UDARA AMBIEN DAN FAKTOR-FAKTOR LAINNYA
DENGAN GEJALA ASMA PADA MURID SEKOLAH DASAR
NEGERI USIA 6-7 TAHUN DI KELURAHAN CIPUTAT
TAHUN 2014
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Oleh:
Reka Yuligawati
NIM.1110101000036
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
ii
Skripsi, 8 Juli 2014
REKA YULIGAWATI, NIM. 1110101000036
Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dan Faktor-Faktor Lainnya dengan Gejala Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
(ix + 81 halaman, 21 tabel, 3 gambar, 3 bagan, 14 lampiran)
ABSTRAK
Emisi gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber pencemaran udara terbesar di perkotaan termasuk Kota Tangerang Selatan. Polutan yang dihasilkannya seperti SO2 berdampak negatif terhadap kesehatan sistem pernapasan manusia, diantaranya
meningkatkan gejala asma. Menurut International Study of Asthma and Allergies in childhood (ISAAC) anak usia 6-7 tahun merupakan prevalensi asma terbesar. Penelitian ini dilakukan pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun pada bulan Maret sampai April 2014 di Kelurahan Ciputat, Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 120 murid dan teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Data penelitian didapat dari data primer berupa kuesioner dan pengukuran konsentrasi SO2 udara ambien dengan menggunakan
Impinger. Data dianalisis secara univariat untuk melihat gambaran masing-masing variabel, analisis bivariat dengan menggunakan chi square untuk melihat hubungan variabel keterpajanan asap rokok, pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, perabotan rumah tangga yang berpotensi sumber alergen, jenis kelamin, riwayat asma, dan pemberian ASI eksklusif terhadap gejala asma, dalam analisis bivariat juga digunakan uji Mann-Whitney untu mengetahui hubungan antar konsentrasi SO2 dengan gejala asma.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi SO2 udara ambien tidak
berhubungan dengan gejala asma (p value 0,878). Variabel yang mempunyai hubungan dengan gejala asma adalah keterpaparan asap rokok (p value = 0,018), riwayat asma (p value = 0,023), dan pemberian ASI eksklusif (p value = 0,029). Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada anggota keluarga untuk tidak merokok supaya anak-anak tidak terpajan dengan asap rokok. Disamping itu, ibu-ibu sebaiknya memberikan ASI eksklusif kepada bayinya untuk mengurangi risiko terjadinya gejala asma pada masa anak-anak.
Kata Kunci : Konsentrasi SO2 dan Asma
iii
REKA YULIGAWATI, NIM. 1110101000036
Association between Ambient Air SO2 Concentration and Others Factors with Asthma Symptoms on Elementary School Students Aged 6-7 Years, Ciputat Village 2014
(ix + 81 pages, 21 tables, 3 pictures, 3 charts, 14 attachments
ABSTRACT research was conducted at the Elementary School students aged 6-7 years in March - April 2014 in Ciputat village, Ciputat district Tangerang Selatan City.
Quantitative study usely cross-sectional design was conducted. The number of samples in this study were 120 pupils and sampling techniques using simple random sampling. Research data obtained from the primary data in the form of questionnaires and measurements of ambient air concentrations of SO2 by impinger. Data were analyzed using
univariate to see an overview of each variable, bivariate analysis using chi square to see the association of exposure to cigarette smoke, use insect repellent, pets, household items potentially a source of allergens, gender, history of asthma, and exclusive breastfeeding variables to the symptoms of asthma, Mann-Whitney test also used to determine the association between the concentration of SO2 and asthma symptoms.
The results showed that ambient air SO2 concentrations is not associated with
asthma symptoms (p value = 0,878). The variables that associated with asthma symptoms
were cigarette smoke exposure (p value = 0.018), history of asthma (p value = 0.023), and exclusive breastfeeding (p value = 0.029). Based on the results of this study are advised to family members should not to smoke, so that the children are not exposed to cigarette smoke. Besides, mothers should give exclusive breastfeedingto her baby to reduce the risk of asthma symptoms in children.
Key Words : SO2 Concentrations and Asthma
vi
Nama : Reka Yuligawati
Jenis kelamin : Perempuan
TTL : Pangwa, 20 November 1992
Alamat asal :Desa Kulam, kemukiman Beuracan, Kec Meureudu, Kab
Pidie Jaya, Provinsi Aceh
Alamat sekarang : Jln Kertamukti No 29 B, Pisangan, Kec Ciputat, Tangerang
Selatan
Agama : Islam
Email : rekayuligawati@yahoo.co.id
Riwayat Pendidikan
2010 – 2014 S1 - Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2007 – 2010 Madrasah Aliyah Jeumala Amal Lueng Putu
2004 – 2007 Madrasah Tsanawiyah Jeumala Amal Lueng Putu
vii
Puji dan syukur penulis panjatkan kehaditat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien Dengan Gejala
Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun
2014”.
Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan
bimbingan, bantuan, serta dukungan dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan
terimakasih terutama ditujukan kepada :
1. Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa
kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti selaku kepala program studi kesehatan masyarakat UIN
Syarif Hidayatullah.
4. Ibu Dewi Utami Iriani,Ph.D dan Ibu Dr. Ela Laelasari,SKM, M.Kes yang
selalu memberikan masukan dan saran, serta meluangkan waktunya dalam
membimbing penulis.
5. DR.Arif Sumantri, M.KM selaku ketua peminatan Kesehatan Lingkungan.
6. Bapak Kepala sekolah SD Negeri 01 Ciputat, Kepala Sekolah SD Negeri
02 Ciputat, Kepala Sekolah SD Negeri 05 Ciputa, Kepala Sekolah SD
viii
thank buat Alm Bapak yang menjadi motivasi kakak dalam belajar dan
terus berusaha untuk menjadi anak yang lebih baik.
8. Jamaah kesehatan lingkungan angkatan 2010 yang selalu semangat dan
optimis.
9. Teman-teman kosan white house Ema, Sulcha, Nia , Alung dan Lina yang
sudah menjadi keluargaku di perantauan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna,
untuk itu saran dan masukan sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan
laporan skripsi ini.
Jakarta, 8 Juli 2014
ix
1.5.1 Bagi Pemerintahan Kota Tangerang Selatan ... 9
1.5.2 Bagi Masyarakat ... 9
1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ... 9
1.6Ruang Lingkup Penelitian ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pencemaran Udara... 11
2.2 Penggolongan Zat-Zat Pencemaran Udara... 11
2.2.1 Berdasarkan Sumber ... 11
2.2.2 Berdasarkan Bahan Atau Zat Pencemar ... 12
2.3 Baku Mutu Kualitas Udara Ambien ... 12
2.4 Sulfur dioksida (SO2) ... 14
2.4.1 Sifat Dan Karakteristik SO2 ... 14
2.4.2 Dampak SO2 Terhadap Kesehatan ... 15
2.5 Asma ... 16
x
2.5.3 Tanda Klinik Dan Gejala Asma ... 23
2.5.4 Jenis-Jenis Asma ... 25
2.5.5 Patofisiologi Asma ... 26
2.6 Kerangka Teori ... 27
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTHESIS 3.1 Kerangka Konsep ... 29
3.2 Definisi Operasional ... 30
3.3 Hipotesis Penelitian ... 31
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 32
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 32
4.2.1 Lokasi ... 32
xi
4.3.2 Sampel ... 33
4.3.3 Pengambilan Sampel ... 35
4.4 Sumber Data ... 36
4.5 Metode Pengumpulan Data ... 37
4.6 Instrumen Penelitian ... 38
4.6.1 Impinger ... 38
4.6.2 Kuesioner... 41
4.7 Pengolahan Data, Analisis Data, dan Penyajian Data ... 41
4.7.1 Pengolahan Data ... 41
xii
5.2.5 Hubungan Perabotan Rumah Tangga Yang Berpotensi Sumber
Alergen Dengan Gejala Asma ... 55
5.2.6 Hubungan Jenis Kelamin Dengan gejala Asma ... 56
5.2.7 Hubungan Riwayat Asma Dengan gejala Asma ... 56
5.2.8 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Gejala Asma ... 57
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ... 58
6.2 Gejala Asma ... 59
6.3 Konsentrasi SO2 Di Udara Ambien ... 60
6.4 Sulfur dioksida (SO2) Udara AmbienDengan Gejala Asma ... 62
6.5 Keterpajanan Asap Rokok Dengan Gejala Asma ... 63
6.6 Pemakaian Obat Nyamuk dengan Gejala Asma ... 65
6.7 Binatang PeliharaanDengan Gejala Asma ... 67
6.8 Perabotan Rumah Tangga dengan Gejala Asma ... 69
6.9 Jenis Kelamin Dengan Gejala Asma ... 71
6.10 Riwayat Asma Dengan Gejala Asma... 72
6.11 ASI Eksklusif Dengan Gejala Asma ... 73
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan... 74
7.2 Saran ... 75
xiii
Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 28 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 29 Bagan 4.1 Skema Pengambilan Sampel ... 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Persentase Gejala Asma ... 45 Gambar 5.2 Gambaran Konsentrasi SO2 Pada SD Negeri Berdasarkan
xiv
Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Ambien ... 13
Tabel 2.2 Pengaruh SO2 Berdasarkan Konsentrasi Terhadap Manusia ... 16
Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 30
Tabel 5.1 Gambaran Gejala Asma ... 44
Tabel 5.2 Uji Normalitas SO2 ... 47
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Keterpajanan Asap Rokok ... 48
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi pemakaian obat nyamuk ... 48
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi kepemilikan binatang Peliharaan ... 49
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Kepemilikan Perabotan Rumah Tangga ... 49
Tabel 5.9 Distribusi Jenis Kelamin ... 50
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Riwayat Asma ... 51
Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI eksklusif ... 51
Tabel 5.12 Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dengan Gejala Asma ... 52
Tabel 5.13 Hubungan Keterpajanan Asap Rokok dengan Gejala Asma ... 53
Tabel 5.14 Hubungan Pemakaian Obat Nyamuk Dengan Gejala Asma ... 54
Tabel 5.15 Hubungan Kepemilikan Binatang Peliharaan dengan Gejala Asma ... 54
Tabel 5.16 Hubungan Kepemilikan Perabotan Rumah Tangga Yang Berpotensi Sumber Alergen dengan Gejala Asma ... 54
Tabel 5.17 Hubungan Jenis Kelamin dengan Gejala Asma ... 56
Tabel 5.18 Hubungan Riwayat Asma dengan Gejala Asma ... 57
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar belakang
Ditinjau dari berbagai sektor yang potensial dalam mencemari
udara, pada umumnya sektor transportasi memegang peran yang sangat
besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Lebih dari 90% polusi udara di
kota-kota yang ada di negara berkembang disebabkan oleh emisi
kendaraan bermotor. Hal ini dikarenakan tingginya jumlah kendaraan yang
tua ditambah dengan pemeliharaan kendaraan yang buruk, infrastruktur
yang tidak memadai dan kualitas bahan bakar yang rendah (UNEP, 2008).
Di kota-kota besar di Indonesia, kontribusi gas buang kendaraan bermotor
sebagai sumber polusi udara mencapai 60-70%. Sedangkan kontribusi gas
buang dari cerobong asap industri hanya berkisar 10-15%, sisanya berasal
dari sumber pembakaran lain, misalnya dari rumah tangga, pembakaran
sampah, kebakaran hutan dan lain-lain (BPLHD Jawa Barat, 2009).
Pertumbuhan sektor transportasi di Indonesia selama tahun
2000-2011 memperlihatkan jumlah kendaraan bermotor meningkat tajam hingga
lebih 4 kali lipat. Sebagai contoh, pada tahun 2000 terdapat sekitar 19 juta
kendaraan sepeda motor, bis, truk dan mobil penumpang Jumlah itu
meningkat menjadi sekitar 85,6 juta pada 2011 (KLH, 2013). Sedangkan
di Provinsi Banten juga terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor,
dari tahun 2009 sampai tahun 2011 tercatat jumlah kendaraan bermotor
meningkat sebanyak 55% (BPS provinsi Banten, 2011). Berdasarkan
(PPSP) Kota Tangerang Selatan (2011) potensi pencemaran udara di Kota
Tangerang Selatan sebagian besar berasal dari emisi kendaraan. Data dari
Satuan lalu lintas Polres Tangerang menunjukan volume kendaraan yang
beraktifitas sekitar 9000 kendaraan/ jam. Begitu juga dengan hasil
pengujian emisi dari 250 unit kendaraan yang terdiri dari 150 unit
kendaraan berbahan bakar bensin dan 100 unit kendaraan berbahan bakar
solar. Dari hasil pengujian emisi pada kendaraan berbahan bakar bensin
dinyatakan lulus uji sebanyak 82% dan yang tidak lulus uji sebanyak 18% .
Sedangkan kendaraan berbahan bakar solar, yang dinyatakan lulus uji
sebanyak 48% dan yang tidak lulus uji sebanyak 52%. Berdasarkan
BPLHD Propinsi DKI Jakarta, kendaraan bermotor yang berbahan bakar
solar seperti truck berkontribusi sebanyak 85% dalam menghasilkan SO2
dibandingkan dengan kendaraan bermotor yang berbahan bakar bensin
yang hanya sekitar 15% (Agustini dkk, 2014).
Emisi gas buang yang dihasilkan dari proses pembakaran pada
kendaraan bermotor dapat bersifat racun dan membuat efek negatif.
Idealnya, pembakaran dalam mesin menghasilkan pembuangan yang tidak
mengganggu kesehatan lingkungan. Tapi kenyataannya tidak semua
pembakaran berlangsung sempurna. Bila pembakaran tidak sempurna,
maka gas buang yang dihasilkan selain menghasilkan gas CO2 dan H2O,
juga menghasilkan gas-gas yang beracun yaitu CO, HC, NOx, dan SOx
(Fuhaid, 2011). Gas-gas tersebut bukan hanya berbahaya bagi kesehatan
masyarakat tapi juga mengancam lingkungan baik secara lokal maupun
Salah satu gas beracun yang berdampak terhadap kesehatan adalah
Sulfur dioksida (SO2). Menurut Environmental Protection Agency (EPA)
bahwa terdapat hubungan antara pajanan jangka pendek terhadap SO2
dengan meningkatnya kunjungan ke bagian gawat darurat dan rawat inap
akibat penyakit pernapasan, terutama pada populasi berisiko termasuk
anak-anak, orang tua, dan penderita asma (EPA, 2013). Dampak
pencemaran udara terhadap tubuh manusia termasuk dari kendaraan
bermotor sangat luas mulai dari hal yang bersifat lokal hingga sistemik.
Paru adalah target organ utama. Beberapa gangguan terhadap paru-paru
adalah asma, bronkhitis dan pneumonia (Achmadi, 2012).
Asma merupakan salah satu penyakit kronis paling umum di dunia
dengan jumlah penderita sekitar 300 juta orang (GINA, 2010).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Global initiative for asthma (GINA)
diperkirakan setiap satu orang diantara 250 kematian diperkirakan
meninggal akibat asma (Nasidah, 2010). Laporan Center for Disease
Control (CDC) tahun 2000 mengenai prevalensi asma pada anak usia < 18
tahun sebelum dan sesudah tahun 1997 di Amerika Serikat, terlihat
adanya peningkatan prevalensi asma sebesar 5% setiap tahun dari tahun
1980 sampai 1995 (Afdal, 2012).
Di negara berkembang, prevalensi asma sebelumnya dianggap
rendah tetapi studi terbaru menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
kejadian asma pada anak, peningkatan ini terjadi terutama bagi yang
tinggal di daerah perkotaan (Kistnasamy, 2005). Data dari Sistem
peningkatan Case Fatality Rate (CFR) yang disebabkan penyakit asma di
Indonesia yaitu 1,79% pada tahun 2009 menjadi 2,98% pada tahun 2010
(Depkes RI, 2012). Berdasarkan data dari Dinas kesehatan Tangerang
Selatan (2013) jumlah kasus asma di Kota Tangerang Selatan pada tahun
2012 sebanyak 4.342 kasus. Disamping itu penyakit asma juga termasuk
dalam sepuluh penyakit terbanyak rawat UGD puskesmas perawatan Kota
Tangerang Selatan (Profil Dinkes Tangerang Selatan, 2012).
Menurut Herdi (2011) asma adalah penyakit yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita
oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan
sampai berat, bahkan dapat mematikan. Pada anak, penyakit asma dapat
mempengaruhi masa pertumbuhan, karena anak yang menderita asma
sering mengalami kambuh sehingga dapat menurunkan prestasi belajar di
sekolah (Oemiati, 2010).
Tingkat prevalensi asma yang cukup besar menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang serius. Pada tahun 1995 di Amerika Serikat,
biaya untuk pengobatan asma mencapai 250 juta dollar AS, sedangkan
penghitungan kehilangan hari sekolah, aktifitas atau biaya lain bisa
mencapai 1,2 milyar dollar AS, belum lagi biaya akibat hilangnya waktu
kerja orang tua untuk mengurus anaknya, dan penderita asma dapat
mengalami keterbatasan dan penurunan kualitas hidup yang serius (Afdal,
2012). Begitu juga di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
Policy in Indonesia di tahun 2012 memperkirakan bahwa biaya kesehatan
penduduk Jakarta pada tahun 2010 adalah berkisar antara Rp. 697,9 miliar
sampai dengan Rp. 38,5 trilliun. Biaya besar ini merupakan akibat
penyakit yang berkaitan dengan pencemaran udara salah satunya adalah
penyakit asma (KLH, 2013).
Di Indonesia faktor pemicu asma baik di desa maupun di kota
masih sangat tinggi antara lain dari asap kebakaran hutan, asap kendaraan
bermotor dan asap atau debu industri. Disamping itu perilaku merokok,
pemakaian bahan kimia (obat anti nyamuk dan parfum) dan menjamurnya
makanan produk massal industri yang mengandung pewarna, pengawet
dan Monosodium glutamat (MSG) memberi kontribusi yang bermakna
pada penyakit ini (Sihombing, 2010).
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunyer, et
al (2003) menyatakan bahwa SO2 berhubungan dengan kejadian asma
pada anak-anak, terbukti bahwa penurunan tingkat polusi akan berdampak
pada penurunan jumlah kejadian asma pada anak-anak di Eropa. Pada
orang normal, konsentrasi SO2 lebih dari 5 ppm dapat menyebabkan
bronkokontriksi, sedangkan pada penderita asma konsentrasi SO2 lebih
dari 1 ppm sudah bisa menyebabkan bronkokontriksi (Kistnasamy, 2005).
Menurut Kowalak (2011) meskipun asma menyerang semua usia,
sekitar 50% pasien asma berusia kurang dari 10 tahun. Namun dalam
penelitian ini, peneliti memilih anak usia 6-7 tahun sebagai populasi
Allergies in childhood (ISAAC) merupakan prevalensi asma terbesar
(Afdal, 2012).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti hubungan konsentrasi SO2 yang merupakan salah satu
komponen zat pencemar yang dihasilkan dari emisi kendaraan dengan
gejala asma pada murid SD usia 6-7 tahun di SD Negeri yang berada
di Kelurahan Ciputat, Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.
Disamping itu, selama ini peneliti belum pernah menemukan
penelitian tentang hubungan SO2 dengan asma di Indonesia. Penelitian
yang pernah dilakukan sebelumnya adalah mengenai hubungan NO
dengan asma dan SO2 dengan ISPA dengan menggunakan data
sekunder.
1.2Rumusan masalah
Beberapa penelitian sebelumnya telah melihat hubungan antar
konsentrasi SO2 dengan kejadian asma pada anak-anak. Studi terkini
menyatakan pajanan jangka pendek terhadap SO2, mulai 5 menit sampai
24 jam mempunyai efek merugikan terhadap kesehatan antara lain
bronkokontriksi dan meningkatnya gejala asma (EPA, 2013). Berdasarkan
observasi, peneliti melihat terdapat sejumlah SD yang terletak di samping
jalan yang mempunyai kepadatan lalu lintas yang tinggi sehingga
kemungkinan murid untuk terpajan dengan SO2 sangat tinggi. Berdasarkan
uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana
dampak terhadap gejala asma pada murid SD usia 6-7 tahun di Kelurahan
Ciputat yang sering melakukan aktivitas di pekarangan sekolah.
1.3Pertanyaan penelitian
1. Berapa prevalensi murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan
Ciputat yang mempunyai gejala asma?
2. Bagaimana gambaran konsentrasi SO2 udara ambien di pekarangan
SD Negeri yang ada di Kelurahan Ciputat?
3. Bagaimana gambaran keterpajanan asap rokok, pemakaian obat
nyamuk, binatang peliharaan, perabotan rumah tangga yang
berpotensi sumber alergen, jenis kelamin, riwayat asma, dan
pemberian ASI eksklusif pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di
Kelurahan Ciputat?
4. Apakah ada hubungan antara faktor Lingkungan (konsentrasi SO2
udara ambien, keterpajanan asap rokok, pemakaian obat nyamuk,
binatang peliharaan, dan perabotan rumah tangga yang berpotensi
sumber alergen) dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia
6-7 tahun di Kelurahan Ciputat?
5. Apakah ada hubungan antara faktor individu (jenis kelamin dan
riwayat asma) dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7
tahun di Kelurahan Ciputat?
6. Apakah ada hubungan antara faktor perilaku (pemberian ASI
eksklusif) dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7
1.4Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan konsentrasi SO2 udara ambien dan
faktor-faktor lain yang berhubungan dengan gejala asma pada
murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi gejala asma pada murid SD Negeri
usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
2. Mengetahui gambaran konsentrasi SO2 ambien di
pekarangan SD Negeri yang ada di Kelurahan Ciputat.
3. Mengetahui gambaran faktor keterpajanan asap rokok,
pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, Perabotan
rumah tangga yang berpotensi sumber alergen, jenis
kelamin, riwayat asma, dan pemberian ASI eksklusif pada
murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
4. Mengetahui hubungan antara faktor lingkungan
(konsentrasi SO2 udara ambien, keterpajanan asap rokok,
pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, perabotan
rumah tangga yang berpotensi sumber alergen) dengan
gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di
Kelurahan Ciputat.
5. Mengetahui hubungan antara faktor individu (jenis kelamin
dan riwayat asma) dengan gejala asma pada murid SD
6. Mengetahui hubungan antara faktor perilaku (pemberian
ASI eksklusif) dengan gejala asma pada murid SD Negeri
usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
1.5 Manfaat penelitian
1.5.1 Pemerintahan Kota Tangerang Selatan
Untuk mengetahui prevalensi murid usia 6-7 tahun yang
mempunyai gejala asma di SD Negeri yang berada di
wilayah Kelurahan Ciputat.
1.5.2 Masyarakat
Memberikan informasi kepada murid SD serta orang tua
mereka tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
gejala asma supaya mereka mengetahui dan dapat
melakukan pencegahan untuk menimalisasi timbulnya
gejala asma.
1.5.3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa/I jurusan kesehatan
masyarakat UIN Syarif Hidayatullah dan pengembangan
ilmu bidang kesehatan masyarakat
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada murid usia 6-7 tahun (usia 6-7
tahun) di SD yang berada di wilayah Kelurahan Ciputat yang
bertujuan untuk mengetahui apakah konsentrasi SO2 udara ambien
berhubungan dengan gejala asma pada anak pada usia tersebut dengan
juga memasukkan faktor-faktor lain yang diduga juga berhubungan
dengan gejala asma pada anak-anak, seperti keterpajanan asap rokok,
pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, perabotan rumah tangga
yang berpotensi sumber alergen, jenis kelamin, riwayat asma, dan
pemberian ASI eksklusif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Definisi Pencemaran Udara
Berdasarkan keputusan menteri negara dan lingkungan hidup RI. No.
KEP-03/MENKLH/1991 menyebutkan bahwa pencemaran udara adalah
masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi dan/atau komponen
lain ke udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang
atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya.
Pencemaran udara dapat terjadi dimana-mana, misalnya didalam rumah,
sekolah, kantor atau yang sering disebut sebagai pencemaran dalam ruang
(indoor pollution). Selain itu gejala ini secara akumulatif juga terjadi di luar
ruang (outdoor pollution) mulai dari tingkat lingkungan rumah, perkotaan,
hingga ke tingkat regional, bahkan saat ini sudah menjadi gejala global
(Wardani, 2012)
2.2Penggolongan zat-zat pencemar udara
2.2.1 Berdasarkan Sumber
Sumber utama pencemaran udara terbagi kedalam dua kategori
yakni alamiah dan kegiatan manusia (antropogenik). Sumber alam yang
utamanya adalah letusan gunung berapi dan aktivitas magma yang
keluar, terutama gas-gas CO2, CO, NOx, SO2 serta berbagai logam
berat metal seperti merkuri, Cadmium serta unsur-unsur bahan kimia
bermotor, industri, rumah tangga, serta kegiatan lain seperti merokok
(Achmadi, 2012).
2.2.2 Berdasarkan Bahan Atau Zat Pencemar
Bahan atau zat pencemaran udara dapat berbentuk gas dan partikel.
1. Pencemaran udara berbentuk gas dapat dibagi menjadi :
a. Golongan belerang terdiri dari sulfur dioksida (SO2), hidrogen
sulfida (H2S) dan sulfat aerosol.
b. Golongan nitrogen terdiri dari nitrogen oksida (N2O), nitrogen
monoksida (NO), amoniak (NH3) dan nitrogen dioksida (NO2).
c. Golongan karbon terdiri dari karbon dioksida (CO2), karbon
monoksida (CO), hidrokarbon.
d. Golongan gas yang berbahaya terdiri dari benzen, Vinyl
klorida, air raksa uap.
2. Pencemaran udara berbentuk partikel dibedakan menjadi :
a. Mineral (anorganik) dapat berupa racun seperti air raksa dan
timah
b. Bahan organik terdiri dari ikatan hidrokarbon, klorinasi alkan,
benzen.
c. Mahkluk hidup terdiri dari bakteri, virus, telur cacing.
(Balitbang Dephan, 2012).
2.3Baku Mutu Kualitas Udara Ambien
Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan
gangguan terhadap mahkluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan/ atau benda
(Sumantri, 2010).
Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Ambien Nasional
No. Parameter Waktu
1 Jam 900 µg/Nm3 Pararosanilin
1 Jam 235 µg/Nm3 Chemiluminescent
Sumber : PP No 41 tahun 1999
2.4Sulfur dioksida (SO2)
2.4.1 Sifat dan Karakteristik SO2
namun tidak berwarna. Sebagaimana O3, pencemar sekunder yang
terbentuk dari SO2, seperti partikulat sulfat dapat berpindah dan
terdeposisi jauh dari sumbernya. SO2 terbentuk saat terjadi pembakaran
bahan bakar fosil yang mengandung sulfur. Sulfur sendiri terdapat
dalam hampir semua material mentah yang belum diolah seperti minyak
mentah, batu bara, dan bijih-bijih yang mengandung metal seperti
aluminium, tembaga, seng, timbal dan besi. Di daerah perkotaan, salah
yang menjadi sumber sulfur utama adalah gas buang dari kendaraan
yang menggunakan diesel dan industri-industri yang menggunakan
bahan bakar batu bara dan minyak mentah. (KLH, 2011).
2.4.2 Dampak SO2 Terhadap Kesehatan
Gas SO2 telah lama dikenal sebagai gas yang dapat menyebabkan
iritasi pada sistem pernapasan, seperti pada selaput lendir hidung,
tenggorokan dan saluran udara di paru-paru. Efek kesehatan ini menjadi
lebih buruk pada penderita asma. Disamping itu SO2 dapat terkonversi
di udara menjadi pencemar sekunder seperti aerosol sulfat. Aerosol
yang dihasilkan sebagai pencemar sekunder umumnya mempunyai
ukuran yang sangat halus sehingga dapat terhisap kedalam sistem
perrnapasan bawah. Aerosol sulfat yang masuk kedalam salurah
pernapasan dapat menyebabkan dampak kesehatan yang lebih berat
daripada partikel-partikel lainnya karena mempunyai sifat korosif dan
karsinogen. Oleh karena itu gas SO2 berpotensi untuk menghasilkan
aerosol sulfat sebagai pencemar sekunder, kasus peningkatan angka
anak-anak yang sering terpajan dengan konsentrasi SO2 dan partikulat
secara bersamaan (KLH, 2011).
Tabel 2.2 Pengaruh SO2 Berdasarkan Konsentrasi Terhadap Manusia
Konsentrasi (ppm) Pengaruh
3-5 Jumlah terkecil yang dideteksi dari baunya
8-12 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi
tenggorokan
20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata
20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk
20 Maksimum yang diperboleh untuk konsentrasi dalam
waktu lama
50-100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak singkat
(30 menit)
400-500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat
Sumber : Putri (2012) 2.5 Asma
2.5.1 Definisi Asma
Menurut Purnomo (2008) Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan berarti serangan nafas pendek. Asma
merupakan gangguan imflamasi pada jalan napas yang ditandai oleh
obstruksi aliran udara napas dan respon jalan napas yang berlebihan
terhadap berbagai bentuk ransangan. Penyakit asma merupakan salah
paru jangka panjang yang ditandai oleh peningkatanresistensi jalan
napas. (Kowalak, 2011)
Asma adalah suatu penyakit obstruktif jalan napas yang
disebabkan oleh edema mukosa, sekresi mukus yang berlebihan, serta
spasme otot polos bronkus. Penyakit ini ditandai dengan adanya batuk,
sesak yang disertai adanya suara mengi (wheezing), bila terjadi serangan
pasien akan gelisah, sianosis, ekspresi memanjang, adanya otot
interkosta, serta terdapat suara ronki kering dan basah (Hidayat, 2008).
2.5.2 Faktor-Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dapat dibagi kedalam dua kelompok
besar, yaitu faktor yang berhubungan dengan terjadinya atau
berkembangnya asma dan faktor-faktor pemicu (trigger) timbulnya gejala
asma. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan asma dan
timbulnya gejala asma adalah sebagai berikut:
2.5.2.1Faktor individu
1. Riwayat Asma
Selama berabad-abad telah diketahui bahwa asma
merupakan penyakit yang diturunkan dalam keluarga. Telah
dibuktikan dalam berbagai penelitian bahwa orang tua asma
merupakan prediktor yang kuat terhadap kejadian asma pada
anaknya. Hasil penelitian Laisina (2007) menunjukkan bahwa
kejadian asma pada anak yang orang tuanya memiliki riwayat
asma pada orang tua dengan kejadian asma pada anak (p <
0,001).
2. Riwayat Atopi
Atopi adalah suatu keadaan respon seseorang yang tinggi
terhadap protein asing yang sering bermanifestasi berupa rinitis
alergika, urtikaria atau dermatitis (Djojodibroto, 2009).
Sebagian besar pasien asma berasal dari keluarga atopi, dan
kandungan IgE spesifik pada seorang bayi dapat menjadi
prediktor untuk terjadinya asma kelak di kemudian hari (Akib,
2002).
3. Jenis kelamin
Pada anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki lebih
berisiko untuk terjadinya asma dibandingkan pada anak- anak
yang berjenis kelamin perempuan. Mendekati usia 14 tahun
prevalensi asma hampir dua kali lebih besar pada laki-laki
dibandingkan pada anak perempuan. Namun, Pada masa
dewasa jumlah asma lebih besar pada perempuan dibandingkan
pada laki-laki. Pada dasarnya alasan keterkaitan antara jenis
kelamin dengan penyakit asma belum jelas. Namun, ukuran
paru-paru laki-laki lebih kecil daripada paru-paru perempuan
ketika dilahirkan, dan berkembang menjadi besar pada saat
2.5.2.2 Faktor lingkungan
1. Infeksi
Infeksi saluran pernapasan oleh virus berperan penting
terhadap kejadian asma. Menurut Ronmark, et al dalam
Laisina (2007) pada penelitian kohort selama 1 tahun terhadap
3525 anak usia 7 dan 8 tahun mendapatkan adanya hubungan
antara infeksi saluran napas dengan kejadian asma.
2. Perabotan rumah tangga
Tungau Debu Rumah (TDR) merupakan alergen inhalan
penting yang berhubungan dengan timbulnya asma. Populasi
TDR paling banyak ditemukan pada kasur dan bantal.
Konsentrasi TDR dermatophagoides farinae lebih tinggi
secara bermakna pada kasur yang terbuat dari kapuk daripada
yang terbuat dari busa. Seperti kasur dan bantal, karpet juga
sering menampung bahan alergenik seperti TDR, serpihan kulit
atau bulu binatang. konsentrasi TDR lebih tinggi 10 kali pada
ruang tamu yang di dalamnya terdapat karpet (Laisina, 2007).
3. Asap rokok
Aliran asap yang terbakar lebih panas dan lebih toksik dari
pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi
mukosa jalan nafas. Pajanan asap tembakau pasif berakibat
lebih berbahaya pada gejala penyakit saluran nafas bawah
(batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan
munculnya asma meningkat pada anak yang terpajan sebagai
perokok pasif dengan OR = 3,3 (95% CI 1,41-5,74) (Purnomo,
2008).
4. Pemakaian obat nyamuk
Studi epidemiologis menunjukkan bahwa pajanan jangka
panjang terhadap asap obat nyamuk dikaitkan dengan asma dan
mengi persisten pada anak-anak (Mshelia et al, 2013). Obat
nyamuk semprot maupun asap obat nyamuk bakar merupakan
iritan inhalan yang sering digunakan dan dapat menyebabkan
hiperreaktifitas bronkus, namun sejauh mana pengaruhnya
terhadap asma masih belum jelas (Laisina, 2007).
5. Sulfur dioksida dan Nitrogen dioksida
Menurut Lee (2012) gas Sulfur dioksida (SO2) umumnya
berasal dari pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur
yang sebagian besar berasal dari batubara dan minyak, Selting
logam, dan proses industri lainnya. Bukti ilmiah saat ini
menyatakan bahwa terdapat hubungan pajanan jangka pendek
terhadap SO2, mulai dari 5 menit sampai 24 jam dengan
berbagai efek pernapasan yang merugikan termasuk
bronkokonstriksi dan peningkatan gejala asma (EPA, 2013).
Penelitian Speizer and Frank dalam Lee (2012) menyatakan
bahwa setelah menghirup rata-rata 16 ppm SO2 saat istirahat,
kurang dari 1% gas SO2 dapat dideteksi pada orofaring.
telah dilakukan di Asia tepatnya di Cina. Hasil dari Northeast
Chinese Children Health study menyatakan terbukti bahwa
konsensentrasi SO2 pada udara ambien secara positf
berhubungan dengan asma pada anak-anak (Dong et al, 2011).
Pada penderita asma, pajanan tingkat rendah NO2 dapat
menyebabkan peningkatan reaktivitas bronkial dan membuat
anak-anak lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Eksposur
jangka panjang untuk tingkat tinggi NO2 dapat menyebabkan
bronkitis kronis (EPA, 2012).
6. Binatang peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing,
hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan.
Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan
pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen
tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron)
dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan
asma, terutama dari burung dan hewan menyusui (Purnomo,
2008).
7. Cuaca
Indonesia merupakan negara dengan dua musim yaitu
musim hujan dan kemarau. Keduanya memiliki tiga komponen
yang berperan antara lain suhu udara, kelembaban dan curah
hujan. Kelembapan yang tinggi, suhu udara rendah dan curah
Udara dingin dapat mencetuskan serangan asma dengan cara
meningkatkan hiperresponsivitas saluran napas yang
menyebabkan bronkokontriksi dan menimbulkan gejala sesak
dan mengi (Kusbiantoro, 2005).
2.5.2.3 Faktor Perilaku
1. Pola makan
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu
sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat,
strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab asma
(Purnomo, 2008). Dalam beberapa penelitian juga menyatakan
bahwa meningkatnya konsumsi makanan olahan dan
kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung
antioksidan seperti buah dan sayur berkontribusi dalam
meningkatkan kejadian asma (GINA, 2012).
Hasil penelitian Sihombing (2010) menyatakan bahwa
pada kebiasaan dalam mengonsumsi makanan yang diawetkan
memperlihatkan bahwa responden yang sering mengonsumsi
makanan yang diawetkan berisiko 0,9 kali mendapat asma
(OR=0,9; 95% CI 0,8-0,9).
2. Latihan Fisik
Latihan fisik (exercise) didefinisikan sebagai sub kelompok aktivitas fisik berupa gerakan tubuh yang terencana
terstruktur dan berulang untuk memperbaiki atua memelihara
Aktivitas gerak badan (exercise) sering memprovokasi saluran
pernapasan yang hiperaktif sehingga timbul bronkokontriksi.
Orang myang melakukan kegiatan olahraga ventilasi-menitnya
akan meningkat. Sebelum masuk kedalam paru, udara yang
dingin (temperatur kamar) dan kering harus dipanasi dan
dijenuhkan dengan uap air oleh epitel trakeobronkial. Epitel
trakeobronkial menjadi dingin dan kering sehingga menyebabkan bronkokontriksi saluran pernapasan (Djojodibroto, 2009). Serangan asma terjadi 5 sampai 15 menit setelah latihan fisik dimulai dan puncaknya dalam 6 sampai 8 menit. Gejala
asma perlahan-lahan menghilang dalam waktu 30 sampai 60
menit setelah latihan fisik. Interval ini dikenal sebagai periode
refrakter (refractory period) (Herdi, 2011).
3. Perubahan emosi
Peran faktor psikologis dalam perkembangan serangan
asma akut sudah lama diketahui, perasaan cemas dan depresi
seringkali bertepatan dengan terjadinya gejala asma.
Mekanisme yang menyebabkan eksaserbasi asma ini belum
dipahami secara pasti. Diduga bahwa fluktuasi penyempitan
jalan napas dikarenakan emosi yang negatif (Herdi, 2011).
4. Pemberian ASI eksklusif
Menurut PP Nomor 33 tahun 2012, Air Susu Ibu Eksklusif
(ASI) adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan
mengganti dengan makanan atau minuman lain. Dari studi secara
ekstensif, pola makan individu terutama dalam pemberian ASI
sangat berhubungan dengan perkembangan penyakit asma.
Data menyebutkan bahwa bayi yang diberikan susu sapi dan
protein kedelai mempunyai insiden mengi lebih tinggi pada
awal masa kanak-kanak dibandingkan bayi yang diberikan ASI
(GINA, 2012). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
pemberian ASI ekslusif berhubungan dengan penurunan risiko
asma, diduga karena adanya efek imunomodulasi dan pencegah
infeksi (Afdal, 2012).
2.5.3 Tanda Klinik Dan Gejala Asma
Secara umum tanda dan gejala asma meliputi :
1. Dispnea mendadak, mengi, dan rasa berat pada dada
2. Batuk-batuk dengan sputum yang kental, jernih, ataupun kuning
3. Takipnea, bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi
aksesorius
4. Denyut nadi yang cepat
5. Pengeluaran keringat yang banyak
6. Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi
7. Bunyi napas yang berkurang (Kowalak, 2011)
Karena asma merupakan suatu penyakit kronis, gejala asma pada
anak-anak biasanya sudah dimulai sejak bayi, dengan gejala sebagai
berikut :
2. Sulit makan
3. Napas cepat dan mendesing
4. Gerakan dada seperti tertahan dan kaku
5. Bila anak menderi penyakit saluran pernapasan, bunyi napas
mendesing
6. Batuk-batuk setelah menangis atau lari-lari, terutama di malam hari
7. Dinding dada seperti tertarik ke dalam di antara tulang rusuk dan
dibagian bawah leher
8. Sering menderita infeksi saluran napas seperti bronkhitis dan
pneumoni
9. Napas pendek
10. Ekspirasi memanjang
11. Gerakan napas lebih cepat
12. Batuk-batuk disertai bunyi napas mendesing atau tidak (Yatim,
2005).
2.5.4 Jenis-Jenis Asma
Penyakit asma dapat diklasifikasikan kedalam beberapa jenis, yaitu
sebagai berikut :
2.5.4.1 Asma alergik
Asma alergik disebabkan oleh alergen atau alergen-alergen yang
dikenal (misalnya serbuk sari, binatang, amarah, makanan dan jamur).
Kebanyakan alergen terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan
riwayat medis masa lalu ekzema atau rhinitis alergik. Pemejana
terhadap alergen mencetuskan serangan asma.
2.5.4.2Asma idiopatik atau nonalergik
Asma idiopatik atau nonalergik adalah asma yang tidak
berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktor, seperti common
cold, infeksi tratus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan
dapat mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, seperti
aspirin dan agen anti inflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, dan
agen sulfit (pengawet makanan). Serangan asma nonalergik menjadi
lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema. Pada beberapa
pasien akan mengalami asma gabungan.
2.5.4.3 Asma gabungan
Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini
mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun nonalergik
(Brunner & Suddarth, 2002)
2.5.5 Patofisiologi Asma
Asma adalah adalah obtruksi jalan napas reversible. Obstruksi
disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor yang berikut ini : (1) Kontraksi
otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas; (2)
Pembengkakan membran yang melapisi bronki; dan (3) Pengisian bronki
dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkial dan kelenjar mukosa
membesar; sputum yang kental banyak dihasilkan oleh oleh alveoli menjadi
yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi yang paling diketahui
adalah keterlibatan sistem imunologis dan saraf otonom.
Beberapa individu yang menderita asma mengalami respon imun
yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi (IgE) yang dihasilkan
kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap
antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, yang menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin,
dan prostaglandin serta anafilasis dari substansi yang bereaksi lambat
(SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan
kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran
mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur
oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau
nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti
infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan, jumlah asetilkolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung
menyebabkan bronkokontriksi dan juga merangsang pembentukan mediator
kimiawi (histamin, bradikinin, dan prostaglandin). Individu yang menderita
asma mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis (Brunner &
Suddarth, 2002).
2.6 Kerangka Teori
Asma merupakan gangguan imflamasi pada jalan napas yang ditandai
oleh obstruksi aliran udara napas dan respon jalan napas yang berlebihan
timbulnya gejala asma bisa disebabkan oleh berbagai faktor, faktor tersebut
adalah faktor lingkungan, faktor individu, dan faktor perilaku. Faktor-faktor
tersebut adalah seperti yang terdapat dalam kerangka teori dibawah ini:
Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber :
Modifikasi dari Laisina (2007), GINA (2012), Purnomo (2008), Afdal (2012), Sihombing (2010)
Faktor individu
Jenis Kelamin Riwayat asma Riwayat Atopi Faktor lingkungan
Infeksi virus Asap rokok
Perabotan rumah tangga Pemakaian obat nyamuk Binatang peliharaan Cuaca
Gas SO2 dan NO2
Faktor Perilaku
Pola makan Latihan fisik
Emosi
Pemberian ASI eksklusif
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Pada penelitian ini tidak semua faktor-faktor risiko yang berpengaruh
terhadap gejala asma pada anak diteliti, dikarenakan keterbatasan yang ada
baik dari segi waktu, tenaga dan biaya penelitian. Begitu juga dengan
faktor-faktor lain yang mungkin saja berpengaruh terhadap gejala asma tidak kami
teliti untuk membatasi luasnya topik yang akan dibahas.
Variabel Independen Variabel Dependen
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Gejala Asma Konsentrasi SO2 di
udara ambien
Jenis kelamin
Perabot rumah tangga
ASI eksklusif Riwayat asma Binatang peliharaan Pemakaian obat nyamuk
30
NO Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Hasil ukur Skala Ukur
A Variabel terikat
Gejala asma Terjadinya salah satu gangguan saluran pernafasan berupa batuk, sesak nafas dan mengi/wheezing (Hidayat, 2008)
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak
2 Jenis kelamin Kondisi responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Anak laki-laki lebih berisiko asma dibandingkan anak perempuan (GINA, 2012)
Pengisian Kuesioner 1. Laki-laki
2. Perempuan
Ordinal
3 Riwayat asma Riwayat penyakit asma pada orang tua kandung baik ibu maupun ayah
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak di rumah (didalam rumah atau di
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak
31
6 Binatang peliharaan Terdapat salah satu atau lebih dari binatang peliharaan yang berbulu di dalam rumah seperti kucing, anjing atau burung
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak
Terdapat salah satu atau lebih dari perabotan yang dapat menjadi media alergen (seperti kasur kapuk, bantal kapuk dan karpet berbulu) di rumah
Anak mendapatkan ASI eksklusif yaitu ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan (PP Nomor 33 tahun 2012)
Pengisian Kuesioner 1. Tidak
2. Iya
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara konsentrasi SO2 ambien di pekarangan sekolah
dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan
Ciputat.
2. Ada hubungan antara faktor keterpajanan asap rokok dengan gejala asma
pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
3. Ada hubungan antara faktor pemakaian obat nyamuk dengan gejala asma
pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
4. Ada hubungan antara faktor kepemilikan binatang peliharaan dengan
gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
5. Ada hubungan antara faktor perabot rumah tangga yang berpotensi sumber
alergen dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di
Kelurahan Ciputat.
6. Ada hubungan antara faktor jenis kelamin dengan gejala asma pada murid
SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
7. Ada hubungan antara faktor riwayat asma dengan gejala asma pada murid
SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
8. Ada hubungan antara faktor pemberian ASI eksklusif dengan gejala asma
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan
desain cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian cross
sectional adalah penelitian yang melakukan determinasi terhadap paparan
(exposure) dan hasil (disease outcome) secara simultan pada setiap subjek
penelitian (Gordis dalam Swarjana, 2012). Peneliti menggunakan desain
cross sectional karena belum terdapat data sekunder tentang riwayat asma
pada anak SD usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
4.2Lokasi Dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi
Penelitian ini dilakukan di 5 SD Negeri yang berada di wilayah
Kelurahan Ciputat, yaitu SD Negeri Ciputat 01, SD Negeri Ciputat 02, SD
Negeri Ciputat 05, SD Negeri Ciputat 06, dan SD Negeri Ciputat 10.
4.2.2 Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Mei tahun 2014.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi adalah kumpulan semua individu dalam suatu batas tertentu
(Budiarto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh SD Negeri di
Kelurahan Ciputat dan seluruh murid yang berusia 6-7 tahun yang bersekolah
di SD Negeri di Kelurahan Ciputat tahun 2014 dengan orang tua mereka
4.3.2 Sampel
Sampel adalah subunit populasi survei yang oleh peneliti
dipandang mewakili populasi target (Danim, 2003). Sampel dalam
penelitian ini adalah Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Ciputat dan
murid yang bersekolah di SD Negeri tersebut. Pengambilan sampel
menggunakan rumus uji hipothesis beda dua proporsi:
n = [Z21-α/2√ + √ 2
(P1-P2)2
Keterangan :
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P2 : Proporsi asma pada yang terpajan dengan faktor risiko pada
penelitian sebelumnya
P1 : Proporsi asma pada yang tidak terpajan faktor risiko pada
penelitian sebelumnya
P : Rata-rata proporsi pada populasi (P1+P2 /2)
Z21-α/2 : Derajat kemaknaan α yaitu sebesar 5% = 1,96
Tabel 4.1
sampel tertinggi adalah 52. Jadi, jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah 52 x 2 = 104. Namun, untuk mencegah terjadinya bias maka
ditambah sebanyak 10% dari jumlah sampel minimal. Jadi secara keseluruhan
jumlah sampel yang diambil sebesar 120 sampel. Untuk menentukan jumlah
n = ∑ x 120 N
Keterangan :
n = Sampel yang dibutuhkan
∑ = Jumlah murid kelas 1
N = Jumlah keseluruhan populasi (520)
112 = sampel yang dibutuhkan
122 x 120
SD Ciputat 01 = = 28
520
127 x 120
SD Ciputat 02 = = 29 520
177 x 120
SD Ciputat 06 = = 41 520
43 x 120
SD Ciputat 05 = = 10 520
51 x 120
SD Ciputat 10 = = 12
520
4.3.3 Pengambilan sampel
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan simple random sampling.
Dari 10 SD Negeri yang ada di kelurahan Ciputat diambil 5 SD Negeri
sebagai sampel secara random. Apabila terdapat lebih dari satu ruang kelas 1,
maka dipilih satu ruang kelas secara random. Selanjutnya untuk mengambil
simple random sampling setiap unit dasar (individu) mempunyai kesempatan
yang sama untuk diambil sebagai sample (Budiarto, 2002). Peneliti
menggunakan teknik ini dikarenakan terdapat sampling frame berupa
nama-nama murid sehingga memudahkan peneliti dalam mengambil sampel. Skema
pengambilan sampel adalah seperti bagan 4.1 (halaman 37):
Pada penelitian ini peneliti menentukan kriteria-kriteria tertentu untuk
dijadikan sampel penelitian. Adapun kriteria yang dipilih berdasarkan kriteria
inklusi adalah sebagai berikut :
1. Murid SD Negeri di Kelurahan Ciputat yang berusia 6-7 tahun pada saat
penelitian.
2. Orang tua bersedia mengisi kuesioner.
Sedangkan untuk mengambil sampel udara, pada setiap SD peneliti
mengukur konsentrasi SO2 di udara ambien (outdoor) sebanyak 2 titik yaitu
jam 07:00 – 08:00 (sebelum murid masuk kelas) dan jam 10:00 sampai 11:00 (saat murid kelas 1 pulang sekolah) pada titik yang berbeda. Alasan peneliti
mengukur udara outdoor atau di halaman/pekarangan sekolah karena
diasumsikan bahwa disini konsentrasi SO2 lebih tinggi karena dekat dengan
jalan dan murid kelas 1 juga beraktivitas disini.
4.4 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer yaitu mengambil data dengan
membagikan kuesioner kepada responden dan mengukur konsentrasi SO2 udara
4.5 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada
orang tua murid. Selain itu pengumpulan data juga dilakukan dengan
menggunakan impinger yang bertujuan untuk mengukur konsentrasi SO2 udara
ambien di lingkungan sekolah.
Keterangan :
S1-S5 : Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Ciputat yang
terpilih sebagai sampel
K1-K3 : Ruang kelas 1 SDN di Kelurahan Ciputat
Murid kelas K1 : Murid usia 6-7 tahun yang berada di ruang kelas K1
Bagan 4.1 Skema Pengambilan Sampel Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Ciputat
S1 S2 S5
K1 K2 K1 K2 K3 K1
Simple random
Simple random
Murid kelas K2
Murid kelas K1 Murid
kelas K1
4.1 Instrumen Penelitian
4.1.1 Impinger
Cara Pengukuran menggunakan midget impinger
Alat yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:
1. Midget Impinger/tabung penyerap
2. Low Volume Air Sampler (LVAS)
3. Pompa penghisap udara (Vaccum Pump)
Bahan yang diperlukan untuk sampling udara ambient adalah:
1. Absorber SO2
2. Aquadest
3. Filter Hidrofobik pori 0,5 µm diameter 110 cm
4. Botol/wadah sample + penutupnya
5. Plastik polietilen/PE
Prosedur:
1. Persiapan
a. Pembuatan larutan penyerap (Absorber) SO2
Larutan penyerap tetrakloromerkurat (TCM) 0,04 M
Larutkan 10,86 gram merkuri (II) klorida (HgCl2) dengan 800
mL air suling ke dalam gelas piala 1000 ml.
Tambahkan berturut-turut 5,96 gram kalium klorida (kCl) dan
aduk sampai homogen. Pindahkan ke dalam labu ukur,
encerkan dengan air suling sampai batas tera.
b.Filter yang diperlukan disimpan di dalam desikator selama 24
jam agar mendapatkan kondisi stabil.
c.Filter kosong ditimbang sampai diperoleh berat konstan,
minimal 3 kali penimbangan sehingga diketahui berat filter
sebelum pengambilan sampel, catat berat filter blanko (B1) dan
filter sampel (W1). Masing-masing filter tersebut ditaruh dalam
plastic PE setelah diberi kode sebelum dibawa ke lapangan.
d.Pompa penghisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran
udara 1L/menit dengan menggunakan flow meter. (Flow meter
harus dikalibrasi oleh laboratorium pengkalibrasi)
e.Absorber ditempatkan pada botol sample sebanyak 10 mL dan
diberi kode.
2. Pengambilan sampel
a. Bawa seluruh peralatan dan bahan ke lokasi sampling yang
sudah ditentukan.
b. Hubungkan midget impinger dan LVAS ke pompa hisap udara
dengan menggunakan selang silicon atau Teflon. Pasang
flowmeter pada selang. Pastikan tidak ada kebocoran pada
setiap sambungan selang baik yang berhubungan dengan
LVAS dan midget impinger maupun ke pompa penghisap
c. LVAS diletakkan pada titik pengukuran dengan menggunakan
tripod kira-kira setinggi zona pernafasan manusia.
d. Bilas tabung midget impinger dengan aquades lalu masukkan
larutan absorber SO2 sebanyak 10 ml ke tabung midget
impinger sesuai dengan gas yang akan diuji.
e. Filter sampel dimasukkan ke dalam LVAS holder dengan
menggunakan pinset dan tutup bagian atas holder.
f. Pompa penghisap udara dihidupkan (Power On) dan lakukan
pengambilan sampel dengan kecepatan laju aliran udara (flow
rate 1L/menit)
g. Atur timer selama 1 jam. Lama pengambilan sampel dapat
dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung
pada kebutuhan, tujuan, dan kondisi di lokasi pengukuran)
h. Setelah 1 jam pompa penghisap udara dimatikan (Power off).
i. Pindahkan masing-masing absorber pada midget impinger ke
botol sampel sesuai dengan kode gas yang diuji. Tutup rapat
botol sampel dan masing-masing diberi label (kode sampel,
titik sampling, lokasi sampling, hari, tanggal). Bilas kembali
dengan aquades masing-masing tabung pada midget impinger.
j. Pindahkan filter sampel yang ada di LVAS ke plastic PE. Beri
label pada wadah tersebut (kode sampel, titik sampling, lokasi
sampling, hari, tanggal, dan tenaga sampler).
k. Setelah selesai pengambilan sampel, debu pada bagian luar
l. Kemasi peralatan, selanjutnya bawa sampel gas ke
laboratorium untuk dianalisa. Filter dimasukkan ke dalam
desikator selama 24 jam.
Untuk pengukuran SO2 udara ambien outdoor pada setiap sekolah,
impinger diletakkan di halaman sekolah dimana biasanya murid-murid
beraktivitas. Walaupun pengukuran dilakukan pada jam yang berbeda yaitu
jam 07:00 – 08:00 dan jam 10:00 sampai 11:00 tapi penempatan impinger tetap pada satu titik, supaya bisa terlihat bagaimana konsentrasi SO2 pada waktu
yang berbeda.
4.1.2 Kuesioner
Salah satu instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kuesioner. Jenis kuesioner ini adalah kuesioner tertutup. Kuesioner
tertutup merupakan kuesioner yang sudah disediakan jawabannya sehingga
responden tinggal memilih pada kolom yang sudah disediakan dengan
memberi tanda silang (Budiarto, 2002).
4.2 Pengolahan data , Analisis Data, dan penyajian data
4.2.1 Pengolahan data
Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan perangkat
lunak SPSS. Tahap pengolaha data yaitu meliputi :
4.2.1.1 Editing
Karena peneliti menggunakan dua instrumen penelitian
maka terdapat perbedaan pada tahapan pengolahan data. Untuk
yang menggunakan kuesioner, pada tahapan editing peneliti
hal ini peneliti memeriksa kelengkapan dan ketepatan dalam
pengisian kuesioner. Sedangkan yang menggunakan impinger
peneliti juga memeriksa apakah pencatatan di lembar hasil
pencatatan sudah tepat atau belum.
4.2.1.2 Coding
Pada kuesioner, data yang sudah dikumpulkan diberi
kode untuk setiap variabel pada kolom yang sudah tersedia,
bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam pemasukan,
pengelompokan dan pengolahan data. Begitu juga dengan
lembar hasil pencatatan, lembar tersebut juga akan diberi
kode.
4.2.1.3 Entry Data
Data dari kuesioner dan lembar hasil pencatatan
kemudian dimasukkan kedalam program komputer untuk
diolah.
4.2.1.4 Cleaning Data
Pada tahap cleaning data peneliti melakukan
pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah ada
kesalahan atau tidak. Serta mengetahui data yang hilang,
variasi data, dan konsistensi data.
4.2.2 Analisis Data
4.2.2.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari
dependen dan independen. Dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase tiap variabel.
4.2.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan
antara faktor independen dan faktor dependen. Uji yang
digunakan adalah Chi-square yaitu untuk melihat hubungan
antara dua variabel yang dikategorikan. Derajat kemaknaan 5%
dan tingkat keyakinan CI=95%. Jika p ≤ 0,05 artinya ada hubungan antara variabel independent dan variabel dependent,
sebaliknya jika p > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Selain itu,
untuk melihat adanya hubungan konsentrasi SO2 udara ambien
dengan gejala asma peneliti juga menggunakan uji non
parametrik (Mann-Whitney test) karena distribusi data SO2
yang didapatkan tidak normal.
4.7.3 Penyajian Data
Data akan disajikan dalam bentuk narasi, tabulasi dan
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1
Analisis Univariat
Pada analisis univariat ini ditampilkan distribusi frekuensi dari
masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel
dependen.
5.1.1 Gambaran Gejala Asma
Distribusi frekuensi gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di SD
Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada tabel
5.1 dibawah ini:
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Gejala Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.1, menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui
jumlah murid yang mempunyai gejala asma sebesar 15,8%, sedangkan yang
tidak mempunyai gejala asma sebesar 84,2%.
No Gejala Asma Jumlah (n) Persentase (%)
1 Iya 19 15,8
2 Tidak 101 84,2
5.1.2 Persentase Gejala Asma Berdasarkan Sekolah
Persentase gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di SD Negeri yang
berada di Kelurahan Ciputat tahun 2014 pada setiap sekolah dapat dilihat
pada Gambar 5.1 dibawah ini:
Gambar 5.1. Persentase Gejala Asma Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat tahun 2014
Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa SD Negeri 10 memiliki persentase gejala
asma tertinggi dibandingkan SD Negeri lainnya yaitu sebesar 33,3%,
sedangkan persentase gejala asma terendah terdapat pada SD Negeri 02
yaitu sebesar 3,4%.
5.1.3 Konsentrasi SO2 Udara Ambien Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat Berdasarkan Waktu Pengukuran
Konsentrasi SO2 udara ambien di SD Negeri yang berada di kelurahan
Ciputat ditinjau berdasarkan waktu pengukuran dapat dilihat pada gambar 5.2
Gambar 5.2. Gambaran Konsentrasi SO2 Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat Berdasarkan Waktu Pengukuran Tahun 2014
Dari gambar 5.2 menunjukkan bahwa konsentrasi SO2 di udara ambien
yang tertinggi terdapat pada SD Negeri 05 Ciputat pada jam 10 yaitu sebanyak
69,2 µg/Nm3. Sedangkan konsentrasi SO2 yang terendah atau tidak terdeteksi
terdapat pada SD Negeri 06 pada jam 10.
5.1.4 Gambaran Konsentrasi Rata- Rata SO2 Di Udara Ambien Pada Setiap Sekolah
Gambaran konsentrasi rata-rata SO2 di udara ambien pada setiap sekolah
dapat dilihat pada gambar 5.3 dibawah ini:
Gambar 5.3. Konsentrasi Rata- Rata SO2 Di Udara Ambien Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan gambar 5.3 menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata SO2 di
udara ambien yang tertinggi terdapat di SD Negeri 05 yaitu sebesar 46,7 µg/Nm3.
Sedangkan konsentrasi rata-rata SO2 udara ambien yang terendah terdapat di SD
Negeri 10 yaitu sebesar 24,4 µg/Nm3.
5.1.5 Uji Normalitas SO2
Berikut adalah hasil uji normalitas data konsentrasi SO2 udara ambien dengan uji
Kolmogor- Smirnov.
Tabel 5.2 Uji Normalitas Data Konsentrasi SO2 Udara Ambien
Mean Min-Max p value
SO2 33,5 24,4 – 46,7 0,000
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa mean konsentrasi SO2 udara
ambien adalah 33,5 µg/Nm3. Nilai konsentrasi SO2 terendah adalah 24,4
µg/Nm3, Sedangkan yang tertinggi adalah 46,7 µg/Nm3. Hasil Uji
Kolmogorov-Smirnov didapatkan p value 0,000, artinya data konsentrasi SO2 udara ambien
yang ada tidak normal karena < 0,05.
5.1.6 Keterpajanan Asap Rokok
Distribusi frekuensi ketepraparan asap rokok pada murid usia 6-7 tahun di
SD Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada