PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH
DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN
TESIS
Oleh
MUHAMMAD FAJRIN PANE 067005017/HK
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA/BURUH DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Nama Mahasiswa : Muhammad Fajrin Pane Nomor Pokok : 067005017
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH,M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.,MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa,B.,M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal 25 Agustus 2008
____________________________________________________________________
PANITIA UJIAN TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
ABSTRAK
Adanya pembagian pekerja dengan PKWT dan PKWTT, berawal dari adanya pekerjaan yang memang membutuhkan waktu tertentu dalam pelaksanaan pekerjaannya. PKWT berdasarkan Pasal 56 ayat (2) dinyatakan bahwa PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Dari kedua jenis pekerjaan tersebut di atas, PKWT atas dasar jangka waktu, menimbulkan implikasi bagi pekerja/buruh. Implikasi ini disebabkan dengan diakuinya PKWT atas dasar jangka waktu menimbulkan interpretasi bahwa pekerjaan yang tidak didasarkan pada jenis, sifat atau kegiatan yang bersifat sementara dapat diperjanjikan berdasarkan PKWT atas dasar jangka waktu. Penafsiran ini tentu tidak sejalan dengan Pasal 59 ayat (2) yang menyatakan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan dalam ayat (7) dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (2) ini akan berakibat PKWT tersebut demi hukum berubah menjadi PKWTT.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah tentang pengaturan PKWT dalam peraturan perudang-undangan di bidang ketenagakerjaan, persesuaian bentuk pengaturan PKWT dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja dengan peraturan perundang-undangan serta perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh yang terikat dengan PKWT.
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan menganalisis norma hukum baik dalam peraturan perundang-undangan melalui penelitian kepustakaan maupun teknik pendukung lainnya seperti wawancara.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengaturan PKWT dalam peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan tafsir, PKWT yang diterapkan pengusaha tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, dengan berbagai alasan pekerja menerima PKWT meskipun bertentangan dengan perundang-undangan, perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh masih lemah dan tidak memadai hal ini terbukti masih ditemukan dalam perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha terdapat hal-hal yang merugikan pihak pekerja/buruh, maka disarankan pemerintah harus segera merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenegakerjaan khususnya Pasal 56 ayat (2a) dan Pasal 59 ayat (2) yang menimbulkan inkonsistensi dan perbedaan tafsir dalam pengaturan PKWT.
ABSTRACT
The existence of job sharing with PKWT and PKWTT is initiated from the availability of job that requires certain time in implementing it. PKWT, based on Article 56 (2), is stated that, as meant in Article 56 (1), PKWT is based on a certain period of time or the accomplishment of a certain job. Of the two kinds of jobs, PKWT based on period of time brings implication to the workers. This implication is caused by the recognition of PKWT based on period of time which brings an interpretation that the job which is not based on its kind, nature or temporary activity can be put into agreement based on period of time. This interpretation is surely not in line with Article 59 (2) stating that PKWT can be applied for a permanent job. Even, in Article 59 (7) it is stated that violation of Article 59 (2) can turn PKWT, for the sake of law, into PKWTT.
In relation to the above condition, the problems discussed in this study are about how PKWT is regulated in the regulation of legislation in the sector of manpower, the concurrence on the form of PKWT regulation in the work agreement between the employer/businessman and the worker with the regulation of legislation and legal protection for the workers bound to PKWT.
This study was carried out based on the normative juridical approach. The data obtained through library research and interviews were then analyzed based on the legal norms found in the regulation of legislation.
This result of this study reveals that regulation of PKWT found in the regulation of legislation brings a different interpration, PKWT applied by the employer/businessman is not in line with the stipulation of legislation in the sector of manpower, with various reasons the workers accept the PKWT although it is against the existing legislation, legal protection for the workers is still limited and inadequate and this is proven to be still found in the work agreement made by the employer because there are still many clauses that inflict loss to the workers. Therefore, the government is suggested to revise Law No.13/2003 on Manpower especially Article 56 (2a) and Article 59 (2) that have brought inconsistency and different interpretation in the regulation of PKWT.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Swt Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
tesis ini dapat diselesaikan.
Kami menyadari bahwa tesis ini bisa diselesaikan karena banyaknya bantuan
dari berbagai pihak, baik yang sifatnya bantuan materil maupun bantuan moril. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis,DTM&H,
Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister;
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T.
Chairun Nisa B., MSc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pelayanan, pengarahan
dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di
Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara;
4. Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami
ucapkan kepada Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Komisi
M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah
memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan ide yang terbaik serta kritik dan
saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis
ini.
5. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum dan Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,
M.Hum selaku penguji tesis penulis.
6. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA (Guru Besar IAIN Sumatera Utara) yang Mulia
telah berkenan memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan
perkuliahan di Sekolah Pascasarjana USU.
7. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil
Lubis, MA yang juga telah berkenan memberikan rekomendasi dan motivasi
kepada penulis untuk melanjutkan perkuliahan di Sekolah Pascasarjana USU
8. Seluruh Dosen penulis pada program Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU
yang telah memberikan ilmu dan motivasi dalam setiap perkuliahan.
9. Walikota Tanjungbalai Periode 2000-2010 Bapak dr. H. Sutrisno Hadi, Sp.OG
serta keluarga yang telah memberikan dukungan, semangat dan do’a kepada
penulis dan keluarga besar penulis semoga selalu dalam lindungan Allah Swt.
10.Ketua DPRD Tanjungbalai Abanganda H. Romay Noor, SE serta keluarga yang
selalu memberikan hal yang terbaik dalam setiap perlakuannya kepada penulis
sebagai adiknya baik secara moril maupun materil dan seluruh Anggota DPRD
serta petunjuk dan kemuliaan serta keberkahan Allah Swt juga selalu diberikan
kepada mereka.
11.Direktur POLITEKNIK TANJUNGBALAI (POLTAN) Ir. T. Tibri, MT beserta
seluruh civitas akademika.
12.Ketua DPD KNPI Sumut Periode 2008-2011 Abanganda Ir. H. M. Yasir Ridho
Loebis beserta segenap rekan juang fungsionaris DPD KNPI Sumut Periode
2008-2011, Ketua Pemuda Muslimin Indonesia Sumatera Utara Abanganda
Zaharuddin, Bang Joni Koto, Ricky Fahreza serta pengurus lainnya, rekan juang
di KIMPG Sumut, Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Aktivis Forum
Indonesia Muda (FIM) wadah di mana jati diri penulis dibentuk secara
organisatoris.
13.Para senior penulis yang telah banyak membantu khususnya kepada Drs. Ansari,
MA, M.Ramadhan, S.Ag, H.Fadly Nurzal, S.Ag, Drs.Azhari Akmal
Tarigan,M.Ag, Majda El-Muhtaj,M.Hum dan isteri, Zulham,SHI,M.Hum dan
isteri, Mustafa Kamal Rokan,SHI,MH serta senior penulis lainnya yang tak
tersebut.
14.Rekan-rekan seperjuangan di Program Ilmu Hukum SPS USU khususnya di kelas
Hukum Bisnis SPS USU stambuk 2006.
15.Seluruh staf pegawai di Program studi Ilmu Hukum SPS USU atas bantuan
16.Kak Yosi atas bantuannya sudah bersedia diwawancara, junior penulis Gilang
Medina, SH dan Ayu Manalu, SH atas bantuannya dalam membantu penyelesaian
tesis penulis.
17.Lady Quatro Yulius, SE atas motivasi, dorongan, saran dan kritikan serta bantuan
sudah berkenan menemani seminar di tengah kesibukannya telah merelakan
waktunya untuk menjadi teman dekat, teman diskusi, teman berdebat yang baik
untuk sharing dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan.
18.Seluruh Keluarga Besar di Tanjungbalai saudara-saudara penulis (Abang dan
Kakak) : H. Romay Noor, SE, Iriani Wa’dah, BA, Zairil Wathan, Husnah
Wardah, S.Pd, Dra. Nazla, Hendra Gunawan dan seluruh abang-abang dan kakak
ipar serta para keponakan penulis yang lucu-lucu dan terkadang sedikit nakal
kalian adalah sumber inspirasi penulis dalam hidup terima kasih atas bantuan dan
curahan kasih sayang yang diberikan semoga Allah selalu memberikan limpahan
rahmat kepada kalian, I love you all.
Terakhir dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati persembahan do’a dan
terima kasih tak terhingga karena penulis rasanya tak akan mampu membalas
kebaikan yang diberikan mereka berdua dan tesis ananda ini persembahkan kepada
kedua orang tua tercinta yang telah berjasa melahirkan, mengasuh sampai
membesarkan dengan penuh rasa kasih sayang dengan merelakan segalanya dalam
kehidupan mereka demi kemajuan anak-anaknya yang di akhir hayatnya terlebih
kepada Ayahanda Alm. H. Ma’ruf Pane yang tidak sempat menyaksikan ananda
menyaksikan ananda meraih gelar Magister, dalam setiap do’a ananda mohonkan:
“Ya Allah ampuni, rahmati, ma’afkan segala dosa dan kesalahan mereka, muliakan
dan lapangkan kubur serta hindarkan mereka berdua dari siksa api neraka amin”.
Sebagai manusia biasa karya penulis ini tentu tidak terlepas dari kesalahan,
untuk itu sebagai sebuah karya ilmiah tesis ini terbuka terhadap kritik dan saran yang
konstruktif dan merupakan harapan penulis demi perbaikan. Semoga tesis ini
bermanfaat bagi diri penulis sendiri dan pembaca serta semua orang yang
membutuhkan hasil penelitian ini.
Medan, Agustus 2008
Penulis
Muhammad Fajrin Pane
RIWAYAT HIDUP
Nama : Muhammad Fajrin Pane
Tempat/Tanggal lahir : Tanjungbalai/23 Oktober 1981
Agama : Islam
Pekerjaan : Dosen Politeknik Tanjungbalai (POLTAN)
Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri 130004 Tanjungbalai
- MTsS YMPI Sei. Tualang Raso Tanjungbalai
- MAS YMPI Sei. Tualang Raso Tanjungbalai
- Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara tamat tahun 2004
- Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……….. i
ABSTRACT ……….... ii
KATA PENGANTAR ……… iii
RIWAYAT HIDUP ……… viii
DAFTAR ISI ……….. ix
BAB I : PENDAHULUAN .……….. 1
1. Latar Belakang ……….... 1
2. Permasalahan .……… 8
3. Tujuan Penelitian ..……… 9
4. Manfaat Penelitian ..……… 9
5. Keaslian Penelitian ….……… 10
6. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… 10
7. Metode Penelitian ………... 23
BAB II : PENGATURAN PKWT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG KETENAGAKERJAAN ……….... 26
. A. Pengaturan Tentang Perjanjian Secara Umum ………….. 26
B. Pengaturan Tentang Perjanjian Kerja ……… 34
C. Pengaturan PKWT Dalam Peraturan Perundang-undang- an……… 46
2. Persyaratan PKWT……… 50
3. Kategori Pekerjaan Dalam PKWT ……… 55
4. Jangka Waktu PKWT ……… 59
5. Berakhirnya PKWT ……… 60
6. Peralihan PKWT Menjadi PKWTT ……… 64
BAB III : PERSESUAIAN PKWT DALAM PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT ANTARA PENGUSAHA DAN PEKERJA DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN … 66 A. PKWT Yang Diterapkan Pengusaha Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Perundang-undangan ……… 67
1. Lamanya PKWT ……….. 67
2. Sifat Pekerjaan ……… 67
3. Perlindungan Terhadap Pekerja (upah, jaminan sosial dan kesejahteraan .……… 68
B. Pekerja Menerima PKWT Meskipun Bertentangan Dengan Perundang-undangan ………. 69
1. Alasan Ketidaktahuan ……… 69
2. Alasan Kebutuhan……… 69
C. Sosialisasi Terhadap Pekerja Masih Kurang ……….. 70
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA DALAM PKWT ………... 72
A. Hak Pekerja Dalam Perjanjian Kerja .……… 72
Tidak Memadai……… 77
1. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) ………. 77
2. Keselamatan Dan Kesehatan Kerja ……… 88
3. Perlindungan Upah .……… 93
C. Akibat Hukum Bagi Pelanggar Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Di Bidang Ketenagakerjaan …….. 99
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ke- tenagakerjaan ………... 99
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jam- sostek ………... 103
D. Perubahan Substansi Perlindungan Terhadap Pekerja/Buruh Di Bidang Ketenagakerjaan Yang Mengatur Tentang PKWT ……….. 104
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ..………. 108
A. Kesimpulan ..………. 108
B. Saran ……….. 110
DAFTAR PUSTAKA ……….. 112
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Penelitian tentang perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam
perjanjian kerja waktu tertentu (selanjutnya disingkat PKWT) dianggap perlu, paling
tidak didasarkan pada empat alasan, yaitu: Pertama, PKWT merupakan fenomena
baru yang hadir dengan tujuan awal mengisi pekerjaan yang memang mempunyai
batasan waktu dalam pengerjaannya. Kedua, PKWT merupakan bagian dari
perubahan hukum di bidang ketenagakerjaan/perburuhan. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Organski bahwa bangsa yang baru merdeka akan melaksanakan
pembangunan melalui tiga tahap satu persatu yaitu unifikasi, industrialisasi dan
kesejahteraan sosial.1
Dalam fase industrialisasi yang ditandai dengan akumulasi modal dan
pertumbuhan ekonomi, dimana hukum berpihak pada kaum industrialis, aturan
PKWT lahir untuk menjawab kebutuhan industrialisasi. Ketiga, penerapan aturan dari
PKWT melahirkan masalah baru bagi pekerja/buruh dan pengusaha yaitu dalam
menentukan persyaratan, kategori dan kondisi seperti apa yang dapat
diberlakukannya PKWT. Keempat, bagaimana perlindungan terhadap pekerja/buruh
yang terikat dengan PKWT.
1
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Kepentingan terhadap pekerja mulai diperhatikan pada saat negara memasuki
tahap negara kesejahteraan. Sebenarnya Indonesia tidak mengalami satu persatu
tahapan unifikasi, industrialisasi dan negara kesejahteraan yang memakan waktu
ratusan tahun tiap tahapnya. Indonesia mengalami ketiga tahapan secara bersamaan.
Pada saat yang sama melakukan unifikasi terhadap peraturan hukumnya, juga
melakukan industrialisasi sesuai dengan tuntutan kebutuhan zaman dan pada saat
yang sama harus juga memperhatikan perlindungan terhadap konsumen, tenaga kerja,
sebagaimana negara-negara yang sudah maju. Pada periode ini negara mulai
memperhatikan antara lain kepentingan tenaga kerja kemudian tuntutan terhadap
intervensi pemerintah melalui pembentukan hukum yang melindungi pihak yang
lemah sangatlah kuat.2
Untuk melindungi pekerja/buruh dari permasalahan perburuhan yang
kompleks, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Di Indonesia
Undang tentang Ketenagakerjaan yang berlaku pada saat ini yaitu
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003. Mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh secara
umum dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai perlindungan terhadap
penyandang cacat, perlindungan terhadap perempuan, perlindungan terhadap waktu
kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, juga perlindungan dalam hal pengupahan dan
dalam hal kesejahteraan.
2
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan
Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas
Namun perlindungan di tersebut sebagian besar hanya berlaku bagi pekerja
dengan status tetap atau yang terikat dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(selanjutnya disingkat PKWTT). Sedangkan bagi pekerja dengan PKWT
pengaturannya diatur dalam Keputusan Menteri.
Adanya pembagian pekerja dengan PKWT dan PKWTT, berawal dari adanya
pekerjaan yang memang membutuhkan waktu tertentu (terbatas) dalam pelaksanaan
pekerjaannya. Berbeda dengan pekerja dengan PKWTT yang pada Pasal 1603q
KUHPerdata ayat (1) yang dinyatakan bahwa pekerjaan yang lamanya hubungan
kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam
peraturan perundang-undangan atau pula menurut kebiasaan. Sedangkan PKWT
berdasarkan Pasal 56 ayat (2) dinyatakan bahwa PKWT sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) didasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan
tertentu.
Dari kedua jenis pekerjaan untuk waktu tertentu tersebut di atas, PKWT atas
dasar jangka waktu, menimbulkan implikasi bagi pekerja/buruh.3 Implikasi ini
disebabkan dengan diakuinya PKWT atas dasar jangka waktu ini menimbulkan
interpretasi bahwa pekerjaan yang tidak didasarkan pada jenis, sifat atau kegiatan
yang bersifat sementara dapat diperjanjikan berdasarkan PKWT atas dasar jangka
waktu. Penafsiran ini tentu tidak sejalan dengan Pasal 59 ayat (2) yang menyatakan
bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
3
Aloysius Uwiyono, Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
Bahkan dalam ayat (7) dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat
(2) ini akan berakibat PKWT tersebut demi hukum berubah menjadi PKWTT.4
Berangkat dari uraian tersebut maka seyogyanya aturan PKWT atas jangka waktu
direvisi karena tidak sejalan dengan Pasal 59 ayat (2).
Adanya interpretasi bahwa PKWT dapat diperjanjikan dengan tidak
didasarkan pada jenis, sifat atau kegiatan yang bersifat sementara, melahirkan praktek
perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang tidak sesuai dengan tujuan
pengaturan PKWT. Hal ini bisa disebabkan karena setidaknya 3 alasan, yaitu:
Pertama, ketidaktahuan dari salah satu atau masing-masing pihak pekerja/buruh dan
pengusaha. Kedua, karena kekosongan hukum. Ketiga, ada iktikad buruk dari
pengusaha dan ketidaktahuan pekerja/buruh juga karena inkonsistensi dalam Pasal 56
ayat (2) dan 59 ayat (2) yang memungkinkan PKWT dengan tidak berdasarkan jenis,
sifat atau kegiatan yang bersifat sementara dapat dilaksanakan. Akibatnya
perlindungan terhadap pekerja/buruh menjadi lemah, hal ini dapat dilihat dari
beberapa indikasi, di antaranya tidak berhak atas sejumlah tunjangan (jamsostek,
asuransi kecelakaan, pensiun), uang penghargaan kerja pada saat terjadinya
pemutusan hubungan kerja (PHK), upah yang lebih rendah, tidak adanya jaminan
kerja dan jaminan pengembangan karir. Bahkan belakangan muncul fenomena
adanya PHK massal dan penggantian status pekerja oleh perusahaan dari PKWTT
menjadi PKWT.
Praktik-praktik yang menyimpang dari ketentuan undang-undang ini
merupakan salah satu dari tuntutan buruh pada saat melakukan demonstrasi
besar-besaran.5 Kondisi buruh yang sudah memprihatinkan, ditambah adanya diskriminasi
perlindungan terhadap pekerja PKWT menambah keprihatinan itu.
Terlepas dari tujuan pengusaha untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi,
juga tujuan pengusaha agar dapat menciptakan kesempatan kerja seluas-luasnya,
perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh juga harus tetap menjadi prioritas.
Pentingnya perlindungan bagi pekerja/buruh biasanya berhadapan dengan
kepentingan pengusaha untuk tetap dapat bertahan (survive) dalam menjalankan
usahanya. Sehingga seringkali pihak yang terkait secara langsung adalah pengusaha
dan pekerja/buruh.6
Secara umum persoalan perburuhan lebih banyak diidentikkan dengan
persoalan antara pekerja dengan pengusaha.7 Pemahaman demikian juga dipahami
sebagian besar para pengambil kebijakan perburuhan sehingga terjadi reduksi
pemahaman terhadap buruh sebagai pekerja dan buruh sebagai suatu profesi dan
kategori sosial. Pemahaman tersebut mengakibatkan perlindungan terhadap
pekerja/buruh dengan PKWT menjadi sangat lemah.
5
Tim Kontan, Ada Apa Dengan Buruh, Majalah Kontan Vol. II/EDISI XXIII, 07-20 Mei 2006, Jakarta, 2006, hlm. 9
6
Eggy Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, (Jakarta: Renaissan, 2005), hlm.1.
7
Menghadapi realita tersebut, peran pemerintah diperlukan untuk melakukan
campur tangan dengan tujuan mewujudkan perburuhan yang adil melalui peraturan
perundang-undangan.8 Hubungan antara pengusaha dan buruh idealnya merupakan
hubungan yang saling menguntungkan. Namun seringkali posisi pekerja/buruh tidak
seimbang dengan posisi pengusaha.
Ketidakseimbangan posisi tersebut di antaranya karena rendahnya pendidikan
pekerja/buruh sehingga tidak mengetahui hak dan kewajibannya, tidak memiliki
keahlian khusus serta regulasi dalam hukum perburuhan tidak seimbang dalam
mengatur hak dan kewajiban pihak pekerja/buruh dan pengusaha.
Melihat kenyataan di atas, dituntut adanya perlindungan terhadap
pekerja/buruh khususnya dengan status PKWT. Ditinjau dari segi perlindungan
perburuhan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
diharapkan dapat memberikan perlindungan perburuhan yang dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu: aspek perlindungan sosial, perlindungan ekonomis dan perlindungan
teknis.
Perlindungan sosial pada dasarnya merupakan suatu perlindungan perburuhan
yang bertujuan agar pekerja/buruh dihargai harkat dan martabatnya sebagai manusia,
bukan hanya sebagai faktor produksi (faktor ekstern, melainkan diperlakukan sebagai
manusia dengan segala harkat dan martabatnya (faktor intern atau konstitutif).9
Sedangkan perlindungan ekonomis merupakan perlindungan perburuhan yang
8
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm. 12. 9
bertujuan agar pekerja/buruh dapat menikmati penghasilan secara layak dalam
memenuhi kebutuhan hidup baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya.
Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya hukum ekonomi sendiri disebabkan
oleh semakin pesatnya pertumbuhan perekonomian yang berfungsi untuk mengatur
dan membatasi kegiatan-kegiatan ekonomi dengan harapan pembangunan
perekonomian tidak mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat.10 Akhirnya
perlindungan teknis merupakan perlindungan yang bertujuan agar buruh dapat
terhindar dari segala resiko yang timbul dalam suatu hubungan kerja.
Pemerintah yang bersikukuh untuk mempertahankan PKWT karena memang
ada pekerjaan yang memiliki batas dalam pengerjaannya.11 Untuk tujuan itu,
Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dengan Kepmen No. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan PKWT yang ditandatangani pada 21 Juni 2004. Dalam Kepmen itu
dijelaskan PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang
penyelesaiannya paling lama tiga tahun. Peraturan itu juga mengatur sistem PKWT
untuk pekerjaan yang bersifat musiman dan PKWT untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru.
Diharapkan dengan adanya pengaturan dalam Kepmen tersebut tidak ada lagi
adagium bahwa perlindungan yang diberikan terhadap pekerja/buruh merupakan
10
Advendi Simangunsong, Hukum dan Ekonomi, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm.4. 11
Rochmad Fitriana, Sistem Subkontrak Antara Benci dan Kebutuhan, diakses dari
hambatan masuknya investasi ke dalam negeri. Padahal hambatan investasi harus
diatasi secara serentak yaitu pemberantasan terhadap korupsi, birokrasi yang
membuat biaya tinggi, perbaikan infrastruktur, keamanan, penegakan hukum dan
perburuhan.12
Berdasarkan uaraian di atas, penulis memilih judul Perlindungan Hukum
Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Ditinjau
Dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
B. Permasalahan
Berangkat dari latar belakang penelitian tersebut maka penelitian ini
difokuskan pada beberapa permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Peraturan Perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan mengatur
tentang PKWT?
2. Bagaimana PKWT diatur dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja,
apakah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh yang terikat dalam
PKWT?
12
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diuraikan di atas maka penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Mengetahui dan menganalisis Peraturan Perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan yang mengatur tentang PKWT.
2. Mengetahui dan menganalisis sejauh mana PKWT diatur dalam perjanjian kerja
antara pengusaha dan pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh yang
terikat dalam PKWT.
D. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan tidak hanya bersifat teoritis
berupa dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya penelitian di bidang
ketenagakerjaan/perburuhan tentunya, tapi juga manfaat praktis dalam bentuk untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perlindungan hukum terhadap
pekerja/buruh dalam PKWT ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan. Dengan
demikian diharapkan pekerja/buruh khususnya dalam hal ini yang terikat dalam
PKWT dan pengusaha mengetahui sekaligus terjamin hak-hak dan kewajibannya dan
pada gilirannya pekerja/buruh serta pengusaha dapat saling merasakan kesejahteraan.
Selain itu juga penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan masukan
ketenagakerjaan/perburuhan itu seimbang dalam mengatur hak dan kewajiban pihak
pekerja/buruh dan pengusaha.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah penulis lakukan di
perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil
penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai
perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam PKWT ditinjau dari
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu keaslian
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai
objektifitas dan kejujuran.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
Seperti yang ditegaskan oleh Iman soepomo tujuan pokok hukum perburuhan
adalah terlaksana dan terwujudnya keadilan sosial. Hukum ketenagakerjaan tidak bisa
dilepaskan dari tujuan awal dilahirkannya sebagai hukum yang mengatur hubungan
antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan guna tercapainya keadilan sosial.
Dalam hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha terjadi perbedaan
bahkan kesenjangan di antara kedua belah pihak yakni terletak pada posisi tawar
(bergaining position). Secara yuridis pekerja/buruh memang manusia yang bebas,
sebagaimana prinsip bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di depan
layak. Namun secara sosiologis hal ini sering ditemukan, pekerja/buruh tidak
menempati posisi di mana dia harus diberlakukan sebagai manusia yang bermartabat,
tidak hanya sebagai faktor produksi tetapi juga pihak yang ikut menentukan
keberhasilan seorang pengusaha.
Begitu juga sebaliknya dengan pihak pengusaha menganggap dirinya adalah
pihak yang juga berhak mendapatkan keadilan dalam hubungannya dengan pihak
pekerja/buruh. Pada gilirannya sampai pada permasalahan bahwa rasa keadilan mana
yang harus dikedepankan dan didahulukan apakah pekerja/buruh dengan kondisinya
yang serba terbatas dan lemah baik dari keberadaannya dalam mendapatkan
pekerjaan yang layak sesuai dengan upah yang dijanjikan guna tercapainya tujuan
negara dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dengan menekan angka
kemiskinan dan penggangguran.
Pihak pengusaha dengan segala kelebihan modal yang dimilikinya mampu
mendapatkan pekerja/buruh yang sesuai dengan kebutuhannya akibat tingginya angka
pengangguran menjadikan posisi pekerja/buruh menjadi serba dilematis. Pengusaha
dengan alasan selalu ingin membatasi biaya operasional/ produksi yang
dikeluarkannya hingga menekan pada titik yang serendah mungkin.
Hal di atas seperti ditegaskan sebelumnya bila dibiarkan terus-menerus maka
akan tetap jauh dari kenyataan tujuan yang tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam alinea keempat13 yang menyatakan bahwa : kemudian
daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
13
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial dapat tercapai.
Sistem hubungan pekerja/buruh dengan pengusaha suatu bangsa senantiasa
mencerminkan sistem pembangunan yang pada dasarnya adalah cerminan sistem
ekonomi atau sistem pembangunan dan ideologi yang dianut. Misalnya sistem
ekonomi yang serba liberalistik, kapitalistik ataupun serba etatis, komunistik akan
melahirkan sistem hubungan industrial yang sama sebagai pencerminannya.14
Pengaruh politik ekonomi juga sangat menentukan Hukum Ketenagakerjaan,
dalam era globalisasi perdagangan, hukum yang berlaku adalah hukum pasar bebas
yang menghendaki peranan pemerintah menjadi semakin berkurang dan peranan
swasta manjadi lebih besar. Hukum ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan.15
Menurut para ahli seperti dijelaskan Bismar Nasution, masalah mendasar
organisasi sosial adalah bagaimana mengkoordinir kegiatan ekonomi jutaan individu.
Secara fundamental hanya ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, secara
terpusat melalui paksaan seperti yang dilakukan oleh negara totaliter dengan
menggunakan militer. Kedua, kerjasama sukarela (voluntary) di antara individu
14
Suhardiman, Kedudukan, Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Dalam Pembangunan
Indonesia, dalam Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori, Tatanan dan Terapan, Peny. Selo
Soemardjan, (Jakarta: YIIS dan PT. Gramedia,tt), hlm. 104-105. 15
Aloysius Uwiyono, Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA Terhadap
Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, (Jakarta: Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis, 2003), hlm. 41 dalam Agusmidah, Politik Hukum dalam Hukum
Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Disertasi, (Medan:
melalui mekanisme pasar. Model masyarakat yang diorganisir secara sukarela dikenal
dengan free private enterprise exchange economy, yang diistilahkan Bismar
Nasution dalam hal ini sebagai sistem ekonomi pro pasar.16
Namun tidak semua hal dalam Hukum Ketenagakerjaan dapat diserahkan
pada mekanisme pasar. Selain itu sistem hukum Indonesia juga tidak memberi ruang
yang cukup luas untuk itu. Di sinilah pemerintah ditantang untuk menjalankan
kebijakan perburuhan yang mampu mengakomodir semua kepentingan, baik pemilik
modal, pekerja/buruh maupun pemerintah sendiri.17
Jika dirujuk kepada cita-cita yang ingin dicapai hukum, paling tidak ada tiga
yaitu keadilan, kepastian dan ketertiban. Selanjutnya kehadiran hukum dalam
masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
kepentingan-kepentingan yang bisa menimbulkan konflik (conflict of interest).
Melalui hukum, konflik itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian
kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi
kepentingan-kepentingan tersebut.
16
Lihat Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi, Pidato pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi Fakultas
Hukum USU, (Medan: USU, 2004), hlm. 1. Sistem ekonomi pro pasar lebih berhasil mensejahterakan masyarakat dibandingkan sistem ekonomi sosialis. Bandingkan misalnya apa yang terjadi di antara Korea Utara dan Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan dengan Cina Daratan (sebelum Deng Xiaoping) atau antara Jerman Barat dan Jerman Timur sebelum robohnya tembok Berlin dalam Milton Friedmen, Capitalism and Freedom, (Chicago: The University of Chicago Press, 2002),hlm. 15.
17
Aloysius Uwiyono, Op. Cit. Hal ini juga ditegaskan Bismar Nasution bahwa kehadiran sistem ekonomi.yang diistilahkannya dengan sistem pro pasar tentunya tidak menghilangkan peran pemerintah, sebaliknya sangat membutuhkan peran pemerintah karena pandangan yang menyatakan bahwa peran pemerintah harus dibuat seminimal mungkin, kalau bisa sampai ke titik nol, dikatakan kurang tepat diterapkan di Indonesia. Peran pemerintah yang dibutuhkan adalah sebagai forum untuk menetapkan rule of the game dan sebagai wasit yang menafsirkan dan mengakkan (enforce) dari rule
Hukum dalam pengertiannya yang utama adalah suatu aturan yang
dicita-citakan dan diwujudkan dalam Undang-undang, namun sebelumnya perlu ditegaskan
bahwa hukum memiliki dua pengertian yang perlu dipahami:18
1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan= iustitia). Maka di sini hukum menandakan
peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana dicita-citakan.
2. Hukum dalam arti Undang-Undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan
itu dipandang sebagai sarana untu mewujudkan aturan yang adil tersebut.
Hukum ketenagakerjaan seperti yang telah disinggung merupakan hukum
yang dibentuk untuk mengadakan keadilan dalam hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Secara sosial ekonomi posisi pengusaha dan
pekerja/buruh sangat bertolak belakang. Hal ini menyebabkan hubungan antara
keduanya diatur oleh hukum, yaitu hukum yang adil.
Keadilan yang merupakan tujuan dasar dalam pembentukan dan pelaksanaan
hukum bahkan yang menjadi tujuan hidup bernegara tidak akan dicapai dengan
menyerahkan sistem ekonomi semata-mata pada mekanisme pasar.19 Keadilan
bukanlah nilai yang diperhitungkan dari ekonomi pasar karena itu pendekatan pasar
harus selalu didikuti oleh pendekatan normatif, salah satunya melalui hukum yang
meletakkan batas-batas dan aturan-aturan.20
18
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 49. 19
Diungkapkan pula oleh Bustanul Arifin dan Didik J. Rachbini dalam Ekonomi Politik dan
Kebijakan Publik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), hlm. 57, dalam Agusmidah, Op. Cit, hlm. 27.
20
Dalam sejarah filsafat hukum ide konsensus muncul pada abad XVII.
Pemikir-pemikir tentang hukum sampai pada keyakinan bahwa harus diminta suatu
persetujuan dari pihak anggota masyarakat untuk membentuk Undang-undang. Hal
ini berarti bahwa yang berkuasa dalam negara harus menyatakan kehendak rakyat
dalam menentukan tata hukum negara. Dalam hal ini Rousseau paling jelas meminta
suatu kehendak umum supaya negara didirikan secara hukum dan juga supaya hukum
disusun sesuai dengan tuntutan keadilan.21
Keadilan sosial adalah keadilan yang berhubungan dengan pembagian nikmat
dan beban dari suatu kerjasama sosial khususnya yang dilakukan oleh negara.22 Di
negara Indonesia yang mendasarkan diri pada Pancasila, keadilan sosial dengan tegas
dinyatakan dalam Sila Kelima Pancasila. Nilai ini telah dicoba untuk dilaksanakan
salah satunya dengan menetapkan tujuan negara yang sama diketahui adalah
memajukan kesejahteraan umum.
Masalah keadilan timbul dalam situasi yang oleh John Rawls disebut
Circumstances Of Justice (COJ) suatu rumusan yang berasal dari David Hume. David
Hume menyebut COJ untuk menggambarkan bahwa keadilan baru merupakan
21
Theo Huijbers, Op. Cit, hlm. 296. 22
Karenanya dalam literatur keadilan sosial sering juga disebut sebagai keadilan distributif. Ada perbedaan antara keadilan sosial dan keadilan distributif di mana keadilan sosial bukan sekedar masalah distribusi ekonomi saja, melainkan jauh lebih luas, mencakup keseluruhan dimensi moral dalam penataan politik, ekonomi dan semua aspek masyarakat yang lain. Keadilan telah dikaji secara filsafat bahkan sejak awal sejarah filsafat itu sendiri dalam karya Plato yang terkenal Republic, dapat diberi anak judul Tentang Keadilan. Plato berkeyakinan bahwa negara ideal apabila didasarkan atas keadilan dan keadilan baginya adalah keseimbangan atau harmoni. Harmoni artinya bahwa warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara, di mana masing-masing warga menjalani hidup secara baik sesuai kodrat dan posisi sosialnya, dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis
Rawls dan Hebermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005),
keutamaan yang relevan (relevant virtue) hanya apabila terjadi kelangkaan dan
orang-orang tidak spontan tergerak dalam ikatan emosional untuk mengulurkan bantuan.
COJ Rawls adalah objektif COJ yaitu situasi normal konflik klaim dimana kerjasama
antar manusia mungkin dan perlu. Masalah keadilan atau ketidakadilan mustahil
dibicarakan dalam konteks manusia yang masih dalam status alamiah atau pra
sosial.23
Pada sisi lain hubungan ketenagakerjaan masuk dalam lingkup hubungan
ekonomi di mana pelaku bisnis berhak mendapatkan keadilan ekonomi. Dalam
keadilan ekonomi berlaku aturan main hubungan-hubungan ekonomi berdasarkan
prinsip-prinsip etik, sedangkan keadilan sosial merupakan hasil dari dipatuhinya
aturan main keadilan ekonomi tersebut.24
Menurut G.Ripert25 diaturnya masalah kerja dalam hukum sosial tersendiri
(dalam hal ini hukum ketenagakerjaan) adalah akibat kenyataan sosial yang dalam
kehidupan ekonomis mengalami perubahan atau pergeseran, di mana perlindungan
kepentingan kerja dalam perjanjian kerja merupakan kepentingan umum yang tidak
dapat lagi diabaikan berdasarkan asas kebebasan individu serta otonomi individu
dalam mengadakan perjanjian kerja.
23
Agusmidah,Op.Cit, hlm. 132. 24
Mubyarto, Indonesia Unik Karena Ketahanan Ekonomi Rakyatnya (Laporan Pertemuan
dengan Presiden Megawati 18 Maret 2002), Jurnal Ekonomi Rakyat diakses dari http://www.ekonomirakyat.org/galeri_wat/wartalip-2.htm, diakses terakhir kali tanggal 12 November 2006 dalam Agusmidah, Op. Cit, hlm. 133.
25
La Regime Democratique et Le Droit Civil Moderne, 1936 dalam FJHM Van der Ven,
Bergesernya persepsi tersebut tidak lepas dari pengalaman sejarah negara
Ripert yang telah membuktikan bahwa gerakan politik buruh mampu membawa
Perancis menjalani Revolusi. Jadi menurutnya kekuatan politik pekerja/buruh sebagai
faktor utama yang mendorong Hukum Ketenagakerjaan menjadi bagian dari hukum
publik. Maka dalam penelitian ini penggunaan teori perubahan hukum turut
digunakan karena penulis berpendapat bahwa perlindungan hukum terhadap pekerja
mengalami perubahan.
Paling tidak ada empat perubahan tersebut yaitu:26 Pertama, perubahan yang
berasal dari luar sistem hukum yakni masyarakat, namun dampaknya hanya berakhir
pada perubahan sistem hukum itu sendiri. Kedua, perubahan yang berasal dari luar
yakni dari masyarakat dan membawa dampak pada perubahan masyarakat. Ketiga,
perubahan dari dalam sistem hukum itu sendiri, namun hanya berdampak secara
internal hukum. Keempat, perubahan dari dalam hukum dan berdampak ke luar atau
ke masyarakat.
Perubahan hukum sebagaimana digambarkan oleh Friedman pada dasarnya
akan melahirkan karakteristik hukum dipandang dari posisi dan hubungannya dengan
masyarakat, yaitu substansi hukum yang represif, otonom dan responsif.27 Model
Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia dianggap model hukum korporatis28 yang
26
Satya Arinanto, Kumpulan Tulisan Politik Hukum 2, Pilipe Nonet and Philip Selznick, Law
and Society in Transition: Toward Responsive Law, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), hlm.117. 27
Ibid. 28
Tamara Lothion, The Political Consequences of Labor Law Regimes: The Contractualist
and Corporatist Models Compared, Cardozo Law Review, Vol. 7, 1986, hlm. 1. Lihat dalam
mengatur hubungan ketenagakerjaan melalui jalan legislasi dalam bentuk
perundang-undangan.
Untuk itu dalam penelitian ini juga menggunakan teori hukum perburuhan
sebagai suatu bentuk intervensi pemerintah terhadap mekanisme perburuhan melalui
peraturan perundang-undangan yang telah membawa perubahan mendasar, yakni
menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi ganda yaitu bersifat privat yang melekat
pada prinsip adanya hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja
antara buruh dengan pengusaha atau majikan, sekaligus juga sifat publik dalam artian
adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang
ketenagakerjaan/perburuhan dan ikut campur tangannya pemerintah dalam
menetapkan besarnya upah.29
Pemerintah (negara) harus mampu memposisikan dirinya sebagai regulator
yang bijak melalui sarana pembentukan dan pelaksanaan Hukum Ketenagakerjaan
dikarenakan Hukum Ketenagakerjaan akan menjadi sarana utama untuk menjalankan
kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan itu sendiri. Kebijakan
ketenagakerjaan (labor policy), di Indonesia dapat dilihat dalam UUD 1945 sebagai
Konstitusi Negara, juga dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.30
Selanjutnya mengenai pengertian hukum perburuhan dapat didefinisikan
sesuai pernyataan Iman Soepomo bahwa hukum perburuhan adalah suatu himpunan
29
Lalu Husni, Op. Cit, hlm.10. 30
peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian dimana
seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.31
Menurut Eggy Sudjana secara umum penyebab lemahnya kondisi
pekerja/buruh di Indonesiadi antaranya yakni:32
1. Lemahnya posisi tawar tenaga kerja berhadapan dengan pemilik perusahaan atau
industri karena keahlian dan tingkat pendidikan yang rendah
2. Kebijakan pemerintah yang kurang responsif dan akomodatif terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran tulisan ini berikut
dijelaskan definisi operasional dari istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini,
yaitu:
1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja.33
2. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.34
31
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. VI, (Jakarta: Djambatan, 1983), hlm.3.
32
Eggy Sudjana, Nasib Dan Perjuangan Buruh di Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi Publik Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Kajian Ketenagakerjaan Majelis Nasional KAHMI Center , Jakarta, 24 Juni 2005, hlm.2-3.
33
Rumusan ini berdasarkan Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
34
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.35
4. Pengusaha ialah:36
a. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri
b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya
c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
5. Perusahaan adalah:37
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan,
milik persekutuan atau milik badan hukum baik milik swasta maupun milik
Negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
6. Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.38
35
Pasal 1 Butir 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 36
Pasal 1 Butir 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 37
7. Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.39
8. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didasarkan atas:40
a. Jangka waktu; atau
b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
9. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu:41
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun
c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
10.Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah.42
11.Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari unsur
38
Pasal 1 Butir 14 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 39
Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 40
Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 41
Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 42
pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.43
12. Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh
dan pengusaha.44
13. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.45
14. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi
produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.46
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian tentang perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam PKWT
berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini
43
Pasal 1 Butir 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.. 44
Pasal 1 Butir 25 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 45
Pasal 1 Butir 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 46
merupakan suatu metode penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis
normatif, maka penelitian ini berbasis analisis terhadap norma hukum, baik hukum
dalam arti law as it is written in the books (dalam aturan perundang-undangan)
maupun dalam arti law as it is decided by judge through judicial process
(putusan-putusan pengadilan).47
Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan
disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang
objeknya hukum itu sendiri.48 Dengan demikian objek yang dianalisis adalah norma
hukum, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun yang sudah konkrit telah
ditetapkan oleh Hakim dalam kasus-kasus yang diputuskan di pengadilan.
2. Sumber data
Karena penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif maka
upaya untuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan
penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan data sekunder baik yang bersifat bahan
hukum primer, sekunder maupun tersier seperti doktrin-doktrin dan
perundang-undangan atau kaedah hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun data sekunder terdiri dari:
47
Ronald Dworkin, Legal Research, Deadalus, Spring, 1973, hlm.250, sebagaimana dikutip dari Inocentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,
Op. Cit,hlm.35. 48
a. Bahan Hukum Primer yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan
Upah, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-101/MEN/2004 Tentang
Pelaksanaan Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Putusan Pengadilan,
Kitab Undang-Udang Hukum Perdata.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu kumpulan artikel/tulisan, jurnal kajian perburuhan
dan analisis sosial, makalah-makalah, media internet.
3. Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan meliputi teknik pengumpulan data secara studi
kepustakaan (library research), sebagai suatu teknis pengumpulan data dengan
memanfaatkan berbagai literatur atau studi dokumen dan teknik pendukung lainnya
seperti wawancara. Studi kepustakaan dilakukan di Perpustakaan Universitas
Sumatera Utara dan perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
di Medan.
4. Analisis data
Data dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif, artinya data-data yang
ada dianalisis secara mendalam, holistik dan komprehensif dengan melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan hukum
ketenagakerjaan
3. Membuat kategori dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari konsep-konsep yang
lebih umum
4. Mencari hubungan antara kategori-kategori tersebut dan menjelaskan
hubungannya antara satu dengan yang lain
5. Setelah dilakukan analisis dari langkah-langkah yang dilakukan di atas, maka
BAB II
PENGATURAN PKWT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG KETENAGAKERJAAN
Sebelum memasuki ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang
PKWT, terlebih dahulu akan diuraikan tentang perjanjian secara umum dan tentang
perjanjian kerja.
A. Pengaturan Tentang Perjanjian Secara Umum
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu
orang atau lebih.
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/ harta benda antara dua
orang atau lebih, yang kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan
prestasi.”49
Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, bisa
diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian
49
adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut
dibandingkan dengan keududukan perjanjian kerja.50
Pengertian perjanjian kerja mempunyai arti yang luas dan umum sekali
sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian tersebut
dibuat, hal ini terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut konsepsi Pasal
1313 KUHPerdata hanya menyebutkan tentang pihak yang atau lebih mengikatkan
dirinya pada lain dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian
tersebut dibuat.
Menurut Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa di dalam suatu
perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu:51
a. Adanya pihak-pihak
b.Adanya persetujuan antara para pihak
c. Ada tujuan yang akan dicapai
d. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
e. Kecakapan membuat suatu perjanjian
Untuk sahnya perjanjian, harus memenuhi beberapa syarat (Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu:
1. Sepakat Mereka Mengikatkan Dirinya
50
Djumadi, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 13. Di dalam pengertian perjanjian kerja tidak dalam kedudukan yang sama dan seimbang karena pihak yang satu yaitu pekerja mengikatkan diri dari bekerja di bawah perintah orang lain dalam hal ini adalah pengusaha.
51
Yang dimaksud dengan sepakat ialah kedua belah pihak mengadakan
perjanjian telah mencapai persesuaian kehendak, sehingga apa yang telah
dikehendaki oleh salah satu pihak dikehendaki pula oleh pihak yang lainnya.
Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas artinya betul-betul atas kemauan
sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan dari pihak manapun, tidak ada kekhilafan dan
tidak ada penipuan (Pasal 1321, 1322, 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu,
tidak berada di bawah ancaman, baik dengan paksaan, kekerasan jasmani, maupun
dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti, misalnya dengan membuka rahasia,
sehingga orang itu terpaksa menyetujui perjanjian itu (Pasal 1324 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
Tidak ada kekhilafan atau kekeliruan, apabila salah satu pihak tidak khilaf
tentang hal yang pokok yang diperjanikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang
menjadi obyek perjanjian atau dengan siapa diadakan perjanjian itu.
Tidak ada penipuan, dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan
menipu. Menipu adalah dengan sengaja melakukan tipuan muslihat dengan
memberikan keterangan-keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak
lawannya supaya menyetujui (Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Misalnya dalam jual beli seorang penjual mengatakan kepada calon pembeli bahwa
barang itu masih baru padahal sebelumnya ia telah mengecat barang itu, ia
memberikan kesan yang memeperdayakan seolah-olah keadaannya baru sehingga
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Pada umumnya seorang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum,
apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai 21 tahun ataupun telah kawin
walaupun benar belum berumur 21 tahun. Di dalam Pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum perdata disebutkan beberapa golongan orang yang tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum, yaitu orang yang ditaruh di bawah pengampuan dan
wanita bersuami. Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh
wali mereka dan bagi istri ada izin dari suaminya.
Dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963
tanggal 4 Agustus 1963, istri sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum
jadi tidak perlu lagi izin dari suaminya dan Pasal 108 dan 110 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum
dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya,
sudah tidak berlaku lagi.
Selain kecakapan, ada lagi yang disebut kewenangan, apabila ia mendapat
kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya
membuat perjanjian. Tidak ada kewenangan apabila tidak mendapat kuasa untuk itu.
Jadi untuk dapat membuat suatu perjanjian, seorang itu harus dewasa, sehat
pikirannya dan tidak dibatasi atau dikurangi wewenangnya di dalam melakukan
perbuatan hukum.
Badan hukum yang membuat perjanjian harus memenuhi syarat-syarat badan
a. Adanya harta kekayaaan terpisah
b. Mempunyai tujuan tertentu
c. Mempunyai kepentingan sendiri
d. Ada organisasi
Dengan terpenuhinya keempat syarat tersebut, barulah badan hukum tersebut
bisa disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum dan
setelah suatu badan hukum memenuhi syarat sebagai pendukung hak dan kewajiban,
maka badan hukum tersebut telah bisa melakukan hubungan hukum.
3. Suatu hal tertentu
Suatu perjanjian disyaratkan harus mengenai hal tertentu. Hal ini penting
untuk menetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Barang yang menjadi
objek perjanjian sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Misalnya jual beli cabai,
harus ditentukan jenis apa, cabai rawit atau cabai kering.
4. Suatu sebab yang halal
Yang dimaksud sebab atau causa yaitu mengenai isi perjanjian yang
menggambarkan perjanjian yang menunjukkan tujuan yang akan dicapai oleh
pihak-pihak. Misalnya dalam perjanjian jual beli, isi perjanjian adalah pihak yang satu
menghendaki hak milik atas barang dan pihak lainnya menghendaki sejumlah uang
diserahkan, selanjutnya sebab atau causa itu halal menurut undang-undang, apabila
tidak dilarang Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan
Suatu sebab atau causa yang dikatakan tidak halal (dilarang undang-undang))
misalnya jual beli candu, membunuh orang. Perjanjian yang bercausa tidak halal
(bertentangan dengan ketertiban umum) misalnya jual beli manusia sebagai budak,
mengacaukan ajaran agama tertentu. Perjanjian yang bercausa tidak halal
(bertentangan dengan kesusilaan) membocorkan rahasia perusahaan, berbuat cabul.
Sebenarnya keempat syarat tersebut di atas, dapat dibagi ke dalam dua
kelompok yaitu:52
a. Syarat subyektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subyek-subyek
perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
mereka yang membuat perjanjian dimana hal ini meliputi kesepakatan mereka
yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
b. Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, ini
meliputi hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Dalam suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi, maka salah satu
pihak mempunyai hak meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat
meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu
mengikat juga selama tidak dibatalkan (oleh hakim), atas permintaan pihak yang
berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian nasib suatu perjanjian seperti itu
tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.
52
Lain halnya dengan suatu syarat obyektif, jika suatu syarat itu tidak terpenuhi,
maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah ada
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak
mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah
gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan
hakim.
Asas kebebasan berkontrak, yang menjadi asas utama dalam suatu perjanjian
dalam suatu perjanjian pada mulanya dipengaruhi oleh pandangan individual dan
kebebasan individu baik kebebasan berkontrak berpangkal pada kesamaan kedudukan
para pihak, pandangan terhadap hak milik sebagai hak yang paling sempurna serta
adanya prinsip bahwa setiap orang harus memiliki sendiri setiap kerugian yang
ditimbulkan akibat perbuatan suatu perjanjian serta setiap orang harus dipandang
sama dan diperlukan sebagai orang bebas dan dengan kedudukan maupun hak yang
sama.
Kebebasan liberal yang mengagungkan individualisme mempunyai
pandangan bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama akan dapat
menimbulkan ketidakadilan yang besar bagi seseorang, baik di bidang sosial, politik
maupun ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus ikut campur tangan dalam hal
kelompok-kelompok tertentu, yang pada umumnya mempunyai kedudukan sosial dan
ekonomi yang relatif lemah.53
Campur tangan pemerintah diperlukan, ditinjau dari pihak pengusaha
dipandang layak karena bertujuan untuk melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini
buruh, agar tercapai keseimbangan yang mendekatkan masyarakat pada tujuan negara
yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk tiap-tiap warga
negara.
Di dalam penjelasan umum, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang
Perjanjian Buruh antara lain disebutkan bahwa pada pokoknya mengakui adanya serta
berdasarkan atas kemauan dari kedua belah pihak itu, serta berdasarkan atas kemauan
dari kedua belah pihak itu, untuk mendapatkan persetujuan tentang apa yang
dikehendaki. Tetapi walaupun demikian kekuasaan itu harus dibatasi, yakni di dalam
lingkungan apa yang oleh pemerintah yang dianggap layak.
Dalam perjanjian pada umumnya dan perjanjian kerja pada khususnya asas
kebebasan berkontrak tetap menjadi asas yang utama, namun dalam ketentuan yang
mengatur tentang itu terdapat ketentuan-ketentuan tersendiri, hal ini dikarenakan
antara pihak yang mengadakan perjanjian kerja terdapat perbedaan-perbedaan
tertentu, baik mengenai kondisi, kedudukan hukum dan berbagai hal antara mereka
yang membuat perjanjian kerja. Pihak yang satu, dalam hal ini pekerja mempunyai
53
kedudukan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kedudukan dan kondisi dari
pihak lainnya yaitu pihak pengusaha atau majikan.
Dengan adanya kenyataan bahwa antar para pihak yang mengadakan
perjanjian kerja tersebut ada perbedaan, yaitu kondisi dan kedudukan yang berbeda
dan tidak seimbang sehingga diperlukan adanya intervensi dari pihak ketiga yaitu
pemerintah guna memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah terutama sewaktu
mengadakan perjanjian kerja.
B. Pengaturan Tentang Perjanjian Kerja
Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan
perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini
disebabkan jika di dalam suatu perjanjian antara pihak yang membuatnya mempunyai
derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja, karena antara
para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai
kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai
aspek yang melingkari di sekelilingnya, maka kenyataan menunjukkan bahwa
kedudukan dan derajat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut
menjadi tidak seimbang.54
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut arbeidsoverencom
mempunyai beberapa pengertian. KUHPerdata memberikan pengertian perjanjian
54
kerja sebagai suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan dirinya
untuk di bawah perintah yang lain yaitu majikan untuk sewaktu-waktu tertentu
melakukan suatu pekerjaan dengan menerima upah.55
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan
pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban
kedua belah pihak.56
Selain pengertian normatif di atas, Iman Soepomo berpendapat bahwa pada
dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan terjadi setelah diadakan
perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupannya
untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan
kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.57 Perjanjian
yang demikian itu disebut perjanjian kerja.
Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja,
yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi
berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan
kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat tentang
perburuhan.58 Dengan demikian adalah kurang tepat bila Mr. Wirjdono Prodjodikoro
55
Pasal 1601 a KUHPerdata. 56
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. 57
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2003), hlm. 70.
menggunakan istilah perburuhan untuk menunjuk istilah perjanjian kerja. Sedangkan
untuk perjanjian kerja beliau menggunakan istilah persetujuan perburuhan bersama.59
Mr. R. Subekti juga menggunakan secara kurang tepat istilah persetujuan perburuhan
untuk perjanjian kerja sedangkan perjanjian perburuhan diberinya nama persetujuan
perburuhan kolektif.60
Dari pengertian yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas
menunjukkan bahwa posisi yang satu (pakerja/buruh) adalah tidak sama dan
seimbang yaitu di bawah. Apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak majikan
dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja maka posisi
hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam posisi yang sama dan seimbang.
Jika menggunakan Pasal 1313 KUHPerdata, batasan pengertian perjanjian
adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain
untuk melakukan sesuatu hal.
Bekerja pada pihak lainnya menunjukkan bahwa pada umumnya hubungan itu
sifatnya adalah bekerja di bawah pihak lain. Sifat ini perlu dikemukakan untuk
membedakan dari hubungan antara dokter misalnya dengan seseorang yang berobat
dimana dokter itu melakukan pekerjaan untuk orang yang berobat namun tidak berada
di bawah pimpinnannya. Karena itu perjanjian antara dokter dengan orang berobat
bukanlah merupakan perjanjian kerja melainkan perjanjian melakukan pekerjaan
59
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu dalam Iman Soepomo, Ibid.
60
tertentu. Jadi d