• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kuasa Pengetahuan Perempuan Dalam Pemenuhan Pangan Keluarga Petani Padi Sawah Lebak Di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kuasa Pengetahuan Perempuan Dalam Pemenuhan Pangan Keluarga Petani Padi Sawah Lebak Di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN

PANGAN KELUARGA PETANI PADI SAWAH LEBAK DI

KABUPATEN OGAN ILIR SUMATERA SELATAN

YUNINDYAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kuasa Pengetahuan Perempuan dalam Pemenuhan Pangan Keluarga Petani Padi Sawah Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

YUNINDYAWATI. Kuasa Pengetahuan Perempuan dalam Pemenuhan Pangan Keluarga Petani Padi Sawah Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Di bimbing oleh TITIK SUMARTI, SOERYO ADIWIBOWO, AIDA VITAYALA S. HUBEIS, dan HARDINSYAH

Penelitian ini penting dilakukan karena masih jarang penelitian yang menganalisis kontribusi perempuan dari aspek sosial terutama kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Tujuan penelitian ini adalah; pertama, menganalisis kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Kedua, menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak. Ketiga, menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak.

Permasalahan ini dikaji dan dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, diskusi kelompok dan dokumentasi. Hipotesis pengarahnya adalah maskulinisasi pertanian dan marjinalisasi kuasa pengetahuan perempuan hasil diskursus pemenuhan pangan pemerintah memunculkan resistensi kuasa pengetahuan terstruktur.

Kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak terjadi dalam hal peningkatan produktivitas pertanian versi pemerintah, pemenuhan pangan sebagai mekanisme survival versi komunitas dan pangan sebagai komoditas ekonomi versi pelaku usaha. Diskursus pangan pemerintah untuk pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, utamanya menekankan pada peningkatan produktivitas padi justru menghasilkan kebijakan yang memarjinalkan kuasa pengetahuan perempuan. Peran perempuan menjadi sangat sedikit dan bahkan hilang. Hal ini disebabkan obyek dari berbagai program pertanian adalah kepala keluarga (mayoritas laki-laki). Diskursus pangan pemerintah sesungguhnya merupakan proses maskulinisasi pertanian dan marginalisasi kuasa pengetahuan perempuan. Diskursus pangan komunitas memberikan banyak peluang bagi perempuan untuk berkontribusi bagi pemenuhan pangan keluarga, mulai dari proses bercocok tanam, mengambil bahan pangan dari rawa dan diversifikasi pekerjaan perempuan. Oleh karena itu, praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga didominasi oleh diskursus pangan komunitas.

(5)

proses pertanian padi sawah lebak dan tekanan ekonomi keluarga. Bentuk-bentuk resistensi kuasa pengetahuan perempuan antara lain; resistensi langsung terhadap proses pertanian padi sawah lebak (penggunaan bibit lokal, membersihkan rumput secara manual dan penggunaan teknologi pertanian) dan resistensi tidak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi, menenun songket, mengolah hasil perikanan rawa, membuat atap daun, membentuk organisasi non formal, mengakses kredit non formal, dan membuat konsumsi pangan keluarga. Pekerjaan tersebut menunjukkan adanya geliat ekonomi perempuan untuk pemenuhan pangan keluarga. Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi ujung tombak kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Ekologi rawa memberi peluang para perempuan mencari dan mengumpulkan bahan pangan, sehingga perempuan tetap berperan dalam ketersediaan pangan keluarga meskipun tergusur dari pertanian padi lebak. Menenun songket menjadi tumpuan kuasa pengetahuan perempuan karena dengan tenun songket perempuan mendapat uang cash secara langsung, dan pasti tidak rugi. Hal ini berbeda dengan upaya mendapatkan uang dari sektor pertanian padi sawah lebak yang sangat rentan mengalami kegagalan. Proses mengolah hasil perikanan rawa dan membuat atap daun membuka peluang perempuan saling bertukar informasi pekerjaan, menjadi jaringan pengaman bagi kuasa pengetahuan perempuan. Jaringan ini merupakan metamorfosis dari jaringan informasi yang diperoleh saat mengerjakan panen padi dengan sistem tarikan yang sudah tergusur oleh sistem pertanian baru (setelah penerapan revolusi hijau).

(6)

pengetahuan perempuan berbeda berdasarkan struktur sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kuasa pengetahuan perempuan melekat pada struktur sosial keluarga petani padi sawah lebak. Kedua, kuasa pengetahuan perempuan tidak harus ditemukan dalam ranah publik. Ranah domestik juga menyediakan peluang bagi praktik kuasa pengetahuan perempuan, karena adanya proses relasional dalam keluarga antara perempuan dan seluruh anggota keluarga.

Kata kunci: kontestasi, diskursus, resistensi, kuasa pengetahuan perempuan, pemenuhan pangan keluarga

(7)

SUMMARY

YUNINDYAWATI. The power of women‘s knowledge in the food fullfilment of rice lebak farmer family in Ogan Ilir South Sumatera. Supervised by Titik Sumarti, Soeryo Adiwibowo, Aida Vitayala S. Hubeis, and Hardinsyah

This research is very important to be carried out because there is rare research which analyze women‘s contribution from the social structure aspect especially the power of women‘s knowledge in he family food fulfillment. The objective of this study was to analize the discourse contestation of family food fulfillment in the rice lebak farmer family, to analyze the relation of power of women‘s knowledge as a form of resistance in the food family fulfillment, and to anlyze the relation of power of women‘s knowledge in the family based on community social structure. This research was used the qualitative approach and the critical paradigm. The technique of data collection was conducted by in deepth interview, observation, group discussion and documentation. The hypothesis of this research was the masculinization of agriculture and the marginalization of power of women's knowledge as a result of government discourse to food family fulfillment causes the resistance of women based on social structure.

The discources contestation of the family food fulfillment occur in terms of increasing agricultural productivity according to government‘s version, the family food fulfillment as a survival mechanism for the community version and the businesses version, the family food fulfillment as an economic commodity. The discourse of the government's food for the family food fulfillment, mainly emphasizes on increasing rice productivity would produce policies that marginalize the power of women's knowledge. The role of women in the process of agricutural are disappeared. This is due to the object of various agricultural programs are the head of the family (the majority of men). Hence the government's discourse is actually a process of masculinization of agriculture and the marginalization of power of women's knowledge. The community discourse of family food fulfillment provide the opportunities for women to contribute in the family food fufillment, ranging from the farming process, take up the food of the swampy land and diversification of work. Therefore, the practice of the power of women's knowledge to fulfill family food dominated by the community discourse.

(8)

against the marginalization of agricultural pocess (the use of local seeds, grass manually and use of agricultural technology) and the indirect resistance by diversification of work in the non rice agriculture, songket weaving, processing of fishery products, making the roof of leaves, forming a non-formal organization, non-formal credit access, and processing of family food consumption. These diversification of work showed the economic stretching of women to the fulfillment of family food. Diversification of the non rice agriculture as a spearheading the power of women‘s knowledge in meeting food family. The swampy ecology provide opportunities to the women to seek and gather of food, so that the women still playing a role in the availability of food, although they were evicted from the rice agriculture process. Songket weaving as a pedestal of the power of women‘s knowledge because the songket make women earn cash directly, and certainly not a loss. This is in contrast to the effort to get money from the agricultural sector,that is very prone to failure. The processing of fishery products, make up the roof leaves, are a moment that giving opportunities for women to exchange information, as a safety networking of the power of women‘s knowledge. This networking is a metamorphosis of the network information from the working on the rice harvest with tarikan system that has been displaced by the new farming system (green revolution).

(9)

opportunities for the practice of power f women‘s knowledge, because of the relational processes in the family between women and the whole of family.

Keywords: contestation, discourse, resistance, the power of women‘s knowledge, family food fulfillment

(10)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS

2. Dr. Satyawan Sunito

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Prof. Dr. Irwan Abdullah

(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat dan salam semoga tercurah pada Muhammad Rasulullah SAW. Penelitian kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012 hingga Maret 2013. Penelitian ini bisa selesai karena bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada ruang ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Komisi pembimbing; Dr. Titik Sumarti, Dr. Soeryo Adiwibowo, Prof Aida Vitayala S. Hubeis dan Prof Hardinsyah, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis menyelesaikan disertasi ini.

2. Rektor IPB, Rektor Universitas Sriwijaya, Dekan Pascasarjana IPB, Dekan FEMA, Ketua Program Studi SPD, Staf Pengajar SPD dan Dirjend Dikti yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Sandwich Program dan Dr Ratna Saptari dari Leiden University.

3. Para Informan Penelitian: masyarakat desa Ulak Aurstanding, kepala desa, ketua kelompok tani, ketua KUBE, ketua PKK, Penyuluh Pertanian, Dinas Pertanian dan Dewan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

4. Teman-teman SPD 2010: Pak Viktor, Pak Iyeb, Pak Obie, Bu Lina dan Bu Mira, yang telah bersama-sama dan bekerjasama dalam menuntut ilmu di IPB dan kakak tingkat dan adik tingkat SPD yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaannya dan mohon maaf jika ada tutur kata yang kurang berkenan.

5. Keluarga besarku terutama Bapak H. Juwaini, Ibu Indarsih (Almh), adik-adikku: Dwi atmojo, Tri Rahmawati, SPd, Agung Catur Rahmawan SPd, Ria Panca Irawati, S.S, atas dukungan materiil, moril serta doa-doa yang senantiasa dipanjatkan.

(16)

7. Suamiku tercinta, Rinto, SPi, MP, atas pengertian, dukungan dan kesabaran yang luar biasa mendampingi saya dalam menjalani kehidupan. Semoga studi S3 di Ilmu Pangan yang sedang dijalani segera selesai dengan lancar dan diberi kemudahan oleh Allah.

8. Anak-anakku tersayang: Muhammad Barid Fathan Hanan, Muhammad Hafid Hanafi (Alm) dan Muhammad Luthfi Hanafi, kalian adalah permata hati,

penyejuk jiwa (qurrota a‘yun) bagi orang tua dan untaian doa mama panjatkan

semoga menjadi anak yang sholeh, ahli ilmu, ahli amal dan ahli kebaikan serta suatu saat kelak, kalian diberi kesempatan oleh Allah untuk bisa menuntut ilmu seperti yang mama peroleh ini.

9. Karya ini saya persembahkan untuk guru-guruku (dari TK hingga program Doktor) yang telah memberikan tetesan ilmu serta orang-orang yang mencintaiku.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Signifikansi Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Konsep dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan 5

Penciptaan dan Penyebaran Diskursus 8

Kuasa perempuan dan pangan 10

Konsep dan Studi tentang Ketahanan Pangan dan Perempuan 13 Ukuran Ketahanan Pangan dengan Metode Kualitatif 25

Kerangka Pemikiran Penelitian 27

Definisi Konseptual 28

Hipotesis Pengarah 29

Kebaruan Penelitian 29

Metode Penelitian 31

3 PROFIL KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH LEBAK DAN PERAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN PANGAN DI KABUPATEN OGAN

ILIR 42

Profil Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan 42

Profil Kecamatan Pemulutan Selatan 45

Kondisi Ekonomi Komunitas Petani Padi Sawah Lebak di

Desa Ulak Aurstanding 48

Kendala dan Strategi dalam Pemenuhan Pangan Keluarga 50 Kondisi Lingkungan Sosial Budaya Petani Padi Sawah Lebak

di Desa Ulak Aurstanding 51

4 SEJARAH PERTANIAN PADI LEBAK DAN PERAN PEREMPUAN DI

DESA ULAK AURSTANDING 53

Pendahuluan 53

Metode 53

Hasil dan Pembahasan 54

(18)

5 KONTESTASI DISKURSUS PEMENUHAN PANGAN KELUARGA

PETANI PADI SAWAH LEBAK 71

Pendahuluan 71

Metode 73

Hasil dan Pembahasan 73

Simpulan 96

6 RESISTENSI KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN ATAS

MARJINALISASI PADA PROSES PERTANIAN PADI DAN PRAKTEK KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN

PANGAN KELUARGA

97

Pendahuluan 97

Metode 98

Hasil dan Pembahasan 99

Simpulan 116

7 STRUKTUR SOSIAL KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN DALAM

PEMENUHAN PANGAN KELUARGA 116

Pendahuluan 116

Metode 117

Hasil dan Pembahasan 117

Simpulan 129

8 PEMBAHASAN UMUM 130

Keterbatasan Penelitian 137

9 SIMPULAN DAN IMPLIKASI 137

Simpulan 137

Implikasi 139

DAFTAR PUSTAKA 141

(19)

DAFTAR TABEL

1 Penelitian tentang ketahanan pangan rumah tangga dari beberapa bidang ilmu

17 2 Penelitian tesis dan disertasi dengan tema perempuan 21 3 Kepercayaan dasar dari Paradigma-paradigma penelitian alternatif 33

Empat Paradigma Utama 34

4 Luas Wilayah Kecamatan, Jumlah Kelurahan dan Desa dalam Kabupaten Ogan Ilir tahun 2012

44

5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur 46

6 Tabel tentang Pentahapan Keluarga Sejahtera 48

7 Karakteristik ekonomi rumah tangga petani 49

8 Komposisi penduduk berdasarkan jumlah KK dan jenis kelamin 50 9 Bentuk diversifikasi usaha petani di desa Ulak Aurstanding 51 10 Kegiatan pertanian sebelum fase revolusi hijau 58 11 Penerapan Teknologi dan Inovasi oleh Pemerintah 61

12 Kegiatan pertanian setelah revolusi hijau 63

13 Perbedaan umum kegiatan pertanian sebelum dan sesudah revolusi hijau

63 14 Peran perempuan dalam kegiatan pertanian sebelum dan setelah

revolusi hijau

15 Pelembagaan dan pengelolaan diskursus pangan antar aktor

DAFTAR GAMBAR

1 Penciptaan diskursus 2 Kerangka pemkiran penelitian

3 Administrasi Kabupaten Ogan Ilir 4 Kondisi Kecamatan Pemulutan Selatan

5 Alur proses diskursus ketahanan pangan pemerintah 6 Strategi keluarga dan komunitas untuk kecukupan pangan 7 Strategi pelaku usaha

8 Bahan pangan yang diperoleh dari ekosistem rawa 9 Perempuan desa Ulak Aurstanding menenun songket

10 Ketrampilan perempuan membuat atap daun dan menyiang ikan 11 Perempuan memanggang krupuk kemplang

12 Alur kuasa pengetahuan dalam pemenuhan pangan keluarga

70 75

(20)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berbagai studi tentang perempuan menunjukkan bahwa dalam berbagai aspek kehidupan perempuan selalu tertinggal, tersubordinasi, termarjinalisasi dan mengalami ketimpangan serta kesenjangan dalam hubungannya dengan laki-laki. Kesenjangan yang dialami perempuan di bidang ketenagakerjaan bisa diamati melalui tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK). Data tahun 1990-2007, perempuan mengalami kesenjangan terhadap laki-laki. Begitu juga menyangkut upah yang diterima, terjadi kesenjangan gender dalam hal upah dimana rasio upah yang diterima perempuan yang bekerja di sektor pertanian adalah 50 persen lebih rendah dari laki-laki dan 70 persen untuk pekerjaan di sektor non pertanian, data tahun 2001-2004. Di bidang pendidikan angka partisipasi murni (APM) tahun 2008, menunjukkan bahwa rataan nasional tahun lama sekolah pada anak perempuan adalah 7,1 tahun dan 8,0 tahun pada anak laki-laki. Di bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) meskipun telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun tetapi tetap masih cukup tinggi yaitu 307/100.000 kelahiran (Hubeis 2010).

Studi yang dilakukan oleh Moussa (2011) di Kindia, Guinea, menunjukkan perempuan memiliki peran penting dalam memerangi kemiskinan dan kerawanan pangan. Petani perempuan merupakan tenaga kerja yang menghasilkan pangan sebagai basis konsumsi lokal. Aktivitas petani perempuan merupakan mesin penggerak pertumbuhan dan menyediakan basis bagi kehidupan pedesaan. Proporsi besar produksi pertanian diatributkan pada perempuan, membuat mereka sebagai agen penting bagi perkembangan ekonomi di wilayahnya. Peran penting perempuan dalam produksi pangan tidak diikuti oleh hak pemilikan lahan, hanya 1 persen dari perempuan yang memiliki hak pemilikan atas lahan. Tanpa kepemilikan tanah sulit bagi mereka untuk memperoleh pinjaman uang untuk membeli sarana pertanian seperti benih dan input esensial lainnya. Mereka juga dikeluarkan dari pelatihan dan jaringan pertanian. Kurangnya pengetahuan tentang hak-hak mereka membuat rentan terhadap penyerobotan tanah (land grabbing) dan kehilangan tanah warisan.

PBB semakin menegaskan peran perempuan dalam produksi pangan dengan memprediksikan bahwa produksi pangan domestik perempuan di Afrika sebesar 80 persen, di Asia Pasifik 60 persen dan 40 persen di Amerika Latin (FAO 1998 dalam Moussa 2011). Secara umum orang bisa mengakses makanan tergantung pada kerja perempuan pedesaan. Petani perempuan menghasilkan makanan utama dan mereka bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga untuk makan. Sementara itu akses perempuan pada pelayanan keuangan, perluasan pertanian, pendidikan dan kesehatan, dan hak asasi manusia merupakan kunci untuk aman ketahanan pangan bagi semua (Hunger Project at www.thp.org).

(21)

menyediakan kebutuhan pangan dalam kehidupan yang sehat sesuai dengan nilai dan budaya setempat (Purwanti 2010).

Perempuan memiliki peran cukup signifikan dalam pembangunan pertanian dan pedesaan (Moussa 2011, Sukiyono et al. 2008). Di bidang pertanian dan pedesaan perempuan bukan hanya memproduksi dan mengolah hasil pertanian tetapi juga berperan penting dalam distribusi pemasaran. Kontribusi perempuan semakin terlihat ketika mereka memainkan peran domestik sekaligus melakukan aktivitas produksi pertanian. Namun, aktivitas domestik tidak dinilai sebagai jenis pekerjaan karena tidak menghasilkan pendapatan. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Berdasarkan data BPS 2012, rasio TPAK menunjukkan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Pada tahun 2012 proporsi perempuan yang bekerja sebesar 47,91 persen sedangkan proporsi laki-laki mencapai 79,57 persen. Kondisi ini sesuai dengan mindset yang ada dalam masyarakat bahwa perempuan berperan mengurus rumah tangga (KPPA 2013).

Pada kasus perempuan petani sawah lebak di kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan, perempuan terlibat dalam proses produksi padi (on farm) dan juga terlibat dalam kegiatan konsumsi (off farm). Pada proses produksi padi, peran perempuan antara lain; menyiapkan lahan sebelum di tanami (Rencam), menebas rumput, menganyam brondong (media untuk menyemai benih), memindahkan benih sebelum ditanam, menanam benih padi, memindahkan ke sawah lebak, merawat dan memanen padi. Untuk menambah pendapatan keluarga perempuan bekerja menenun songket, menjual gorengan, membuka warung kelontong, mencari ikan dengan menggunakan tangkul atau dengan memancing, menjadi buruh upahan menyiang ikan, mejual ikan dari rumah ke rumah, mencari sayuran ke rawa untuk dimakan dan untuk makanan ternak, mencari gondang (keong rawa) untuk dijadikan lauk dan makan ternak, memelihara ayam dan itik. Studi yang dilakukan oleh Febriansyah (2014) menunjukkan peran istri pada rumah tangga petani sawah lebak di kecamatan Pemulutan Selatan tidak hanya pada usaha tani padi tetapi juga diversivikasi tani non padi dan di luar usaha tani.

Perempuan pada komunitas petani padi sawah lebak, dikonstruksikan secara sosial bertanggung jawab atas kebutuhan konsumsi pangan keluarga terkait nutrisi anggota keluarga. Mereka memegang peran kunci seperti dalam penyediaan air bersih, mengatur pola makan, jenis makanan dan hal-hal lain berkaitan dengan konsumsi keluarga. Para laki-laki tidak akan mampu bekerja di sawah/lahan mereka jika tidak didukung oleh perempuan, menyediakan pangan untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarga. Hal ini menunjukkan peran perempuan cukup sentral dalam ketahanan pangan keluarga, karena kesalahan dalam proses pengolahan dan penyiapan pangan di tingkat keluarga akan menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas gizi pangan.

(22)

persoalan tersebut pada keluarga petani padi sawah lebak di kabupaten Ogan Ilir propinsi Sumatera Selatan.

Propinsi Sumatera Selatan merupakan propinsi yang memiliki lahan rawa lebak cukup besar yaitu mencapai 2,98 juta ha. Dari jumlah tersebut yang sudah dimanfaatkan sebanyak 368.690 hektar terdiri dari 70.908 hektar lebak dangkal, 129.103 hektar lebak tengahan dan 168.67 hektar lebak dalam (Noor 2007, Yunita 2011). Dua kabupaten yang memiliki luas lahan terbesar adalah Ogan Komering Ilir (27,8%) dari total lahan lebak di Sumatera Selatan dan kabupaten Ogan Ilir (20,6%) dari total lahan lebak di Sumatera Selatan. Lahan lebak sangat potensial untuk pertanian terutama tanaman pangan.

Musim tanam padi di sawah lebak hanya setahun sekali yakni pada saat air surut, oleh karena itu produktivitas hasil pertanian padi sawah lebak berbeda dengan produktivitas padi sawah yang menggunakan sistem pengairan. Kondisi ini membuat petani sawah lebak berada pada posisi sulit untuk menuju ketahanan pangan keluarga. Di tambah lagi perubahan iklim yang relatif tidak menentu memberi dampak pada usaha pertanian sawah lebak. Hal tersebut bisa menyebabkan kerawanan pangan keluarga petani padi sawah lebak.

Badan Ketahanan Pangan dan Dinas Pertanian kabupaten Ogan Ilir, berupaya mengatasi persoalan kerawanan pangan dengan melakukan penyuluhan pertanian sebagai upaya pemberdayaan petani. Berbagai kegiatan tersebut belum menunjukkan hasil yang nyata bagi ketahanan pangan keluarga. Hasil penelitian Yunita (2011) menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga petani padi sawah lebak di kabupaten Ogan Ilir termasuk dalam kategori rendah.

Dampak dari rendahnya ketahanan pangan ini, paling berat dialami perempuan karena selama ini perempuan dikonstruksikan sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pangan keluarga dan pekerjaan reproduktif lainnya. Konstruksi sosial semacam ini di satu sisi berakibat pada ketidakadilan gender dimana perempuan yang akan disalahkan jika tidak terpenuhi kebutuhan pangan keluarga. Di sisi lain, konstruksi sosial semacam ini membuat perempuan berpeluang untuk memiliki pengetahuan dan kekuasaan di ranah pangan keluarga.

Berangkat dari kenyataan tersebut penelitian ini menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga, dengan rumusan masalah; pertama, bagaimana kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak? Kedua, bagaimana kuasa pengetahuan perempuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak? Ketiga, bagaimana relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak.

(23)

3. Menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak.

Signifikansi Penelitian

Penelitian kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak ini memiliki manfaat antara lain; pertama, masih jarang penelitian yang mencoba melihat kontribusi perempuan dari aspek sosial budaya terutama kuasa pengetahuan mereka bagi pemenuhan pangan keluarga. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kontestasi diskursus pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak, menganalisis kuasa pengetahuan sebagai bentuk resistensi dalam pemenuhan pangan keluarga petani sawah lebak dan menganalisis relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berdasarkan struktur sosial petani padi sawah lebak.

Kedua, dari segi metodologi, banyak penelitian terdahulu tentang pangan rumah tangga menggunakan paradigma dan pendekatan kuantitatif yang melihat pangan dan ketahanan pangan keluarga diukur dengan batasan variabel-variabel tertentu dan indikator-indikator kuantitatif. Oleh karena itu penelitian ini ingin memberikan warna bagi kajian tentang pangan dengan melihat bagaimana kuasa pengetahuan perempuan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan menggunakan paradigma kritis.

Ketiga, dari aspek teoritis penelitian ini mencoba menggunakan teori post modernisme dalam melihat relasi kuasa pengetahuan perempuan. Selama ini teori-teori yang digunakan untuk memahami persoalan perempuan adalah teori feminisme yang berupaya memahami relasi perempuan dan laki-laki, yakni antara yang dominan dan didominasi, antara yang ordinat dan subordinat, antara yang kuat dan yang lemah. Dengan menggunakan teori post modernisme ini (teori Foucault) maka relasi kuasa perempuan dilihat bukan hanya dalam konteks siapa yang menang dan kalah tetapi bagaimana proses kekuasaan berjalan dalam relasi tersebut.

Keempat: manfaat praktis dari penelitian ini adalah dengan memahami bahwa kuasa perempuan berada dalam proses relasi, negosiasi antara laki-laki dan perempuan maka dalam rangka upaya pemberdayaan perempuan (memiliki kuasa), seyogyanya berbagai kebijakan pemerintah tidak lagi berorientasi bahwa perempuan adalah makhluk lemah, marjinal, tidak memiliki keberdayaan/kekuasaan sehingga perlu diberdayaan. Jika pemberdayaan dilandasi oleh kondisi-kondisi tersebut bukan tidak mungkin justru akan melanggengkan stigma terhadap perempuan. Dalam konteks Foucault, kekuasaan ada dimana-mana, menyebar dan tidak berpusat, karenanya perempuan bisa berdaya dan memiliki kuasa dalam konteks perempuan itu sendiri tergantung keinginan, kebutuhan dan tendensinya pada relasi-relasi yang dinegosiasikan.

Ruang Lingkup Penelitian

(24)
(25)

1

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep dan Teori Pengetahuan dan Kekuasaan

Konsep dan teori pengetahuan dan kekuasaan dalam penelitian ini menggunakan teori Foucault yang memahami kekuasaan muncul dalam suatu interaksi antar individu atau antar institusi (Foucault 2002). Kekuasaan belum muncul ketika relasi sosial belum terjadi, dan baru muncul sejalan dengan relasi tersebut. Perspektif kekuasaan seperti ini berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang memandang kekuasaan melekat pada struktur, status, posisi maupun institusi sosial, sebagai kemampuan mempengaruhi orang lain atau pihak lain. Di sini kekuasaan berdiam atau menempati seseorang atau kelompok, atau kekuasaan sudah berada dalam diri seseorang atau kelompok (Agusta 2012). Sementara bagi Foucault kuasa tidak bermakna ‘kepemilikan’, atau keadaan dimana seseorang memiliki sumber kekuasaan. Kuasa dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain (Tyas 2010).

Kekuasaan merupakan dimensi kehidupan sosial yang fundamental yang tidak dapat dihindari, dan kekuasaan mengalami transformasi sejalan dengan sejarah, mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam bentuk yang berbeda. Kekuasaan bagi Foucault, bukanlah sesuatu yang menjadi milik, akan tetapi lebih merupakan strategi, sehingga kekuasaan merupakan praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu yang didalamnya ada banyak posisi yang terus mengalami pergeseran.

Setiap kekuasaan memiliki pengetahuannya sendiri. Kekuasaan menyebar dimana-mana, kekuasaan datang dari mana-mana. Hubungan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari hubungan-hubungan yang ada dalam proses ekonomi, penyebaran pengetahuan dan hubungan seksual. Kekuasaan adalah akibat langsung dari pemisahan, ketidaksamaan dan ketidakseimbangan. Foucault mendefinisikan kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya (Haryatmoko 2010):

1. Kekuasaan tidak dapat dilokalisir, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan,

2. Memberi struktur kegiatan-kegiatan, 3. Tidak represif tetapi produktif, serta 4. Melekat pada kehendak mengetahui.

Menurut Foucault, ada lima acara bagaimana kekuasaan beroperasi (Haryatmoko 2010):

1. Kekuasaan tidak diperoleh, diambil atau dibagikan, kekuasaan berjalan berbagai titik, dalam permainan hubungan yang tidak setara dan selalu bergerak.

2. Kekuasan itu cair karena dimana ada perbedaan terbuka hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan adalah imanen, artinya hubungan kekuasaan adalah efek langsung dari pembagian, perbedaan, ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan.

(26)

2 dan yang dominan. Hubungan-hubungan kekuatan itu banyak dan terbentuk serta bermain di dalam aparat produksi seperti keluarga, kelompok, institusi, keseluruhan tubuh sosial.

4. Hubungan kekuasaan itu intensional (berdasarkan niat atau keinginan). 5. Tidak ada kekuasaan tanpa serangkaian sasaran.

Foucault tidak memisahkan pengetahuan-kekuasaan. Penelitiannya tentang subjek modern melalui bentuk-bentuk pengetahuan, praktik dan wacana terfokus pada kekuasaan-pengetahuan. Pendekatan Foucault mengenai kekuasaan tidak jauh dari pemikiran Nietzsche yang menyebutkan bahwa semua keinginan untuk mengetahui kebenaran sudah merupakan bentuk keinginan akan kekuasaan. Ia mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Pengetahuan tidak bersumber pada subjek tetapi dalam hubungan-hubungan kekuasaan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan. Subyek yang mengetahui, obyek yang diketahui dan modalitas-modalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis mereka. Geneologi pengetahuan menunjuk pada kesatuan pengetahuan ilmiah dan ingatan lokal yang memperbolehkan membangun suatu pengetahuan historis mengenai perjuangan dan menjadikan pengetahuan ini secara taktis berguna.

Pengetahuan didefinisikan sebagai informasi yang telah diproses dan diorganisasikan untuk memeroleh pemahaman, pembelajaran, dan pengalaman yang terakumulasi sehingga bisa diaplikasikan ke dalam kegiatan rutin kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menyimpan dan menyediakan kenyataan/realitas, sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang ditafsirkan oleh individu, atau memiliki makna-makna subyektif. Kehidupan sehari-hari merupakan suatu dunia yang bersumber dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dipelihara sebagai suatu ‘yang nyata’ oleh pikiran dan tindakan. Dasar-dasar pengetahuan tersebut diperoleh melalui pelembagaan (obyektivasi) dari proses-proses membangun makna-makna subyektif dan membentuk dunia akal sehat intersubyektif (Berger dan Luckmann 1990).

Berger dan Luchmann memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan yaitu: eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi adalah pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Obyektivasi adalah pelembagaan realitas, dimana proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh momen eksternalisasi yang berulang-ulang, yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Internalisasi adalah proses penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia

(27)

3 Semua pengetahuan adalah politik karena syarat-syarat kemungkinannya bersumber pada hubungan-hubungan kekuasaan. Anatomi tubuh politik menunjukkan bahwa teknik kekuasaaan, produksi dan pengetahuan lahir dari sumber yang sama. Wacana menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan atau cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang topik khusus pada periode sejarah tertentu. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa. Praktik sosial memerlukan makna, sedangkan makna mempertajam serta mempengaruhi apa yang dilakukan. Jadi semua praktik sosial mengandung dimensi wacana. Wacana dilihat sebagai bahasa dan praksis sosial (Haryatmoko 2010).

Sejumlah syarat metodologis kekuasaan antara lain; pertama, analisis bentuk kekuasaan berdekatan dengan berbagai pokok persoalan tempat ia berubah menjadi kapiler, yaitu dalam bentuk dan institusi-institusi yang lebih regional dan lokal. Kedua, analisis studi kekuasaan dalam wajah eksternalnya, dimana ia merupakan hubungan yang langsung dan tiba-tiba dengan sesuatu yang untuk sementara dianggap sebagai objek, target, atau lahan aplikasi kekuasaan tempat ia memasang dirinya dan memproduksi efek-efek kekuasaan. Ketiga, kekuasaan harus dianalisis sebagai sesuatu yang berputar, sesuatu yang hanya berfungsi dalam bentuk sebuah rantai. Individu sebagai roda-roda kekuasaan bukan hanya titik aplikasinya. Keempat, analisis kekuasaan mengarah ke atas, dimulai dari berbagai mekanisme yang sangat kecil dimana masing-masing memiliki sejarah, jalan, teknik dan taktiknya sendiri-sendiri, dan kemudian melihat bagaimana mekanisme kekuasaan itu diinvestasikan, dipemainkan, ditransformasikan, diganti, diperluas oleh mekanisme yang lebih umum, oleh berbagai bentuk dominasi global. Kelima, mekanisme kekuasaan telah bergabung dengan produksi-produksi ideologi. Ideologi adalah produksi efektif instrumen-instrumen yang ditujukan pada formasi dan akumulasi pengetahuan. Kekuasaan dijalankan melalui mekanisme yang tidak kentara, tidak dapat menghindari keterlibatannya dalampengorganisasian dan perputaran pengetahuan, atau lebih tepatnya menjadi aparat pengetahuan (Foucault 2002).

Foucault mengemukakan hipotesis kekuasaan (namun menurutnya perlu dieksplorasi lebih lanjut) sebagai berikut; 1) bahwa kekuasaan sama luasnya dengan lembaga sosial; tidak ada ruang yang sama sekali bebas di celah-celah jaringannya, 2) bahwa relasi-relasi kekuasaan saling terjalin dengan jenis-jenis relasi lain (produksi, kekerabatan, keluarga, seksualitas) dimana memainkan sekaligus peran pengkondisian dan yang terkondisikan, 3) bahwa relasi-relasi ini tidak hanya berbentuk larangan dan hukuman, melainkan bentuk-bentuk yang beragam, 4) bahwa kesalinghubungan diantara mereka menggambarkan kondisi umum dominasi, dan dominasi ini diatur ke dalam bentuk strategi yang kurang lebih koheren dan tunggal; 5) bahwa relasi-relasi kekuasaan benar-benar “melayani” karena memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam strategi-strategi yang ada, 6) bahwa tidak ada relasi kekuasaan tanpa halangan (Foucault 2002).

Penciptaan dan penyebaran diskursus

(28)

4 (Agusta 2012), penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian dan pemikiran tentang orang, pengetahuan dan sistem abstrak pemikiran.

Diskursus berarti berbicara tentang aturan-aturan dan praktik-praktik yang menghasilkan pernyataan-pernyataan (statement) yang bermakna pada satu rentang waktu tertentu. Diskursus juga merupakan sebuah mekanisme pengaturan bekerja yang sangat rapi yang melibatkan disiplin, institusi dan profesionalisme. Diskursus mengisolasi, mendefinisikan dan memproduksi obyek pengetahuan yang sekaligus merupakan undang-undang sosial menetapkan aturan tentang tata cara yang dapat diterima dalam memperbincangkan, menulis, dan bertindak seputar topik tertentu (Malik 2010).

Proses penciptaan diskursus pasti diatur, diseleksi, disusun dan disebarkan berdasarkan prosedur-prosedur tertentu. Salah satu upaya pengaturan diantaranya dengan melakukan aturan pengecualian (exclusion) melalui cara pelarangan (prohibited). Adapun tipe-tipe larangan; obyek-obyek yang ditutupi, ritual-ritual beserta keadaan yang menyertainya, hak bicara istimewa dan ekslusif yang dimiliki subyek-subyek tertentu. Larangan-larangan ini saling berelasi satu sama lain; saling menguatkan dan saling melengkapi membentuk jaringan yang sangat kompleks (Foucault 2003:13). Larangan-larangan ini membentuk mata rantai yang menghubungkan ucapan dengan hasrat dan kekuasaan.

(29)

5

Gambar 1 Penciptaan diskursus

Diskursus diciptakan dan disebarluaskan, kemudian mendapatkan reaksi dari pihak lain sehingga terjadi perdebatan dan adu argumentasi. Perdebatan dan adu argumentasi ini menghasilkan sebuah diskursus yang dominan. Diskursus dominan adalah diskursus yang paling sering dibicarakan dan dipraktikkan, semakin sering dibicarakan dan dipraktikan maka akan menjadi diskursus dominan. Diskursus dikenalkan, disebarluaskan melibatkan kekuasaan. Kekuasaan adalah nama yang diberikan pada suatu situasi strategis kompleks dalam masyarakat. Dalam hal ini diskursus ketahanan pangan menjadi arena interaksi diskursus para aktor antara lain pemerintah, komunitas dan pelaku usaha.

Foucault menerapkan prinsip-prinsip geneologis, suatu prinsip yang menekankan bahwa tiap bentuk kebenaran bisa dilacak secara historis pada institusi dan wacana dominan yang melahirkannya. Dengan prinsip ini ia menggunakannya untuk membedah kebenaran yang dimutlakkan. Kebenaran berasal dari penataan yang disebutnya sebagai teknik episteme yaitu konstruksi berdasarkan prinsip penataan hal ihwal yang membuat beberapa mungkin dan lainnya tidak. Episteme (pemilihan nilai yang menjadi obyek) ini bekerja sangat halus menguasai pola pikir orang pada suatu zaman dan mendepak pola pikir alternatif. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana suatu fenomena dikategorisasikan, didefinisikan dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga komponen dikursif: disiplin ilmu, institusi dan tokoh (Foucault 2002).

Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan, melainkan menguatkan. Kehendak untuk tahu adalah nama lain kehendak untuk berkuasa. Pengetahuan juga memiliki dampak sosial. Pengetahuan

Penciptaan diskursus

Pembentukan strategi

Pembentukan konsep

Pembentukan subyek

Pembentukan obyek

Aturan penyisihian

Aturan internal Aturan

pengelolaan kekuasaan

Pendisiplinan

(30)

6 bisa mengakibatkan rekonfigurasi sosial. Apa yang dikira sebagai kodrat manusia adalah dibangun oleh episteme zaman yang berpihak pada pengetahuan, wacana, dan institusi tertentu.

Konsep terpenting Foucault terkait dengan kekuasaan adalah the constructive nature of power, bahwa kekuasaan terdapat dalam setiap institusi dan konteks diskursif, yang kemudian meluas hingga the concept of governmentality. Konsep ini mengarah pada organisasi administratif yang dibentuk untuk mengontrol dan mengatur dengan memberikan perhatian pada wewenang diskursus, teknologi, pengawasan terkait dengan birokrasi modern (Sutrisno dan Putranto dalam Malik 2010).

Kuasa perempuan dan pangan

Pengetahuan dan kekuasaan perempuan dalam ketahanan pangan disinyalir telah dimiliki dan dilakukan perempuan sejak peradaban awal manusia. Pada mayarakat berburu dan meramu, perempuan bertanggung jawab atas pangan keluarga dan perawatan anggota keluarga. Sejarah bercocok tanam juga diawali oleh perempuan, maka lambang dan simbol kesuburan dan pangan adalah Dewi Sri. Artinya sejak awal peradaban telah terjadi pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang kemudian dikenal dengan istilah gender.

Perempuan dan pertanian memiliki kaitan erat. Sejarah menunjukkan bahwa sebelum dikenal berbagai jenis profesi, maka tani merupakan profesi paling awal yang dikenal manusia. Profesi tani menyediakan bahan pangan sehari-hari demi kelangsungan hidup manusia sehingga tani dapat dikatakan sebagai profesi awal dan vital manusia (Soeparto 2011).

Pengetahuan dan kekuasaan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga berjalan seiring perkembangan masyarakat dan perubahan sosial. Di Indonesia, ketika membicarakan perempuan dan kaitannya dengan peran gender yang harus dilakukannya maka tidak akan lepas dari sejarah kolonialisasi yang dialami Bangsa. Sejarah kolonialisasi di Indonesia diawali pada tahun 1800 M, saat VOC masuk ke wilayah Indonesia. Kolonialisme merupakan suatu usaha untuk melakukan sistem pemukiman warga dari suatu negara di luar wilayah negara induknya. Seringkali kolonialisme membawa serta imperialisme, suatu usaha memperluas wilayah kekuasaan atau jajahan untuk mendirikan imperium/kekuasaan. Kolonialisasi di Indonesia awalnya muncul dari ide untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah, mencari harta (emas, perak), menyebarkan agama nasrani, mencari keharuman nama, kejayaan dan kekuasaan.

(31)

7 surat-surat kepada sahabatnya di Belanda. Tahun 1904 Dewi Sartika mendirikan sekolah istri untuk kaum perempuan. Tahun 1911-1920, Abendanon menerbitkan surat-surat RA kartini dengan judul “Door Duitstemis tot licht” (habis gelap terbitlah terang). Tahun 1913 Yayasan Kartini berdiri di Belanda untuk mendukung pendidikan perempuan Jawa. Tahun 1917, Aisyah; organisasi perempuan Muhammadiyah berdiri (Tata 2000).

Gambaran di atas merupakan sekelumit sejarah yang sangat terbatas untuk menunjukkan bagaimana kolonialisasi sangat memberi warna pada sistem sosial kemasyarakatan negara jajahannya,termasuk kondisi perempuannya. Dari aspek hukum agraria, kelembagaan yang dibentuk menyebabkan relasi sosial laki-laki dan perempuan menjadi tidak seimbang. Laki-laki bekerja di dalam sistem tanam paksa kemudian perempuan bertanggung jawab penuh segala urusan rumah tangga. Pembagian peran ini jelas memberikan perbedaan kedudukan dalam relasi sosial. Akses pendidikan juga terbatas pada kaum bangsawan dan pengusaha sehingga pendidikan kaum perempuan sangat tertinggal. Hal ini membuat RA Kartini merasa perlu memperjuangkan hak kaum perempuan dengan menulis surat kepada temannya di Belanda.

Sejarah juga mencatat bahwa di masa penjajahan Belanda di Indonesia, terdapat tradisi di dalam keluarga pribumi Jawa yang tidak membolehkan anak perempuannya bersekolah terlalu tinggi menyamai apa yang dicapai laki-laki. Perempuan diharapkan kelak mengurus rumah tangga dan bekerja di ranah domestik. Pranata sosial juga dipersiapkan untuk pendidikan kaum perempuan yang juga berbeda dari pendidikan kaum laki-laki. Perempuan disosialisasikan untuk bisa

hidup dengan mengabdikan diri pada keluarga dan berperan sebagai “konco wingking”.

Ester Boserup menyajikan bukti empiris tertulis tentang kemiskinan kaum perempuan yang meningkat selama jaman kolonial. Para penguasa yang sudah berabad-abad untuk menundukkan dan melumpuhkan kaum perempuan mereka sendiri sehingga menjadi manusia tidak berarti, tanpa ketrampilan, dan tanpa kemampuan berpikir sendiri, tidak memberi peluang pada kaum perempuan negara jajahan untuk memperoleh lahan, teknologi dan pekerjaan. Proses ekonomi dan politik kolonial untuk mengembangkan keterbelakangan jelas sekali menunjukkan ciri-ciri patriarki barat modern, dan meski proses ini menimbulkan kesengsaraan pada kaum laki-laki dan perempuan, namun kaum perempuan yang lebih menderita. Penjualan lahan pada orang-perorangan untuk mengeruk pendapatan berakibat tergusurnya kaum perempuan karena mengikis hak tradisional mereka memanfaatkan tanah. Perluasan lahan tanaman keras memperlemah produksi pangan. Kaum perempuan sering harus puas dengan satu sumber daya yang tidak seberapa untuk memelihara anak-anak, orang lanjut usia dan yang sakit-sakit, sementara kaum laki-laki pergi bermigrasi atau diwajibkan melakukan kerja paksa oleh penguasa kolonial (Shiva 1997).

Pada saat Indonesia merdeka, ketika pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan bangsa melalui proses modernisasi maka terjadi pula pergeseran peran perempuan dalam proses produksi pertanian. Untuk meningkatkan produksi pemerintah menerapkan revolusi hiajau yang sangat berdampak pada kondisi perempuan.

(32)

8 berhasil meningkatkan produktivitas pangan di Meksiko. Sejak saat itu, bisnis teknologi pertanian marak dan mendunia. Empat puluh tahun kemudian (1984) Indonesia mencapai swasembada beras, yang merupakan puncak dari piramida perdagangan benih unggul, pupuk kimia dan pestisida di Indonesia (Tata 2000).

Secara sosiologis, keberhasilan revolusi hijau membawa dampak yang besar bagi proses perkembangan masyarakat. Berubahnya pola bercocok tanam membawa perubahan relasi sosial laki-laki dan perempuan dalam proses mengerjakan sawah. Sebelum penerapan revolusi hijau, peran perempuan cukup signifikan. Mulai dari memilih dan memilah bibit unggul secara tradisional, menyemai benih, menanam dan merawatnya dari hama, serta menuai hasil dan menumbuk padi. Ketika teknologi masuk maka peran tersebut direduksi dan bahkan dihilangkan. Dalam konteks ini, partisipasi dan kontrol perempuan terhadap pertanian menjadi lemah. Akibatnya relasi dengan laki-laki pun mengalami perubahan.

Revolusi pengetahuan (hijau) mengubah alam/tanah dari “terra matter” (ibu pertiwi) menjadi komoditas yang dieksploitasi untuk keuntungan. Pembangunan pertanian merusak produktifitas perempuan karena merebut dari tangan perempuan: pengelolaan dan pengendalian lahan, air, ekologi sistem lahan, tumbuh-tumbuhan sehingga menurunkan partisipasi dan produktifitas perempuan.

Penerapan revolusi hijau menyebabkan terjadinya beberapa pergeseran antara lain: benih unggul baru menggantikan benih pilihan tradisional perempuan, pupuk kimia menggantikan pupuk kompos yang dihasilkan perempuan dengan mengumpulkan kotoran ternak dan sampah organik, penggunaan teknologi baru menggusur tenaga perempuan dalam mengelolan lahan pertanian. Hal ini juga menyebabkan hubungan perempuan dengan mata rantai pangan menjadi lemah.

Pekerjaan seorang perempuan lebih banyak (3.485 jam) dari pada kaum laki-laki (1.212 jam) dan ternak/sepasang kerbau (1.064 jam), pada satu hektar lahan pertanian. Seorang perempuan menghabiskan waktu 640 jam untuk pekerjaan interkultur (masa selang waktu tanam satu musim ke musim tanam berikutnya) seperti menyiangi; 384 jam untuk irigasi, 650 jam untuk mengangkut pupuk organic dan menyebarnya ke ladang; 557 jam untuk menabur benih (dengan kaum laki-laki), 984 jam untuk memanen dan menumbuk (Shiva 1997).

Revolusi hijau juga menyebabkan peran perempuan menjadi terkurangi, kelestarian alam rusak karena pemakaian pupuk kimia, pestisida, mengganggu keseimbangan ekosistem alam. Daur kehidupan makhluk hidup di sawah pun terganggu, akibatnya muncul berbagai masalah seperti wabah wereng, meningkatnya populasi tikus perusak tanaman, dan ancaman gagal panen. Tingkat kesuburan tanah mengalami penurunan karena eksploitasi pupuk kimia yang mengkarbit tanaman menjadi banyak dan cepat panen.

(33)

9 perempuan dalam mengontrol penghasilan menjadi sangat penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga.

Temuan tersebut menjadi referensi bagi penelitian ini bahwa peran perempuan sebagai petani (penjual dan pembeli), penghasil pendapatan, penyedia makanan, pengontrol penghasilan merupakan modal perempuan dalam relasi kuasa terhadap suami dan anaknya dalam proses negosiasi sebuah keluarga dalam hal pengelolaan ketahanan pangan keluarga. Kuasa perempuan dalam hal pangan bisa bertambah dan semakin kuat, tergantung pada faktor-faktor yang membuat mereka bisa mempraktikkan pengetahuan tentang pangan. Faktor-faktor tersebut antara lain; ada tidaknya program pemerintah, ada tidaknya peluang untuk mempraktikan pengetahuan tentang pangan, dan ada tidaknya sumber daya penopang untuk bisa mengakses dan mempraktikkan pengetahuan.

Kondisi ini mirip dengan konsep elastisitas dalam bidang ekonomi. Secara sederhana elastisitas dapat diartikan sebagai derajat kepekaan suatu gejala ekonomi terhadap perubahan gejala ekonomi lain. Pengertian lain elastisitas dapat diartikan sebagai tingkat kepekaan perubahan kuantitas suatu barang yang disebabkan oleh adanya perubahan faktor-faktor lain. Penyebab kuantitas suatu barang yang diminta/ditawarkan bisa berubah antara lain; harga barang itu sendiri, harga barang lain dan income atau pendapatan. Sementara itu, elastisitas dalam bidang fisika didefinisikan sebagai suatu benda yang jika benda itu diberi gaya maka akan mengembang (berubah) kemudian jika gaya itu dihilangkan, maka benda akan kembali ke bentuk semula.

Konsep dan Studi tentang Ketahanan Pangan dan Perempuan

Definisi ketahanan pangan yang paling banyak dianut oleh negara-negara di dunia adalah definisi dari organisasi pangan dunia (Food and Agriculture Organization-FAO). Konsep ketahanan pangan FAO dikembangkan sejak pertengahan 1970-an. Pada saat itu ketahanan pangan versi FAO ini hanya terfokus pada masalah ketersediaan pangan, yakni menjamin ketersediaan dan harga pangan utama yang stabil, baik di tingkat internasional maupun nasional. Definisi ini mengalami perkembangan, ketahanan pangan kemudian menyentuh level individu.

FAO merumuskan ketahanan pangan diartikan sebagai situasi yang ada ketika semua orang, sepanjang waktu, mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap bahan pangan yang cukup, aman dan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan makanan dan makanan yang disukai untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Definisi ketahanan pangan ini diadopsi pemerintah Indonesia dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 dan PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Undang undang nomor 7 tahun 1996 mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan memiliki beberapa aspek yaitu; ketersediaan, keterjangkauan, kelayakan dan kesesuaian pangan (UU Pangan 1996).

(34)

10 1. Kecukupan ketersediaan pangan

2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun

3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4. Kualitas/keamanan pangan

Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadi ketergantungan pangan pada pihak mana pun. Sen (1982) mengungkapkan, persyaratan bagi pengamanan pangan masyarakat bukan pada pengadaan bahan pangan semata, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang lapar (entitlement approach). Kelaparan dapat terjadi bagi kelompok masyarakat tertentu sebagaimana terbatasnya dan rendahnya nilai-nilai sumber daya lokal pada sebagian masyarakat pedesaan yang miskin di negara-negara berkembang.

Konsep ketahanan pangan pemerintah diperbaharui oleh UU pangan Republik Indonesia yakni Undang-Undang No 18/2012 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Ketahanan pangan (UU No 18/2012) dinyatakan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Dipersyaratkan oleh undang-undang No 18/12 tersebut juga bahwa dalam rangka mencapai ketahanan pangan tersebut, negara harus (i) mandiri; yaitu mampu dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebuutuhan pangan yang cukup sampai tingkat perseorangan dengan memanfaatkan sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat, dan (ii) berdaulat; yaitu mampu menentukan kebijakan pangannya secara mandiri, tidak didikte oleh pihak manapun, dan para pelaku usaha pangan mempunyai kebebasan untuk menetapkan dan melaksanakan usahanya sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya. Aspek kemandirian menitikberatkan pada pentingnya pangan berbasis sumber daya lokal, dan kedaulatan pangan menitikberatkan pada pentingnya peran serta masyarakat lookal; sehingga aspek lingkungan, sosial budaya dan politik pangan masyarakat lokal akan mendapat tempat untuk berkembang (Hariyadi 2013).

(35)

11 Hal itu terkait dengan banyak elemen, tidak hanya perdagangan, tetapi juga akses pasar, harga, subsidi, cara produksi, kontrol terhadap sumber daya produksi, benih, kredit dan yang lain (Majalah Pangan 2010).

Kedaulatan pangan pertama kali dipopulerkan oleh sebuah organisasi petani internasioal La Via Campesina, dalam deklarasi Tlaxcala di Mexico tahun 1996. La Via Campesina menyodorkan pengertian kedaulatan pangan adalah hak rakyat, atau negara dalam menetapkan kebijakan pertanian dan pangannya mencakup: 1) memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk memberi makan rakyat 2) hak petani untuk memproduksi makanan dan hak mengkonsumsi pangan 3) hak sebuah negara untuk melindungi dirinya dari harga pangan dan pertanian import 4) harga pertanian terkait dengan biaya produksi 5) rakyat ikut serta dalam penentuan pemilihan kebijakan pertanian 6) pengakuan atas hak-hak petani perempuan, yang memegang peran utama dalam produksi pertaniann dan pangan. Definisi kedaulatan pangan yang lengkap dapat ditemukan di dalam Deklarasi Final dari World Forum Sovereignty di Havana, Kuba, tanggal 7 September 2001. Menurut deklarasi ini, kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, atau negara untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi, berdasarkan produksi yang berskala kecil dan menengah, menghargai kebudayaan mereka sendiri dan keberagaman kaum tani, kaum nelayan dan bentuk-bentuk adat poduksi pertanian, serta menghormati pengelolaan dan pemasaran di wilayah pedesaan, dimana perempuan memainkan peran mendasar (Setiawan 2003).

Tidak tercapainya ketahanan pangan berarti terjadi kerawanan pangan. Kerawanan pangan terjadi manakala keluarga, rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis bagi petumbuhan dan kesehatan individu (Siagian 2007). Akibat dari kerawanan pangan adalah menurunnya status gizi dan kesehatan masyarakat.

Salah satu indikasi kerawanan pangan adalah tingginya prevalensi kurang gizi pada balita. Analisis data SUSENAS 2003 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 5 juta balita (27,5%) menderita kurang gizi. Dari jumlah tersebut1,5 juta (8,5%) menderita gizi buruk. Selain itu kerawanan gizi juga ditandai oleh rendahnya konsumsi energi dan protein (deficit energy dan protein). Saat ini hampir 50% keluarga mengalami deficit energy dan protein (konsumsi rata-rata energi per kapita, lebih kecil dari 2200kkal/hari dan 50 gram/hari).

Pembangunan ketahanan pangan dihadapkan pada penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam, seperti sumber daya lahan dan air. Dalam periode 1983 sampai 1993 luas lahan pertanian mengalami penurunan dari 16,7 juta hektar menjadi 15,6 juta hektar, atau sekitar 110 ribu hektar pertahun. Penurunan tersebut terutama terjadi di Jawa, yang mempunyai implikasi serius dalam produksi komoditas pangan utama beras. Data BPS menunjukkan bahwa Jawa merupakan kawasan utama produksi di Indonesia. Pada tahun 2002 diperkirakan mencapai 56% dari total produksi beras nasional (Noor 2007).

(36)

12 beras atau bersifat subsisten. Dalam hal inilah petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan. Petani sebagai produsen pangan sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan (Yunita, 2011).

Kemiskinan di kalangan petani terjadi tidak hanya pada petani beras di Jawa tetapi juga pada petani sawah lebak di kawasan pasang surut. Lahan rawa lebak sebagian besar dimanfaatkan untuk pengembangan budi daya padi yang dapat dipilah dalam pola (1) padi sawah timur (sawah rintak) dan (2) padi sawah barat (sawah surung). Sawah rintak pada musim hujan tergenang sehingga hanya ditanami pada musim kemarau. Apabila dimanfaatkan untuk tanam padi surung (sawah surung) sawah ditanami pada musim hujan. Persiapan dimulai ketika masih kering (macak-macak), yaitu sekitar bulan September-oktober dan panen pada bulan Januari –Februari pada saat air genangan cukup tinggi (1,0-1,5 m). Jenis padi rintak pada dasarnya adalah padi sawah umumnya dipersiapkan pada bulan April, tergantung keadaan genangan. Jenis padi surung adalah padi sawah air dalam, yang mempunyai ciri dan sifat khas, yaitu lebih tinggi dan dapat memanjang mengikuti kenaikan genangan ( Noor 2007).

Studi tentang ketahanan pangan rumah tangga telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan peminat tema ini. Mereka melihat ketahanan pangan dari berbagai dimensi dan indikator penelitian. Umumnya studi dalam ketahanan pangan menggunakan metode kuantitatif yang melihat ketahanan pangan diukur dari aspek fisik dan indikator kuantitas.

(37)
[image:37.842.101.600.116.515.2]

13

Tabel 1 Penelitian tentang ketahanan pangan rumah tangga dari beberapa bidang ilmu No. Nama

Peneliti

Judul Penelitian Hasil penelitian Disiplin ilmu/istansi

penelitian 1. Ariani

(2000)

Dampak krisis ekonomi terhadap konsumsi pangan rumah tangga

Secara nasional krisis ekonomi berdampak pada peningkatan pangsa pengeluaran pangan rumah tangga, peningkatan jumlah rumah tangga deficit energy dan protein. Penurunan tingkat partisipasi konsumsi beras,mie, pangan hewani. Peningkatan konsumsi jagung, ubi kayu, tahu dan tempe. Perubahan ini terjadi pada seluruh segmen rumah tangga baik di desa maupun kota.

Pusat penelitian sosial ekonomi badan penelitian dan pengembangan pertanian, Departemen Pertanian, Bogor

2. Ariani (2000)

Analisis kebijakan ketahanan pangan rumah tangga berpendapatan rendah di pedesaan

Krisis ekonomi telah menurunkan ketahanan pangan rumah tanga berpendapatan rendah. Indicator yang dapat dilihat adalah: penurunan konsumsi pangan dan non pangan, penurunan pendapatan rumah tanggga sehingga daya beli rendah, kondisi ini dlam jangka panjang akan menurunkan kualitas SDM.

Pusat penelitian sosial ekonomi badan penelitian dan pengembangan pertanian, Departemen Pertanian, Bogor

3. Baliwati, F.Yayuk (2001)

Model evaluasi ketahanan pangan rumah tangga petani (Desa sukajadi Ciomas kab Bogor)

Sebagian besar rumah tangga petani berada pada kondisi ketidak tahanan pangan (82,0%) dengan rincian rawan pangan 51 persen, 31 persen sangat rawan pangan. Situasi tahan pangan hanya 18 persen rumah tangga petani. Ketidaktahanan pangan tersebut disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap pangan baik secara fisik maupun ekonomi. Instrumen atau indicator memantapkan sistem ketahanan pangan salah satunya adalah pengetahuan tentang usaha tani berdasarkan agroekosistem.

Ekonomi pertanian

4. Nurmalina, Rita (2007)

Model neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan nasional

Terdapat lima dimensi yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem ketersediaan beras yakni: ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan, teknologi.

Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan

5. Rindayati, Wiwiek (2009)

Dampak desentralisasi fiscal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah propinsi Jawa Barat

Desentralisasi fiskal menyebabkan terjadinya penurunan kinerja ketahanan pangan dan peningkatan jumlah penduduk rawan pangan serta peningkatan angka penderita gizi buruk yang disebabkan karena penurunan akses pangan terutama pada golongan pendapatan rendah.

Ekonomi pertanian

6. Jaya winata, Ardi (2005)

Dampak kebijakan makro ekonomi terhadap ketahanan pangan nasional

Kebijakan makro ekonomi berupa kebijakan kombinasi penurunan suku bunga dan peningkatan pengeluaran pemerintah sangat mempengaruhi indicator outcome ketahanan pangan yaitu kelompok masyarakat yang rawan pangan (anak balita, ibu menyusui dan wanita hamil)

Ekonomi manajemen

(38)

14

No. Nama Peneliti

Judul Penelitian Hasil penelitian Disiplin ilmu/istansi

penelitian 7. Taridala,

S.A.Adha (2010)

Analisis gender dalam pencapaian ketahanan pangan rumah tangga petani di Konawe Selatan Sulteng

Perempuan dan laki-laki memegang peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga karena disamping mengalokasikan waktunya dalam pengelolaan usaha tani juga mengelola usaha non tani. Laki-laki lebih berperan dalam usaha tani keluarga, perempuan berperan dalam aktifitas domestic. Sumbangan pendapatan laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan.

Ekonomi manajemen

8. Purwanti, Pudji (2010)

Model ekonomi rumah tangga nelayan skala kecil dalam mencapai ketahanan pangan

Kebijakan yang dapat meningkatkan harga jual ikan dan kebijakan bantuan perbaikan teknologi alat tangkap merupakan kebijakan yang dapat meningkatkan ekonomi rumah tangga dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga nelayan yang sangat efektif

Sosial ekonomi

9. Yunita (2011)

Strategi peningkatan kapasitas petani padi sawah lebak menuju ketahanan pangan rumah tangga di kabupaten Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir propinsi SumateraSelatan

Ketahanan pangan rumah tangga petani padi sawah lebak termasuk kategori rendah, baik dari aspek kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan. Strategi peningkatan kapasitas petani melalui pendekatan fasilitasi; perbaikan proses pemberdayaan, penguatan dukungan lingkungan sosial, peningkatan kinerja penyuluh lapangan.

Penyuluhan pertanian

10. Adiyatna, Hendra (2012)

Pengembangan sistem pendukung manajemen ketahanan pangan beras di tingkat kabupaten

Sistem pendukung manajemen (SPM) beras terdiri atas sistem penunjang keputusan berfungsi memberikan informasi kondisi ketahanan pangan beras berdasarkan luaran model-model ketahanan pangan. Sistem pakar berfungsi memberikan rekomendasi keputusan berdasarkan luaran model ketahanan pangan. Sistem informasi eksekutif memberikan dukungan eksekutif berupa informasi yang terkait dengan rekomendasi keputusan sebelum diimplementasikan.

[image:38.842.81.771.111.420.2]
(39)

15 Tabel 1 menunjukkan bahwa persoalan ketahanan pangan menjadi perhatian dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini menunjukkan persoalan ketahanan pangan menjadi arena menarik bagi penelitian lintas disiplin ilmu, karena persoalan ketahanan pangan bisa diamati dari berbagai perspektif. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengkaitkan ketahanan pangan keluarga khususnya pemenuhan pangan dan kontribusi perempuan, terutama relasi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi sawah lebak.

Penelitian tentang perempuan telah banyak dilakukan baik oleh mahasiswa, lembaga pemerintah, organisasi atau lembaga peduli perempuan, pusat studi dan lainnya. Secara umum studi tersebut melihat bagaimana agar perempuan bisa mendapatkan akses, peran, kontrol terhadap berbagai aspek kehidupan sehingga tidak tertinggal dari laki-laki. Upaya pemberdayaan perempuan kemudian menjadi isu penting karena untuk bisa berperan, memiliki akses dan kontrol perempuan perlu diberdayakan.

Pemberdayaan adalah proses memberikan kemampuan kepada individu atau masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong, memotivasi, agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya mengembangkannya. Pemberdayaan perempuan diartikan sebagai sesuatu yang memungkinkan perempuan mengambil tempat yang sama dengan laki-laki dan terlibat secara bersama-sama dalam proses pembangunan untuk mencapai kontrol atas faktor-faktor produksi diatas landasan yang sama dengan laki-laki. Ada lima tingkat persamaan untuk menilai tingkat pemberdayaan perempuan di berbagai bidang kehidupan menurut Sara Hlupekile Longwe yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran, partisipasi dan kontrol. Kelima tingkat pemberdayaan ini bersifat hirarkis dimulai dari yang paling rendah kesejahteraan dan yang paling tinggi adalah kontrol. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu: (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Asumsi dasar untuk menciptakan suasana yang memungkinkan masyarakat berkembang adalah bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi. (2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat. Untuk memperkuat potensi atau daya yang dimiliki perlu diterapkan langkah nyata dengan menampung berbagai masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik maupun sosial yang dapat diakses oleh lapisan masyarakat paling bawah. (3) Melindungi dan membela kepentingan masyarakat yang lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat (Priyono 1996).

Sebuah studi dilakukan oleh Scahlan (2004), menemukan bahwa pemberdayaan perempuan dan melibatkan gender dalam program pembangunan tidak hanya dapat meningkatkan kesempatan hidup perempuan tetapi juga menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Penelitian tentang perempuan dan pemberdayaan juga dilakukan oleh Mabsout, 2004 di Ethiopia, hasilnya menunjukkan bahwa di dalam kelompok dimana terdapat norma gender yang tidak seimbang di tingkat individu maupun rumah tangga maka akan berefek pada bargaining power. Hal ini perlu dimediasi dengan memperluas pendekatan individu kepada pendekatan institusional untuk mendukung pemberdayaan perempuan.

(40)

16 faktor kompleks pada sebuah relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di hampir semua masyarakat. Relasi kekuasaan sendiri memungkinkan subyek bisa berubah-rubah. Pada kasus tree tenure domain gender bisa berpengaruh sebagai pelengkap dan dinegosiasikan. Jika regim bisa dinegosiasikan maka akan mempengaruhi perubahan dalam relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.

Valdivia dan Gilles, 2001 melakukan studi tentang faktor yang mempengaruhi akses rumah tangga dan hasilnya menunjukkan adanya dinamika yang akan mempengaruhi akses rumah tangga untuk bisa mencapai kondisi yang baik. Akses untuk lebih baik tergantung pada negosiasi kapasitas gender. Mereka menunjukkan peran sentral perempuan bermain dalam lingkungan yang memberi kesempatan bagi mereka khususnya ketika suara mereka didengar.

Studi tentang kekuasaan dalam pengambilan keputusan dilakukan oleh Haddad dan Kasbur (1990) hasilnya menemukan bahwa jika perempuan memiliki kekuasaan kecil atas keputusan pada penggunaan sumber daya termasuk waktu maka partisipasi perempuan mengalami kegagalan. Lebih lanjut mereka mengemukakan perempuan tidak memiliki peralatan produksi pertanian sebagaimana laki tetapi mereka hanya dapat meminjam dari kelompok laki-laki jika mereka memerlukan.

Penelitian te

Gambar

Tabel 1  Penelitian tentang ketahanan pangan rumah tangga dari beberapa bidang ilmu
Tabel 1  Penelitian tentang ketahanan pangan rumah tangga dari beberapa bidang ilmu (lanjutan)
Tabel 2  Penelitian tesis dan disertasi dengan tema perempuan
Tabel 2  Penelitian tesis dan disertasi dengan tema perempuan  (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu bidang yang mendapatkan dampak yang cukup berarti dengan perkembangan teknologi ini adalah bidang pendidikan, dimana pada dasarnya pendidikan merupakan

Kajian secara teknis merupakan langkah sinkronisasi apakah energi listrik (Watt-jam) yang dihasilkan oleh sistem solar cell dan windpower (tenaga angin) mampu melayani beban

Pegadilan Agama Ternate Kelas IB sampai dengan tahun 2017 pada bidang keperkaraan untuk kelompok fungsinal belum ada Pranata Peradilan, Jurusita hanya terdiri

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subyek penelitian adalah siswa kelas XII TPHP SMK Putra Wilis Kecamatan Sendang

fungctionality yang menggunakan metode kuisioner didapatkan bahwa kualitas sistem informasi sudah sesuai atribut fungctionality, sementara untuk metode black-box

Sedangkan yang dapat menahan beban gempa ataupun beban lateral yang terjadi adalah struktur kolom dari gedung itu sendiri, pada dasarnya kolom berfungsi sebagai sistem

Namun tinjauan dari segi nilai, dan analisa motif batik mangrove Surabaya sebagai upaya konservasi hutan bakau ini belum pernah diteliti sebelumnya dan belum ada pula buku

Tujuan dilakukannya praktikum Hematologi dan Perhitungan Sel Darah adalah dapat mengetahui lama waktu yang dibutuhkan darah untuk koagulasi, mengetahui faktor