• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Buruh PKWT Ditinjau dari Hukum Ketenagakerjaan (Studi Kasus di PTPN II Kebun Tanjung Jati, Kabupaten Langkat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Buruh PKWT Ditinjau dari Hukum Ketenagakerjaan (Studi Kasus di PTPN II Kebun Tanjung Jati, Kabupaten Langkat)"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

A.RidwanHalim,HukumPerburuhanDalamTanyaJawab,Jakarta:GhaliaIndonesia, 1990.

Agusmidah, dkk, Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan di Indonesia, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012.

Agusmidah ,Dilematika Hukum Ketenagakerjaan, Tinjauan Politik Hukum

Sofimedia, Jakarta, 2011.

Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori,

Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

A.Ridwan Halim, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.

Bahdar Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan, Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Bandung: Bandar Maju, 2004.

FX. Djumialdji, Perjanjan Kerja, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 24 .

Falentino Tampongangoy, Penerapan Sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Di Indonesia, Lex Privatum, Vol.I, No.1, Jan-Mrt, 2013.

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi, 2003.

Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Galia Indonesia, 1990.

(2)

Soerjono Soekanto, PENGANTAR PENELITIAN HUKUM, Jakarta, UI Press: 1986.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985.

SiswantoSastrohadiwiryo,ManajemenTenagaKerjaIndonesia,PendekatanAdminist ratifdanOperasional, Jakarta:Bumi Aksara,2003.

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/Men/1986.

Perjanjian Kerja Bersama PTPN II 2014-2015.

Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan

C. Website

(3)

Tesishukum.com : Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Menurut Para Ahli, http://www.tesishukum.com/pengertian-hukum-ketenagakerjaan-menurut-para-ahli. diakses pada tanggal 3 Februari 2015 pukul 23.57 WIB.

Andi Yunarko, Sejarah Model Hubungan Kerja di Indonesia,

http://solidaritas.net/2015/07/sejarah-model-hubungan-kerja-di-indonesia.html , diunduh pada tanggal 28 Oktober pukul 13.35 WIB.

http://ptpn2.com/main/index.php/tentangkami/profilperusahaan diakses pada Rabu tanggal 2 Desember 2015 pukul 08.00 WIB.

(4)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM BURUH PKWT PTPN II KEBUN TANJUNG JATI

A. Profil PTPN II Kebun Tanjung Jati 1. Sejarah PTPN II Kebun Tanjung Jati

Perusahaan Perseroan PT Perkebunan II bergerak dibidang usaha Pertanian dan Perkebunan didirikan dengan Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH No. 12 tanggal 5 April 1976 yang diperbaiki dengan Akte Notaris No. 54 tanggal 21 Desember 1976 dan pengesahan Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. Y.A. 5/43/8 tanggal 28 Januari 1977 dan telah diumumkan dalam Lembaran Negara No. 52 tahun 1978 yang telah didaftarkan kepada Pengadilan Negeri Tingkat I Medan tanggal 19 Pebruari 1977 No. 10/1977/PT. Perseroan Terbatas ini bernama Perusahaan Perseroan (Perseroan) PT Perkebunan II disingkat “PT Perkebunan II" merupakan perubahan bentuk dan gabungan dari PN Perkebunan II dengan PN Perkebunan Sawit Seberang43.

Pendirian perusahaan ini dilakukan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1969, Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan dan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1975.

Pada tahun 1984 menurut Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham, Akte Pendirian tersebut diatas telah dirubah dan diterangkan dalam Akte Notaris Imas Fatimah Nomor 94 tanggal 13 Agustus 1984 yang kemudian

43

(5)

diperbaiki dengan Akte Nomor 26 tanggal 8 Maret 1985 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-5013-HT.0104 tahun 1985 tanggal 14 Agustus 1985. Sesuai dengan Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang Saham tanggal 20 Desember 1990 Akte tersebut mengalami perubahan kembali dengan Akte Notaris Imas Fatimah Nomor 2 tanggal 1 April 1991 dengan persetujuan Menteri Kehakiman Nomor C2-4939-HT.01.04TH-91 tanggal 20 September 199144.

Pada tanggal 11 Maret 1996 kembali diadakan reorganisasi berdasarkan nilai kerja dimana PT Perkebunan II dan PT Perkebunan IX yang didirikan dengan Akte Notaris GHS. Loemban Tobing, SH Nomor 6 tanggal 1 April 1974 dan sesuai dengan Akte Notaris Ahmad Bajumi, SH Nomor 100 tanggal 18 September 1983 dilebur dan digabungkan menjadi satu dengan nama PT Perkebunan Nusantara II yang dibentuk dengan Akte Notaris Harun Kamil, SH Nomor 35 tertanggal 11 Maret 1996. Akte pendirian ini kemudian disyahkan oleh Menteri Kehakiman RI dengan Surat Keputusan No.C2.8330.HT.01.01.TH.96 dan diumumkan dalam Berita Negera RI Nomor 81. Pendirian Perusahaan yang merupakan hasil peleburan PTP-II dan PTP-IX berdasarkan Peraturan Pemerintah Ri Nomor 7 tahun 1996. Kemudian pada tanggal 8 Oktober 2002 terjadi perubahan modal dasar perseroan sesuai Akte Notaris Sri Rahayu H. Prastyo, SH.1:34 PM 7/21/2008.

Sedangkan untuk sejarah Kebun Tanjung jati yaitu pada awalnya tanah Tanjung jati dukuasai oleh pemerintah Belanda yang disebut kebun Tanjung Jati

44

(6)

samapai dengan tahun 1958 dibawah naungan perusahaan NV.Verenigde Deli Maatschappy dengan mengusahakan tanaman tembakau dengan luas ±3000 ha. Tanggal 27 oktober 1958, Kebun Tanjung jati diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan tetap mengusahakan tanama Tembakau dibawah naungan PPN.Sumut-I kemudian menjadi PT.Perkebunan IX dan tahun 1998 menjadi PT. Perkebunan Nusantara –II.

Kebun Tanjung Jati terletak di Kabupaten langkat Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 2 kecamatan yaitu kecamatan Binjai dan Kecamatan Selesai.Sedangkan jarak dari Kecamatan Kotamadya Binjai ± 4 Km yang diapait oleh 2 sungai besar yaitu sungai Bingei dan Sei Benang.

Pada tahun 1987 kebun Tanjung Jati mulai mengkonversikan tanaman tembakau ke komoditi tanaman kakao samapi tahun 2004.Tahun 2000 sebagian areal tanaman kakao dikonversikan kembali menjadi tanaman tembakau sampai tahun 2005 dan tanaman tebu.Pada tahun 2002 tanaman Kakao dikonversi menjadi tanaman kelapa sawit dan tanaman tebu, serta sebagian areal menjadi pembibitan tebu yang dikelola RISBANG PTPN-2 sampai dengan sekarang.

(7)

2. Struktur Organisasi PTPN II Kebun Tanjung Jati

STRUKTUR ORGANISASI KEBUN

TANJUNG JATI

MANAGER Ir. ASLI GINTING

ASISTEN TANAMAN IGANTA SITEPU, SP

(8)

3. Kegiatan Usaha PTPN II Kebun Tanjung Jati 3.1Budidaya Kelapa Sawit

Penanaman kelapa sawit di kebun Tanjung Jati berasal dari konversi tanaman kakao yang dimulai tahun 2002. Hal ini disebabkan secara ekonomis tanaman kakao sudah tidak layak untuk dipertahankan karena tingginya tingkat serangan hama PBK dan gangguan keamanan berupa penjarahan produksi kakao secara massif oleh warga sekitar.

Berdasarkan kondisi tanah dan iklim pertumbuhan kelapa sawit cukup baik ditandai dengan pertumbuhan tanaman yang prima. Namun hambatan kedepan yang akan dihadapi pada kultura kelapa sawit adalah ancaman potensial dari segi keamanan dalam bentuk penjarahan/pencurian TBS oleh masyarakat sekitar.

Adapun yang menjadi hambatan/permasalahan yang dihadapi di bidang tanaman kelapa sawit yaitu

(9)

b. Suplai input produksi terutama pupuk yang tidak lancar dan kondisi sarana/prasarana jalan yang membutuhkan perbaikan mendesak

c. Gangguan keamanan terutama pencurian TBS berpotensi massif menurunkan produksi yang dilakukan oleh masyarakat baik bersifat individu maupun terorganisir. Hal ini disebabkan letak kebun yang dikelilingi pemukiman masyarakat dan bersifat terbuka.

Untuk itu untuk mengatasi permaslahan diatas dan juga untuk mencapai target RKAP maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Suplai pupuk untuk pemenuhan unsur hara bagi tanaman diupayakan supaya tepat waktu sehingga filosofi pemupukan dapat tepat dilaksanakan

b. Diperlukan perbaikan jalan khususnya jalan-jalan produksi (CR) sehingga produksi dapat diangkut dengan mudah. c. Diperlukan alat berat untuk membuat parit batas sawit dan

parit isolasi untuk mengurangi akses pencurian produksi dan masuknya ternak ke areal tanaman.

d. Pam Swakarsa diaktifkan kembali di tiap-tiap Afdeling. e. Diperlukan tenaga pengamanan BKO dari satuan Brimob

(10)

f. Suplai bahan Herbisida untuk pemeliharaan TBM dan TM agar tetap tersedia, sehingga rotasi pemeliharaan dapat dipertahankan.

Selain langakah-langkah diatas, dalam mengupayakan perbaikan juga dilakukan upaya upaya sebagai berikut :

a. Memenuhi kebutuhan pupuk sesuai rekomendasi PPKS sehingga filosofi pemupukan dapat dipenuhi.

b. Kebutuhan bahan Herbisida untuk pemeliharaan TM dan TBM sehingga rotasi dapat dilaksanakan

c. Memperbaiki sarana jalan sehingga proses pengangkutan produksi tidak terhambat

d. Melakukan upaya koordinasi pengamanan produksi kelapa sawit dengan Muspika/Muspida setempat dalam hal ini Polres Langkat da Polsek Binjai.

e. Melakukan evaluasi kerja terhadap pihak keamanan setempat (Secutiry) supaya tetap waspada terhadap upaya-upaya pencurian TBS dan penguasaan areal.

B. Hak Buruh dalam Perjanjian Kerja di PTPN II Kebun Tanjung Jati C.

(11)

Kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan pendapat telah dijamin dalam konstitusi. Disamping itu sebagai anggota PBB Indonesia terikat deklarasi universal Hak Asasi Manusia.45

Adapun hak-hak pekerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

a. Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 5);

b. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha (Pasal 6);

c. Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja (Pasal 11);

d. Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya (Pasal 12 ayat (3));

e. Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikut pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan di tempat kerja (Pasal 18 ayat (1));

f. Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi (Pasal 23);

g. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri (Pasal 31);

h. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (1);

i. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (2);

j. Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasa l80 dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh (Pasal 84); k. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh

45

(12)

perlindungan atas:

a) Keselamatan kerja; b) moral dan kesusilaan; dan

c) perlakuanyangsesuaidenganharkatdanmartabatmanusiaserta nilai-nilaI agama (Pasal 86 ayat (1);

l. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat (1));

m. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 99ayat (1));

n. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh (Pasal 104 ayat (1));

o. Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137);

p. Dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normative yang sungguh-sungguh dilanggaroleh pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah (Pasal 145).

Perjanjian Kerja Bersama PTPN II menjadi dasar perjanjian kerja bagi buruh yang ada di PTPN II Kebun Tanjung Jati. PKB ini merupakan hasil dari perundingan antara PTPN II dengan Serikat Pekerja Merdeka PTPN II yang didalamnya memuat berbagai ketentuan yang mengikat bagi pihak PTPN II maupun buruh diantaranya hak-hak buruh. Hak-hak buruh yang diatur dalam PKB antara lain:

a. Hak untuk mendapatkan pembebasan dari kewajiban untuk bekerja. Yang termasuk pembebasan dari kewajiban untuk bekerja antara lain:

1) Hari libur resmi dan cuti bersama. Setiap pekerja berhak atas hari libur resmi dan cuti bersama yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Direksi.46

2) Cuti melahirkan. Pekerja wanita berhak atas cuti melahirkan

46

(13)

selama satu setengah bulan sebelum dan setelah melahirkan.47 Perpanjangan cuti melahirkan dapat diberikan hanya berdasarkan surat keterangan dokter perusahaan atau dokter yang ditunjuk perusahaan karena alasan keadaan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan pekerja.48 Bagi pekerja yang mengalami keguguran kandungan menurut keterangan dokter perusahaan diberikan istirahat selama satu setengah bulan.49 Selama menjalani cuti melahirkan dan keguguran kandungan tetap mendapatkan gaji.50

b. Hak untuk mendapatkan upah. Kepada pekerja diberikan gaji pokok menurut golongan sesuai dengan skala golongan.51 Sistem pengupahan karyawan dinyatakan dalam golongan melalui hasil perundingan Direksi dengan Serikat Pekerja yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Perusahaan.52 Besarnya gaji pokok bagi karyawan dengan golongan terendah (IA/0) mengacu pada sekurang-kurangnya 75% dari Upah Minimum Privinsi dan untuk golongan atau berskala diatasnya akan disesuaikan dengan mempertimbangkan kemampuan perusahaan.53 Besarnya gaji pokok untuk golongan terendah akan disesuaikan dengan penetapan Upah Minimum Provinsi tahun berjalan.54

c. Hak Mendapatkan tunjangan tetap. Karyawan mendapatkan

(14)

sejumlah uang sebagai tambahan penerimaan dan diberikan bersamaan pada pembayaran upah bulanan dan tidak dikaitkan dengan kehadiran yang terdiri dari:55

1) Tunjangan air. 2) Tunjangan listrik. 3) Tunjangan bahan bakar. 4) Tunjangan beras karyawan.

d. Hak mendapatkan santunan sosial. Kepada karyawan diberikan santunan sosial yang besarnya ditetapkan oleh perusahaan berdasarkan Surat Keputusan Direksi.56

e. Hak mendapatkan bonus. Kepada karyawan diberikan bonus atau jasa produksi yang merupakan biaya perusahaan yang dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku dnegan memperhatikan kemampuan perusahaan dan dibayarkan setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).57

(15)

persen) gaji.

2) Selama 4 (empat) bulan kedua dibayarkan 75% (tujuh puluh lima persen) gaji.

3) Selama 4 (empat) bulan ketiga dibayarkan 50% (lima puluh persen) gaji.

4) Bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima persen) gaji. \ Pembayaran upah diberikan sampai dilakukannya pemutusan hubungan kerja dengan hormat.

Disamping menerima upah secara proporsional, karyawan yang menderita sakit berkepanjangan juga diberikan santunan sosial berupa santunan sosial yang berlaku bagi karyawan yang aktif dan jaminan sosial yang berlaku.59

g. Hak untuk mendapatkan perawatan/pengobatan bagi anak dari karyawan wanita yang menjadi kepala rumah tangga dengan ketentuan :60

1) Mengajukan permohonan kepada Pimpinan Perusahaan.

2) Melampirkan surat keterangan tidak mampu dari Kepala desa/Lurah.

3) Surat keterangan dari Perusahaan/instansi tempat suami bekerja yang tidak menanggung perawatan/pengobatan anak.

h. Hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan dan pengobatan karyawan. Bagi karyawan baru dan batihnya untuk perawatan serta pengobatannya diikutsertakan oleh perusahaan dalam program

59

Pasal 43 ayat (3) PKB PTPN II.

60

(16)

jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.61 Dalam keadaan darurat yang membutuhkan tindakan medis maka karyawan dan keluarganya dapat berobat di Rumah Sakit di luar perusahaan terdekat dengan ketentuan setelah dilakukan tindakan medis diwajibkan untuk melapor 1 x 24 jam kepada perusahaan untuk menentukan perawatan lanjutan.62 Ketentuan tentang perawatan kesehatan, biaya pengobatan dan fasilitas rumah sakit bagi karyawan dan batihnya diatur lebih lanjut melalui Peraturan Perusahaan.63 Karyawan yang berdasarkan pemeriksaan dokter perusahaan harus menggunakan kacamata memperoleh biaya pergantian kacamata 64yang besarannya diatur berdasarkan Peraturan Perusahaan.

i. Hak untuk mendapatkan perlengkapan keselamatan kerja yang disediakan oleh Perusahaan yang digunakan untuk pekerjaan yang menurut sifatnya membahayakan keselamatan dan kesehatan karyawan.65

(17)

k. Hak untuk mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja. Karyawan berhak diikutsertakan oleh perusahaan dalam program BPJS sebagaimana peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, dengan program yang diikuti antara lain:

1) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). 2) Jaminan Kematian (JKM).

3) Jaminan Hari Tua (JHT).

4) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) khusus bagi karyawan baru.

l. Hak untuk mendapatkan bantuan kematian. Dalam hal karyawan meninggal dunia, maka kepada janda/duda atau ahli warisnya diberikan :

1) bantuan biaya pemakaman sebesar 1 (satu) bulan gaji; 2) bantuan tenaga untuk pemakaman, kain kafan dan papan;

3) uang duka sebesar 3 (tiga) bulan gaji; karyawan berhak mendapatkan penghasilan penuh pada bulan dimana karyawan meninggal dunia.

m. Hak mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani. Karyawan berhak mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani berupa kegiatan olahraga, kesenian, pendidikan kepramukaan dan rekreasi bagi pekerja termasuk penyediaan fasilitas untuk melaksanakan hal tersebut syang diselenggarakan oleh perusahaan sesuai dengan kemampuan perusahaan.67

67

(18)

n. Hak untuk mendapatkan tunjangan hari raya keagamaan kepada karyawan yang pelaksanaannya berpedoman pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-04/MEN/1994.68

o. Hak untuk mendapatkan pembinaan keahlian dan keterampilan. Karyawan mempunyai kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang tanpa adanya perbedaan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan yang dibiayai oleh perusahaan.69

Hak-hak yang diatur dalam PKB PTPN II diatas berlaku untuk semua daerah kerja yang bernaung pada PTPN II.Pelaksanaan pemberian hak di Kebun Tanjung Jati belum berjalan maksimal.Dari hasil penelusuran lapangan oleh penulis, buruh PKWT yang bekerja di Kebun Tanjung Jati belum mendapatkan keseluruhan hak yang layak. Hak-hak yang belum diberikan oleh PTPN II Kebun Tanjung Jati berdasarkan penulusaran lapangan antara lain :

a. pemberian gaji yang tidak tepat waktu;

b. perlengkapan dan keselamatan kerja yang tidak diberikan oleh perusahaan;

c. pelatihan dan pembinaan kerja yang tidak diberikan oleh perusahaan;

d. pembinaan rohani dan jasmani yang tidak diberikan oleh perusahaan.

Hak-hak yang tidak diberikan perusahaan membuat para buruh PKWT tidak bisa berbuat banyak.Buruh PKWT yang bekerja lebih mementingkan adanya

68

Pasal 57 PKB PTPN II.

69

(19)

pekerjaan dari pada harus melawan kondisi ada. Bahkan banyak buruh PKWT yang tidak mengetahui apa saja yang menjadi haknya.

C. Perlindungan Hukum bagi Buruh PKWT di PTPN II Kebun Tanjung Jati

1. Jaminan Sosial Bagi Buruh PKWT di PTPN II Kebun Tanjung Jati

(20)

Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.70

Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.71

Peran serta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapinya. Oleh karena itu kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraannya, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas nasionalnya.

Semakin meningkatnya peran tenaga kerja dalam pembangunan nasional dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi diberbagai sector kegiatan seringkali berakibat pada tingginya resiko yang mengancam keselematan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, dengan demikian perlu upaya perlindungan tenaga kerja.

Bentuk perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan social tenaga kerjayangbersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan dan gotong-royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila

70

Penjelasan UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN.

71

(21)

dan Undang-Undang Dasar1945. Pada dasarnya program ini menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja yang relative mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh sebab itu pengusaha memikul tanggungjawab utama dan secara moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja.

Perlindungan tenaga kerja yang diperlukan baik yang melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja maupun diluar hubungan kerja dilakukan melalui jaminan sosial bagi tenaga kerja. Karena melalui program ini dapat memberikan ketenangan kerja dan dampak positif terhadap usaha peningkatan

disiplin dan produktivitas tenaga kerja.112 Jaminan sosial ditujukan untuk menanggulangi resiko-resiko kerja sekaligus akan menciptakan ketenangan kerja yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan produktivitas kerja. Ketenangan kerja dapat tercipta karena sistem jaminan sosial yang mendukung kemandirian dan harga diri manusia dalam menghadapi berbagai resiko social ekonomi tersebut.Selain itu, jaminan sosial bagi tenaga kerja diselenggarakan dengan metode pendanaan akan memupukdanayang akan menunjang pembiayaan pembanguan nasional.72

Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (selanjutnya disebut dengan UU SJSN) mengatur jenis program jaminan sosial bagi tenaga kerja, antara lain :

a. Jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip

72

(22)

ekuitas.73 Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.74

b. Jaminan kecelakaan kerja. Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial.75 Jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai apabila seorang pekerja mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja.76

c. Jaminan hari tua. Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib.77 Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.78

d. Jaminan pensiun. Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib.79 Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat

(23)

peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.80 Jaminan pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.81Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.82

Perlindungan hukum melalui jaminan sosial bagi tenaga kerja diatas sudah termuat dalam PKB PTPN II yang menjadi dasar penyelenggaraan jaminan sosial bagi tenaga kerja di PTPN II. Jaminan Sosial diatur pada Pasal 52 yang berbunyi :

“Perusahaan berkewajiban mengikutsertakan Karyawan dalam

program Jamsostek atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagaimana peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, dengan program yang diikutkan antara lain:

a. jaminan kecelakaan kerja; b. jaminan kematian;

c. jaminan pemeliharaan kesehatan; d. jaminan hari tua.

PTPN II Kebun Tanjung Jati sudah memuat aturan terkait pemberian premi BPJS Ketenagakerjaan. Aturan tersebut tercantum dalam Lampiran Perjanjian Kerja Panen TBS kelapa Sawit Kebun Tanjung Jati Nomor: TJT/PKP.TBS/T/2015 tentang Syarat-Syarat Kerja Perjanjian Kerja Panen TBS Kelapa Sawit Kebun Tanjung Jati. Dalam Lampiran tersebut Pihak Pertama (dalam hal ini adalah

80

Pasal 39 ayat (2) UU SJSN.

81

Pasal 39 ayat (3) UU SJSN.

82

(24)

Perusahaan) membayar bantuan Premi BPJS Ketenagakerjaan bagi buruh dengan rincian sebagai berikut:83

1. JKK : 0,54% dari gaji pokok 2. JKM : 0,30% dari gaji pokok 3. JHT : 3,70% dari gaji pokok

4. Bantuan Premi BPJS Ketenagakerjaan : 4% dari gaji pokok

Hasil penelusuran lapangan terlihat bahwa buruh yang bekerja di PTPN II Kebun Tanjung Jati sudah mendapatkan pelayanan jaminan sosial dari pihak perusahaan. Pada saat buruh sakit, langsung dirujuk ke rumah sakit menggunakan jaminan kesehatan yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial melalui perusahaan. Dana yang dibayarkan untuk jaminan sosial tersbut merupakan premi yang dibayarkan oleh buruh melalui pemotongan gaji ditambah dana yang telah disediakan oleh perusahaan.

2. Perlindungan Upah bagi Buruh PTPN II Kebun Tanjung Jati Upah merupakan salah satu aspek yang paling sensitif di dalam Hubungan Kerja. Berbagai pihak yang terkait melihat Upah dari sisi masing-masing yang berbeda. Pekerja/Buruh melihat Upah sebagai sumberpenghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup Pekerja/Buruh dan keluarganya. Secara psikologis Upahjuga dapat menciptakan kepuasan bagi Pekerja/Buruh.

Di lain pihak, Pengusaha melihat Upah sebagaisalah satu biaya produksi. Pemerintah melihat Upah, di satu pihak untuk tetap dapat

83

(25)

menjamin terpenuhinya kehidupan yang layak bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya, meningkatkan produktivitas Pekerja/Buruh, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan melihat berbagai kepentingan yang berbeda tersebut, pemahaman sistem pengupahan sertapengaturannya sangat diperlukan untuk memperoleh kesatuan pengertian dan penafsiran terutama antara Pekerja/Buruh dan Pengusaha. Agar terpenuhinya kehidupan yang layak, penghasilan Pekerja/Buruh harus dapat memenuhi kebutuhan fisik, non fisik dan sosial, yang meliputi makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, jaminan hari tua, dan rekreasi.84

Dampak langsung yang dialami pekerja atas status sebaga pekerja kontrak adalah soal upah. Ada kecenderungan menurunnya besaran upah saat pekerja menjadi pekerja kontrak. Hal ini mengakibatkan diskriminasi upah antara pekerja tetap dengan pekerja kontrak, walaupun jenis pekerjaan yang dilakukan sama.

Pemahaman mengenai kompensasi tidak sama dengan upah. Upah adalah salah satu perwujudan riil dari pemberian kompensasi.Bagi perusahaan,upah adalah salah satu perwujudan dari kompensasi yang paling besar diberikan kepada tenaga kerja.

Pengertian kompensasi selain terdiri atas upah,dapat berupa tunjangan, fasilitas perumahan, fasilitas kenderaan, tunjangan keluarga, tunjangan kesehatan, pakaian seragam (tunjangan pakaian) dan sebagainya yang dapat dinilai dengan uang serta cenderung diberikan secara tetap. Oleh karena itu apabila perusahaan pada suatu saat mengadakan rekreasi dengan

84

(26)

para tenaga kerjanya, uang untuk alokasi rekreasi tersebut bukan merupakan kompensasi. Jadi, kompensasi adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.85

Pengertian upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruhyang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanijan kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.86

Pengaturan pengupahan ditetapkan atas kesepakatan pengusaha dan buruh/serikat buruh serta tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.87 Kebijakan pengupahan yang melindungi buruh untuk memenuhi penghidupan yang layak:88

a) Upah minimum; b) Upah kerja lembur;

c) Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d) Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaan;

e) Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;

85

SiswantoSastrohadiwiryo, Op.Cit, hlm. 181.

(27)

f) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; g) Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;

h) Upah untuk pembayaran pesangon; upah untuk penghitungan pajak penghasilan

i) Bentuk dan cara pembayaran upah; j) Denda dan potongan upah.

Pengaturan lebih lanjut tentang pengupahan diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan (selanjutnya disebut dengan PP Pengupahan) yang menjadi dasar hukum baru pengupahan di Indonesia. Kebijakan pengupahan dalam PP Pengupahan diarahkan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi pekerja/buruh. Kebijakan pengupahan tersebut meliputi meliputi:

a. upah minimum; b. upah kerja lembur;

c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;

d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;

e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah;

g. denda dan potongan upah;

(28)

k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Selain kebijakan upah yang diatur dalam PP Pengupahan, juga diatur perlindungan upah bagi buruh. Perlindungan upah buruh dimaksudkan agar pekerja/buruh memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. Perlindungan Upah buruh diatur dalam Bab IV tentang Perlindungan Upah yang meliputi:

a. penetapan upah; b. cara pembayaran upah; c. peninjauan upah;

d. upah pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan;

e. upah kerja lembur;

f. upah untuk pembayaran pesangon;

g. upah untuk penghitungan pajak penghasilan; h. pembayaran upah dalam keadaan kepailitan; i. penyitaan upah berdasarkan perintah pengadilan; j. hak pekerja/buruh atas keterangan upah.

Pengupahan bagi buruh di PTPN II Kebun Tanjung Jati dimuat dalam PKB PTPN II Bab VII yang meliputi :

a. pengupahan;

b. tunjangan karyawan pimpinan; c. tunjangan structural;

(29)

f. tunjangan kompensasi; g. tunjangan mewakili; h. tunjangan sewa rumah;

i. santunan sosial dan tanggungan; j. biaya pelaksanaan tugas;

k. bonus;

l. kewajiban membayar pajak, iuran dan premi;

m. penghasilan bagi karyawan yang menjadi pejabat negara lembaga tinggi negara dan lembaga-lembaga lain diluar perusahaan;

n. pembayaran gaji bagi karyawan yang sakit berkepanjangan; o. ketentuan bagi karyawan yang ditahan pihak berwajib; p. karyawan wanita sebagai kepala rumah tangga.

Pengaturan upah bagi buruh panen di PTPN II Kebun Tanjung Jati diatur dalam Lampiran Perjanjian Kerja Panen TBS kelapa Sawit Kebun Tanjung Jati Nomor: TJT/PKP.TBS/T/2015 tentang Syarat -Syarat Kerja Perjanjian Kerja Panen TBS Kelapa Sawit Kebun Tanjung Jati. Dalam lampiran tersebut ditegaskan bahwa Pihak Pertama (dalam hal ini adalah Perusahaan) berkewajiban memberikan upah kepada buruh panen di PTPN II Kebun Tanjung Jati. Rincian upah yang harus diberikan oleh perusahaan adalah sebagai berikut:89

a. Gaji Pokok : Rp. 1.218.750,- b. Tunjangan Tetap/Beras : Rp. 406.250,-

89

(30)

c. Premi Alat Panen : Rp. 65.000,- d. Bantuan Premi Ketenagakerjaan :

a) JKK 0,54% : Rp. 8.775,- b) JKM 0,30% : Rp. 4.875,- c) JHT 3,70 : Rp. 60.125,- e. Bantuan Premi 4% : Rp. 65.000,-

Total : Rp. 1.825.775,-

Pengaturan pengupahan tersebut meskipun sudah sesuai dengan Upah Minimum Regiona Sumatera Utara, namun belum mencerminkan perlindungan upah terhadap buruh PKWT. Pengaturan tersebut belum disesuaikan dengan PP Pengupahan terbaru yang merinci kebijakan pengupahan untuk buruh. Hasil penelusuran di lapangan para buruh hanya mendapatkan gaji yang tidak diinformasikan secara terbuka darimana sumber upah yang didapatnya. Upah yang diterima para buruh juga sering kali tidak diberikan tepat waktu oleh perusahaan.

3. Hak Atas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Kesehatan merupakan nikmat dari Tuhan Yang Maha Esa dan Hak Asasi Manusia yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, setiap manusia ingin mendapatkan kesehatan tersebut dan menjaganya semaksimal mungkin agar terhindar dari penyakit yang selalu mengganggu aktivitas manusia itu sendiri. Menurut Iman Soepomo, kesehatan kerja adalah:90

“Aturan-aturan dan usaha-usaha untuk menjaga buruh dari kejadian atau keadaan perburuhan yang merugikan kesehatan dan kesusilaaan dalam seseorang itu melakukan atau karena ia itu melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan kerja”.

“Tujuan norma-norma kesehatan kerja ini ialah memungkinkan buruh itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai

90

Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja

(31)

manusia pada umumnya dan khusunya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga, sebagai wanita yang merupakan ibu dan calon ibu, sebagai calon muda dan anak yang masih harus mengemban jasmani dan rohaninya”.

Menurut Suma’mur dalam bukunya yang berjudul “Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan”, keselamatan kerja adalah:91

“Keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkngannya serta cara- cara melakukan pekerjaan”.

Dalam bukunya yang lain berjudul “Higene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja”,Suma’mur memberikan pengertian kesehatan kerja

adalah:92

“Spesalisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik atau mental mapun sosial dengan usaha-usaha preventif dan kuratf terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan kesehatan ang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum”.

Dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu hak pekerja/buruh.Untuk itu pengusaha wajib melaksanakan secara sistematis dan terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan. Untuk menjamin keselamatan dan kesehatan kerja maupun orang lain yang berada di tempat kerja serta sumber produksi, proses produksi dan lingkungan kerja dalam keadaan aman, perlu penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (Sistem Manajemen K3).

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor

91

Suma’mur, Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), hlm. 1.

92

Suma’mur, Higene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja, (Jakarta: Gunung Agung,

(32)

PER.05/MEN/19996, yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses an sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

Tujuan dan sasaran sistem manajemen K3 adalah menciptakan Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsure manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.93

Sejalan dengan upaya untuk melaksanakan Peraturan PemerintahNomor 14 Tahun1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, khususnya Pasal 2 ayat (4) yang telah diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2005 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 Tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek, maka perusahaan dapat menyelenggarakan sendiri program pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dengan manfaat lebih baik dari paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar. Dengan mempertimbangkan hal ini, perusahaan

93

(33)

yang bersangkutan tidak diwajibkan untuk ikut dalam pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan badan penyelenggara.

Penanggung jawab Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja adalah pengusaha atau pimpinan atau pengurus tempat kerja. Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di tempat kerja dilakukan secara bersama- sama oleh pimpinan atau pengurus perusahaan dan seluruh pekerja. Pengawasan atas pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dilakukan oleh pejabat/petugas yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja, yaitu:

a. Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), sebagai pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja;

b. Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), sebagai ahli teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja. Perusahaan yang bermaksud menyelengarakan sendiri

pemeliharaan kesehatan bagi tenaga kerjanya dapat melakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Menyediakan sendiri atau bekerja sama dengan fasilitas Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK);

2. Bekerja sama dengan badan yang menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan;

3. Secara bersama-sama dengan perusahaan lain menyelenggarakan suatu pelayanan kesehatan.

(34)

pernyataan tertulis yang ditandatangani pengusaha atau pengurus yang memuat keseluruhan visi dan tujuan perusahaan, komitmen dan tekad melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja, kerangka dan program kerja yang mencakup kegiatan perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan operasional. Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dibuat melalui proses konsultasi antara pengurus dan wakil tenaga kerja yang selanjutnya harus dijelaskan dan disebarluaskan kepada seluruh tenaga kerja, pemasok dan pelanggan. Kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja bersifat dinamik dan selalu ditinjau alang dalam rangka peningkatan kinerja keselamatan dan kesehatan

kerja.126 Beberapa peraturan keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja; c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

PER-01/MEN/1981 Tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat Kerja; d. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-02/MEN/1983

Tentang Instalasi Alam Kebakaran Otomatik;

e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1978 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Dalam Penerbangan dan Pengangkutan Kayu;

(35)

g. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-03/MEN/1984 Tentang Pengawasan Terpadu Bidang Ketenagakerjaan.

PTPN II Kebun Tanjung Jati tidak memuat pengaturan khusus mengenai kesehatan dan keselamatan kerja. Hasil penelitian menyatakan bahwa apabila buruh pada waktu kerja mengalami kecelakaan maka buruh tersebut hanya diberikan bantuan biaya pengobatan melalui premi BPJS. Buruh juga tidak pernah diberitahukan standar operasional kerja yang menjamin kesehatan dan keselamatan kerja dalam bekerja.

(36)

BAB IV

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PKWT DI PTPN II KEBUN TANJUNG JATI

A. Akibat Hukum bagi Buruh yang Melanggar Ketentuan Perjanjian Kerja di PTPN II Kebun Tanjung Jati

Akibat hukum bagi buruh yang melanggar ketentuan kerja di PTPN II Kebun Tanjung Jati tidak diatur dalam Perjanjian Kerja Panen TBS kelapa Sawit Kebun Tanjung Jati Nomor: TJT/PKP.TBS/T/2015 tentang Syarat-Syarat Kerja Perjanjian Kerja Panen TBS Kelapa Sawit Kebun Tanjung Jati. Dalam Perjanjian tersebut hanya diatur mengenai penyelesaian perselisihan yang diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat dengan ketentuan apabila tidak tercapai kesepakatan maka penyelesaiannya akan ditempuh melalui proses mediasi di Disnakertrans Kabupaten Langkat.94 Dengan tidak adanya pengaturan mengenai akibat hukum bagi buruh yang melanggar Perjanjian kerja maka, ketentuan hukum yang dipakai adalah Perjanjian Kerja Bersama PTPN II beserta aturan hukum di bidang Ketenagakerjaan.

PKB PTPN II mengatur tata tertib kerja yang menjadi acuan bagi pekerja untuk dipatuhi oleh karyawan. Dalam tata tertib tersebut terdapat ketentuan mengenai :95

1. Kewajiban pekerja yaitu:

94

Pasal 7 Lampiran Perjanjian Kerja Panen TBS kelapa Sawit Kebun Tanjung Jati Nomor: TJT/PKP.TBS/T/2015 tentang Syarat-Syarat Kerja Perjanjian Kerja Panen TBS Kelapa Sawit Kebun Tanjung Jati.

95

(37)

i. Mentaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan yang berlaku di perusahaan.

ii. Bersedia dipindahkan/dimutasikan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya (antar jabatan atau antar wilayah kerja).

iii. Menjaga dan menyimpan rahasia jabatan dan perusahaan.

iv. Mentaati ketentuan jam dan hari kerja yang berlaku di perusahaan. v. Melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan penuh

tanggungjawab dengan memperhatikan segala pedoman dan intruksi yang dikeluarkan oleh atasan.

vi. Bersikap sopan santun terhadap sesame karyawan dan/atau menjalin kerjasama untuk menajaga kehormatan nama baik perusahaan demi kelancaran jalannya perusahaan.

vii. Menjaga kesehatan dan keselamatan kerja dalam hal sifat pekerjaannya mengharuskan demikian.

viii. Menyerahkan kembali semua dokumen dan barang-barang milik perusahaan seperti rumah dinas dan aset perusahaan lainnya pada saar karyawan bersangkutan meletakkan jabatan/diberhentikan atau dimutasikan.

2. Larangan karyawan yaitu:

(38)

1) Membawa dan/atau menggunakan dan/atau menyewakan dan/atau menjual barang-barang dan/atau alat-alat milik perusahaan tanpa seizing pimpinan perusahaan.

2) Secara langsung ataupun tidak langsung melibatkan diri dalam usaha yang berkaitan dengan usaha lain.

b) Menyediakan tenaganya diluar perusahaan dalam waktu dinas baik secara perorangan maupun dengan orang lain menyediakan tenaganya baik langsung maupun tidak langsung untuk kepentingan usaha lain.

c) Melalaikan tugas yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara.

d) Membocorkan rahasia jabatan dan/atau rahasia perusahaan yang meliputi:

1) Rahasia mengenai atau yang ada hubungannya dengan jabatan baik dalam bentuk dokumen, surat, notulensi rapat, data, dan lain-lain tanpa seizing pimpina perusahaan.

2) Rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara.

3. Sanksi atau hukuman disiplin yaitu:

Karyawan yang melanggar ketentuan disiplin berupa kewajiban dan larangan dapat dijatuhi sanksi/hukuman disiplin. Jenis/hukuman disiplin adalah sebagai berikut:

(39)

Teguran lisan maupun tertulis dikenakan kepada karyawan yang melanggar ketentuan disiplin perusahaan.

b) Peringatan tertulis.

Karyawan yang tidak menunjukkan perubahan setelah diberikan teguran atau kembali melakukan pelanggaran maka kepadanya dapat dikenakan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga dengan masa berlaku masing-masing peringatan selama 6 (enam) bulan.

c) Penundaan kenaikan pangkat/golongan/jabatan.

Karyawan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perusahaan dan selanjutnya berdasarkan penilaian pimpinan perusahaan dianggap mengabaikan terpenuhinya syarat pekerjaan yang ditentukan perusahaan akan dilakukan penundaan kenaikan pangkat/golongan secara berkala.

d) Penurunan pangkat/golongan dan/atau jabatan.

Karyawan yang terbukti dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang mengakibatkan timbulnya kerugian perusahaan akana dilakukan penurunan pangkat/golongan dan/atau pembebasan dari jabatan.

e) Pemberhentian untuk sementara.

(40)

f) Pemotongan gaji.

Dalam hal karyawan mangkir tidak beralasan, maka atas setiap hari kemangkirannya gajinya dipotong sebesar 1/21 (satu per dua puluh satu) dari gaji sebulan bagi kantor direksi dimana berlaku sistem kerja 5 (lima) hari dalam seminggu dan 1/25 (satu per dua puluh lima) dari gaji sebulan bagi kebun/unit/dinas dimana berlaku sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu.

g) Pemutusan hubungan kerja.

Pemutusan hubungan kerja dikenakan terhadap pekerja yang terbukti melakukan pelanggaran atas ketentuan perusahaan antara lain:

1) Tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari kerja atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh perusahaan 2 (dua) kali secara patut dan tertulis sebgaimana diatur pada UU Ketenagakerjaan Pasal 168.

2) Melakukan pelanggaran atas ketentuan perusahaan dan PKB setelah terlebih dahulu diberikan surat peringatan pertama, kedua, ketiga secara berturut-turut.

3) Melakukan pelanggaran ketentuan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku di perusahaan antara lain:

(41)

b. Berjudi di lingkungan kerja.

c. Melakuka perbuatan asusila di tempat kerja dan lingkungan kerja.

d. Melakukan tindak kejahatan berupa pencurian dan/atau penggelapan dan/atau penipuan baik didalam maupun di lingkungan perusahaan.

e. Melakukan penganiayaan yang mengancam keselamatan jiwa atasan atau teman sekerja.

f. Membujuk atasan atau teman sekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan/atau perbuatan yang membahayakan kelangsungan perusahaan. g. Bertindak ceroboh sehingga mengakibatkan timbulnya

kerusakan dan/atau kerugian dan/atau membiarkan dalam keadaan bahaya teman sekerjanya dan/atau barang milik perusahaan.

h. Memberikan kepada orang lain informasi yang seharusnya dirahasiakan dan/atau mencemarkan nama baik pimpina perusahaan dan keluarganya kecuali untuk kepentingan Negara.

(42)

B. Sanksi Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur akibat hukum bagi pelanggar (pekerja dan pengusaha) yang tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Bentuk akibat hukum yang dapatdikenakan bagi yang melanggar ketentuan tersebut terdiri atas dua (2) macamyaitu;

1. Sanksi Administrasi

Ketentuan sanksi administrasi diatur dalam pasal 190 UU Ketenagakerjaan.Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.96

Sanksi administratif tersebut dapat berupa:97 a. teguran;

b. peringatan tertulis;

c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pembatalan persetujuan; f. pembatalan pendaftaran;

96

Pasal 190 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

97

(43)

g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; h. pencabutan ijin.

Ketentuan mengenai sanksi administratif tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri.98

2. Sanksi Pidana

Ketentuan sanksi pidana diatur dalam pasal 183 sampai dengan 189 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan sanksi pidana tersebut yaitu :

a. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).99 Tindak pidana pada pasal 74 merupakan tindak pidana kejahatan.100 b. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).101 Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana kejahatan.102 c. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4)

98

Pasal 190 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

99

Pasal 183 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

100

Pasal 183 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

101

Pasal 184 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

102

(44)

dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).103 Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana kejahatan.104

d. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).105 Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pelanggaran.106 e. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).107 Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pelanggaran.108

103

Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

104

Pasal 185 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

105

Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

106

Pasal 186 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

107

Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

108

(45)

f. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).109 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.110

Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.111

C. Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam UU Ketenagakerjaan meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.112Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan

109

Pasal 188 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

110

Pasal 188 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

111

Pasal 189 UU Ketenagakerjaan

112

(46)

pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.113Apabila segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.114Dalam hal perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.115

Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.116Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundingkan Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :117

113

Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

114

Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

115

Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

116

Pasal 152 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

117

(47)

1. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

2. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; 4. pekerja/buruh menikah;

5. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;

6. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;

7. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; 8. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib

mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

(48)

10.pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Apabila pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan perbuatan salah satu diatas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.

Penetapan pemutusan hubungan kerja dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak diperlukan dalam hal :118

i. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;

ii. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;

iii. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau

iv. pekerja/buruh meninggal dunia.

Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial batal demi hukum.Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Pengusaha

118

(49)

dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.119

Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:120

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;

b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

119

Pasal 155 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

120

(50)

h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Kesalahan berat huruf a sampai dengan j di atas harus didukung dengan bukti sebagai berikut :121

1) pekerja/buruh tertangkap tangan;

2) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau

3) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Perhitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut:122

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

121

Pasal 158 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

122

(51)

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut :123 1) masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2

(dua) bulan upah;

2) masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

123

(52)

3) masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

4) masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

5) masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

6) masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

7) masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

8) masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi:124 a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (limabelas perseratus) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

124

(53)

Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :125

a. upah pokok;

b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari satu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila satu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

Penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari. Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.126

Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak

125

Pasal 157 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

126

(54)

wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :

a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;

b. untuk 2 (dua)orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;

c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;

d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana tanpa penetapan lembaga penyelesaian hubungan industrial.127Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.128Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.129

Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang

127

Pasal 160 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

128

Pasal 160 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.

129

(55)

penggantian hak yang seharusnya diterima.130 Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh telah mendapat surat peringatan pertama, kedua dan ketiga memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.131

Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak yang seharusnya diterima.Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak yang seharusnya diterima diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.132

Pekerja/buruh yang mengundurkan diri harus memenuhi syarat :133

a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

130

Pasal 160 ayat (7) UU Ketenagakerjaan.

131

Pasal 161 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.

132

Pasal 162 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

133

Referensi

Dokumen terkait

13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja dibuat atas dasar (1) Kesepakatan kedua belah pihak, (2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, (3)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan PKWT dalam peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan tafsir, PKWT yang diterapkan pengusaha tidak sesuai

Perusahaan Listrik Negara (Persero) Area Madiun menggunakan tenaga kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu melaksanakan amanat yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13

Bhanda Ghara Reksa merupakan perjanjian baku karena perjanjian tersebut dibuat oleh sepihak (perusahaan), tapi pekerja wajib mempelajari isi kesepakatan kerja waktu

sebagai Dosen Pembimbing Utama (DPU) dalam proses penyelesaian penyusunan /penelitian tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum dalam Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan

Oleh karenanya, perlindungan tenaga kerja melalui perjanjian bersama antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) sangat

Prinsip yang menonjol pada perjanjian kerja, yaitu adanya keterikatan seseorang (pekerja/buruh) kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja di bawah perintah dengan

Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b