SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh :
Ahmad Ridhawi
NIM 109045200003
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iv
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Januari 2014
v
bin Abi Thalib. Konsentrasi Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2013, x+94 halaman.
Masalah pokok dari penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor politik yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib
Jenis penelitian ini adalah metode penelitian sejarah (history) dengan tujuan untuk memahami masa lalu, dan mencoba menguraikan berbagai fenomena-fenomena yang terjadi di masa lampau. Jenis data dalam penelitian ini adalah lebih mendominasi kepada data primer yang diperoleh dengan teknik studi pustaka berupa referensi-referensi mengenai Sejarah Peradaban Islam pada masa sahabat, yaitu Sahabat Ali bin Abi Thalib dan tidak terlepas dari analisa-analisa yang positif sehingga memperoleh data-data sejarah tepat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa konflik yang mewarnai pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Maka dari itu, dengan penelitian ini dapat memberikan pandangan yang positif terhadap sosok Ali bin Abi Thalib ketika menghadapi persoalan-persoalan pemerintahan yang tidak terlepas dari Al-Quran dan Sunnah.
Kata kunci : Konflik Politik Pada Masa Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib
Pembimbing : 1. Iding Rosyidin, M.Si
2. Masyrofah, M. Si
vi
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat
dan Karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam tidak lupa dipanjatkan kepada
Nabi Muhammad Saw.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, karena tanpa bantuan,
pentunjuk, bimbingan dan saran-saran mungkin penulis tidak akan dapat
menyusun laporan ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan
Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta
para pembantu Dekan.
2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Jurusan
Siyasah Syar‟iyah.
3. Bapak Afwan Faizin, MA, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah,
Jurusan Siyasah Syar‟iyah.
4. Bapak Dr. Muhammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, Dosen Penasehat
vii
sehingga penulis bisa mempercepat penyelesaian skripsi ini.
6. Ibu Masyrofah, M.Si Dosen pembimbing II yang penulis banggakan,
melalui tangan dingin beliau lah penulis banyak mendapat inspirasi dan
ide-ide untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan staf Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang membuat penulis mudah untuk mencari
referensi dan literatur buku selama kuliah.
8. Prof. Dr. H. Afrizal Mansur, M.A Dosen Akidah Filsafat UIN Syarif
Kasim Pekanbaru, Riau dan juga sebagai Ayah bagi penulis yang telah
banyak membantu memberikan masukan, saran, dan kritikan kepada
penulis sehingga penulis dapat merangkai kalimat demi kalimat untuk
menyelesaikan skripsi ini.
9. Ibuku tercinta Rukmini Dalil yang juga sangat berperan dalam mendukung
pembuatan skripsi ini. Dengan kritikan pedas beliau setiap hari, penulis
menjadi fokus kembali untuk menulis skripsi, sehingga skripsi penulis
selesai tepat pada waktunya.
10.Semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung yang telah
viii kurang berkenan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari skripsi ini, baik
dari segi penulisan maupun isi pembahasannya, mengingat kurangnya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu segala kritik dan saran yang
membangun sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memenuhi
syarat dan bermanfaat bagi siapa yang membacanya.
Jakarta, 23 Januari 2014
Penulis
ix
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii
LEMBARAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C.Rumusan dan Pembatasan Masalah... 7
D.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
E. Tinjauan Pustaka ... 9
F. Metode Penelitian ... 10
G.Sistematika Penulisan ... 12
BAB II MENGENAL ALI BIN ABI THALIB ... 14
A.Riwayat Hidupnya ... 14
B. Pemikiran-Pemikiran Ali bin Abi Thalib ... 24
BAB III KEMIMPINAN ALI BIN ABI THALIB ... 31
A.Pengangkatan Ali sebagai Khalifah ... 31
B. Kebijakan-Kebijakan Ali bin Abi Thalib ... 41
BAB IV KONFLIK-KONFLIK POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB ... 47
x
Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib ... 78
D.Strategi Ali dalam Menyelesaikan Konflik Politik di Masa itu ... 85
BABV PENUTUP ... 91
A.Kesimpulan ... 91
B. Saran-saran ... 93
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang sudah menganut agama Islam
semenjak kecil, sehingga ia dijuluki anak muda yang tidak pernah memiliki
keyakinan musyrik. Dari kecil ia diasuh dan dibesarkan oleh Nabi Muhammad
Saw. Nabi sendiri menyayanginya karena sifat-sifatnya yang mulia.1 Meskipun
masih sangat muda Ali selalu menemani Nabi dalam menyiarkan misinya, dan
telah menjadi pejuang yang terkemuka bagi Islam. Dia merupakan prajurit
agung, dia berperang dan menjadi terkenal di dalam semua pertempuran yang
dilakukan oleh umat Islam dalam melawan kaum kafir dan orang-orang
Yahudi.
Ali sangat menonjol, baik dalam menggunakan pedang maupun dalam
menggunakan pena. Sebagai seorang ulama dan seorang orator (ahli pidato),
Ali merupakan orang yang paling ulung pada waktu itu. Kata-katanya menjadi
buah mulut karena kedalaman pemikiran dan kebijaksanaannya. Ia terkenal
sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Disebabkan oleh ilmu, kebijaksanaan, dan
kecerdesannya, nasihatnya sangat dihargai oleh Khalifah Abu Bakar dan
Umar, dan dia menempati kedudukan sebagai penasihat utama di dalam
kekhalifahan mereka.
--- 1
Ali adalah seekor singa dalam keberaniannya maupun kedermawanan
dan keluhuran budinya. Sederhana, terus terang, tulus hati, dan lapang dada,
adalah sifat-sifat Ali sehingga dia merupakan perwujudan dari semua
kebajikan manusia. Akan tetapi, kesederhanaan, keterusterangan, dan
kelapangdadannya ternyata merupakan kekurangannya sebagai seorang
pengusaha karena dia mudah mempercayai orang-orangnya, maka
musuh-musuhnya yang cerdik dengan mudah dapat menipunya.
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat dalam kelompok Khalifah
Rasyidin. Ia dilantik menjadi khalifah mengganti Utsman bin Affan yang
terbunuh oleh “sekelompok pemberotak asal Mesir”.2
Ali bukan hanya
mewarisi jabatan ke-Khalifah, tetapi juga menuai konflik dari Utsman yang
sudah tertanam dalam masyarakat Islam. “Sepanjang pemerintahan Utsman
telah timbul berbagai ketagangan yang belum dirasakan sebelumnya”.3
Ali tidak dapat melepaskan diri dari konflik tersebut begitu saja.
Konflik-konflik itu juga menjadi masalah besar sepanjang pemerintahannya.
Badri Yatim mengatakan bahwa “Ali menghadapi berbagai pemberontakan.
Tidak ada masa sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan
stabil”.4
Hidupnya dijalaninya untuk menghadapi berbagai konflik dan
--- 2
Ibrahim Siraj, Pembunuhan Politik dalam Sejarah Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cetakan Pertama, 2010, hlm. 27.
3
Konflik timbul cukup kompleks, antara lain disebabkan perluasan kekuasaan, yang diikuti dengan perpecahan, baik oleh situasi umum maupun oleh ketidakmampuan Utsman sendiri untuk mengatasinya. Utsman dikepung di rumahnya di Madinah dalam kondisi tidak memiliki pasukan dan pengawal yang siap melindunginya. Lihat Jubair Situmorang, Politik Ketatanegaraan
dalam Islam, (Siyasah Dusturiyah), Bandung: Pustaka Setia, 2012, hlm. 184.
4
pemberontakan, yang banyak muncul dari kalangan Islam sendiri
dibandingkan dengan yang datang dari luar umat Islam.
Memang Ali bin Abi Thalib termasuk salah seorang khalifah yang
fenomenal dan mendapat jaminan dari Rasul untuk masuk surga. Mungkin ini
pula salah satu faktor yang menyebabkan ia digolongkan pada kelompok
Khalifah Ar-Rasyidin. Namun pengelompokan itu tidak menjaminnya terlepas
dari berbagai masalah yang rumit sepanjang hidupnya.5
Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah pada bulan juni tahun
565 M melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.6 Pengukuhan Ali menjadi
khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali
dibai‟at di tengah-tengah suasana berkabung atas peristiwa meninggalnya
Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah
sedang terjadi. Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat
Ali supaya bersedia dibai‟at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum
pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota
Madinah, seperti Thalhah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, dan
Abdullah bin Umar agar menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan
tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih
menginginkan Ali menjadi khalifah. Dia didatangi beberapa kali oleh
kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai‟at menjadi khalifah. Namun
Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui
--- 5
Abdul Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Yogyakarta:pustaka book publisher,cetakan pertama, 2007,hlm, 89.
6
musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka.
Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu
segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar,
akhirnya Ali bersedia dibai‟at menjadi khalifah.
Ia dibai‟at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan anshar serta para
tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat
senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah,
Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam yang waktu itu
berada di Madinah tidak mau ikut membai‟at Ali. Ibn Umar dan Saad
misalnya bersedia membai‟at kalau seluruh rakyat sudah membai‟at.
Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka membai‟at secara
terpaksa. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa mereka bersama kaum
Anshar dan Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai‟at
menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain,
kecuali memilih Ali.
Dengan demikian, Ali tidak dibai‟at oleh kaum muslimin secara
aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di berbagai
kota. Mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru dan wilayah islam
sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat islam tidak hanya berada di
tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar di Jazirah
Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai‟at Ali
keluarga Ustman dan Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena
menurutnya Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.7
Sejarah mencatat bahwa dalam pengolahan urusan pemerintahan Ali
juga selalu mengutamakan tradisi musyawarah sebagaimana pendahulunya,
meskipun sudah kurang efektif, sebab telah terjadi friksi-friksi yang tajam
dikalangan umat islam, yaitu antara kelompok Umayyah (pendukung
Muawiyah) dan hasyimiyah (pendukung Ali).8
Tidak mengherankan jika kemudian pada masa kepemimpinan Ali,
terjadi berbagai konflik-konflik, seperti perang jamal (onta) antara Ali dan
Aisyah, perang shiffin antara Ali dan Muawiyah yang membelot sampai
terjadinya tahkim9 (masing-masing pihak memilih seorang hakim) dan peritiwa itu terjadi pada tahun 34 H.
Setelah selesai perang jamal dan perang Siffin lantas bukan berarti Ali
terlepas dari konflik. Sebaliknya ia terpaksa menghadapi perlawanan dari
tentaranya sendiri yang tidak setuju dengan penerimaan (tahkim) arbitrase10
dalam penyelesaian konflik dengan Mu‟awiyah. Karena penerimaan tahkim ini
Ali dan pasukannya mendapat kekalahan dalam peperangan maka sebagian
pengikutnya membelot dan membentuk kelompok sendiri yang disebut dengan
kaum Khawarij. Konflik dengan kaum ini ternyata sangat melelahkan bagi Ali
dan yang tragisnya ini pula yang menyebabkan ia terbunuh. Terbunuhnya Ali
--- 7
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2008), hlm. 95-96. Selanjutnya ditulis Dedi, Sejarah.
8
Dedi, Sejarah, hlm.71
9
Yayan Sopyan, M.Ag, Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Depok: Gramata Publishing, 2010, hlm. 94
10
kemudian menimbulkan babak baru dalam sistem pemerintahan di negara
Islam.
Begitulah gambaran umum tentang konflik yang terjadi pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib. Uraian di atas belum mengungkap semua
peristiwa yang terjadi. Untuk mendalami peristiwa ini lebih jauh, perlu
dilakukan kajian yang mendalam sehingga pertanyaan yang ada dalam
penelitian ini dapat dijawab dengan baik.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas sesungguhnya dapat
diambil berbagai unsur yang menjadi identifikasi dari judul ini, antara lain :
1. Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi, yang termasuk kelompok
Khalifah Rasyidin, mendapat jaminan dari Rasulullah Saw sebagai
penghuni surga sehingga ada indikasi ia terlepas dari kesalahan dan
kekeliruan, tetapi masa kepemimpinannya penuh dengan konflik dan
tragedi memilukan.
2. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib yang masih belum banyak diketahui, dan perlu
digali lebih mendalam.
3. Penilaian objektif terhadap sosok Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai
sahabat yang dianggap mumpuni oleh masyarakat umum dan perlu
4. Berbagai kemungkinan pengajaran yang dapat diambil dari fenomena
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk dianalisis secara politis
akademis dan agamis.
C. Rumusan Dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah maka penulis mengemukakan
rumusan masalah sebagai berikut, yaitu :
1. Bagaimanakah konflik-konflik politik pada masa pemerintahan Khalifah
Ali bin Abi Thalib?
2. Apa sajakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik politik
pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib?
3. Bagaimana strategi Ali dalam menyelesaikan konflik-konflik pada masa
pemerintahannya?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis membatasi masalah
menjadi tiga faktor, yaitu :
1. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah,
Zubair dan Aisyah
2. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan
Mu‟awiyah bin Abu Sofyan
3. Konflik yang terjadi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Kaum
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengungkap konflik-konflik politik yang terjadi selama
Khalifah Ali bin Abi Thalib menjalankan pemerintahannya.
b. Untuk mengungkap faktor-faktor yang timbul dari konflik pada masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu Manfaat
praktis dan manfaat akademis.
a. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan pemahaman baru terhadap perjalanan
perpolitikan pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
b. Manfaat Akademis
Adapun manfaat akademis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Terungkapnya pemahaman baru dalam masyarakat mengenai
perjalanan politik pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
tidak terlepas dari konflik.
b) Masyarakat mengetahui bahwa gelar Khalifah Ar-Rasyidin bukan
berarti Khalifah Ali bin Abi Thalib terlepas dari kesalahan dan
kekeliruan, melainkan juga menghadapi berbagai permasalahan
E. Tinjauan Pustaka
Banyak buku yang membahas tentang perjalanan politik pada masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Buku yang paling banyak mengupas persoalan
ini antara lain :
1. History of the Arabs, tulisan Philip K Hitti, yang diterjemahkan oleh R
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Buku ini dipopulerkan
sebagai rujukan induk paling terkenal dalam sejarah peradaban Islam.
Isinya sangat luas mulai dari sejarah Arab sebelum Islam sampai terjadinya
perubahan baru islam di abad moderen. Karena pemabahasannya sangat
luas membuat penjelasan tentang konflik-konflik politik yang terjadi di
masa Usman dan Ali tertuang dalam buku ini secara terpisah dan
bentuknya sangat umum. Sulit untuk memahami jalan sejarah perpolitikan
itu secara runtut sehingga perlu dibahas secara spesifik.
2. Buku Sejarah Peradaban Islam yang ditulis oleh Dr. Badri Yatim, M.A,
yang termasuk sebagai referensi primer di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, sejak tahun 1990/1991.
3. Buku Biografi Ali Bin Ali Thalib yang ditulis oleh Prof. DR. Ali
Muhammad Ash-Shalabi pustaka al-Kautsar Jakarta, mengungkap secara
luas. Pengalaman hidup dan problematika yang dialami Ali bin Abi Thalib
dalam pemerintahannya.
4. Uraian tentang tentang topik ini juga terdapat dalam Teologi Islam Karya
Harun Nasution. Penulisnya mengungkap peristiwa yang terjadi pada
bagaimana hubungan setiap peristiwa itu dengan sekte-sekte teologi Islam.
Berbeda dengan kedua buku ini, dalam tulisan penulis membahas secara
khusus segala peristiwa yang terkait dengan konflik-konflik yang terjadi
pada masa pemerintahan kedua sahabat Rasulullah Saw ini. Pembahasan
ditekankan dalam hubungannya dengan proses pemilihan kepala negara
dan kepala pemerintahan yang menyeret orang-orang yang dekat dengan
Nabi Saw dan konsen untuk Islam.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
sejarah (history) yang merujuk kepada studi pustaka. Yang dimaksud dengan
penelitian sejarah menurut Sejarawan Inggris E.H. Carr (dalam Gall, Gall &
Borg, 2007)11 telah menjawab pertanyaan “What is history?”, Sejarah adalah suatu proses interaksi yang terus-menerus antara sejarawan dan fakta yang
ada, yang merupakan dialog tidak berujung antara masa lalu dan masa
sekarang. Artinya sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang
telah terjadi.
Dalam bahasa Arab kata, tarikh, ta‟rikh, dan taurikh berarti
pemberitahuan terhadap waktu, kadangkala kata tarikhusy syai menunjukkan
arti, tujuan dan masa berakhinya. Termasuk di dalamnya peristiwa dan
kejadian besar yang sejalan. Sejarah (tarikh) adalah suatu seni yang membahas
tentang kejadian-kejadian waktu dari segi spesifikasi dan penentuan waktunya,
--- 11
temanya manusia dan waktu, permasalahannya adalah keadaaan yang
menguraikan bagian-bagian ruang lingkup situasi yang terjadi pada manusia
dan dalam suatu waktu. 12
Data-data yang diperlukan dan akan dikumpulkan dalam penelitian
adalah data-data sebagai berikut :
a. Data-data tentang segala konflik yang terjadi, pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib.
b. Data-data yang terkait dengan penyebab-penyebab kenapa konflik itu
terjadi.
c. Data-data tentang akibat yang ditimbulkan oleh konflik pada masa
pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku yang
membahas dan menyoroti konflik-konflik politik pada masa Khalifah Ali bin
Abi Thalib, antara lain yang disebutkan adalah, History of the Arabs karya
Philip K Hitti, dan Teologi Islam karya Harun Nasution, Politik
Ketatanegaraan dalam Islam karya Jubair Situmorang, Pembunuhan Politik
dalam sejarah Dunia kayra Ibrahim Suraj serta buku-buku lain yang
menyinggung persoalan yang sedang dibahas.
Pengumpulan dilakukan dengan cara mengumpulkan semua referensi
yang terkait sebanyak mungkin agar data-data yang diperoleh lebih akurat dan
saling mendukung. Kemudian pengumpulan data juga dilakukan dengan
bertanya kepada orang-orang yang mungkin tahu dan memahami dengan baik
--- 12
persoalan yang sedang ditulis. Dimungkinkan juga diperoleh data dari atikel,
buletin, karya ilmiah, dan tidak tertutup melalui internet.
Selanjutnya data-data yang sudah terkumpul dianalisa dengan cara
menelaah semua data yang ada, memahami maksudnya dan kemudian
menempatkannya sesuai dengan persoalan penelitian yang sudah dibuat.
Rangkaian-rangkaian data itu disusun menjadi laporan penelitian sehingga
terwujudlah hasilnya dalam bentuk skripsi.
G. Sistematika Penulisan
Agar lebih mudah memahami isi skripsi ini maka dibuat sistematika
penulisan sebagai berikut :
Bab satu merupakan bab pendahuluan yang terdiri atas latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab dua membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
mencakup riwayat hidup dari masa kecil, pendidikan, prestasi dan kemajuan
yang dicapai dalam pemerintahannya.
Bab tiga membahas tentang Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
mencakup proses pemilihan serta pengangkatan yang berbeda dari ketiga
Khalifah sebelumnya, dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pada masa
Bab empat membahas tentang konflik-konflik politik yang terjadi pada
masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang mencakup inti dari
permasalahan skripsi ini.
Bab lima adalah bagian akhir dari skripsi yang berisi kesimpulan dan
saran-saran. Kemudian skripsi dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang
14
Pada bab ini penulis memperkenalkan siapa sesungguhnya Ali bin Abi
Thalib. Di sini penulis ingin mengemukakan berbagai sisi positif dari beliau
karena tidak sedikit hal-hal baik yang terdapat pada diri sang Khalifah.
Pembahasan ini bertujuan untuk menghindari sikap subjektif dan pandangan
sepihak yang kurang baik jika sisi positif sang khalifah tidak dikemukakan, karena
inti persoalan yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini lebih kepada
persoalan konflik yang cenderung kepada aspek negatifnya. Dengan
mengemukakan aspek positif itu supaya keseimbangan pembaca melihat Ali bin
Abi Thalib lebih kelihatan. Oleh sebab itu pembahasan dalam bab ini dibagi
menjadi beberapa pasal sebagai berikut:
A. Riwayat Hidupnya
Namanya adalah Ali bin Abi Thalib (Abdu Manaf) bin Abdul
Muthalib dipanggil juga dengan nama Syaibah al-Hamdi bin Hasyim bin
Abdu Manaf bin Qusai bin Kilab bin Lu‟ai bin Ghalib bin Pihir bin Malik bin
An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar
bin Nizar bin Ma‟ad bin Adnan. Dia adalah khalifah keempat dari Khulafaur
Rasyidin.1 Dia adalah anak Paman Rasulullah dan bertemu dengan beliau
pada kakeknya yang pertama yaitu Abdul Muthalib bin Hasyim. Kakeknya ini
memliki anak bernama Abu Thalib, sudara kadung Abdullah, ayah dari Nabi
---
1
Muhammad saw. Nama yang diberikan kepada Ali pada saat kelahirannya
adalah Asad (singa). Nama tersebut hasil pemberian ibunya sebagai kenangan
terhadap nama bapaknya yang bernama Asad bin Hasyim.2
Ketika Ali lahir, ayahnya Abu Thalib tidak ada di tempat. Oleh sebab
itu pemberian nama Asad hanyalah pemikiran istrinya, ibu Ali. Setelah
mengetahui nama yang diberikan kepada anaknya adalah Asad (Haidar) Abu
Thalib merasa kurang tertarik sehingga nama itu digantinya dengan Ali.3
Nama inilah yang populer di kalangan umat Islam sampai sekarang.
Selain nama yang banyak diketahui umat Islam Ali memiliki nama
lain yang patut diketahui. Salah satu gelar itu adalah Abu Turab. Istilah abu
dalam bahasa Arab berarti bapak dan turab berarti tanah. Dengan demikian
abu turab berarti bapak tanah. Karena pemberian Rasulullah Ali merasa
senang saja dengan gelar itu. Pemberian gelar ini mempunyai latar balakang
tersendiri. Ketika berkunjung ke rumah Fathimah, putri beliau, Rasulullah
Saw bertemu Ali. Karena itu beliau bertanya kepada putrinya tentang
keberadaan Ali. Fathimah pun menjelaskan bahwa telah terjadi perselisihan
antara Fatimah dengan Ali, lalu Ali marah dan pergi meninggalkan rumah.
Oleh sebab itu, Nabi menyuruh seseorang laki-laki yang ada di rumah itu
untuk mencari informasi di mana Ali berada. Setelah informasi diperoleh
orang itu mengabarkan bahwa Ali sedang tidur di mesjid. Kemudian
Rasulullah menjumpai dan benar Ali sedang tidur di mesjid tanpa baju dan
tanpa alas sehingga badannya bertaburan debu. Karena itu Rasulullah
---
2
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali Bin Abi Thalib, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2012, hlm. 13.
3
membangunkannya dan memanggil dengan ucapan “wahai Abu At-Turab”.
Semenjak itu Ali mendapat gelar Abu Turab.4 Gelar ini dipakai kemudian dipakai oleh lawan-lawannya dan ini didukung oleh beberapa Orientalis.
Kabarnya orang-orang Syi‟ah disebut orang Turabiyah dan pengikut Ali
disebut Turabi.5 Gelar lain yang diperoleh Ali adalah Abu al-Hasan karena ia memiliki seorang anak yang bernama Hasan.6
Ali bin Abi Thalib lahir di Mekah dekat Ka‟bah.7
Menurut al-Faqihi,
dan al-Hakim seperti dikutip as-Shalabi Ali bin Abi Thalib adalah orang
pertama yang lahir di Ka‟bah.8 Terjadi perbedaan pendapat sejarahwan tentang waktu kelahiran Ali bin Abi Thalib. Menurut Hasan al-Basri seperti
dijelaskan As-Shalabi, Ali lahir 15 atau 16 tahun sebelum kenabian. Ada pula
yang mengatakan Ali lahir lima tahun sebelum kenabian. Ibn Ishak dan
kebanyakan ahli sejarah mengatakan Ali lahir 10 tahun sebelum kenabian.
Ali Audah mengatakan Ali lahir pada hari Jumat 13 Rajab tahun 600 Masehi.
Tahun ini dihitung berdasarkan catatan sejarah dengan jarah 30 tahun setelah
kelahiran Rasulullah saw., yaitu tahun 570 Masehi.
Semenjak masa bayi Ali diasuh oleh Nabi Muhammad saw sendiri,
karena Nabi dulunya juga diasuh oleh Abu Thalib, ayah Ali.9 Nabi Muhammad saw ketika masih muda dan beliau juga membalas budi
pamannya Abu Thalib dengan mengasuh Ali. Rasul sangat sayang kepadanya
---
4
Ash-Shalabi, Biografi, hlm. 15.
5
Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husen, Bogor : Litera AntarNusa, Pustaka Nasional, 2010, hlm. 28. Selanjutnya disebut Audah, Ali.
6
Audah, Ali, hlm. 28.
7
Audah, Ali, hlm. 27.
8
As-Shalabi, Biografi, hlm. 15.
9
karena memiliki sifat yang mulia.10 Sifat yang mulia itu memang sudah kelihatan pada diri Ali semenjak kecil karena bergaul dengan orang yang baik
budi pula. Selain takdir Allah, keluarga dan lingkungan dapat berpengaruh
kepada generasi yang ditinggalkannya dari segi pisik, bakat, keberanian,
penampilan11 dan sebagainya.
Seperti diketahui Ali adalah keturunan Bani Hasyim dari Suku
Quraisy. Dalam sejarah, suku ini memiliki bahasa yang fasih dan cakap
menjelaskan sesuatu secara gamblang. Selain itu mereka juga berakhlak
mulia, memiliki sifat keberanian yang luar biasa dan masyarakat sudah
mengenal sifat-sifat itu. Pada masa jahiliah mereka berbeda masyarakat lain,
hidup rukun dan banyak berpegang teguh kepada syari‟at Nabi Ibrahim.12 Mereka tidak sebagaimana orang-orang Arab lainnya ketika itu yang tidak
dibimbing dan muliakan oleh agama, serta tidak dihiasi dengan akhlak.
Dalam pergaulan mereka sangat menyayangi anak, saling hormat
menghormati, termasuk kepada jenazah, terbebas dari sifat buruk dan prilaku
kenistaan. Mereka tidak melakukan pernikahan terlarang seperti dengan anak
perempuan sendiri, sudara perempuan sendiri, cucu perempuan, menjaga
kehormatan istri dan menjauhi prilaku orang Majusi. Dalam agama mereka
sering melaksanakan haji ke Baitullah, mengerjakan amal ibadah. Mereka
---
10
Mahmudunnasir, Islam, Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991, hlm. 194. Selanjutnya disebut Mahmudunnasir, Islam.
11
As-Shalabi, Biografi, hlm. 15.
12
juga mengizinkan putra-putri mereka menikah dengan suku lain tanpa fanatik
dan berpegang kepada ajaran-ajaran agama.13
Abdul Muthalib, kakek Ali sekaligus kakek Rasul pada masa Jahiliah
dikenal sebagai dermawan, memberi makan dan minum jamaah haji, pada hal
dia bukan orang terkaya dan bukan satu-satunya tokoh yang disegani di
kalangan suku Quraisy.14 Tugasnya itu ditambah dengan memelihara sumur Zamzam yang erat kaitannya dengan Baitullah telah mingkatkan derajat dan
menambah kemuliaan bagi diri Abdul Muthalib.
Termasuk sikap yang menambah kemuliaan mereka pada saat itu
adalah mereka mengizinkan terjadinya pernikahan kepada kabilah apa saja.
Tanpa adanya syarat apapun dan sikap fanatik atas kabilah mereka. Mereka
tidak menikahkan putra-putri mereka kecuali kepada orang-orang yang
berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama mereka. Ketentuan itu berlaku
bagi mereka dan lebih-lebih bagi tokoh-tokoh mereka.
Kemuliaan ini juga diwarisi oleh Abu Thalib ayah Ali sendiri. Ia juga
sangat disegani oleh suku Quraisy. Ia sangat menyayangi Nabi Muhammad
memeliharanya semenjak kecil, dan membelanya mati-matian dari keinginan
orang Quraisy yang membenci Nabi saw. Walaupun tidak sempat syahadat,
Abu Thalib telah membela Nabi termasuk menyampaikan tugas dakwah
Nabi.15
Terkait atau tidak terkait dengan hal itu, selain mendapat bimbingan
dari Nabi semenjak kecil, Ali juga mewarisi kemuliaan dan sikap-sikap baik
---
13
As-Shalabi, Biografi, hlm. 18.
14
As-Shalabi, Biografi, hlm. 19.
15
dari nenek moyangnya.16 Kemuliaan itu semakin bertambah karena ia dibimbing oleh Nabi sendiri. Sinar al-Quran yang menjadi akhlak Nabi
terpantulkan kepada diri Ali.17 Meskipun masih sangat muda Ali selalu mendampingi Nabi dalam setiap kegiatan dakwah dan menjadi pejuang
terkemuka di kalangan Islam. Dia merupakan seorang pemberani, menjadi
prajurit agung, lihai dalam berperang dan terkenal dalam setiap pertempuran
yang dilakukan umat Islam melawan orang-orang kafir dan orang-orang
Yahudi.18
Hidup Ali dari awal sudah mendapat cahaya Islam, dan ketika
berumur 10 tahun ia menerima Islam tanpa ragu-ragu dan tanpa berunding
dengan siapa pun, termasuk dengan ayahnya Abu Thalib sendiri. Ketika Nabi
dan Khadijah shalat Ali datang. Ia tidak mengerti ketika melihat keduanya
ruku‟ dan sujud serta membaca beberapa ayat. Selesai shalat Ali bertanya
kepada Nabi kepada siapa mereka sujud. Nabi menjelaskan bahwa mereka
sujud kepada Allah yang mengajak manusia untuk menyembah-Nya.19 Kemudian Nabi mengajak Ali untuk beribadah kepada Allah dan menerima
agama Islam secara sempurna dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan.
Baik karena keagungan dan keistimewaan suku Qurasiy maupun dari
bimbingan Nabi Muhammad saw Ali telah mewarisi berbagai sifat terbaik,
---
16
Dalam ilmu anatomi, darah, dan keturunan (gen) memiliki pengaruh terhadap generasi berikutnya, baik dalam bentuk pisisk maupun dalam kejiwaan, etika sosial, akhlak, kesehatan, dan bakat dan sebagainya. Oleh sebab itu nilai-nilai dan cita-cita yang mereka warisi dari orang tua dan nenek moyang itu akan mereka percayai dan mempetahankannya sekuat tenaga untuk menghormati dan memuliakannya, dan menganggap orang-orang yang mengikuti nilai-nilai dan cita-cita tersebut sebagai generasi dan anak keturunan dari keluarga mereka.
17
As-Shalabi, Biografi, hlm. 32.
18
Mahmudunnasir, Islam, hlm. 194.
19
seperti kefasihan berbahasa, memiliki akhlak yang luhur, pemberani,
dermawan, rendah hati, menjauhi kesombongan, sangat memuliakan tamu,
ramah, terlepas dari sikap dan prilaku jahiliah.
Walaupun berada di lingkungan Nabi, penulis perlu mengemukakan
bagaimana proses Ali menjadi muslim. Keislaman Ali seolah-oleh sudah
merupakan skenario Allah. Kisah itu berawal dari krisis perekonomian yang
dialami masyarakat Qurasiy. Abu Thalib memilik banyak anak, tetapi penulis
tidak menjumpai dari berbagai literatur berapa orang anak yang ia miliki.
Krisis itu menyulitkan. Rasul berpikir bagaimana cara membantu pamannya
ini untuk mengatasi kesulitan yang ia hadapi. Rasulullah berkata kepada
Abbas pamannya yang dianggap lebih berkecukupan dari Bani Hasyim, kata
Rasul, “Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib memiliki
keluarga yang besar. Kamu tahu krisis yang saat ini sedang melanda
masyarakat, maka marilah kau berada bersama kami untuk meringankan
beban mereka, saya akan mengambil satu orang dari anaknya dan kamu juga
mengambil satu orang anaknya untuk kita cukupi segala kebutuhannya.” Lalu
Abas berkata, Ya wahai Rasulullah, lalu keduanya berangkat menuju rumah
Abu Thalib. Sampai di sana keduanya berkata, “Wahai Abu Thalib,
sesungguhnya kami berniat untuk meringankan beban keluargamu.”
Berkatalah Abu Thalib kepada keduanya, “Jika kalian berkehendak, maka
tinggalkanlah untuk kami anak kami yang bernama Ukail lali ambil siapa
yang kalian kehendaki selain dia.20”
---
20
Kemudian Rasulullah mengambil Ali untuk hidup bersamanya, dan
Abbas mengambil ja‟far untuk hidup bersamanya. Berawal dari situlah maka
kemudian Ali hidup bersama Raslullah hingga datangnya risalah kenabian.
Selama itu, Ali selalu mendampinginya, dan termasuk orang pertama dari
golongan anak-anak yang mengakui dan mempercayainya. Begitu pula Ja‟far
juga tetap tinggal bersama Al-Abbas hingga dia masuk Islam dan hidup
mandiri.21
Dari sini ternyata Rasulullah telah membalas kebaikan yang dilakukan
pamannya Abu Thalib kepada dirinya yang telah merawat dan mencukupi
segala kebutuhannya pasca kematian kakeknya Abdul Muthalib. Ini
merupakan jalan hadirnya nikmat Allah yang sangat besar kepada Ali karena
dari sinilah kemudian Ali dirawat dan dididik oleh Rasulullah sesuai dengan
petunjuk Allah. Kepribadian Rasulullah yang bersumber dari al-Qur‟an
terpantulkan kepada diri Ali. Ali tumbuh dan berkembang di dalam rumah
Islam, dia tahu segala rahasia-rahasia Islam semenjak usia dini. Hal itu terjadi
sebelum dakwah Islam mulai melangkah keluar dari rumah Nabi dan mencari
pertolongan yang memperkuat dakwahnya kepada manusia, dan
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib suatu ketika
datang menemui Nabi Saw saat setelah keislaman Khadijah. Ali mendapati
keduanya sedang shalat lalu Ali pun berkata, “Ini apa wahai Muhammad?”
Kemudian Nabi pun bersabda, “Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih
---
21
dengan kehendak-Nya, dengan Dia mengutus rasul-Nya. Saya ajak engkau
wahai Ali untuk bersaksi terhadap Allah yang Maha Esa dan utuk
menyembah-Nya. Dan agar engkau mengingkari Latta dan Uzza.” Ali pun
berkata kepada Nabi, “Ini adalah perkara yang aku belum pernah
mendengarnya sama sekali sebelum hari ini, tetapi aku bukanlah orang yang
memiliki keputusan atas perkaraku sehingga aku harus berbicara dulu kepada
Abu Thalib.” Namun Rasulullah tidak ingin Ali menceritakan rahasianya
kepada siapa pun termasuk Abu Thalib sebelum dia diperintahkan oleh Allah
untuk menceritakan urusan itu. Beliau pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali
jika engkau tidak berkenan masuk Islam maka jaga rahasia ini.” Ali pun
berdiam diri selama satu malam itu sehingga kemudian Allah memberi
kepadanya hidayah Islam. Pada suatu pagi ia menghadap kepada Rasulullah
dan berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepadaku wahai Muhammad?”
Rasulullah bersabda,” Kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah
dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari tuhan Latta dan Uzza,
serta melepaskan diri dari segala bentuk penentangan kepada Allah.” Ali pun
melakukan apa yang diperintahkan Rasul kepadanya dan menyatakan diri
masuk Islam.
Setelah itu, Ali sempat mengalami masa-masa khawatir dan takut
kemarahan bapaknya Abu Thalib karena dia telah menganut agama Islam.
Mula-mula dia menyembunyikan keislamannya itu, tidak berani
menampakkannya.22
---
22
Ibnu Ishaq menceritakan, setiap kali datang waktu shalat, Rasulullah
keluar menuju tempat perbukitan di Makkah. Dan Ali bin Abi Thalib ikut
bersama beliau secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Ia
menyembunyikan keislamannya dari bapak, paman-paman, dan keluarganya
yang lain. Keduanya mengerjakan shalat di tempat itu. Bila waktu petang
tiba, keduanya baru bersiap-siap untuk pulang dengan sembunyi-sembunyi.
Pada suatu ketika Abu Thalib pun menemukan keduanya secara
sembunyi-sembuyi sedang mengerjakan shalat. Lalu Abu Thalib bertanya
kepada Rasulullah, “Wahai anak saudara laki-lakiku, agama apa yang sedang
kalian anut ini ?” Rasulullah menjawab, “Ini adalah agama Allah, agama para
malaikat-Nya, agama para nabi-Nya, dan agama bapak kita Ibrahim.” Saya
telah diutus menjadi seorang Rasul kepada sekalian umat manusia. Dan
engkau wahai paman, adalah orang yang lebih berhak untuk menerima
nasehat dariku, mendapatkan dakwahku, memenuhi seruanku, dan menolong
diriku.”23
Ajakan Rasulullah saw untuk mengucapkan syahadat tidak diterima
Abu Thalib, tetapi bukan berarti ia marah kepada Rasul dan anaknya Ali.
Sebenarnya Abu Thalib mengakui kebenaran ajaran Islam, tetapi pengaruh
wibawa di kalangan kaumnya menghambat ia untuk menjadi muslim.24
Abu Thalib tidak melarang anaknya Ali untuk mengikuti agama yang
dibawa Nabi Muhammad saw., bahkan mengizinkannya karena menurut Abu
---
23
As-Shalabi, Biografi, hlm. 33.
24
Thalib Muhammad tidak mengajak kecuali kepada kebaikan lalu
menyuruhnya untuk selalu mengikuti Rasul.”25
Sebagai muslim yang sangat kuat Ali tidak ragu untuk mengorbankan
dirinya untuk memperjuangkan agama Islam. Pada malam hijrah, Rasulullah
saw menugasinya untuk tidur di tempat tidur beliau. Ia ditugaskan Nabi untuk
mengembalikan barang-barang kepada orang-orang musyrik pada pagi
harinya. Ia pernah ditugaskan untuk membawa panji Rasulullah dalam
berbagai peperangan. Rasulullah juga pernah mendelegasikannya untuk
membacakan surat Al-Bara‟ah di hadapan kaum muslimin pada musim haji
tahun 9 H.26
Ia memiliki 29 anak, 14 laki-laki dan 15 perempuan. Di antara anak
laki-lakinya adalah Hasan dan Husein, pemuka pemuda surga, Muhammad
ibn Al-Hanafiyah, Abbas, dan Umar.
B. Pemikiran-Pemikiran Ali Bin Abi Thalib
Pasal ini membicarakn pemikiran-pemikiran dari Ali bin Abi Thalib.
Di sini penulis mulai dengan menjelaskan sifat keadilannya. Penjelasannya
dikemukakan melalui suatu kisah. Suatu hari, Amirul mukminin melihat baju
zirahnya27, yang telah lama hilang, ternyata ada pada seorang Nasrani. Ia tidak tahu, bagaimana baju zirahnya itu bisa berada di tangan Nasrani itu. Ia
berusaha meminta baju zirahnya dan menjelaskan bahwa baju zirah itu
---
25
As-Shalabi, Biografi, hlm. 34.
26Muhammad Sa‟id Mursi,
Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2007, hlm. 20
27
miliknya. Namun, Nasrani itu enggan memberikan dan bersikukuh bahwa itu
baju miliknya. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib membawa laki-laki itu ke
pengadilan. Kadinya saat itu adalah Syarih. Kadi berkata kepada laki-laki
Nasrani, “Apa pembelaanmu, atas apa yang dikatakan oleh Amirul
Mukminin?”
Nasrani itu berkata, “Baju zirah ini milikmu. Amirul Mukminin tidak
berhak menuduhku.” Syarih berpaling kepada Ali dan berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, apakah kau punya bukti?”
Di antara pemikiran yang cukup menarik dari Ali bin Abi Thalib
adalah bidang fikih. Ali bin Abi Thalib dianugrahi pemahaman yang baik
terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw. Ia merupakan salah satu
poros fikih Islam, dan termasuk di antara kelompok utama pembuat fatwa di
kalangan generasi muslim pertama.28 Di sini penulis tidak akan menjelaskan pemikiran fikihnya secara mendetail, tetapi hanya mengambil beberapa
pikirannya yang dianggap penting diketahui.
Di antara pendapat fikihya yang sangat luas, kita mengenal
pandangannya tentang nikah muth‟ah. Ali bin Abi Thalib dielu-elukan oleh
kaum Syi‟ah sebagai imam yang ma‟sum (terpelihara dari dosa dan
kesalahan). Di kalangan Syi‟ah terdapat hukum yang membolehkan
terjadinya nikah muth‟ah, yaitu nikah yang ditetapkan dalam jangka waktu
tertentu. Sementara Ali tidak membolehkan nikah muth‟ah.29
---
28
Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibn Abu Thalib, Jakarta: Zaman, 2013, hlm. 62.
29
Ali mengatakan bahwa jika dua orang menikah tanpa wali kemudian
mereka bersetubuh maka keduanya tak dapat dipisahkan, sedangkan jika
keduanya belum bersetubuh maka keduanya harus dipisahkan.30 Ali bin Abi Thalib tidak membolehkan pernikahan orang yang dikebiri. Ia mengatakan,
“Seorang laki-laki yang dikebiri tidak boleh menikahi muslimah yang
menjaga kehormatan dirinya.” Ali membolehkan umat Islam makan makanan
kaum Majusi, kecuali daging. Ia juga mengharamkan makan daging
sembelihan kaum Nasrasni Arab karena mereka tidak memegang ajaran
Nasrani yang benar, bahkan mereka suka minum arak. Pendapat Ali ini
berbeda dengan pendapat jumhur ulama.31
Ia juga berpendapat bahwa jizyah dari kaum musyrik dapat diterima
kecuali kaum musrik Arab. Tentang hal ini ia mengatakan, “Tidak ada pilihan
bagi kita berkenaan dengan kaum musyrik Arab kecuali mereka masuk Islam
atau perang.”32
Ia menyatukan antara hukuman cambuk dan hukuman rajam bagi
muhsan yang berzina. Diriwayatkan dari al-Sya‟bi bahwa Syarahah memiliki
seorang suami yang sedang pergi ke Syiria, tetapi tiba-tiba ia mengandung
sehingga majikannya membawanya ke hadapan Ali bin Abi Thalib dan
berkata, “Wanita ini berzina dan ia mengakuinya.” Ali mencambuk wanita itu
seratus kali pada hari kamis dan pada hari Jumatnya ia dirajam. Aku
menyaksikan sendiri tubuh wanita itu dikubur sebatas pinggang. Ali berkata
---
30
Ash-Shalabi, Ali, hlm. 400.
31
Ash-Shalabi, Ali, hlm. 397.
32
ketika itu, “Rajam adalah salah satu sunnah Rasulullah Saw. Orang yang
menjadi saksi perbuatan zina harus melempar pertama kali, namun karena
wanita ini mengakui perbuatannya—tanpa—maka akulah yang melempar
pertama kali.” Lalu Ali melempar wanita itu dengan batu, dan diikuti oleh
orang-orang yang ada di sana. “Demi Allah,” ungkap al-Sya‟bi, “aku
termasuk di antara orang yang melempar wanita itu menemui ajalnya.”33 Dalam redaksi lain, Ali berkata, “Aku mencambuknya berdasarkan
hukum Allah dan merajamnya berdasarkan sunnah Rasulullah saw.”
Ali mengharamkan permainan dadu dan catur, bahkan ia tidak mau
mengucapkan salam kepada orang yang memiliki dadu. Ali juga menetapkan
hukum mengenai perawan yang dipaksa menikah karena takut terjerumus
dalam zina. Ia menetapkan mahar mitsil untuk wanita seperti itu dengan
mengatakan bahwa mahar untuk perawan seperti mahar untuk wanita lainnya
dan bagi janda mahar mitsilnya.
Dan ia membolehkan menerima hadiah dari penguasa (sultan),
“Janganlah meminta sesuatu pun kepada penguasa. Jika ia memberimu,
ambillah, karena dalam baitul mal lebih banyak harta yang halal ketimbang
harta yang haram.
Ali melipatgandakan hukuman atas orang yang mendapat hukuman
pada bulan Ramadhan. Diriwayatkan dari Atha, dari ayahnya bahwa Ali
memukul seorang penyair negro dari Bani Harits, karena ia minum arak pada
bulan Ramadhan. Orang itu dicambuk sebanyak delapan dua puluh
---
33
cambukan. Setelah itu Ali berkata kepadanya, “Ali mencambukku lagi
sebanyak dua puluh kali cambukan karena kau melakukan kejahatan kepada
Allah dan karena kau berbuka di bulan Ramadhan.
Pendapat hukumnya yang lain adalah bahwa harta orang yang suka
meminjamkan dan yang suka dititipi tidak dapat dijamin jika hartanya itu
rusak tanpa memperthitungkan dari siapa ia mendapatkan hartanya.
Diriwayatkan harta ia berkata, “(Harta) Orang yang suka meminjamkan dan
memnitipkan tidak dapat dijamin.
Ia juga berpendapat bahwa orang yang menolong orang lain dalam
kebenaran atau melindungi orang lain dari kezaliman tidak noleh menerima
hadiah. Maksudnya, orang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan untuk
menjalankan urusan masyarakat tidak boleh menerima hadiah dari orang lain
karena dianggap akan memengaruhi keputusan atau pendapat hukumnya. Itu
beberapa pandangan Ali bin Abi Thalib seputar fikir Islam.
Ali bin Abi Thalib memberikan julukan khusus kepada seorang fakih
yang dihormati para fakih lainnya. Ia menyebutnya “al-faqih haqq al-faqih”.
Ia berkata, “ Maukah kalian kuberi tahu tentang yang paling utama di antara
para faqih (al-faqih haqq al-faqih)? Ia adalah orang yang tidak memutuskan
harapan manusia dari rahmat Allah, tidak mendorong mereka bermaksiat
kepada Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari makar Allah, dan ia
tidak meniggalkan Al-Quran karena membencinya, lalu berpaling kepada
yang lain. Ketahuilah, tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak disertai
pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam pembacaan yang tidak disertai
tadabur ─ penelaahan.34
Perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan sama seperti Umar r.a.
Dikisahkan bahwa Umar berkata, “pelajarilah pengetahuan dan ajarkanlah
kepada manusia. Pelajarilah kemuliaan dan kehormatan diri. Bersikap rendah
hatilah kepada orang yang mengajari dan yang kau ajari. Jangan menjadi
ulama yang sewenang-sewenang, agar ilmumu tidak dikalahkan kebodohan.35 Selain dikenal luas sebagai seorang fakih, Ali bin Abi Thalib juga dikenal
sebagai sahabat yang paling memahami kitab Allah. Ia banyak menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran sehingga jika kita hendak menghimpun tafsir-tafsir Ali bin Abi
Thalib, dibutuhkan berjilid-jilid besar. Di sini kami hanya akan mengungkapkan
sebagian tafsirnya atas ayat-ayat Al-Quran yang mulai. Di antaranya, ia
menafsirkan firman Allah: Wahai orang yang beriman, taatilah Allah dan
Rasul-Nya, dan penguasa urusan di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu
maka kembalilah kepada Allah dan Rasul, dengan mengatakan bahwa
mengembalikan kepada Allah berarti menjadikan kitab Allah sebagai landasan
hukum, sedangkan mengembalikan kepada Rasulullah Saw. Berarti memegang
sunnah Rasulullah Saw. menafsirkan firman Allah: maka kami akan
menghidupkannya dengan kehidupan yang baik, dengan mengatakan bahwa
makna kehidupan yang baik adalah qanaah. Mengenai ayat sama saja baik
---
34
H.R. Abu Naim dalam al-Hilyah, jilid I, hlm. 77; Ibn al-Dhurais dan Ibn Akasir pun meriwayatkannya sebagaimana dalam al-Kanz, Jilid 5, hlm. 231.
35
berdiam di sana maupun di padang pasir36—ia mengatakan bahwa al-„akif adalah
orang yang mukim, sedangkan al-badi adalah orang yang dating ke suatu tempat,
dan bukan berasalh dari tempat itu.37
Ia juga mengatakan tentang ayat dan ketahuilah sesungguhnya harta
kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah, bahwa Allah meguji mereka dengan
harta dan anak-anak sehingga menjadi jelas mana orang yang tidak rida atas
rezeki dari-Nya dan orang yang rida dengan bagian dari-Nya. Meskipun Allah
Swr. mengetahui keadaan mereka, Dia menjadikan harta dan anak-anak sebagai
ujian untukb menunjukkan apakah seseorang layak mendapatkan pahala atau
siksa. Sebab, ada di antara mereka yang lebih menyukai anak laki-laki dan
membenci anak perempuan; sebagian mereka menyukai bertambahnya harta dan
membencinya berkurangnya harta.38
Mengenai ayat Al-Quran: sesunnguhnya kita berasal dari Allah dan kita
akan kembali kepada-Nya, Ali r.a menjelaskan bahwa ungkapan “kita berasal dari
Allah merupakan penegasan bahwa Dialah yang memiliki dan menguasai kita,
sementara ungkapan “kita kembali kepada-Nya” merupakan penegasan bahwa
Dialah yang akan membinasakan dan mematikan kita.
---
36
Al-Hajj: 25. Dalam Al-Quran dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama, kata al-badi di terjemahkan di padang pasir. Secara harfiah kata itu berarti yang tinggal di pedesaan. Kita mengenal istilah Arab Baduwi, atau Arab Badui, yang berarti bangsa Arab nomad dari kawasan pedesaan atau padang pasir.
37
Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib hlm. 66
38
31
Pada bab tiga ini penulis mengemukakan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
dengan segala persoalannya. Bab ini terdiri atas dua pasal. Pasal pertama
menjelaskan bagaimana proses yang terjadi dalam pengangkatan Ali sebagai
khalifah, serta menggambarkan kondisi umat Islam seputar bai‟at. Ini bertujuan
untuk memperkenalkan bahwa sejak awal kepemimpinan Ali sudah dimulai
semenjak pengangkatan Ali sendiri. Pasal kedua menjelaskan beberapa kebijakan
yang dilakukan Ali dalam memulihkan situasi dan dari tergambarkan bahwa
kebijakan itu tidak membuat Ali terlepas dari konflik politik. Uraian tentang itu
semua adalah seperti diuraikan berikut ini.
A. Pengangkatan Ali Sebagai Khalifah
Terbunuhnya khalifah Utsman pada malam jum‟at 18 Dzulhijjah
tahun 35 H, membuat suasana di kota Madinah tidak kondusif. Suasana kota
sangat mencekam, rakyat dan para pembesar mengalami kerisauan,
keguncangan. Yang mereka risaukan adalah tidak adanya pemimpin negara
dan tidak ada imam.1
Ketika itu terjadi pengelompokan-pengelompokan masyarakat, pada
satu bagian kaum pemberontak membuat perkumpulan, di bagian lain
orang-orang Muhajirin dan Anshar membuat suatu kelompok pula, termasuk tabi‟in
---
1
dari kota Madinah. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana dengan umat Islam
yang sudah berkembang, membentang dari perbatasan Rum sampai ke Yaman
dan dari Afganistan sampai ke Afrika Utara, yang selama beberapa hari tidak
memiliki pemimpin.2
Atas dasar itulah mereka berusaha untuk memilih seorang khalifah
secapat mungkin dan dilakukan di Madinah karena kita itu satu-satunya yang
menjadi ibu kota Islam. Di sana juga tinggal ahl al-halli wa al-‘aqd, semacam
dewan perwakilan yang berhak memilih melakukan bai‟at kepada seorang
khalifah. Karena kondisi yang sangat genting tidak mungkin meminta
pendapat dari daerah dan provinsi yang bertebaran di seluruh negeri. Keadaan
yang sangat berbahaya ini memerlukan pengangkatan seorang pimpinan yang
layak dengan segera untuk menghindari perpecahan dan kehancuran yang
mengancam keutuhan negara. Pada waktu itu ada empat orang sahabat Nabi
saw dari enam yang dipilih Umar sebelum wafat, yaitu Ali bin Abi Thalib,
Thalhah, Zubair dan Saad bin Abi Waqas. Dilihat dari berbagai segi Ali
dianggap yang paling utama. Dalam sebuah pertemuan permusyawaratan
Abdurrahman bin „Auf menetapkan Ali sebagai tokoh yang paling dipercayai
umat setelah Utsman bin Affan.3
Atas dasar itu mereka memandang wajar memilih Ali sebagai
pemimpin mereka. Dan tidak pula ada seorang pun yang dipercaya selain Ali.
Jika ada seseorang yang mencalonkan diri di samping Ali pasti tidak akan
---
2
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 155.
3
terpilih karena levelnya jauh di bawah Ali.4 Karena itu semua sahabat
Rasulullah Saw berbondong-bondong membai‟at Ali sebagai khalifah.5 Mereka mengatakan bahwa masyarakat tidak akan tertib, keadaan tidak akan
aman tanpa adanya seorang pemimpin.6
Sebelumnya Ali menolak untuk memikul jabatan itu, tetapi orang
banyak berulang-ulang memintanya untuk dibai‟at, dan akhirnya ia mau
dibai‟at. Tetapi bai‟at harus dilakukan di mesjid, dan di depan masyarakat
banyak dan tidak tersembunyi, dan atas kerelaan kaum muslimin. Bai‟at
berlangsung di Mesjid Nabawi, termasuk kaum Muhajirin dan Anshar dan
tidak ada penolakan, termasuk para sahabat besar, kecuali ada tujuh belas
sampai dua puluh orang.7
Dengan demikian kekhalifahan Ali sudah berlangsung secara benar,
sempurna dan sesuai dengan prinsip yang mendasari tegaknya khilafah. Ali
tidak menguasai pemerintahan dengan kekuatan dan tidak dengan
mencurahkan tenaga sedikit pun untuk mencapai kedudukan Khalifah. Ia
telah dipilih oleh orang banyak dengan cara musyawarah yang bebas dan
dibai‟at oleh mayoritas yang besar kemudian diakui oleh seluruh daerah
kecuali daerah Syam.8
Walaupun sudah dibiat oleh masyarakat umum, namun masih ada
sekitar tujuh belas hingga dua puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw
---
4
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.
5
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Ali bi Abi Thalib, hlm. 219.
6
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156.
7
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 156. Tidak disebutkan siapa nama-nama yang
yang tidak dapat melakukan bai‟at itu. 8
yang tidak mau membai‟at Ali. Penulis melihat bahwa tidak dijelaskan nama
-nama yang tidak mau membai‟at Ali itu. Namun dengan penolakan itu tidak
berarti penolakan itu tidak berarti ke Khalifahan Ali tidak sah karena penolak
itu bersifat pasif, sementara masyarakat umum sudah melakukan bai‟at.9
Dengan demikian pengangkatan Ali sebagai khalifah telah memperoleh
kesempatan untuk menutup lobang yang sangat berbahaya dalam sistem
khilafah rasyidah setelah pembunuhan Utsman bin Affan.
Tetapi ada tiga faktor yang tidak memungkinkan pulihya keretakan
atau tertutupnya lubang itu. Pertama kaum pembangkang yang datang dari
berbagai daerah untuk memberontak kepada Utsman terlibat dalam
membai‟at Ali bin Abi Thalib. Di antaranya ada pelaku yang membunuh
Utsman, dan ada provokasi yang mengobarkan semangat orang lain untuk
membunuhnya dan ada pula yang membantu mereka untuk melaksanakan
pembunuhan itu. Atas pundak mereka terpikul tanggung jawab kericuhan dan
kekacauan tersebut. Oleh sebab itu keikutsertaan mereka dalam pemilihan
khalifah telah menyebabkan terjadinya kekacauan besar.10
Salah satu upaya yang memungkinkan menghambat terjadinya fitnah
adalah sepakatnya para sahabat besar dalam membai‟at Ali dan mengawasi.
Cara ini memungkinkan para pemberontak yang telah membunuh Utsman
dapat ditangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun
suasana yang terjadi di kota madinah ketika itu tidak mungkin mencegah
---
9
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 157.
10
orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman dari keikutsertaan
mereka dalam pemilihan khalifah yang baru.
Kedua, yang membuat sulitnya memulihkan suasana itu adalah sikap
netral para sahabat besar dalam pembai‟atan kepada Ali. Sikap netral itu
memang menurut mereka merupakan niat baik dengan tujuan mencegah
timbulnya fitnah, tetapi ternyata berakibat fatal karena menimbulkan fitnah
baru. Para sahabat Nabi itu adalah tokoh yang paling berpengaruh, berwibawa
dan menjadi panutan sebagian besar umat Islam. Beribu-ribu orang menaruh
kepercayaan kepada mereka. Karena itu sikap netral dan memisahkan diri dari
Ali telah menimbulkan keraguan di hati orang banyak pada saat umat
seharusnya bersatu dan membantu memulihkan suasana bersama Ali untuk
mengembalikan perdamaian dan keamanan, namun hal itu tidak terjadi.11
Ketiga, faktor yang menyebabkan sulit pemulihan kondisi adalah
munculnya penuntuntutan terhadap pelaku pembunuhan Utsman bin Affan
oleh kelompok Aisyah, Thalhah dan Zubair di satu sisi dan kelompok
Mu‟awiyah bin Abi Sofyan di pihak lain. Tanpa mengurangi penghormatan
dan kedudukan kedua kelompok ini mereka, namun jika ditinjau dari segi
hukum harus dikatakan bahwa sikap mereka tidak dapat dibenarkan.
Alasannya masa itu bukanlah masa sistem kesukuan yang dikenal pada zaman
Jahiliyah yang membolehkan setiap orang, dengan cara bagaimanapun,
menuntut balas atas seseorang yang terbunuh dan menggunakan cara-cara apa
saja yang ia ingini. Yang benar ialah bahwa pada waktu itu ada pemerintahan
---
11
yang memiliki peraturan dan aturan yang berdasarkan undang-undang dan
syari‟at untuk setiap tuduhan yang diajukan. Adapun hak menuntut bela atas
pembunuhan, terletak di tangan pewaris-pewaris Utsman yang masih hidup.
Sekiranya pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menangkap kaum
penjahat dan mengajukan mereka untuk diadili secara sengaja barulah
orang-orang lain dapat menuntutnya agar ia berpegang pada keadilan dan
kebijaksanaan.
Tapi apakah yang dilakukan oleh kedua kelompok itu merupakan jalan
yang benar untuk menuntut suatu pemerintahan agar bertindak adil dan
bijaksana? Dasar apakah yang dapat mereka kemukakan dalam menolak sama
sekali adanya pemerintahan yang sah semata-mata disebabkan ia tidak mau
tunduk kepada tuntutan mereka itu? Dan sekiranya Sayyidina Ali tidak
dianggap sebagai khalifah yang sah, lalu mengapa mereka menuntutnya agar
menangkap kaum penjahat dan menghukum mereka? Apakah Sayyidina Ali
adalah seorang pemimpin suku yang dapat menangkap dengan begitu saja
siapa pun dan menghukumnya tanpa berlandaskan hukum?
Pada hakikatnya tindakan yang dapat disebut sebagai “lebih tidak
sesuai dengan hukum” dan “lebih tidak sah” ialah tindakan kelompok yang
pertama. Sebab mereka itu seharusnya menuju ke kota Madinah dan
mengajukan tuntutannya di sana, yaitu di tempat kediaman khalifah dan juga
tempat kaum penjahat dan pewaris-pewaris orang yang terbunuh itu berada,
dan di tempat tindakan-tindakan peradilan akan dapat terlaksana dengan
mengumpulkan pasukan-pasukan yang besar kemudian mencoba menuntut
balas atas kematian Utsman. Sebagai akibatnya, maka terjadilah pertumpahan
darah sepuluh ribu orang sebagai ganti penumpahan darah satu orang saja,
dan juga menyebabkan kekuasaan negara goyah dan kekacauan berkembang.
Sungguh ini adalah cara yang tidak mungkin dianggap sebagai suatu tindakan
yang sah, baik dalam pandangan undang-undang Allah dan syari‟at-Nya, atau
bahkan dalam pandangan undang-undang apa pun di antara undang-undang
sekular.12
Adapun yang lebih tidak sah lagi adalah tindakan kelompok
Mu‟awiyah yang menuntut balas untuk Sayyidina Utsman, bukan dalam
kedudukannya sebagai pribadi Mu‟awiyah bin Abu Sufyan, tapi dalam
kedudukannya sebagai penguasa wilayah Syam. Ia telah menolak menaati
pemerintah pusat dan menggunakan tentara wilayahnya untuk mencapai
tujuannya ini. Dalam hal ini ia tidak hanya menuntut Sayyidina Ali agar
mengajukan pembunuh-pembunuh Utsman ke pengadilan dan menghukum
mereka, tapi lebih daripada itu, ia menuntut agar Sayyidina Ali menyerahkan
mereka semua kepadanya agar ia (Mu‟awiyah) membunuh mereka dengan
tangannya. Semuanya itu benar-benar lebih mirip dengan kekacauan
kesukuan yang biasa terjadi sebelum datangnya agama Islam, dan sama sekali
tidak sesuai dengan pemerintahan yang sudah teratur di masa Islam.13
Seandainya Mu‟awiyah dibolehkan mengajukan tuntutan itu
berdasarkan hubungan kekeluargaan maka hal itu adalah atas nama
---
12
Al-Maududi, Khilafah Dan Kerajaan, hlm. 160.
13
pribadinya karena memang Mu‟awiyah bin Abi Sufyan memang kerabat
Sayyidina Utsman. Secara pribadi ia mempunyai hak meminta bantuan
khalifah untuk menangkap orang-orang jahat itu dan mengadili mereka.
Adapun kedudukannya sebagai wali daerah Syam sama sekali ia tidak berhak
menuntut dan tidak boleh menolak untuk taat kepada khalifah yang telah
dibai’at secara sah, dan telah diakui kekhalifannya oleh seluruh wilayah
negara kecuali daerah-daerah di bawah kekuasaan Mu‟awiyah sendiri.14
Demikian pula, ia tidak mempunyai hak menggunakan tentara
daerahnya itu untuk menghadapi pemerintahan pusat dan, secara jahiliyah,
menuntut agar diserahkan kepadanya kaum tertuduh, bukan kepada
pengadilan, tetapi kepada penuntut hukum qishash agar ia berkesempatan
membalas dengan tangannya sendiri.
Dalam kitabnya, ahkamul-Qur’an, al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi
menyebutkan kedudukan masalah ini dalam hubungannya dengan
perundang-undangan yang benar. Katanya : “Setelah Utsman menjadi syahid, tidak
mungkin membiarkan penduduk tanpa pimpinan. Oleh sebab itu
kepemimpinan umat ditawarkanlah kepada beberapa sahabat anggota syura
bentukan Umar sebelum wafatnya. Orang-orang itu menolak termasuk Ali
sendiri. Tetapi kemudian Ali menerima jabatan itu demi menyelamatkan umat
dari pertumpahan darah yang lebih besar dengan saling tuduh menuduh dalam
kebatilan. Ali khawatir akan memuncaknya kekacauan yang sulit diatasi, dan
mungkin akan menyebabkan rusaknya agama serta runtuhnya tiang-tiang
---
14
Islam. Maka ketika ia telah dibai’at, orang-orang Syam mengajukan syarat
untuk membai’atnya, yaitu agar Ali r.a memberikan kesempatan kepada
mereka untuk menangkap pembunuh-pembunuh Utsman dan menjatuhi
hukuman atas mereka. Maka Ali r.a. berkata kepada mereka : „Masuklah
kalian dalam bai’at dan tuntutlah hak itu, niscaya kamu akan memperoleh
suatu bai’at sedangkan pembunuh-pembunuh Utsman ada bersamamu. Kami
melihat mereka terus-menerus dari pagi sampai senja!‟ sudah barang tentu
pendapat Ali lebih tepat dan ucapannya lebih benar. Sebab andaikata Ali
langsung menjalankan hukuman atas mereka itu, niscaya kabilah-kabilah
mereka akan bersatu padu untuk menentang Ali dan akan terjadilah perang
yang ketiga. Karena itu, ia menunggu hingga kekuasaan benar-benar berada
di tangannya dan bai’at telah berlangsung secara umum dan tuntutan terhadap
para pembunuh dapat diajukan oleh para ahli waris yang sah, dalam suatu
majelis pengadilan. Dengan demikian, keputusan akan dijatuhkan secara
benar. Dan tidak ada perselisihan pendapat di antara umat tentang kebolehan
menunda hukum qishash apabila hal itu akan menyebabkan berkobarnya
kekacauan atau bercerai-berainya umat.15 Demikian pula yang terjadi dalam hubungan Thalhah dan Zubair; mereka berdua tidak pernah memakzulkan Ali
dari kekuasaan atas suatu wilayah, dan mereka berdua juga tidak pernah
meragukan Ali dalam agamanya, tapi keduanya hanya berpendapat bahwa
mendahulukan tuntutan terhadap pembunuh-pembunuh Utsman adalah suatu
tindakan yang lebih utama. Namun Ali tetap pada pendirianya, ucapan-ucapan
---
15
kedua orang itu tidak pernah menggoyahkan apa yang telah