• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengomposan Shredded Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks) Dengan Aktivator Pupuk Organik Aktif (Poa) Di Dalam Menara Composter: Pengaruh Sirkulasi Tumpukan Tkks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengomposan Shredded Tandan Kosong Kelapa Sawit (Tkks) Dengan Aktivator Pupuk Organik Aktif (Poa) Di Dalam Menara Composter: Pengaruh Sirkulasi Tumpukan Tkks"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

48

DAFTAR PUSTAKA

[1] Kementrian Pertanian. 2014. Outlock Komodity : Kelapa Sawit. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal. ISSN 1907-1507.

[2] Zahrim, A. Y dan Asis, T. 2010. Production of Non Shredded Empty Fruit Bunch Semi Compost. Journal. The Institution of Engineers Malaysia, 71(4):11-17.

[3] Kananam,Wathida., Tachapattaworakul, T.S., Chaisri, Suksaroj. 2011. Biochemical Changes During Oil Palm (Elaeis guineensis) Empty Fruit Bunches Composting With Decanter Sludge and Chicken Manure. Science Asia 37:17-23.

[4] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Perkembangan Luas Areal Perkebunan

2008 - 2013.

Diakses pada 4 Februari 2016.

[5] Sentana, Suharwaji, Suyanto, Subroto, Suprapedi, dan Sudiyana. 2010. Pengembangan dan Pengujian Inokulum Untuk Pengomposan Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 4, No. 2. LIPI.

[6] Tweib, Saleh Ali , Rakmi Abd Rahman dan Mohd. Sahaid Kalil. 2011. A Literature Review on the Composting. International Conference on Environment and Industrial Innovation IPCBEE vol.12 (2011) © (2011) IACSIT Press, Singapore.

[7] Amanah, Farisatul. Pengaruh Pengadukan dan Komposisi Bahan Kompos Terhadap Kualitas Kompos Campuran Lumpur Tinja. Jurusan Teknik Lingkungan. Universitas Indonesia. Depok. 60/FT.TL.01/SKRIP/7/2012.

[8] Alkarimiah, Rosnani dan Rakmi Abd Rahman. 2014. Co-Composting of EFB and POME with the Role of Nitrogen-Fixers Bacteria as Additives in Composting Process-A Review. ISSN: 2319-5967 ISO 9001:2008 Certified International Journal of Engineering Science and Innovative Technology (IJESIT) Volume 3.

[9] Rahman, Yossi. 2015. Composting Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dengan POA : Pengaruh Sirkulasi Tumpukan TKKS. Universitas Sumatera Utara : Medan.

[10] Baharuddin, A.S., Wakasika, M., Shirai, Y., Abd-Aziz, S., Abdul Rahman, A.N dan Hassan, A.M. 2009. Co – Composting Of Empty Fruit Bunches and Partially Treated Palm Oil Mill Effluents in Pilot Scale. International Journal Of Agricultural Research 4:2:69-78.

[11] Budi, Adi Yulianto,et al. 2009. Buku Pedoman Pengolahan Sampah Terpadu : Konversi Sampah Pasar Menjadi Kompos Berkualitas Tinggi. Yayasan

(2)

49

[12] Suhaimi, M dan H.K Ong. 2001. Composting. Empty Fruit Bunches Of Oil Palm. Malaysian Agriculture Research and Development Institute (MARDI). Malaysia.

[13] Kavitha, Jothimani, dan Rajannan. 2013. Empty Fruit Bunch- A Potential Organic Manure For Agriculture. International Journal of Science, Environment and Technology, Vol. 2, No 5, 2013, 930 – 937. ISSN 2278-3687.

[14] Amira, Dayana, Roshanida, Rosli, Siti Fatimah Zahrah, Mohd Anuar, J.1 dan Nazrul Adha. 2011. Bioconversion of empty fruit bunches (EFB) and palm oil mill effluent (POME) into compost using Trichoderma virens. African Journal of Biotechnology Vol. 10(81), pp. 18775-18780, 16 December, 2011 Available

online at

1684–5315 © 2011 Academic Journals.

[15] Seni, Ida Auy Yadnya., I Wayan Dana Atmaja dan Ni Wayan Sri Sutari. Analisis Kualitas Larutan MOL (Mikroorganisme Lokal) Berbasis Daun Gamal (Gliricidia Sepium). E-Jurnal Agroteknologi Tropika. ISSN : 2301-6515 Vol.2, No.2, April 2013

[16] Lubis, Fristyana Sosanty., Irvan, Dedy Anwar, Basril Amirza Harahap, Bambang Trisakti. Kajian Awal Pembuatan Pupuk Cair Organik Dari Effluent Pengolahan Lanjut Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Skala Pilot. Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 3, No. I (Maret 2014).

[17] Tirado, S.M. B.S. 2008. Effects Of Turning Frequency, File Size and Season On Physical, Chemical And Bioligical Properties During Composting Of Dairy Manure/Sawdust (DM+S). Ohio : Sc Thesis, Ohio State University.

[18] Composting Council Of Canada. 2003. Composting Processing

Technologies. Email/Courrie

[19] Ministry of Agriculture, Food and Fisheries. 1996. Composting Methods.

[20] Mirwan, mohamad. Optimasi Penomposan sampah kebun dengan variasi aerasi dan penambahan kotoran sapi sebagai bioaktivator. Jurnal ilmiah teknik lingkungan. Vol. 4 no 1. Progran studi teknk lingkungan. FTSP UPN.

[21] Tchobanoglous, George. 1993. Integrated Solid Waste Management. Mc Graw-Hill

[22] UNEP. 2005. Solid Waste Management

(3)

50

[23] Epstein, Eliot. 1997. The Science of Composting. United State of America: Technomic Publishing Company, Inc

[24] SNI 19-7030-2004. Badan Standarisasi Nasional.

[25] Schloss, Patrick D., et al. 1999. The Use of the Analysis of Variance to Assess the Influence of Mixing during Composting. New York: Elsevier.

[26] Sahwan, Firman L., Rosdiana Irawati dan Feddy Suryanto. 2004. Efektivitas Pengkomposan Sampah Kota Dengan Menggunakan “Komposter” Skala Rumah Tangga. Jurusan Teknik Lingkungan P3TL-BPPT.5.(2): 134-139.

[28] Sekarsari, Nindi. 2011. Pengaruh Frekuensi Pengadukan Terhadap Proses Pengomposan Open Windrow (Studi Kasus : UPS Jalan Jawa, Kota Depok). Depok : Universitas Indonesia.

[29] Whitney, D.A. Soil Salinity. Pp. 59-60. In J.R. Brown (Ed.), Recommended Chemical Soil Test Procedures for the North Central Region. NCR Publ. No. 221 (revised). Missouri Agr. Exp. Sta. SB 1001. Columbia, MO

[30] Shen, Yuzun., Limei, Rein., Guoxuei, Li., Tongbi, Chen., Rui, Guo. 2010. Influence Og Aeration on CH4, N2O and NH3 Missions During Aerobic Composting of a Chicken Manure and High C/N Waste Mixture. Journal Of Waste Management. 31: 33-38.

[31] Siong, Lim Hock.,Samsu, A.B.,et al. 2009. Physicochemical Changes in Undrow Co-Composting Process of Oil Palm Mesocarp Fiber and Palm Oil Mill Efluent Anaerobic Sludge. Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 3 (3): 2809-2816

[32] Tiquia, Sonia.M., et al. 2001. Dynamics of Yard Trimmings Composting as Determined by Dehydrogenase Activity, ATP Content, Arginie Ammonification, and Nitrification Potential. Journal Process Biochemistry. 37: 1057-1065

[33] Nutongkaew, Tanawut., Wiriya, Duangsuwan., Suteera, Prasertsan dan Poonsuk Prasertsan. 2011. Production of Compost from Palm Oil Mill Biogas Sludge Mixed With Palm Oil Mill Wastes and Biogas Effluent. Thailand : Tiche International Conference.

[34] Pathak, A.K. et al. 2012. Assessment of physico- chemical properties and microbial community during composting of municipal solid waste. Recent Research in Science and Technology 2012, 4(4):10-14. ISSN: 2076-5061

(4)

51

[36] Keputusan Menteri Pertanian Nomor.2/pert/HK.060/2/2006. Tentang Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik.

[37] Ogunwade, G.A., Osunade, J.A., Ogunjumi, L.A.O. 2008. Effects Of Carbon to Nitrogen Ratio and Turning Freaquency on Composting of Chicken Litter In Turned-Windrow Piles. Agricultural Engineering Intenational: The CIGR Ejournal. 07016 (x): 1-14.

[38] SNI 19-7030-2004. Badan Standarisasi Nasional

[39] Sundberg, C., Smars, S., Jonsson, H. 2004. Low pH as an Inhibiting Factor in the Transsition From Mesophilic Phase in Composting. Journal of Bioresource Technology. 95: 145-150

[40] Samsu, Baharudin Azhari., et al. 2010. Effects of Palm Oil Mill Effluent (POME) Anaerobic Sludge From 500 m3 of Closed Anaerobic Methane Digested Tank on Pressed – Shredded Empty Fruit Bunch (EFB) Composting Pocess. African Journal of Biotechnology 9(16): 2427-2436.

[41] Junus, M. 1998. Rekayasa Penggunaan Sludge Limbah Ternak Sebagai Bahan Pakan dan Pupuk Cair Tanaman. Jurnal Peneliti Ilmu-ilmu Hayati (Life Scince) 10:2:93-106.

[42] Liu, Hong-Taw., Lu, Cai. 2014. Effect of Sewage Sludge Addition on The Completion of Aerobic Composting of Thermally Hydrolyzed Kitchen Biogas Residue. Journal of Bio Bioresource Technology. 9 (3): 4862-4872

[43] Sekman, Elif., Selin, T., Gamze, V., Mahmen, S.B. 2011. Pilot Scale Investigation of Aeration Rate Effect on Leachate Characteristic in Landfills. Freseniu Enviromental Bulletin. 20 (7a): 1841-1852

(5)

64

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pilot Plant Pembangkit Listrik Tenaga Biogas,

Pusdiklat LPPM, Universitas Sumatera Utara (USU), Medan.

3.2. Bahan Dan Peralatan Penelitian

3.2.1 Bahan Penelitian

1. Sampel Shredded TKKS dari PKS Dolok Masihul

2. Sampel POA Effluent biogas hasil pengolahan LCPKS dari Pilot Plant Pembangkit Listrik Tenaga Biogas, Pusdiklat LPPM, USU, Medan

3.2.2 Peralatan Penelitian

3.2.2.1 Peralatan Utama

(6)

65

Gambar 3.1 Menara Composter 3.2.2.2 Peralatan Analisa

1. Termometer digital 2. pH meter digital 3. Neraca analitis 4. Timbangan 5. Oven 6. Desikator

7. Electrical Conductivity meter

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Proses Pengomposan

1. Komposter kosong disiapkan.

2. Shredded TKKS yang telah disiapkan dimasukan kedalam komposter hingga penuh.

3. Ditambahkan POA hingga kadar air pengomposan optimum 55 – 65% dan dijaga kadar air optimum dengan cara penambahan selama proses pengomposan terjadi.

4. Dilakukan variasi sirkulasi:

• Tanpa sirkulasi

• Sirkulsi 3 hari sekali

• Sirkulasi 5 hari sekali

5. Pengambilan sampel dilakukan di 3 titik penyamplingan sebelum proses pengadukan (bagian atas, tengah dan bawah).

6. Pengukuran temperatur dilakukan setiap hari, pada pagi, siang dan sore hari.

7. Dilakukan analisa pH setiap hari. 8. Dilakukan analisa MC setiap hari.

(7)

66 3.4 Prosedur Analisa

3.4.1 Prosedur Penentuan Moisture Content

Moisture Content (MC) merupakan salah satu parameter pendahuluan yang harus dilakukan sebelum melakukan pengukuran kadar karbon dan nitrogen. MC dinyatakan dalam satuan persen (%). Berikut adalah tahapan melakukan anlisa moisture content :

1. Sampel ditimbang sebanyak 5 gr di tiga titik penyamplingan (atas, tengah dan bawah)

2. Cawan kosong ditimbang beratnya

3. Sampel yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam cawan 4. Cawan berisi ditimbang beratnya

5. Berat sampel di dalam cawan dihitung sebagai berat awal sampel 6. Dimasukkan ke dalam oven, suhunya diset 120 oC selama 4 jam 7. Didinginkan dalam desikator

8. Beratnya ditimbang kembali Kadar air dihitung dengan rumus

Kadar air =Berat awal −berat kering

berat awal �100%

3.4.2 Prosedur Penentuan pH

Pengukuran pH dilakukan pada sampel kompos dengan menggunakan pH meter digital. Prosedur analisa pH dilakukan dengan menggunakan prosedur yang telah dilakukan [25;28]. Berikut ini adalah cara menganalisa pH pada kompos:

1. Ditimbang kompos sebanyak 10 g dan ditempatkan di beaker glass

2. Ditambahkan aquades sebanyak 25 ml kedalam tabung 3. Digoncang pada shaker selama 30 menit

(8)

67 3.4.3 Prosedur Penentuan Temperatur

Prosedur pengukuran temperatur dilakukan di tiga titik, yaitu atas, tengah dan bawah komposter dengan menggunakan termometer digital dan dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari yaitu pagi dan sore.

3.4.4 Prosedur Analisa Water Holding Capacity

Water Holding Capacity atau kemampuan ikat air dinyatakan dalam satuan persen (%), sesuai dengan satuan SNI 19-7030-2004. Dasar penetapan Water Holding Capacity merupakan kadar penguraian air yang ditambahkan =dengan air yang berhasil melewati kertas filter saringan dalam bucket analysys dalam 24 jam. Berikut ini adalah langkah – langkah menganalisa Water Holding Capacity:

1. Diayak kompos matang sebanyak 100 gram

2. Dimasukkan kompos yang telah diayak kedalam bucket berlubang yang telah dilapisi dengan kertas filter

3. Kemudian ditambahkan air sebanyak 100 ml dan didiamkan selama 24 jam

4. Dihitung volume air yang berhasil melewati kertas saring dengan persamaan:

3.4.5 Prosedur Analisa Daya Hantar Listrik

Daya hantar listrik merupakan angka yang menunjukkan kemampuan dari suatu larutan untuk menghantarkan arus listrik. Daya hantar listrik dinyatakan dalam satuan dS/m [29]. Berikut ini adalah langkah – langkah menganalisa daya hantar listrik :

(9)

68

3. Kemudian diaduk selama 15 menit.

4. Letakkan Electric Conductivity meter kedalam larutan 0,01 N KCl sebanyak 50 ml.

5. Atur instrument sampai menunjukkan angka 1,412 dS/m.

6. Letakkan Electric Conductivity meter kedalam sampel yang tersuspensi.

7. Catat hasil yang didapat.

3.4.6 Analisa Perbandingan C/N, Microbial Count dan Bahan

Organik Lainya

Rasio C/N merupakan parameter terpenting dalam parameter kimia kompos. Parameter ini dipengaruhi oleh proses degradasi biologis dalam kompos terhadap kandungan karbon dan nitrogen sehingga nilainya dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme. Karbon dan nitrogen merupakan nutrisi terpenting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam aktifitasnya menguraikan bahan organik, karbon dibutuhkan sebagai sumber energy dalam pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, karbon juga diubah menjadi dinding sel atau membran, protoplasma, dan produk sisa [28]. Analisa C/N dan bahan organik lainnya dilakukan di luar Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara yaitu di Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

(10)

69 3.5.1 Flowchart Proses Pengomposan

Gambar 3.2 Flowchart Prosedur Pengomposan Mulai

Komposter diisi penuh dengan TKKS yang telah disiapkan Disiapkan Shreded TKKS

Persiapan komposter kosong

Dilakukan pengukuran temperatur 2 kali sehari Ditambahkan POA Effluent dari pengolahan

LCPKS

Dilakukan analisa pH setiap 1 hari sekali

Dilakukan analisa kadar air 1 kali sehari

Dilakukan analisa Water Holding Capacity 1 kali 10 hari

Dilakukan analisa Daya Hantar Listrik 1 kali 10 hari

Dilakukan analisa C/N, Microbial Count dan bahan organik lainnya selama proses pengomposan

Selesai

(11)

70 3.5.2 Flowchart Penentuan Kadar Air

Gambar 3.3 Flowchart Prosedur Analisa Kadar Air Dimasukkan sampel yang ditimbang ke dalam cawan

Ditimbang Berat Cawan Kosong Ditimbang Sampel Sebanyak 5 gram

Ditimbang berat sampel di dalam cawan sebagai berat awal sampel

Selesai

Dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 120 oC selama 4 jam

Didinginkan di dalam desikator

Ditimbang Beratnya Kembali Mulai

(12)

71 3.5.3 Flowchart Penentuan pH Kompos

Gambar 3.4 Flowchart Prosedur Penentuan pH Kompos

3.5.4 Flowchart Penentuan Temperatur

Gambar 3.5 Flowchart Prosedur Penentuan Temperatur Mulai

Digoncang dengan shaker selama 30 menit

Ditimbang sampel kompos sebanyak 10 gram dan diletakkan di beaker glass

Diukur pH suspense kompos dengan menggunakan pH meter

Selesai

Mulai

Dicatat suhu masing – masing termometer

Dimasukkan termometer ke Komposterdi masing- masing

titik pensampelan yaitu bagian atas, tengah dan bawah Disiapkan termometer digital

Selesai

Ditambahkan air sebanyak 25 ml Mulai

Digoncang dengan shaker selama 30 menit

Ditimbang sampel kompos sebanyak 10 gram dan diletakkan di beaker glass

Diukur pH suspense kompos dengan menggunakan pH meter

Selesai

(13)

72

3.5.5 Flowchart Analisa Water Holding Capacity

Gambar 3.6 Flowchart Prosedur Analisa Water Holding Capacity Mulai

Dimasukkan kompos yang telah diayak kedalam bucket

berlubang yang telah dilapisi dengan kertas filter

Selesai

Dihitung volume air yang berhasil melewati kertas saring Diayak kompos matang sebanyak 100 gram

Ditambahkan air sebanyak 100 ml dan didiamkan selama 24 jam

(14)

73 3.5.6 Flowchart Analisa Daya Hantar Listrik

Gambar 3.7 Flowchart Prosedur Analisa Daya Hantar Listrik Mulai

Tambahkan 20 ml air

Selesai

Atur instrument sampai menunjukkan angka 1,412 dS/m Diletakkan kompos sebanyak 10 gram kedalam beaker gelas

Diaduk selama 15 menit

Letakkan Electric Conductivity meter kedalam larutan 0,01 N KCl sebanyak 50 ml

Letakkan Electric Conductivity meter kedalam sampel yang tersuspensi

(15)

74

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku

Penelitian ini menggunakan bahan baku yaitu Shredded tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang berasal dari PKS Dolok Masihul PTPN III Tebing Tinggi dan pupuk organik aktif (POA) yang berasal dari LPPM Biogas USU. Karakteristik TKKS dan POA yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 sedangkan hasil uji laboratoriumnya disajikan pada lampiran D.

Tabel 4.1 Karakteristik Shredded TKKS PKS Dolok Masihul PTPN III Tebing Tinggi

Tabel 4.2 Hasil Analisa Karakteristik POA

Parameter Satuan Nilai Metode Pengkuran

C (%) 0,58 Metode Walkley & Black

N (%) 0,10 Metode Kjeldahl

C/N 5,8 Pembagian kadar C/N

pH 8,09 Menggunakan pH digital

P2O5 (%) 0,016

K2O (%) 0,167

COD mg/l 1.580

Berdasarkan Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa Shredded TKKS dan POA memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dijadikan kompos. Shredded TKKS mengandung sumber karbon dan POA sebagai sumber mikroorganisme

Parameter Satuan Nilai Metode Pengukuran

(16)

75

dan nutrisi tambahan. Apabila keduanya dicampur diharapkan kandungan nutrisi telah cukup untuk mikroorganisme untuk dapat tumbuh dan mendegradasi Shredded TKKS menjadi kompos dengan pH keduanya bersifat basa sehingga kompos yang dihasilkan memiliki pH yang sesuai dengan pH tanah.

4.2 Analisis Kompos Hasil dari Pengomposan TKKS Dengan POA

Kualitas kompos dari shredded TKKS akan dibahas pada sub bab ini berdasarkan percobaan yang dilaksanakan menggunakan komposter 3 dengan volume komposter sebesar 0,476 m3, perlakuan pengadukan 5 hari sekali, tinggi komposter 3 m, kandungan kelembapan (moisture content, MC) dijaga 55-65 %, dan berat awal shredded TKKS 240 kg. Adapun parameter-parameter yang dianalisis yakni suhu, MC, pH, C/N, water holding capacity, bacterial count (BC) electrical conductivity (EC), dan kualitas kompos.

4.2.1 Profil dan Analisis Kompos Berdasarkan Suhu dan MC

(17)

32

Gambar 4.1 Profil suhu pengomposan Shredded TKKS pada komposter 3 dengan sirkulasi tumpukan 5 hari sekali dan penambahan POA 34 Liter

Suhu pagi ketinggian 1 m Suhu pagi ketinggian 2 m Suhu pagi ketinggian 3 m Suhu sore ketinggian 1 m Suhu sore ketinggian 2 m Suhu sore ketinggian 3 m

MC ketinggian 1 m MC ketinggian 2 m MC ketinggian 3 m

(18)

33

Pada gambar 4.1 dilihat suhu awal adalah 37oC, setelah itu suhu mengalami kenaikan setelah di campur POA. Selama pengamatan suhu pagi pada komposter mengalami kenaikan hingga 4 hari pertama, menjadi 47 oC pada ketinggian 1 m, 49 oC pada ketinggian 2 m, dan 48 oC pada ketinggian 3 m, hal ini mencerminkan mikroba pendekomposisi aktif di dalam komposter. Sedangkan selama pengamatan suhu sore pada komposter juga mengalami kenaikan hingga 4 hari pertama, menjadi 49,5 oC pada ketinggian 1 m, 48 oC pada ketinggian 2 m, dan 49 oC pada ketinggian 3 m, hal ini mencerminkan mikroba pendekomposisi aktif di dalam komposter. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Sahwan et al., bahwa salah satu produk dekomposisi pada proses pengomposan adalah panas. Adanya suhu yang tinggi pada proses pengomposan sangat penting untuk proses higienisasi yaitu untuk membunuh bakteri patogen. Proses pengomposan umumnya berlangsung pada kombinasi suhu termofilik dan mesofilik [27].

Profil suhu cenderung menurun selama proses pengomposan walaupun ada beberapa titik yang naik tetapi relatif kecil seperti pada 11-12 hari, 23-24 hari, 29-30 hari, dan 32-33 hari pada ketinggian 3 m, 16-17 hari, 20-21 hari, 30-31 hari, dan 33-34 hari pada ketinggian 2 m, serta 13-14 hari, 15-16 hari, 26-27 hari, dan 29-30 hari pada ketinggian 1 m.

Suhu rata-rata maksimum pada pengomposan ini adalah 48oC pada pagi hari dan suhu rata-rata maksimum untuk sore hari adalah 48oC. Setelah itu, suhu perlahan mulai menurun sampai hari ke-40 . Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Shen et al. dan Siong et al, mereka menyatakan bahwa setelah peningkatan suhu yang cepat selanjutnya perlahan-lahan suhu akan menurun dan ini mengindikasikan bahwa proses degradasi melambat seiring dengan menipisnya ketersediaan nutrisi [30,31].

(19)

34

Pada Gambar 4.1, terlihat profil MC terhadap waktu pengomposan. MC awal sebelum penambahan POA adalah 51 %, lalu ditambahkan POA sebanyak 8 liter sehingga nilai MC menjadi 58,4% pada ketinngian 1 m; 55,9% pada ketinngian 2 m; dan 55,6% pada ketinggian 3 m. Hal tersebut sesuai dengan yang dilaporkan Tiquia et al. bahwa tingginya suhu dalam pengomposan bisa menyebabkan hilangnya air terus-menerus dalam bentuk penguapan [40].

MC akhir ketinggian 1,2, dan 3 meter diperoleh sebesar 50,5 %, 52,0 % dan 49,2 %. Nilai ini mendekati dengan nilai MC yang dipoeroleh pada penelitian-penelitian sebelumnya. Seperti yang dilaporkan Siong et al. (2009), diperoleh MC 50% , dan Bahruddin et al (2010), memperoleh MC sebesar 52 % [31,10]. Tiquia et al. (2001), juga melaporkan bahwa kadar air sekitar 40 sampai 60 % diperlukan untuk kelangsungan hidup mikroorganisme sementara itu kadar melebihi 80% bisa membunuh mikroba aerobik karena kekurangan udara [32]. Oleh karena itu, penambahan POA sangat penting untuk mempertahankan aktifitas biologis serta menyediakan sumber nitrogen.

4.2.2 Analisis Kompos Berdasarkan pH

Untuk melihat keberlangsungan proses pengomposan, maka perlu diukur pH kompos dalam komposter setiap hari sekali. Pada pengomposan ini dilakukan sirkulasi tumpukan 5 hari sekali. Data hasil pengukuran disajikan pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Perubahan pH pada komposter 3 selama pengomposan 3

pH ketinggian 3 m pH ketinggian 2 m pH ketinggian 1 m

pH

(20)

35

Pada Gambar 4.2, rentang pH selama 40 hari pengomposan adalah berkisar antara 7,9 hingga 9,4 yang menunjukkan kondisi cenderung basa. pH dari setiap ketinggian berfluktuasi pada 10 hari pertama lalu cenderung konstan hingga hari ke-40.

Perubahan pH selama proses pengomposan diakibatkan oleh aktifitas mikroba [3;33]. Kenaikan pH hingga pada hari ke-10 sampai skala 9,4 terjadi karena N berubah menjadi NH3 atau NH4+ dalam proses amonifikasi, sehingga pH meningkat [10]. Namun pada hari yang kesebelas cenderung menurun sampai skala 8,5. Perubahan pH ini disebabkan oleh proses penguapan amonium dan pelepasan ion hidrogen sebagai akibat dari proses nitrifikasi [10].

Secara keseluruhan kondisi yang terjadi selama pengomposan cenderung basa yaitu dengan rentang 7,9- 9,4. Hal ni terjadi karena adanya pengaruh sirkulasi tumpukan yang menyebabkan CO2 tidak terperangkap dalam ruang kosong antara partikel kompos, sehingga mencegah terjadinya kondisi asam pada tumpukan atau penurunan pH yang signifikan [31,32]. Meningkatnya pH menjadi kondisi basa baik untuk proses pengomposan. Karena kondisi basa dapat menghambat pertumbuhan patogen seperti jamur yang dapat hidup pada kondisi asam [4].

4.2.3 Analisis Kompos Berdasarkan Jumlah Bakteri Terhadap Suhu

(21)

36

Gambar 4.3 Jumlah Bakteri dan Suhu pada Komposter 3 Selama Pengomposan

Pada grafik diatas tampak perubahan jumlah bakteri terhadap waktu pengomposan. Jumlah bakteri dianalisa sebanyak 5 kali selama proses pengomposan. Jumlah bakteri di awal adalah 171x106 CFU/mL setelah penambahn POA. Kemudian menurun dengan signifikan hingga pada hari 30, dan hari 40 mengalami sedikit kenaikan. Jumlah bakteri pada hari ke-10 turun menjadi 60x106 CFU/mL, kemudian turun pada hari ke 20 menjadi 28 x106 CFU/mL, pada hari ke-30 mengalami penurunan menjadi 12x106 CFU/mL dan mengalami sedikit kenaikan pada hari ke-40 menjadi 15x106 CFU/mL.

Penurunan yang terjadi pada hari ke-10 samapai dengan hari ke 40 disebabkan penurunan suhu dari termofilik menjadi mesofilik sehingga bakteri termofilik banyak yang mati dan digantikan bakteri mesofik. Penurunan suhu ini disebabkan karena sebagian besar bahan organik telah mengalami degradasi. Hal tersebut sesuai dengan yang dilaporkan Budi et al. (2009), bahwa pada setiap tahap awal pengomposan, bakteri termofilik akan menguraikan bahan organik karena bakteri ini aktif pada suhu tinggi. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan mencapai suhu normal sehingga bakteri termfilik akan mati [11]. Penyimpangan pada hari ke-40 disebakan oleh pengambilan titik sampel yang mungkin berbeda.

(22)

37 4.2.5 Analisis Kompos Berdasarkan C/N

Untuk mengetahui kualitas kompos yang dihasilkan pada komposter 3, maka perlu diukur perbandingan C/N yang dilakukan sebanyak 5 kali selama proses pengomposan, dan ditampilkan pada Gambar 4.4.

Gambar 4.5 Perubahan Nilai C/N pada komposter 3 dengan sirkulasi 5 hari sekali Selama Pengomposan

Pada Gambar 4.4 tampak perubahan C/N terhadap waktu. C/N dianalisa sebanyak 5 kali selama proses pengomposan dari hari ke-1 sampai hari ke-40. Nilai C/N shredded TKKS sebelum perlakuan adalah 63,68, setelah proses pengomposan nilai C/N berkurang drastis menjadi 48,09 pada hari ke-1. Pada hari ke-10 nilai C/N menurun menjadi 34,42. Pada hari ke-20 nilai C/N menurun menjadi 24,10. Pada hari ke-30 nilai C/N menurun menjadi 21,9. Pada hari ke-40 nilai C/N menurun menjadi 19,52.

Penurunan nilai perbandingan C/N adalah akibat penurunan kadar C selama pengomposan. Hal ini terjadi karena adanya proses dekomposisi bahan organik dari hasil aktivitas mikroba [31]. Nilai perbandingan C/N merupakan salah satu indikator penting yang menyatakan kematangan kompos [10;33]. Shredded TKKS awal memiliki nilai perbandingan C/N 63,68 dan hasil akhir pengomposan menunjukkan nilai perbandingan C/N menjadi 19,52.

(23)

38

4.2.6 Analisis Kompos Berdasarkan Electrical Conductivity (EC)

Untuk mengetahui jumlah garam terlarut dalam menentukan kualitas kompos, perlu dilakukan analisa EC. EC mencerminkan tingkat salinitas dalam suatu produk kompos, yang menunjukkan kemungkinan efek phytotoxic atau phyto-inhibitory[35]. Grafik perubahan nilai EC pada komposter selama pengomposan ditunjukan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Perubahan Nilai EC pada komposter Selama Pengomposan

Pada Gambar 4.5 terlihat perubahan nilai EC selama waktu pengomposan. Nilai EC kompos pada awal adalah 1235 µS.cm-1. Pada hari ke-10, nilai EC kompos mengalami peningkatan yaitu 1380 µS.cm-1. Namun, pada hari ke-20, nilai EC mengalami penurunan yaitu 1179 µS.cm-1 tetapi nilai EC meningkat pada hari ke-30 yaitu 1296 µS.cm-1 dan nilai EC akhir yang didapat setelah proses pengomposan ini adalah 1381 µS.cm-1. Penurunan nilai EC selama proses pengomposan adalah akibat langsung dari peningkatan konsentrasi nutrisi seperti nitrat dan nitrit[36] sedangkan peningkatan nilai EC dapat disebabkan karena pelepasan garam-garam mineral seperti ion-ion Fosfat dan Ammonia melalui dekomposisi dari substansi organik [28].

(24)

39

4.3 Pengaruh Frekuensi Sirkulasi Terhadap Parameter Kompos

Sirkulasi adalah proses pembalikan (turning) tumpukan shredded TKKS. Pengaruh frekuensi sirkulasi terhadap parameter kompos akan di bahas pada subbab ini. Pembahasan meliputi parameter-parameter yang dianalisis yakni suhu, MC, pH, kualitas kompos dan penambahan jumlah POA.

4.3.1 Pengaruh Frekuensi Sirkulasi Terhadap Rata-rata Suhu dan MC

Pada proses pengomposan, frekuensi sirkulasi dapat mempengaruhi laju pengomposan dan kualitas kompos yang dihasilkan [37]. Proses pengomposan untuk penelitian ini memvariasiakan frekuensi sirkulasi tumpukan Shredded TKKS yang digunakan. Adapun pengaruh frekuensi sirkulasi terhadap suhu dan MC disajikan dalam Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Pengaruh Frekuensi Sirkulasi terhadap rata-rat Suhu dan Moisture Content

Suhu adalah suatu yang paling penting untuk diukur dalam proses pengomposan [4]. Pada grafik 4.6 terlihat suhu rata-rata untuk variasi frekuensi sirkulasi tanpa sirkulasi, 3 hari, 5 hari sekali adalah 42,0 0C; 39,4 0C; dan 41,7 0C. Pengaruh frekuensi sirkulasi tehadap suhu tampak pada grafik, suhu rata-rata terendah dihasilkan oleh variasi frekuensi sirkulasi 3 hari yaitu 39,4 0C dan suhu

0

tanpa sirkulasi 3 hari 5 hari

(25)

40

rata-rata tertinggi dihasilkan oleh tanpa sirkulasi yaitu 42 0C. Hal ini menunjukkan korelasi bahwa semakin seringnya pengadukan yang diberikan, maka suhu tumpukan akan semakin rendah. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Shen et al. (2010), suhu tumpukan akan semakin rendah akibat efek pendinginan komposter yang disebabkan oleh besarnya frekuensi sirkulasi yang dilakukan [30].

Moisture content adalah salah faktor penting yang harus dijaga dalam proses pengomposan [4]. Baharudin et al. (2010), menyatakan bahwa kondisi terbaik MC untuk pengomposan adalah 55-65% [40]. Apabila MC terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena molekul air akan pergi mengisis rongga udara sehingga terjadi kondisi anaerobik karena kekurangan udara [39,41]. Pada grafik 4.7 terlihat MC rata-rata untuk variasi frekuensi sirkulasi tanpa sirkulasi, 3 hari, dan 5 hari sekali adalah 55,76%; 55,61%; dan 56,54 %. Dari data hasil percobaan untuk masing-masing variasi frekuensi sirkulasi masih dalam rentang MC 55-56 %. Hal ini sesuai dengan kualitas MC kematangan kompos yaitu 55-65% [39].

Pada masing-masing variasi frekuensi sirkulasi terlihat MC terkecil terdapat pada variasi frekuensi 3 hari sekali. Hal ini menunjukkan semakin banyaknya frekuensi sirkulasi dilakukan maka nilai MC akan semakin berkurang, ini sesuai dengan pernyataan yang dilaporkan Baharuddin et al. (2010), semakin banyaknya sirkulasi pada proses penomposan dapat berkontribusi terhadap hilangnya atau menguapnya air pada kompos [10].

(26)

41

4.3.2 Pengaruh Frekuensi Sirkulasi terhadap pH

Selama proses pengomposan, pH pada setiap masing-masing komposter menunjukkan perubahan yang berbeda. Adanya perubahan pH selama proses pengomposan disebabkan oleh aktivitas mikroba [3,39]. Untuk melihat pengaruh frekuensi sirkulasi pH, maka perlu di buat grafik variasi frekuensi sirkulasi terhadap pH rata-rata selama proses pengomposan yang disajikan pada gambar 4.7.

Gambar 4.7 Pengaruh Frekuensi Sirkulasi Terhadap Perubahan pH

Gambar 4.7 menunjukkan pH rata-rata terhadap variasi frekuensi sirkulasi yang telah dilakukan dengan standar deviasinya masing-masing. Pada grafik tersebut terlihat bahwa nilai rata-rata pH untuk setiap variasi frekuensi sirkulasi adalah 8,730; 8,751; 8,738. Nilai pH yang didapatkan selama pengomposan cenderung dalam kondisi basa. Nilai pH dalam kondisi basa baik untuk proses penomposan. Karena kondisi basa dapat menghambat pertumbuhan patogen seperti jamur yamng dapat hidup dalam kondisi asam [4].

3

Tanpa 3 hari 5 hari

pH

pH

(27)

42

Pada gambar 4.8 menunjukkan bahwa pH rata-rata tertinggi terdapat pada variasi frekuensi sirkulasi 3 hari, sedangkan pH terendah terdapat pada variasi tanpa sirkulasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa, semakin sering sirkulasi maka pH kompos akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa , dilakukannya pengadukan dapat mengeluarkan CO2 yang terperangkap dalam ruang kosong antara partikel kompos, sehingga mencegah terjadinya kondisi asam pada tumpukan atau penurunan pH yang signifikan [42,43].

4.3.3 Pengaruh Frekuensi Sirkulasi Terhadap Nilai C/N

Nilai C/N menunjukkan kematangan dan kualitas kompos yang dihasilkan. Untuk melihat pengaruh frekuensi sirkulasi terhdap C/N, perlu di buat grafik variasi frekuensi sirkulasi terhadap nilai C/N yang disajikan pada gambar 4.8.

Grafik 4.8 Pengaruh Frekuensi Sirkulasi Terhadap Perubahan C/N

Gamabar 4.8 Menunjukkan perubahan C/N pada hari ke -1. Ke-10, ke-20, ke-30 dan ke-40 pengomposan untuk setiap variasi frekuensi sirkulasi. Pada hari ke-1 nilai C/N setiap variasi frekuensi sirkulasi (tanpa sirkulasi, sirkulasi 3 hari, dan 5 hari sekali yaitu 46,08; 42,55; dan 48,09. Sedangkan pada hari ke-10 tampak penurunan drastis nilai C/N untuk setiap variasi sirkulasi yaitu 37,60; 39,00; dan 34,42. Pada hari ke-20 yaitu 35,45; 35,46; dan 24,10. Kemudian untuk hari yang ke-30 yaitu 20,68; 30,46; dan 21,9. Selanjutnya pada hari ke-40 yaitu 17,11; 19,68; dan 19,52. Penurunan nilai perbandingan C/N yang terjadi adalah

0

Tanpa sirkulasi 3 hari 5 hari SNI

C/

N

(28)

43

akibat penurunan kadar C selama proses pengomposan, sebaliknya kadar N pada kompos semakin meningkat. Hal ini terjadi karena adanya proses dekomposisi bahan organik dari hasil aktivitas mikroba [44,31]. Pada setiap variasi frekuensi sirkulasi terlihat perbedaan yang cukup signifikan, penurunan kadar C/N yang paling cepat adalah pada variasi 5 hari sekali.

Gambar 4.8 menunjukkan pada hari ke-40, rata-rata nilai C/N untuk setiap variasi telah mencapai standart C/N kompos yang seharusnya yaitu di bawah 20.

4.3.4 Pengaruh Frekuensi Sirkulasi Terhadap Jumlah POA yang Ditambahkan

Selama proses pengomposan, penambahan POA untuk setiap komposter tidaklah tentu, karena didasarkan pada MC tumpukan, yang dijaga pada nilai MC optimum yaitu 55-65% [10]. Sehingga akhir pengomposan total POA yang ditambahkan untuk setiap komposter berbeda jumlahnya. Untuk itu perlu dibuat grafik variasi frekuensi sirkulasi terhadap total penambahan POA. Data hasil penambahan disajikan pada gambar 4.9

Gambar 4.9. Pengaruh Frekuensi Sirkulasi terhadap Jumlah POAyang ditambahkan

Tanpa Sirkulasi 3 hari 5 hari

(29)

44

Gambar 4.9 menunjukan pengaruh frekuensi sirkulasi terhadap total penambahan POA. Untuk setiap variasi frekuensi sirkulasi, total penambahan POA 28, 45, dan 34 Liter. Dari data yang diperoleh penambahan POA tertinggi dihasilakn oleh frekuensi sirkulasi 3 hari dan terendah pada variasi tanpa sirkulasi. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin banyak proses sirkulasi dilakukan maka suplay oksigen semakin besar dan proses dekomposisi berlangsung lebih baik dan merata sehingga pemakaian air yang di butuhkan menjadi lebih besar [28].

Penambaan POA didasarkan pada nilai MC yang dijaga pada kisaran 55-65%. Setiapa penambahan POA akan menaikkan nilai MC hingga 60%. Hal ini tidak mempengaruhi nilai pH, dimana itu terlihat pada setiap variasi yang nilai nilai pH-nya tidak terlalu jauh berbeda. Namun penambahan POA akan mempengaruhi kualitas kompos, karena POA dalam penelitian ini juga berfungsi sebagai sumber nutrisi dan mikroba untuk kompos. Sehingga dengan lebih banyaknya penambahan POA untuk variasi frekuensi sirkulasi tertentu maka kualitas kompos yang dihasilkan juga semakin baik. Hal ini terlihat pada jumlah total penambahan POA terbanyak yang terdapat pada frekuensi sirkulasi 3 hari sekali sebanyak 45 Liter, dapat menghasilkan kompos dengan penurunan C/N yang cukup baik yaitu 19,68.

4.3.5 Penyusutan Massa Kompos Masing-Masing Komposter Selama Proses Pengomposan

(30)

45

Gambar 4.10 Penyusutan Massa Kompos Terhadap Waktu

Pada Gambar 4.11, terlihat penyusutan massa kompos semakin kecil seiring dengan waktu pengomposan. Massa awal masing-masing komposter adalah 243; 223,5 dan 239,5 kg. Penyusutan massa terjadi secara perlahan hingga pada pada 10 hari pertama dimana pada komposter 1 terjadi penyusutan ari ke-40. Pada hari ke-20 hingga ke-30 penyusutan massa masing-masing komposter terlihat tidak sebesar pada 10 hari pertama. Hingga hari ke-40 terlihat penyusutan volume semakin mengecil. Dari data yang didapat terlihat penyusutan massa akhir pada komposter 1 sebesar 188,5 kg, pada komposter 2 sebesar 145 kg dan pada komposter 3 sebesar 170 kg. Persentase penurunan tertinggi adalah pada komposter 2 dengan sirkulasi pengadukan 3 kali sehari.

0 Tanpa Sirkulasi Sirkulasi 3 hari Sirkulasi 5 hari

(31)

46

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang didapatkan dari penelitian kompos ini adalah sebagai berikut:

1. TKKS dengan campuran POA sebagai sumber mikroba, sumber nutrisi dan penyangga MC terbukti dapat menghasilkan kompos lebih kurang 10 hari.

2. Frekuensi sirkulasi mempengaruhi suhu, pH, MC, C/N dan kualitas kompos yang dihasilkan.

3. Total penambahan POA terbanyak diperoleh pada komposter dengan variasi sirkulasi 3 hari sekali dengan jumlah 45 liter.

4. Kualitas kompos pada hari 40 tidak begitu jauh berbeda dengan hari ke-20, ini ditunjukkan dengan penurunan C/N dari 24,1 ke 19,52 pada komposter 3.

5. Kualitas kompos terbaik yang dihasilkan adalah pada komposter 2 dengan variasi sirkulasi 3 hari, dengan pH 8,7; MC 68,5 %, WHC 52 %, C 8,86 %, N 0,45 %, dan perbandingan C/N 19,68.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan setelah melakukan penelitian kompos ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan variasi lubang asupan udara yang lebih banyak.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat kecepatan penyusutan tumpukan kompos yang terjadi didalam komposter agar kompos dapat diproduksi secara berkelanjutan.

(32)

47

kandungan oksigen yang lebih tinggi akan mempercepat laju degradasi oleh mikroba aerobik.

4. Perlu dilakukan pengukuran kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin untuk melihat perubahan yang terjadi setelah proses dekomposisi.

5. Perlu dilakukan pengukuran Germination Index akhir pengomposan untuk menunjukkan tingkat Phytotoxin serta kematangan pada kompos yang baik untuk tanaman (+ 80%).

(33)

49

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi dan Kesinambungan Dari Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Kompos

Kelapa Sawit (Elaeis Guineesis) saat ini telah berkembang pesat di AsiaTenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, justru bukan di Afrika Barat atau Amerika yang dianggap sebagai daerah asalnya [4].Data luas arel perkebunan kelapa sawit dan produksi CPO di indonesia dari tahun 2008 hingga 2013 mengalami peningkatan yaitu 1-3 % tiap tahunnya [1]

Industri minyak sawit akan menghasilkan sejumlah limbah, seperti tandan kosong kelapa sawit (TKKS) (23%), serat mesocarp (12%), dan palm oil mill effluent (POME) dari tiap pemprosesan satu ton tandan buah segar [11].

Proses pengolahan minyak sawit menghasilkan dua produk utama, yaitu minyak mentah (CPO) dan minyak mentah kernel (CPKO). Selama proses ektraksi, akan dihasilkan produk samping dan limbah seperti tandan kosong kelapa sawit (TKKS), palm oil mill effluent(POME), kondensat dari sterilizer, serat dan cangkang kernel kelapa sawit [14].

(34)

50

Salah satu bahan yang diperlukan untuk produksi kompos adalah Limbah TKKS dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS). Sebagai gambaran, apabila sebuahpabrikkelapa sawitmengolah sekitar100tondaritandan buah segar (TBS)setiap hari menjadi crude palm oil (CPO), selama proses berlangsung akan dihasilkan limbah (residu)baik dalam bentuk padatdancair.Limbah padat, terutama dalam bentuk TKKS dihasilkan sebanyak 27% dari TBS yang diolah, sedangkan limbah cair dalam bentukLCPKS yang dihasilkan lebih dari 500kg(sekitar 0,5m3). Kebanyakan kedua limbah ini dibuangselama pengolahan, oleh karena itu dengan memanfaatkan teknologi pengomposan, suatu pabrik yang mengolah TBS 100 ton/hari dan limbah yang dihasilkan sebanyak 27 ton TKKS dan 50 m3 POME, maka akan menghasilkan produk kompos sebanyak 27 ton/hari [12]. Limbah sebanyak ini semuanya dapat diolah menjadi kompos hingga tidak menimbulkan masalah pencemaran, sekaligus mengurangi biaya pengolahan limbah yang cukup besar.

2.2 Karakteristik Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Pupuk Organik Aktif(POA)

2.2.1 Karakteristik Tandan Kosong Kelapa Sawit

Tandan kosong kosong kelapa sawit, adalah materi yang dapat di daur ulang karena diproduksi dengan jumlah yang sangat besar. Rata-rata perkebunan sawit menghasilkan 100 metrik ton dari tandan buah segar setipa hari. Tandan kosong kelapa sawit mengandung banyak bahan selulosa yang mudah di dekomposisi oleh kombinasi proses fisika, kimia dan biologis. Tandan kosong kelapa sawit mengandung 70% cairan dan 30% padatan. Didalam tandan kosong kelapa sawit terdapat holoselulosa 65,5%, lignin 21,2%, abu 3,5% serta ada kandungan alkohol benzene sekitar 1-4% [9].

(35)

51

Keunggulan kompos TKKS sebagai kompos meliputi: kandungan kalium yang tinggi, tanpa penambahan starter dan bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Kompos dari tandan kosong kelapa sawit memiliki sifat-sifat yang menguntungkan antara lain:

1. Memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan.

2. Membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.

3. Bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman.

4. Merupakan kompos yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah.

5. Dapat diaplikasikan pada sembarang musim. [10].

2.2.2 Karakteristik (POA) Dari Effluent Biogas Pengolahan Lanjut Limbah

Cair Kelapa Sawit (LCPKS)

Penggunaan pupuk dengan memanfaatkan jenis mikroorganisme lokal (MOL) menjadi alternatif penunjang kebutuhan unsur hara.Larutan MOL mengandung unsur hara makro, mikro, dan mengandung mikroorganisme yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan agen pengendali hama dan penyakit tanaman sehingga baik digunakan sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan pestisida organik [16].

(36)

52

Berikut ini adalah tabel 2.1 tentang POA effluent dari pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU yang akan digunakan sebagai bahan tambahan proses pengomposan TKKS :

Tabel 2.1 Data POA effluent biogas dari pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU [9].

Parameter Satuan Kandungan

Nitrogen % 0,14

2.3 Proses Pengomposan dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Proses

Pengomposan

2.3.1 Kompos

Kompos adalah hasil penguraian bahan organik berbentuk padat melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara) maupun anaerob (tanpa bantuan udara). Komposdarilimbah padatorganiksemakin pentingdi seluruh dunia, dalam

kerangkaterpadumanajemen limbah padat dankhususnyapengalihanbiodegradablesdaripenimbunan[10].

(37)

53

makro maupun mikronya yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K,Ca, Mg,dan S, sedangkan kandungan unsur mikronya antara lain Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na dan B[12]. Dalam proses pengomposan organisme pengurai mengambil sumber makanan dari sampah atau bahan organik yang diolah lalu mengeluarkan sisa metabolisme berupa karbon dioksida (CO), serta panas yang menghasilkan uap air (H2O). Oleh karena itu, kinerja organisme pengurai dapat dipantau dengan pengamatan temperatur (suhu), tekstur, struktur dan perubahan warna serta bau.Peningkatan suhu, tekstur dan struktur tidak lengket dan remah serta warna manjadi gelap mengkilat menandakan adanya kegiatan organisme pengurai yang berjalan dengan baik dan bau menyengat kompos yang semakin hari semakin hilang [12].

2.3.2 Proses Pengomposan

Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia. Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam, sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian akan digantikan oleh bakteri termofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat, kemudian akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga mencapai 70 oC. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan.

(38)

54

yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-50 % dari bobot awal tergantung kadar air awal[12].

2.3.3 Metode Pengomposan

Metode pengomposanyang umum digunakan seperti :Silo (In-Vessel), windrows, penumpukan aerasi,dan sekelompok metode yang umum dikenal sebagai pengomposan di wadah tertutup. Pengomposan pasif hanya terdiri daripenumpukan bahan baku danmeninggalkan bahan kompos untuk proses pengomposan selama jangka waktu yang panjang. Pengomposan metode windrow adalah pembuatan kompos dengan menumpuk bahan organikatau limbah biodegradable, seperti kotoran hewan dan sisa tanaman, dalam tumpukan berbaris yang panjang, metode windrowmerupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengomposan skala pertanian. Pengomposan metode penumpukan aerasi menggunakan bloweruntuk memasok udara ke bahan kompos, blower ini dilengkapi pengontrolan langsungdariproses dan memungkinkan untuk pengomposan tumpukan yang lebih besar. Pengomposan di wadah tertutup merupakan bentuk industri kompos limbah biodegradable yang terjadi dalamreaktor tertutup.Umumnya proses ini menggunakan tangki logam atau bunker beton di mana aliran udara dan suhu dapat dikontrol [18].

2.3.3.1 Proses Pengomposan Silo (In-Vessel)

(39)

55

Gambar 2.1 Pengomposan In Vessel Menggunakan Empat Channel [19]

Keuntungan utama dari sistemin-vesseldibandingkan (windrows,tumpukanstatis soda dan lain-lain) adalahpemendekan tahap mesofilik dan termofilik, efisiensi proses yang lebih tinggi, dan penurunan jumlah patogen, sehingga lebih aman dan produk akhir lebih berharga. Selain itu, kebutuhan lahan umumnya lebih sedikit dibandingkan dengan metode lain.Namun, penting untuk dicatat bahwa semua sistemmemerlukan stabilisasi akhir kompos.Kekurangan dari metode in-vessel termasukmodal yang tinggi dan biaya operasional akibat penggunaanperalatan komputer dan tenaga kerja terampil. In-vesselkompos umumnya lebih otomatis dariwindrow atau sistem tumpukan statis, dan dapat menghasilkan topkualitas produk jadi secara konsisten.Alasan umum untuk memilih in-vessel pengomposanatas metode lain meliputi :kontrol bau, keterbatasan ruang di lokasi, proses dan penanganan material kontrol, penerimaan publik yang lebih baik karenaestetika/penampilan dari situs pengomposan, kebutuhan tenaga kerja sedikit dan kualitas produk yang lebih konsisten[20] 2.3.3.2 Metode windrows

(40)

56

setinggi 8-10 ft. Dimensi dari tumpukan ini dapat dipengaruhi oleh alat pengaduk komposnya. Pengadukan dilakukan untuk mendapat suplai udara yang berfungsi dalam pengaturan temperatur dan kelembapan. Pengadukan dapat juga menimbulkan timbulnya bau karena kemungkinan terjadinya proses anaerobik paada tumpukan kompos. Pengadukan tidak dilakukan terus-menerus. Setelah 3-4 minggu, kompos tidak perlu diaduk untuk mencapai periode curing. Pada periode ini, residu materi organik akan didekomposisi oleh fungi [10].

2.3.3.3. Metode Penumpukan Aerasi

Dalam proses pengomposan aerobik membutuhkan oksigen secara mutlat karena mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan membutuhkan oksigen dan air untuk merombak bahan organik dan mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen, fospor, belerang dan unsur lainnya untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya [21].

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Untuk menghasilkan produk kompos yang bermutu tinggi, maka dalam proses pengomposan harus juga memperhatikan faktor nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor nutrisi mencakup makronutrien, mikronutrien, sedangkan faktor lingkungan dibagi menjadi temperatur dan kadar air, sedangkan faktor lain seperti ukuran partikel, C/N, pencampuran dengan bahan lain, penambahan air, penambahan mikroorganisme, kadar air, pengadukan, temperatur, kontrol patogen, udara, pH, derajat dekomposisi, dan lahan pengomposan harus dikontrol [22].Berikut ini penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan.

2.3.4.1 Nutrisi

(41)

57

menyebabkan kompos berkualitas rendah. Tirado (2008) menjelaskan efek menguntungkan dari kompos terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan peningkatan pasokan nutrisi bagi tanaman [17].

2.3.4.2 Rasio C/N

Zat arang atau karbon (C) dan nitrogen (N) ditemukan diseluruh bagian sampah organik. Dalam proses pengomposan, C merupakan sumber energi bagi mikroba sedangkan N berfungsi sebagai sumber makanan dan nutrisi bagi mikroba. Besarnya rasio C/N tergantung pada jenis sampah, namun rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1 [18].Sementara besarnya rasio C/N untuk kematangan kompos yaitu 10-20: 1, [38].

2.3.4.3 Ukuran Partikel

Ukuran partikel bahan kompos berkaitan dengan nutrien misalnya distribusi nutrien yang tergantung pada ukuran partikel sampah. Secara teoritis, laju dekomposisi akan meningkat dengan partikel organik yang semakin kecil [23]. Reduksi ukuran partikel dapat dilakukan dengan pencacahan. Ukuran partikel mempengaruhi drag force antara partikel sampah, internal friction, dan bulk density.

Sebagian besar dari dekomposisi aerobik pengomposan terjadi pada permukaan partikel, karena oksigen bergerak mudah sebagai gas melalui ruang pori tapi jauh lebih lambat melalui bagian cair dan padat dari partikel. Partikel yang lebih kecil mengurangi porositas efektif. Kualitas kompos ynang baik biasnya diperoleh ketika ukuran partikel berkisar dari rata-rata diameter 1/8-2 inci [18].

2.3.4.4 Temperatur

(42)

58

Peningkatan temperatur disebabkan oleh reaksi eksoterm dan aktifitas metabolisme mikroorganisme. Pada metode windrow, temperatur akan naik karena pengadukan dan hanya dapat dikontrol secara tidak langsung dengan pengukuran setelah pengadukan. Setelah pengadukan, biasanya temperatur akan turun 5 – 10°C , namun akan kembali naik setelah beberapa jam. Temperatur pada windrow turun 10 – 15 hari setelah oksidasi organik, suhu akan dapat berhenti naik pada hari ke 9 atau ke 10 sehingga aktifitas mikroorganisme pun menurun [22].

2.3.4.5 pH

Pengontrolan pH sangat penting seperti temperatur dalam mengevaluasi aktifitas mikroorganisme dan kestabilan sampah.pH pengomposan awal sampah organik berkisar antara 5 -7. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5 atau kurang dari itu karena organik akan berada pada temperatur ambien dan aktifitas mikroorganisme mesofil akan meningkat dalam menduplikasi diri sehingga produksi asam organik akan meningkat dan pH akan turun. Pada saat termofilik, temperatur akan naik dan terjadi aerobik proses sehingga pH akan naik sampai 8 – 8,5. Setelah kompos matang, pH akan turun menjadi 7 – 8 [22]. Pada pengomposan bahan dengan kandungan lignin yang tinggi dengan lumpur biologis, pH cenderung rendah yakni sekitar 5,1-5,5 [24].

2.3.4.6 Kadar Air

Moisture diperlukan untuk mendukung proses metabolisme mikroba dan merupakan suatu paremeter penting untuk dikendalikan dalam pengomposan [17]. Kelembaban yang optimum berkisar antara 50 – 60%.Kadar air dapat juga ditambahkan dengan penambahan air. Apabila kelembaban kompos kurang dari 40% maka reaksi akan melambat [22].

Pada saat matang, kadar air yang disayaratan oleh SNI 19-7030-2004 adalah kurang dari 50%. Kadar air dalam kompos matang tidak baik apabila terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan karena kadar air secara langsung berhubungan dengan nilai water holding capacity, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Agricultural Analytical Services Laboratory The Pennsylvania State University

(43)

59

2.3.4.7 Penambahan Air, Mikroorganisme, dan Pencampuran Bahan Lain

Dua faktor desain yang menentukan penambahan air, mikroorganisme, dan pencampuran dengan bahan lain yang mengandung C/N yang tinggi adalah kelembaban dan nilai C/N. Untuk dapat mencapai C/N yang optimum, kompos dapat juga dicampurkan dengan bahan-bahan yang mengandung sumber karbon yang tinggi seperti kertas, daun, kotoran hewan, dan lumpur dari instalasi pengoahan air limbah. Pencampuran dengan bahan lain menyebabkan pengontrolan terhadap kelembaban. Penambahan mikroorganisme juga dapat dilakukan untuk menghasilkan dekomposisi yang cepat.

2.3.4.8 Pengadukan

Pengadukan dilakukan untuk menambah atau mengurangi kelembaban pada kompos agar sampai pada kelembaban yang optimum.Pengadukan juga dapat dilakukan untuk meratakan distribusi nutrien untuk mikroorganisme.Pengadukan merupakan faktor yang penting dalam mengontrol kelembaban, kebutuhan udara atau oksigen untuk keadaan aerob. Untuk kompos dengan menggunakan sampah organik membutuhkan 15 hari periode pengomposan dengan kelembaban 50 -60% dan pengadukan lebih baik dilakukan setelah hari ketiga dan dilakukan setelah hari itu sampai mendapatkan pengadukan 4 – 5 kali [22]. pengadukan sangat berpengaruh pada pencapaian suhu yang maksimum dan memperpanjang periode pengambilan oksigen[26].

2.4 Penggunaan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Sebagai Kompos

Dengan Penambahan Bahan Organik

(44)

60

dan 40 dan pengambilan sampel untuk analisa dilakukan di sembilan titik pada unit windrow. Gambar 2.2 dibawah ini adalah proses pembalikan menggunakan traktor dengan macerator.

Gambar 2.2 Pembalikan Kompos TKKS-POME Menggunakan Traktor Dengan Macerator [2]

Penelitian yang dilakukan oleh Kananam et all., (2011) adalah untuk mengetahui perubahan biokimia pengomposan TKKS dengan lumpur decanter dan kotoran ayam sebagai sumber nitrogen.Pada penelitian ini juga dilakukan penambahan tanah merah yang mengandung Fe, berfungsi untuk acceptor elektron mikroorganisme dalam kondisi anaerobik, dan lumpur decanter yang digunakan berasal dari limbah pabrik kelapa sawit.Untuk kondisi aerobik pada penelitian ini ditambahkan benih mikroorganisme yang terdiri dari jamur (Corynascus sp., Scytalidium sp., Chaetomium sp., dan Scopulariopsis sp) dan bakteri (Bacillus sp), sedangkan untuk kondisi anaerobik benih mikroorganisme yang ditambahkan mengndung ragi (Saccharomyces sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), dan bakteri katabolisme protein (Bacillus sp).

2.5Kematangan Kompos

Agar dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman, kompos yang digunakan harus benar-benar stabil (matang). Menurut Sahwan (2004) terdapat beberapa parameter yang digunakan sebagai indikator kematangan kompos yang terdapat pada tabel 2.2:

Tabel 2.2. Parameter Kematangan Kompos [26]

Parameter Indikator

Suhu mendekati suhu udara ratio C/N ≤ 20

(45)

61 2.6 Pemanfaatan Kompos

Pemanfaatan kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yaitu:

1. Aspek Bagi Tanah Dan Tanaman

a. Memperbaiki produktivitas dan kesuburan tanah

Pemakaian kompos dapat meningkatkan produktivitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah.Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah, meningkatkan pengikatan antar partikel dan kapasitas mengikat air sehingga dapat mencegah erosi dan longsor serta dapat mengurangi tercucinya nitrogen terlalut dan memperbaiki daya olah tanah.Sedangkan secara kimia, kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), ketersediaan unsur hara dan ketersediaan asam humat. Asam humat akan membantu meningkatkan proses pelapukan bahan mineral. Secara biologi, kompos merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganismeakan berkembang lebih cepat dan dapat menambah kesuburan tanah.

b. Menyediakan hormon,vitamin dan nutrisi bagi tanaman

Setiap tanaman membutuhkan nutrisi (makanan) untuk kelangsungan hidupnya.Tanah yang baik mempunyai unsur hara yang dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsure hara yang diperlukan tanaman dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

• Unsur hara primer, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg)

• Unsur hara mikro yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah

sedikit, seperti Tembaga (Cu), Seng (Zn), Klor (Cl), Boron (B), Mangan (Mn) dan Molibdenum (Mo)

Warna coklat kehitam-hitaman

Bau bau tanah

Struktur hancur

(46)

62 c. Memperbaiki struktur tanah

Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur terjadi karena butir-butir debu, pasir dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik dan oksida besi. Tanah tergolong jelek apabila butir-butir tanah tidak melekat satu sama lain atau saling merekat erat. Tanah yang baik adalah tanah yang remah dan granuler yang mempunyai tata udara yang baik sehingga aliran udara dan air dapat masuk dengan baik.Kompos merupakan perekat pada butir-butir tanah dan mampu menjadi penyeimbang tingkat kerekatan tanah.Selain itu, kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah.Dengan demikian, tanah yang semula keras dan sulit ditembus air maupun udara, kini dapat menjadi gembur akibat aktivitas mikroorganisme.Struktur tanah yang gembur amat baik bagi tanaman.

d. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air

Tanah yang bercampur dengan bahan organik seperti kompos mempunyai pori-pori dengan daya rekat yang lebih baik sehingga mampu mengikat serta menahan ketersediaan air di dalam tanah.Kompos dapat menahan erosi secara langsung. Hujan yang turun deras mengenai permukaan tanah akan mengikis tanah sehingga unsur hara terangkut habis oleh air hujan. Dengan adanya kompos, tanah terlapisi secara fisik sehingga tidak mudah terkikis dan akar tanaman terlindungi. Kemampuan tanah untuk menahan air ini (water holding capacity) berhubungan erat dengan besarnya kadar air dalam gundukan kompos.

2. Aspek Ekonomi

a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah b. Mengurangi volume/ukuran limbah

c. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya

d. Proses pengomposan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah.

3. Aspek Lingkungan

a. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah

(47)

63

(48)

45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelapa Sawit sebagai salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Selain sebagai salah satu penghasil devisa negara, kelapa sawit juga bersifat padat karya (labour intensive) sehingga banyak menyerap tenaga kerja. Seiring dengan penambahan luas areal kelapa sawit serta berkembangnya industri kelapa sawit di berbagai wilayah di Indonesia, maka produksi kelapa sawit nasional dalam wujud minyak sawit (CPO) juga terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 1980 produksi CPO Indonesia hanya sebesar 721,17 ribu ton, sedangkan tahun 2013 menjadi 27,74 juta ton atau tumbuh rata-rata sebesar 11,95% per tahun [1]

(49)

46

kapasitas tukar kation, pH serta ketersediaan unsur hara seperti N, P, K dan Mg [5].

Pengomposan adalah proses natural dengan mengubah senyawa organik menjadi kompos yang baik untuk campuran tanah [6]. Pengomposan TKKS secara alami ketika di biarkan dalam lingkungan akan mengalami dekomposisi, tetapi prosesnya akan sangat lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Dekomposisi material organik ini terjadi akibat aktivitas mikroorganisme pada kondisi tertentu. Selama pengomposan mikroorganisme akan mengkonsumsi material organik tersebut dengan bantuan oksigen (O2) [7].

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengomposan adalah sirkulasi tumpukan material yang akan di komposkan dan pencampuran bahan kompos. Sirkulasi tumpukan yang dimaksud adalah dengan membolak-balikkan TKKS pada frekuensi waktu yang sudah ditentukan sehingga dengan melakukan ini akan terjadi sirkulasi udara dari luar composter kedalam composter. Pencampuran bahan kompos dimaksudkan untuk mendapatkan kandungan kimia dalam kompos yang baik, salah satunya adalah perbandingan C/N.Pencampuran bahan kompos ini dapat dilakukan dengan bahan organik lain yang merupakan limbah padat organik seperti limbah hasil pertanian, limbah dari pengolahan air atau air limbah (lumpur), limbah peternakan, dan lain-lain. Dengan kata lain, pencampuran bahan kompos juga dapat menjadi solusi alternatif dalam mengolah limbah padat dari berbagai sumber secara bersamaan [8].

(50)

47

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Baharudin (2009), mengenai pengaruh pencampuran POME anaerobic sludge yang berasal dari 500 m3 closed anaerobic methane digested tank untuk pengomposan TKKS yang telah di tekan dan dicacah. POME anaerobic sludge yang berasal dari pengolahan biogas, limbah ini memiliki nutrisi dan sumber mikroba yang tinggi dan cocok digunakan untuk bahan tambahan proses pengomposan. Pengomposan ini dilakukan dalam composter balok. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk balok yang disusun dari batu bata. Hasil yang diperoleh waktu pengomposan singkat, yaitu 40 hari dengan rasio C/N akhir 12, 4. Kadar air kompos mengalami penurunan dari awal sampai akhir composting yaitu 64.5 % menjadi 52 %.

Berdasarkan penelitian yang berkembang, TKKS dicampurkan dengan POME ataupun senyawa lain dan berbagai bentuk tempat composting untuk menghasilkan kompos. Pada penelitian ini, TKKS dicampurkan dengan Pupuk Organik Aktif dengan pengaruh sirkulasi tumpukan TKKS pada composter untuk menghasilkan kompos aktif yang berkualitas baik.

1.2 Perumusan Masalah

Pengomposan dilakukan dengan mencampur TKKS dan pupuk organik aktif (POA) melalui pengaruh sirkulasi tumpukan TKKS sehingga diperoleh lama waktu pengoposan yang relatif lebih cepat.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penelitian ini adalah menemukan kondisi proses terbaik dalam menara composter untuk pengomposan TKKS sehingga dihasilkan kompos bermutu baik. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data degradasi pengomposan TKKS pada komposter menara dengan variasi frekuensi sirkulasi tumpukan, serta mengetahui kualitas kompos yang dihasilkan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(51)

48

b. Memberikan informasi mengenai manfaat tandan kosong kelapa sawit serta proses pengomposan yang baik kepada masyarakat dan dunia industri.

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian pembuatan kompos ini dilakukan di Pusdiklat LP2M USU. Bahan utama yang akan digunakan adalah TKKS yang diperoleh dari PKS Sei Mangkei PTPN III dan POME serta Aquades (H2O). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menara composter, termometer, timbangan, pH meter, shaker, tabung plastik (botol kocok), neraca analitis, beaker glass, oven, cawan, kertas saring dan desikator.

Variabel yang divariasikan adalah frekuensi sirkulasi tumpukan (tanpa sirkulasi, 3 hari sekali, dan 5 hari sekali)

Variabel yang tetap :

1. Lama pengomposan 40 hari. 2. Ukuran potongan Shredded TKKS.

3. Moisture Content (MC) 55-65 % (diatur dengan penambahan (POME).

Adapun parameter-parameter yang akan diamati dan dianalisa pada penelitian ini diperlihatkan pada tabel 1.2.

Tabel 1.1 Parameter-parameter yang akan dianalisa pada penelitian

Variabel Waktu Analisa

Temperatur 2 x 1 hari

pH 1 x 1 hari

Kadar Air 1 x 1hari

Rasio C/N 1 x 10 hari

(52)

36

ABSTRAK

Proses pengomposan Shredded Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dengan mencampur pupuk organik aktif (POA) merupakan alternatif pemanfaatan limbah padat yang dihasilkan dari pabrik kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknik pengomposan TKKS dan untuk mendapatkan data degradasi pengomposan shredded TKKS dengan memvariasikan frekuensi sirkulasi tumpukan sehingga dihasilkan kompos bermutu baik. Proses pengomposan dilakukan dengan memasukkan shredded TKKS pada komposter dan ditambahkan POA hingga mencapai nilai Moisture Content (MC) optimum 55-65%. Selama pengomposan MC dijaga pada kondisi optimum dengan menambahkan POA. Variasi frekuensi sirkulasi tumpukan yang dilakukan adalah tanpa sirkulasi, 3 hari sekali, dan 5 hari sekali. Parameter yang dianalisa adalah temperatur, MC, pH, Water Holding Capacity, Electrical Conductivity, dan rasio C/N. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat pengaruh frekuensi sirkulasi tumpukan terhadap proses pengomposan dan rata-rata kompos dapat dihasilkan dalam waktu 40 hari. Degradasi shredded TKKS terbaik diperoleh pada variasi frekuensi sirkulasi tumpukan 3 hari sekali dengan pH 8,7; MC 68,5%, WHC 52% , EC 1620 µS/cm dan rasio C/N 19,68.

(53)

37

ABSTRACT

Empty Fruit Bunch Composting with activated organic (AOF) fertilizer is an alternative to utilize solid waste disposed from the palm oil mill. This research was to study the composting technique for shredded EFB and to collect the degradation data during composting of shredded EFB with during turning frequency in order to get a high quality compost. The composting process with put shredded EFB into composter and then followed by the addition of OAF until the optimum moisture content of 55-65% was reached. During the composting, the MC was kept on the optimum condition by adding the AOF. The variations of turning frequency were without turning, once in 3 days, and once in 5 days. The parameters of temperature, MC, pH value, bacterial count, electrical conductivity (EC), C/N ratio and the quality of compost were analyzed throught the process. The outcome from this research proved that the turning frequency affected the composting process and the compost was produced around 40 days. The best degradation result of EFB was obtained for the once in 3 daysturning which pH 8,7; MC 68,5%, WHC 52% , EC 1620 µS/cm and C/N ratio 19,68.

(54)

29

PENGOMPOSAN SHREDDED TANDAN KOSONG

KELAPA SAWIT (TKKS) DENGAN AKTIVATOR

PUPUK ORGANIK AKTIF (POA) DI DALAM

MENARA COMPOSTER: PENGARUH SIRKULASI

TUMPUKAN TKKS

SKRIPSI

Oleh

120405078

REGUEL NABABAN

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

(55)

30

PENGOMPOSAN SHREDDED TANDAN KOSONG

KELAPA SAWIT (TKKS) DENGAN AKTIVATOR

PUPUK ORGANIK AKTIF (POA) DI DALAM

MENARA COMPOSTER: PENGARUH SIRKULASI

TUMPUKAN TKKS

SKRIPSI

Oleh

120405078

REGUEL NABABAN

SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN

PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

(56)

31

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul:

PENGOMPOSAN SHREDDED TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) DENGAN AKTIVATOR PUPUK ORGANIK AKTIF (POA) DI

DALAM MENARA COMPOSTER: PENGARUH SIRKULASI TUMPUKAN TKKS

dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini adalah hasil karya saya kecuali kutipan-kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya.

Demikian pernyataan ini diperbuat, apabila dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya saya atau merupakan hasil jiplakan maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Medan, April 2017

(57)

32

PENGESAHAN UNTUK UJIAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul:

PENGOMPOSAN SHREDDED TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA) DI DALAM

MENARA COMPOSTER: PENGARUH SIRKULASI TUMPUKAN TKKS

dibuat sebagai kelengkapan persyaratan untuk mengikuti ujian skripsi Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Mengetahui, Medan, Maret 2017

Koordinator Skripsi Dosen Pembimbing

Ir. Renita Manurung, M.T

Gambar

Gambar 3.2 Flowchart Prosedur Pengomposan
Gambar 3.3 Flowchart Prosedur Analisa Kadar Air
Gambar 3.5 Flowchart Prosedur Penentuan Temperatur
Gambar 3.6 Flowchart Prosedur Analisa Water Holding Capacity
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik mampu mengidentifikasi dan menjelaskan tentang: - icon menu pada paket. aplikasi perangkat lunak

Upaya untuk merevitalisasi atau pun menguatkan kembali nilai-nilai Hibua Lamo dapat dilihat pada peristiwa tanggal 19 April 2001 yang berlangsung di Lapangan Hibua Lamo

Kesimpulan pemberian enzim fitase sampai level 2000 UFT pada ransum ayam broiler tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah referensi ilmu pengetahuan khususnya dalam di bidang keperawatan maternitas dan dapat menambah pengetahuan

ooclolooooltr)srol{l ooooloooo)eolog)oalT.

Dari hasil wawancara kami, Dapat disimpulkan bahwa Adi Erzal sebagai owner dari Jakcloth Store adalah seorang leader yang mempunya tipe kepemimpinan Transformasional

Menurut R.Gagne (1989)Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar dan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Baca Tulis Al-Qur’an adalah proses memperoleh ilmu bagi individu dengan cara melafazkan bacaan dan menulis