310 H. Kitab tafsirnya berjudul Jami‟

al-Bayan fi Ta‟wil Ayi al-Quran dan merupakan tafsir bi al-ma‟tsur yang paling

tinggi kedudukannya karena menggabungkan berbagai disiplin ilmu pengetehuan, seperti ilmu qira‟ah, ilmu ma‟ani, dan fiqih.

Al-Thabari menganut aliran Ahlu al-Sunnah wal Jama‟ah. Di samping itu, ia mendukung mazhab ulama salaf dalam bidang tafsir.12 Al-Thabari cukup sering menyertakan kisah-kisah yang disampaikan oleh Ka‟ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbahh, Ibnu Juraij, dan Al-Saddi. Tidak hanya itu, ia juga meneliti kisah-kisah tersebut, misalnya tentang keluarnya Adam dari surga serta bisikan setan kepadanya. Kitab tafsir al-Thabari memiliki andil yang sangat besar dalam bidang ilmu bahasa , dan riwayat-riwayat.13

2. Al-Razi dan Kitab Tafsirnya

Nama lengkap al-Razi adalah Abdullah Muhammad bin Umar bin Husain Hasan bin Ali al-Tamimi al-Bakri al-Habarastani al-Razi, penganut faham Syafi‟i.

12 Samsurrahman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014) , cet, I, h. 221 13Ibid.,

(7)

Beliau lahir pada tahun 544 H.,14 tepatnya di kota Ray yaitu sebuah kota terkenal di negara Dailan dekat kota Khurasan.15 Beliau adalah anak cucu dari Abu Bakar al-Shiddiq, yang bernasab suku bangsa Quraisy.16 Manna Khalil al-Qaththan menyebutkan al-Razi lahir tahun 543. H.17

Fakhruddin al-Razi adalah ulama yang sangat terkenal dan besar pengaruhnya yang tiada tandingannya pada saat itu, yang menguasai berbagai disiplin keilmuan baik dibidang ilmu-ilmu sosial maupun bidang ilmu-ilmu alam (eksakta). Al- Razi juga seorang sastrawan, penyair, ahli fiqh, ahli tafsir, ahli hikmah, ahli ilmu kalam, dan seorang dokter medis dan sebagainya. Sehingga tidak diragukan lagi banyak para ilmuwan yang belajar kepada beliau baik para ilmuwan dalam negeri maupun para ilmuwan luar negeri.

Pendidikan awal diterima dari orang tuanya yang bernama Dziya‟uddin Umar, seorang ulama dan pemikir yang dikagumi masyarakat Ray. Selanjutnya, al-Razi belajar kepada ulama-ulama besar lainnya. Filsafat dipelajarinya dari dua ulama besar bernama Muhammad al-Baghawi dan Majdin al-Jilli, ilmu kalam dipelajarinya dari Kamaluddin al-Samawi.18 Imam al-Razi menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan yang melingkupinya yang berhubungan langsung dengannya, sehingga terpantul padanya pribadi yang istimewa, sehingga

14

Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al- Mufassirun, (Beirut: Dar al- fikr, Beirut,t.th), juz I, h. 290

15Imam Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir al- Kabir, (Beirut: Dar al- Fikr, 1990), juz I, h. 3 16 Muhammad al-Hilawi, Mereka Bertanya Tentang Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1998),

h. 90

17

Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu al- Qur‟an, terj. Mudzakir. AS., (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992), h. 529

18 Sirajuddin, Ak., dkk., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Howe, 1993),

(8)

terbentuklah pribadinya itu sebagai pribadi ilmiah yang dicetak dengan cetakan ilmu pengetahuan. Maka Imam al-Razi adalah seorang sastrawan, penyair, ahli fikih, ahli tafsir, ahli hikmah, ahli ilmu kalam, dan seorang dokter medis.19 As-Subuki mengomentari keberadaan Imam Fakhruddin al-Razi ini dengan mengatakan, “ ia adalah imamnya para mutakallim, ahli ilmu kalam, luas

pandangannya dalam mengomentari berbagai bidang ilmu, mendalam pengetahuannya tentang hakikat manthuq (dalil yang tertulis) dan mafhum (pemahamannya), sangat tinggi kasih sayangnya, dengan kemampuannya yang tinggi maka tersusunlah untaian agama Islam yang terulang dalam berbagai pembahasan dan disiplin ilmunya “20

Adapun karya-karya yang terpenting adalah : Al-Tafsir Kabir li

Qur‟an Karim (Mafatihul Ghaib), Miftah Ulama, surat Fatihah, al-Mahshal fi al-Fiqhi, syarh al-Wajiz Fi al-Fiqhi li al-Ghazali, al-Mahshul fi Ushul al-Fiqhi, al-Ma‟alim fi Ushul al-Fiqhi, al-Qadha‟ wa al-Qadar, al-Mahshul fi Nihayati‟Uqul fi Ilmi al-Ushul, al-Bayan wa al Burhan fi al-Radd „ala Ahliz Zaigh wa athThughyan, al Mabahits al-Masyraqiyyah,al- Mulakhkhsh fii-Filsafah, al-Mathalib al-‟Aliyah fi al-Hikmah, Masail fi ath-Thibb, al-Jami‟ul Kabir fi ath-Thibb, al-Tasyrih Minar Ra‟si il al-Halqi, Nihyatal-„Ijaz fi Dirasat al- I‟ jaz, Syarh al-Mufhashal liz- Zamakhsyari, Fadhlush shahabah al-Rasyidin, Manaqib al-Imam asy-Syafi‟i, Dzammad-Dunya.

19 Muhammad al-Hilawi, op. cit., h. 17 20 Ibid., h. 18

(9)

Ia juga menyusun ensiklopedi ilmu pada tahun 574 Hijriyah. Seandainya Imam Fakhrudddin Razi tidak meninggalkan karya tulisnya, selain Tafsir

al-Kabir atau Mafatih al-Ghaib, maka hal itu sudah menunjukkan kehebatan dan

keilmuannya.21 Al-Razi wafat pada hari senin 1 Syawal 606 H menurut pendapat ash-Subhi, sedang menurut pendapat al-Qifthi, al-Razi meninggal pada bulan Dzulhijjah pada tahun yang sama.22 Dan dalam kitab “Manna‟ al-Qaththan” disebutkan bahwa, al-Razi wafat di Harah pada tahun 606 H.23

Tafsir Mafatih al-Ghaib atau yang dikenal sebagai tafsir al-Kabir dikategorikan sebagai tafsir bi al ra‟yi (tafsir yang menggunakan pendekatan

aqli), dengan pendekatan mazhab syafi‟iyyah dan asy‟ariyah. Tafsir ini merujuk

pada kitab Zujaj fi Ma‟an Qur‟an, Farra‟ wa Barrad dan Gharib

al-Qur‟an, karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika. Riwayat-riwayat tafsir bi al ma‟tsur yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah,

Sudai, Said bin Jubair, riwayat dalam tafsir al-Thabari dan tafsir ats-Tsa‟labi, juga berbagai riwayat dari Nabi saw, keluarga, para sahabatnya serta tabi‟in.

Sedangkan tafsir bi ra‟yi yang jadi rujukan adalah tafsir Abu Ali al-Juba‟i, Abu Muslim al-Asfahani, Qadhi Abdul Jabbar, Abu Bakar al-Ashmam, Ali bin Isa al-Rumaini, al-Zamakhsyari dan tafsir Abul Futuh Al-Razi. Ada riwayat yang menjelaskan bahwa al-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh. Ibnu Qadi Syuhbah mengatakan, “Imam al-Razi belum menyelesaikan seluruh tafsirnya”. Ajalnya menjemputnya sebelum ia menyelesaikan tafsir al-Kabiir.

21 Ibid., h. 20 22 Ibid., h. 22 23 Ibid., h. 23

(10)

Ibnu Khulakan dalam kitabnya wafiyah al-a‟yan nya juga berkata demikian, jadi siapa yang menyempurnakan dan menyelesaikan tafsir ini ? dan sampai dimana beliau mengerjakan tafsirnya ?24

Ibnu Hajar al „Asqalani menyatakan pada kitabnya,” Yang menyempurnakan tafsir al-Razi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abi Al Hazm Makky Najamuddin al-Makhzumi al-Qammuli, wafat pada tahun 727 H, dia orang mesir.25 Dan penulis kasyfu al-Dzunuun juga menuturkan,” Yang merampungkan tafsir al-Razi adalah Najamuddin Ahmad bin Muhammad al-Qamuli, dan dia wafat tahun 727 H. Qadi Qudat Syahabuddin bin Khalil Khuway al-Dimasyqy, juga menyempurnakan apa yang belum terselesaikan, beliau wafat tahun 639 H.26 Kemudian, sampai dimana al-Razi terhenti dalam menulis tafsirnya? Muhammad Husain Zahabi menjelaskan pada kitabnya tafsir wa

al-Mufassiruun,” Imam Fakhruddin telah menulis tafsirnya sampai surah al-Anbiya,

setelah itu datang Syahabuddin al-Khuway melanjutkan tafsir ini, namun beliau belum menyelesaikan seluruhnya, kemudian datang Najamuddin al-Qamuli menyempurnakan tafsir al-Razi. Al- Zahabi juga mengatakan bisa jadi yang menyelesaikan tafsir al- Razi sampai akhir adalah al-Khuway.

Namun, Sayyid Muhammad Ali Iyazi, dengan merujuk pada keterangan Syaikh Muhsin Abdul Hamid, memberikan klarifikasi bahwa sekelompok mufasir era belakangan yang meneliti tafsir ini menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari al-Razi secara utuh.27 Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah

24

Muhammad Husain al-Zahabi, op. cit., jilid 1, h. 249.

25 Ibid., 26 Ibid., 27 Ibid.,

(11)

satu kitab tafsir bi al-ra‟yi yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur‟an dengan pendekatan logika. Sang pengarang berusaha menangkap substansi atau ruh makna yang terkandung dalam teks al-Qur‟an.

Adapun maksud tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain:

Pertama, menjaga dan membersihkan al-Qur‟an beserta segala isinya dari

kecenderungan-kecenderungan rasional yang dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadap al-Qur‟an. Kedua, pada sisi lain, al-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah Swt dengan dua hal, yaitu “bukti terlihat”, dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca”, dalam bentuk al-Qur‟an. Apabila merenungi hal yang pertama secara mendalam, kita akan semakin memahami hal yang kedua. Karena itu al-Razi merelevansikan keyakinan ilmiah dengan kebenaran ilmiah dalam tafsirnya. Ketiga, al-Razi ingin menegaskan sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk mena‟wil ayat-ayat al-Qur‟an, selama berdasarkan kepada kaidah-kaidah yang jelas.28

C. Mufasir Kontemporer : al-Maraghi dan Wahbah Zuhaili 1. Al-Maraghi dan Kitab Tafsirnya

Al–Maraghi adalah seorang ahli tafsir terkemuka dari kebangsaan Mesir, ia murid dari syekh Muhammad Abduh. Nama lengkap al–Maraghi adalah Ibnu Mustofa Ibnu Muhammad Ibnu Abdul Mun‟im al–Maraghi. Dia dilahirkan pada tahun 1881 M ( 1298 H ) di sebuah kampung di negara Mesir yang disebut dengan nama Maragah dan kepada dusun tempat kelahirannya itulah dia dihubungkan (al–

(12)

Maraghi ). Setelah mulai dewasa, al-Maraghi pindah ke negara Kairo untuk mendalami berbagai cabang ilmu keislaman dan dia juga sempat berguru kepada Syekh Muhammad Abduh, seorang ulama yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin. Setelah menguasai dan mendalami cabang– cabang ilmu keislaman, dia mulai dipercaya oleh pemerintahnya untuk memegang jabatan yang penting dalam pemerintahan.29

Pada tahun 1908 sampai dengan tahun 1919, al–Maraghi diangkat menjadi seorang hakim di Sudan. Sewaktu dia menjadi hakim negeri tersebut dia sempatkan dirinya untuk mempelajari dan mendalami bahasa–bahasa asing antara lain yang ditekuninya adalah bahasa Inggris. Dari bahasa Inggris dia banyak membaca literatur–literatur bahasa Inggris. Musthafa al–Maraghi meninggal dunia pada tahun 1952 M (1317H).30

Al–Maraghi adalah seorang ulama yang sangat produktif dalam menyampaikan pemikirannya lewat tulisan–tulisannya yang terbilang sangat banyak. Karya Maraghi di antaranya adalah : Ulumal–Balagah, Hidayah

al-Talib, Tahzib al-Taudih, Tarikh‟Ulum al-Balagah wa Ta‟rif bi Rijaliha, Buhus wa Ara‟, Mursyid at-Tullab, al-Mu‟jaz fi al-Adab al-„Arabi, Mujaz fi‟Ulum al-Usul, al-Diyat wa al-Akhlaq, al-Hisbah fi‟al-Islam, al-Rifq bi al-Hayawan fi al-Islam, Syarh Salasih Hadisan, Tafsir Juz Innama, Tafsir al-Maraghi.

29

Dewan Redaksi IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta : Djambatan, 1992 ), h. 617

30 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Proyek Peningkatan

(13)

Tafsir al–Maraghi terkenal sebagai sebuah kitab tafsir yang mudah

dipahami dan enak dibaca. Hal ini sesuai dengan tujuan pengarangnya, seperti yang diceritakan dalam muqaddimahnya yaitu untuk menyajikan sebuah buku tafsir yang mudah dipahami oleh masyarakat muslim secara umum.31

Metode yang digunakan dalam penulisan tafsir al– Maraghi adalah metode tahlili (analisis), sebab pada mulanya, dia menempatkan ayat – ayat yang dianggap satu kelompok. Corak yang dipakai dalam Tafsir al–Maraghi adalah corak adab al– Ijtima‟i, sebagai berikut: diuraikan dengan bahasa yang indah dan menarik dengan berorentasi sastra kehidupan budaya dan kemasyarakatan. Sebagai suatu pelajaran bahwa al-Qur‟an diturunkan sebagai petunjuk dalam kehidupan individu maupun masyarakat.

Penafsiran dengan corak adab al ijtima‟i berusaha mengemukakan segi

keindahan bahasa dan kemukjizatan al-Qur‟an, berusaha menjelaskan makna atau maksud dituju oleh al-Qur‟an, berupaya mengungkapkan betapa al-Qur‟an itu mengandung hukum-hukum alam dan atauran-aturan kemasyarakatan, serta berupaya mempertemukan antara ajaran al-Qur‟an, teori-teori ilmiah yang benar.

Tafsir al-Maraghi ini juga menggunakan bentuk bil ra‟yi. Di sini dijelaskan

bahwa suatu ayat itu urainnya bersifat analisis dengan mengemukakan berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen yang berasal dari al-Qur‟an.

31

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), cetakan I, h. 165

(14)

2. Wahbah Zuhaili dan Kitab Tafsirnya

Wahbah al-Zuhaili dilahirkan pada tahun 1932 M, bertempat di Dair „Atiyah kecamatan Faiha, propinsi Damaskus Suriah. Nama lengkapnya adalah Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, anak dari Musthafa al-Zuhaili, seorang petani yang sederhana dan terkenal dalam keshalihannya.32 Sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Mustafa Sa‟adah. Seorang wanita yang memiliki sifat wara‟ dan teguh dalam menjalankan syari‟at agama. Wahbah Zuhaili adalah seorang tokoh di dunia pengetahuan, selain terkenal di bidang tafsir beliau juga seorang ahli fiqh. Hampir dari seluruh waktunya semata-mata hanya difokuskan untuk mengembangkan bidang keilmuan. Beliau adalah ulama yang hidup diabad ke -20 yang sejajar dengan tokoh-tokoh lainya, seperti Thahir ibnu Asyur, Said Hawwa, Sayyid Quthb, Muhammad abu Zahrah, Mahmud Syaltut, Ali Muhammad al-Khafif, Abdul Ghani, Abdul Khaliq dan Muhammad Salam Madkur.33 Adapun kepribadian beliau adalah sangat terpuji di kalangan masyarakat Syiria baik itu dalam amal-amal ibadahnya maupun ketawadhu‟annya, di samping juga memiliki pembawaan yang sederhana. Meskipun memiliki mazhab Hanafi, namun dalam pengembangan dakwanya beliau tidak mengedepkan mazhab atau aliran yang dianutnya. tetap bersikap netral dan proporsional.

Dengan dorongan dan bimbingan dari ayahnya, sejak kecil Wahbah al-Zuhaili sudah mengenal dasar-dasar ke Islaman. Menginjak usia 7 tahun

32 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008), h. 174

33 Lisa Rahayu, “Makna Qaulan dalam al-Qur‟an; Tinjauan Tafsir Tematik Menurut

Wahbah al-Zuhaili” (Skripsi Sarjana, Fakutas Ushuluddin Univesitas UIN SUSKSA Riau,

(15)

sebagaimana juga teman-temannya dia bersekolah ibtidaiyah di kampungnya hingga sampai pada tahun 1946. Memasuki jenjang pendidikan formalnya hampir 6 tahun dia menghabiskan pendidikan menengahnya, dan pada tahun 1952 dia mendapatkan ijazah, yang merupakan langkah awal untuk melanjutkan ke perguruan tinggi yaitu Fakultas Syari‟ah Universitas Damaskus, hingga meraih gelar sarjananya pada tahun 1953 M. Kemudian, untuk melanjutkan studi doktornya, al-Zuhaili memperdalam keilmuannya di Universitas al-Azhar Kairo. Dan pada tahun 1963 maka resmilah dia sebagai Doktor dengan disertasinya yang berjudul Atsar al-Harb fī al- Fiqh alIslami.34

Ketika seseorang itu dikatakan tokoh dalam keilmuan kemudian memiliki nilai akademis yang memuaskan, tentunya karena adanya peran dari seorang guru yang sudah membimbing dan mengajarinya. Demiakian juga halnya dengan Wahbah al-Zuhailli, penguasaannya terhadap berbagai disiplin keilmuan karena banyaknya para syaikh yang beliau datangi dan berguru kepadanya. Seperti, menguasai ilmu di bidang hadis karena berguru kepada Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafi (w. Tahun 1958 M), menguasai ilmu di bidang theologi berguru dengan syaikh Muhammad al-Rankusi, kemudian ilmu faraidh dan ilmu wakaf berguru dengan syaikh Judat al-Mardini (w. 1957 M) dan mempelajari fiqh Syafi‟i dengan syaikh Hasan al-Shati (w. 1962 M). Sedangkan, kepakarannya di bidang ilmu ushul fiqh dan musthalah al- hadits berkat usahanya berguru dengan syaikh Muhammad Lutfi alFayumi (w. 1990 M). Sementara, di bidang ilmu baca al-Qur‟an seperti tajwid, dia belajar dengan syaikh Ahmad al-Samaq dan ilmu

(16)

tilawah dengan syaikh Hamdi Juwaijati, dan dalam bidang Bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf beliau berguru dengan syaikh Abu al-Hasan al-Qasab.

Kemudian kemahirannya di bidang penafsiran atau ilmu tafsir berkat berguru dengan syaikh Hasan Jankah dan syaikh Shadiq Jankah al-Maidani. Dalam ilmu-ilmu lainnya seperti bahasa yaitu ilmu-ilmu Sastra dan Balaghah dia berguru dengan syaikh Shalih Farfur, syaikh Hasan Khatib, Ali Sa‟suddin dan syaikh Shubhi al-Khazran.

Mengenai ilmu sejarah dan akhlak dia berguru dengan syaikh Rasyid Syathi, Hikmat Syathi dan Madhim Mahmud Nasimi, dan banyak lagi guru gurunya dan ilmu lainnya yang tidak tercantumakan seperti ilmu Fisika, Kimia, Bahasa Inggris serta ilmu modern lainnya. Dari beberapa guru al-Zuhaili di atas, maka masih banyak lagi guru gurunya ketika di negeri Mesir, seperti Mahmud Syaltut (w. 1963 M ), Abdul Rahman Taj, dan Isa Manun merupakan gurunya di bidang ilmu fiqh muqarran. Untuk pemantapan di bidang Fiqh Syafi‟i dia juga berguru dengan Jad al-Rabb Ramadhan (w. 1994 M ), Muhammad Hafiz Ghanim, dan Muhammad „Abdu Dayyin, serta Musthafa Mujahid. Kemudian, dalam bidang ushul fiqh dia berguru juga dengan Musthafa „Abdul Khaliq beserta anaknya „Abdul Ghani Usman Marazuqi, Zhawahiri al-Syafi‟i dan Hasan Wahdan. Dan dalam bidang ilmu fiqh perbandigan dia berguru dengan Abu Zahrah, „Ali Khafif, Muhammad al-Banna, Muhammad Zafzaf, Muhammad Salam Madkur, dan Farj al-Sanhuri. Dan tentunya masih banyak lagi guru-gurunya yang tidak disebutkan lagi. Perhatiannya diberbagai ilmu pengetahuan tidak hanya menjadikannya aktif dalam menimba ilmu, akan tetapi mejadikannya

(17)

juga sebagai tempat merujuk bagi generasi-generasi setelahnya, dengan berbagai metode dan kesempaatan yang dia lakukan, yakni melalui berbagai pertemuan majlis ilmu seperti perkuliahan, majlis ta‟lim, diskusi, ceramah, dan melalui media massa. Hal ini menjadikannya banyak memiliki murid, di antaranya adalah Muhammad Faruq Hamdan, Muhammad Na‟im Yasin, „Abdul al-Satar Abu Ghadah, „Abdul Latif Farfur, Muhammad Abu Lail, dan termasuklah putranya sendiri yakni Muhammad Zuhaili, serta masih banyak lagi murid-muridnya ketika dia sebagai dosen di Fakultas Syari‟ah dan perguruan tinggi lainnya.

Kecerdasan Wahbah al-Zuhaili telah dibuktikan dengan kesuksesan akademisnya, hingga banyak lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial yang dipimpinnya. Selain keterlibatannya pada sektor kelembagaan baik pendidikan maupun sosial dia juga memiliki perhatian besar terhadap berbagai disiplin keilmuan, hal ini dibuktikan dengan keaktifannya dan produktif dalam menghasilkan karya karyanya, meskipun karyanya banyak dalam bidang tafsir dan fiqh akan tetapi dalam penyampaiannya memiliki relevansi terhadap paradigma masyarakat dan perkembangan sains. Di sisi lain, dia juga aktif dalam menulis artikel dan buku buku yang jumlahnya hingga melebihi 133 buah buku. Bahkan, jika tulisan-tulisannya yang berbentuk risalah dibukukan maka jumlahnya akan melebihi dari 500 makalah.35

Dan adapun karya-karya beliau yang sudah terbit adalah sebagia berikut:

Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami-Dirasah Muqaranah, al-Wasit fi Ushul al-Fiqh, al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid, Nazariat al-Darurat al-Syar‟iyyah, Nazariat

(18)

al-Daman, al-Ushul al-„Ammah li Wahdah al-Din al-Haq, al-Alaqat al-Dawliah fī al-Islam, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Ushul al-Fiqh al-Islami Juhud Taqnin Fiqh Islami, Fiqh Mawaris fi Shari‟ah Islamiah, Wasaya wa al-Waqaf fi al-Fiqh al-Islami, al-Islam Din al-Jihad la al-Udwan, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, al-Qisah al-Qur‟aniyyah Hidayah wa Bayan, Qur‟an Karim Bunyatuh Tasri‟iyyah aw Khasaisuh al-Hasariyah, al-Rukhsah al-Syari‟ah-Ahkamuhu wa Dawabituhu, Khasais al-Kubra li Huquq Insan fī Islam, Ulum Syari‟ah Bayan Wahdah wa Istiqlal, Asas wa Masadir Ijtihad Musytarikah Bayan Sunah wa Syiah, Islam wa Tahadiyyah „Asr, Muwajahah Ghazu Taqafi Sahyuni wa Ajnabi, Taqlid fi Madhahib Islamiah inda Sunah wa al-Syiah, al-Ijtihad al-Fiqhi al-Hadits, al-Urūf wa al-Adah, Bay al-Asam, al-Sunnah Nabawiyyah, Idarah Waqaf Kahiri, Mujadid Jamaluddin al-Afghani,Taghyir al-Ijtihad, Tatbiq al-Syari‟ah al-Islamiah, al-Zira‟i fi al-Siyasah Syar‟iyyah wa Fiqh Islami, Tajdid Fiqh Islami, Taqafah wa Fikr, Manhaj Da‟wah fi Sirah a-Nabawiyah, Qayyim Insaniah fi al-Qur‟an al-Karim, Haq al-Hurriah fi al-„Alam, al-Insan fi al-al-Qur‟an, al-Islam wa Ushul al-Hadarah al-Insaniah, Ushul al-Fiqh al-Hanafi.

Dari beberapa karya-karya beliau khususnya dalam bidnag tafsir, maka terdapat tiga buah kitab tafsir, yaitu tafsir Wajiz, tafsir Wasit, dan tafsir

al-Munir. Dari ketiga kitab tafsir tersebut semuanya memiliki ciri dan karakterestik

yang berbeda, karena dalam penulisannya menggunakan corak penafsiran yang berbeda dan latar belakang yang berbeda pula. Akan tetapi, ketiga tafsirnya

(19)

memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai upaya dalam menjelaskan dan mengungkapkan makna-makna al-Qur‟an agar mudah dipahami dan kemudian dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari ketiga kitab tafsir di atas dapat didiskripsikan ciri dan karakteristiknya secara garis besar. Akan tetapi penulis hanya fokus pada tafsir al-Munir saja. Kitab ini merupakan karya terbesar dari Wahbah al-Zuhaili dalam bidang ilmu tafsir. Sebagaimana diketahui, bahwa selain dari kitab tafsir Munir karyanya yang lain dalam bidang adalah tafsir

al-Wajiz dan tafsir al-Wasit.

Tafsir al-Munir ditulis setelah al-Zuhaili menyelesaikan penulisan dua

kitab fiqh, yaitu ushul fiqh al-Islami (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (8 Jilid), dengan rentang waktu selama 16 tahun barulah kemudian beliau menulis kitab tafsir al-Munir, yang pertama kalinya diterbitkan oleh Dar al-Fikri Beirut Libanon dan Dar al-Fikr Damaskus Syiria dengan berjumlah 16 jilid bertepatan pada tahun 1991 M/1411 H. Sedangkan, kitab terjemahannya telah diterjemahkan diberbagai negara salah satunya di Turqi, Malaysia, dan Indonesia yang telah diterbitkan oleh Gema Insani Jakarta 2013 yang terdiri dari 15 jilid. Dibandingkan dengan kedua tafsir al-Wajiz dan tafsir al –Wasit, maka tafsir al-Munir ini lebih lengkap pembahasannya, yakni mengkaji ayat-ayatnya secara komprehensif, lengkap dan mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan oleh masyarakat atau pembaca. Karena, dalam pembahasannya mencantumkan asbab al-Nuzul,

balaghah, i‟rab serta mencantunkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya,

dan dalam penggunaan riwayatnya dia mengelompokkan antara yang ma‟tsur dengan yang ma‟kul. Sehingga, penjelasan mengenai ayat-ayatnya selaras dan

(20)

sesuai dengan penjelasan riwayat-riwayat yang shahih, serta tidak mengabaikan penguasaan ilmu-ilmu ke Islaman seperti pengungkapan kemukjizatan ilmiah dan gaya bahasa.36

Di samping terdapat perbedaan mengenai ketiga tafsir di atas, maka terdapat persamaannya, di antaranya adalah sama-sama bermaksud menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an secara komperensif dengan menggunakan uslub yang sederhana dan penyampaian yang berdasarkan pokok-pokok tema bahasan. Dalam

muqaddimahnya, Wahbah al-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan beberapa

pengetahuan penting yang sangat dibutuhkan dalam penafsiran al-Qur‟an. Seperti:

1. Definisi al-Qur‟an, cara turunnya, dan pengumpulannya

2. Cara penulisan al-Qur‟an dan Rasm Usmani

3. Menyebutkan dan menjelaskan Ahruf Sab‟ah dan Qira‟ah Sab‟ah

4. Penegasan terhadap al-Qur‟an yang murni sebagai kalam Allah dan disertai dengan dalil-dalil yang membuktikan kemukjizatannya.

5. Keontetikan al-Qur‟an dalam menggunakan bahasa Arab dan penjelasan mengenai menggunakan penerjemahan ke bahasa lain.

6. Menyebutkan dan menjelaskan tentang huruf-huruf yang terdapat diawal surah (huruf muqatta‟ah) Menjelaskan kebalaghahan Qur‟an seperti tasybih, isti‟arah, majaz, dan kinayah dalam

36 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fī al-„ Aqidah wa al- Syari‟ah wa al- Manhaj,

(21)

Qur‟an.37

Adapun tentang metodologi penulisan tafsir al-Munir ini, secara umum adalah mengkompromikan sumber-sumber atau riwayat yang ma‟tsur yang ma‟qul.

Dan, untuk mengetahui pembahasan yang lebih detailnya mengenai metode yang digunakan maka dapat dilihat sebagaimana berikut ini:

1. Menjelaskan kandungan surah secara global, menyebutkan sebabsebab penamaan surah dan menjelaskan keutamaan-keutamaannya.

2. Menyajikan makna secara jelas dan lugas dengan disesuaikan pada pokok bahasan.

3. Menyajikan penjelasaan dari sisi qirā‟ātnya, i‟rāb, balāghah, kosa kata, dan hubungan antar ayat maupun surah, serta sebab-sebab turunnya ayat maupun surah.

4. Menafsirkan dan memberikan penjelasan secara detail.

5. Memberikan keterangan tambahan berupa riwayat-riwayat yang dapat dipertanggung jawabkan dan menyajikan qisah-qisah maupun peristiwa-peristiwa besar.

6. Menggali hukum-hukum yang terkandung pada setiap pokok bahasan.

37 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fī al-„ Aqidah wa al- Syari‟ah wa al- Manhaj

(22)

7. Memperhatikan pendapat-pendapat atau hasil ijtihad baik itu ijtihad dari para ahli tafsir amupun ahli hadits serta ijtihad dari ulama lainnya yang ketsiqahannya tidak diragukan lagi.

8. Mengiringi penafsirannya dengan corak penafsiran maudhu‟i.

9. Bersumber dan berpedoman pada kitab-kitab atau pendapat sesuai dengan tuntunan syari‟ah.38

Dengan melihat pada corak-corak penafsiran, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abd. Hayy Farmawi dalam kitabnya muqaddimah

al-Tafsir al-Maudhu‟i, bahwa terdapat tujuh corak dalam penafsiran. Di antaranya

adalah tafsir bi al-Ma‟tsur, tafsir bi al-Ra‟yi, tafsir al-Shufi, tafsir al-Fiqh, tafsir

al-Falsafi, tafsir al-„Ilm,dan tafsir adab a-Ijtima‟i. Demikian halnya dengan tafsir al-Munir yang juga memiliki corak penafsiran tersendiri.

Dengan melihat dari manhaj dan metode yang digunakan serta analisa dari penilaian penulis lainnya bahwa corak penafsiran tafsir al-Munir ini adalah bercorak bi al-Ma‟tsur dan juga kesastraan („adabi) dan sosial kemasyarakatan (ijtima‟i) serta adanya nuansa kefiqhian (fiqh) yakni karena adanya penjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Bahkan sebagaimana telah disinggung sebelumnya meskipun juga bercorak fiqh dalam pembahsannya akan tetapi penjelasannya menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Jika dicermati dari konsep ontologis yang beliau usung, maka tafsir ini telah jauh dari konsep tersebut, karena tujuan yang ingin dicapai dengan menyelaraskan kepentingan

12 Persamaan yang terkait dengan penelitian tersebut adalah menggunakan teori al-dakhil, adapun yang membedakannya adalah kitab tafsir yang digunakan, yaitu

Pendapat beliau tentang hukum menyentuh mushaf adalah beliau mengutip pendapat para ulama dan sepakat dengan pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa Al-Kitab dalam ayat

Kemudian pembahasan lain mengenai kitab tafsir al-Ibri>z li Ma’rifati Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>z ditemukan juga dalam skripsi yang berjudul “Hak- Hak Wanita

Corak tafsir fiqhi adalah menafsirkan al-Qur’an yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an atau penafsiran ayat- ayat al-Qur’an yang berkaitan

Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab ditulis dalam bahasa Indonesia yang berisi 30 juz ayat-ayat al-Quran yang terbagi menjadi 15 jilid berukuran besar. Pada setiap jilidnya

Karena penelitian ini termasuk dalam penelitian perpustakaan (Library Research), yang merujuk kepada literatur buku, maka penulis menggunakan kitab tafsir Sayyid Quthb (

Penulisan kitab Tafsir al-Munîr ditulis oleh Wahbah al-Zuhailî ketika menjadi Dosen tamu di kuwait, beliau menulis kitab ini dalam jangka 5 tahun tanpa istirahat kecuali makan dan