• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN PEKERJA DALAM PERJANJIAN WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWT) MENURUT UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGAKERJAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN PEKERJA DALAM PERJANJIAN WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWT) MENURUT UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGAKERJAAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

YUSTISIA MERDEKA: Jurnal Ilmiah Hukum

DALAM PERJANJIAN WAKTU TIDAK TERTENTU (PKWT)

MENURUT UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2013

TENTANG KETENAGAKERJAAN

Krista Yitawati

Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun

Abstrak

Dari jurnal ini menyimpulkan, pelaksanaan perlindungan Perjanjian pekerja / buruh Ketenagakerjaan untuk jangka waktu tertentu, jika dilakukan sesuai dengan aturan yang ada, sudah ada perlindungan yang memadai bagi pekerja / buruh Perjanjian Kerja untuk jangka waktu tertentu, hanya saja di berlatih masih banyak kendala yang disebabkan oleh aturan Perjanjian Kerja jelas tentang penerapan jangka waktu tertentu, sehingga penyimpangan dari pelaksanaan pelaksanaan perlindungan pekerja / buruh Perjanjian kerja waktu tertentu. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tentang perlindungan pekerja / buruh antara lain, kesulitan yang berhubungan dengan peraturan, tetapi juga kesulitan yang berhubungan dengan perjanjian kerja, dan yang terakhir adalah pengawasan kendala. Solusi untuk masalah ini, pemerintah harus segera melakukan perbaikan dengan pengaturan dari Perjanjian Kerja pekerja / buruh Waktu Tertentu (PKWT), membuat perjanjian kerja format baku, dan sebaiknya setiap karyawan pengawas memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan langsung terhadap pelanggaran terjadi dalam perjanjian Kerja waktu tertentu pekerja / buruh (PKWT) yang dilakukan oleh perusahaan.

Kata kunci: perlindungan hukum, perjanjian kerja, waktu tertentu (PKWT) Abstract

From this journal concluded, the implementation of the protection of the workers / laborers Employment Agreement for specific time periods, if done in accordance with existing rules, there are already adequate protection to workers / laborers Employment Agreement for specific time periods, it's just that in practice there are still many obstacles caused by unclear Working Agreement rules on the application of specific time periods, resulting in a deviation from the implementation of the implementation of the protection of the workers / laborers labor Agreement Specific time. The obstacles encountered in the implementation of the employment agreement specified time (PKWT) on the protection of workers / laborers among others, the difficulties associated with the regulations, but it also difficulties associated with labor agreements, and the last is a constraint supervision.

(2)

The solution to this problem, the government should immediately make improvements to the settings of the worker / laborer Employment Agreement Specific Time (PKWT), making format employment agreement raw, and preferably every employee supervisor has the authority to take action directly against the violation occurs in the worker / laborer Certain time Employment agreement (PKWT) conducted by the company. Keywords: law protection, employment agreement a certain time(PKWT)

memperoleh pekerjaaan dan penghasilan yang dapat mendatangkan kesejahteraan.

Perjanjian kerja merupakan sebuah awal dari terjalinnya hubungan kerja antara pihak pengusaha dan pekerja. Menurut Sunjung H Manulang, hubungan kerja adalah “suatu hubungan antara pengusaha dengan pekerja yang timbul kerena perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu maupun waktu tidak tentu”.1

Perjanjian kerja yang dibuat antara peng usaha dan pekerja atau buruh ini me-lahirkan suatu hubungan hukum yaitu hubungan kerja. Perjanjian kerja merupakan titik tolak berlakunya hubungan kerja harus diwujudkan dengan sebaik-baiknya, dalam arti mencerminkan rasa keadilan baik bagi pekerja maupun pengusaha, karena kedua pihak ini akan terlibat dalam suatu hubungan kerja. Pelaksanaan pekerjaan dalam hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha diperlukan suatu perangkat hukum untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak terhadap masalah yang timbul pada saat pelaksanaan pekerjaan. Perlindungan dan kepastian hukum ini dapat terjamin dengan adanya perjanjian kerja antara para pihak yang membuatnya.

1 Sunjun H Manulang. 1990. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta, hal 63.

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Guna mencapai tujuan tersebut pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselarasan, keseimbangan dan kebulatan tekad yang utuh dalam seluruh kegiatan pembangunan.

Pembangunan sektor ketenagakerjaan merupakan bagian dari upaya pembangunan sumber daya manusia dan merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ini diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia, serta kepercayaan diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera adil dan makmur, baik secara material maupun spritual.

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap warga negara mempunyai hak atas pekerjaan dan peng-hidupan yang layak bagi kemanusiaan”, hal ini berarti bahwa salah satu tujuan penting dari pembangunan adalah memberikan kesempatan bagi tiap warga negara untuk

(3)

Pasal 50 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pada dasarnya ”hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja atau buruh”, sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian kerja menurut Pasal 1 anggka 14 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah ”perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak”.

Ketentuan tentang perburuhan dulu diatur dalam KUH Perdata dalam Buku III Bab 7A , peraturan ini bersifat liberal karena sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga dalam banyak hal banyak yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Perjanjian kerja diatur yang diatur dalam Bab 7A Buku III KUH Perdata semula merupakan kebijakan hukum yang bersifat privat yaitu menyangkut hubungan antara dua pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut.

Hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja ini bila tetap diserahkan pada para pihak maka tujuan hukum perburuhan untuk menciptakan keadilan sosial dalam bidang perburuhan akan sulit tercapai karena pihak yang kuat akan selalu menguasai pihak yang lemah. Pengusaha sebagai pihak yang kuat tentunya akan menekan pihak pekerja yang berada pada posisi yang lemah. Melihat kondisi yang demikian maka pemerintah turut serta dalam menetapkan kebijakan publik dalam bidang perburuhan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan dibidang perburuhan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap kewajiban dan hak pengusaha maupun pekerja, misalnya masalah pengupahan tidak berlaku lagi ketentuan yang dalam KUH Perdata namun diberlakukan Peraturan Pemerintah

No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlidungan Upah yang sekarang diubah lagi menjadi Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Sektor ketenagakerjaan merupakan suatu masalah yang rumit, karena berkaitan dengan hubungan antara pekerja dan pengusaha yang bersifat sub ordinatif (atasan dan bawahan) sehingga sering menimbulkan anggapan bahwa pekerja merupakan pihak yang lemah oleh karena itu diperlukan peranan dari pemerintah untuk melindungi pekerja.

Penyebab terjadinya akibat tersebut terdapat berbagai faktor, antara lain adalah perkembangan perekonomian yang demikian cepat. Sehingga perusahaan dituntut untuk memberikan pelayanan yang serba lebih baik, akan tetapi dengan biaya yang lebih murah sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Akibatnya banyak perusahaan yang mengubah struktur mana-jemen perusahaan mereka agar menjadi lebih efektif dan efisien, serta biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam melakukan kegiatan produksinya lebih kecil, dimana salah satunya adalah dengan cara memborongkan pekerjaan kepada pihak lain atau dengan cara mempekerjakan pekerja/buruh dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Dengan menerapkan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tersebut, biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk suatu pekerjaan menjadi lebih kecil, karena perusahaan tidak harus memiliki tenaga kerja/pekerja dalam jumlah yang banyak. Sebagaimana diketahui apabila perusahaan memiliki pekerja yang banyak, maka perusahaan harus memberikan berbagai tunjangan untuk kesejahteraan para pekerja, seperti tunjangan pemeliharaan kesehatan, tunjangan pemutusan hubungan kerja (PHK),

(4)

tunjangan penghargaan kerja dan sebagainya. Akan tetapi dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), maka biaya tersebut dapat ditekan.

Sebenarnya tidak ada larangan hukum bagi perusahaan untuk menerapkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), karena semua itu sudah diatur secara jelas dan tegas oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikenal dua bentuk perjanjian kerja yang berdasarkan waktu, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).2

Hal yang menimbulkan permasalahan adalah banyaknya terjadi pelanggaran dalam penerapan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Di mana banyak terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), atau dengan kata lain Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dilaksanakan tidak sesuai atau bahkan tidak mengacu kepada aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Kete-nagakerjaan.

Dalam prakteknya di lapangan, selain penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) 2 Sentosa Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia TentangKetenagakerjaan ( Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2005), hal. 38.

yang dilaksanakan juga sangat merugikan pekerja. Sebagai contoh banyak pengusaha yang melakukan pelanggaran dengan memakai pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk mengerjakan pekerjaan yang bersifat tetap/permanen di perusahaannya.

Kerugian lain penerapan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah, selain tidak memberikan kepastian terhadap hubungan kerja yang ada juga upah kerja yang diberikan lebih murah serta kurangnya bahkan tidak ada perhatian sama sekali dari pengusaha, karena status pekerja hanya sebagai karyawan tidak tetap dan hanya bekerja untuk jangka waktu sebentar saja. Yang lebih berbahaya lagi dalam beberapa waktu belakangan ini, Per-janjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sudah menjadi semacam trend bagi pengusaha untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Dari keadaan tersebut tentunya pihak yang paling dirugikan adalah tenaga kerja atau pekerja atau buruh yang bekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tersebut. Karena selain perlindungan dan syarat kerja yang diberikan sangat jauh dari ketentuan yang seharusnya dan sewajarnya diberikan, juga terdapatnya perbedaan yang sangat jauh pada perlindungan yang diberikan jika dibandingkan dengan pekerja/tenaga kerja yang dipekerjakan dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Namun demikian penegakan hukum terhadap keadaan ini juga menjadi sebuah dilematis tersendiri, karena di tengah keadaan dimana pengangguran sangat tinggi secara logika akan terpikir, mana yang lebih baik menyediakan lapangan kerja untuk banyak orang dengan gaji yang mungkin kecil dan

(5)

syarat kerja serta ketentuan kerja yang tidak memadai atau rendah atau belum sepenuhnya wajar, atau menggaji sedikit pekerja dengan gaji yang baik atau wajar akan tetapi hanya memberikan sedikit lapangan kerja serta membuat banyak pengangguran. Memang idealnya adalah menyediakan banyak la-pangan kerja dengan gaji yang wajar/layak. Hal tersebut juga menjadi alasan banyaknya diterapkan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang dikaji dalam jurnal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan pekerja/buruh dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?

2. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam pem-berian perlindungan pekerja/buruh dan bagaimana solusinya ?

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap objek penulisan dengan berpedoman pada peraturan per-undang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan.

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.3

3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, h. 93.

Fakta yang ada dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan yang masih berlaku. Undang-undang dan regulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Setelah metode pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan yang digunakan selanjutnya adalah pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pan-dangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.4 Dalam penulisan ini, pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan adalah pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam hukum ketenagakerjaan terkait dengan perjanjian kerja.

Untuk memecahkan rumusan masalah dalam penelitian ini, diperlukan adanya sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Sumber bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Selain menggunakan bahan-bahan hukum primer, penelitian ini juga menggunakan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain buku-buku literatur, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, serta komentar-komentar para ahli atas putusan pengadilan. Khususnya yang berkaitan dengan

(6)

perjanjian kerja waktu tertentu dalam hukum ketenagakerjaan.

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Perlindungan Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Secara umum tentang perlindungan terhadap pekerja/buruh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun belakangan ini dalam masyarakat banyak terjadi keresahan terutama tentang pekerja yang melaku kan pekerjaan dengan sistem kontrak. Kere sahan dari masyarakat itu timbul karena dalam kenyataannya terdapat perbedaan kesejah-teraan yang sangat mencolok yang diterima oleh pekerja dengan sistem kontrak jika dibandingkan dengan pekerja tetap.

Pada kenyataannya sekarang ini di tengah adanya keresahan dari masyarakat tersebut, justru banyak perusahaan-perusahaan yang mempunyai kecenderungan untuk memakai para pekerja dengan sistem kontrak tersebut, dan pada umumnya dilakukan melalui pihak ketiga atau dikenal dengan istilah perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Jadi perusahaan yang membutuhkan pekerja/buruh baru untuk bekerja di perusahaannya dapat meminta kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja untuk mencarikan pekerja/buruh sesuai dengan kriteria yang diinginkannya.

Jika diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pelaksanaan pekerjaan dengan sistem kontrak bukanlah hal yang dilarang, karena dalam kenyataannya ada 2 (dua) bentuk pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu yang dipraktekkan, yaitu ada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

yang dilakukan antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dimana pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dilakukan antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja ini lebih dikenal dengan istilah outsourcing.

Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dilakukan antara pekerja/ buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja ini lebih dikenal dengan istilah outsourcing, diman pekerja/buruh yang berada di bawah Perusahaan Outsourcing/ Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja akan dipekerjakan kepada perusahaan lain yang memberikan pekerjaan kepada Perusahaan Outsourcing/Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja. Meskipun bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan, namun semua tanggung jawab terhadap pekerja berada di Perusahaan Outsourcing/Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja. Dengan kata lain pekerja/buruh yang ada di Perusahaan Outsourcing dipekerjakan atas nama Perusahaan Outsourcing untuk melakukan pekerjaan yang diberikan kepada Perusahaan Outsourcing oleh perusahaan pemberi pekerjaan. Dasar hukum dalam pelaksanaan hal sebagaimana diterangkan di atas adalah Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi : perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Sebenarnya jika dilihat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah ada perlindungan yang diberikan terhadap pekerja/buruh, termasuk mereka yang bekerja dengan sistem kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Hanya saja dalam penerapannya tidak semua

(7)

yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, terutama yang terkait dengan ketenagakerjaan.

Menurut Soepomo dalam Asikin yang dikutip oleh Abdul Hakim, perlindungan tenaga kerja dapat dibagi menjadi tiga macam, yakni :5

1. Perlindungan Ekonomis

Yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk apabila tenaga kerja tersebut tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.

2. Perlindungan Sosial

Yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, ke-bebasan berserikat dan perlindungan untuk berorganisasi.

3. Perlindungan Teknis

Yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Perlindungan tenaga kerja sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertujuan untuk menjamin berlangsungnya hubungan kerja yang harmonis antara pekerja/buruh dengan pengusaha tanpa disertai adanya tekanan-tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Oleh karena itu pengusaha yang secara sosio-ekonomi memiliki kedudukan yang kuat wajib membantu melaksanakan ketentuan perlindungan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya telah diatur berbagai

perlin-5 Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenaga-kerjaan Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 61-62.

dungan terhadap pekerja/buruh, termasuk pekerja/buruh yang memakai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Beberapa perlindungan terhadap pekerja/buruh yang memakai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya, yaitu :

a. Perlindungan Terhadap Pekerjaan Yang Bersifat Permanen

Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur secara tegas, bahwa terhadap pekerja/ buruh yang bekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya dapat dilakukan untuk pekerjaan tertentu.

Pekerjaan tertentu tersebut adalah sebagai-mana diatur pada Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ke-tenaga kerjaan yang berbunyi: perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

1) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

2) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaian-nya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

3) Pekerjaan yang bersifat musiman; atau 4) Pekerjaan yang berhubungan dengan

produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Pada Pasal 59 ayat (1) di atas terlihat, bahwa pekerjaan yang boleh dilakukan terhadap pekerja/buruh dengan memakai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanyalah sebagaimana diterangkan dalam

(8)

Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di atas.

Apabila dalam pelaksanaannya, pengusaha yang memakai pekerja/buruh dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak mematuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, terdapat sanksi yang akan diterima oleh pengusaha yang juga merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (7) yang berbunyi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Terhadap pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh pekerja/buruh dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Dari keterangan yang dikemukakan di atas terlihat, bahwa perlindungan ter-hadap pekerjaan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan memakai sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang di-berikan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sangat baik atau sangat terlindungi, dimana para pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) jika disuruh melakukan pekerjaan yang bukannya pekerjaan mereka, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, maka status mereka demi hukum atau oleh hukum bukan lagi menjadi pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) namun telah berubah statusnya menjadi pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), yang maknanya dianggap sebagai karyawan/pekerja tetap.

b. Perlindungan Terhadap Upah

Seperti diketahui, tujuan orang bekerja adalah untuk mendapatkan penghasilan atau upah guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian pengupahan merupakan aspek yang sangat penting dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh. Mengingat pentingnya peran upah terhadap perlindungan pekerja/buruh, maka hal ini secara tegas diamanatkan dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi: setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pada penjelasan dari Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 ten-tang Ketenagakerjaan diterangkan, bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/ buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/ buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.

Dari hal di atas terlihat, bahwa per-lin dungan terhadap kesejah-teraan para pekerja/buruh telah diberikan dengan baik oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana ketentuan

(9)

upah ini berlaku secara umum yaitu baik terhadap pekerja/buruh yang diperkerjakan memakai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun pekerja/buruh yang diperkerjakan memakai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Prinsip pengupahan yang dipakai oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah :

1) Hak menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus;

2) Pengusaha tidak boleh mengadakan diskriminasi upah bagi pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh wanita untuk jenis pekerjaan yang sama;

3) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan {Pasal 93 ayat (1)};

4) Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap dengan fomulasi upah pokok minimal 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap (Pasal 94);

5) Tuntutan pembayaran upah pekerja/ buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak (Pasal 96). Guna lebih memberikan upah yang layak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka pemerintah menetapkan adanya upah minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 88 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Terhadap upah minimun yang diterapkan, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membaginya, yaitu sebagaimana yang diatur

pada Pasal 89 ayat (1) yang berbunyi : upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat terdiri dari :

1) Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;

2) Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Ketentuan tersebut lebih lanjut tentang upah diatur dalam PP 78 Tahun 2015 yaitu: a. Kebijakan pengupahan;

b. Penghasilan yang layak; c. Pelindungan Upah; d. Upah minimum;

e. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;

f. Pengenaan denda dan pemotongan Upah; dan

g. Sanksi administratif.

Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan terkait formula tersebut sudah final dan mulai berlaku untuk kenaikan UMP 2016. Terkait soal komponen-komponen dalam Kebutuhan Hidup Layak (KHL), evaluasinya akan berlaku lima tahun. Mengenai jenis dan komponen KHL Formula kenaikan upah cukup diatur dalam Perpres. Aturan turunannya yaitu Peraturan Menteri Ketenaga-kerjaan (Permenaker) akan mengatur selain formula kenaikan. Permenaker, aturan soal upah ada 7 misalnya pendapatan non upah, bonus, dan THR. Kalau soal upah minimum pakai PP. Formulanya pakai UMP, inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Rumusan baru pengupahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) yaitu UMP tahun depan = UMP tahun berjalan + (UMP tahun berjalan x (inflasi + pertumbuhan ekonomi)). Sebagai

(10)

contoh, kondisi UMP di DKI Jakarta dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi masing-masing 5%. Maka UMP sekarang Rp 2,7 juta, ditambah Rp 2,7 juta dikali 10%. Artinya Rp 2,7 juta ditambah Rp 270.000 yang berarti Rp 2,97 juta.6

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Terhadap Pemberian Perlindungan Pekerja/Buruh dan Solusinya

Kendala-kendala yang terdapat dalam pemberian perlindungan terhadap pekerja/ buruh yang bekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) antara lain adalah :

1. Kendala Yang Berkaitan Dengan Per-aturan

Seperti diketahui pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada dasarnya hanya untuk pekerjaan tertentu sebagaimana diatur pada Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaian-nya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. Pekerjaan yang berhubungan dengan

produk baru, kegiatan baru, atau produk 6 http://news.detik.com/berita/3079106/ cermati-seksama-ini-isi-pp-78-yang-jadi-alasan-buruh-demo-ke-jalan-dan-mogok, 24 November 2015 at 12.41 WIB.

tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak mudah untuk mendefinisikan makna dari untuk “pekerjaan tertentu” yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena penilaian dari sisi yang berbeda akan menghasilkan pandangan yang berbeda tentang pekerjaan tertentu tersebut. Serta tidak ada yang bisa menjamin bahwa pekerjaan tersebut akan selesai dalam sekali waktu. Karena dalam kenyataannya banyak pekerja/ buruh yang memakai sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang telah bekerja lebih dari 3 (tiga) tahun untuk pekerjaan yang sama, akan tetapi mereka memang diputus selama sebulan, sebelum dilanjutkan dengan kontrak baru.

2. Kendala Yang Berkaitan Dengan Per-janjian Kerja

Perjanjian kerja biasanya telah disedia-kan secara sepihak oleh perusahaan yang akan mempekerjakan pekerja/buruh ter-sebut, dimana isi dari perjanjian kerja tersebut sudah dibuat secara sepihak oleh per usahaan dan pihak pekerja/buruh hanya tinggal menandatangani saja sebagai bentuk menyetujuinya atau dapat menolak perjanjian kerja tersebut. Berhubung isi perjanjian kerja telah dibuat terlebih dahulu secara sepihak oleh perusahaan, maka biasanya isinya cenderung berat sebelah dan lebih memberikan keuntungan kepada pengusaha, dan pekerja/ buruh berada dalam posisi yang dirugikan. Keadaan ini menurut Sri Gambir Melati Hatta, timbul karena kedudukan pengusaha yang kuat baik dalam segi ekonomi maupun kekuasaan, sedangkan pekerja/buruh berada dalam posisi yang lemah karena sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan. Posisi monopoli

(11)

pengusaha ini membuka peluang baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Akibatnya pengusaha mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya.7

3. Kendala Yang Berkaitan Dengan Peng-awasan

Tugas pengawasan di bidang ketenaga-kerjaan dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi dengan menunjuk pegawai pengawas yang memiliki kewajiban dan wewenang penuh dalam melaksanakan fungsi pengawasan dengan baik. Pelaksanaan pengawasan di bidang ketenagakerjaan ini dilakukan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugasnya dan tanggung-jawabnya di bidang ketenagakerjaan, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kendala yang dihadapi oleh badan pengawas ketenagakerjaan dalam pemberian perlindungan pekerja/buruh dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), adalah karena ketidakjelasan peraturan yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), salah satunya adalah terhadap pembuatan kontrak kerja yang dilakukan perusahaan terhadap pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Di mana dalam kontrak kerja sebagaimana yang disyaratkan oleh penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak pernah dijelaskan secara rinci apa pekerjan yang akan dilakukan, apakah sekali selesai atau pekerjaan yang merupakan promosi.

7 Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai

Perjanjian Tak Bernama: PandanganMasyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia , (Bandung : PT. Alumni, 1999), hal. 139.

KESIMPULAN

1. Perlindungan terhadap pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada dasarnya dalam pelaksanaannya belum berjalan secara optimal, mengingat masih sering terjadi pelanggaran, dikarenakan oleh ketidakjelasan aturan tentang penerapan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, khususnya berkenaan dengan pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun, pekerjaan yang bersifat musiman atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan. 2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam

pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pemberian perlindungan pekerja/buruh diantaranya adalah kendala yang berkaitan dengan peraturan, selain itu juga ada kendala yang berkaitan dengan pembuatan/atau bentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), terakhir adalah kendala pengawasan. Untuk kendala tersebut, pemerintah sebaiknya segera melakukan perbaikan terhadap pengaturan pada pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pemerintah sebaiknya membuat format perjanjian kerja waktu tertentu secara baku, dan untuk kendala yang berkaitan dengan pengawasan, dan sebaiknya setiap pegawai pengawas diberikan kewenangan untuk melakukan penindakan langsung terhadap pelanggaran yang terjadi pada pekerja/buruh Perjanjian Kerja Waktu

(12)

Tertentu (PKWT) yang dilakukan oleh perusahaan.

B. Saran

1. Pada setiap kontrak kerja yang memakai sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hendaknya diberikan penjelasan tentang pekerjaan yang akan dilakukan, sehingga terhadap setiap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dibuat menjadi jelas bagi pekerja/buruh, atau mengenai pengaturan persyaratan jenis dan sifat pekerjaan yang selama ini diatur oleh pemerintah, hendaknya diserahkan saja kepada kebutuhan para pihak. 2. Sebaiknya upah yang diberikan kepada

pekerja/buruh dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) lebih ditingkatkan atau disesuaikan dalam bentuk semacam upah minimum bagi pekerja/buruh dengan sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) demi perlindungan bagi mereka, karena belum tentu akan diperpanjang kontraknya atau mendapatkan pekerjaan lagi dalam waktu dekat apabila mereka di berhentikan (PHK).

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenaga-kerjaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003).

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.

Sunjun H Manulang. 1990. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sentosa Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia TentangKetenagakerjaan (Bandung : CV. Nuansa Aulia, 2005).

Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia,(Bandung : PT. Alumni, 1999), hal. 139.

http://news.detik.com/berita/3079106/ cermati-seksama-ini-isi-pp-78-yang- jadialasan-buruh-demo-ke-jalan-dan-mogok, 24 November 2015 at 12.41 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian diperoleh, pemberian pupuk MOP pada tanah Inceptisol Situ Ilir, Bogor dengan status hara K-potensial dan K-tersedia rendah dapat meningkatkan pertumbuhan

Pasal 59 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak dapat diadakan untuk

Dalam hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu, atau PKWT, atau lebih dikenal dengan pekerja kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

Adapun pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala diinginkan orang untuk dilakukan, baik itu yang muncul karena kehendak sendiri ( irâdah munfaridah ),

Apabila dalam pelaksanaannya, pengusaha yang memakai pekerja/buruh dengan sistem perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak mematuhi ketentuan yang diatur dalam

Sejumlah permasalahan perubahan iklim yang berdampak pada kegiatan melaut nelayan dan kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat sebagaimana telah

Untuk mengukir ukiran Toraja tersebut menggunakan warna yang terdiri warna alam yang mengandung arti dan makna tersendiri bagi masyarakat Toraja, yaitu sesuai

Darah Kristus yang menebus adalah darah perjanjian yang membawa kita masuk ke dalam hadirat Allah, ke dalam diri Allah sendiri, dan ke dalam kenikmatan yang penuh akan Allah