AKIBAT PENGARUH PERBEDAAN GALUR DAN
JENIS LEMAK SERTA
KOMBINASI KOMPOSISI
ANTIOKSIDAN (VITAMIN A, C DAN E) DALAM PAKAN
SANGLE YOHANNES RANDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Bau Daging dan Performa Itik akibat Pengaruh Perbedaan Galur dan Jenis Lemak serta Kombinasi Komposisi Antioksidan (Vitamin A, C dan E) dalam Pakan adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 27 Februari 2007
SANGLE YOHANNES RANDA. Bau Daging dan Performa Itik Akibat Pengaruh Perbedaan Galur dan Jenis Lemak serta Kombinasi Komposisi Antioksidan (Vitamin A, C, dan E) dalam Pakan. Dibimbing oleh PENI S. HARDJOSWORO, ANTON APRIYANTONO, dan RUDY I. HUTAGALUNG.
Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji penggunaan antioksidan untuk mengurangi atau menghilangkan bau amis/anyir (off-odor) daging ternak itik. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua percobaan. Percobaan pertama menetapkan galur ternak dan jenis lemak pakan yang menghasilkan intensitas off-odor daging itik yang lebih kuat. Percobaan menggunakan rancangan faktorial dua faktor, yaitu faktor galur ternak dan faktor jenis lemak pakan dalam Rancangan Acak Lengkap. Faktor pertama dalam percobaan ini adalah dua galur ternak itik yaitu galur alabio dan galur cihateup, masing-masing sebanyak 40 ekor jantan. Faktor kedua yaitu empat macam ransum berdasarkan penggunaan jenis lemak dalam ransum, yaitu ransum tanpa penambahan sumber lemak (kontrol, Ko), ransum dengan pemberian lemak sapi (LS), minyak kedelai (MKd), dan minyak kelapa (MKp). Pemakaian masing-masing jenis lemak dalam ransum sebanyak 7.5 persen. Variabel yang dipelajari meliputi performa ternak, konsentrasi lemak dan komposisi asam-asam lemak, intensitas dan kualitas off-odor daging. Analisis sensori dilaksanakan dengan melibatkan 10 -14 panelis terlatih yang melakukan pengujian dengan metode uji ranking, skalar dan deskripsi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perbedaan galur ternak dan jenis lemak pakan tidak saling berinteraksi dalam mempengaruhi performa ternak dan kandungan lemak. Itik cihateup memiliki intensitas off-odor daging yang lebih tinggi (P < 0.05) daripada itik alabio. Analisis sensori deskriptif memperlihatkan bahwa jenis off-odor pada daging itik terdiri atas bau tengik (rancid), bau amis (fishy), bau lemak (fatty), bau jamur (moldy), bau langu (beany), dan bau tanah (earthy). Penggunaan minyak kelapa di dalam ransum ternak, menghasilkan bau fishy yang semakin kuat, baik pada itik alabio maupun pada itik cihateup. Hasil dari percobaan pertama diperoleh bahwa itik galur cihateup yang diberi ransum yang memakai minyak kelapa memiliki intensitas off-odor daging yang sangat kuat. Percobaan kedua menggunakan sebanyak 80 ekor itik cihateup jantan yang diberi ransum mengandung minyak kelapa. Pengujian yang dilakukan adalah efektivitas suplementasi antioksidan berbasis pada α-tokoferil asetat (vitamin E, 400 IU/kg) yang dikombinasikan dengan vitamin A (20 000 IU/kg) dan atau vitamin C (250 mg/kg). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suplementasi antioksidan tidak mempengaruhi performa ternak dan komposisi asam-asam lemak, tetapi nyata (P < 0.05) dalam mempengaruhi konsentrasi lemak daging, hati, kulit, dan tunggir. Penggunaan kombinasi antioksidan vitamin E dengan C, tidak saja menurunkan konsentrasi kandungan lemak, tetapi juga memberi pengaruh yang nyata dalam mengurangi intensitas off-odor daging itik. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa suplementasi antioksidan vitamin E, baik tunggal ataupun dalam bentuk kombinasi dengan vitamin A atau C, dapat mempertahankan stabilitas lipid daging.
as Affected by Different Strains, Dietary Lipids and Composition Combination of Antioxidants (Vitamin A, C and E). Under the supervision of PENI S. HARDJOSWORO, ANTON APRIYANTONO, and RUDY I. HUTAGALUNG.
The main objective of this study is to investigate the use of antioxidants to reduce or to eliminate off-odor of duck meat. This study was conducted in two experiments. The first experiment was to determine kind of duck strain and dietary fats which produced high intensity of duck meat off-odor. The experiment was done using a two-factorial design in a Completely Randomized Design. The first factor in this experiment was two duck strains, i.e. Alabio strain and Cihateup strain. There were 80 duck male-animals, and 40 animals in each of the strains. The second factor was a different type of fat as lipid sources for the ration. There were three kind of fats i.e. tallow, soybean oil, and coconut oil, to compose three different treatments of the ration, and there was one ration without additional fat, functioned as a treatment control. The ration treatments were the ration used beef-tallow (LS), soybean oil (MKd), coconut oil (MKp), and the control ration (Ko). The inclusion level of fat was 7.5%. Parameters measured were animal performance, fat content, fatty acid composition, and intensity and quality of meat off-odor. Sensory analysis involved 10-14 trained panelists that examined meat samples using ranking, scaling, and descriptive test. The experiment results showed that different strain and dietary fat significantly affected growth performance, fat content, fatty acids composition, and meat off-odor intensity. Cihateup strain had meat off-odor intensity higher (P < 0.05) than which Alabio strain had. Descriptive sensory analysis showed that the attributes of meat off-odor consisted of rancid, fishy, fatty, moldy, beany, and earthy. The use of coconut oil increased the intensity of meat off-odor, especially fishy odor. The first experiment concluded that Cihateup strain fed diet containing coconut oil resulted in highest intensity of meat off-odor. The second experiment was conducted to study the effectivity of antioxidant supplementation in reducing meat off-odor of Cihateup duck fed diet containing coconut oil. The main antioxidant used was d-α-tocopheryl acetate (vitamin E 400 IU/kg) which was combined with either vitamin A (20 000 IU/kg) or vitamin C (250 mg/kg). The antioxidant supplementation had not significantly affected the animal performance and not much altered fatty acid composition, but it was significant affected fat content of meat, liver, skin, and uropygium. The antioxidant combination of vitamin E and C decreased not only meat off-odor intensity, but also fat content of meat, skin and liver. The result also showed that the supplementation of vitamin E, either in individual or in combination with vitamin A or C, was significantly able to maintain lipid stability in duck meat.
Perbedaan Galur dan Jenis Lemak serta Kombinasi Komposisi Antioksidan (Vitamin A, C, dan E) dalam Pakan. Dibimbing oleh PENI S. HARDJOSWORO, ANTON APRIYANTONO, dan RUDY I. HUTAGALUNG.
Tingkat konsumsi protein hewani yang dicapai oleh masyarakat Indonesia belum memenuhi angka standar kecukupan protein yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Sasaran kecukupan protein sebesar 6 gram/kapita/hari sampai pada tahun 2005 baru mencapai 4.93 gram/kapita/hari. Salah satu faktor penting yang turut menyebabkan masih rendahnya konsumsi protein hewani oleh masyarakat Indonesia adalah faktor kebiasaan makan. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia lebih mengkonsumsi jenis-jenis makanan, khususnya daging, yang sudah umum mereka kenal, seperti daging ayam dan daging sapi. Namun demikian, ketersediaan populasi dari ternak-ternak tersebut sampai sekarang belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan protein masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu dipikirkan perlu untuk memberdayakan sumber-sumber protein asal ternak lain sehingga dapat turut menunjang upaya pencukupan kebutuhan protein hewani.
Salah satu ternak lokal di Indonesia yang berpotensi untuk terus dikembangkan sebagai penyedia daging sumber protein adalah ternak itik. Sekalipun populasi itik di Indonesia yang mencapai sekitar 34 juta ekor menempati urutan keempat dari populasi itik dunia, kontribusinya bagi produksi daging unggas di Inonesia hanya baru mencapai 1.70 persen. Salah satu faktor yang turut mempengaruhi lambatnya peningkatan produksi daging itik yakni selain faktor kebiasaan, juga disebabkan masih rendahnya minat atau selera masyarakat dalam mengkonsumsi daging itik. Kendala utama yang menjadi alasan bagi banyak orang tidak mengkonsumsi daging itik yaitu adanya bau amis (off-odor) pada daging itik. Oleh karena itu salah satu upaya awal dalam mempopulerkan daging itik yaitu terlebih dahulu dengan menghilangkan atau mengurangi intensitas bau amis pada daging itik tersebut.
Kajian ilmiah terdahulu terhadap pembentukan off-odor pada daging umumnya, dan khususnya daging itik, disimpulkan bahwa volatil-volatil off-odor terbentuk sebagai hasil degradasi dan oksidasi lipid yang terdapat dalam daging. Dengan demikian untuk menghambat laju pembentukan volatil-volatil off-odor yang dihasilkan dari proses oksidasi lipid, penggunaan antioksidan dapat merupakan solusi terhadap persoalan ini.
Berdasar pada asumsi di atas, penelitian ini dirancang dalam dua percobaan. Percobaan pertama dilaksanakan untuk mendapatkan galur itik yang memiliki intensitas off-odor yang tinggi, dan bahan pakan yang berpotensi mempertajam off-odor tersebut. Dengan demikian percobaan pada tahap pertama dilaksanakan dalam rancangan percobaan faktorial. Sebagai faktor dalam percobaan ini yaitu galur ternak dan jenis lemak pakan. Selanjutnya percobaan kedua dilaksanakan untuk mendapatkan penggunaan antioksidan yang efektif mengatasi penyebab masalah off-odor yang diperoleh dari hasil percobaan pertama.
kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan diberi lima ulangan, dan masing-masing ulangan terdiri atas dua ekor ternak dari galur yang sama.
Nutrisi ransum percobaan disusun secara iso-kalori dan iso-nitrogenus berdasarkan pada kebutuhan fase pertumbuhan. Pada fase pertumbuhan awal (fase starter), kandungan protein ransum 20% dan energi metabolisme 3 000 kkal/kg. Untuk fase pertumbuhan akhir (fase finisher), kandungan protein ransum 16% dengan energi metabolisme tetap sama seperti fase pertumbuhan awal.
Pemberian ransum percobaan dimulai setelah ternak melalui masa penyesuaian perlakuan selama dua minggu. Setelah masa adaptasi, pemberian ransum percobaan dimulai dengan ransum fase starter selama lima minggu, dan dilanjutkan dengan ransum fase finisher selama lima minggu berikutnya. Sehingga seluruh masa pemberian ransum atau periode percobaan selama sepuluh minggu. Penimbangan bobot ternak dilaksanakan setiap minggu, sejak awal percobaan sampai akhir periode percobaan.
Secara umum variabel penelitian pada tahap pertama percobaan terdiri atas performa pertumbuhan ternak, kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak dari daging dan beberapa organ ternak, serta intensitas bau (off-odor) daging ternak. Respon perlakuan pada variabel-variabel penelitian dianalisis dengan menggunakan beberapa metode analisis, antara lain: analisis ragam, analisis sensori, metode analisis kualitatif deskriptif (QDA), dan metode analisis komponen utama (PCA). Pengujian sensori dilaksanakan dengan melibatkan panelis terlatih, yang diperoleh melalui seleksi dan pelatihan.
Hasil dari percobaan pertama memperlihatkan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara galur ternak dan penggunaan jenis lemak pakan pada variabel performa ternak yang terdiri atas konsumsi ransum, konversi ransum, bobot potong ternak, dan laju pertumbuhan ternak. Pengaruh interaksi tidak terdapat pula pada variabel kandungan lemak yang diamati pada daging, hati, kulit, dan tunggir ternak.
Pada percobaan pertama diperoleh bahwa itik galur alabio memiliki bobot potong dan laju pertumbuhan yang sangat nyata lebih tinggi (P < 0.01) daripada itik galur cihateup. Bobot potong setelah periode percobaan 10 minggu (umur ternak 12 minggu) yang dicapai oleh itik alabio 1 382.1 gram, sedangkan itik cihateup 1 244.9 gram. Hal ini juga diikuti oleh tingkat konsumsi dan konversi ransum yang lebih tingggi (P < 0.05) pada itik alabio dibandingkan itik cihateup. Selain dipengaruhi oleh galur, performa ternak itik juga dipengaruhi oleh jenis lemak pakan. Ternak-ternak percobaan, baik dari galur alabio maupun cihateup, yang diberi ransum mengandung lemak sapi memiliki performa yang lebih baik dari pada ternak yang diberi ransum yang mengandung minyak kelapa, minyak kedelai, ataupun yang diberi ransum kontrol.
Analisis terhadap kandungan lemak dan komposisi asam-asam lemak pada daging maupun pada beberapa organ yang diamati terlihat bahwa perbedaan galur dan perbedaan jenis lemak yang digunakan mempengaruhi konsentrasi lemak dan juga perubahan dalam komposisi asam-asam lemak. Kecuali pada kulit, itik alabio mengandung lemak yang lebih tinggi daripada itik cihateup. Dalam hal komposisi asam-asam lemak daging, terlihat bahwa itik alabio dan cihateup memiliki kandungan asam-asam lemak tidak jenuh lebih tinggi dari pada asam-asam lemak jenuh.
(tengik), fatty (bau lemak), beany (langu), moldy (bau jamur), dan earthy (bau tanah). Berdasarkan pada analisis QDA dan PCA, terlihat bahwa terdapat pola hubungan dan persebaran yang berbeda antara perlakuan ransum dan atribut off-odor dari masing-masing galur ternak itik.
Hasil dari percobaan pertama diperoleh bahwa itik cihateup yang diberi ransum yang menggunakan minyak kelapa menghasilkan intensitas off-odor daging yang paling kuat. Berdasarkan pada hasil ini, maka itik cihateup dengan ransum yang ditambahkan minyak kelapa digunakan dalam percobaan kedua untuk menguji efektivitas antioksidan. Sebanyak 80 ekor itik cihateup jantan dipakai dalam percobaan kedua ini. Suplementasi antioksidan berbasis pada vitamin E yang dikombinasikan dengan vitamin A dan vitamin C. Vitamin E yang dipakai yaitu d-α-tokoferil asetat, dosis 400 IU/kg; vitamin A 20 000 IU/kg, dan vitamin C 250 mg/kg. Perlakuan ransum dalam percobaan kedua yaitu: E0 (tanpa suplementasi antioksidan), E1 (ransum dengan suplementasi vitamin E tanpa kombinasi), EA (kombinasi vitamin E dengan vitamin A), EC (kombinasi vitamin E dengan vitamin C), dan EAC (kombinasi vitamin E, A, dan C). Metode pemeliharaan dan pemberian ransum dilakukan sama seperti pada percobaan pertama.
Variabel-variabel penelitian pada percobaan kedua sama seperti pada percobaan pertama, kecuali ditambah dengan variabel nilai TBA. Hasil penelitian terhadap performa menunjukkan bahwa perlakuan antioksidan tidak mempengaruhi performa ternak. Demikian pula pada komposisi asam-asam lemak, relatif tidak terdapat perubahan pada komposisi asam-asam lemak dengan pemberian berbagai kombinasi antioksidan. Pengaruh antioksidan terlihat signifikan pada kandungan lemak, baik pada daging, hati, kulit dan tunggir. Penggunaan kombinasi vitamin E dan C menghasilkan penurunan kandungan lemak yang signifikan. Pengaruh kombinasi vitamin E dan C juga terlihat pada nilai TBARS. Nilai TBARS daging dari perlakuan EC nyata lebih rendah dari perlakuan lainnya. Selain menurunkan kandungan lemak dan mempertahankan stabilitas lemak terhadap oksidasi, suplementasi antioksidan kombinasi vitamin E dan C menghasilkan daging dengan intensitas off-odor yang rendah.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
AKIBAT PENGARUH PERBEDAAN GALUR DAN
JENIS LEMAK SERTA KOMBINASI KOMPOSISI
ANTIOKSIDAN (VITAMIN A, C DAN E) DALAM PAKAN
SANGLE YOHANNES RANDA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Erika B. Laconi, MS
atas kasih dan anugerahNya jualah sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2004 ini ialah mengatasi masalah bau amis (off-odor) pada daging itik, dengan judul Bau Daging dan Performa Itik Akibat Pengaruh Perbedaan Galur dan Jenis Lemak serta Kombinasi Komposisi Antioksidan (vitamin A, C, dan E) dalam Pakan.
Bab 3 dan Bab 4 dalam disertasi ini merupakan pengembangan dari artikel yang dikirim kepada Lokakarya Nasional Unggas Air II pada 16-17 November 2005 di Ciawi, Bogor, dan sebagaian dari naskah tersebut telah dipresentasikan dalam bentuk poster pada acara yang sama, dengan judul Pertumbuhan dan Intensitas Off-Odor Itik Cihateup yang Diberi Berbagai Jenis Lemak Dalam Pakan. Demikian pula Bab 3 dan Bab 4 merupakan pengembangan dari artikel ilmiah yang berjudul Bau pada Daging Itik Akibat Pengaruh Galur dan Penggunaan Lemak serta Komposisi Antioksidan (Vitamin A, C dan E) yang Berbeda dalam Pakan, yang telah dikirim ke Jurnal Forum Pascasarjana IPB.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Em. Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc., Dr. Ir. Anton Apriyantono, M.S., dan Prof. Dr. Rudy I. Hutagalung, D.V.M.,Ph.D. selaku pembimbing yang sudah banyak memberi arahan dan koreksi kepada penulis dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada almarhum Prof. Dr. Toha Sutardi, M.Sc. yang telah memberi kontribusi pemikiran yang bermanfaat dalam penelitian ini. Penulis juga berterima kasih kepada para staf laboran di Laboratorium Kimia Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, dan juga kepada staf laboran di Laboratorium Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan IPB, yang sangat membantu penulis pada saat melaksanakan penelitian dan analisis data. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para panelis yang telah memberi waktu dan tenaganya sehingga penelitian ini dapat berlangsung. Ucapan terima kasih hendak penulis sampaikan juga kepada Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Manokwari, PT. Freeport Indonesia, POTA Partai Damai Sejahtera (PDS), Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI), Universitas Negeri Papua (UNIPA) yang telah memberi dukungan finansial sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberi beasiswa BPPS yang memungkinkan penulis dapat mengikuti Program Pascasarjana di IPB ini. Rasa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan pula kepada semua rekan yang tak dapat disebut satu per satu yang sudah memberi kontribusi nyata bagi penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada ibunda atas doa yang terus dipanjatkan demi keberhasilan studi penulis. Kepada almarhum ayahanda, hormat dan terima kasih penulis persembahkan atas teladan yang ditinggalkan sehingga memungkinkan penulis dengan tabah dan tekun menghadapi setiap persoalan yang terkait dengan penyelesaian disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak, adik, dan semua keluarga yang tak henti-hentinya menaikkan doa dan mendukung penulis selama menempuh program pascasarjana ini. Demikian pula penulis berterima kasih kepada istri dan ketiga anak – Angelina, Evangelista, Trigarcia - yang dengan sabar menanti penulis menyelesaikan pendidikan ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2007
Penulis dilahirkan di Sorong, Papua, pada 7 Februari 1962 sebagai anak kelima dari sepuluh bersaudara dari ayah Simon Randa (alm) dan ibu Martha Dikka Randa. Sekolah dasar hingga menengah penulis selesaikan di Manokwari, Papua. Pendidikan sarjana dimulai pada tahun 1980 pada Fakultas Peternakan IPB, lulus tahun 1985. Pada tahun 1990, penulis memperoleh beasiswa dari EIUDP-CIDA/Canada untuk melanjutkan pendidikan di Animal Science Faculty, University of the Philippines at Los Baňos (UPLB), lulus tahun 1994. Program doktor dengan beasiswa BPPS di Sekolah Pascasarjana IPB penulis memulainya pada tahun 2000 pada Program Studi Ilmu Ternak.
Saat ini penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua (Unipa) sejak tahun 1986.
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
1 PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ………..……… 1
Tujuan Penelitian ……….……….. 4
Manfaat Penelitian ……….……… 4
Hipotesis Penelitian ………..………. 4
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
Off-odor ……… 5
Faktor Penentu Karakteristik dan Penyebab Off-odor pada Daging ……… 8
Faktor Genetik (spesies) ……….. 8
Itik Alabio ………. 12
Itik Cihateup ……… 13
Faktor Pakan ……….. 14
Perubahan Kimia ……….. 17
Faktor Pengolahan ………. 18
Pengaruh Mikroorganisme ………. 19
Pembentukan Aroma dan Off-odor Daging ………. 20
Reaksi Maillard ………..……… 21
Degradasi Lipid ………..……….. 23
Oksidasi Lipid Pembentuk Off-odor ……….. 26
Katalis Oksidasi ……….. 30
Flavor dan Off-flavor Daging Itik ……… 31
Pengurangan dan Pencegahan Off-odor Daging ………. 33
Antioksidan ……….. 36
Mekanisme Kerja Antioksidan ……… 38
Aplikasi Antioksidan dalam Upaya menghambat Oksidasi Lipid ……….. 39
Fungsi dan Mekanisme Kerja Vitamin E ……….. 43
Metabolisme Vitamin E ……… 46
Interaksi Vitamin E dan Vitamin Antioksidan yang Lain ………… 48
Interaksi Vitamin E dengan Vitamin C ……… 49
Interaksi Vitamin E dengan vitamin A ……… 50
Analisis Sensori Off-odor ………. 52
3 PERBEDAAN GALUR TERNAK DAN LEMAK PAKAN TERHADAP PERFORMA TERNAK ITIK ... 55
Pendahuluan ... 55
Bahan dan Metode ... 56
Waktu dan Tempat ... 56
Ternak Percobaan ... 56
Metode Penelitian ... 56
Hasil dan Pembahasan ... 63
Performa Ternak Itik ... 63
Konsumsi dan Konversi Ransum ... 63
Pertumbuhan ... 64
Kualitas Karkas dan Komponennya ... 67
Simpulan ... 72
4 PERBEDAAN GALUR TERNAK DAN JENIS LEMAK PAKAN TERHADAP BAU DAGING ITIK ... 73
Pendahuluan ………... 73
Bahan dan Metode ………. 74
Waktu dan Tempat ...……….. 74
Bahan Penelitian ... 74
Metode Penelitian ... 74
Pengujian Sensori ……… 75
Hasil dan Pembahasan ………. 78
Kadar Lemak ……… 78
Komposisi Asam-asam Lemak ... 80
Pengujian Sensori ……… 87
Simpulan ………. 95
5.
SUPLEMENTASI ANTIOKSIDAN TERHADAP BAU DAN STABILITAS OKSIDATIF DAGING ITIK ... 96Pendahuluan ... 96
Bahan dan Metode ... 98
Waktu dan Tempat ... 98
Ternak dan Ransum Percobaan ... 98
Metode Penelitian ... 98
Variabel Penelitian ... 99
Uji Sensori ... 100
Analisis Data ... 100
Hasil dan Pembahasan ... 101
Performa Ternak Itik ... 101
Konsumsi dan Konversi Ransum ... 101
Pertumbuhan ... 101
Karkas dan Komponennya ... 102
Kandungan Lemak ... 105
Komposisi Asam-asam lemak ... 106
Kualitas Sensori ... 109
Stabilitas Oksidatif ... 114
Simpulan ……….. 119
6 PEMBAHASAN UMUM ……… 120
7 SIMPULAN DAN SARAN ……… 126
DAFTAR PUSTAKA ……… 129
LAMPIRAN ……….. 140
1 Komposisi asam-asam lemak pada daging ayam broiler vs itik ... 11
2 Nilai tengah flavor, off−flavor dan off−odor berdasar perlakuan ... 40
3 Nilai tengah konsentrasi senyawa−senyawa aldehid jenuh dan
tak jenuh pada paha dan dada ayam ……… 42
4 Susunan bahan pakan ransum percobaan masing-masing
perlakuan ... 58
5 Komposisi nutrisi ransum percobaan ...………. 59
6 Komposisi nutrisi mineral dan vitamin ransum percobaan …… 59
7 Komposisi asam-asam lemak ransum percobaan ……….. 60
8 Komposisi asam-asam lemak bahan pakan sumber lemak ……. 61
9 Konsumsi kumulatif 10 minggu dan konversi ransum ternak-ternak
percobaan yang dipengaruhi galur ternak dan jenis lemak pakan... 63
10 Rataan bobot badan awal, bobot badan akhir dan pertambahan bobot badan per ekor ternak percobaan ... 65
11 Perbedaan galur dan jenis lemak pakan terhadap produksi karkas
ternak-ternak percobaan ... 68
12 Persentase komponen karkas berdasarkan perbedaan galur ternak
dan lemak pakan ... 69
13 Persentase bobot hati, lemak abdomen, dan tunggir berdasarkan
perbedaan galur ternak dan lemak pakan ... 71
14 Kandungan lemak pada daging dan kulit paha itik alabio dan cihateup umur 10 minggu ... 78
15 Kandungan lemak pada hati dan tunggir itik alabio dan cihateup umur 10 minggu ... 80
16 Komposisi asam-asam lemak bagian paha (tanpa kulit) itik alabio dan cihateup umur 10 minggu yang diberi berbagai jenis lemak
pakan ... 81
17 Komposisi asam-asam lemak hati itik alabio dan cihateup umur 10
minggu yang diberi berbagai jenis lemak pakan ... 83
19 Pengukuran atribut off-odor daging itik berdasarkan uji skalar garis
dari masing-masing perlakuan ransum ... 89
20 Hasil analisis komponen utama variabel off-odor dan jenis lemak
pakan pada itik alabio dan cihateup ... 92
21 Konsumsi dan konversi ransum ternak-ternak itik percobaan yang
diberi perlakuan selama periode pemeliharaan 10 minggu ... 101
22 Performa itik cihateup yang diberi ransum percobaan selama 10
minggu masa pemeliharaan ... 102
23 Rataan bobot potong, karkas dan persentase karkas dari masing-
masing ransum perlakuan ... 103
24 Persentase bobot dada, paha, dan sayap itik cihateup yang diberi
perlakuan antioksidan ... 104
25 Persentase bobot hati, lemak abdomen, dan tunggir itik cihateup
yang mendapatkan berbagai perlakuan antioksidan ... 104
26 Persentase lemak pada daging paha, hati dan kulit itik cihateup
yang diberi perlakuan antioksidan ... 105
27 Komposisi asam-asam lemak daging itik cihateup dari masing-
masing perlakuan ransum ... 107
28 Nilai rataan intensitas atribut off-odor daging itik yang diberi
berbagai perlakuan antioksidan ... 111
29 Nilai TBARS (mg MDA/kg sampel daging) mingguan dari daging itik segar yang disimpan menggunakan pembungkus plastik tidak
kedap udara pada suhu refrigerasi selama empat minggu ....…. 115
30 Nilai TBARS (mg MDA/kg sampel daging) daging itik masak dan yang dimasak/dipanaskan ulang setelah disimpan selama
48 jam ...………... 116
1 Anatomi sistem olfaktori ………... 7
2 Itik jantan alabio anak dan dewasa ... 12
3 Itik cihateup anak dan dewasa ……… 13
4 Pembentukan senyawa−senyawa flavor pada daging melalui reaksi Maillard dari gula dan amin ... 22
5 Pembentukan volatil melalui pemecahan hidroperoksida lipid
sederhana ………. 25
6 Mekanisme oksidasi asam lemak ……….. 28
7 Titik kontrol kritis sepanjang rantai produksi dari ternak sampai menjadi makanan ……… 36
8 Struktur bangun tokoferol ……….. 43
9 Reaksi Inisiasi dan berantai yang disebabkan oleh radikal bebas hidroksi menyerang asam lemak tak jenuh ……… 46
10 Mekanisme efek antioksidan vitamin E ……….. 48
11 Struktur molekul vitamin C
……….
49
12 Struktur bangun All-trans β-karoten ... 50
13 Skema penghambatan oksidasi pada membran dan LDL oleh kombinasi β-karoten, vitamin C dan vitamin E ... 51
14 Persentase komposisi asam lemak pada daging paha itik percobaan ……….. 82
15 Persentase komposisi asam lemak pada hati itik percobaan ….. 84
16 Persentase komposisi asam lemak pada tunggir itik percobaan .. 86
17 Nilai ranking off-odor (amis) daging paha itik dari setiap perlakuan 88 18 Diagram jaring laba-laba atribut off-odor daging itik alabio. ……… 90
19 Diagram jaring laba-laba atribut off-odor daging itik cihateup ... 91
20 Hubungan atribut off-odor daging dengan jenis lemak pakan pada itik alabio yang dianalisis dengan metode komponen utama ... 93
22 Nilai rataan ranking dari masing-masing ransum perlakuan ... 109
23 Jumlah frekuensi setiap nilai ranking masing-masing ransum
Perlakuan ... 110
24 Atribut off-odor daging itik cihateup masing-masing ransum
perlakuan ... ... 112
25 Hubungan antara kualitas atribut off-odor dengan perlakuan
berbagai antioksidan berdasarkan analisis komponen utama .... 113
26 Hubungan antara waktu penyimpanan dan nilai TBARS daging
itik masing-masing perlakuan ... 115
27 Nilai TBARS daging itik dari berbagai perlakuan ……….. 117
1 Bobot badan awal, bobot badan akhir, dan pertambahan bobot
badan ternak dari masing-masing perlakuan ……….. 141
2 Analisis ragam pengaruh galur terhadap bobot badan awal …… 142
3 Analisis peragam pengaruh perlakuan terhadap bobot badan
Akhir ……… 142
4 Analisis peragam pengaruh perlakuan terhadap pertambahan
bobot badan ……….. 143
5 Konsumsi kumulatif ternak dari masing-masing perlakuan selama
10 minggu masa penelitian dan analisis ragamnya ... 144
6 Konversi ransum ternak dari masing-masing perlakuan selama
10 minggu masa penelitian dan analisis ragamnya ... 145
7 Analisis ragam pengaruh faktor galur dan ransum (jenis lemak)
terhadap bobot karkas ……… 146
8 Analisis ragam pengaruh faktor galur dan ransum (jenis lemak)
terhadap persentase bobot karkas ……….. 147
9 Analisis ragam pengaruh faktor galur dan ransum (jenis lemak)
terhadap bobot paha ……… 148
10 Analisis ragam pengaruh faktor galur dan ransum (jenis lemak)
terhadap persentase bobot dada ………. 149
11 Analisis ragam pengaruh faktor galur dan ransum (jenis lemak)
terhadap persentase bobot sayap ………. 150
12 Analisis ragam pengaruh faktor galur dan ransum (jenis lemak)
terhadap persentase bobot hati ….……….. 151
13 Analisis ragam pengaruh faktor galur dan ransum (jenis lemak)
terhadap persentase bobot tunggir ……… 152
14 Analisis ragam pengaruh faktor galur dan ransum (jenis lemak)
terhadap persentase bobot lemak abdomen ... 153
15 Analisis ragam perlakuan antioksidan terhadap bobot badan
akhir ... 154
16 Analisis ragam konsumsi dan konversi ransum itik cihateup sebagai
akibat pengaruh pemberian antioksidan ... 155
17 Kuisioner seleksi panelis ... 156
20 Lembar kerja uji skalar atribut off-odor daging itik ………….. 160
21 Daftar peserta calon panelis pada seleksi tahap-1 …..………….. 161
22 Daftar peserta calon panelis pada seleksi tahap-2 ……… 162
23 Deskripsi off-odor daging dan organ tunggir itik ……… 163
24 Hasil uji ranking off-odor daging itik penelitian ... 165
25 Perhitungan Analisis Friedman dengan Uji Ranking pola BIB …. 166 26 Hasil pengujian skalar terhadap off-odor daging itik ……….. 167
27 Hasil uji skalar atribut dari masing-masing ternak dan ransum … 168 28 Data analisis asam-asam lemak daging itik dari masing-masing perlakuan ………. 169
29 Nilai ranking off-odor daging itik cihateup yang diberi perlakuan antioksidan ... 172
30 Analisis ragam perlakuan antioksidan terhadap ranking off-odor .. 173
31 Data uji skalar atribut off-odor masing-masing perlakuan ... 174
32 Hasil analisis hubungan perlakuan ransum dan atribut off-odor dengan metode Analisis Komponen Utama (PCA) ... 176
33 Prosedur analisis lemak dan asam-asam lemak ……… 177
34 Metode Uji Thiobarbituric Acid (TBA) ... 180
35 Analisis ragam uji TBA ………. 181
36 Perhitungan nilai biaya ransum percobaan ………. 182
Latar Belakang
Kontribusi daging itik terhadap penyediaan pangan masih lebih rendah
apabila dibandingkan dengan daging ayam ataupun daging dari beberapa ternak
penghasil daging lainnya. Sampai pada tahun 2004 data dari FAO menunjukkan
bahwa produksi daging itik di dunia baru sekitar 5.5 juta ton, sedangkan produksi
daging ayam telah mencapai 68 juta ton. Demikian pula di Indonesia, produksi
daging itik hanya baru sekitar 22 ribu ton yang berasal dari populasi 34 juta ekor,
sedangkan produksi daging ayam ras mencapai 780 ribu ton dari populasi sekitar
811 juta ekor; atau dapat dikatakan bahwa sumbangan produksi daging itik
terhadap total produksi daging unggas di Indonesia secara keseluruhan baru
sekitar 1.70 persen (Ditjennak 2006; FAO 2006).
Data produksi daging itik yang rendah tersebut, setidak-tidaknya dapat
menggambarkan bahwa permintaan konsumen terhadap produk tersebut masih
kurang atau belum begitu populer. Persoalan rendahnya minat terhadap daging
itik seringkali dihubungkan dengan baurasanya (flavor) yang kurang dapat
diterima oleh sebagian besar konsumen.
Dari segi potensi pengembangan itik di Indonesia, sebenarnya ternak itik
memiliki peluang yang sangat baik. Bilamana ditinjau dari segi ukuran populasi
ternak pada tingkat dunia berdasarkan data FAO (2006), populasi itik di
Indonesia menempati urutan keempat, yakni setelah Cina (660 juta), India
(107 juta) dan Vietnam (60 juta).
Itik juga dipandang sebagai ternak lokal yang dapat diandalkan sebagai
salah satu komponen dari program pemberdayaan masyarakat, khususnya
peternak di daerah pedesaan. Oleh dasar itulah dalam penetapan kebijakan
pembangunan peternakan secara nasional, Pemerintah Indonesia
menempatkan itik ke dalam kelompok komoditas ternak unggulan utama
bersama dengan ternak lain seperti sapi potong, kerbau, kambing, domba, dan
ayam buras. Namun pada kenyataanya, konsumsi daging itik di Indonesia masih
sangat rendah. Konsumsi daging itik di Indonesia baru berkisar
0.1 kg/tahun/kapita atau sekitar 1.73 persen dari konsumsi daging nasional yang
pada tahun 2005 mencapai 5.79 kg/kapita/tahun (Ditjennak 2006).
Beberapa faktor sebagai penyebab rendahnya permintaan daging itik,
terutama yang memberi sensasi penyimpangan rasa atau bau (flavor /
off-odor), seperti amis atau anyir. Demikian pula warna daging itik yang lebih merah
dibandingkan dengan warna daging ayam yang lebih putih, ikut mempengaruhi
preferensi konsumen. Faktor lain yang turut pula memperlambat kepopuleran
daging itik di Indonesia, yakni sebagian besar peternak lebih berorientasi pada
pengembangan ternak itik sebagai penghasil telur daripada sebagai penghasil
daging.
Data dari Ditjennak (2006) menunjukkan bahwa konsumsi protein hewani
(diluar ikan) pada 2005 baru mencapai 4.93 gram protein/kapita/hari dari sasaran
6 gram protein/kapita/hari. Hal ini berarti masih perlu untuk memaksimalkan
semua potensi sumber protein hewani yang tersedia. Konsumsi protein asal
daging tidak terbatas hanya berasal dari daging sapi atau daging ayam saja,
tetapi dari ternak-ternak lain perlu dikembangkan, sehingga dapat tercipta suatu
keanekaragaman pangan asal hewani yang berimbang.
Ternak itik berpeluang untuk terus dikembangkan sebagai sumber
protein, tidak hanya berbentuk telur tetapi juga daging. Oleh sebab itu perlu untuk
dilakukan pengkajian agar daging itik dapat disukai konsumen. Faktor flavor
seperti off-odor (bau menyimpang) yang mempengaruhi kesukaan konsumen
terhadap permintaan daging itik merupakan fokus utama yang ditelaah dalam
penelitian ini. Upaya ini ditempuh agar dapat mengangkat daging ternak itik
menjadi sepopuler daging ayam atau daging lainnya.
Setiap jenis ternak, termasuk itik, memiliki sifat yang spesifik dalam flavor
maupun off-flavor-nya. Bahkan dalam satu spesies, off-flavor daging yang
dihasilkan dapat berbeda. Di Indonesia meskipun terdapat beberapa jenis itik
lokal, namun sampai sejauh ini belum banyak penelitian yang secara khusus
menelaah sifat-sifat flavor ataupun off-flavor dari masing-masing itik lokal
tersebut.
Sifat lebih intensnya off-odor pada daging itik dibandingkan dengan
off-odor pada daging ayam sangat terkait dengan kemampuan ternak itik yang
lebih tinggi daripada ternak ayam dalam mendepositkan lemak tubuh. Sebagai
unggas air, ternak itik secara alami memiliki kulit berlapis lemak yang tebal.
Lemak ini diperlukan oleh itik untuk melindungi daging dan bagian-bagian dalam
tubuhnya agar tidak kedinginan saat ternak tersebut berendam dalam air. Lemak
pada itik itu juga dipergunakan untuk meminyaki bulunya agar tidak basah ketika
Masih banyak pendapat mengenai penyebab pembentukan bau
menyimpang (off-odor) pada ternak. Namun demikian, pengaruh yang sangat
kuat diketahui bersumber dari lemak. Beberapa senyawa yang dihasilkan
melalui proses oksidasi lemak atau asam-asam lemak berbentuk
senyawa-senyawa volatil (atsiri), yang merupakan senyawa-senyawa-senyawa-senyawa yang menghasilkan
sensasi bau. Pada ternak, termasuk ternak itik, senyawa-senyawa volatil
tersebut memberi sifat spesifik baik sebagai bau sedap ataupun bau tak sedap
(off-odor). Beberapa sifat bau yang dipresepsikan sebagai off-odor pada daging
itik yaitu antara lain: bau amis, bau darah, apek, tengik, bau seperti kentang
rebus, bau seperti ubi rebus, dan atau bau seperti telur asin.
Secara tradisional, cara masyarakat mengurangi bau daging itik yaitu
dengan membuang tunggir atau memanggang karkas sebelum diolah. Tunggir
adalah satu-satunya kelenjar minyak pada unggas, yang dianggap sebagai
sumber penyebab off-odor pada daging itik. Pemanggangan karkas sebelum
dimasak merupakan upaya melelehkan lemak kulit. Akan tetapi upaya-upaya ini
belum begitu efektif dalam menghilangkan off-odor daging itik, sehingga dalam
pengolahannya, daging itik tersebut masih harus ditambahkan atau dicampurkan
dengan beberapa ramuan rempah (bumbu masak).
Penelitian-penelitian yang dapat menjadi landasan bagi aplikasi teknologi
pengurangan off-odor daging itik masih sangat kurang. Identifikasi pembentukan
off-odor pada daging itik belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini
bermaksud melengkapi kekurangan informasi tersebut.
Penggunaan antioksidan, terutama vitamin E (α-tokoferol), sudah banyak diteliti keefektifannya dalam menghambat proses oksidasi lemak pada berbagai
jenis ternak. Beberapa penelitian lain juga melaporkan bahwa keefektifan
vitamin E itu dapat ditingkatkan apabila dikombinasikan dengan vitamin sumber
antioksidan lain seperti vitamin A ataupun vitamin C. Tidak itu saja, penggunaan
antioksidan juga memperlihatkan hasil yang positif dalam mempertahankan
kualitas, khususnya flavor produk-produk ternak yang harus disimpan dalam
Tujuan Penelitan
Sejalan dengan pembahasan terhadap masalah di atas, penelitian ini
dilaksanakan dengan tujuan:
1. Membandingkan perbedaan galur ternak terhadap bau (off-odor) daging
dan performa itik.
2. Menentukan jenis lemak pakan yang paling berpotensi menghasilkan
intensitas off-odor tinggi pada daging dan pengaruhnya terhadap
performa itik.
3. Menguji efektivitas penggunaan kombinasi vitamin E (α-tokoferol) dengan vitamin A atau vitamin C sebagai antioksidan dalam upaya pengurangan
off-odor dan stabilitas oksidatif pada daging itik.
Manfaat Penelitian
1. Tersedianya informasi ilmiah tentang metode pengurangan off-odor pada
daging itik.
2. Memproduksi daging itik yang rendah off-odor, sehingga apabila hendak
diolah untuk menghasilkan produk lain, tidak diperlukan lagi suatu
pemrosesan antara, sebagaimana seringkali dilakukan untuk mengurangi
off-odor.
Hipotesis Penelitian
1. Galur itik yang berbeda akan menghasilkan intensitas off-odor daging dan
performa itik yang berbeda.
2. Penggunaan lemak pakan yang berbeda dapat menghasilkan intensitas
off-odor daging dan performa itik yang berbeda.
3. Suplementasi kombinasi Vitamin E (α-tokoferol) dengan vitamin A atau C sebagai antioksidan dapat mengurangi pembentukan off-odor pada
2. TINJAUAN PUSTAKA
Off-Odor
Secara umum off-odor pada bahan pangan dapat dipahami sebagai odor
atau bau yang tidak diharapkan atau yang tidak semestinya terdapat pada bahan
tersebut. Off-odor dapat pula dimaksudkan sebagai odor yang menyebabkan
adanya penolakan terhadap bahan pangan. Odor atau bau yang menyebabkan
suatu bahan pangan tidak disukai, oleh Kilcast (1993) dibedakan antara yang
disebut dengan “taint” dan yang “off-odor”. Taint didefinisikan sebagai bau asing
pada bahan pangan. Bau ini terjadi karena ada suatu substansi dari luar masuk
mencemari bahan pangan. Dengan adanya substansi asing menyebabkan bau
yang dihasilkan menjadi tidak menyenangkan. Sebaliknya, off-odor diartikan
sebagai odor atau bau yang tidak disukai yang dihasilkan oleh bahan pangan itu
sendiri.
Dalam perspektif ilmu pangan khususnya yang mempelajari cita rasa atau
flavor bahan pangan, odor merupakan bagian yang terintegrasi dalam kinerja
sensasi manusia secara menyeluruh yang menghasilkan sensasi terhadap suatu
bahan pangan. Pengetahuan terhadap baurasa atau cita rasa (flavor) menjadi
penting karena telah diketahui bahwa kesukaan atau penerimaan manusia
terhadap suatu bahan pangan bukan semata-mata ditentukan oleh nilai
nutrisinya saja, akan tetapi sangat dipengaruhi pula oleh keberadaannya untuk
menimbulkan rangsangan manusia sehingga menghasilkan suatu sensasi cita
rasa terhadap bahan pangan tersebut. Bahkan rangsangan cita rasa ini menjadi
sangat penting dan yang paling umum dalam memberi pengaruh dan kesan awal
bagi manusia ketika akan mengambil keputusan untuk mengkonsumsi atau tidak
mengkonsumsi bahan pangan itu.
Pada kondisi normal, sensasi cita rasa melibatkan integrasi kerja dari
komponen indera manusia, baik dalam sistem fisiologis ataupun psikoligis
(Thomson 1986; Hui 1992). Indera manusia terdiri atas indera pencecap (lidah),
penghidu (hidung), penglihatan (mata), pendengaran (telinga), dan peraba (kulit).
Thomson (1986) mendefinisikan cita rasa sebagai pengalaman manusia yang
utuh yang timbul akibat adanya stimulasi terhadap indera perasa dan penghidu,
serta indera lainnya. Kesan flavor dari bahan makanan yang tertangkap oleh
indera, akan terekam dalam otak manusia sebagai penanda sifat bahan tersebut.
terjadi atau muncul sebagai akibat dari adanya interaksi antara makanan dan
manusia.
Sensasi rasa (taste) ditimbulkan oleh senyawa-senyawa kimia yang
mudah larut atau yang tidak volatil (non-volatile). Sensasi ini diterima oleh indera
pencecap (lidah). Empat rasa dasar yang umum dikenal oleh manusia yaitu
manis, pahit, asam, dan asin. Kemudian sejalan dengan perkembangan budaya
manusia, diperkenalkan pula satu jenis rasa yang disebut dengan rasa umami
(lezat). Berbeda dengan rasa, sensasi bau (odor) dihasilkan dari
senyawa-senyawa yang bersifat volatil. Rangsangan senyawa-senyawa-senyawa-senyawa penghasil bau
ditangkap oleh indera penghidu atau penciuman (hidung) yang kemudian
diteruskan ke saraf-saraf pusat. Pada awalnya manusia hanya mengenal empat
jenis bau, yakni harum, asam, tengik, dan hangus. Setelah itu berkembang
menjadi tujuh. Bahkan sekarang ini telah teridentifikasi tidak kurang dari 50
sensasi odor (Tortora dan Anagnostakos 1990). Jenis bau yang tertangkap
merupakan akibat dari pengaruh satu senyawa saja atau kombinasi dari berbagai
ratusan senyawa flavor yang hingga kini telah teridentifikasi, misalnya untuk
flavor daging sapi terdapat lebih dari 1000 senyawa volatil (Mottram 1998), untuk
daging ayam tidak kurang dari 450 senyawa volatil (Chen dan Ho 1998).
Perhatian dan kewaspadaan manusia terhadap sesuatu yang hendak
dimakan, umumnya bermula dari penciuman. Setelah makanan dikunyah di
dalam mulut, sejumlah senyawa volatil dari makanan tersebut akan mengalir
dalam rongga mulut, dan masuk pula ke rongga hidung dan ditangkap oleh epitel
olfaktori (Gambar 1).
Kedinamisan proses-proses biologis, kimia, dan fisika yang berlangsung
di dalam ataupun yang berasal dari luar bahan pangan akan sangat
mempengaruhi kondisi flavornya. Bilamana pengaruh itu sampai menimbulkan
flavor yang berbeda dari kesan yang telah dikenal dari bahan itu, maka flavor
tersebut dikategorikan sebagaiflavoryang menyimpang yang diistilahkan dengan
sebutan off-flavor (Nii 1978; Kilcast 1993). Penyimpangan flavor yang berkaitan
dengan penyimpangan rasa diberi istilah off-taste; sedangkan yang berkaitan
Gambar 1 Anatomi sistem olfaktori. Sinyal dihasilkan oleh sekitar 1000 jenis sel-sel sensori yang melalui cribriform masuk ke dalam bulbus olfaktori dimana akan disaring melalui glomeruli sebelum diteruskan ke pusat olfaktori yang lebih tinggi (Meilgaard et al. 1999).
Penetapan batas cita rasa antara flavor dan off-flavor seringkali tidak
mudah untuk dilakukan. Dari bahan makanan yang sama, bisa kepada
seseorang menimbulkan sensasi flavor, tetapi kepada orang yang lain, off-flavor.
Hal seperti ini menyebabkan pemahaman terhadap flavor dan off-flavor
dipandang sebagai sesuatu yang bersifat subyektif. Oleh sebab itu dalam
mempelajari flavor dan off-flavor, penetapannya dilakukan berdasarkan indikasi
yang berlaku secara umum dalam suatu masyarakat (Bernardo-Gil 1997).
Beberapa kesan off-flavor bahan pangan yang seringkali merupakan masalah
bagi konsumen yaitu seperti desinfektan, basi, berlumut, bau tanah, bau feses,
rasa logam (metalik), amis, bau cat, dan bau plastik.
Meskipun dampak negatif off-flavor dalam industri pangan sangat
signifikan, senyawa pembentuknya merupakan komponen yang sangat kecil
dibandingkan dengan senyawa-senyawa lain dalam susunan komposisi zat-zat
makanannya. Menurut Teranishi (1978), komponen senyawa-senyawa flavor
dalam suatu bahan makanan berkisar antara 10-6 sampai 10-14 persen. Hal ini
cribriform bulbus
olfaktori glomeruli
saraf ke pusat olfaktori
rongga turbinatas
jauh lebih kecil dibandingkan dengan komponen zat-zat makanan lain seperti
protein, lipid, karbohidrat, ataupun air, yang dapat mencapai 25 sampai 95
persen. Oleh karena itu penelitian-penelitian yang ditujukan untuk
mengidentifikasi senyawa-senyawa off-flavor seringkali merupakan tantangan
utama bagi peneliti pangan, yang dalam melaksanakan penelitian-penelitian
tersebut sangat memerlukan penggunaan beberapa instrumen canggih seperti
gas kromatografi (GC) atau kombinsasi gas kromatografi dan spektrometer
massa (GC-MS).
Faktor Penentu Karakteristik dan Penyebab Off-odor pada Daging
Secara umum, pembentukan karakteristik off-odor pada daging dari
setiap spesies ternak disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti: genetik, pakan,
perubahan kimia dalam daging, kontaminasi dengan lingkungan, dan aktivitas
mikroorganisme (Sink 1979; Heath dan Reineccius 1986). Beberapa dari faktor
tersebut dapat dimodifikasi atau dikontrol secara teknis atau relatif sedikit lebih
mudah, namun ada beberapa faktor yang untuk mengatasinya memerlukan
kajian yang lebih mendalam dan prinsipil. Faktor-faktor penyebab off-odor akibat
terkontaminasi dengan lingkungan, seperti terkontaminasi dengan udara, air,
atau bahan-bahan kimia (desinfektan, detergen), dalam mengatasinya lebih
memerlukan pendekatan manajemen. Sedangkan, bilamana hal itu dipengaruhi
oleh faktor genetis atau perubahan-perubahan dalam daging, maka untuk
mengatasinya diperlukan suatu penelitian yang cermat (Mottram 1998).
Faktor Genetik (Spesies)
Sumbangan faktor genetik yang meliputi spesies dan jenis kelamin ternak
terhadap sensasi off-odor daging merupakan faktor yang memberi karakteristik
spesifik off-odor bagi setiap spesies ternak (MacLeod 1986). Karakterisasi
dengan analisis sensori oleh Bailey et al. (1992) diperoleh bahwa terdapat
perbedaan odor yang signifikan yang dihasilkan dari pemanasan lemak sapi,
babi, dan domba. Kesimpulan dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa
lemak domba yang didominasi oleh asam-asam lemak jenuh menghasilkan
sedikit senyawa-senyawa karbonil; sedangkan, lemak babi yang kaya
asam-asam lemak tidak jenuh lebih banyak memproduksi senyawa-senyawa karbonil.
Dua jenis off-odor yang sangat berhubungan dengan spesies ternak, yaitu “boar
Pada daging yang berasal dari ternak babi jantan yang tidak dikastrasi
terdeteksi suatu jenis off-odor khas, yang baunya dideskripsi seperti bau keringat
atau bau urin. Bau yang tidak disukai ini disebut sebagai bau jantan atau yang
dikenal dalam beberapa istilah seperti boar taint, boar odor, atau male sex odor
(Bailey et al. 1992). Bau ini sangat terkait dengan fraksi nonsaponifabel yang
terkandung dalam jaringan lemak babi jantan. Reineccius (1979) menyebutkan
beberapa senyawa yang sudah diidentifikasi berperan sebagai penyebab odor
boar taint adalah C19-16-ene steroid, 5α-androst-16-ene-3-one (androstenon),
dan 3α-hydroxy-5α-androst-16-ene. Menurut Bailey et al. (1992) senyawa C19-16 steroid disintesis di dalam sel-sel Leydig testes dan diangkut untuk
disimpan ke dalam jaringan adiposa. Dalam penelitian terbaru diperoleh bahwa
boar odor disebabkan pula oleh beberapa senyawa lain, yaitu: androstenon,
skatol, dan indol. Bahkan dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa
androstenon dan skatol merupakan dua senyawa yang sangat dominan dalam
menghasilkan boar odor. Analisis korelasi yang dilakukan didapatkan bahwa
koefisien korelasi antara level androstenon lemak dan intensitas boar taint
berkisar 0.4 sampai 0.7 (Nijssen 1991; Babol et al. 1999).
Analisis terhadap penyebab off-odor pada daging domba ditemukan
bahwa komponen asam-asam lemak sangat bertanggung jawab. Reineccius
(1979) melaporkan bahwa komponen asam-asam lemak yang dideteksi dengan
spektrometer massa dan diverifikasi melalui pengujian organoleptik, semuanya
menunjukkan asam 4-metil oktanoat dan 4-metil nonanoat terlibat dalam
pembentukan mutton odor. Semakin dewasa umur domba, semakin tinggi
intensitas mutton odor tersebut.
Pengaruh mutton odor ini sangat jelas terlihat pada industri peternakan
domba di Amerika Serikat. Keterbatasan dalam meningkatkan permintaan
konsumen terhadap daging domba sangat disebabkan oleh adanya mutton odor,
odor yang sangat tidak disukai oleh sebagian besar konsumen daging di negara
tersebut (Reineccius 1979; Bailey et al. 1992).
Secara teoritis, Bailey et al. (1992) melaporkan bahwa flavor karakteristik
domba terkonsentrasi pada jaringan-jaringan adiposa. Namun ada pendapat lain
yang menyebutkan bahwa flavor tersebut berasal dari hidrolisis protein dan
bahkan tidak terkait sama sekali dengan lemak. Pendapat demikian didukung
oleh beberapa penelitian yang memperlihatkan bahwa senyawa-senyawa yang
pada domba. Juga dikemukakan bahwa domba membutuhkan sulfur yang cukup
tinggi dalam pakannya, yang diperlukan untuk produksi wool.
Kajian terhadap asam lemak 4-metil oktanoat dan 4-metil nonanoat,
diperoleh bahwa kedua asam lemak tersebut terdeteksi pula pada daging
kambing. Meskipun demikian karena levelnya yang berbeda, off-odor dari kedua
daging tersebut berbeda pula (Bailey et al. 1992).
Penelitian yang dilakukan oleh Intarapichet et al. (1994) terhadap ternak
kambing untuk mempelajari pengaruh genetik terhadap karakteristik sensori
memperlihatkan bahwa perbedaan genetik menghasilkan sifat aroma yang
berbeda. Aroma daging yang berasal dari kambing anglo-nubian lebih disukai
daripada aroma dari daging kambing lokal. Analisis organoleptik dengan uji
skalar garis sepanjang enam inch (sekitar 15 cm), diperoleh bahwa intensitas
flavor pahit (pungent) lebih tinggi pada daging kambing lokal (2.77) dibandingkan
dengan yang terdapat pada daging kambing anglo-nubian (2.11).
Perbedaan flavor dan odor pada berbagai spesies ternak unggas lebih
diakibatkan oleh komposisi kimia daging, terutama kandungan lemaknya. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lukman (1995) yang
melaporkan terdapat perbedaan komposisi kimia daging yang sangat nyata
antara itik afkir dan ayam petelur afkir. Melalui hasil penelitian tersebut diperoleh
bahwa kadar lemak itik, terutama lemak intramusculer, sangat nyata (p < 0.01)
lebih tinggi daripada kadar lemak ayam.
Penelitian Abdelsamie dan Farrell (1985) menyimpulkan bahwa
bangsa-bangsa (breed) itik lokal mempunyai lemak daging lebih rendah daripada
bangsa-bangsa itik moderen. Selain dipengaruhi oleh jenis bangsa, menurut
Abdelsamie dan Farrell (1985), perbedaan komposisi lemak daging pada itik
dipengaruhi pula oleh umur dan jenis kelamin. Proses pembentukan lemak pada
itik betina umumnya lebih awal daripada itik jantan. Sampai umur lima minggu,
pembentukan lemak tubuh pada itik peking betina lebih tinggi daripada itik peking
jantan. Setelah itu laju pembentukan lemak tubuh pada betina menurun,
sebaliknya pada yang jantan meningkat. Meskipun demikian, hasil analisis ini
masih kontraversial hingga sekarang.
Perbandingan komposisi asam-asam lemak pada itik dari beberapa hasil
penelitian dan dibandingkan dengan ternak ayam diperlihatkan pada Tabel 1.
asam-asam lemak jenuh lebih tinggi daripada ternak ayam, sebaliknya rendah
[image:32.595.112.510.171.457.2]pada asam-asam lemak tidak jenuh.
Tabel 1 Komposisi asam-asam lemak pada daging ayam broiler vs itik
A1) B2) C3) D4)
Asam-asam
Lemak Simbol Ayam Itik Paha Itik (k)
Dada Itik (k)
Itik (k)
Itik (tk)
Itik (k)
JENUH (SFA):
Miristat 14 : 0 0.6 0.7 1.16 1.16 0.2 0.5 0.7
Palmitat 16 : 0 14.8 26.0 25.9 26.4 21.4 28.3 26.0
Stearat 18 : 0 6.8 8.25 6.07 5.25 5.6 17.9 8.7
MUFA:
Palmitoleat 16 : 1 2.4 4.0 2.21 1.73 4.8 5.1 4.2
Oleat 18 : 1 25.9 46.2 41.2 39.9 52.8 30.6 45.4
PUFA
Linoleat 18 : 2 42.6 12.95 19.5 22.2 14.3 15.1 12.7
Linolenat 18 : 3 5.4 1.0 0.55 0.67 0.6 1.9 1.1
Total SFA 22.2 34.95 33.13 32.81 27.2 46.7 35.4
Total UFA 76.3 64.15 63.46 64.50 72.5 52.7 63.4
1)Abdelsamie dan Farrell (1985); 2)Hustiany (2001); 3)Pereira dan Stadelman
(1976); 4)Decker dan Cantor (1992).
K: kulit, tk: tanpa kulit, SFA: saturated fatty acid (asam lemak jenuh),
UFA: unsaturated fatty acid (asam lemak tidak jenuh), MUFA: Monounsaturated Fatty Acids, PUFA: Polyunsaturated Fatty Acids.
Abdelsamie dan Farrell (1985) juga melaporkan bahwa pada umur enam
minggu, kandungan lemak itik alabio betina lebih tinggi daripada alabio jantan,
tetapi pada umur 16 minggu terjadi sebaliknya. Pola ini berbeda pada itik hasil
persilangan. Kandungan lemak pada itik jantan hasil persilangan peking dan
alabio pada umur enam minggu lebih rendah, kemudian pada umur 10 minggu
meningkat, akan tetapi pada umur 16 minggu kandungan lemak betinanya lebih
tinggi. Pola ini berbeda pula pada itik hasil persilangan entok (Cairina moschata)
dan alabio. Pada ternak hasil persilangan entok dan alabio, sejak umur enam
minggu sampai dipotong pada umur 16 minggu, kandungan lemak ternak
Hartatie et al. (1987) memperlihatkan bahwa secara rata-rata persentase
kandungan lemak daging pada itik mojosari betina pada berbagai umur
pemotongan lebih tinggi daripada yang jantan; meskipun untuk bobot karkas, itik
mojosari jantan lebih besar.
Itik Alabio (Anas platyrynchosborneo). Itik ini merupakan salah satu
galur itik lokal Indonesia yang sudah cukup lama dikenal. Meskipun tergolong
sebagai jenis itik penghasil telur, itik alabio juga memiliki potensi yang sangat
baik sebagai penghasil daging. Nama itik ini diambil dari nama sebuah daerah di
Kalimantan yaitu tepatnya Kecamatan Alabio yang terletak di Kabupaten Hulu
Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Wilayahnya berawa dan beriklim
hutan hujan tropis. Tempat ini merupakan daerah pengembangan utama dan
pusat pemasaran itik alabio (Wasito dan Rohaeni 1994).
Potensi itik alabio yang besar, baik sebagai penghasil telur maupun
daging, menyebabkan itik ini mulai dikembangkan pula di wilayah Pulau Jawa
berdampingan dengan itik-itik lokal yang ada di daerah tersebut. Penelitian yang
dilakukan oleh Brahmantijo dan Prasetyo (2002) mendapatkan bahwa itik alabio
memiliki daya tetas hampir mencapai rata-rata 49%, hal ini sangat nyata lebih
tinggi (P < 0.01) dibandingkan dengan daya tetas itik mojosari (salah satu itik
lokal di Pulau Jawa) yang hanya mencapai sekitar 41%. Bahkan Setioko dan
Rohaeni (2002) melaporkan bahwa kemampuan daya tetas itik alabio mencapai
sekitar 67%.
Secara morfologi, itik alabio ini sangat mudah dibedakan dengan itik lokal
jawa pada umumnya. Itik alabio yang masih anak (umur 1-2 minggu), bulu
bagian leher, dada dan perut berwarna kuning, sedangkan bulu sayap dan
punggungnya berwana coklat. Setelah dewasa, bulu kuning pada bagian leher
berubah menjadi keputihan, bagian dada coklat cerah, sedangkan bulu bagian
punggungnya keabu-abuan, dan di ujung-ujung sayapnya terdapat kombinasi
warna hijau kebiru-biruan. Warna paruh dan shank-nya kuning.
Mengoptimalkan potensi itik alabio yang dipelihara di Pulau Jawa, para
peternak dan juga beberapa peneliti menyilangkannya dengan itik-itik lokal yang
berasal dari Pulau Jawa itu sendiri, salah satunya yaitu dengan itik mojosari.
Hasil persilangan kedua jenis itik lokal ini disebut dengan nama itik MA. Itik MA
sebagai hasil persilangan ini memiliki nilai konversi pakan yang lebih baik dari
kedua tetuanya, yaitu itik alabio dan itik mojosari (Ketaren dan Prasetyo 2002).
Itik Cihateup (Anas platyrynchos javanica). Sesuai dengan namanya,
itik ini berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten
Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Selain di Kabupaten Tasikmalaya, itik ini juga
berkembang pesat di Kabupaten Garut. Oleh masyarakat setempat itik ini
disebut juga dengan nama itik gunung, karena ternak ini mampu beradaptasi
dengan baik pada suhu dingin daerah pegunungan.
Dari potensi produksi, itik cihateup lebih ditujukan sebagai itik petelur,
dengan kemampuan produksi sekitar 200 butir/tahun. Akan tetapi kemampuan
pertumbuhan yang cukup baik pada ternak jantannya, itik ini mulai dikembangkan
pula sebagai penghasil daging. Bobot potong itik cihateup jantan berkisar antara
1470 – 1550 gram, dengan nilai konversi ransum sekitar 6.7 (Wulandari et al.
2005).
Berdasarkan ciri-ciri fisik secara umum, itik cihateup mirip dengan itik-itik
jawa lainnya, seperti itik kerawang, itik cirebon ataupun itik tegal. Walaupun
demikian, secara genetik terdapat sedikit keragaman di antara itik-itik tersebut
(Muzani 2005). Bulu itik cihateup berwarna coklat, sedangkan paruh dan shank
-nya berwarna hitam. Warna itik cihateup jantan dewasa lebih gelap, bahkan bulu
disekitar kepala mengarah kehitaman; akan tetapi yang betina, warna bulunya
lebih cerah. Bentuk badan itik cihateup serupa dengan itik jawa pada umumnya,
yakni berbadan langsing seperti botol, dengan leher bulat panjang. Kalau
berjalan lebih tegak dibandingkan dengan itik alabio. Lebih dekatnya kesamaan
sifat antara itik cihateup dengan beberapa itik di sekitar Jawa Barat dan Jawa
Tengah dibandingkan dengan itik alabio, sebab dalam dendogram, jarak genetika
antara itik cihateup dengan itik-itik lokal yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa
Tengah lebih dekat dibandingkan antara itik cihateup dengan itik alabio (Hetzel
1985).
Beberapa ukuran tubuh itik cihateup, misalnya lingkar dada, lebih besar
dari itik cirebon maupun itik mojosari (Muzani 2005), dapat menjadi indikasi
bahwa itik cihateup memiliki cukup potensi penghasil daging yang lebih baik
daripada itik cirebon dan mojosari.
Faktor Pakan
Pembentukan off-odor yang dipengaruhi oleh pakan lebih sering dan
mudah terjadi pada unggas. Bau apek atau amis dapat dengan sangat mudah
dirasakan pada telur maupun daging broiler bilamana pakan yang diberikan
kepada ternaknya berpotensi menghasilkan senyawa-senyawa off-odor itu. Bau
amis atau anyir pada daging kalkun yang disebabkan oleh pakan yang
mengandung tepung ikan atau minyak ikan yang relatif tinggi, sudah mulai
diketahui pada tahun 1937 (Asmundson dan Jukes 1938); bahkan, pada daging
ayam, bau tersebut sudah dikenal sejak tahun 1926 (Marble et al. 1938).
dilaporkan pula oleh Hardin et al. (1964) yang menyebutkan bahwa produksi
off-odor dapat dideteksi pada ransum yang berkomposisi kombinasi 15% tepung
ikan dan 1.5% minyak ikan. Dari sejumlah penelitian yang sudah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa pengaruh tepung ikan jauh lebih rendah dibandingkan
dengan minyak ikan dalam menghasilkan off-odor pada daging. Hal ini juga
dibuktikan oleh Fry et al. (1965) yang memperlihatkan bahwa pemakaian tepung
ikan sampai 25.25 % sebagai pengganti 100% tepung kedelai, tetapi tanpa
menggunakan minyak ikan, tidak menghasilkan bau amis pada daging broiler.
Selain disebabkan oleh ransum yang mengandung tepung atau minyak
ikan yang tinggi, bau anyir (fishy) dapat juga terjadi dari bahan-bahan makanan
lain, terutama biji-bijian yang mengandung minyak yang tinggi. Hawrysh et al.
(1975) melaporkan bahwa penggunaan rapeseed sebanyak 10% dalam ransum
ayam petelur White Plymouth Rocks menyebabkan adanya bau amis yang dapat
terdeteksi pada telurnya. Demikian pula Bailey et al. (1992) menyebutkan bahwa
pemberian beberapa jenis pakan seperti kedelai mentah, minyak kanola,
rumput-rumput pastura dapat menghasilkan flavor yang tidak disukai konsumen pada
daging-daging merah, seperti sapi, domba, dan kambing. Sejumlah penelitian
yang dirangkum oleh Bailey et al. (1992) memperlihatkan bahwa daging sapi
yang berasal dari ternak yang digemukkan dengan hijaun berenergi rendah
seringkali memiliki flavor yang menyimpang, seperti grassy, milky-oily, sour,
fishy, sweet, dan gamey. untuk mengatasi hal ini, seringkali peternak harus
memberi tambahan biji-bijian kepada ternak sapi, baik yang dipelihara di pastura
ataupun pada sistem feedlot.
Pengaruh jenis pakan dalam menghasilkan off-flavor pada daging sapi
yaitu dengan adanya perubahan-perubahan kimia dalam daging sapi, seperti
perubahan kandungan karbohidrat atau komposisi asam-asam lemak daging.
Pemberian jagung berenergi tinggi dapat menghasilkan daging sapi dengan
kandungan glikogen dan gula tereduksi yang sangat tinggi. Pada proses
glikolisis anaerobik saat postmortem, glikogen daging akan diubah menjadi asam
laktat yang menyebabkan daging menjadi terasa asam. Hal serupa diperlihatkan
pula oleh Bou et al. (2001) bahwa jenis sumber lemak pakan mempengaruhi
komposisi asam lemak daging dan kestabilan oksidatif, yang pada akhirnya ikut
menentukan terbentuknya off-odor pada daging. Pendapat yang agak berbeda
dijumpai dalam penelitian Ruiz et al. (2001) yang menyimpulkan bahwa untuk
lemak berdasarkan derajat ketidakjenuhannya tidak begitu berpengaruh terhadap
ketengikan. Meskipun dalam penelitian tersebut dijumpai bahwa daging ayam
broiler yang berasal dari ternak yang disuplementasi dengan vitamin E
menghasilkan derajat ketengikan yang lebih rendah daripada daging dari ternak
yang tidak diberi suplementasi vitamin E.
Bailey et al. (1992) melaporkan bahwa asam-asam lemak merupakan
sumber utama flavor daging sapi yang terbentuk dari senyawa-senyawa karbonil.
Oksidasi yang terjadi pada asam-asam lemak tidak jenuh pada daging
menghasilkan off-odor. Sebagai contoh, bau grassy pada daging sapi
merupakan akibat terdegradasinya asam-asam lemak tidak jenuh ganda (ALTJG)
karena pemanasan.
Pengamatan yang dilakukan pada domba memperlihatkan bahwa ternak
yang lebih banyak diberi leguminosa (misalnya: clover, alfalfa) mempunyai
intensitas off-odor yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi
rumput-rumputan. Demikian pula, daging domba yang berasal dari ternak yang
mengkonsumsi biji-bijian, flavornya lebih disukai daripada yang mengkonsumsi
leguminosa. Namun pemberian biji-bijian yang berlebihan, terutama yang
berenergi tinggi, akan mempengaruhi komposisi asam-asam lemak pada lemak
subkutan domba, yang menyebabkan lemak tersebut menjadi lunak dan
berminyak (Young dan Braggins 1998).
Cendawan Pithomyces chartarum yang banyak tumbuh pada
bahan-bahan pakan di pastura telah teridentifikasi sebagai salah satu penyebab off-odor
pada daging domba. Meskipun demikian, kejadian oleh cendawan ini hanya
tampak pada saa-saat tertentu, yaitu pada musim yang cocok bagi
pertumbuhannya (Bailey et al. 1992).
Seperti pada unggas, pemberian ransum dengan kandungan tepung ikan
yang berlebihan kepada ternak babi dapat juga menghasilkan off-flavor pada
dagingnya. Hasil penelitian pada ternak babi yang dilaporkan oleh Bailey et al.
(1992) merekomendasikan bahwa untuk mencegah munculnya off-flavor,
pemberian tepung ikan tidak melebihi dari 5% dalam ransum. Tetapi pada
penelitian yang menggunakan tepung silase ikan, diperoleh bahwa penggantian
tepung kedelai dengan tepung silase ikan sampai pada tingkat 9% tidak
Perubahan Kimia
Pembentukan off-flavor atau khususnya off-odor pada bahan pangan
secara umum, termasuk daging, dapat berlangsung karena terjadi
perubahan-perubahan atas komponen-komponen organik yang terkandung dalam bahan
pangan tersebut. Perubahan-perubahan seperti itu dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme, yaitu oksidasi lipid, pencoklatan nonenzimatik, perubahan
enzimatis, dan reaksi fotokatalisis (Heath dan Reineccius 1986).
Pada daging, pembentukan off-odor karena adanya perubahan kimia
lebih banyak disebabkan oleh oksidasi lipid, dibandingkan dengan karena proses
yang lain. Berlangsungnya oksidasi lipid pada daging menurut Apriyantono dan
Lingganingrum (2002) secara garis besar dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti: komposisi asam lemak daging, kandungan prooksidan dan antioksidan,
dan temperatur. Mekanisme pembentukan off-odor melalui proses oksidasi lipid
yang lebih rinci akan dibahas dalam bagian berikut dari bab Tinjauan Pustaka ini.
Dua jenis off-odor penting pada daging yang dapat terjadi akibat oksidasi
lipid yaitu ketengikan (rancidity) dan warmed-over flavor (WOF). Oksidasi lipid
pada daging menjadi masalah yang sangat serius, karena dengannya terjadinya
penurunan kualitas daging, yang bukan saja karena adanya penyimpangan
terhadap flavor, tetapi juga karena terkait dengan adanya perubahan di dalam
tekstur dan warna daging, yang berkonsekuensi pada penolakan konsumen
terhadap daging tersebut.
Reaksi pencoklatan nonenzimatis sekalipun berperan penting dalam
pembentukan flavor aroma, namun tidak jarang pula, reaksi tersebut menjadi
penyebab munculnya off-odor pada bahan pangan. Off-odor yang terjadi melalui
reaksi ini, seringkali dijumpai pada daging yang diproses dengan teknologi
pengalengan. Off-odor yang menjadi karakteristik dari reaksi pencoklatan
enzimatik diistilahkan dengan stale, atau hilangnya sifat segar pangan. Dua
senyawa kimia yang paling berkontribusi melalui proses pencoklatan enzimatik
adalah benzotiasol dan O-aminoaseptopenon.
Pada mekanisme yang lain, reaksi enzimatik dalam pembentukan off-odor
lebih terkait dengan fungsinya sebagai katalis dalam oksidasi lipid, yang antara
lain bekerja mereduksi ion Fe3+ menjadi Fe2+. Salah satu jenis enzim yang
terlibat dalam oksidasi asam-asam lemak pada daging ayam yaitu enzim
Faktor Pengolahan (Processing)
Prosedur atau metode yang digunakan dalam pengolahan daging dapat
mempengaruhi flavor daging yaitu melalui perubahan pada komposisi sistem
flavor, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Perubahan komposisi itu dapat
berupa perubahan kimia atau hilangnya beberapa senyawa flavor (Bailey et al.
1992).
Salah satu metode pengolahan daging yang paling banyak mendapat
perhatian terhadap dampaknya dalam menghasilkan off-flavor yaitu metode
iradiasi. Pada prinsipnya metode ini digunakan terutama untuk mengontrol
Salmonella atau beberapa mikroorganisme patogen yang terdapat pada daging.
Beberapa off-odor yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan iradiasi pada daging
yaitu seperti “metallic”, “sulfide”, “wet dog”, “wet grain”, “goaty”, atau “burnt”.
Hasil-hasil penelitian yang dirangkum oleh Bailey et al. (1992) menyebutkan
bahwa asumsi yang dipakai untuk menjelaskan pembentukan off-odor pada
daging yang diiradiasi yaitu sebagai hasil dari