• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dan Faktor-Faktor Lainnya dengan Gejala Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dan Faktor-Faktor Lainnya dengan Gejala Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

UDARA AMBIEN DAN FAKTOR-FAKTOR LAINNYA

DENGAN GEJALA ASMA PADA MURID SEKOLAH DASAR

NEGERI USIA 6-7 TAHUN DI KELURAHAN CIPUTAT

TAHUN 2014

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)

Oleh:

Reka Yuligawati

NIM.1110101000036

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

ii

Skripsi, 8 Juli 2014

REKA YULIGAWATI, NIM. 1110101000036

Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dan Faktor-Faktor Lainnya dengan Gejala Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014

(ix + 81 halaman, 21 tabel, 3 gambar, 3 bagan, 14 lampiran)

ABSTRAK

Emisi gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber pencemaran udara terbesar di perkotaan termasuk Kota Tangerang Selatan. Polutan yang dihasilkannya seperti SO2 berdampak negatif terhadap kesehatan sistem pernapasan manusia, diantaranya

meningkatkan gejala asma. Menurut International Study of Asthma and Allergies in childhood (ISAAC) anak usia 6-7 tahun merupakan prevalensi asma terbesar. Penelitian ini dilakukan pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun pada bulan Maret sampai April 2014 di Kelurahan Ciputat, Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.

Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 120 murid dan teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Data penelitian didapat dari data primer berupa kuesioner dan pengukuran konsentrasi SO2 udara ambien dengan menggunakan

Impinger. Data dianalisis secara univariat untuk melihat gambaran masing-masing variabel, analisis bivariat dengan menggunakan chi square untuk melihat hubungan variabel keterpajanan asap rokok, pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, perabotan rumah tangga yang berpotensi sumber alergen, jenis kelamin, riwayat asma, dan pemberian ASI eksklusif terhadap gejala asma, dalam analisis bivariat juga digunakan uji Mann-Whitney untu mengetahui hubungan antar konsentrasi SO2 dengan gejala asma.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi SO2 udara ambien tidak

berhubungan dengan gejala asma (p value 0,878). Variabel yang mempunyai hubungan dengan gejala asma adalah keterpaparan asap rokok (p value = 0,018), riwayat asma (p value = 0,023), dan pemberian ASI eksklusif (p value = 0,029). Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada anggota keluarga untuk tidak merokok supaya anak-anak tidak terpajan dengan asap rokok. Disamping itu, ibu-ibu sebaiknya memberikan ASI eksklusif kepada bayinya untuk mengurangi risiko terjadinya gejala asma pada masa anak-anak.

Kata Kunci : Konsentrasi SO2 dan Asma

(4)

iii

REKA YULIGAWATI, NIM. 1110101000036

Association between Ambient Air SO2 Concentration and Others Factors with Asthma Symptoms on Elementary School Students Aged 6-7 Years, Ciputat Village 2014

(ix + 81 pages, 21 tables, 3 pictures, 3 charts, 14 attachments

ABSTRACT research was conducted at the Elementary School students aged 6-7 years in March - April 2014 in Ciputat village, Ciputat district Tangerang Selatan City.

Quantitative study usely cross-sectional design was conducted. The number of samples in this study were 120 pupils and sampling techniques using simple random sampling. Research data obtained from the primary data in the form of questionnaires and measurements of ambient air concentrations of SO2 by impinger. Data were analyzed using

univariate to see an overview of each variable, bivariate analysis using chi square to see the association of exposure to cigarette smoke, use insect repellent, pets, household items potentially a source of allergens, gender, history of asthma, and exclusive breastfeeding variables to the symptoms of asthma, Mann-Whitney test also used to determine the association between the concentration of SO2 and asthma symptoms.

The results showed that ambient air SO2 concentrations is not associated with

asthma symptoms (p value = 0,878). The variables that associated with asthma symptoms

were cigarette smoke exposure (p value = 0.018), history of asthma (p value = 0.023), and exclusive breastfeeding (p value = 0.029). Based on the results of this study are advised to family members should not to smoke, so that the children are not exposed to cigarette smoke. Besides, mothers should give exclusive breastfeedingto her baby to reduce the risk of asthma symptoms in children.

Key Words : SO2 Concentrations and Asthma

(5)
(6)
(7)

vi

Nama : Reka Yuligawati

Jenis kelamin : Perempuan

TTL : Pangwa, 20 November 1992

Alamat asal :Desa Kulam, kemukiman Beuracan, Kec Meureudu, Kab

Pidie Jaya, Provinsi Aceh

Alamat sekarang : Jln Kertamukti No 29 B, Pisangan, Kec Ciputat, Tangerang

Selatan

Agama : Islam

Email : rekayuligawati@yahoo.co.id

Riwayat Pendidikan

2010 – 2014 S1 - Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi

Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

2007 – 2010 Madrasah Aliyah Jeumala Amal Lueng Putu

2004 – 2007 Madrasah Tsanawiyah Jeumala Amal Lueng Putu

(8)

vii

Puji dan syukur penulis panjatkan kehaditat Allah SWT atas segala

rahmat, hidayah dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien Dengan Gejala

Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun

2014”.

Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan

bimbingan, bantuan, serta dukungan dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan

terimakasih terutama ditujukan kepada :

1. Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa

kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas

Kedokteran dan ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ir. Febrianti selaku kepala program studi kesehatan masyarakat UIN

Syarif Hidayatullah.

4. Ibu Dewi Utami Iriani,Ph.D dan Ibu Dr. Ela Laelasari,SKM, M.Kes yang

selalu memberikan masukan dan saran, serta meluangkan waktunya dalam

membimbing penulis.

5. DR.Arif Sumantri, M.KM selaku ketua peminatan Kesehatan Lingkungan.

6. Bapak Kepala sekolah SD Negeri 01 Ciputat, Kepala Sekolah SD Negeri

02 Ciputat, Kepala Sekolah SD Negeri 05 Ciputa, Kepala Sekolah SD

(9)

viii

thank buat Alm Bapak yang menjadi motivasi kakak dalam belajar dan

terus berusaha untuk menjadi anak yang lebih baik.

8. Jamaah kesehatan lingkungan angkatan 2010 yang selalu semangat dan

optimis.

9. Teman-teman kosan white house Ema, Sulcha, Nia , Alung dan Lina yang

sudah menjadi keluargaku di perantauan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna,

untuk itu saran dan masukan sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan

laporan skripsi ini.

Jakarta, 8 Juli 2014

(10)

ix

1.5.1 Bagi Pemerintahan Kota Tangerang Selatan ... 9

1.5.2 Bagi Masyarakat ... 9

1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ... 9

1.6Ruang Lingkup Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pencemaran Udara... 11

2.2 Penggolongan Zat-Zat Pencemaran Udara... 11

2.2.1 Berdasarkan Sumber ... 11

2.2.2 Berdasarkan Bahan Atau Zat Pencemar ... 12

2.3 Baku Mutu Kualitas Udara Ambien ... 12

2.4 Sulfur dioksida (SO2) ... 14

2.4.1 Sifat Dan Karakteristik SO2 ... 14

2.4.2 Dampak SO2 Terhadap Kesehatan ... 15

2.5 Asma ... 16

(11)

x

2.5.3 Tanda Klinik Dan Gejala Asma ... 23

2.5.4 Jenis-Jenis Asma ... 25

2.5.5 Patofisiologi Asma ... 26

2.6 Kerangka Teori ... 27

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTHESIS 3.1 Kerangka Konsep ... 29

3.2 Definisi Operasional ... 30

3.3 Hipotesis Penelitian ... 31

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 32

4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 32

4.2.1 Lokasi ... 32

(12)

xi

4.3.2 Sampel ... 33

4.3.3 Pengambilan Sampel ... 35

4.4 Sumber Data ... 36

4.5 Metode Pengumpulan Data ... 37

4.6 Instrumen Penelitian ... 38

4.6.1 Impinger ... 38

4.6.2 Kuesioner... 41

4.7 Pengolahan Data, Analisis Data, dan Penyajian Data ... 41

4.7.1 Pengolahan Data ... 41

(13)

xii

5.2.5 Hubungan Perabotan Rumah Tangga Yang Berpotensi Sumber

Alergen Dengan Gejala Asma ... 55

5.2.6 Hubungan Jenis Kelamin Dengan gejala Asma ... 56

5.2.7 Hubungan Riwayat Asma Dengan gejala Asma ... 56

5.2.8 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Gejala Asma ... 57

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ... 58

6.2 Gejala Asma ... 59

6.3 Konsentrasi SO2 Di Udara Ambien ... 60

6.4 Sulfur dioksida (SO2) Udara AmbienDengan Gejala Asma ... 62

6.5 Keterpajanan Asap Rokok Dengan Gejala Asma ... 63

6.6 Pemakaian Obat Nyamuk dengan Gejala Asma ... 65

6.7 Binatang PeliharaanDengan Gejala Asma ... 67

6.8 Perabotan Rumah Tangga dengan Gejala Asma ... 69

6.9 Jenis Kelamin Dengan Gejala Asma ... 71

6.10 Riwayat Asma Dengan Gejala Asma... 72

6.11 ASI Eksklusif Dengan Gejala Asma ... 73

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan... 74

7.2 Saran ... 75

(14)

xiii

Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 28 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 29 Bagan 4.1 Skema Pengambilan Sampel ... 37

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Persentase Gejala Asma ... 45 Gambar 5.2 Gambaran Konsentrasi SO2 Pada SD Negeri Berdasarkan

(15)

xiv

Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Ambien ... 13

Tabel 2.2 Pengaruh SO2 Berdasarkan Konsentrasi Terhadap Manusia ... 16

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 30

Tabel 5.1 Gambaran Gejala Asma ... 44

Tabel 5.2 Uji Normalitas SO2 ... 47

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Keterpajanan Asap Rokok ... 48

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi pemakaian obat nyamuk ... 48

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi kepemilikan binatang Peliharaan ... 49

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Kepemilikan Perabotan Rumah Tangga ... 49

Tabel 5.9 Distribusi Jenis Kelamin ... 50

Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Riwayat Asma ... 51

Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI eksklusif ... 51

Tabel 5.12 Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dengan Gejala Asma ... 52

Tabel 5.13 Hubungan Keterpajanan Asap Rokok dengan Gejala Asma ... 53

Tabel 5.14 Hubungan Pemakaian Obat Nyamuk Dengan Gejala Asma ... 54

Tabel 5.15 Hubungan Kepemilikan Binatang Peliharaan dengan Gejala Asma ... 54

Tabel 5.16 Hubungan Kepemilikan Perabotan Rumah Tangga Yang Berpotensi Sumber Alergen dengan Gejala Asma ... 54

Tabel 5.17 Hubungan Jenis Kelamin dengan Gejala Asma ... 56

Tabel 5.18 Hubungan Riwayat Asma dengan Gejala Asma ... 57

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Ditinjau dari berbagai sektor yang potensial dalam mencemari

udara, pada umumnya sektor transportasi memegang peran yang sangat

besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Lebih dari 90% polusi udara di

kota-kota yang ada di negara berkembang disebabkan oleh emisi

kendaraan bermotor. Hal ini dikarenakan tingginya jumlah kendaraan yang

tua ditambah dengan pemeliharaan kendaraan yang buruk, infrastruktur

yang tidak memadai dan kualitas bahan bakar yang rendah (UNEP, 2008).

Di kota-kota besar di Indonesia, kontribusi gas buang kendaraan bermotor

sebagai sumber polusi udara mencapai 60-70%. Sedangkan kontribusi gas

buang dari cerobong asap industri hanya berkisar 10-15%, sisanya berasal

dari sumber pembakaran lain, misalnya dari rumah tangga, pembakaran

sampah, kebakaran hutan dan lain-lain (BPLHD Jawa Barat, 2009).

Pertumbuhan sektor transportasi di Indonesia selama tahun

2000-2011 memperlihatkan jumlah kendaraan bermotor meningkat tajam hingga

lebih 4 kali lipat. Sebagai contoh, pada tahun 2000 terdapat sekitar 19 juta

kendaraan sepeda motor, bis, truk dan mobil penumpang Jumlah itu

meningkat menjadi sekitar 85,6 juta pada 2011 (KLH, 2013). Sedangkan

di Provinsi Banten juga terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor,

dari tahun 2009 sampai tahun 2011 tercatat jumlah kendaraan bermotor

meningkat sebanyak 55% (BPS provinsi Banten, 2011). Berdasarkan

(17)

(PPSP) Kota Tangerang Selatan (2011) potensi pencemaran udara di Kota

Tangerang Selatan sebagian besar berasal dari emisi kendaraan. Data dari

Satuan lalu lintas Polres Tangerang menunjukan volume kendaraan yang

beraktifitas sekitar 9000 kendaraan/ jam. Begitu juga dengan hasil

pengujian emisi dari 250 unit kendaraan yang terdiri dari 150 unit

kendaraan berbahan bakar bensin dan 100 unit kendaraan berbahan bakar

solar. Dari hasil pengujian emisi pada kendaraan berbahan bakar bensin

dinyatakan lulus uji sebanyak 82% dan yang tidak lulus uji sebanyak 18% .

Sedangkan kendaraan berbahan bakar solar, yang dinyatakan lulus uji

sebanyak 48% dan yang tidak lulus uji sebanyak 52%. Berdasarkan

BPLHD Propinsi DKI Jakarta, kendaraan bermotor yang berbahan bakar

solar seperti truck berkontribusi sebanyak 85% dalam menghasilkan SO2

dibandingkan dengan kendaraan bermotor yang berbahan bakar bensin

yang hanya sekitar 15% (Agustini dkk, 2014).

Emisi gas buang yang dihasilkan dari proses pembakaran pada

kendaraan bermotor dapat bersifat racun dan membuat efek negatif.

Idealnya, pembakaran dalam mesin menghasilkan pembuangan yang tidak

mengganggu kesehatan lingkungan. Tapi kenyataannya tidak semua

pembakaran berlangsung sempurna. Bila pembakaran tidak sempurna,

maka gas buang yang dihasilkan selain menghasilkan gas CO2 dan H2O,

juga menghasilkan gas-gas yang beracun yaitu CO, HC, NOx, dan SOx

(Fuhaid, 2011). Gas-gas tersebut bukan hanya berbahaya bagi kesehatan

masyarakat tapi juga mengancam lingkungan baik secara lokal maupun

(18)

Salah satu gas beracun yang berdampak terhadap kesehatan adalah

Sulfur dioksida (SO2). Menurut Environmental Protection Agency (EPA)

bahwa terdapat hubungan antara pajanan jangka pendek terhadap SO2

dengan meningkatnya kunjungan ke bagian gawat darurat dan rawat inap

akibat penyakit pernapasan, terutama pada populasi berisiko termasuk

anak-anak, orang tua, dan penderita asma (EPA, 2013). Dampak

pencemaran udara terhadap tubuh manusia termasuk dari kendaraan

bermotor sangat luas mulai dari hal yang bersifat lokal hingga sistemik.

Paru adalah target organ utama. Beberapa gangguan terhadap paru-paru

adalah asma, bronkhitis dan pneumonia (Achmadi, 2012).

Asma merupakan salah satu penyakit kronis paling umum di dunia

dengan jumlah penderita sekitar 300 juta orang (GINA, 2010).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Global initiative for asthma (GINA)

diperkirakan setiap satu orang diantara 250 kematian diperkirakan

meninggal akibat asma (Nasidah, 2010). Laporan Center for Disease

Control (CDC) tahun 2000 mengenai prevalensi asma pada anak usia < 18

tahun sebelum dan sesudah tahun 1997 di Amerika Serikat, terlihat

adanya peningkatan prevalensi asma sebesar 5% setiap tahun dari tahun

1980 sampai 1995 (Afdal, 2012).

Di negara berkembang, prevalensi asma sebelumnya dianggap

rendah tetapi studi terbaru menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

kejadian asma pada anak, peningkatan ini terjadi terutama bagi yang

tinggal di daerah perkotaan (Kistnasamy, 2005). Data dari Sistem

(19)

peningkatan Case Fatality Rate (CFR) yang disebabkan penyakit asma di

Indonesia yaitu 1,79% pada tahun 2009 menjadi 2,98% pada tahun 2010

(Depkes RI, 2012). Berdasarkan data dari Dinas kesehatan Tangerang

Selatan (2013) jumlah kasus asma di Kota Tangerang Selatan pada tahun

2012 sebanyak 4.342 kasus. Disamping itu penyakit asma juga termasuk

dalam sepuluh penyakit terbanyak rawat UGD puskesmas perawatan Kota

Tangerang Selatan (Profil Dinkes Tangerang Selatan, 2012).

Menurut Herdi (2011) asma adalah penyakit yang masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita

oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan

sampai berat, bahkan dapat mematikan. Pada anak, penyakit asma dapat

mempengaruhi masa pertumbuhan, karena anak yang menderita asma

sering mengalami kambuh sehingga dapat menurunkan prestasi belajar di

sekolah (Oemiati, 2010).

Tingkat prevalensi asma yang cukup besar menjadi masalah

kesehatan masyarakat yang serius. Pada tahun 1995 di Amerika Serikat,

biaya untuk pengobatan asma mencapai 250 juta dollar AS, sedangkan

penghitungan kehilangan hari sekolah, aktifitas atau biaya lain bisa

mencapai 1,2 milyar dollar AS, belum lagi biaya akibat hilangnya waktu

kerja orang tua untuk mengurus anaknya, dan penderita asma dapat

mengalami keterbatasan dan penurunan kualitas hidup yang serius (Afdal,

2012). Begitu juga di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)

(20)

Policy in Indonesia di tahun 2012 memperkirakan bahwa biaya kesehatan

penduduk Jakarta pada tahun 2010 adalah berkisar antara Rp. 697,9 miliar

sampai dengan Rp. 38,5 trilliun. Biaya besar ini merupakan akibat

penyakit yang berkaitan dengan pencemaran udara salah satunya adalah

penyakit asma (KLH, 2013).

Di Indonesia faktor pemicu asma baik di desa maupun di kota

masih sangat tinggi antara lain dari asap kebakaran hutan, asap kendaraan

bermotor dan asap atau debu industri. Disamping itu perilaku merokok,

pemakaian bahan kimia (obat anti nyamuk dan parfum) dan menjamurnya

makanan produk massal industri yang mengandung pewarna, pengawet

dan Monosodium glutamat (MSG) memberi kontribusi yang bermakna

pada penyakit ini (Sihombing, 2010).

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunyer, et

al (2003) menyatakan bahwa SO2 berhubungan dengan kejadian asma

pada anak-anak, terbukti bahwa penurunan tingkat polusi akan berdampak

pada penurunan jumlah kejadian asma pada anak-anak di Eropa. Pada

orang normal, konsentrasi SO2 lebih dari 5 ppm dapat menyebabkan

bronkokontriksi, sedangkan pada penderita asma konsentrasi SO2 lebih

dari 1 ppm sudah bisa menyebabkan bronkokontriksi (Kistnasamy, 2005).

Menurut Kowalak (2011) meskipun asma menyerang semua usia,

sekitar 50% pasien asma berusia kurang dari 10 tahun. Namun dalam

penelitian ini, peneliti memilih anak usia 6-7 tahun sebagai populasi

(21)

Allergies in childhood (ISAAC) merupakan prevalensi asma terbesar

(Afdal, 2012).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk

meneliti hubungan konsentrasi SO2 yang merupakan salah satu

komponen zat pencemar yang dihasilkan dari emisi kendaraan dengan

gejala asma pada murid SD usia 6-7 tahun di SD Negeri yang berada

di Kelurahan Ciputat, Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.

Disamping itu, selama ini peneliti belum pernah menemukan

penelitian tentang hubungan SO2 dengan asma di Indonesia. Penelitian

yang pernah dilakukan sebelumnya adalah mengenai hubungan NO

dengan asma dan SO2 dengan ISPA dengan menggunakan data

sekunder.

1.2Rumusan masalah

Beberapa penelitian sebelumnya telah melihat hubungan antar

konsentrasi SO2 dengan kejadian asma pada anak-anak. Studi terkini

menyatakan pajanan jangka pendek terhadap SO2, mulai 5 menit sampai

24 jam mempunyai efek merugikan terhadap kesehatan antara lain

bronkokontriksi dan meningkatnya gejala asma (EPA, 2013). Berdasarkan

observasi, peneliti melihat terdapat sejumlah SD yang terletak di samping

jalan yang mempunyai kepadatan lalu lintas yang tinggi sehingga

kemungkinan murid untuk terpajan dengan SO2 sangat tinggi. Berdasarkan

uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana

(22)

dampak terhadap gejala asma pada murid SD usia 6-7 tahun di Kelurahan

Ciputat yang sering melakukan aktivitas di pekarangan sekolah.

1.3Pertanyaan penelitian

1. Berapa prevalensi murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan

Ciputat yang mempunyai gejala asma?

2. Bagaimana gambaran konsentrasi SO2 udara ambien di pekarangan

SD Negeri yang ada di Kelurahan Ciputat?

3. Bagaimana gambaran keterpajanan asap rokok, pemakaian obat

nyamuk, binatang peliharaan, perabotan rumah tangga yang

berpotensi sumber alergen, jenis kelamin, riwayat asma, dan

pemberian ASI eksklusif pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di

Kelurahan Ciputat?

4. Apakah ada hubungan antara faktor Lingkungan (konsentrasi SO2

udara ambien, keterpajanan asap rokok, pemakaian obat nyamuk,

binatang peliharaan, dan perabotan rumah tangga yang berpotensi

sumber alergen) dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia

6-7 tahun di Kelurahan Ciputat?

5. Apakah ada hubungan antara faktor individu (jenis kelamin dan

riwayat asma) dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7

tahun di Kelurahan Ciputat?

6. Apakah ada hubungan antara faktor perilaku (pemberian ASI

eksklusif) dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7

(23)

1.4Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan konsentrasi SO2 udara ambien dan

faktor-faktor lain yang berhubungan dengan gejala asma pada

murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi gejala asma pada murid SD Negeri

usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

2. Mengetahui gambaran konsentrasi SO2 ambien di

pekarangan SD Negeri yang ada di Kelurahan Ciputat.

3. Mengetahui gambaran faktor keterpajanan asap rokok,

pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, Perabotan

rumah tangga yang berpotensi sumber alergen, jenis

kelamin, riwayat asma, dan pemberian ASI eksklusif pada

murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

4. Mengetahui hubungan antara faktor lingkungan

(konsentrasi SO2 udara ambien, keterpajanan asap rokok,

pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, perabotan

rumah tangga yang berpotensi sumber alergen) dengan

gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di

Kelurahan Ciputat.

5. Mengetahui hubungan antara faktor individu (jenis kelamin

dan riwayat asma) dengan gejala asma pada murid SD

(24)

6. Mengetahui hubungan antara faktor perilaku (pemberian

ASI eksklusif) dengan gejala asma pada murid SD Negeri

usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Pemerintahan Kota Tangerang Selatan

Untuk mengetahui prevalensi murid usia 6-7 tahun yang

mempunyai gejala asma di SD Negeri yang berada di

wilayah Kelurahan Ciputat.

1.5.2 Masyarakat

Memberikan informasi kepada murid SD serta orang tua

mereka tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

gejala asma supaya mereka mengetahui dan dapat

melakukan pencegahan untuk menimalisasi timbulnya

gejala asma.

1.5.3 Program Studi Kesehatan Masyarakat

Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa/I jurusan kesehatan

masyarakat UIN Syarif Hidayatullah dan pengembangan

ilmu bidang kesehatan masyarakat

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada murid usia 6-7 tahun (usia 6-7

tahun) di SD yang berada di wilayah Kelurahan Ciputat yang

bertujuan untuk mengetahui apakah konsentrasi SO2 udara ambien

berhubungan dengan gejala asma pada anak pada usia tersebut dengan

(25)

juga memasukkan faktor-faktor lain yang diduga juga berhubungan

dengan gejala asma pada anak-anak, seperti keterpajanan asap rokok,

pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, perabotan rumah tangga

yang berpotensi sumber alergen, jenis kelamin, riwayat asma, dan

pemberian ASI eksklusif.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi Pencemaran Udara

Berdasarkan keputusan menteri negara dan lingkungan hidup RI. No.

KEP-03/MENKLH/1991 menyebutkan bahwa pencemaran udara adalah

masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi dan/atau komponen

lain ke udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara

turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang

atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya.

Pencemaran udara dapat terjadi dimana-mana, misalnya didalam rumah,

sekolah, kantor atau yang sering disebut sebagai pencemaran dalam ruang

(indoor pollution). Selain itu gejala ini secara akumulatif juga terjadi di luar

ruang (outdoor pollution) mulai dari tingkat lingkungan rumah, perkotaan,

hingga ke tingkat regional, bahkan saat ini sudah menjadi gejala global

(Wardani, 2012)

2.2Penggolongan zat-zat pencemar udara

2.2.1 Berdasarkan Sumber

Sumber utama pencemaran udara terbagi kedalam dua kategori

yakni alamiah dan kegiatan manusia (antropogenik). Sumber alam yang

utamanya adalah letusan gunung berapi dan aktivitas magma yang

keluar, terutama gas-gas CO2, CO, NOx, SO2 serta berbagai logam

berat metal seperti merkuri, Cadmium serta unsur-unsur bahan kimia

(27)

bermotor, industri, rumah tangga, serta kegiatan lain seperti merokok

(Achmadi, 2012).

2.2.2 Berdasarkan Bahan Atau Zat Pencemar

Bahan atau zat pencemaran udara dapat berbentuk gas dan partikel.

1. Pencemaran udara berbentuk gas dapat dibagi menjadi :

a. Golongan belerang terdiri dari sulfur dioksida (SO2), hidrogen

sulfida (H2S) dan sulfat aerosol.

b. Golongan nitrogen terdiri dari nitrogen oksida (N2O), nitrogen

monoksida (NO), amoniak (NH3) dan nitrogen dioksida (NO2).

c. Golongan karbon terdiri dari karbon dioksida (CO2), karbon

monoksida (CO), hidrokarbon.

d. Golongan gas yang berbahaya terdiri dari benzen, Vinyl

klorida, air raksa uap.

2. Pencemaran udara berbentuk partikel dibedakan menjadi :

a. Mineral (anorganik) dapat berupa racun seperti air raksa dan

timah

b. Bahan organik terdiri dari ikatan hidrokarbon, klorinasi alkan,

benzen.

c. Mahkluk hidup terdiri dari bakteri, virus, telur cacing.

(Balitbang Dephan, 2012).

2.3Baku Mutu Kualitas Udara Ambien

Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan

(28)

gangguan terhadap mahkluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan/ atau benda

(Sumantri, 2010).

Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Ambien Nasional

No. Parameter Waktu

1 Jam 900 µg/Nm3 Pararosanilin

1 Jam 235 µg/Nm3 Chemiluminescent

(29)

Sumber : PP No 41 tahun 1999

2.4Sulfur dioksida (SO2)

2.4.1 Sifat dan Karakteristik SO2

(30)

namun tidak berwarna. Sebagaimana O3, pencemar sekunder yang

terbentuk dari SO2, seperti partikulat sulfat dapat berpindah dan

terdeposisi jauh dari sumbernya. SO2 terbentuk saat terjadi pembakaran

bahan bakar fosil yang mengandung sulfur. Sulfur sendiri terdapat

dalam hampir semua material mentah yang belum diolah seperti minyak

mentah, batu bara, dan bijih-bijih yang mengandung metal seperti

aluminium, tembaga, seng, timbal dan besi. Di daerah perkotaan, salah

yang menjadi sumber sulfur utama adalah gas buang dari kendaraan

yang menggunakan diesel dan industri-industri yang menggunakan

bahan bakar batu bara dan minyak mentah. (KLH, 2011).

2.4.2 Dampak SO2 Terhadap Kesehatan

Gas SO2 telah lama dikenal sebagai gas yang dapat menyebabkan

iritasi pada sistem pernapasan, seperti pada selaput lendir hidung,

tenggorokan dan saluran udara di paru-paru. Efek kesehatan ini menjadi

lebih buruk pada penderita asma. Disamping itu SO2 dapat terkonversi

di udara menjadi pencemar sekunder seperti aerosol sulfat. Aerosol

yang dihasilkan sebagai pencemar sekunder umumnya mempunyai

ukuran yang sangat halus sehingga dapat terhisap kedalam sistem

perrnapasan bawah. Aerosol sulfat yang masuk kedalam salurah

pernapasan dapat menyebabkan dampak kesehatan yang lebih berat

daripada partikel-partikel lainnya karena mempunyai sifat korosif dan

karsinogen. Oleh karena itu gas SO2 berpotensi untuk menghasilkan

aerosol sulfat sebagai pencemar sekunder, kasus peningkatan angka

(31)

anak-anak yang sering terpajan dengan konsentrasi SO2 dan partikulat

secara bersamaan (KLH, 2011).

Tabel 2.2 Pengaruh SO2 Berdasarkan Konsentrasi Terhadap Manusia

Konsentrasi (ppm) Pengaruh

3-5 Jumlah terkecil yang dideteksi dari baunya

8-12 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi

tenggorokan

20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata

20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk

20 Maksimum yang diperboleh untuk konsentrasi dalam

waktu lama

50-100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak singkat

(30 menit)

400-500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat

Sumber : Putri (2012) 2.5 Asma

2.5.1 Definisi Asma

Menurut Purnomo (2008) Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan berarti serangan nafas pendek. Asma

merupakan gangguan imflamasi pada jalan napas yang ditandai oleh

obstruksi aliran udara napas dan respon jalan napas yang berlebihan

terhadap berbagai bentuk ransangan. Penyakit asma merupakan salah

(32)

paru jangka panjang yang ditandai oleh peningkatanresistensi jalan

napas. (Kowalak, 2011)

Asma adalah suatu penyakit obstruktif jalan napas yang

disebabkan oleh edema mukosa, sekresi mukus yang berlebihan, serta

spasme otot polos bronkus. Penyakit ini ditandai dengan adanya batuk,

sesak yang disertai adanya suara mengi (wheezing), bila terjadi serangan

pasien akan gelisah, sianosis, ekspresi memanjang, adanya otot

interkosta, serta terdapat suara ronki kering dan basah (Hidayat, 2008).

2.5.2 Faktor-Faktor Risiko Asma

Secara umum faktor risiko asma dapat dibagi kedalam dua kelompok

besar, yaitu faktor yang berhubungan dengan terjadinya atau

berkembangnya asma dan faktor-faktor pemicu (trigger) timbulnya gejala

asma. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan asma dan

timbulnya gejala asma adalah sebagai berikut:

2.5.2.1Faktor individu

1. Riwayat Asma

Selama berabad-abad telah diketahui bahwa asma

merupakan penyakit yang diturunkan dalam keluarga. Telah

dibuktikan dalam berbagai penelitian bahwa orang tua asma

merupakan prediktor yang kuat terhadap kejadian asma pada

anaknya. Hasil penelitian Laisina (2007) menunjukkan bahwa

kejadian asma pada anak yang orang tuanya memiliki riwayat

(33)

asma pada orang tua dengan kejadian asma pada anak (p <

0,001).

2. Riwayat Atopi

Atopi adalah suatu keadaan respon seseorang yang tinggi

terhadap protein asing yang sering bermanifestasi berupa rinitis

alergika, urtikaria atau dermatitis (Djojodibroto, 2009).

Sebagian besar pasien asma berasal dari keluarga atopi, dan

kandungan IgE spesifik pada seorang bayi dapat menjadi

prediktor untuk terjadinya asma kelak di kemudian hari (Akib,

2002).

3. Jenis kelamin

Pada anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki lebih

berisiko untuk terjadinya asma dibandingkan pada anak- anak

yang berjenis kelamin perempuan. Mendekati usia 14 tahun

prevalensi asma hampir dua kali lebih besar pada laki-laki

dibandingkan pada anak perempuan. Namun, Pada masa

dewasa jumlah asma lebih besar pada perempuan dibandingkan

pada laki-laki. Pada dasarnya alasan keterkaitan antara jenis

kelamin dengan penyakit asma belum jelas. Namun, ukuran

paru-paru laki-laki lebih kecil daripada paru-paru perempuan

ketika dilahirkan, dan berkembang menjadi besar pada saat

(34)

2.5.2.2 Faktor lingkungan

1. Infeksi

Infeksi saluran pernapasan oleh virus berperan penting

terhadap kejadian asma. Menurut Ronmark, et al dalam

Laisina (2007) pada penelitian kohort selama 1 tahun terhadap

3525 anak usia 7 dan 8 tahun mendapatkan adanya hubungan

antara infeksi saluran napas dengan kejadian asma.

2. Perabotan rumah tangga

Tungau Debu Rumah (TDR) merupakan alergen inhalan

penting yang berhubungan dengan timbulnya asma. Populasi

TDR paling banyak ditemukan pada kasur dan bantal.

Konsentrasi TDR dermatophagoides farinae lebih tinggi

secara bermakna pada kasur yang terbuat dari kapuk daripada

yang terbuat dari busa. Seperti kasur dan bantal, karpet juga

sering menampung bahan alergenik seperti TDR, serpihan kulit

atau bulu binatang. konsentrasi TDR lebih tinggi 10 kali pada

ruang tamu yang di dalamnya terdapat karpet (Laisina, 2007).

3. Asap rokok

Aliran asap yang terbakar lebih panas dan lebih toksik dari

pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi

mukosa jalan nafas. Pajanan asap tembakau pasif berakibat

lebih berbahaya pada gejala penyakit saluran nafas bawah

(batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan

(35)

munculnya asma meningkat pada anak yang terpajan sebagai

perokok pasif dengan OR = 3,3 (95% CI 1,41-5,74) (Purnomo,

2008).

4. Pemakaian obat nyamuk

Studi epidemiologis menunjukkan bahwa pajanan jangka

panjang terhadap asap obat nyamuk dikaitkan dengan asma dan

mengi persisten pada anak-anak (Mshelia et al, 2013). Obat

nyamuk semprot maupun asap obat nyamuk bakar merupakan

iritan inhalan yang sering digunakan dan dapat menyebabkan

hiperreaktifitas bronkus, namun sejauh mana pengaruhnya

terhadap asma masih belum jelas (Laisina, 2007).

5. Sulfur dioksida dan Nitrogen dioksida

Menurut Lee (2012) gas Sulfur dioksida (SO2) umumnya

berasal dari pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur

yang sebagian besar berasal dari batubara dan minyak, Selting

logam, dan proses industri lainnya. Bukti ilmiah saat ini

menyatakan bahwa terdapat hubungan pajanan jangka pendek

terhadap SO2, mulai dari 5 menit sampai 24 jam dengan

berbagai efek pernapasan yang merugikan termasuk

bronkokonstriksi dan peningkatan gejala asma (EPA, 2013).

Penelitian Speizer and Frank dalam Lee (2012) menyatakan

bahwa setelah menghirup rata-rata 16 ppm SO2 saat istirahat,

kurang dari 1% gas SO2 dapat dideteksi pada orofaring.

(36)

telah dilakukan di Asia tepatnya di Cina. Hasil dari Northeast

Chinese Children Health study menyatakan terbukti bahwa

konsensentrasi SO2 pada udara ambien secara positf

berhubungan dengan asma pada anak-anak (Dong et al, 2011).

Pada penderita asma, pajanan tingkat rendah NO2 dapat

menyebabkan peningkatan reaktivitas bronkial dan membuat

anak-anak lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Eksposur

jangka panjang untuk tingkat tinggi NO2 dapat menyebabkan

bronkitis kronis (EPA, 2012).

6. Binatang peliharaan

Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing,

hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan.

Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan

pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen

tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron)

dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan

asma, terutama dari burung dan hewan menyusui (Purnomo,

2008).

7. Cuaca

Indonesia merupakan negara dengan dua musim yaitu

musim hujan dan kemarau. Keduanya memiliki tiga komponen

yang berperan antara lain suhu udara, kelembaban dan curah

hujan. Kelembapan yang tinggi, suhu udara rendah dan curah

(37)

Udara dingin dapat mencetuskan serangan asma dengan cara

meningkatkan hiperresponsivitas saluran napas yang

menyebabkan bronkokontriksi dan menimbulkan gejala sesak

dan mengi (Kusbiantoro, 2005).

2.5.2.3 Faktor Perilaku

1. Pola makan

Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu

sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat,

strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab asma

(Purnomo, 2008). Dalam beberapa penelitian juga menyatakan

bahwa meningkatnya konsumsi makanan olahan dan

kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung

antioksidan seperti buah dan sayur berkontribusi dalam

meningkatkan kejadian asma (GINA, 2012).

Hasil penelitian Sihombing (2010) menyatakan bahwa

pada kebiasaan dalam mengonsumsi makanan yang diawetkan

memperlihatkan bahwa responden yang sering mengonsumsi

makanan yang diawetkan berisiko 0,9 kali mendapat asma

(OR=0,9; 95% CI 0,8-0,9).

2. Latihan Fisik

Latihan fisik (exercise) didefinisikan sebagai sub kelompok aktivitas fisik berupa gerakan tubuh yang terencana

terstruktur dan berulang untuk memperbaiki atua memelihara

(38)

Aktivitas gerak badan (exercise) sering memprovokasi saluran

pernapasan yang hiperaktif sehingga timbul bronkokontriksi.

Orang myang melakukan kegiatan olahraga ventilasi-menitnya

akan meningkat. Sebelum masuk kedalam paru, udara yang

dingin (temperatur kamar) dan kering harus dipanasi dan

dijenuhkan dengan uap air oleh epitel trakeobronkial. Epitel

trakeobronkial menjadi dingin dan kering sehingga menyebabkan bronkokontriksi saluran pernapasan (Djojodibroto, 2009). Serangan asma terjadi 5 sampai 15 menit setelah latihan fisik dimulai dan puncaknya dalam 6 sampai 8 menit. Gejala

asma perlahan-lahan menghilang dalam waktu 30 sampai 60

menit setelah latihan fisik. Interval ini dikenal sebagai periode

refrakter (refractory period) (Herdi, 2011).

3. Perubahan emosi

Peran faktor psikologis dalam perkembangan serangan

asma akut sudah lama diketahui, perasaan cemas dan depresi

seringkali bertepatan dengan terjadinya gejala asma.

Mekanisme yang menyebabkan eksaserbasi asma ini belum

dipahami secara pasti. Diduga bahwa fluktuasi penyempitan

jalan napas dikarenakan emosi yang negatif (Herdi, 2011).

4. Pemberian ASI eksklusif

Menurut PP Nomor 33 tahun 2012, Air Susu Ibu Eksklusif

(ASI) adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan

(39)

mengganti dengan makanan atau minuman lain. Dari studi secara

ekstensif, pola makan individu terutama dalam pemberian ASI

sangat berhubungan dengan perkembangan penyakit asma.

Data menyebutkan bahwa bayi yang diberikan susu sapi dan

protein kedelai mempunyai insiden mengi lebih tinggi pada

awal masa kanak-kanak dibandingkan bayi yang diberikan ASI

(GINA, 2012). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

pemberian ASI ekslusif berhubungan dengan penurunan risiko

asma, diduga karena adanya efek imunomodulasi dan pencegah

infeksi (Afdal, 2012).

2.5.3 Tanda Klinik Dan Gejala Asma

Secara umum tanda dan gejala asma meliputi :

1. Dispnea mendadak, mengi, dan rasa berat pada dada

2. Batuk-batuk dengan sputum yang kental, jernih, ataupun kuning

3. Takipnea, bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi

aksesorius

4. Denyut nadi yang cepat

5. Pengeluaran keringat yang banyak

6. Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi

7. Bunyi napas yang berkurang (Kowalak, 2011)

Karena asma merupakan suatu penyakit kronis, gejala asma pada

anak-anak biasanya sudah dimulai sejak bayi, dengan gejala sebagai

berikut :

(40)

2. Sulit makan

3. Napas cepat dan mendesing

4. Gerakan dada seperti tertahan dan kaku

5. Bila anak menderi penyakit saluran pernapasan, bunyi napas

mendesing

6. Batuk-batuk setelah menangis atau lari-lari, terutama di malam hari

7. Dinding dada seperti tertarik ke dalam di antara tulang rusuk dan

dibagian bawah leher

8. Sering menderita infeksi saluran napas seperti bronkhitis dan

pneumoni

9. Napas pendek

10. Ekspirasi memanjang

11. Gerakan napas lebih cepat

12. Batuk-batuk disertai bunyi napas mendesing atau tidak (Yatim,

2005).

2.5.4 Jenis-Jenis Asma

Penyakit asma dapat diklasifikasikan kedalam beberapa jenis, yaitu

sebagai berikut :

2.5.4.1 Asma alergik

Asma alergik disebabkan oleh alergen atau alergen-alergen yang

dikenal (misalnya serbuk sari, binatang, amarah, makanan dan jamur).

Kebanyakan alergen terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan

(41)

riwayat medis masa lalu ekzema atau rhinitis alergik. Pemejana

terhadap alergen mencetuskan serangan asma.

2.5.4.2Asma idiopatik atau nonalergik

Asma idiopatik atau nonalergik adalah asma yang tidak

berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktor, seperti common

cold, infeksi tratus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan

dapat mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, seperti

aspirin dan agen anti inflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, dan

agen sulfit (pengawet makanan). Serangan asma nonalergik menjadi

lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat

berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema. Pada beberapa

pasien akan mengalami asma gabungan.

2.5.4.3 Asma gabungan

Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini

mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun nonalergik

(Brunner & Suddarth, 2002)

2.5.5 Patofisiologi Asma

Asma adalah adalah obtruksi jalan napas reversible. Obstruksi

disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor yang berikut ini : (1) Kontraksi

otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas; (2)

Pembengkakan membran yang melapisi bronki; dan (3) Pengisian bronki

dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkial dan kelenjar mukosa

membesar; sputum yang kental banyak dihasilkan oleh oleh alveoli menjadi

(42)

yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi yang paling diketahui

adalah keterlibatan sistem imunologis dan saraf otonom.

Beberapa individu yang menderita asma mengalami respon imun

yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi (IgE) yang dihasilkan

kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap

antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, yang menyebabkan

pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin,

dan prostaglandin serta anafilasis dari substansi yang bereaksi lambat

(SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan

kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran

mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.

Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur

oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau

nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti

infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan, jumlah asetilkolin yang

dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung

menyebabkan bronkokontriksi dan juga merangsang pembentukan mediator

kimiawi (histamin, bradikinin, dan prostaglandin). Individu yang menderita

asma mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis (Brunner &

Suddarth, 2002).

2.6 Kerangka Teori

Asma merupakan gangguan imflamasi pada jalan napas yang ditandai

oleh obstruksi aliran udara napas dan respon jalan napas yang berlebihan

(43)

timbulnya gejala asma bisa disebabkan oleh berbagai faktor, faktor tersebut

adalah faktor lingkungan, faktor individu, dan faktor perilaku. Faktor-faktor

tersebut adalah seperti yang terdapat dalam kerangka teori dibawah ini:

Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber :

Modifikasi dari Laisina (2007), GINA (2012), Purnomo (2008), Afdal (2012), Sihombing (2010)

Faktor individu

 Jenis Kelamin  Riwayat asma  Riwayat Atopi Faktor lingkungan

 Infeksi virus  Asap rokok

 Perabotan rumah tangga  Pemakaian obat nyamuk  Binatang peliharaan  Cuaca

 Gas SO2 dan NO2

Faktor Perilaku

 Pola makan  Latihan fisik

 Emosi

 Pemberian ASI eksklusif

(44)

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini tidak semua faktor-faktor risiko yang berpengaruh

terhadap gejala asma pada anak diteliti, dikarenakan keterbatasan yang ada

baik dari segi waktu, tenaga dan biaya penelitian. Begitu juga dengan

faktor-faktor lain yang mungkin saja berpengaruh terhadap gejala asma tidak kami

teliti untuk membatasi luasnya topik yang akan dibahas.

Variabel Independen Variabel Dependen

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Gejala Asma Konsentrasi SO2 di

udara ambien

Jenis kelamin

Perabot rumah tangga

ASI eksklusif Riwayat asma Binatang peliharaan Pemakaian obat nyamuk

(45)

30

NO Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Hasil ukur Skala Ukur

A Variabel terikat

Gejala asma Terjadinya salah satu gangguan saluran pernafasan berupa batuk, sesak nafas dan mengi/wheezing (Hidayat, 2008)

Pengisian Kuesioner 1. Iya

2. Tidak

2 Jenis kelamin Kondisi responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Anak laki-laki lebih berisiko asma dibandingkan anak perempuan (GINA, 2012)

Pengisian Kuesioner 1. Laki-laki

2. Perempuan

Ordinal

3 Riwayat asma Riwayat penyakit asma pada orang tua kandung baik ibu maupun ayah

Pengisian Kuesioner 1. Iya

2. Tidak di rumah (didalam rumah atau di

Pengisian Kuesioner 1. Iya

2. Tidak

(46)

31

6 Binatang peliharaan Terdapat salah satu atau lebih dari binatang peliharaan yang berbulu di dalam rumah seperti kucing, anjing atau burung

Pengisian Kuesioner 1. Iya

2. Tidak

Terdapat salah satu atau lebih dari perabotan yang dapat menjadi media alergen (seperti kasur kapuk, bantal kapuk dan karpet berbulu) di rumah

Anak mendapatkan ASI eksklusif yaitu ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan (PP Nomor 33 tahun 2012)

Pengisian Kuesioner 1. Tidak

2. Iya

(47)

3.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara konsentrasi SO2 ambien di pekarangan sekolah

dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan

Ciputat.

2. Ada hubungan antara faktor keterpajanan asap rokok dengan gejala asma

pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

3. Ada hubungan antara faktor pemakaian obat nyamuk dengan gejala asma

pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

4. Ada hubungan antara faktor kepemilikan binatang peliharaan dengan

gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

5. Ada hubungan antara faktor perabot rumah tangga yang berpotensi sumber

alergen dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di

Kelurahan Ciputat.

6. Ada hubungan antara faktor jenis kelamin dengan gejala asma pada murid

SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

7. Ada hubungan antara faktor riwayat asma dengan gejala asma pada murid

SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

8. Ada hubungan antara faktor pemberian ASI eksklusif dengan gejala asma

(48)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan

desain cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian cross

sectional adalah penelitian yang melakukan determinasi terhadap paparan

(exposure) dan hasil (disease outcome) secara simultan pada setiap subjek

penelitian (Gordis dalam Swarjana, 2012). Peneliti menggunakan desain

cross sectional karena belum terdapat data sekunder tentang riwayat asma

pada anak SD usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.

4.2Lokasi Dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi

Penelitian ini dilakukan di 5 SD Negeri yang berada di wilayah

Kelurahan Ciputat, yaitu SD Negeri Ciputat 01, SD Negeri Ciputat 02, SD

Negeri Ciputat 05, SD Negeri Ciputat 06, dan SD Negeri Ciputat 10.

4.2.2 Waktu

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Mei tahun 2014.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi adalah kumpulan semua individu dalam suatu batas tertentu

(Budiarto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh SD Negeri di

Kelurahan Ciputat dan seluruh murid yang berusia 6-7 tahun yang bersekolah

di SD Negeri di Kelurahan Ciputat tahun 2014 dengan orang tua mereka

(49)

4.3.2 Sampel

Sampel adalah subunit populasi survei yang oleh peneliti

dipandang mewakili populasi target (Danim, 2003). Sampel dalam

penelitian ini adalah Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Ciputat dan

murid yang bersekolah di SD Negeri tersebut. Pengambilan sampel

menggunakan rumus uji hipothesis beda dua proporsi:

n = [Z21-α/2√ + √ 2

(P1-P2)2

Keterangan :

n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan

P2 : Proporsi asma pada yang terpajan dengan faktor risiko pada

penelitian sebelumnya

P1 : Proporsi asma pada yang tidak terpajan faktor risiko pada

penelitian sebelumnya

P : Rata-rata proporsi pada populasi (P1+P2 /2)

Z21-α/2 : Derajat kemaknaan α yaitu sebesar 5% = 1,96

(50)

Tabel 4.1

sampel tertinggi adalah 52. Jadi, jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam

penelitian ini adalah 52 x 2 = 104. Namun, untuk mencegah terjadinya bias maka

ditambah sebanyak 10% dari jumlah sampel minimal. Jadi secara keseluruhan

jumlah sampel yang diambil sebesar 120 sampel. Untuk menentukan jumlah

(51)

n = ∑ x 120 N

Keterangan :

n = Sampel yang dibutuhkan

∑ = Jumlah murid kelas 1

N = Jumlah keseluruhan populasi (520)

112 = sampel yang dibutuhkan

122 x 120

SD Ciputat 01 = = 28

520

127 x 120

SD Ciputat 02 = = 29 520

177 x 120

SD Ciputat 06 = = 41 520

43 x 120

SD Ciputat 05 = = 10 520

51 x 120

SD Ciputat 10 = = 12

520

4.3.3 Pengambilan sampel

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan simple random sampling.

Dari 10 SD Negeri yang ada di kelurahan Ciputat diambil 5 SD Negeri

sebagai sampel secara random. Apabila terdapat lebih dari satu ruang kelas 1,

maka dipilih satu ruang kelas secara random. Selanjutnya untuk mengambil

(52)

simple random sampling setiap unit dasar (individu) mempunyai kesempatan

yang sama untuk diambil sebagai sample (Budiarto, 2002). Peneliti

menggunakan teknik ini dikarenakan terdapat sampling frame berupa

nama-nama murid sehingga memudahkan peneliti dalam mengambil sampel. Skema

pengambilan sampel adalah seperti bagan 4.1 (halaman 37):

Pada penelitian ini peneliti menentukan kriteria-kriteria tertentu untuk

dijadikan sampel penelitian. Adapun kriteria yang dipilih berdasarkan kriteria

inklusi adalah sebagai berikut :

1. Murid SD Negeri di Kelurahan Ciputat yang berusia 6-7 tahun pada saat

penelitian.

2. Orang tua bersedia mengisi kuesioner.

Sedangkan untuk mengambil sampel udara, pada setiap SD peneliti

mengukur konsentrasi SO2 di udara ambien (outdoor) sebanyak 2 titik yaitu

jam 07:00 – 08:00 (sebelum murid masuk kelas) dan jam 10:00 sampai 11:00 (saat murid kelas 1 pulang sekolah) pada titik yang berbeda. Alasan peneliti

mengukur udara outdoor atau di halaman/pekarangan sekolah karena

diasumsikan bahwa disini konsentrasi SO2 lebih tinggi karena dekat dengan

jalan dan murid kelas 1 juga beraktivitas disini.

4.4 Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer yaitu mengambil data dengan

membagikan kuesioner kepada responden dan mengukur konsentrasi SO2 udara

(53)

4.5 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada

orang tua murid. Selain itu pengumpulan data juga dilakukan dengan

menggunakan impinger yang bertujuan untuk mengukur konsentrasi SO2 udara

ambien di lingkungan sekolah.

Keterangan :

S1-S5 : Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Ciputat yang

terpilih sebagai sampel

K1-K3 : Ruang kelas 1 SDN di Kelurahan Ciputat

Murid kelas K1 : Murid usia 6-7 tahun yang berada di ruang kelas K1

Bagan 4.1 Skema Pengambilan Sampel Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Ciputat

S1 S2 S5

K1 K2 K1 K2 K3 K1

Simple random

Simple random

Murid kelas K2

Murid kelas K1 Murid

kelas K1

(54)

4.1 Instrumen Penelitian

4.1.1 Impinger

Cara Pengukuran menggunakan midget impinger

Alat yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:

1. Midget Impinger/tabung penyerap

2. Low Volume Air Sampler (LVAS)

3. Pompa penghisap udara (Vaccum Pump)

Bahan yang diperlukan untuk sampling udara ambient adalah:

1. Absorber SO2

2. Aquadest

3. Filter Hidrofobik pori 0,5 µm diameter 110 cm

4. Botol/wadah sample + penutupnya

5. Plastik polietilen/PE

Prosedur:

1. Persiapan

a. Pembuatan larutan penyerap (Absorber) SO2

Larutan penyerap tetrakloromerkurat (TCM) 0,04 M

Larutkan 10,86 gram merkuri (II) klorida (HgCl2) dengan 800

mL air suling ke dalam gelas piala 1000 ml.

Tambahkan berturut-turut 5,96 gram kalium klorida (kCl) dan

(55)

aduk sampai homogen. Pindahkan ke dalam labu ukur,

encerkan dengan air suling sampai batas tera.

b.Filter yang diperlukan disimpan di dalam desikator selama 24

jam agar mendapatkan kondisi stabil.

c.Filter kosong ditimbang sampai diperoleh berat konstan,

minimal 3 kali penimbangan sehingga diketahui berat filter

sebelum pengambilan sampel, catat berat filter blanko (B1) dan

filter sampel (W1). Masing-masing filter tersebut ditaruh dalam

plastic PE setelah diberi kode sebelum dibawa ke lapangan.

d.Pompa penghisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran

udara 1L/menit dengan menggunakan flow meter. (Flow meter

harus dikalibrasi oleh laboratorium pengkalibrasi)

e.Absorber ditempatkan pada botol sample sebanyak 10 mL dan

diberi kode.

2. Pengambilan sampel

a. Bawa seluruh peralatan dan bahan ke lokasi sampling yang

sudah ditentukan.

b. Hubungkan midget impinger dan LVAS ke pompa hisap udara

dengan menggunakan selang silicon atau Teflon. Pasang

flowmeter pada selang. Pastikan tidak ada kebocoran pada

setiap sambungan selang baik yang berhubungan dengan

LVAS dan midget impinger maupun ke pompa penghisap

(56)

c. LVAS diletakkan pada titik pengukuran dengan menggunakan

tripod kira-kira setinggi zona pernafasan manusia.

d. Bilas tabung midget impinger dengan aquades lalu masukkan

larutan absorber SO2 sebanyak 10 ml ke tabung midget

impinger sesuai dengan gas yang akan diuji.

e. Filter sampel dimasukkan ke dalam LVAS holder dengan

menggunakan pinset dan tutup bagian atas holder.

f. Pompa penghisap udara dihidupkan (Power On) dan lakukan

pengambilan sampel dengan kecepatan laju aliran udara (flow

rate 1L/menit)

g. Atur timer selama 1 jam. Lama pengambilan sampel dapat

dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung

pada kebutuhan, tujuan, dan kondisi di lokasi pengukuran)

h. Setelah 1 jam pompa penghisap udara dimatikan (Power off).

i. Pindahkan masing-masing absorber pada midget impinger ke

botol sampel sesuai dengan kode gas yang diuji. Tutup rapat

botol sampel dan masing-masing diberi label (kode sampel,

titik sampling, lokasi sampling, hari, tanggal). Bilas kembali

dengan aquades masing-masing tabung pada midget impinger.

j. Pindahkan filter sampel yang ada di LVAS ke plastic PE. Beri

label pada wadah tersebut (kode sampel, titik sampling, lokasi

sampling, hari, tanggal, dan tenaga sampler).

k. Setelah selesai pengambilan sampel, debu pada bagian luar

(57)

l. Kemasi peralatan, selanjutnya bawa sampel gas ke

laboratorium untuk dianalisa. Filter dimasukkan ke dalam

desikator selama 24 jam.

Untuk pengukuran SO2 udara ambien outdoor pada setiap sekolah,

impinger diletakkan di halaman sekolah dimana biasanya murid-murid

beraktivitas. Walaupun pengukuran dilakukan pada jam yang berbeda yaitu

jam 07:00 – 08:00 dan jam 10:00 sampai 11:00 tapi penempatan impinger tetap pada satu titik, supaya bisa terlihat bagaimana konsentrasi SO2 pada waktu

yang berbeda.

4.1.2 Kuesioner

Salah satu instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah kuesioner. Jenis kuesioner ini adalah kuesioner tertutup. Kuesioner

tertutup merupakan kuesioner yang sudah disediakan jawabannya sehingga

responden tinggal memilih pada kolom yang sudah disediakan dengan

memberi tanda silang (Budiarto, 2002).

4.2 Pengolahan data , Analisis Data, dan penyajian data

4.2.1 Pengolahan data

Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan perangkat

lunak SPSS. Tahap pengolaha data yaitu meliputi :

4.2.1.1 Editing

Karena peneliti menggunakan dua instrumen penelitian

maka terdapat perbedaan pada tahapan pengolahan data. Untuk

yang menggunakan kuesioner, pada tahapan editing peneliti

(58)

hal ini peneliti memeriksa kelengkapan dan ketepatan dalam

pengisian kuesioner. Sedangkan yang menggunakan impinger

peneliti juga memeriksa apakah pencatatan di lembar hasil

pencatatan sudah tepat atau belum.

4.2.1.2 Coding

Pada kuesioner, data yang sudah dikumpulkan diberi

kode untuk setiap variabel pada kolom yang sudah tersedia,

bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam pemasukan,

pengelompokan dan pengolahan data. Begitu juga dengan

lembar hasil pencatatan, lembar tersebut juga akan diberi

kode.

4.2.1.3 Entry Data

Data dari kuesioner dan lembar hasil pencatatan

kemudian dimasukkan kedalam program komputer untuk

diolah.

4.2.1.4 Cleaning Data

Pada tahap cleaning data peneliti melakukan

pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah ada

kesalahan atau tidak. Serta mengetahui data yang hilang,

variasi data, dan konsistensi data.

4.2.2 Analisis Data

4.2.2.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari

(59)

dependen dan independen. Dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase tiap variabel.

4.2.2.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan

antara faktor independen dan faktor dependen. Uji yang

digunakan adalah Chi-square yaitu untuk melihat hubungan

antara dua variabel yang dikategorikan. Derajat kemaknaan 5%

dan tingkat keyakinan CI=95%. Jika p ≤ 0,05 artinya ada hubungan antara variabel independent dan variabel dependent,

sebaliknya jika p > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen. Selain itu,

untuk melihat adanya hubungan konsentrasi SO2 udara ambien

dengan gejala asma peneliti juga menggunakan uji non

parametrik (Mann-Whitney test) karena distribusi data SO2

yang didapatkan tidak normal.

4.7.3 Penyajian Data

Data akan disajikan dalam bentuk narasi, tabulasi dan

(60)

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1

Analisis Univariat

Pada analisis univariat ini ditampilkan distribusi frekuensi dari

masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel

dependen.

5.1.1 Gambaran Gejala Asma

Distribusi frekuensi gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di SD

Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada tabel

5.1 dibawah ini:

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Gejala Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014

Berdasarkan tabel 5.1, menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui

jumlah murid yang mempunyai gejala asma sebesar 15,8%, sedangkan yang

tidak mempunyai gejala asma sebesar 84,2%.

No Gejala Asma Jumlah (n) Persentase (%)

1 Iya 19 15,8

2 Tidak 101 84,2

(61)

5.1.2 Persentase Gejala Asma Berdasarkan Sekolah

Persentase gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di SD Negeri yang

berada di Kelurahan Ciputat tahun 2014 pada setiap sekolah dapat dilihat

pada Gambar 5.1 dibawah ini:

Gambar 5.1. Persentase Gejala Asma Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat tahun 2014

Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa SD Negeri 10 memiliki persentase gejala

asma tertinggi dibandingkan SD Negeri lainnya yaitu sebesar 33,3%,

sedangkan persentase gejala asma terendah terdapat pada SD Negeri 02

yaitu sebesar 3,4%.

5.1.3 Konsentrasi SO2 Udara Ambien Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat Berdasarkan Waktu Pengukuran

Konsentrasi SO2 udara ambien di SD Negeri yang berada di kelurahan

Ciputat ditinjau berdasarkan waktu pengukuran dapat dilihat pada gambar 5.2

(62)

Gambar 5.2. Gambaran Konsentrasi SO2 Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat Berdasarkan Waktu Pengukuran Tahun 2014

Dari gambar 5.2 menunjukkan bahwa konsentrasi SO2 di udara ambien

yang tertinggi terdapat pada SD Negeri 05 Ciputat pada jam 10 yaitu sebanyak

69,2 µg/Nm3. Sedangkan konsentrasi SO2 yang terendah atau tidak terdeteksi

terdapat pada SD Negeri 06 pada jam 10.

5.1.4 Gambaran Konsentrasi Rata- Rata SO2 Di Udara Ambien Pada Setiap Sekolah

Gambaran konsentrasi rata-rata SO2 di udara ambien pada setiap sekolah

dapat dilihat pada gambar 5.3 dibawah ini:

Gambar 5.3. Konsentrasi Rata- Rata SO2 Di Udara Ambien Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014

(63)

Berdasarkan gambar 5.3 menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata SO2 di

udara ambien yang tertinggi terdapat di SD Negeri 05 yaitu sebesar 46,7 µg/Nm3.

Sedangkan konsentrasi rata-rata SO2 udara ambien yang terendah terdapat di SD

Negeri 10 yaitu sebesar 24,4 µg/Nm3.

5.1.5 Uji Normalitas SO2

Berikut adalah hasil uji normalitas data konsentrasi SO2 udara ambien dengan uji

Kolmogor- Smirnov.

Tabel 5.2 Uji Normalitas Data Konsentrasi SO2 Udara Ambien

Mean Min-Max p value

SO2 33,5 24,4 – 46,7 0,000

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa mean konsentrasi SO2 udara

ambien adalah 33,5 µg/Nm3. Nilai konsentrasi SO2 terendah adalah 24,4

µg/Nm3, Sedangkan yang tertinggi adalah 46,7 µg/Nm3. Hasil Uji

Kolmogorov-Smirnov didapatkan p value 0,000, artinya data konsentrasi SO2 udara ambien

yang ada tidak normal karena < 0,05.

5.1.6 Keterpajanan Asap Rokok

Distribusi frekuensi ketepraparan asap rokok pada murid usia 6-7 tahun di

SD Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada

Gambar

Gambar 5.1 Persentase Gejala Asma ...................................................................
gambaran konsentrasi
Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Ambien Nasional
Tabel 2.2 Pengaruh SO2 Berdasarkan Konsentrasi Terhadap Manusia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Cakewalk Pro Audio merupakan salah satu dari sekian banyak aplikasi perangkat yang bertujuan dalam memanfaatkan data secara digital yang terhubung dengan komputer dari aplikasi

[r]

To acquire images with a defined blur the movement of the camera and the point of time of the image exposure have to be known, which can be achieved using a shaking table.. The

Yoan Alexandria Angelina Yosediputra P UNAIR 16 dr.. Christina Meilani Susanto P UNAIR 18

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, perlu menetapkan Peraturan Bupati Bantul tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi

sebanyak dua kali mengalami semutan dan kaku di kedua tangan pada waktu pagi hari, sedangkan partisipan yang mempunyai riwayat hipertensi sebelum hamil mengalami

Studi literatur merupakan prosedur untuk mendapatkan literatur / artikel tentang filtering firewall dengan IP Table, kemudian Mempelajari Sistem jaringan yang