DAARUL QUR’AN INTERNASIONAL
BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah satu Persyaratan Mencapai gelar Sarjana Psikologi
Disusun Oleh:
Siti Amyani NIM : 102070025979
FAKULTAS PSIKOLOGI
dengan menyebut nama TUHAN mu Yang Menciptakan
-(QS. Al-‘Alaq/97:1)-
“Janganlah keterlambatan masa pemberian Allah kepadamu padahal engkau
bersungguh-sungguh dalam berdoa menyebabkan patah harapan, sebab Allah telah
menjamin menerima semua do’a dalam apa yang Dia Kehendaki untukmu, bukan
menurut kehendakmu dan pada waktu yang ditentukan-Nya, bukan pada waktu yang
engkau tentukan”
-(Ibn ‘Athoillah)-
Sukses besar tidak dibangun diatas sukses. Sukses besar dibangun diatas kesulitan,
kegagalan dan frustasi, kadang-kadang bencana besar dan dari cara kita mengubah
dan mengatasinya.
-Summer Redstone-
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah
selesai dari sesuatu urusan, tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).
dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
-(SQ. al-Insyirah :6-8)-
Disiplin dan Percaya diri adalah kunci kesuksesan
Confidence makes anything from impossible become possible from big to small and
from difficult to easy.
So, be confident ok……
Karya ini ku persembahkan teruntuk
Suami dan putra- putriku tercinta Hasbi dan Riri, Abah, Ummi kakak
dan adikku serta untuk sahabat-sahabat
tersayang yang senantiasa memotivasi dan membantu penulis dalam
menyelesaikan Skripsi ini
I Love You All ……
(A) Fakultas Psikologi (B) Juni 2010
(C) Siti Amyani
(D) Judul: Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kemandirian Santri Pesantren Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung. (E) Halaman : 70 halaman + lampiran
(F) Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang memiliki nilai plus dalam hal keilmuan, di samping santri mengenyam pendidikan formal (sekolah/madrasah), juga memperoleh pendidikan agama yang lebih banyak dan mendalam yang merupakan dasar dari kepribadian atau karakter santri yang khas, yaitu sholeh, cerdas, dan mandiri. Untuk itu, pondok pesantren harus memiliki komitmen tinggi dalam menumbuhkan dan meningkatkan kepribadian santri yang ideal, khususnya kepercayaan diri dan kemandirian pada santrinya.
Fenomena yang terjadi di Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung, yaitu di mana santri berasal dari kalangan menengah ke atas yang sebelumnya terbiasa semua keperluan dan kebutuhan dirinya dilayani dan dipenuhi oleh orang tua, dan pengasuh atau pembantunya, sehingga santri kesulitan untuk berperilaku mandiri di pesantren, hal ini terlihat dengan penempatan barang-barang pribadi yang tidak pada tempatnya (tidak rapih) dan untuk mengatasinya pesantren menyediakan pelayanan office boy dan office girl, seringnya santri yang datang terlambat pada kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah atau pesantren dan untuk mengatasinya pesantren menyediakan pembimbing atau Musyrif/ah untuk mengingatkan segala aktivitas santri yang dilakukan sejak bangun tidur pada pukul 03.30 wib sampai tidur kembali pada pukul 12.30 wib, adanya santri yang bolos sekolah dengan berbagai alasan, berpura-pura sakit dan minta dijemput yang oleh orang tuanya untuk menghindari hukuman karena pelanggaran yang dilakukan, perkelahian antar santri, mengganggu ketertiban asrama, merusak fasilitas asrama dan milik orang lain, merokok, mengkonsumsi minuman keras, dan mencuri. Fenomena-fenomena di atas menunjukkan adanya krisis kemandirian di kalangan santri
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan kemandirian santri Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung.
Penelitian ini dilakukan di Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung dengan jumlah populasi 117 orang. Dari jumlah tersebut dipilih sebanyak 40 responden sebagai sampel penelitian dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode penelitian
Moment dari Pearson dan untuk menguji reliabilitas instrumen dengan Alpha Cronbach. Jumlah item yang valid untuk skala kepercayaan diri 45 item yang valid dari 60 item uji coba dan untuk skala kemandirian 46 item yang valid dari 70 item uji coba. Validitas yang didapatkan dari r tabel sebesar 0,304. Reliabilitas skala kepercayaan diri sebesar 7,66 dan reliabilitas skala kemandirian sebesar 7,77.
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis Product Moment. Didapatkan r hasil (0,481) > r tabel (0,304) dengan taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan kenyataan ini, bahwa Ha diterima dan dapat disimpulkan koefisien korelasi kepercayaan diri dan kemandirian bernilai signifikan, artinya terdapat hubungan antara kepercayaan diri dengan kemandirian santri.
Disarankan kepada santri-santri di pesantren diharapkan agar dapat meningkatkan kepercayaan dirinya dengan cara ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan yang telah diprogramkan oleh pesantren atau sekolah yang merupakan wadah bagi santri untuk belajar tentang kepercayaan diri dan kemandirian. Diharapkan dengan semakin tingginya kepercayaan diri maka akan semakin tinggi pula kemandiriannya.
Kata kunci : kepercayaandiri, kemandirian , santri.
(G) Daftar Pustaka 35 (1959-2008).
Assalaamu'alaikum Warahmaatullaahi Wabarakaatuh
Alhamdulillaahi rabbil ’aalamiin, segala puji dan syukur pernulis panjatkan kehadirat Pemilik segala yang ada, Penguasa segala yang maya, karena dengan izin dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada panutan seluruh umat manusia nabi besar Muhammad SAW, yang selalu menjadi tauladan bagi seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Perjalanan panjang penulis dalam upaya menyelesaikan kuliah dan skripsi ini dihiasi dengan segala kekurangan dan kelemahan penulis, dan diwarnai dengan berbagai cobaan, tantangan dan penuh perjuangan, serta kesabaran. Penulis meyakini sepenuh hati bahwa dengan selesainya penulisan skripsi ini bukan berarti akhir dari sebuah perjuangan melainkan merupakan awal untuk melangkah ke tahap selanjutnya.
Skripsi ini tidak akan selesai jika tanpa bantuan dari berbagai pihak. Sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis mengucapkan tanda terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Jahja Umar Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si., dan Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si., sebagai Pembantu Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abdurrahman Shaleh, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Akademik.
4. Dra. Hj. Netty Hartati, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I, dan Natris Indriyani, M.Si sebagai Dosen Pembimbing II , yang dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas dalam memberikan bimbingan kepada penulis. Semoga Allah memberikan rahmat dan ridhonya kepada Ibu sekeluarga.
5. Dosen-dosen yang telah memberikan ilmu dan motivasi kepada penulis dari awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai,
6. Jajaran akademik dan para pengurus Perpustakaan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu penulis.
meninggalkan kalian. Semoga Allah menjadikan suami dan anak-anakku sebagai Qurratul a’yun (I Love You all).
8. Kedua orang tua saya, Siti Ruqoyyah dan Muhammad Ghazaii, Ibunda dan Ayahanda tercinta yang senantiasa memberikan segalanya tanpa batas dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.
9. Kakakku Abdul Aziz dan mba Anis, adik-adikku tersayang Siti Khoiriyah, dan Siti Aisyah serta keponakanku yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini (terima kasih banyak sudah menjaga anak-anak saya dengan sabar).
10. Teman-teman terbaikku; Neneng, Nenden, Ai dan Jamali. Terima kasih atas motivasi dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Keluarga besar Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung, terima kasih atas kesempatan dan perizinannya sehingga penulis dapat melakukan penelitian. Terima kasih atas kerja samanya.
12. Dan semua pihak yang telah membantu penelitian ini, baik secara moral, materil dan doa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Akhirnya hanya kepada yang Maha Ghoib, penulis memohon agar bimbingan, bantuan, nasihat dan dorongan yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah, dan semoga ilmu yang ada dalam diri penulis dapat diamalkan dan diabadikan untuk kepentingan agama, bangsa dan negara
Wassalaamualaikum Warahmatullaahi Wabarokaatuh
Jakarta, 21Juni 2010
Penyusun
Siti Amyani
Lembar Pernyataan ... i
Halaman Persetujuan ... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Motto ... iv
Dedikasi ... v
Abstrak ... vi
Kata Pengantar ... viii
Daftar Isi ... x
Daftar Tabel ... xiv
Daftar Lampiran ... xv
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
1.1.1. Pembatasan Masalah ... 7
1.1.2. Perumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
1.1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.1.4. Manfaat Penelitian ... 8
1.4. Sistematika Penulisan ... 8
2.1.1. Pengertian Kepercayaan Diri ... 10
2.1.2. Ciri-ciri Kepercayaan Diri... 12
2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri... 16
2.1.4. Perkembangan Kepercayaan Diri... 19
2.2. Kemandirian... 20
2.2.1. Pengertian Kemandirian... 21
2.2.2. Ciri-ciri Kemandirian ... 22
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian... 24
2.2.4. Perkembangan Kemandirian ... 27
2.3. Santri ... 30
2.3.1. Pengertian Santri ... 30
2.3.2. Jenis-Jenis Pondok Pesantren... 35
2.3.3. Unsur-Unsur yang Terdapat pada Pesantren... 37
2.4. Kerangka berfikir ... 38
2.5. Rumusan Hipotesis ... 41
BAB 3 : METODE PENELITIAN ... 42
3.1. Jenis Penelitian ... 42
3.1.1. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 42
3. 2. Definisi dan Operasional Variabel Penelitian ... 43
3.2.3. Definisi Operasional ... 43
3.3. Pengambilan Sampel... 45
3.3.1. Populasi dan Sampel Penelitian ... 45
3.3.2. Teknik Pengambilan dan karakteristik Sampel... 45
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 47
3.4.1. Metode dan Instrumen Penelitian ... 47
3.5. Teknik Uji Instrumen Penelitian ... 50
3.5.1. Uji Validitas ... 51
3.5.2. Uji Reliabilitas ... 54
3.6. Teknik Analisa Data ... 55
3.7. Prosedur Penelitian ... 56
BAB 4 : PRESENTASI DAN ANALISIS DATA ... 59
4.1. Latar Belakang Responden Penelitian ... 59
4.2. Presentasi Data ... 60
4.2.1. Deskripsi Hasil Penelitian ... 60
4.2.1.1. Gambaran Kepercayaan diri ... 60
4.2.1. 2.Gambaran Kemandirian ... . 62
4.3. Uji Hipotesis ... 64
5.2. Diskusi ... 66
5.3. Saran... 68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tabel 2.1. Bagan Kerangka Berpikir ... 41
Tabel 3.1. Blue Print Try Out Skala Kepercayaan Diri ... 47
Tabel 3.2. Blue Print Try Out Skala Kemandirian ... 48
Tabel 3.3. Format Penilaian Skala ... 50
Tabel 3.4. Blue Print Penelitian Skala Kepercayaan Diri ... 52
Tabel 3.5. Blue Print Penelitian Skala Keamandirian ... 53
Tabel 3.6. Kaidah Baku Tingkat Reliabilitas ... 55
Tabel 4.1. Latar Belakang Responden Penelitian ... 60
Tabel 4.2. Statistik Skor Kepercayaan Diri... 61
Tabel 4.3. Interpretasi Skor Kepercayaan Diri... 61
T abel 4.4. Kategorisasi Skor Kepercayaan Diri... 62
Tabel 4.5. Statistik Skor Kemandirian ... 62
Tabel 4.6. Interpretasi Skor Kemandirian ... 63
Tabel 4.7. Kategorisasi Skor Kemandirian ... 63
Tabel 4.8. Hasil Uji Hipotesis ... 64
xv 1. Inform Concent
2. Skala Try Out
3. Skala Penelitian
4. Data Hasil Try Out
5. Data Hasil Penelitian
6. Hasil Uji Validitas Kepercayaan Diri
7. Hasil Uji Validitas Kemandirian
8. Hasil Uji Reliabilitas Kepercayaan Diri
9. Hasil Uji Reliabilitas Kemandirian
10. Hasil Uji Hipotesis kepercayaan Diri dengan Kemandirian
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan
tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga
waktu tertentu. Seiring dengan berlalunya waktu dan masa perkembangan
selanjutnya, seorang anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari
ketergantungan pada orang tua atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk
mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh semua
makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Mandiri atau sering juga disebut berdiri
di atas kaki sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada
orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kemandirian
dalam konteks individu tertentu memiliki aspek yang lebih luas dari sekedar aspek
fisik. Selama masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan
jika tidak direspon secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja di masa mendatang.
Kemandirian merupakan suatu sikap yang harus dicapai oleh setiap
individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, untuk mencapai
kesuksesan hidup. Karena individu di dalam kehidupannya dipastikan
menghadapi berbagai tantangan yang harus dihadapi. Dengan demikian individu
diharapkan mampu menentukan sikap dan tindakannya dalam memilih jalan
hidupnya. Kemandirian menjadi hal yang penting untuk dimiliki dalam
perkembangan anak agar ia dapat melaksakan tugas perkembangan yang lain dan
siap menerima tugas baru sebagai orang dewasa. Kemandirian pada masa anak
berbeda dengan kemandirian pada masa remaja. Pada masa anak, kemandirian
lebih bersifat fisik dan motorik, misalnya berusaha makan, mandi dan berpakaian
sendiri. Sedangkan pada masa remaja, kemandirian lebih bersifat psikis, misalnya
membuat keputusan sendiri, berfikir menurut jalan pikirannya sendiri dan bebas
untuk bertingkah laku. Keinginan untuk mandiri bertambah kuat ketika anak telah
mencapai usia remaja (Syamsu, 2005).
Menurut Mu’tadin (2002) pada masa remaja, tuntutan terhadap
kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspon secara tepat bisa saja
menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologi
sang remaja di masa mendatang. Di tengah berbagai gejolak perubahan yang
terjadi di masa kini, betapa banyak remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa
frustasi mendalam terhadap orang tua karena tidak kunjung mendapatkan apa
yang dinamakan kemandirian (www.e-psikologi.com).
Kemandirian memang merupakan satu pola kepribadian yang sifatnya
bukan pembawaan melainkan hasil dari proses pembentukan dan pembelajaran.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan selanjutnya, seseorang
perlahan-lahan akan melepaskan diri akan melepaskan diri dari
ketergantungannya pada orang atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk
mandiri. Salah satu bentuk proses pembentukan dan pembelajaran kemandirian
terdapat pada remaja yang tinggal di pondok pesantren atau yang biasa disebut
Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan yang memiliki
nilai plus dalam hal keilmuan, di samping santri mengenyam pendidikan formal
(sekolah/madrasah), juga memperoleh pendidikan agama yang lebih banyak dan
mendalam yang merupakan dasar dari kepribadian atau karakter santri yang khas,
yaitu sholeh, cerdas, dan mandiri. Untuk itu, pondok pesantren harus memiliki
komitmen tinggi dalam menumbuhkan dan meningkatkan kepribadian santri yang
ideal, khususnya kepercayaan diri dan kemandirian pada santrinya.
Suwardi (2008) mengatakan bahwa disadari atau tidak, pesantren telah
melakukan proses kehidupan yang mandiri. Dilihat dari kehidupan keseharian,
bisa dikatakan para santri justru sejak dini berlatih untuk hidup mandiri.
Kehidupan sehari-hari, santri dituntut melakukan proses kemandirian hidup,
seperti beraktivitas secara nurani, melaksanakan kegiatan ekonomi, serta
membangun solidaritas yang tinggi. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari santri
harus memiliki kesadaran sendiri. Para santri hidup lepas dari pantauan orang tua.
Pesantren mengajarkan bahwa dalam melakukan kegiatan apa pun harus
berangkat dari kesadaran sendiri, tanpa pamrih serta lepas dari tekanan pihak lain
sekalipun orang tuanya (www.e-psikologi.com).
Mereka memang dituntut untuk melakukan proses kemandirian hidup
dengan mempunyai konsep diri, penghargaan dan dapat mengatur dirinya sendiri.
Mereka juga harus paham akan tuntutan lingkungan terhadap dirinya dan
menyesuaikan tingkah lakunya dalam berhubungan dengan orang lain meskipun
Mujamil Qomar (2005) menggambarkan kehidupan pondok pesantren
layaknya kehidupan masyarakat pada umumnya. Jauh dari orang tua dan saudara
kandung atau keluarga lainnya yang mengharuskan para santri siap menjalani
hidup mandiri. Jika mereka mendapatkan masalah, mereka hanya memiliki
ustadz-ustadzah atau pembantu kiai, serta teman-teman sebaya untuk meminta
bantuan. Bahkan teman-teman sebaya inilah yang kemungkinan memiliki peranan
lebih besar dalam kehidupan seorang santri.
Penelitian yang dilakukan oleh Nashori (1999) menyatakan bahwa salah
satu yang menjadi keprihatinan bangsa Indonesia adalah kemandirian di kalangan
remaja. Remaja Indonesia umumnya tidak memperoleh latihan yang cukup untuk
mampu menanggung hidupnya sendiri. Generasi muda Indonesia tidak
memperoleh latihan mandiri sejak dini, akibatnya ketika mereka memasuki pintu
gerbang kehidupan masa dewasa, mereka tidak mampu memperoleh
kemandiriannya.
Keluhan yang sering disampaikan oleh para guru, adalah rendahnya
kemampuan remaja yang tercatat sebagai siswa untuk bekerja secara mandiri.
Seorang guru menggambarkan bahwa andaikata dalam ujian, tidak ada
pengawasnya, maka diperkirakan tidak ada satupun siswa yang mengerjakan
tugasnya secara mandiri. Ketidak mandirian remaja diluar sekolah terlihat dari
kecenderungan yang sangat besar dikalangan remaja untuk berperilaku konformis,
bahwa kesukaan remaja adalah berkawan dengan teman sebaya (peer group)
Selain itu kenyataan yang dilihat bahkan dirasakan saat ini, dimana remaja
telah membuat resah masayarakat karena tindakan-tindakan remaja yang telah
terjerumus ke tindakan negatif, bahkan kriminal, seperti: bolos sekolah,
perkelahian antar remaja atau tawuran, mengganggu ketertiban umum, merusak
fasilitas umum dan milik orang lain, merokok, mengkonsumsi minuman keras,
penggunaan narkotika, mencuri dan merampok. Tindakan-tindakan tersebut
menunjukkan adanya krisis kemandirian dikalangan remaja (Nashori, 1999).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Fuad Nashori menguatkan fenomena
riil yang ada di Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung,
yang menjadi tempat penelitian skripsi ini.
Dari observasi yang penulis lakukan di Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul
Qur’an Internasional Bandung terkait dengan kepercayaan diri dan kemandirian
santri, terdapat beberapa hal yang menjadi fenomena pokok yang menarik untuk
diteliti oleh penulis, yaitu di mana santri berasal dari kalangan menengah ke atas
yang sebelumnya terbiasa semua keperluan dan kebutuhan dirinya dilayani dan
dipenuhi oleh orang tua, dan pengasuh atau pembantunya, sehingga santri
kesulitan untuk berperilaku mandiri di pesantren, hal ini terlihat dengan
penempatan barang-barang pribadi yang tidak pada tempatnya (tidak rapih) dan
untuk mengatasinya pesantren menyediakan pelayanan office boy dan office girl,
seringnya santri yang datang terlambat pada kegiatan-kegiatan yang diadakan
sekolah atau pesantren dan untuk mengatasinya pesantren menyediakan pengasuh
atau pembimbing untuk mengingatkan segala aktivitas santri yang dilakukan sejak
adanya santri yang bolos sekolah dengan berbagai alasan, berpura-pura sakit dan
minta dijemput yang oleh orang tuanya untuk menghindari hukuman karena
pelanggaran yang dilakukan, perkelahian antar santri, mengganggu ketertiban
asrama, merusak fasilitas asrama dan milik orang lain, merokok, mengkonsumsi
minuman keras, dan mencuri.
Fenomena-fenomena di atas menunjukkan adanya krisis kemandirian di
kalangan santri nama lain remaja yang menjalani pendidikan di pesantren.
Fenomena di atas juga menunjukkan bahwa krisis kemandirian bisa terjadi pada
santri yang seharusnya dapat lebih mandiri dibandingkan dengan remaja yang
hidup dan tinggal bersama orang tuanya di rumah.
Salah satu aspek yang penting dalam membangun kemandirian remaja
adalah kepercayaan diri sebagaimana yang dikemukakan oleh Gilmore (1974)
kemandirian didukung dan dilaksanakan dengan rasa percaya diri yang kuat,
karena tanpa itu semua tindakan dan keputusan akan dilaksanakan dengan
keragu-raguan. Hal senada dikemukakan oleh Alfred Adler (dalam Sujanto, 2008)
mengatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling penting adalah kebutuhan
akan kepercayaan pada diri sendiri dan superioritas.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka mendorong
penulis untuk mengkaji serta meneliti lebih mendalam tentang adanya
"Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kemandirian Santri Pesantren
1.
2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini, penulis hanya membatasi pada permasalahan:
a. Kepercayaan diri
Adalah aspek kepribadian yang harus dicapai dalam diri individu yang
berfungsi penting untuk mengaktualisasisan potensi yang dimiliki yang
ditunjukkan dengan adanya sikap yakin atau merasa adekuat terhadap
tindakan yang dilakukan, merasa diterima oleh lingkungannya dan memiliki
ketenangan sikap (Guildford, 1959).
b. Kemandirian
Adalah aspek kepribadian yang harus dicapai dalam diri individu untuk
menghadapi tantangan dan mencapai kesuksesan hidup yang ditunjukkan
dengan sikap bebas, bertanggung jawab, memiliki pertimbangan, merasa
aman dikala berbeda dengan orang lain dan kreativitas (Gilmore, 1974).
c. Sampel penelitian ini adalah santri Pesantren Tahfizh Sekolah Daarul
Qur’an Internasional Bandung Tahun Pendidikan 2009/2010.
1.2.2. Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara Kepercayaan diri dengan kemandirian
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang
hubungan antara Kepercayaan diri dengan kemandirian santri Pesantren Tahfizh
Sekolah Daarul Qur’an Internasional Bandung.
1.3.2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis : secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah
dan memperkaya khazanah pengetahuan khususnya pada bidang psikologi
kepribadian, psikologi perkembangan, dan psikologi pendidikan mengenai
hubungan antara kepercayaan diri dengan kemandirian pada remaja.
b. Manfaat praktis : Menambah wawasan khususnya bagi remaja tentang
pentingnya kepercayaan diri dan kemandirian. Serta dapat membantu
peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian serupa yang lebih
komprehensif.
1. 4 Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisan ini lebih terarah dan sistematis, maka skripsi ini
penulis susun sebagai berikut :
Bab 1 Pendahuluan
Pada bab ini penulis membaginya kedalam beberapa bagian, yaitu latar
belakang penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
Bab 2 Kajian Pustaka
Pada bagian kedua merupakan kajian pustaka dari penulis yang berisi
tentang pengertian kepercayaan diri, ciri-ciri kepercayaan diri, faktor-faktor yang
mempengaruhi kepercayaan diri, perkembangan kepercayaan diri, pengertian
kemandirian, ciri-ciri kemandirian, faktor-faktor yang mempengaruhi
kemandirian, perkembangan kemandirian, pengertian santri, dan kerangka berfikir
disertai dengan hipotesa penelitian.
Bab 3 Metode Penelitian
Pada bagian ini penulis membagi metode penelitian kedalam beberapa
bagian, yang meliputi : Jenis penelitian yang terdiri dari pendekatan dan metode
penelitian, Identifikasi dan definisi operasional variabel penelitian. Pengambilan
sampel terdiri dari populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel. Teknik
pengumpulan data terdiri dari metode instrumen penelitian. Uji instrumen
penelitian terdiri dari hasil uji validitas skala kepercayaan diri, hasil uji validitas
skala kemandirian, dan hasil ujii reliabilitas kepercayaan diri dan kemandirian.
Teknik analisa data, serta prosedur penelitian.
Bab 4 Presentasi dan Analisa Data
Pada bab ini penulis akan memberikan gambaran umum penelitian, yang
terdiri dari latar belakang responden penelitian berdasarkan jenis kelamin usia dan
kelas. Deskripsi hasil penelitian terdiri dari gambaran kepercayaan diri dan
gambaran kemandirian. Dan uji hipotesis.
Bab 5 Penutup
Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari penelitian yang
KAJIAN TEORI
2.1 Kepercayaan Diri
2.1.1. Pengertian Kepercayaan Diri
Menurut kamus psikologi istilah kepercayaan diri adalah percaya pada
kemampuan diri sendiri dan menyadari kemampuan yang dimiliki serta
memanfaatkannya secara tepat (Hasan dkk, 1990).
Menurut Guildford (1959) kepercayaan diri adalah aspek kepribadian
yang harus dicapai dalam diri individu yang berfungsi penting untuk
mengaktualisasisan potensi yang dimiliki yang ditunjukkan dengan adanya sikap
yakin atau merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan, merasa diterima
oleh lingkungannya dan memiliki ketenangan sikap.
Sedangkan Jacinta F. Rini (2002) menerangkan bahwa kepercayaan diri
adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk
mengembangkan penilaian positif baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti bahwa individu
tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias
”sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya
beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki
kompetensi, yakni mampu dan percaya bahwa dia bisa-karena didukung oleh
pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhdap diri
sendiri (www.e-psikologi.com).
Menurut De Angelis (1995), kepercayaan diri berawal dari tekad pada
diri sendiri, untuk melakukan segala hal yang dibutuhkan dan diharapkan secara
rasional. Kepercayaan diri adalah keyakinan untuk berani menghadapi tantangan
hidup. Percaya pada diri sendiri berarti mampu mengambil keputusan dan
melaksanakannya dengan tanggung jawab. Kepercayaan diri juga berarti memiliki
keyakinan untuk mampu melawan kekhawatiran dan tidak mudah menyerah.
Rogers (dalam Koswara, 1989) menambahkan bahwa kepercayaan diri
adalah kemampuan untuk membuat keputusan dan penilaian-penilaian tanpa harus
bergantung pada orang lain (mandiri). Kepercayaan diri juga merupakan
keyakinan individu untuk melakukan tindakan yang dianggap benar dan berusaha
keras untuk mengatasi persoalan-persoalan dalam hidupnya.
Menurut Lidenfield (1997), kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan
akan kemampuan dan kepuasan diri baik lahir maupun bathin. Kepercayaan diri
bathin adalah percaya diri yang memberi kepada kita perasaan dan anggapan
bahwa kita dalam keadaan baik, sedangkan percaya diri lahir adalah percaya diri
yang memungkinkan kita untuk tampil dan berperilaku dengan cara menunjukkan
kepada dunia luar bahwa kita mampu akan diri kita.
Sedangkan menurut Rahmat (2008) kepercayaan diri adalah keyakinan
akan kemampuan diri sendiri. Kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian
manusia yang berfungsi penting untuk mengaktualisasikan potensi yang
dimilikinya. Tanpa adanya kepercayaan diri maka banyak masalah akan timbul
Hal senada dinyatakan oleh Koswara (1991) bahwa percaya diri
merupakan modal dasar bagi pengembangan aktualisasi diri, dan dengan percaya
diri individu mampu mengenal dan memahami diri sendiri.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kepercayaan diri merupakan aspek kepribadian yang harus dicapai dalam diri
individu yang berfungsi penting untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilik,
dimana individu memiliki perasaan yakin pada kemampuan diri sendiri untuk
melakukan sesuatu sehingga tercapai tujuan yang diinginkan tanpa harus
membandingkan dirinya dengan orang lain karena setiap manusia memiliki
kelebihan masing-masing. Kepercayaan diri juga ditunjukkan dengan adanya
sikap optimis, toleran dan mampu menggunakan potensi dirinya dengan benar dan
tepat serta mau bekerja keras yang dilandasi oleh keyakinan untuk sukses tanpa
bergantung pada orang lain.
2.1.2. Ciri-Ciri Kepercayaan Diri
Untuk mempermudah diperolehnya gambaran tentang apa dan bagaimana
yang dimaksud dengan individu yang mempunyai kepercayaan diri, maka perlu
diketahui cirinya. Orang yang mempunyai kepercayaan diri mempunyai
ciri-ciri tertentu, antara lain sebagai berikut :
Guilford (1959) mengemukakan bahwa ciri-ciri kepercayaan diri dapat
dinilai melalui tiga aspek, yaitu :
a. Merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan, individu mempunyai sikap
membutuhkan dukungan orang lain dalam bertindak, dan bertindak aktif
dalam lingkungannya.
b. Merasa diterima oleh lingkungan, individu merasa kelompok atau orang lain
menyukainya, tidak berlebihan dalam bersikap, tidak mementingkan diri
sendiri dan merasa puas atas kebersamaan dengan kelompoknya.
c. Memiliki ketenangan sikap, individu tidak gugup dalam melakukan atau
mengatakan sesuatu mampu bekerja secara efektif, dan cukup toleran terhadap
situasi.
Lidenfield (1997) berpendapat bahwa ciri-ciri individu yang percaya diri
adalah sebagai berikut :
a. Mencintai dan memahami diri sendiri
b. Memiliki tujuan-tujuan yang jelas
c. Memiliki cara berfikir yang positif
d. Mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan sosial secara baik
e. Memiliki ketegasan sikap
f. Mampu mengendalikan diri dengan baik
Jasinta F. Rini (2002), menyebutkan beberapa ciri individu yang
mempunyai rasa percaya diri, yaitu :
a. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri, sehingga tidak membutuhkan
pujian, pengakuan, penerimaan ataupun rasa hormat dari orang lain.
b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap komformis demi diterima oleh
J.P. Chaplin (2008), mengemukakan bahwa konformis adalah kecenderungan
untuk memperbolehkan satu tingkah laku seseorang yang dikuasai oleh sikap
dan pendapat yang sudah berlaku serta merupakan ciri pembawaan
kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk
menguasai dirinya. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk tegas dalam
bersikap dan berpendapat.
c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain- berani menjadi diri
sendiri
d. Memiliki pengendalian diri yang baik (tidak moody, tidak mudah dipengaruhi
orang lain dan emosinya stabil)
e. Memiliki Internal Lobus of Control (memandang keberhasilan atau kegagalan,
tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau
keadaan serta tidak terlalu mengharapkan bantuan orang lain).
f. Mempunyai cara pandang yang positif pada diri sendiri, orang lain dan situasi
diluar dirinya
g. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan
itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang
terjadi (www.e-psikologi.com)
Menurut Peter Lauster (dalam Agus Sujanto, 2008) karakteristik orang
yang percaya diri adalah :
a. Tidak mementingkan diri sendiri
b. Memiliki sikap toleransi
c. Memiliki ambisi normal untuk melakukan dan mencapai sesuatu yang
d. Mandiri dan tidak bergantung pada orang lain
e. Tidak berlebihan
f. Optimis
g. Mampu bekerja secara efektif
h. Bertanggungjawab dan
i. Gembira
Rahmat (2008) mengemukakan, kepercayaan diri erat hubungannya
dengan konsep diri. Kepercayaan diri merupakan hal penting dan paling
menentukan dalam berkomunikasi, individu yang yang kurang percaya diri
cenderung untuk menghindari situasi komunikasi karena takut diejek dan
disalahkan oleh orang lain. Pada situasi diskusi, orang tidak percaya diri
cenderung memilih pasif dan tidak mau berpartisipasi. Orang yang tidak percaya
diri juga cenderung merasa tidak mampu mengatasi persoalan.
Selanjutnya Fereira (dalam Ary Ginanjar, 2005), menambahkan bahwa
seseorang yang mempunyai kepercayaan diri, disamping mampu untuk
mengendalikan serta menjaga keyakinan diri, ia juga akan mampu membuat
perubahan di lingkungannya.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa individu
yang memilki kepercayaan diri adalah yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Individu merasa adekuat terhadap tindakan yang di lakukan, hal ini di dasari
oleh adanya sikap optimis dan cara berfikir yang positif, yakin akan
kemampuan yang dimilikinya, berani mengambil keputusan dan melakukan
dukungan orang lain, dan bertindak aktif dalam lingkungan serta mampu
mengadakan perubahan di lingkungannya.
b. Merasa diterima oleh kelompoknya, individu merasa kelompok atau orang
lain menyukainya, tidak berlebihan dalam bertindak, dan tidak
mementingkan diri sendiri, serta merasa puas atas dirinya dan atas
kebersamaan dalam kelompoknya.
c. Memilki ketenangan sikap, individu tidak gugup dalam melakukan atan
mengatakan sesuatu, mampu bekerja secara efektif, memiliki perencanaan
dan tujuan yang jelas untuk menghadapi masa depan serta cukup toleran
terhadap situasi.
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepercayaan Diri.
Menurut Lindenfield (1997) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kepercayaan diri seseorang adalah sebagai berikut :
a. Penampilan fisik
Penampilan fisik membawa pengaruh pada harga diri seseorang. Orang yang
puas dengan keadaan dan penampilan fisiknya pada umumnya mempunyai
kepercayaan diri yang lebih tinggi daripada yang tidak. Orang yang
berpenampilan menarik cenderung menghargai diri lebih tinggi daripada
orang yang berpenampilan membosankan. Fisik merupakan bagian yang
paling tampak dari kepribadian manusia dan menciptakan kesan awal bagi
orang lain.
b. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi yang baik akan memudahkan seseorang untuk
mendapatkan fasilitas yang ada dalam masyarakat, seperti pendidikan,
pelayanan kesehatan, pekerjaan dll. Adanya kemudahan yang didapatkan
tentu akan membuat seseorang lebih mempunyai nilai dan kemampuan
dibandingkan dengan seseorang yang berstatus ekonomi rendah.
c. Jenis Kelamin
Tingkat kepercayaan diri wanita lebih rendah dibandingkan dengan pria, ini
disebabkan karena wanita mempunyai sumber-sumber kekuasaan yang lebih
kecil dibandingkan dengan pria. Keluarga sebagai suatu kesatuan biososial
yakni hubungan alami antara ibu, ayah dan anak dibentuk secara sosial,
menempatkan peran anak perempuan hanya pada peran domestik belaka
seperti mengurus dapur, menyapu, mencuci dll. Sedangkan pria ditempatkan
pada peran yang lebih luas. Pemberian peran ini secara langsung ataupun
tidak membentuk suatu nilai-nilai sosial, dimana anak wanita berbeda dari
anak laki-laki. Akibatnya anak perempuan seringkali canggung dan merasa
kurang percaya diri bila diminta mengemban peran pria.
d. Tingkat pendidikan
Pendidikan pada remaja begitu penting karena pendidikan membantu remaja
untuk memahami dirinya sendiri. Adanya pemahaman terhadap diri sendiri
akan membantu individu untuk beradaptasi di lingkungan. Keberhasilan
dalam penyesuaian diri di lingkungan akan menambah rasa percaya diri
individu, sebab individu tersebut tahu bagaimana harus bersikap dan
e. Prestasi Belajar
Prestasi belajar turut mempengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang.
Orang yang telah memiliki prestasi yang tinggi ataupun orang yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung memiliki kepercayaan diri
yang tinggi karena yakin akan kemampuan dan potensi yang dimilikinya.
f. Pola Asuh
Pola asuh yang diberikan orang tua sangat berpengaruh pada perkembangan
kepribadian anak-anak. Pola asuh orang tua yang dikenal ada tiga, yakni
pola asuh otoriter, demokratis dan permisif. Pola asuh demokratis
merupakan pula asuh dan metode pelatihan yang paling mendukung
perkembangan kepribadian. Pola asuh demokratis melahirkan kepercayaan
diri, dengan pola asuh demokratis, individu dilatih dan dididik untuk
mengambil keputusan sendiri dan bertanggung jawab terhadap keputusan
tersebut. Pola asuh demokratis juga mendorong individu memiliki
keberanian dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah sendiri, serta
mendorong terbentuknya kemampuan untuk menjadi pemimpin.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri tidak
dapat tercipta tanpa adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. faktor-faktor
tersebut meliputi; penampilan fisik, status sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat
2.1.4. Perkembangan Kepercayaan Diri
Menurut Erik Erikson (dalam Calvin Hall dan Linzey, 1993), seluruh
proses perkembangan dan pembentukan dalam diri anak, yaitu percaya pada diri
sendiri dan orang lain. Tahap awal pembentukan kepribadian anak adalah
keluarga, maka orang tua adalah yang mempunyai peranan yang penting dalam
membentuk kepercayaan diri anak. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan
individu selanjutnya.
Maslow (dalam Koswara, 1989) mengemukakan, setiap individu memiliki
dua kebutuhan akan penghargaan, yakni harga diri dan penghargaan dari orang
lain. Harga diri mencakup kebutuhan kepercayaan diri, perasaan adekuat,
kemandirian dan kebebasan pribadi. Adapun penghargaan orang lain meliputi
prestasi, kedudukan, dan nama baik. Individu dengan harga diri yang baik akan
lebih percaya diri, lebih mampu, dan produktif. Individu dengan harga diri rendah
akan mengalami hal sebaliknya. Lebih lanjut Maslow (dalam Koswara, 1989)
mengemukakan bahwa hambatan dari usaha untuk mencapai aktualisasi diri
berasal dari ketidak percayaan dan keraguan individu pada kemampuan sendiri.
Akibatnya kemampuan dan potensi diri tidak terungkap dan bersifat laten.
Untuk meningkatkan kepercayaan diri seseorang, diperlukan strategi untuk
mengatasinya. Sujanto (2008) mengungkapkan petunjuk untuk meningkatkan
kepercayaan diri yaitu : mencari penyebab rasa rendah diri, memiliki kemampuan
kuat untuk mengatasi masalah, mengembangkan Bakat dan kemampuan,
menghargai diri sendiri terhadap keberhasilan dalam suatu bidang, membebaskan
optimis mampu melakukan sesuatu, melakukan pekerjaan sesuai kemampuan,
tidak membandingkan diri dengan orang.
2.2 Kemandirian
2.2.1. Pengertian Kemandirian
Menurut kamus umum bahasa indonesia istilah kemandirian berasal dari
kata mandiri yang berarti berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain (Dendy
dkk, 2008). Berdiri sendiri berarti bertanggung jawab atas perilakunya sendiri.
Menurut JP. Chaplin (2008) kemandirian adalah suatu sikap yang ditandai dengan
adanya kepercayaan diri.
Menurut Gilmore (1974) kemandirian adalah aspek kepribadian yang
harus dicapai dalam diri individu untuk menghadapi tantangan dan mencapai
kesuksesan hidup yang ditunjukkan dengan sikap bebas, bertanggung jawab,
memiliki pertimbangan, merasa aman dikala berbeda dengan orang lain dan
kreativitas.
Menurut Sutari Imam Barnadib (dalam Mu’tadin, 2002), kemandirian
meliputi perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah,
mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan
orang. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (dalam Mu’tadin,
2002) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan
segala sesuatu bagi diri sendiri tanpa bantuan orang lain (www.e-psikologi.com).
Covey (1997) menyatakan bahwa orang yang mandiri adalah orang yang
tanpa bantuan orang lain. Hal tersebut senada dengan Koswara (1991) yang
mengemukakan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk
mengaktualisasikan diri (self actualized) dengan tidak menggantungkan
kepuasan-kepuasannya yang utama kepada lingkungan dan orang lain. Orang yang mandiri
lebih bergantung pada potensi-potensi mereka sendiri bagi perkembangan dan
kelansungan pertumbuhannya.
Menurut Reber (dalam Mu’tadin, 2002) kemandirian merupakan suatu
sikap otonomi, dimana secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan
keyakinan orang lain. Sedangkan menurut Rogers (dalam Koswara, 1989), bagi
orang yang memiliki kemandirian, terdapat kepercayaan diri untuk menghadapi
masalah-masalah tanpa bantuan orang lain. Ia akan berusaha keras untuk
mengatasi persoalan-persoalan dalam hidupnya.
Robert Havighurst (dalam Mu’tadin, 2002) menambahkan bahwa
kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: emosi, aspek ini ditunjukan dengan
kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari
orang tua, ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi
dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua, intelektual, aspek ini
ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi,
sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi
dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.
Dari beberapa pengertian tentang kemandirian di atas menunjukkan betapa
pentingnya kemandirian. Sedang kemandirian itu sendiri adalah aspek kepribadian
perkembangannya untuk menghadapi berbagai tantangan hidup dan mencapai
kesuksesan hidup, yang ditunjukkan dengan sikap bertindak bebas penuh dengan
percaya diri, ulet, berinisiatif atau menghasilkan ide, bertanggung jawab atas
tindakannya, bersikap kreatif, serta adanya pengendalian diri serta kemantapan
diri tanpa takut gagal dan tergantung pada orang lain.
2.2.2. Ciri-ciri Kemandirian
Untuk mempermudah diperolehnya gambaran tentang apa dan bagaimana
yang dimaksud dengan orang mandiri, maka perlu diketahui ciri-ciri orang yang
mandiri. Orang yang mandiri mempunyai ciri-ciri tertentu antara lain sebagai
berikut :
Menurut Gilmore (1974), berpendapat bahwa orang yang mandiri adalah
yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kebebasan, individu mampu mememilih gaya hidup yang disukainya dan
mengambil keputusan secara bebas.
b. Tanggung jawab, dalam hal ini individu berani menanggung resiko atas
tindakan yang dilakukan serta berusaha menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan.
c. Memiliki pertimbangan, individu mempunyai pertimbangan rasional dalam
mengevaluasi masalah dan situasi serta mampu mempertimbangkan dan
menilai pendapat.
d. Merasa aman ketika berbeda dengan orang lain, individu merasa aman dalam
e. Kreativitas, individu mampu menghasilkan gagasan-gagasan baru yang
berguna bagi diri sendiri dan masyarakat serta tidak mudah menerima ide dari
orang lain.
Sementara itu Lindzey dan Aronson (dalam Yeti, 2002), menyebutkan
orang yang mandiri, menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Secara relatif jarang mencari perlindungan kepada orang lain
b. Menunjukkan inisiatif dan berusaha untuk mengejar prestasi
c. Memiliki rasa percaya diri
d. Memiliki keinginan untuk menonjol
Menurut Koswara (1991), orang yang mandiri mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Mempunyai kemantapan yang relatif terhadap pukulan-pukulan,
goncangan-gocangan atau frustasi
b. Mampu mempertahankan ketenangan jiwa
c. Memiliki kadar arah yang tinggi (tujuan yang jelas)
d. Merasa bebas dan aktif
e. Bertanggung jawab.
Thulus Hidayat (dalam Yeti, 2002), mengelompokkan ciri-ciri
kemandirian ke dalam tiga kelompok, yaitu :
a. Ciri-ciri yang menekankan pada adanya rasa tanggung jawab yang besar
terhadap perilakunya, baik tanggung jawab terhadap orang lain maupun
b. Adanya rasa percaya diri, sehingga ia merasa aman menghadapi lingkungan,
merasa aman berbeda dengan orang lain, dan tidak tergantung pada orang lain
c. Adanya kreativitas, sehingga ia mampu maenghasilkan inisiatif atau ide-ide
dalam mencapai prestasi
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki
kemandirian memiliki ciri-ciri yang khas, seperti memiliki kebebasan untuk
berpendapat, penuh percaya diri, tanggung jawab, memiliki pertimbangan dalam
menghadapi masalah atau keputusan, merasa aman dikala berbeda dengan orang
lain, memiliki inisiatif dan kreatif, dan berusaha atas dasar kemampuannya dalam
mengatasi masalah-masalah tanpa bantuan orang lain.
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Kemandirian tidak dapat tercipta tanpa adanya faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan kemandirian, antara lain adalah :
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi kemandirian yang
berasal dari dalam individu, yang mencakup :
a. Perkembangan dan Kematangan Anak
seiring dengan perkembangan dan kematangannya, manusia memasuki tahap
dan tugas perkembangannya yang berbeda secara psikologis, sehubungan
dengan tugas perkembangan tersebut, manusia yang dewasa dan matang harus
kedewasaan, maka sifat menggantungkan diri semakin berkurang, dan
seseorang yang menunjukkan sifat bergantung menunjukkan pribadi yang
tidak matang.
b. Jenis Kelamin
Perbedaan sifat-sifat yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan disebabkan
oleh perbedaan perlakuan yang diberikan kepada mereka. Anak laki-laki lebih
banyak mendapat kesempatan untuk bersikap mandiri, berdiri sendiri dan
menanggung resiko, serta banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif dan
originalitasnya daripada anak perempuan.
2. Faktor Eksternal
Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi kemandirian yang
berasal dari luar individu, yang mencakup :
a. Pola Asuh Orang tua
Pola asuh orangtua yang diterapkan pada keluarga seperti sikap orangtua,
kebiasaan keluarga, dan pandangan keluarga akan mempengaruhi
pembentukan kemandirian anak. Keluarga yang membiasakan anak-anaknya
diberi kesempatan untuk mandiri sejak dini, akan menumbuhkan kemandirian
pada anak-anaknya.
b. Tingkat Pendidikan Orang Tua
orang yang paling dekat atau yang paling sering berhubungan dengan anak
dalam keluarga pada umumnya adalah ibu, sehingga sikap ibu merupakan
faktor yang penting dalam perkembangan anak. Tingkat pendidikan ibu akan
artinya ibu yang berpendidikan akan bersikap lebih baik terhadap
pengembangan kemandirian anaknya dibanding dengan ibu yang tidak
berpendidikan. Atau dengan kata lain perlakuan yang diberikan oleh orang tua
berpengaruh terhadap kemandirian anak-anaknya.
c. Guru di sekolah
Kondisi belajar di sekolah seringkali menimbulkan tingkah laku
ketidaktergantungan atau kemandirian. Guru dapat mendidik, membimbing,
dan membina kemandirian siswa sehingga terbentuk sifat-sifat mandiri pada
siswa. Guru juga dapat merangsang timbulnya sikap dan tindakan berdiri
sendiri sesuai dengan tingkat kedewasaan masing-masing, memberi nasihat
dan petunjuk yang mereka perlukan, membantu perkembangan kepribadian
dan mendukung usaha bertindak sendiri dengan memberi kesempatan kepada
mereka untuk memilih dan mengambil keputusan sendiri.
d. Kebudayaan
Kebudayaan yang berbeda akan menyebabkan perbedaan norma dan nilai-nilai
yang berlaku di dalam lingkungan keluarga, sehingga tindak-tanduk suku
tertentu akan berbeda dengan suku lainnya.
Kebudayaan dimana seseorang tinggal, sangat mempengaruhi kepribadian
anak, termasuk aspek kemandiriannya. Kebudayaan yang masih sederhana
yang menekankan kerja sama, akan melahirkan pribadi-pribadi yang relatif
kurang mandiri. Sedangkan kebudayaan yang maju dan kompleks mendorong
warganya untuk hidup dalam situasi kompetitif dan individualis, sehingga
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemandirian tidak
dapat tercipta tanpa adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. faktor-faktor
tersebut terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi;
penampilan fisik dan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal meliputi; pola
asuh, tingkat pendidikan orang tua, guru di sekolah, dan kebudayaan.
2.2.4. Perkembangan Kemandirian
Kemandirian adalah merupakan suatu kemampuan psikologis yang harus
sudah dimiliki secara sempurna oleh individu pada masa remaja akhir dan sudah
relatif menetap pada masa dewasa awal sehingga individu pada masa dewasa awal
sudah dapat dikatakan mandiri. Hal ini seperti yang dikatakan Havighurst (dalam
Hurlock,1980) bahwa salah satu tugas perkembangan bagi remaja adalah
mencapai kemandirian.
Kemandirian merupakan tugas perkembangan yang harus dicapai oleh tiap
individu. Kemandirian seperti juga konsep diri bukanlah merupakan faktor
bawaan sejak lahir tapi terbentuk melalui proses yang cukup panjang dengan
belajar dari pengalaman yang dimulai sejak dini dan akan terus berkembang
hingga menjadi sifat yang relatif menetap pada masa remaja.
Seorang anak pada awal kehidupannya dalam keadaan tidak berdaya dan
secara mutlak tergantung pada orang lain khususnya orang tuanya. Dengan
perawatan dan asuhan yang penuh kasih sayang dari orang lain, akan timbul
perasaan aman dan mempercayai orang lain dalam memperoleh kesenangan,
bertahap demi setahap akan berkurang sejalan dengan perkembangan fisiknya,
sikap berdiri sendiri sudah mulai dibina sejak tahun kedua dan ketiga, dimana
anak mulai menjelajahi lingkungan sekitarnya dan banyak memperlihatkan
keinginannya (Gunarsa dan Gunarsa, 2008).
Menurut Rank (dalam Sarwono, 2006), pada remaja terjadi perubahan
drastis dari ”will”, yaitu dari keadaan ketergantungan pada orang lain pada masa
kanak-kanak menuju pada keadaan mandiri di masa dewasa, sampai terbentuknya
kepribadian yang mandiri yang menentukan ”self”nya sendiri.
Kemandirian, seperti halnya dengan kondisi psikologis yang lain, dapat
berkembang dengan baik jika terus diberikan kesempatan untuk terus berkembang
melalui latihan secara terus-menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan tersebut
dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan, dan tentunya saja tugas-tugas
tersebut. disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak. Dengan latihan-latihan
tesebut, diharapkan dengan bertambahnya usia akan bertambah pula kemampuan
anak untuk berpikir secara objektif, tidak mudah dipengaruhi, berani mengambil
keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak tergantung kepada orang lain,
dan dengan kemandirian akan berkembang dengan baik. (Mu’tadin, 2002).
Mengingat kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif
bagi perkembangan individu, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak
sedini mungkin sesuai kemampuannya. Seperti telah diakui segala sesuatu yang
dapat diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan akan semakin berkembang
menuju kesempurnaan. Latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus
kemandirian dapat berupa membiarkan anak memasang kaos kaki dan sepatu
sendiri, membereskan mainan setiap kali selesai bermain, dll. Sementara untuk
anak remaja berikan kebebasan misalnya dalam memilih jurusan atau bidang studi
yang diminatinya, atau memberikan kesempatan pada remaja untuk memutuskan
sendiri ekstrakurikuler atau hobi yang diminatinya (tentu saja orangtua perlu
mendengarkan argumentasi yang disampaikan sang remaja tersebut sehubungan
dengan keputusannya).
Dengan memberikan latihan-latihan tersebut (tentu saja harus ada unsur
pengawasan dari orangtua untuk memastikan bahwa latihan tersebut benar-benar
efektif), diharapkan dengan bertambahnya usia akan bertambah pula kemampuan
anak untuk berfikir secara objektif, tidak mudah dipengaruhi, berani mengambil
keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak tergantung kepada orang lain
dan dengan demikian kemandirian akan berkembang dengan baik.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian merupakan
tugas perkembangan yang harus dimiliki oleh individu. Kemandirian sudah dapat
dilihat sejak individu masih kanak-kanak dan mulai mememukan bentuknya pada
akhir masa remaja sampai akhir relatif menetap pada masa dewasa awal.
Kemandirian itu sendiri merupakan aspek kepribadian yang harus di miliki oleh
setiap individu sebab kemandirian dapat mempengaruhi kinerja (performance),
membantu mencapai tujuan, prestasi, kesuksesan serta memperoleh penghargaan.
Jadi, kemandirian merupakan bekal penting yang harus di miliki setiap individu.
Tanpa adanya sifat mandiri dalam diri seseorang, maka individu akan kesulitan
2.3 Santri
2.3.1. Pengertian Santri
Dalam Ensiklopedi pendidikan dikemukakan bahwa kata santri berarti
orang yang belajar agama. Sedangkan K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi (2005)
mengutip pendapat Robson bahwa santri berasal dari bahasa Tamil Sattiri yang
diartikan orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan secara umum.
Menurut Mujamil Qomar (2005), santri merupakan peserta didik atau
objek penelitian. Tetapi dibeberapa pesantren santri yang memiliki kelebihan
potensi intelektual (santri senior) diberikan peluang untuk mengajar santri-santri
junior.
Santri adalah seorang pelajar yang hidup bersama gurunya atau menempati
sebuah asrama pendidikan untuk menuntut ilmu dalam jangka waktu lama dan
jauh dari keluarganya. Meskipun pada kenyataannya tidak semua santri adalah
pelajar seperti yang dicirikan di atas.
Istilah adolesence atau remaja berasal dari bahasa latin adolecentia yang
berarti "tumbuh" atau "tumbuh menjadi dewasa". Istilah adolesence seperti yang
digunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental,
emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1980).
Masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan, karena pada masa
ini anak-anak mengalami perubahan fisik dan psikisnya. Terjadinya perubahan ini
menimbulkan kebingungan dikalangan remaja sehingga masa ini disebut oleh
orang barat sebagai periode strum und drang, karena mereka mengalami penuh
dan norma-norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat (Zulkifli, 2006). Hal
tersebut senada dengan Lewin (dalam Monks, 2006) yang menyatakan bahwa
remaja ada dalam tempat marginal. Dimana masa remaja merupakan masa transisi
atau peralihan.
Hurlock (1980) memberikan batasan usia remaja dengan menggolongkan
perkembangan remaja ke dalam dua bagian yaitu remaja awal dan remaja akhir.
Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai dengan 16 atau 17
tahun, dan remaja akhir mulai dari usia 16 atau 17 tahun sampai usia 18 tahun,
awal masa remaja biasanya disebut sebagai usia belasan (teenagers).
Sejalan dengan pendapat Hurlock, Zakiah Daradjat (1994)
mengungkapkan bahwa usia remaja berkisar antara usia 13 tahun sampai
pertumbuhan fisik mencapai kematangan (puber), yaitu sekitar umur 16-17 tahun.
Pembagian usia remaja menurut Hurlock (1980) dan Zakiah Daradjat
(1994) ini yang penulis gunakan sebagai bahan acuan pada karakteristik sampel
penelitian yaitu remaja usia 13-18 tahun.
Karakteristik Remaja
Dibandingkan dengan periode-periode perkembangan sebelumnya, masa
remaja tergolong unik, karena banyak terjadi perubahan yang khas pada masa ini.
Seperti halnya dalam semua periode selama rentang kehidupan manusia, masa
remaja mempunyai karakteristik yang membedakan dengan periode sebelum dan
sesudahnya. Karakteristik tersebut seperti yang dikemukakan Hurlock (1980)
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
h. Masa remaja sebagai ambang dewasa
2.3.2 Unsur-unsur yang terdapat pada pesantren
Menurut Dhofier (dalam Zarkasyi, 2005) pesantren merupakan komplek
pendidikan yang meliputi 5 elemen pokok; kyai, santri, masjid, pondok dan
pengajaran kitab-kitab klasik Islam. Kelima elemen pesantren tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut;
1. Kyai : kyai memiliki peran yang paling esensial dalam pendirian,
pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren. Sebagai
pemimpin pesantren, keberhasilan pesantren banyak tergantung pada
keahlian dan kedalaman ilmu, karisma dan wibawa, serta keterampilan kyai.
Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan, sebab dia adalah tokoh
sentral dalam pesantren.
2. Santri : santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan
sebuah pesantren, karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun
alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang
alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap
untuk pondoknya.
3. Masjid : hubungan antara pendidikan Islam dan masid sangat dekat dan erat
dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dulu kaum Muslimin juga selalu
memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat
lembaga pendidikan Islam. Sebagai kehidupan rohani, sosial, politik dan
pendidikan Islam, masjid memiliki peran yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Dalam konteks pesantren, masjid
dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri,
terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang
Jum’at, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Biasanya yang pertama didirikan
oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah
masjid.
4. Pondok : definisi singkat istilah pondok adalah tempat sederhana yang
merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya. Di Jawa, besarnya
pondok tergantung pada jumlah santrinya. Tanpa memperhatikan jumlah
santri, asrama wanita selalu dipisahkan dengan asrama laki-laki.
Salah satu fungsi pondok selain sebagai tempat asrama para siap antri, adalah
sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan keterampilan
kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah
sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara
lingkungan pondok
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan
sistem pendidikan pesantren dengan system pendidikan Islam lain seperti
system pendidikanndi daerah Minangkabau yang disebut surau.
5. Pengajaran kitab-kitab klasik : kitab-kitab klasik Islam dikarang para ulama
terdahulu, termasuk pelajaran mengenai macam-macm ilmu pengetahuan
agama Islam dan bahasa arab. Di kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik
sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab
kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier, pada masa lalu pengajaran kitab-kitab Islam klasik
merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan
pesantren. Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran
pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan
pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih termasuk
prioritas tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang
sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih
mendalam.dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab
yang diajarkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur
yang berada pada pesantren meliputi 5 elemen pokok, yaitu; kyai, santri, masjid,
pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik Islam, merupakan elemen-elemen yang
sebuah pesantren, tanpa kyai sebuah pesantren tidak akan berkarisma dan
mempunyai sosok seorang pemimpin yang dapat menghidupkan dan
mengembangkan pesantren sebab kyai adalah tokoh sentral dalam pesantren,
tanpa adanya santri sebuah pesantren tidak akan ada eksistensinya dan keberadaan
orang alim tidak akan dikatakan sebagai kyai, demikian pula tanpa masjid, pondok
dan pengajaran kitab-kitab kuning sebuah pesantren tidak dikatakan lengkap dan
kurang ada ruhnya, karena ruh dari sebuah pesantren adalah kelima elemen pokok
di atas, yaitu kyai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik.
2.3.3 Jenis- Jenis Pondok Pesantren
1. Pesantren Salafi
Pesantren salafi memiliki aerti, yang tetap mempertahankan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik sebagai inti dari pendidikan pesantren, sistem madrasah
diterapkan untuk memudahkan system sorogan yang terdapat dalam
lembaga=lembaga pengajaran pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan
pengetahuan umum (Zarkasyi, 2005).
Adapaun ciri-ciri dari adalah pesantren ini tidak mengenalkan pengetahuan
umum, pesantren salafi biasanya berdomisili di desa, tidak menekankan
aspek-aspek doktrin-doktrin tetapi pada dogma agama, karena itu bagi kelompok santri
salafi ini etika hidup mereka merupakan cerminan dari etika dan perilaku Nabi
Muhammad saw, jika dibedakan dengan kelompok abangan maka secara
keagamaan kelompok santri salafi memandang dirinya lebih tinggi dalam
Ciri yang menonjol pada pesantren salafi adalah pola pengajiannya yang
masih menggunakan metode atau sistem sorogan (sistem setoran), hapalan
kitab-kitab dan teks-teks Arab, dan metode pengajiannya masih melaksanakan
pengajian gaya wetonan (bandongan) proses pengajian ini yaitu : mendengarkan,
menerjemahkan, membaca, dan seringkali mengulas kitab-kitab Islam klasik
dalam Bahasa Arab.
2. Pesantren Modern
Pesantren modern dikenal sebagai pesantren khalaf (menerima hal-hal
yang baru) yang memiliki nilai bai, pembaruan dan modernisasi.
Cirri-ciri pesantren modern adalah kelompok santrinya modernis urban
(kota) adalah bersifat apologik, yang mempunyai pengertian; Islam merupakan
kode etik yang paling tinggi, demikian pula Islam sebagai doktrin social yang
terdapat pada kehidupan masyarakat modern (Zarkasyi, 2005).
Pondok pesantren ini membina dan mengelola Taman Kanak-kanak (RA,
TPA, TKA), Sekolah Dasar (Madrasah Ibtidaiyyah/MI), Sekolah Lanjutan
Pertama (Madrasah Tsanawiyah/MTS), Sekolah Menengah Umum (Madrasah
Aliyah/MA), Perguruan tinggi (Sekolah Tinngi Agama Islam) dan Kurikulum
kitab kuning juga Kursus Bahasa Arab dan Bahasa Inggris.
Berdasarkan ciri-cirinya, dapat dibedakan antara dua jenis pesantren, yaitu
pesantren salafi yang berkonsentrasi pada pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan
teks-teks Arab tradisional, juga masih mempertahankan tradisi-tradisi lama
sebagai norma dan yang berlaku di pesantren yang ada sejak lama. Sementara itu
pemikiran yang bersifat rasional, dan pesantren ini telah mampu menerima hal-hal
yang baru, dengan memberikan pengetahuan umum dan membangun
sekolah-sekolah formal bahkan berani membangun Perguruan Tinggi dan
lembaga-lembaga kursus seperti tersedianya laboratorium computer, dan pelatihan
keterampilan lainnya, salah satunya penggunaan Laboratorium Bahasa Arab dan
Bahasa Inggris, olahraga dan lain sebagainya.
2.3.4 Nilai-nilai yang terdapat pada pesantren
Menurut Zarkasyi (2008) nilai-nilai yang terdapat pada sebuah pesantren
pada umumnya terdiri dari;
1. Jiwa keikhlasan : jiwa ini ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu
bukan karena didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan tertentu.
Segala pekerjaan dilakukan dengan niat semata-mata ibadah, lillah. Kyai
ikhlas dalam mendidik, santri ikhlas dididik dan mendidik diri sendiri, dan
para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan.
2. Jiwa kesederhanaan : kehidupan di dalam pondok pesantren diliputi oleh
suasana kesederhanaan, sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga
berarti miskin dan melarat, kesederhanaan itu berarti sesuai dengan
kebutuhan dan kewajaran. Kesederhanaan mengandung nilai-nilai kekuatan,
kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan
hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju, dan
pantang mundur dalam segala keadaan.
3. Jiwa berdikari : berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri tidak saja
4. Jiwa ukhuwwah diniyyah : kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana
persaudaraan yang akrab, segala suka dan duka dirasakan bersama dalam
jalinan persaudaraan sebagai sesama Muslim. Ukhuwwah ini bukan saja
selama mereka dalam pondok, tetapi juga mempengaruhi kearah persatuan
umat dalam masyarakat sepulang para santri itu dari pondok.
5. Jiwa bebas : bebas dalam berfikir dan berbuat, bebas dalam menentukan
masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari
berbagai pengaruh negatif dari luar. Kebebasan ini tidak boleh
disalahgunakan menjadi terlalu bebas (liberal) sehingga kehilangan arah dan
tujuan atau prinsip. Karena itu, kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya,
yaitu bebas di dalam garis-garis disiplin yang positif, dengan penuh tanggung
jawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam
kehidupan masyarakat. Kebebasan ini harus selalu didasarkan kepada
ajaran-ajaran agama yang benar berlandaskan kepada Kitab dan Sunnah.
2.4
Kerangka Berfikir
Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri, namun masalah remaja
sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun
perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa
anak-anak, masalah anak-anak diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru,
Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri, sehinggaa mereka ingin
mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru (Hurlock,
1980).
Ketika remaja menuntut kemandirian, orang dewasa yang bijaksana
melepaskan kendali dibidang-bidang dimana remaja dapat mengambil keputusan
yang masuk akal tetapi tetap harus membimbing remaja untuk mengambil
keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang dimana pengetahuan
remaja terbatas. Secara berangsur-angsur remaja memperoleh kemampuan untuk
mengambil keputusan-keputusan matang secara mandiri (Santrock, 2002).
Dalam proses perkembangannya, remaja mengalami suatu perkembangan
yang semakin jelas diarahkan keluar dirinya, keluar lingkungan keluarga, ke orang
lain dalam lingkungan sekitarnya, dan tempat yang akan ditempatinya di dalam
masyarakat. Ia harus dapat melepaskan diri dari ikatan orang tua dan membentuk
cara hidup pribadi (Gunarsa dan Gunarsa, 2008). Gerakan melepaskan diri dari
orang tua ini, menurut Pikunas (dalam Syamsu 2005) merupakan upaya remaja
untuk mendapat pengakuan, ingin bersikap mandiri, yang sebenarnya merupakan
proses untuk mencapai otonomi diri.
Remaja juga makhluk sosial yang hidupnya juga berdampingan dengan
orang lain yang ada di lingkungannya. Maka lingkungan masyarakat, keluarga,
sekolah atau tempat di mana ia tinggal dapat membentuk perilaku dan
kebiasaan-kebiasaan seseorang termasuk kemandiriannya. Salah satunya remaja yang tinggal
di pondok pesantren yang biasa disebut santri, karena memang lingkungannya
sendiri dan harus menyesuaikan tingkah lakunya dalam berhubungan dengan
o