• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi keteladanan beragama orang tua terhadappeningkatan hasil belajar pendidikan agama islam di SMP Pasarminggu siswa kelas IX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Relevansi keteladanan beragama orang tua terhadappeningkatan hasil belajar pendidikan agama islam di SMP Pasarminggu siswa kelas IX"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

DI SMP PASARMINGGU SISWA KELAS IX

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Oleh :

SYARIF HIDAYATULLOH NIM: 1810011000005

PROGRAM PENINGKATAN KUALIFIKASI AKADEMIK

JENJANG S-1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013/2014

DI SMP PASARMINGGU SISWA KELAS IX

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Oleh :

SYARIF HIDAYATULLOH NIM: 1810011000005

PROGRAM PENINGKATAN KUALIFIKASI AKADEMIK

JENJANG S-1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013/2014

DI SMP PASARMINGGU SISWA KELAS IX

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Oleh :

SYARIF HIDAYATULLOH NIM: 1810011000005

PROGRAM PENINGKATAN KUALIFIKASI AKADEMIK

JENJANG S-1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

Skripsi berjudul Relevansi Keteladanan Beragama Orang Tua Terhadap peningkatan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Di SMP Pasarminggu Siswa Kelas IXdisusun oleh Syarif Hidayatulloh, NIM. 1810011000005, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.

Jakarta, 15 Maret 2014

Yang mengesahkan

Pembimbing,

Sholeh Hasan, MA.

(3)

Skripsi yang berjudul Relevansi Keteladanan Beragama Orang Tua Terhadap peningkatan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Di SMP Pasarminggu Siswa Kelas IX disusun oleh Syarif Hidayatulloh, NIM. 1810011000005, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 23 September 2014 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pdi) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, 23 September 2014

Panitia Ujian Munaqasah

Tanggal Tanda Tangan

Ketua Panitia (Pjs. Ketua Jurusan PAI)

Dr. Muhbib Abd. Wahab, MA. _______________ _________________

NIP. 196810231993031002

Penguji I

Tanenji, MA. _______________ _________________

NIP. 197207121998031004

Penguji II

Drs. Abdul Ghofur, MA. _______________ _________________

NIP. 196812081997031003

Mengetahui,

Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Dra. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D.

(4)

Syarif Hidayatulloh. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Relevansi Keteladanan Beragama Orang Tua Terhadap peningkatan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Di SMP Pasarminggu Siswa Kelas IX.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keteladanan beragama orang tua dengan hasil belajar siswa kelas IX SMP Pasarminggu. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Pasarminggu Jakarta Selatan dari bulan Januari sampai dengan Februari 2014. Yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah siswa/i SMP Pasarminggu kelas IX dengan jumlah sampel 40 siswa. Ini merupakan sebagian dari populasi yang jumlahnya 100 siswa kelas IX SMP Pasarminggu Jakarta Selatan. Data tentang keteladanan beragama orang tua diperoleh berdasarkan angket yang diisi oleh siswa/i SMP Pasarminggu. Sedangkan hasil belajar diperoleh dari hasil tes soal. Metode analisis data yang digunakan adalah Korelasi Product Moment. Berdasarkan hasil analisis didapat nilai korelasi r = 0,696 terletak antara 0,60 – 0,799 yaitu tingkat korelasi yang tergolong kuat. Dengan demikian diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara keteladanan beragama orang tua dengan hasil belajar Pendidikan Agama Islam. Dari perhitungan koefisien determinasi yaitu sebesar r2= 0,484, ini berarti keteladanan beragama orang tua mempunyai pengaruh sebesar 48,4%.

(5)

i

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulilah, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya, serta kepada seluruh muslimin dan muslimat.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, senantiasa penulis panjatkan kepada-Nya. Karena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dirinya adalah makhluk sosial yang tidak mungkin dapat hidup mandiri. Begitu pula dengan proses pelaksanaan penyusunan skripsi, penulis membutuhkan bimbingan, bantuan, dukungan, dan do’a dari berbagai pihak. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Sebagai ungkapan rasa hormat yang teramat sangat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa’i, Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Bahrissalim, M.Ag., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, berkat jasa beliau penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, beliau juga yang senantiasa memberikan yang terbaik untuk seluruh mahasiswa Pendidikan Agama Islam.

3. Bapak Sholeh Hasan, MA., selaku dosen pembimbing, berkat jasa beliau, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

4. Ibu Endang Triastuti, S.Pd., kepala sekolah SMP Pasarminggu Jakarta Selatan, yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengadakan penelitian di sekolah.

5. Keluarga Besar SMP Pasarminggu Jakarta Selatan.

(6)

ii

untuk penulis, agar senantiasa mendapatkan ridho-Nya di setiap langkah perjuangan dalam menempuh perjalanan yang berliku untuk menggapai kesuksesan.

8. Keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan pengorbanan selama penyusunan skripsi ini.

9. Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan banyak inspirasi kepada penulis.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang turut memberikan do’a dan dukungan selama proses penyusunan skripsi.

Penulis panjatkan do’a dan rasa syukur kepada Allah SWT, semoga jasa yang telah mereka berikan menjadi amal shaleh dan mendapatkan balasan yang jauh lebih baik dari-Nya. Amin.

Akhirul kalam, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, dan dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang konstruktif. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Maret 2014 Penulis

(7)

iii

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Kegunaan Penelitian... 5

BAB II KAJIAN TEORI... 6

A. Keteladanan Beragama... 6

1. Pengertian keteladanan beragama ... 6

2. Ciri-ciri keteladanan beragama ... 11

3. Faktor-faktor keteladanan beragama ... 20

4. Fungsi keteladanan beragama ... 22

B. Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam... 22

1. Pengertian hasil belajar Pendidikan Agama Islam... 22

2. Ciri-ciri hasil belajar... 26

3. Faktor-faktor hasil belajar... 28

4. Fungsi hasil belajar... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 32

A. Tempat dan Waktu Penelitian... 32

1. Tempat penelitian... 32

2. Waktu penelitian ... 32

B. Metode Penelitian ... 32

C. Populasi dan Sampel ... 32

(8)

iv

2. Wawancara... 34

3. Angket ... 35

4. Tes ... 36

F. Teknik Analisis Data... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 39

A. Deskripsi Objek Penelitian ... 39

1. Gambaran umum SMP Pasarminggu ... 39

2. Visi dan Misi SMP Pasarminggu ... 39

3. Sarana dan Prasarana... 40

4. Struktur Organisasi dan Fungsi... 41

B. Hasil Penelitian ... 46

1. Analisis Deskripsi Keteladanan Beragama Orang Tua ... 46

2. Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam... 53

3. Analisis Data... 55

4. Pembahasan... 58

BAB V PENUTUP... 60

A. Kesimpulan... 60

B. Saran ... 60

(9)

1

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah, adalah harapan semua orang terutama bagi orang tua, untuk itu dalam suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak tidak terlepas dari hal-hal pendidikan terutama pendidikan agama pada anak keluarga yang berpredikat sebagai salah satu Lembaga Pendidikan di Luar Sekolah sangatlah dipandang penting sebagai mitra kerja dalam menyelenggarakan pendidikan agama pada anak karena keluarga adalah lembaga pertama yang dikenal anak sebelum ia mengenal sekolah. Hal ini berarti sangatlah dimungkinkan pengajaran agama menjadi paripurna bila dalam pelaksanaannya tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah akan tetapi juga keluarga terutama orang tua. Membangun keluarga sakinah merupakan suatu proses kedepan dalam jangka waktu yang panjang, karena bukan keluarga yang tanpa masalah tapi lebih pada keterampilan orang tua dan mengelola konflik yang terjadi di keluarga.

Berbicara masalah pendidikan keluarga, menurut M. Ngalim Purwanto menerangkan bahwa “Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya”.1 Dalam lingkungan keluarga, orang tualah yang menjadi tokoh terdekat, bahkan tidak banyak pola pikir seorang anak, sikap dan perilaku anak tidak jauh dari kedua orang tuanya, untuk itu dapat saya simpulkan bahwa hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga, sedikit banyaknya akan turut mewarnai perolehan pendidikan agama pada anak di sekolah.

Sering dijumpai orang tua yang mempercayakan pendidikan agama anaknya di sekolah saja. Tindakan orang tua seperti itu memang benar. Tapi ternyata itu belum mencukupi. Di sekolah pengajaran itu lebih banyak bersifat

(10)

kognitif saja, berupa penyampaian pengetahuan. Adapun akhlak berhubungan dengan tingkah laku, maka harus ditanamkan sejak kecil kepada anak oleh orang tuanya sendiri. Caranya melalui keteladanan dan pembiasaan sejak kecil.

Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral, sosial, dan spiritual. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak didik, yang akan mereka tiru bentuk tindakan-tindakannya, terutama akhlaknya. Disadari atau tidak itu akan tercetak dalam jiwa dan perasaan anak didik.

Disini, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam hal suksesnya anak didik menjadi baik maupun buruk. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak yang mulia dan sanggup melaksanakan perintah Allah SWT, serta berani dan mampu menjauhkan diri dari perbuatan yang menjadi larangan Allah SWT, maka punya harapan besar anak didik akan tumbuh dan berkembang dalam kejujuran berbentuk akhlak mulia, berani mengambil sikap untuk melaksanakan perintah Allah SWT, berani dan mampu menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Sebaliknya jika pendidik bohong, khianat, durhaka, dan hina, maka tak heran si anak didik akan tumbuh dalam kebohongan, durhaka, dan hina.

Allah SWT dengan tegas menyatakan dalam al-qur’an bahwa anak merupakan amanah yang perlu dipelihara dan dijauhkan dari hal-hal yang maksiat.

Firman Allah SWT dalam surat At-Tahrim ayat : 6 yang berbunyi:

اًرﺎَﻧ ْﻢُﻜﯿِﻠْھَأَو ْﻢُﻜَﺴُﻔْﻧَأ اﻮُﻗ اﻮُﻨَﻣآ َﻦﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأ ﺎَﯾ

...

Hai orang - orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka... (QS At-Tahrim: 6)

(11)

sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang harmonis.

Anak bila dilihat dari satu segi, ia merupakan buah hati dan bunga dalam keluarga. Dari segi lain ia merupakan amanat Ilahi yang harus dididik dan dibimbing sesuai dengan kehendak Allah. Anak didik, bagaimanapun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikan, dan bagaimanapun sucinya fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan terutama pokok-pokok pendidikan, selama mereka tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dan memiliki moral yang tinggi. Sangat mudah bagi sosok pendidik mengajar anak didiknya dengan berbagai metode pendidikan. Namun amat sukar bagi anak didik untuk melaksanakan selama pendidik diketahui oleh mereka tidak melaksanakan didikan dan bimbingannya. Malah mereka dibilang oleh anak didik hanya omong kosong. Akibatnya, lahir krisis moral yang bermula dari krisis kepercayaan.

Keteladanan ini seharusnya memang dari pendidikan orang tua dalam lingkungan keluarga. Maksudnya, pihak keluarga tidak boleh cuci tangan, karena sudah menyerahkan sepenuhnya anaknya ke lembaga pendidikan. Perlu disadari, agama atau jalan hidup anak didik tidak bisa berjalan sendiri, karenanya peran orang tua sangat penting dan ikut menentukan keberhasilan pendidikan anaknya.

Hal ini ditegaskan oleh Muhibbin “lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberikan dampak baik atau buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai oleh siswa.2

Orang tua yang paham akan ajaran agama Islam biasanya akan mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran Islam. Di atas telah dituliskan bahwa orang tua dan keluarga banyak mempengaruhi kegiatan belajar, sehingga jika anggota keluarga memiliki pemahaman yang lebih tentang agama dan semakin aktif orang

(12)

tua dalam kegiatan keagamaan maka semakin bertambah ilmu agama yang didapat orang tua dan semakin luar pemahamannya tentang ajaran agama islam maka akan semakin besar anak menerima perhatian dari orang tuanya dan memacu kemampuan, semangat anak-anaknya dalam memahami dan mempelajari agama.

Dari latar belakang yang penulis paparkan dan ketengahkan diatas, maka penulis tertarik sekali untuk mengungkapkan masalah ini dalam sebuah skripsi yang berjudul “Relevansi Keteladanan Beragama Orang Tua Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam di SMP Pasarminggu Siswa Kelas IX”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah berikut:

1. Apakah orang tua sangat penting dan ikut menentukan keberhasilan pendidikan anaknya?

2. Apakah anak cenderung menirukan perkataan dan perilaku orang tua. 3. Apakah keteladanan menjadi faktor penting dalam hal suksesnya anak

didik menjadi baik maupun buruk.

4. Apakah hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga akan turut mewarnai perolehan pendidikan agama pada anak di sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari perluasan dan salah tafsir terhadap judul penelitian tersebut penulis memberikan batasan sebagai berikut:

1. Membahas mengenai keteladanan beragama yang diterapkan orang tua siswa.

2. Membahas relevansi keteladanan beragama orang tua siswa terhadap peningkatan hasil belajar Pendidikan Agama Islam.

(13)

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan masalah tersebut sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keteladanan beragama orang tua siswa kelas IX SMP Pasarminggu?

2. Bagaimanakah hasil belajar Pendidikan Agama Islam siswa kelas IX SMP Pasarminggu?

3. Apakah ada relevansi keteladanan beragama orang tua terhadap hasil belajar siswa kelas IX SMP Pasarminggu?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui keteladanan beragama orang tua siswa kelas IX SMP Pasarminggu.

2. Untuk mengetahui hasil belajar Pendidikan Agama Islam siswa kelas IX SMP Pasarminggu.

3. Untuk mengetahui relevansi keteladanan beragama orang tua terhadap hasil belajar siswa kelas IX SMP Pasarminggu.

F. Kegunaan Penelitian

Adapun harapan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah suatu kegunaan, yaitu:

1. Penelitian ini dapat dijadikan sumbangan sebagai bacaan untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu Pendidikan Agama Islam.

2. Digunakan sebagai sumbangan pemikiran kepada sekolah untuk memecahkan permasalahan yang menjadi kendala dalam pelaksanaan peningkatan belajar PAI.

(14)

6 A. Keteladanan Beragama

1. Pengertian keteladanan beragama

Keteladanan menurut kamus bahasa Indonesia yang berarti hal (perbuatan, kelakuan, sifat) yang dapat ditiru atau dicontoh.1 Sehingga keteladanan berarti perbuatan atau perilaku yang dapat ditiru atau dicontoh.

Menurut Kartini Kartono, keteladanan sama dengan modeling, yaitu bentuk pembelajaran seseorang bagaimana melakukan suatu tindakan dengan memperhatikan dan meniru sikap serta tingkah laku orang lain.2

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru, diikuti, atau dicontoh dari seseorang. Namun keteladanan yang dimaksud di sini adalah keteladanan yang dapat dijadikan sebagai metode pendidikan, yaitu keteladanan yang baik yang sesuai dengan pengertianuswahdalam ayat-ayat al-Qur‘an.

Masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam kesuksesan anak didik untuk menjadi baik atau buruk. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia dan sanggup melaksanakan perintah Allah SWT, serta berani dan mampu menjauhkan diri dari perbuatan yang menjadi larangan Allah SWT, diharapkan anak didik akan tumbuh dan berkembang dalam kejujuran, terbentuk akhlak mulia pada diri anak, berani mengambil sikap untuk melaksanakan perintah Allah SWT, serta berani dan mampu menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Sebaliknya jika pendidik bohong, khianat, durhaka, dan hina, maka tak heran si anak didik akan tumbuh dalam kebohongan, durhaka, dan hina.

Keteladanan beragama sebagai salah satu metode pendidikan didasarkan pada dua sumber, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis. Dalam al-Qur’an keteladanan diistilahkan dengan kata uswah hasanah. Islam memberikan contoh kongrit melalui

1Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa,Kamus Bahasa Indonesia,(Jakarta; Pusat Bahasa, 2008), h. 1656

(15)

figur Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti beliau patut dijadikan contoh (diteladani).Sebagaimana dalam surat al-Ahzab ayat 21, yang berbunyi:

َمْﻮَﯿْﻟاَو َﮫﱠﻠﻟا ﻮُﺟْﺮَﯾ َنﺎَﻛ ْﻦَﻤِﻟ ٌﺔَﻨَﺴَﺣ ٌةَﻮْﺳُأ ِﮫﱠﻠﻟا ِلﻮُﺳَر ﻲِﻓ ْﻢُﻜَﻟ َنﺎَﻛ ْﺪَﻘَﻟ

اًﺮﯿِﺜَﻛ َﮫﱠﻠﻟا َﺮَﻛَذَو َﺮِﺧﺂْﻟا

)

بﺰﺣﻷا

:

21

(

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahzab: 21).

Ayat ini merupakan prinsip utama dalam meneladani Rasulullah saw. baik dalam ucapan, perbuatan maupun perlakuannya. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia agar meneladani Nabi Muhammad dalam peristiwa Al Ahzab, yaitu meneladani kesabaran, upaya dan penantiannya atas jalan keluar yang diberikan oleh Allah Azza wa jalla. Yakni, ujian dan cobaan Allah akan membuahkan pertolongan dan kemenangan sebagaimana yang Allah janjikan kepadanya.3

Dan Nabi sendiri juga pernah mendidik para sahabat dengan prinsip meniru model shalat yang ditunjukkan di depan mereka sebagai berikut:

َﺻ

ﱡﻠ

ْﻮ

ا

َﻛ

َﻤﺎ

َرَأ

ْﯾُﺘ

ُﻤ

ْﻮ

ْﻲِـﻧ

ُأ

َﺻ

ِّﻠ

“Shalatlah kamu seperti kamu lihat aku bershalat”.

Pada dasarnya ayat tersebut menunjukkan pada pribadi Nabi Muhammad saw. Dengan demikian, pribadi Rasulullah Saw. hendaknya harus dimiliki oleh seorang pendidik, ini berarti seorang guru atau orang tua mempunyai peranan penting dalam membentuk jiwa anak. Sifat sabar, teguh pendirian, akhlakul karimah merupakan sifat yang harus ditanamkan kepada mereka. Sehingga mereka akan memiliki jiwa dan mental yang kuat dengan kepribadian yang baik serta tidak memiliki sifat pengecut.

Keteladanan di dalam al-Qur’an juga dijelaskan pada surat Al-Muntahinnah ayat 4 dan 6, yang berbunyi:

ﱠﻧِإ ْﻢِﮭِﻣْﻮَﻘِﻟ اﻮُﻟﺎَﻗ ْذِإ ُﮫَﻌَﻣ َﻦﯾِﺬﱠﻟاَو َﻢﯿِھاَﺮْﺑِإ ﻲِﻓ ٌﺔَﻨَﺴَﺣ ٌةَﻮْﺳُأ ْﻢُﻜَﻟ ْﺖَﻧﺎَﻛ ْﺪَﻗ

ُءآَﺮُﺑ ﺎ

(16)

ُةَواَﺪَﻌْﻟا ُﻢُﻜَﻨْﯿَﺑَو ﺎَﻨَﻨْﯿَﺑ اَﺪَﺑَو ْﻢُﻜِﺑ ﺎَﻧْﺮَﻔَﻛ ِﮫﱠﻠﻟا ِنوُد ْﻦِﻣ َنوُﺪُﺒْﻌَﺗ ﺎﱠﻤِﻣَو ْﻢُﻜْﻨِﻣ

َﻚَﻟ ﱠنَﺮِﻔْﻐَﺘْﺳَﺄَﻟ ِﮫﯿِﺑَﺄِﻟ َﻢﯿِھاَﺮْﺑِإ َلْﻮَﻗ ﺎﱠﻟِإ ُهَﺪْﺣَو ِﮫﱠﻠﻟﺎِﺑ اﻮُﻨِﻣْﺆُﺗ ٰﻰﱠﺘَﺣ اًﺪَﺑَأ ُءﺎَﻀْﻐَﺒْﻟاَو

ُﻚِﻠْﻣَأ ﺎَﻣَو

ٍءْﻲَﺷ ْﻦِﻣ ِﮫﱠﻠﻟا َﻦِﻣ َﻚَﻟ

ۖ

َﻚْﯿَﻟِإَو ﺎَﻨْﺒَﻧَأ َﻚْﯿَﻟِإَو ﺎَﻨْﻠﱠﻛَﻮَﺗ َﻚْﯿَﻠَﻋ ﺎَﻨﱠﺑَر

ُﺮﯿِﺼَﻤْﻟا

)

ﺔﻨﺤﺘﻤﻤﻟا

:

4

(

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali"

َﺮِﺧﺂْﻟا َمْﻮَﯿْﻟاَو َﮫﱠﻠﻟا ﻮُﺟْﺮَﯾ َنﺎَﻛ ْﻦَﻤِﻟ ٌﺔَﻨَﺴَﺣ ٌةَﻮْﺳُأ ْﻢِﮭﯿِﻓ ْﻢُﻜَﻟ َنﺎَﻛ ْﺪَﻘَﻟ

ۚ

ﱠلَﻮَﺘَﯾ ْﻦَﻣَو

ُﺪﯿِﻤَﺤْﻟا ﱡﻲِﻨَﻐْﻟا َﻮُھ َﮫﱠﻠﻟا ﱠنِﺈَﻓ

)

ﺔﻨﺤﺘﻤﻤﻟا

:

6

(

Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dialah yang Maha kaya lagi Maha Terpuji.

Keteladanan dalam pribadi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya adalah sesuatu yang pasti terealisasi bagi orang-orang yang mengharapkan ridha Allah dan kehidupan akhirat. Merekalah orang-orang yang menyadari tentang nilai dari ujian yang mereka hadapi karena ikatan yang kuat dan mulia. Mereka menemukan padanya keteladanan yang pantas dan sangat patut dicontoh dan preseden yang baik untuk menjalani petunjuk hidayah. Sedangkan, bagi orang-orang yang ingin berpaling dari manhaj ini, orang-orang-orang-orang yang ingin menyimpang dari jalan lurus kafilah iman, dan orang-orang yang ingin melepaskan diri dari garis keturunan nasab yang tinggi ini, maka Allah tidak membutuhkan apa-apa darinya.4

Dari ayat dan penafsiran para mufasir dapat disimpulkan bahwa Nabi

(17)

Ibrahim telah mengedepankan keteladanan dalam beberapa hal. Sebagai pendidik, Nabi Ibrahim tampil sebagai teladan dengan kasih sayang dan lemah lembut. Dalam hubungan ini hendaknya seorang guru atau pendidik tidak boleh berlaku kasar kepada muridnya, tidak boleh menghina murid yang sedang berkembang.

Kasih sayang dan lemah lembut yang ditunjukkan seorang guru tersebut sejalan dengan psikologi manusia. Diketahui bahwa kegairahan dan semangat belajar seorang murid atau sebaliknya, sangat bergantung kepada hubunngan antara murid dengan guru.

Lingkungan keluarga (orang tua) merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama bagi seorang anak. Sebagai pusat pendidikan pertama dan utama, keluarga merupakan poros penentu dalam membentuk pribadi seorang anak menjadi muslim yang taat beribadah serta perkembangan berfikirnya dalam mempersiapkan anak bagi perannya di masa depan.

Pengalaman pergaulan dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak pada masa yang akan datang. Keluargalah yang akan memberikan wacana kehidupan seorang anak, baik perilaku, budi pekerti maupun adat kebiasaan sehari-hari. Dengan memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak dalam lingkungan keluarga, maka anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pula, karena tujuan pendidikan yang dilaksanakan di dalam rumah tangga (keluarga) adalah untuk membina, membimbing dan mengarahkan anak kepada tujuan yang suci.

Keteladanan yang baik memiliki pengaruh yang cukup besar pada diri seorang anak. Anak akan selalu meniru tabiat orang tuanya hingga orangtualah yang akan pertama kali mencetak anak menjadi apa saja yang diajarkan orangtuanya melalui perilaku mereka sendiri.5

Orang tua yang saleh, yang menjalankan ajaran-ajaran agama akan membawa dampak positif bagi anak dalam mengamalkan ajaran agama tersebut. Karena anak adalah peniru yang baik dan ia akan melakukan sesuai dengan apa

(18)

yang ia lihat dan apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Hal ini ditegaskan oleh M. Nur Abdul Hafizh bahwa, “Anak akan selalu melihat apa yang tengah dilakukan kedua orang tuanya dan secara perlahan mulai meniru dan berlaku seperti mereka. Hingga jika mereka mendapatkan kedua orang tuanya berlaku jujur, maka hal itu akan membentuk mereka menjadi orang yang jujur pula. Demikian pula sebaliknya”.6

Dalam perspektif psikologi, bahwasanya anak dalam perkembangan kepribadiannya selalu membutuhkan seorang tokoh identifikasi. Identifikasi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain.7Hal ini karena secara instingmanusia pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk mencontoh atau mengikuti orang lain, terlebih lagi mereka yang dianggap sebagai figur atau panutan.

Pada mulanya remaja hanya merindukan sesuatu yang dianggap bernilai dan pantas dipuja, walaupun sesuatu itu belum mempunyai bentuk tertentu. Kemudian objek pemujaan itu menjadi lebih jelas yaitu pribadi-pribadi yang dipandang mendukung nilai-nilai tertentu (personifikasi nilai-nilai).

Menurut Abdurrahman an-Nahlawi proses peniruan atau taqlid ada beberapa tahap, yaitu: Pertama, keinginan untuk meniru dan mencontoh. Anak terdorong oleh keinginan halus yang tidak dirasakannya untuk meniru orang yang dikaguminya tanpa disengaja. Peniruan tidak disengaja ini tidak hanya mengarah pada perilaku yang baik saja, tetapi kadang-kadang merambah kepada tingkah laku yang tidak terpuji. Seseorang yang terpengaruh, secara tidak disadari akan menyerap kepribadian orang yang mempengaruhinya, baik sebagian atau keseluruhan.

Kedua, kesiapan untuk meniru. Setiap tahapan mempunyai kesiapan dan potensi tertentu. Oleh karenanya Islam tidak memberikan perintah sholat pada anak yang usianya belum mencapai 7 tahun.

Ketiga, Tujuan. Setiap peniruan mempunyai tujuan yang kadang diketahui

6Ibid., h. 291

(19)

oleh peniru dan kadang tidak. Peniruan biasanya berlangsung dengan harapan akan memperoleh sesuatu seperti yang dimiliki oleh orang yang dikaguminya. Apabila peniruan ini disadari, dan disadari pula tujuannya, maka peniruan ini tidak lagi disebut taqlid, tetapi merupakan kegiatan yang disertai dengan pertimbangan yang disebutittiba’.8

Keempat, melakukan. Ketika anak memasuki tahap melakukan, ia akan mulai membiasakannya, sehingga lama kelamaan, sesuatu itu akan menjadi pribadinya. Apa yang dilakukannya bisa benar-benar serupa dengan apa yang ditirunya, namun juga bisa sebagian saja.

2. Ciri-ciri Keteladanan Beragama

Dilihat dari term-term keteladanan (uswatun hasanah) dalam al-Qur’an. Yakni “Uswah, Iqtida’,Ittiba’”, yang kesemuanya memiliki arti mencontoh atau mengikuti perilaku orang lain, di mana para Rasul dan para sahabatnya menjadi sentral modeling, maka keteladanan mereka tersebut dapat sifat dan prilaku sebagai berikut:

a. Keteladanan dalam Kesabaran

Keteladanan dalam kesabaran ini tercermin pada diri rasul. Sebagai mana firman Allah SWT:

ْﻢُﮭَﻟ ْﻞِﺠْﻌَﺘْﺴَﺗ ﺎَﻟَو ِﻞُﺳﱡﺮﻟا َﻦِﻣ ِمْﺰَﻌْﻟا ﻮُﻟوُأ َﺮَﺒَﺻ ﺎَﻤَﻛ ْﺮِﺒْﺻﺎَﻓ

ۚ

َمْﻮَﯾ ْﻢُﮭﱠﻧَﺄَﻛ

ٍرﺎَﮭَﻧ ْﻦِﻣ ًﺔَﻋﺎَﺳ ﺎﱠﻟِإ اﻮُﺜَﺒْﻠَﯾ ْﻢَﻟ َنوُﺪَﻋﻮُﯾ ﺎَﻣ َنْوَﺮَﯾ

ۚ

ٌغﺎَﻠَﺑ

ۚ

ﺎﱠﻟِإ ُﻚَﻠْﮭُﯾ ْﻞَﮭَﻓ

َنﻮُﻘِﺳﺎَﻔْﻟا ُمْﻮَﻘْﻟا

)

فﺎﻘﺣﻻا

:

35

(

Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (Q.S. Al-Ahqaf: 35).

Menurut Sayid Quthub dalam tafsir fi zhilalil qur’an, bahwa jalan dakwah sebagai jalan yang pahit. Sehingga, seseorang perlu berjiwa seperti

(20)

Muhammad SAW., yaitu bersabar dan tidak tergesa-gesa meminta diturunkannya azab atas musuh-musuh dakwah yang congkak. Ayat ini memotivasi, menyuruh bersabar, bersimpati, dan menghibur. Allah tidak berkehendak untuk menzalimi para hamba. Hendaknya para dai bersabar atas penderitaan yang dialaminya.9

Senada dengan itu Ibnu katsir menafsirkan ayat tersebut bahwa Allah menyuruh Rasul SAW untuk bersabar atas pendustaan kaumnya itu, maka bersabarlah kamu seperti orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul atas pendustaan yang telah dilakukan oleh mereka.10

Dari ayat dan penafsiran para mufasir dapat diketahui bahwa kesabaran merupakan kunci kekuatan iman. Hal itu didasarkan bahwa para Nabi yang memperoleh gelar Ulul Azmi memiliki kesabaran yang sangat luar biasa. Kesabaran para nabi dalam menerima ejekan, hinaan dan perlawanan dari kaumnya yang memusuhi merupakan bukti akan ketabahan dan kesabaran dalam menempuh jalan Allah. Dan mereka percaya akan memperoleh kemenangan dan keselamatan di dunia dan akherat.

b. Keteladanan dalam Beribadah

Firman Allah SWT dalam al-Quran sebagai berikut:

ﺎَﻣ ٰﻰَﻠَﻋ ْﺮِﺒْﺻاَو ِﺮَﻜْﻨُﻤْﻟا ِﻦَﻋ َﮫْﻧاَو ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ْﺮُﻣْأَو َةﺎَﻠﱠﺼﻟا ِﻢِﻗَأ ﱠﻲَﻨُﺑ ﺎَﯾ

َﻚَﺑﺎَﺻَأ

ۖ

ِرﻮُﻣُﺄْﻟا ِمْﺰَﻋ ْﻦِﻣ َﻚِﻟَٰذ ﱠنِإ

)

نﺎﻤﻘﻟ

:

17

(

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Q.S. Luqman : 17).

Inilah jalan akidah yang telah dirumuskan. Yaitu, mengesakan Allah, merasakan pengawasan-Nya, mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya, yakin kepada keadilan-Nya, dan takut terhadap pembalasan dari-Nya. Kemudian ia

9Sayid Quthub,op.cit., h. 337-338

(21)

beralih kepada dakwah untukmenyeru manusia agar memperbaiki keadaan mereka, serta menyuruh mereka kepada yang makruf dan mencegah mereka dari yang mungkar..11

Dari ayat dan penafsiran mufasir diatas, dapat penulis ambil benang merah dalam pendidikan keteladanan ibadah yaitu Lukman Hakim memerintahkan kepada anaknya untuk melaksanakan shalat karena dalam shalat itu terdapat hikmah dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.

Lukman Hakim merupakan contoh dari orang tua yang patut dijadikan teladan bagi orang-orang yang beriman. Ia merupakan bapak yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Nasehatnya yang dimulai dengan perintah shalat, kemudian diakhiri dengan perintah untuk sabar merupakan suatu hal yang sangat fundamental dalam mencapai ridha Allah SWT.

Orang tua dalam keluarga merupakan orang yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak. Untuk itu keteladanan beribadah perlu ditanamkan pada anak mulai sejak kecil. Dengan mempraktekkan ibadah seperti mengajak anak shalat berjamaah, berpuasa dibulan Ramadhan merupakan bentuk ibadah yang ditanamkan oleh ajaran agama. Hal tersebut akan membekas dan tertanam pada jiwa anak bila bila pendidikan beribadah dimulai sejak kecil.

c. Keteladanan dalam Akhlaq Karimah

ٰﻰَﻠَﻌَﻟ َﻚﱠﻧِإَو

ٍﻢﯿِﻈَﻋ ٍﻖُﻠُﺧ

)

ﻢﻠﻘﻟا

:

4

(

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S. Al Qalam: 4)

Ayat di atas menurut para, mufasir menunjukkan keutamaan akhlaq Nabi Muhammad saw. sebagaimana keutamaan akhlak Rasul maka dikatakan bahwa akhlak beliau adalah qur’an. Sebagaimana sabda Rasulullah:

َﻋ

ْﻦ

َﺳ

ْﻌ

ِﺪ

ْﺑ

ِﻦ

ِھ

َﺸ

ٍمﺎ

َﻗ

َلﺎ

َﺳ

َﺄْﻟ

ُﺖ

َﻋ

ِﺋﺎ

َﺸ

َﺔ

َﻓُﻘ

ْﻠ

ُﺖ

َأ

ْﺧ

َﺒ

ِﺮ

ْﯾِﻨ

ْﻲ

َﻋ

ْﻦ

ُﺧ

ُﻠ

ِﻖ

َر

ُﺳ

ْﻮ

ِل

(22)

ِﷲا

َﺻ

ﱠﻠ

ُﷲا ﻰ

َﻋ

َﻠْﯿ

ِﮫ

َو

َﺳ

ﱠﻠَﻢ

َﻓَﻘ

َﻟﺎ

ْﺖ

َﻛ

َنﺎ

ُﺧ

ُﻠُﻘ

ُﮫ

ْﻟا

ُﻘ

ْﺮ

ُنآ

.

Dari Sa’id ibn Hisyam berkata saya bertanya kepada ‘Aisyah ceritakan kepadaku tentang akhlak Rasulullah Saw., maka ‘Aisyah menjawab akhlak beliau adalah Al-Qur’an. (H.R. Ahmad)

Ma’mar menceritakan dari Qutadah, dia pernah menanyakan kepada Aisyah tentang akhlaq rasul, maka dia menjawab, “Akhlaq Rasul adalah al-Qur’an”. Yaitu sebagaimana yang terdapat dalam alQur’an. Seseorang dari Bani Sawad menyatakan, “aku bertanya kepada Aisyah,beritahukan kepadaku hai Umuml Mukminin, tentang akhlaq Rasulullah saw! lalu dia menjawab “tidaklah kamu baca alQur’an, dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung?” dia menjawab, pada suatu hari aku pernah membuatkan makanan untuknya.ternyata hafsah juga membuat makanan untuknya. Aku pun berkata pada budakku, pergila jika hafsah membawa makanan untukku, maka lemparkan makanan itu. Maka Hafsahpun datang dengan membawa makanan dan budak itupun melemparkan makanan tadi, sehingga piringnya jatuh dan pecah. Rasulullah ketika itu sudah kenyang, lalu rasul mengumpulkannya dan mengatakan, mintalah ganti piring itu kepada bani Aswad dengan piring lain.” Aisyah berkata dan Rasul saw sedikitpun tidak mengomentari hal itu”.12

Dari hadits di atas dapat dijelaskan bahwa nabi Muhammad merupakan manusia yang sangat mulia dan patut dijadikan suri tauladan dalam akhlaknya. Sebagaimana dikatakan bahwa Rasulullah berakhlak qur’an, maka segala tindakan beliau merupakan pilar ajaran moral. Dengan berakhlak karimah sebagaimana yang dicontohkan nabi akan membentuk jiwa yang suci.

Nabi Muhammad merupakan perwujudan semua kebajikan. Dia tidak hanya merupakan orang yang terbaik, tetapi juga nabi yang terbesar. Akhlaknya adalah qur’an demikian kata Aisyah istri nabi.

Dengan kata lain, kehidupan sehari-harinya merupakan gambaran yang benar-benar dari ajaran al-Qur’an. Karena kitab tersebut merupakan undang-undang

(23)

yang mengandung moral-moral yang tinggi bagi pengembangan kemampuan manusia yang berbeda-neda, maka kehidupan nabi memperlihatkan semua moral itu dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata.

Kesederhanaan, tutur bahasa yang halus, pemaaf merupakan inti akhlak nabi. Beliau mencintai kebajikan untuk kepentingan akhlak itu sendiri. Moral yang tinggi merupakan gambaran yang menarik dari akhlaknya. Dengan demikian patutlah bila beliau dijadikan sumber teladan dalam segala kebajikan.

d. Keteladanan dalam Tawadu’ Q.S. Asy Syu’ara’ ayat 215:

َﻦﯿِﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا َﻦِﻣ َﻚَﻌَﺒﱠﺗا ِﻦَﻤِﻟ َﻚَﺣﺎَﻨَﺟ ْﺾِﻔْﺧاَو

)

ءاﺮﻌﺸﻟا

:

215

(

Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (Q.S. AsySyu’ara’ : 215)

Bersikap rendah hati kepada orang lain maksudnya menghormati orang lain dengan ikhlas. Orang lain diperlakukan dengan penuh rasa hormat, dijaga perasaannya, dan ia menampakkan tingkah laku yang menyenangkan. Siapapun yang dihadapinya selalu diperlakukan dengan hormat. Bila berbicara dengan orang lain selalu dihargai lawan bicaranya. Kalau bertemu dengan orang yang lebih rendah tingkat sosialnya ia akan tetap berlaku hormat dan memuliakan martabatnya.

Rasul mempraktekkan sikap ini dalam kehidupan sehariharinya. Beliau tidak pernah marah terhadap orang yang menghina beliau. Bahkan beliau bila bertemu dengan para sahabat terlebih dahulu mengucapkan salam. Dan bila di tengah jalan beliau disapa oleh sahabat beliau menoleh dengan seluruh badannya. Akhlak rasul ini merupakan suri tauladan bagi kaum muslimin.

(24)

e. Keteladanan dalam Keadilan Q.S. An Nisa’ ayat 135:

ْﻢُﻜِﺴُﻔْﻧَأ ٰﻰَﻠَﻋ ْﻮَﻟَو ِﮫﱠﻠِﻟ َءاَﺪَﮭُﺷ ِﻂْﺴِﻘْﻟﺎِﺑ َﻦﯿِﻣاﱠﻮَﻗ اﻮُﻧﻮُﻛ اﻮُﻨَﻣآ َﻦﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأ ﺎَﯾ

َﻦﯿِﺑَﺮْﻗَﺄْﻟاَو ِﻦْﯾَﺪِﻟاَﻮْﻟا ِوَأ

ۚ

ﺎَﻤِﮭِﺑ ٰﻰَﻟْوَأ ُﮫﱠﻠﻟﺎَﻓ اًﺮﯿِﻘَﻓ ْوَأ ﺎﯿِﻨَﻏ ْﻦُﻜَﯾ ْنِإ

ۖ

اﻮُﻌِﺒﱠﺘَﺗ ﺎَﻠَﻓ

اﻮُﻟِﺪْﻌَﺗ ْنَأ ٰىَﻮَﮭْﻟا

ۚ

َنﻮُﻠَﻤْﻌَﺗ ﺎَﻤِﺑ َنﺎَﻛ َﮫﱠﻠﻟا ﱠنِﺈَﻓ اﻮُﺿِﺮْﻌُﺗ ْوَأ اوُﻮْﻠَﺗ ْنِإَو

اًﺮﯿِﺒَﺧ

)

ءﺎﺴﻨﻟا

:

135

(

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An Nisa’ : 135)

Dalam tafsir fi zhilalil qur’an ayat ini menjelaskan bahwa ini adalah seruan kepada orang-orang yang beriman, untuk menegakkan keadilan secara mutlak, dalam semua keadaan dan lapangan. Keadilan yang mencegah kesewenang-wenangan dan kezaliman, dan keadilan yang menjadi kesamaan di antara manusia dan memberikan hak kepada masing-masing yang punya hak, baik muslim maupun non muslim. Karena dalam hak ini, samalah di sisi Allah antara orang-orang mukmin dan orang-orang yang tidak beriman, atara kerabat dan orang jauh (bukan kerabat), antara kawan dan lawan, serta antara orang kaya dan orang miskin.13

Bersikap adil merupakan hakekat Islam itu sendiri karena Islam itu berisikan ajaran yang menegakan keadilan. Setiap dalam Islam, misalnya; hal ibadah, pergaulan dimasyarakat, dan tata tertib kehidupan keluarga, umat maupun negara, selaulu didasarkan pada prinsip keadilan.

Adapun adilnya seorang guru adalah dalam memberikan nilai kepada murid-muridnya sesuai dengan tingkat kemampuan dan kepandaian seorang

(25)

murid, tidak karena pilih kasih. Begitu juga dalam keluarga orang tua dapat membimbing anak-anaknya untuk bersikap adil. Seperti bila anak menumpahkan air teh ke lantai, maka yang bersangkutan harus membersihkan lantai yang dikotorinya, bukan menyuruh saudara yang lain untuk membersihkan karena ia menjadi anak kesayangan orang tuanya.

Pada hakekatnya proses menanamkan perilaku adil pada anak dapat dimulai oleh orang tua sejak timbulnya kasus anak dengan saudaranya atau dengan teman sepermainannya. Bila sejak dini dalam diri anak-anak sudah ditanam semangat untuk bertingkah laku adil, maka kelak setelah mereka dewasa semangat akan menjadi jiwa dan kepribadiannya. Dengan tertanamnya sifat adil pada anak-anak yang disemaikan oleh orang tua dalam keluarga, insyaallah akan dapat tercipta masyrakat yang adil dan umat yang berjiwa adil, insya Allah kelak mereka menjadi manusia saleh dan berani memperjuangkan tegakya kalimat Allah di muka bumi ini.

f. Keteladanan dalam Zuhud Q.S. Al-Furqan ayat 57:

ﺎًﻠﯿِﺒَﺳ ِﮫﱢﺑَر ٰﻰَﻟِإ َﺬِﺨﱠﺘَﯾ ْنَأ َءﺎَﺷ ْﻦَﻣ ﺎﱠﻟِإ ٍﺮْﺟَأ ْﻦِﻣ ِﮫْﯿَﻠَﻋ ْﻢُﻜُﻟَﺄْﺳَأ ﺎَﻣ ْﻞُﻗ

)

نﺎﻗﺮﻔﻟا

:

57

(

Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya.(Q.S. al-Furqan: 57)

(26)

hanya mencari ridha-Nya.14

Dari ayat dan dan penafsiran mufasir bila dikaitkan dengan profil pendidik, maka seorang guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan, baik ilmu dunia maupun akhirat, harus mengarah kepada tujuan hidup muridnya yaitu mencapai hidup bahagia dunia akhirat. Guru harus membimbing muridnya agar ia belajar bukan karena ijazah semata, hanya bertujuan menumpuk harta, mengapai kemewahan dunia, pangkat dan kedudukan, kehormatan dan popularitas. Dalam mengajar pendidik haruslah meneladani rasul,bukan bertujuan mencari harta benda dan kemewahan duniawi, melainkan mencari ridha Allah, ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Sebagaimana hal tersebut dikutib Abidin Ibn Rusn dalam Ihya’ yang artinya mengatakan:

Barang siapa mencari harta benda dengan cara menjual ilmu, maka bagaikan orang yang membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang yang memperhamba menjadi orang yang dihamba dan orang yang diperhamba.15

Pernyataan di sini bukan berarti seorang guru tidak boleh menerima gaji atau upah. Namun pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa seorang guru harus ikhlas. Tetapi kriteria ikhlas itu bukan hanya bersih dari tujuan lain selain Allah yang bersifat lahir seperti mengajar untuk mendapatkan upah atau gaji.

g. Keteladanan dalam Berpolitik Q.S. Muhammad ayat 4.

اوﱡﺪُﺸَﻓ ْﻢُھﻮُﻤُﺘْﻨَﺨْﺛَأ اَذِإ ٰﻰﱠﺘَﺣ ِبﺎَﻗﱢﺮﻟا َبْﺮَﻀَﻓ اوُﺮَﻔَﻛ َﻦﯾِﺬﱠﻟا ُﻢُﺘﯿِﻘَﻟ اَذِﺈَﻓ

ﺎَھَراَزْوَأ ُبْﺮَﺤْﻟا َﻊَﻀَﺗ ٰﻰﱠﺘَﺣ ًءاَﺪِﻓ ﺎﱠﻣِإَو ُﺪْﻌَﺑ ﺎﻨَﻣ ﺎﱠﻣِﺈَﻓ َقﺎَﺛَﻮْﻟا

) ...

ﺪﻤﺤﻣ

:

14 Sayid Quthub, Fi Zhilalil Qur’an, Terj. As’ad Yasin, dkk, Di Bawah Naungan Al-Qur’an, Jilid 19, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 310

(27)

4

(

Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. (Q.S. Muhammad:4).

Ayat ini menerangkan cara menghadapi orang-orang kafir dalam peperangan. Allah swt menerangkan, apabila kaum muslimin menghadapi orang-orang kafir dalam peperangan maka penggallah leher mereka di mana saja kamu temui dalam peperangan. Utamakan kemenangan yang akan dicapai pada setiap medan pertempuran dan janganlah kamu mengutamakan penawanan dan harta rampasan dari pada mengalahkan mereka.16

Menurut Ibnu Katsir ayat ini turun setelah peristiwa Badar. Allah telah mengecam orang-orang yang beriman yang terlalu banyak membawa tawanan dan selalu sedikit membunuh, agar mereka berhasil mengambil tebusan dari tawanan itu.17

Dari ayat dan penafsiran para mufasir maka dapat diketahui bahwa keteladanan Nabi Muhammad dalam perperang terdapat pada sifat keberanian beliau. Ini dibuktikan dengan tidak segan-segannya Nabi membunuh para musuh Allah dengan memancung leher mereka. Dan sifat belas kasihnya terhadap para tawanan perang sehingga Allah memerintahkan pada Nabi untuk tidak memperbanyak tawanan perang.

Sesungguhnya peperangan yang dilakukan Nabi bukanlah ambisi untuk menguasai mereka tetapi yang dilakukan Nabi karena membela agama Allah. Bagi beliau bertemu musuh jangan lari, tetapi hadapilah dengan semangat untuk mempertahankan diri karena tujuan peperangan adalah untuk mencapai kemenangan dan keselamatan umat serta menegakkan syariat dari Allah.

3. Faktor Keteladanan Beragama 16Sayid Quthub,op.cit., Jilid 10, h. 345

(28)

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian ada tiga aliran yang sudah sangat populer, yaitu aliran Nativisme, Empirisme dan aliran Konvergensi.

Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Menurut kaum nativisme itu, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Jadi, kalau benar pendapat tersebut percumalah kita mendidik; atau dengan kata lain pendidikan tidak perlu. Dalam ilmu pendidikan, hal ini disebut pesimisme pedagogis.18

Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan itu baik maka seseorang akan menjadi baik, begitupun sebaliknya. Aliran ini tampak lebih begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran.

Sedangkan aliran konvergensi (William Stern) berpendapat bahwa pembentukan kepribadian dipengaruhi oleh faktor internal (pembawaan dari diri) dan faktor eksternal (luar) yaitu pendidikan dan pembinaaan yang dilakukan secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan kearah yang baik yang ada dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode.

Dengan demikian faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian ada dua, yaitu faktor dari dalam, yakni potensi fisik, intelektual, dan hati (rohaniah) yang dibawa seseorang sejak lahir. Dan kedua adalah faktor dari luar yang dalam hal ini adalah orang tua, guru di sekolah, tokoh-tokoh serta pemimpin dalam masyarakat, dan lingkungan pergaulan lainnya seperti: teman bergaul, media informasi, dan lain-lain.

(29)

4. Fungsi Keteladanan Beragama

Metode keteladanan sebagai suatu metode digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan yang baik kepada siswa agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar. Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, akhlak, kesenian dan lain-lain.

Untuk menciptakan anak yang shaleh, pendidik tidak cukup hanya memberikan prinsip saja, karena yang lebih penting bagi siswa adalah figur yang memberikan keteladanan dalam menerapkan prinsip tersebut. Sehingga sebanyak apapun prinsip yang berikan tanpa disertai dengan contoh tauladan hanya akan menjadi kumpulan resep yang tak bermakna.

Sungguh tercela seorang guru mengajarkan sesuatu kebaikan kepada siswanya sedang ia sendiri tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini Allah mengingatkan dalam firmannya:

ِﺑ َسﺎﱠﻨﻟا َنوُﺮُﻣْﺄَﺗَأ

َبﺎَﺘِﻜْﻟا َنﻮُﻠْﺘَﺗ ْﻢُﺘْﻧَأَو ْﻢُﻜَﺴُﻔْﻧَأ َنْﻮَﺴْﻨَﺗَو ﱢﺮِﺒْﻟﺎ

ۚ

َنﻮُﻠِﻘْﻌَﺗ ﺎَﻠَﻓَأ

)

ةﺮﻘﺒﻟا

:

44

(

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?(QS. Al-Baqarah: 44)

Menurut Sayid Quthub dalam tafsir fi zhilalil qur’an menjelaskan bahwa bahaya para tokoh agama ketika agama sudah menjadi perusahaan dan perindustrian, bukan lagi akidah, pembebasan, dan pembela manusia dari kesesatan, ialah mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Mereka menyuruh orang lain berbuat baik sementara mereka sendiri tidak mau melakukannya. Mereka mengajak manusia kepada kebajikan, sedang mereka sendiri mengabaikannya.19

Dari penjelasan tersebut dapat diambil pelajaran, bahwa seorang guru agama hendaknya tidak hanya mampu memberikan perintah atau memberikan teori kepada siswa, tetapi lebih dari pada itu ia harus mampu menjadi panutan

(30)

bagi siswanya, sehingga siswa dapat mengikuti tanpa merasakan adanya unsur paksaan. Oleh karena itu keteladanan merupakan faktor dominan dan sangat menentukan keberhasilan pendidikan.

B. Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam

Manusia, menurut hakikatnya adalah makhluk belajar. Ia lahir tanpa memiliki pengetahuan, sikap, dan kecakapan apapun. Kemudian, tumbuh dan berkembang menjadi mengetahui, mengenal, dan menguasai banyak hal. Itu terjadi karena ia belajar dengan menggunakan potensi dan kapasitas diri yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Tuhan memberi potensi yang bersifat jasmani dan rohani untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat: 78 yang berbunyi:

َﻊْﻤﱠﺴﻟا ُﻢُﻜَﻟ َﻞَﻌَﺟَو ﺎًﺌْﯿَﺷ َنﻮُﻤَﻠْﻌَﺗ ﺎَﻟ ْﻢُﻜِﺗﺎَﮭﱠﻣُأ ِنﻮُﻄُﺑ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﺟَﺮْﺧَأ ُﮫﱠﻠﻟاَو

َنوُﺮُﻜْﺸَﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ َةَﺪِﺌْﻓَﺄْﻟاَو َرﺎَﺼْﺑَﺄْﻟاَو

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl: 78)

Orang yang tidak mau belajar dengan tidak memanfaatkan potensi dan kapasitasnya berarti menjauhi hakikatnya sebagai manusia. Potensipotensi tersebut terdapat dalam organ-organ fisio-psikis manusia yaitu indera penglihat (mata), indera pendengar (telinga) dan akal yang berfungsi sebagai alat-alat penting untuk melakukan kegiatan belajar.

Drs. Slameto merumuskan pengertian tentang belajar. Menurutnya belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.20

Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu

(31)

perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.21

Seorang belajar bila ia ingin melakukan suatu kegiatan sehingga kelakuannya berubah. Ia dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat dilakukannya. Ia menghadapi sutuasi dengan cara lain. Kelakuan harus kita pandang dalam arti yang luas yang meliputi pengamatan, pengenalan, perbuatan, keterampilan, minat, penghargaan, sikap, dan lain-lain. Jadi belajar tidak hanya mengenai bidang intelektual saja, akan tetapi seluruh pribadi anak, kognitif, efektif, maupun psikomotor.22

Menurut Juliah “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”.23

Hasil belajar dapat dilihat ketika siswa mencapai tujuan-tujuan pengajaran berupa aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan dan saling menunjang antara satu dengan yang lain. Domain hasil belajar adalah perilaku-perilaku kejiwaan yang akan diubah dalam proses pendidikan. Perilaku kejiwaan tersebut dibagi menjadi 3 domain yaitu: Tiga ranah hasil belajar tersebut dapat disebutkan sebagai berikut :

a. Kognitif Domain :

1) Knowledge (pengetahuan, ingatan).

2) Comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh). 3) Analysis (menguraikan, menentukan hubungan)

4) Synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru). 5) Evaluation (menilai).

6) Application (menerapkan). b. Affective Domain :

1) Receiving (sikap menerima).

21Ibid.

22Nasution,Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), Cet. 11, h. 59

(32)

2) Responding (memberikan respon). 3) Valuing (nilai).

4) Organization (organisasi). 5) Characterization (karakterisasi). c. Psychomotor Domain:

1) Initiatory level. 2) Pre-routine level. 3) Rountinized level.24

Benjamin S. Bloom berpendapat tiga ranah hasil belajar adalah kognitif, afektif dan psikomotorik.

1) Ranah kognitif “berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.”

2) Ranah afektif“berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi”. 3) Ranah psikomotoris “berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan

kemampuan bertindak. Ada enam aspek raah psikomotoris, yakni (a) gerak reflek, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) gerakan keterampilan kompleks, dan (f) gerakan ekspresif dan interpretatif”.25

Berdasarkan pendapat para ahli mengenai hasil belajar, penulis dapat menyimpulkan bahwa hasil belajar ialah tingkat penguasaan seseorang yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotorik sebagai akibat dari proses belajar yang telah diuji, salah satunya ialah dengan memberikan tes. Hasil tes mempunyai fungsi yaitu sebagai umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar serta dapat memberikan gambaran kemajuan bagi siswa.

Menurut HM. Arifin dalam bukunya menjelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah suatu suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun

24Sardiman A.M.,Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet. 19, h. 23-24

(33)

ukhrawi.26

Dalam kurikulum PAI yang dikutip oleh Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalu kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.27

Berdasarkan definisi dan pengertian yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan agama Islam adalah usaha sadar dan terencana berupa bimbingan dan asuhan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani anak didik yang bertujuan untuk membentuk anak didik agar setelah mereka memperoleh pendidikan itu anak didik dapat meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh ajaran Islam sehingga mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Dari penjelasan di atas dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan Agama Islam, yaitu :

1. Pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar yakni suatu kegiatan bimbingan, pembelajaran, atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.

2. Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan dalam arti ada yang dibimbing, Dibelajarkani, atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap ajaran Islam.

3. Pendidik atau Guru PAI yang melakukan kegiatan bimbingan, pembelajaran atau latihan secara sadar terhadap peseta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan Agama Islam.

4. Kegiatan pembelajaran PAI yang diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didiknya.

Menurut Muhaimin (2002) yang dikutip oleh Nusat Putra, dkk,

26 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), Cet. ke. 5, h. 8

(34)

berpendapat bahwa Pendidikan Agama Islam pada dasarnya menyentuh tiga aspek secara terpadu, yaitu: (1)knowing, yakni agar para peserta didik dapat mengetahui dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama; (2) doing, yakni agar peserta didik dapat mempraktikkan ajaran dan nilai-nilai agama; dan (3) being, yakni agar peserta didik dapat menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama.28

Berdasarkan definisi mengenai pendidikan agama islam maka teori-teori pendidikan Islam sekurang-kurangnya haruslah membahas hal-hal sebagai berikut:

a. Pendidikan dalam keluarga: 1) Aspek jasmani

2) Aspek akal 3) Aspek hati

b. Pendidikan dalam masyarakat 1) Aspek jasmani

2) Aspek akal 3) Aspek hati

c. Pendidikan di sekolah 1) Aspek jasmani 2) Aspek akal 3) Aspek hati29

2. Ciri-ciri Hasil Belajar

Bukti bahwa seseorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak

28 Nusa Putra dan Santri Lisnawati, Penelitian Kualitatif Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. I, h. 3

(35)

mengerti menjadi mengerti.30 Perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Perubahan yang terjadi secara sadar.

Ini berarti individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya individu merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, kecakapannya bertambah, kebiasaannya bertambah. Jadi perubahan tingkah laku individu yang terjadi karena mabuk atau dalam keadaan tidak sadar, tidak termasuk kategori perubahan dalam pengertian belajar. Karena individu yang bersangkutan tidak menyadari akan perubahan itu.

2. Perubahan dalam belajar bersifat fungsional

Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung terus menerus dan tidak statis. Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. Misalnya, jika seorang anak belajar menulis, maka ia akan mengalami perubahan dari tidak menulis menjadi dapat menulis. Perubahan itu berlangsung terus menerus hingga kecakapan menulisnya menjadi lebih baik dan sempurna.

3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif

Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu selalu bertambah dan tertuju untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena usaha individu sendiri. Misalnya, perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang terjadi dengan sendirinya karena dorongan dari dalam, tidak termasuk perubahan dalam pengertian belajar.

(36)

4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara

Perubahan yang bersifat sementara (temporer) yang terjadi hanya untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat, keluar air mata, menangis, dan sebagainya tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam pengertian belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. Misalnya kecakapan seorang anak dalam memainkan piano setelah belajar, tidak akan hilang, melainkan akan terus dimiliki dan bahkan makin berkembang bila terus dipergunakan atau dilatih.

5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah

Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan belajar terarah pada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari. Misalnya seseorang yang belajar mengetik, sebelumnya sudah menetapkan apa yang mungkin dapat dicapai dengan belajar mengetik, atau tingkat kecakapan mana yang dicapainya. Dengan demikian, perubahan belajar yang dilakukan senantiasa terarah pada tingkah laku yang telah ditetapkannya.

6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku

Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya.31

3. Faktor-faktor Hasil Belajar

Hasil belajar yang dicapai siswa dalam proses pembelajaran tidak dapat terlepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Untuk itu, Yudi

(37)

Munandi mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil siswa terdiri dari dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal.32 Keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Faktor internal

1) Faktor Fisiologis. Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani, dan sebagainya, semuanya akan membantu dalam proses dan hasil belajar.

2) Faktor psikologis. Setiap manusia atau anak didik pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, terutama dalam hal kadar bukan dalam hal jenis, tentunya perbedaan-perbedaan ini akan berpengaruh pada proses dan hasil belajarnya masing-masing. Beberapa faktor psikologis yang diantaranya meliputi intelegensi, perhatian, minat dan bakat, motif dan motivasi, dan kognitif dan daya nalar.

b. Faktor eksternal

1) Faktor lingkungan. Kondisi lingkungan juga mempengaruhi proses dan hasil belajar. Lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik atau alam dan dapat pula berupa lingkungan sosial.

2) Faktor Instrumental. Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor instrumental ini dapat berupa kurikulum, sarana dan fasilitas, dan guru.

4. Fungsi Hasil Belajar

Menurut Arikunto secara sistematis dapat dikemukakan bahwa laporan tentang siswa bermanfaat bagi beberapa pihak, yaitu:

a. Siswa sendiri

Secara alamiah setiap orang selalu ingin tahu akibat dari apa yang telah mereka lakukan, entah hasil itu menggembirakan atau mengecewakan. Jika

(38)

siswa mendapat informasi bahwa jawabannya salah, maka lain kali ia tidak akan menjawab seperti itu lagi.

b. Guru yang mengajar

Seperti halnya siswa yang ingin tahu akan hasil usahanya, guru yang mengajar siswa itu pun ingin mengetahui hasil u saha yang telah dilakukan terhadap siswa. Dengan melihat pada catatan laporan kemajuan siswa, maka guru akan dengan tenang mengamati hasil tersebut. Daftar nilai yang disimpan oleh guru masih merupakan catatan sementara, dan masih bersifat rahasia. Tetapi laporan kemajuan siswa yang berupa rapor atau STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) sudah merupakan laporan resmi yang bersifat tetap dan terbuka.

Oleh karena laporan ini merupakan titik tolak bagi guru untuk menentukan langkah selanjutnya, maka laporan ini harus dibuat sejujur dan setepat mungkin.

c. Guru lain

Yang dimaksud dengan guru lain di sini adalah guru yang akan menggantikan guru yang mengajar terdahulu karena siswa tersebut sudah naik kelas atau adanya perpindahan baik siswa yang pindah atau guru yang pindah ke tempat lain.

Apabila tidak ada catatan atau laporan mengenai siswa, maka guru yang menggantikan mengajar akan tidak tahu bagaimana meladeni atau memperlakukan siswa tersebut.

d. Petugas lain di sekolah

Siswa yang berada di suatu sekolah, sebenarnya bukan hanya merupakan asuhan atau tanggung jawab guru yang mengajar saja. Kepala sekolah, wali kelas, dan guru pembimbing, ketiganya merupakan personal-personal penting yang juga memerlukan catatan tentang siswa. Dengan demikian maka hasil belajar siswa akan diperhatikan dan dipikirkan oleh beberapa pihak.

(39)

Secara alamiah, orang tualah yang mempunyai tanggung jawab utama terhadap pendidikan anak. Akan tetapi karena berkembangnya pengetahuan secara pesat, menyebabkan orang tua tidak mampu lagi menguasai seluruh ilmu yang ada.

Dengan menyerahkan ke sekolah ini tidak berarti bahwa orang tua dapat lepas pemikiran dan menyerahkan cita-citanya kepada guru. Orang tua masih tetap merupakan penanggung jawab utama, dan masih pula menentukan cita-cita bagi anaknya. Itulah sebabnya maka orang tua masih ingin selalu mengetahui kemajuan anak dari hari ke hari, yang dapat dilihatnya melalui laporan yang dibuat oleh guru.33

(40)

32 A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Pasarminggu Jakarta Selatan yang berlokasi di Jln. Asem Komp Pejaten Indah II Kebagusan Pasarminggu Jakarta Selatan.

2. Waktu Penelitian

Waktu pelaksanaan penelitian ini direncanakan mulai bulan Februari sampai dengan selesai.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, merupakan penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan atau gambaran umum tentang suatu fenomena atau gejala yang dilandasi pada teori, asumsi atau andaian, dalam hal ini dapat diartikan sebagai pola fikir yang menunjukkan hubungan antara variabel-variabel yang akan diteliti, sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan adalah untuk merumuskan hipotesis, dan teknik analisis statistik yang hendak digunakan.1

C. Populasi dan Sampel

Pengertian populasi menurut Singarimbun yang dikutip oleh Iskandar “adalah jumlah keseluruhan dari unit-unit analisis yang memiliki ciri-ciri yang akan diduga”.2

Populasi adalah unit tempat diperolehnya informasi. Elemen tersebut bisa berupa individu, keluarga, rumah tangga, kelompok sosial, sekolah, kelas,

1Iskandar,Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial, (Jakarta: Referensi, 2013), Cet. 5, h. 17

(41)

oragnisasi, dan lain-lain. Dengan kata lain populasi adalah “kumpulan dari sejumlah elemen”.3 Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah siswa SMP Pasarminggu Jakarta Selatan kelas IX yang berjumlah 100 siswa.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil secara representatif atau mewakili populasi yang bersangkutan atau bagian kecil yang diamati. Penelitian terhadap sampel biasanya disebut studi sampling.4Dalam penelitian ini penulis mengambil sampel dengan system kelompok atau cluster sampling. Sampel ini digunakan apabila populasi cukup besar, sehingga perlu dibuat beberapa kelas atau kelompok. Dengan demikian, dalam sampel ini uni analisisnya bukan individu tetapi kelompok atau kelas yang terdiri atas sejumlah individu.5Mengingat keterbatasan waktu penulis mengambil sampel berjumlah 40 siswa kelas IX. Dengan cara seperti ini, maka diharapkan setiap anggota dari populasi memiliki kemungkinan yang sama untuk di pilih sebagai sampel penelitian.

Setelah angket yang diberikan kepada responden telah dikembalikan, tahap berikutnya adalah penyuntingan (editing) yaitu memeriksa angket yang telah dikembalikan oleh responden dalam tahap untuk mengelola data.

D. Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Penelitian ini melibatkan dua variabel, yaitu:

1. Variabel X sebagai variabel bebas (independent variable), yaitu keteladanan beragama orang tua.

2. Variabel Y sebagai variabel terikat (dependent variable), yaitu hasil belajar Pendidikan Agama Islam.

3Nana Sudjana dan Ibrahim, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, (Bandung: PT Sinar Baru, Algensindo 2001), Cet. 2, h. 84

4Iskandar,

Referensi

Dokumen terkait

belajar di SMP Negeri 1 Jatipurno bagi siswa yang orang tuanya perantau. dan bagi siswa yang orang

Hanya saja bagi dirinya dan orang tuanya mendapat nilai bagus dalam pelajaran agama dan tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim sudah cukup

Karena berbicara tentang kemandirian pada remaja tidak hanya pada aspek anak lepas dari kontrol orang tuanya, melainkan juga kemampuan seorang remaja untuk menggunakan potensi

bekal perjalanan anak sampai ke akhirat. Masa depan anak yang ada dalam perencanaan orang tua tidak hanya sampai pada kesuksesan di dunia namun jauh sampai kea

Langkah ini dimulai dengan mencari pola, tema, hubungan, hal-hal yang sering timbul, yang mengarah pada penerapan pola asuh demokratis orang tua dan minat belajar anak terhadap

Pola mengajarkan anak untuk selalu dapat menutup aurat mereka, bisa dengan cara memberikan contoh perbuatan atau tindakan dari kedua orang tuanya, sebagai contoh:

Pola asuh single parent dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi perkembangan atau pendidikan anak, karena orang tua yang single parent cenderung tidak bisa

No Pernyataan Alternatif Jawaban SS S TS STS 1 Orang tua perlu pendidikan tinggi sebagai bekal dalam mendidik anak 2 Pendidikan yang tinggi mempengaruhi pola asuh dalam membimbing