MILITER DAN KEKUATAN POLITIK:
STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL ERA 1945-1998
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Hadi Nafis Kamil NIM: 206033201080
Pembimbing
Dr. Sirajudin Aly,MA. NIP :150318684
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
MILITER DAN KEKUATAN POLITIK:
STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL ERA 1945-1998
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Hadi Nafis Kamil NIM: 206033201080
Pembimbing
Dr. Sirajudin Aly,MA. NIP :150318684
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 23 Mei 2009
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang penulis
panjatkan kehadirat Allah Swt, shalawat serta salam semoga senantiasa
dilimpahkan kepada Rasulullah Saw. keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Amin.
Atas segala karunia-Nya, penulis masih diberi kesempatan dalam upaya
menyelesaikan skripsi ini dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
menyelesaikan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan. Namun
berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998.”
Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa apa-apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan
terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku
Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Dr. Sirajudin Aly, M.A dan keluarga selaku Dosen Pembimbing
atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan
arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Haniah Hanafie, Bapak Agus Nugraha dan seluruh dosen serta
staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) yang
telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas
selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas
FISIP UI), dan Perpustakaan Pusat Sejarah TNI, yang banyak
memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur
yang tersedia.
8. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua
orangtua, Ayahanda dan Ibunda , Kak dan , mereka semua tak pernah
lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik. Dan mereka semua
9. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Extensi, Asep,
Yusuf, Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah
yang menjadi sumber inspirasi penulis.
10.Rekan-rekan
Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia
sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari
ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.
Ciputat, 19 Februari 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I. PENDAHULUAN
... ... 1
A. Latar Belakang Masalah ...
... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...
... 13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...
... 13
D. Studi Kepustakaan...
... 14
E. Metodologi Penulisan...
... 16
F. Sistematika Penulisan ...
... 17
BAB II. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI
INDONESIA ... ... 19 A. Definisi Militer ...
B. Berdirinya TNI Di Indonesia
... ... 21
C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia ... 28
D. Fungsi Militer Dalam Negara ... 44
BAB III. MILITER SEBAGAI KEKUATAN POLITIK ... ... 50
A. Definisi Kekuatan Politik ... ... 50
B. Penggolongan Kekuatan Kekuatan Politik ... ... 53
C. Kekuatan Politik Militer ... ... 55
D. Keterlibatan Militer Dalam Politik ... ... 66
E. Militer Profesional ... ... 69
BAB IV. KEKUATAN POLITIK MILITER PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU... ... 75
A. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Lama... ... 75
2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) ...
... 84
3. Masa Pemberontakan PKI (Gerakan 30 September)... ... 92
B. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Baru ... 100
1. Dwi Fungsi ABRI... ...
101
BAB V. PENUTUP
... ... 117
A. Kesimpulan ... 117
B. Saran-Saran ... 119
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Militer sebagai sebuah organisasi pertahanan, mutlak di perlukan oleh
setiap negara yang ingin aman dari ancaman-ancaman yang dapat
mengganggu eksistensi negara tersebut. Urgensi akan organisasi militer
tersebut bagi negara yang baru merdeka dari kolonialisme adalah untuk
mempertahankannya dari ancaman kembalinya bangsa kolonial. Sebagai
kalangan yang merasa ikut berperan dalam proses pencapaian kemerdekaan
di Indonesia, militer memang tidak dapat dipungkiri, walaupun bentuknya
belum seperti saat ini. Sehingga tuntutan untuk ikut terlibat dalam
perpolitikanpun harus dipertimbangkan. Beberapa manuver yang dilakukan militer untuk ke tujuan itupun terekam dalam sejarah, di antaranya pada
“Peristiwa 17 Oktober 1952”1, dan yang tidak dapat dilupakan dan juga
merupakan awal dari sejarah dominasi militer bangsa ini adalah pada
peristiwa ”Gerakan 30 September 19652 sampai Supersemar”3. Dimana
militer mengambil alih tandu kekuasaan demi keselamatan negara.
Geliat militer Indonesia dalam gelanggang politik tidak terjadi secara
alami, tetapi merupakan konsekuensi sejarah sejak lahirnya tentara
Indonesia. Mentalitas umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah
1
Peristiwa 17 Oktober 1952 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 76. 2
Gerakan 30 September 1965 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 91. 3
kemerdekaan adalah peran langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch
mencatat, “dalam masa revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di
dalam perjuangan kemerdekaan di mana tindakan politik dan militer saling
menjalin tak terpisahkan”.4
Apabila dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan bangsa terancam, panglima TNI dapat
menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal mencegah kerugian
negara lebih besar. Padahal, krisis dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah krisis keadilan dan kemakmuran yang kian jauh,
sehingga militer bukan solusinya. Meski dalam konteks Indonesia, militer
pada dasarnya merupakan budaya politik yang kuat dalam kehidupan
masyarakat.
Terdapat pula pendapat yang menolak keras peran sosial politik
ABRI/TNI dikarenakan oleh dua hal,5 Pertama, peran sosial politik militer
terlahir dalam keadaan perang atau keadaan darurat, sehingga untuk masa
kini di mana kondisi darurat perang telah dilewati maka secara otomatis
peran sosial politik akan hilang dengan sendirinya. Artinya meminjam
istilah dalam kaidah “ushul fiqh” peran sosial politik di masa perang adalah
sebuah ruqshoh (keringanan) yang masih bisa ditoleransi. Kedua, karena panduan politik yang diajukan dalam melihat peran sosial politik adalah
konsep civilian supremacy. Dalam konsep ini fungsi sosial politik militer
4
Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 15.
5
akan berhadap-hadapan dengan demokrasi dan demokratisasi. Karena
diyakini budaya militer akan menghambat laju dari demokrasi yang tengah
diupayakan.
Bila kita ingin membenahi negara dan keluar dari krisis multidimensi,
harus dilakukan demiliterisasi total dalam kehidupan politik dan bisnis. Apa
yang diberitakan koran, maraknya penyelundupan dan perdagangan barang
ilegal, karena ada backing (beking), dan biasanya oknum militer, karena
desakan kebutuhan yang tak bisa ditutup oleh pendapatannya yang rendah.
Ini menunjukkan betapa tidak mudahnya membenahi kehidupan militer
menjadi profesional.
Munculnya militer dipanggung politik, sosial dan ekonomi
negara-negara berkembang, berpangkal dari lemahnya pihak sipil untuk
mengendalikan unsur-unsur kehidupan masyarakat. Politisi sipil yang
dengan relatif cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan
suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing,
mengorganisisr masyarakat yang relatif tergesa-gesa berhadapan dengan
tuntutan modernisasi, masih mencoba model-model yang mungkin
dipergunakan untuk melayani tuntutan-tuntutan masyarakatnya sendiri.6
Kekuatan militer dalam dunia politik di Indonesia, sebenarnya
mempunyai akar sejarah yang panjang dan tidak bisa dihapus begitu saja,
bahkan akan menjadi sesuatu yang musykil. Pada era reformasi, saat
partai-partai politik bermunculan, ternyata partai-partai-partai-partai politik mengundang militer
6
masuk di dalamnya. Dianggapnya partai politik akan menjadi kuat bila ada
militernya, apalagi yang sudah berpangkat jenderal. Akibatnya, hampir tidak
ada satu partai pun yang di dalamnya tidak ada militernya.
Peran militer dalam kehidupan politik masih tetap dominan, meski
kepala negara orang sipil, apalagi jika para militer di partai-partai politik
"bermain mata", maka militer tetap akan mengendalikan kehidupan politik
di suatu negara. Munculnya satgas-satgas (satuan tugas) di partai-partai
politik, sebenarnya dapat ditengarai, budaya militer tetap besar dan
mengakar kuat dalam kehidupan politik kita. Bahkan, satgas-satgas itu bisa
menjadi dan bertindak lebih militer daripada militer sendiri. Penampakan
lahiriahnya saja menunjukkan sikap over acting militernya, dengan memakai baju, topi, sepatu bak seorang militer sejati.
Jika kita ingin mengakhiri peran politik militer dan menjadikannya
profesional, maka budaya militer yang telah berkembang kuat di
masyarakat, harus dirombak lebih dulu. Budaya militer tidak hanya pada
uniformitas berpakaian. Yang mendasar adalah cara berpikir militer yang
ada pada politisi kita, yang suka memaksakan kehendak dan pendapat
sendiri dengan cara mengerahkan massa guna mendukung sikap "pokoknya"
dari para pemimpin partai politik. Bahkan, militer seolah menjadi simbol
kepahlawanan bangsa, sehingga taman makam pahlawan seakan hanya
haknya militer.
Merebaknya budaya militer dalam kehidupan partai politik, akan
komunalisme, di mana partai politik selalu mengandalkan pengerahan massa
guna melakukan tekanan politik. Komunalisme cenderung destruktif, dan
melemahkan kekuatan akal budi untuk menyelesaikan masalah dengan
cara-cara cerdas, komunikatif dan mencerahkan. Komunalisme dapat
berkembang sebagai bentuk kepanikan politik yang biasanya berujung pada
tindakan kekerasan tak terkendali.
Dalam dunia bisnis, peran militer harus diperkecil, apalagi untuk
menjadi kekuatan beking dunia usaha dan bisnis, yang akan memunculkan
premanisme bisnis dan menyuburkan perdagangan barang ilegal yang
merusak kehidupan masyarakat. Pengurangan peran militer ini hanya
mungkin diwujudkan, jika ada kekuatan hukum yang aktual dalam praktik
hidup masyarakat. Jika hukum masih disubordinir kekuasaan dan
kepentingan politik partai, maka militer akan menjadi tulang punggungnya.
Kolaborasi penguasa, pengusaha, dengan militer akan memperparah dan
menghambat proses demokratisasi dan penegakan hukum yang bertumpu
pada law enforcement.
Dalam laporan Human Rights Watch bertajuk Too High A Price: The Human Rights Cost of Indonesian Military Economic Activities, fenomena militer sebagai businessmen dilihat terjadi sebagian karena minimnya
anggaran negara untuk militer.7 Faktor ini pun sering dijadikan pembenaran
bagi setiap aktivitas ekonomi, legal ataupun ilegal, yang dilakukan oleh
militer. Kendati demikian, laporan yang sama juga membongkar mitos
7
minimnya anggaran untuk militer, karena bukti-bukti aktual yang ada justru
berkata sebaliknya.
Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat
perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya
kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga
jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,
karena militer menarik dukungan darinya. Begitu juga dengan kejatuhan
presiden KH Abdurrahman Wahid. Bahkan, fenomena dukungan Megawati
terhadap pencalonan Gubernur DKI Sutiyoso tidak bisa dipisahkan dari
upaya melakukan konspirasi politik dengan militer guna mendukung dan
memantapkan kekuasaannya. Tanpa dukungan militer, maka kekuasaan
Megawati akan jatuh, apalagi di saat-saat seperti sekarang, banyak
kelompok masyarakat menggugat kekuasaannya sebagai akibat
kebijakannya yang tidak populis, seperti menaikkan harga BBM, tarif dasar
listrik (TDL).8
Karena itu, yang menjadi persoalan adalah masih kuatnya budaya
militer dalam jagat perpolitikan bangsa, yang ditandai kecenderungan
menguatnya penyelesaian masalah dengan mengandalkan otot ketimbang
nalar. Cara-cara pemaksaan kehendak secara sepihak, baik pemerintah
maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sedang terlibat konflik,
dengan mengerahkan massanya dan tidak sabar dengan proses dialektika
8
akal budi untuk mencari jalan keluarnya adalah pertanda kuatnya budaya
militer dalam kehidupan politik kita.
Cara-cara premanisme yang hanya mengandalkan kekerasan dan
kekuatan fisik tidak hanya subur dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga
dalam menjalankan pemerintahan, di mana pemerintah, di pusat maupun
daerah, dalam usahanya meningkatkan pendapatannya, melakukan cara-cara
preman, hanya mengandalkan kekuatan kekuasaan, yang sama sekali tidak
cerdas dan mencari gampangnya, yaitu dengan menaikkan tarif dan menarik
pungutan. Padahal, pemerintah seharusnya kreatif, berjiwa entrepreneur
untuk mengelola kekayaan sumber daya alam yang dikuasainya. Jika tidak,
bernapas pun suatu saat akan dikenai pungutan oleh pemerintah, jika sumber
pungutan lain sudah dikuras habis.
Demokrasi pada hakikatnya bertumpu pada kekuatan akal budi guna
mengatasi konflik dan pluralitas, yang sudah menjadi kodrat hidup
masyarakat di mana pun dan kapan pun. Konflik dan pluralitas adalah
realitas fundamental kehidupan masyarakat yang tidak mungkin berakhir,
dan demokrasi adalah cara paling sehat untuk mengelola dan
menyelesaikannya, dengan bertumpu proses dialektika akal budi. Jika
kekuatan akal budi menjadi landasan kehidupan politik rendah dan jatuh,
kekuatan otot yang mendasari budaya militer akan menguat. Demokrasi
hanya mungkin dengan demiliterisasi budaya politik bangsa.
Pada dasarnya RUU TNI patut dikritisi, terutama dalam kaitan dengan
pemikiran politik bangsa, yang sudah mulai letih dengan aneka konflik
kekerasan yang tidak segera dapat diselesaikan. Akibatnya, militer dianggap
sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis multidimensi yang melanda
kehidupan bangsa. Padahal, kembalinya kekuasaan politik militer
sebenarnya berlawanan secara fundamental dengan proses demokratisasi.
Dalam konteks ini, gonta-ganti kepala pemerintahan atau presiden
bukan sesuatu yang negatif, justru akan menjadi political exercise bagi pendewasaan demokrasi, dan siapa saja yang jadi presiden harus melakukan
kontrak kerja dengan rakyatnya untuk mewujudkan keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat. Jika dalam praktiknya tidak mampu
mewujudkannya, ia harus bersedia turun atau diturunkan di tengah jalan,
sepanjang law enforcement tetap terjaga dengan kian meningkatnya disiplin para aparat penegak hukum dan militer melepaskan diri dari kepentingan
kekuasaan politik dan pemerintahan.
Karena itu, harus dilakukan perubahan konstitusi secara
berkesinambungan, sesuai tuntutan dan tantangan perubahan. Dan,
reformasi tidak akan dirusak akibat gonta-ganti presiden di tengah jalan,
bahkan akan memperjelas arah untuk menegakkan keadilan dan
kemakmuran bagi kehidupan seluruh rakyat, dan akan memacu lahirnya
pemerintahan yang makin bersih dan efektif.
Di dalam suatu perubahan, apalagi suatu perubahan paradigmatis, selalu
terdapat suatu kegelisahan yang muncul karena ketegangan antara kehendak
itu. Langkah maju-mundur lalu tampak sebagai bentuk luar dari
kegelisahan. Dan di dalam kegelisahan itulah potensi set back selalu membayangi proses politik. sebab, kekuatan status quo selalu menunggu di
tikungan kegelisahan, apalagi bila kehendak perubahan ini menyangkut
suatu fondasi yang selama ini menjadi tumpuan politik status quo, yaitu kedudukan tentara di dalam politik.9
Pada akhir tahun 1950-an ilmuwan politik barat menanggapi bahwa
peranan militer yang memiliki peran bidang pemerintahan demokrasi barat
akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan politik di
negara-negara Dunia Ketiga10 pada umumnya. Banyak negara-negara dunia
mencoba mengupayakan sistem demokrasi dengan berlandaskan pada model
yang terdapat di barat, senantiasa akhirnya melahirkan rezim otorian dimana
pihak militer turut serta bermain didalamnya.
Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara formal,
ideologi sebagai konsepsi kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia
untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah
doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena
militer juga berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi
kemerdekaan, maka konsep kenegaraan integralistik yang dipedomani dan
dipertahankan militer juga bisa disebut sebagai bagian dari ideologi militer.
9
Rocky Gerung, “Tentara, Politik, dan Perubahan,” dalam Lukas Luwarso dan Imran Hasibuan, Indonesia di Tengah Transisi (Jakarta: Propatria, 2000), h.178.
10
Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan militer, dikenal dua
konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses
demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh.
Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep "perang rakyat semesta"
dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang.
Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah11:
1. Militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja harus
dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh
komponen masyarakat sipil.
2. Karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup
peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan
politik yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan
aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan
berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat
erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai "musuh".
Dalam doktrin militer Indonesia terdapat rumusan "ancaman, gangguan,
hambatan, dan tantangan" (AGHT) yang merupakan strategi yang lahir dari
rumusan fungsi hankam ABRI yang menyatakan bahwa tugas militer adalah
"memelihara dan memperkuat ketahanan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan
nasional untuk secara defensif aktif mempertahankan dan mengamankan
kedaulatan serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia.".12 Lewat
11
Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, Robert Hariono Imam (penerjemah), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 56.
12
konsep AGHT-nya militer bisa dengan mudah merumuskan siapa "kawan"
dan "lawan". Dengan begitu akan dengan mudah membungkam setiap
aspirasi yang bernada kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan
militer. Apalagi dalam konteks Indonesia, antara kepala pemerintahan dan
panglima tertinggi militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi,
sempurnalah otoritas dan kewenangan menentukan "lawan" dan "musuh" itu
dalam satu tangan: presiden.
Di samping itu, konsepsi tentang negara integralistik yang menyatukan
rakyat dengan negara berdampak pada subordinasi seluruh kepentingan dan
aspirasi rakyat pada negara yang sudah diidentifikasi dengan kekuasaan
militer. Dalam konsep ini sulit dibedakan mana militer yang merupakan
bagian dari negara dengan militer yang dikuasai negara. Kosepsi kenegaraan
seperti itu akan membenarkan militer untuk berperan atas nama negara dan
rakyat sekaligus. Di sinilah letak akutnya hubungan antara peran militer
dengan otoritarianisme negara dan dengan demikian berarti demokrasi yang
sejati otomatis akan menjauh dari peran sosial politik militer.
Setelah melalui pergulatan mengenai peristiwa pembentukan organisasi
militer di Indonesia, yang telah berganti-ganti nama, yang tentunya
mempengaruhi terhadap sifat serta orientasi militer. Ketika bernama TNI,
nasionalisme yang tercermin dari nama itu menandakan anggota militer
tidak terbatas pada satu etnis atau suku tertentu, tetapi seluruh warga negara
Peran politik yang diperoleh militer dengan susah payah mereka
peroleh, melalui berbagai peristiwa yang terekam dalam sejarah bangsa ini,
menandakan bahwa militer sebagai salah satu unsur yang mutlak dalam
suatu negara keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta
bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat
perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya
kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga
jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,
karena militer menarik dukungan kepadanya.
Apabila kita melihat proses di atas secara lebih jernih, persoalan
peranan dan keterlibatan TNI dalam konteks dunia politik pada saat itu
adalah awal mula keberagaman proses politik di Indonesia dimana militer
menjadi ornament politik yang diperhitungkan. Melalui
pertimbangan-pertimbangan yang telah diungkapkan, penulis menganggap betapa
pentingnya dilakukan penelitian atas keterlibatan politik TNI di era orde
lama. Penelitian skripsi ini akan menyoroti proses peranan TNI menjadi
sebuah kekuatan politik sekaligus mencoba melihat seberapa besar
pengaruhnya terhadap stabilitas negara Indonesia. Untuk itu skripsi ini
mengambil judul “ Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan tentang Militer Dan Kekuatan
Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional
(1945-1998), maka pembatasan masalah dalam tulisan ini memiliki titik tekan
seperti seberapa besar keterlibatan politik militer pada masa Orde Lama
(1950-1965) dan masa Orde Baru (1965-1998). Periodesasi dikarenakan
pada saat itulah awal mula militer mulai berkecimpung dalam dunia politik.
Yaitu penyelesaian-penyelesaian konflik yang melibatkan militer baik
dalam masalah sosial maupun politik dalam pentas Nasional.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka
permasalahan penelitan ini dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana konsep militer sebagai kekuatan politik?
b. Bagaimana keterlibatan dan peranannya terhadap proses politik di
Indonesia era Orde Lama dan Orde Baru?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan ini adalah :
a. Mempelajari konsep-konsep yang berkembang mengenai militer
dan politik.
b. Menganalisa keterlibatan militer dalam percaturan politik
2. Manfaat Penulisan
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan dan menambah
khazanah dan kepustakaan relasi militer dan politik. Selain itu, hasil
penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi akademis dan
ilmiah mengenai dunia politik di lingkungan jurusan Pemikiran Politik
Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Civitas Academica Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat umum.
D. Studi Kepustakaan
Kajian mengenai militer dan politik, khususnya mengenai sepak terjang
TNI di pentas politik nasional bukanlah hal yang baru dalam khazanah
kepustakaan politik Indonesia. Jika kita telusuri kepustakaan mengenai
militer di Indonesia, telah banyak penulis asing maupun lokal yang
mengupas masalah tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun
makalah. Namun demikian, kajian komprehensif yang mengupas secara
menyeluruh mengenai perkembangan reformasi internal TNI –khususnya
dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah– masih belum banyak dilakukan.
Di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur (baik dalam
bentuk buku atau skripsi) yang pernah membahas perihal perkembangan
militer Indonesia dengan reformasi internalnya.
1. Abdoel Fatah dengan judul buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, adalah judul disertasi S-3 di Universitas Kebangsaan Malaysia yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh
dalam peta perpolitikan Indonesia hingga reformasi internal yang
dilakukan TNI dapat dikatakan lengkap. Namun saya menilai,
kekurangan buku ini adalah dalam hal keseimbangan informasi, data dan
fakta mengenai banyak peristiwa yang dibahas. Karena buku ini terlalu
banyak melihat dari sudut pandang kalangan internal militer. Hal ini
dapat dimaklumi mengingat penulis dari buku ini adalah seorang anggota
TNI Angkatan Laut. Dan dapat dipastikan kesan subjektif sangat kental
dalam pembahasan buku ini.
2. Untuk judul skripsi yang pernah mengulas permasalahan militer
Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah skripsi yang ditulis
oleh Ahmad Syauki dengan judul Konsep Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Menurut A.H. Nasution dan ditulis pada tahun 2006. Dalam skripsi ini lebih banyak dibicarakan mengenai hubungan sipil-militer
khususnya dalam pandangan A.H. Nasution. Yang menjadi titik tekan
dalam skripsi ini adalah mengenai fakta sejarah yang ada, di mana militer
sejak dahulu kala dapat memainkan peranan penting dalam setiap
perebutan kekuasaan hingga Orde Baru. Dan Nasution adalah pelaku
sejarah yang turut mengotaki terbentuknya kekuatan politik militer di
Indonesia. Menurut saya skripsi ini belum menyinggung perihal
reformasi internal TNI.
3. Skripsi kedua yang saya ketahui dan menjadikan militer sebagai latar
belakang permasalahan utama adalah Saipul Umam dengan judul skripsi
Birokrasi Orde Baru pada tahun 2006. Skripsi ini menjadikan salah satu cabang yang dikuasai lembaga TNI secara penuh pada era Orba, yakni
sistem birokrasi. Keterlibatan militer dalam politik yang sudah terlalu
melebihi ambang kewajaran dapat dilihat dalam skripsi ini. Fokus utama
Saipul adalah birokasi Orde Baru yang sudah dirasuki tangan-tangan
militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya
seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung
persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang reformasi internal
TNI.
Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai politik
militer, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup UIN perihal kekuatan
politik militer pada masa orde lama khususnya masih sangat terbatas. Dalam
kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian skripsi yang
dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti dalam
skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara
khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodologi Penulisan
Pembahasan tentang Peran Militer Sebagai Kekuatan Politik Pada Masa
Orde Lama menggunakan metode kualitatif atau kepustakaan (library research), pengumpulan datanya adalah melalui dokumentasi, yaitu pengumpulan data dilakukan dengan mencari literatur dalam bentuk buku,
surat kabar, jurnal, majalah dan sebagainya yang bertemakan seputar
Adapun metode pembahasan yang digunakan, yaitu deskriptif-analisis.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh namanya, pembahasan deskriptif ini
bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai data-data dalam rangka
menguji hipotesa atau menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah
(pokok masalah).13 Sedangkan analisis secara harfiah berarti uraian, namun
dalam hal ini analisis berarti suatu bahasan dengan cara mengolah data,
memberikan interpretasi terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun.
Jadi metode deskriptif-analisis adalah suatu pembahasan yang bertujuan
untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah terkumpul dan
tersusun dengan cara memberikan inpretasi terhadap data tersebut.14
Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun
2007.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam tulisan akan terdiri dari beberapa bab. Bab pertama,
berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penilitian, methodologi penelitian, serta sistematika
penulisan. Bab dua akan mengupas tentang sejarah berdirinya militer di
Indonesia, yang berisi tentang latar belakang berdirinya militer, fungsi serta
definisi militer, urgensinya pembentukan milter di Indonesia. Bab tiga,
mencoba mengeksplorasi kajian teori miiliter sebagai kekuatan politik dan
13
Sunardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 18 14
keterlibatannya. Bab empat, mencoba menguraikan tentang peran kekuatan
politik militer di pentas nasional. Bab ini akan mengulas serta melacak
gerakan-gerakan militer, keterlibatan-keterlibatan militer dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi pada masa orde lama dan orde baru.
Sedang Bab lima yang merupakan bab terakhir dalam tulisan ini adalah
penutup sebagai konklusi dai keseluruhan analisa skripsi ini, yang berisikan
kesimpulan.
BAB II
LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI INDONESIA
A. Definisi Militer
Di dalam bukunya Amos Perlmutter menyebutkan bahwa organisasi
militer adalah sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan
organisasi itu. Profesi militer disebut sebagai suatu profesi sukarela karena
setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di dalamnya, namun ia juga
bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk
suatu perkumpulan sukarela melainkan terbatas kepada suatu hirarki
birokrasi.15 Lebih lanjut dapat pula diidentifikasi bahwa dalam diri para
prajurit militer terdapat tiga ciri khas sekaligus, yaitu koorporatis (dalam hal
ekskulusifitas), birokratis (dalam hal hirarki), dan profesional (dalam hal
semangat misi).16 Militer adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk
mengamankan negara atau bangsa dari ancaman luar negeri maupun dalam
negeri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung
tinggi supremasi sipil.17
Ketika kita hendak membahas hubungan sipil-militer, ada baiknya kita
mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan terminologi sipil
dan militer, yang sudah umum diketahui. Banyak pengamat militer
memberikan batasan sipil secara beragam, dalam buku Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, sipil didefinisikan sebagai masyarakat umum, lembaga pemerintahan, swasta, para politisi, dan negarawan. Sipil dibatasi
hanya pada masyarakat politik yang diwakili partai politik. Menurut buku
ini masyarakat politik adalah sebuah area di mana masyarakat bernegara
15
Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h. 3. 16
Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4. 17
secara khusus mengatur dirinya sendiri dalam konstes politik guna
memperoleh fungsi kontrol atas kekuasaan pemerintah dan aparat negara.18
Sedangkan dalam mendefinisikan militer, Amos perlmutter19
mengatakan bahwa ketika ia menyebut militer, maka yang dimaksud adalah:
1. kebanyakan perwira tinggi senior (di atas tingkat kolonel);
2. perwira yang berorientasi pada lembaga (pada tiap rank);
3. perwira profesional (tiap rank);
4. perwira yang rank, status, kedudukan, dan orientasinya
menghubungkan mereka dengan sektor sipil dalam masalah garis
kebijaksanaan politik.
Melalui definisi di atas, Perlmutter membatasi konsep militer hanya
pada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan
politik, aspirasi, dan memiliki orientasi yang bersifat politik, serta tidak
memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah, atau pertama.
Sedangkan Cohen mendefinisikan militer sebagai personel militer, lembaga
militer, atau hanya para perwira senior. Dan Letjen TNI (Purn) Sayidiman
Suryohadiprojo yang dikutip Connie mendefinisikan militer sebagai
organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara.20
Kecenderungan tentara untuk campur tangan dalam politik dan dalam
pembuatan keputusan dikaitkan dengan peranan-peranan dan orientasi
koorporasi dan birokrasinya. Sebagai sebuah korporasi organisasi militer
18
Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara Dan Postur TNI Ideal (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 41.
19
Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),h. 12. 20
berusaha melaksanakan pengawasan intern terhadap profesinya dan
melindunginya dari pengawasan politik dari luar, ini dimaksudkan untuk
meningkatkan derajat otonomi organisasi militer. Kaum militer berusaha
mencapai otonomi yang maksimal, dengan konsekuen melancarkan
pengaruh politik, baik melalui lembaga-lembaga dan rezim politik. Sebagai
suatu profesi birokrasi, tentara berkecimpung dalam politik hingga mampu
menjadi partner vital bagi politisi sipil dan birokrat lain di dalam perumusan
dan penerapan kebijaksanaan keamanan nasional.21
B. Berdirinya TNI Di Indonesia
Terdapat semacam kenyataan bahwa TNI adalah tentara yang lahir di
tengah krisis revolusi. Fakta tersebut oleh banyak kalangan dikatakan telah
menjadi sebuah identitas sesungguhnya dari tentara Indonesia, maka
tidaklah terlalu mengherankan jika pada perkembangan selanjutnya watak
Angkatan Bersenjata Indonesia, sekalipun asal-usulnya revolusioner, sangat
dipengaruhi oleh ciri-ciri pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.22
Akar pembentukan militer di Indonesia bukanlah hal yang disengaja,
kita harus menyadari bahwa militer Indonesia adalah tentara yang muncul
secara spontan. Tentara bukanlah dibentuk oleh pemerintah, tidak juga oleh
partai politik maupun pemerintahan kolonial. Artinya tentara membentuk
21
Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4 22
dirinya sendiri, karena elit politik ragu-ragu untuk membentuk tentara pada
hari-hari awal setelah proklamasi kemerdekaan.23
Militer yang membentuk dirinya sendiri ini mengumpulkan anggotanya
dari berbagai organisasi, sebagian diantaranya telah terlibat politik, pada
hari-hari disekitar proklamasi kemerdekaan. Pada dasarnya, terdapat empat
sumber rekruitmen militer pada saat itu, yaitu:
1. PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air), PETA merupakan
pasukan pembantu yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang
dibentuk oleh Jepang guna melawan kekuatan Sekutu.24
2. KNIL(Koninklijke Nederlandshe Indische Leger), KNIL didirikan sebagai tanggapan langsung terhadap perang Jawa. Selama bagian
akhir abad ke-19 dan awal ke-20 KNIL menjadi suatu kekuatan
utama dalam menegakkan ketenteraman di Jawa dan penaklukan di
daerah-daerah Hindia Belanda lainnya. KNIL adalah tentara yang
dibentuk oleh penjajah Belanda untuk kepentingannya.25
3. Laskar, Laskar merupakan para pemuda yang mendapat pelatihan
militer dari Jepang selama masa pendudukan.26
4. Orang-orang yang tidak berasal dari ketiga kelompok yang telah
disebutkan diatas.
23
Said Salim, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 30.
24
Britton, Profesionalisme, h. 38. 25
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004
(Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 45. 26
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, para tentara eks-KNIL dan PETA merupakan dua sumber
utama bagi korps perwira Republik Indonesia.27
Idealnya pembentukan sebuah kekuatan bersenjata disaat-saat awal
kemerdekaan dipandang sangat penting. Karena, angkatan bersenjata
merupakan alat vital yang menentukan tegak rubuhnya serta timbul
tenggelamnya negara. Tetapi hal ini tidak dilakukan pada saat-saat awal
Indonesia merdeka, bahkan oleh A.H. Nasution hal ini dianggap sebagai
suatu kesalahan dan kekeliruan yang akan menjadi sumber pelbagai
kesulitan-kesulitan negara di kemudian hari.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pemerintahan baru tidak
segera membentuk tentara kebangsaan. Pada sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2 tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan
antara lain untuk membentuk Kabinet Presidensil, terdiri dari dua belas
departemen. Salah satu diantaranya ialah Departemen Keamanan Rakyat.
Dalam sidang pada tanggal 19 Agustus 1945 itu, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk membentuk sebuah
tentara kebangsaan.28 Namun keputusan itu diralat kembali dalam sidang
PPKI ke-3 tanggal 23 Agustus 1945, dan pemerintah hanya mengumumkan
pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
27
Mabes ABRI, Sukardi S. Hadi Handojo, ed., 30 tahun Angkatan bersenjata republik Indonesia (Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976), hal. 17.
28
Baru setelah dua bulan Indonesia merdeka dibentuklah organisasi
ketentaraan yang bernama “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR) yang
dikepalai pertama kali oleh Mayor Urip Sumohardjo, dan Supriadi sebagai
menteri keamanan rakyat. Pembentukan TKR ini segera diikuti oleh
perintah mobilisasi TKR yang dikeluarkan oleh KNIP, sebagai organ yang
membawahi TKR, pada tanggal 9 oktober, yaitu untuk lebih menyatukan
bekas-bekas tentara PETA, KNIL, Heiho, Laskar-laskar, serta
barisan-barisan rakyat yang lainnya.29 Dalam masa itu, barisan-barisan pemuda
bersenjata yang bersifat setengah organisasi militer dan setengah organisasi
politik (laskar-laskar), tetap diperbolehkan berdiri tanpa diperintah untuk
melebur diri ke dalam TKR. Karena itu bebarapa lama kemudian, yaitu
tanggal 6 Desember 1945, untuk menghilangkan kesimpang siuran, Markas
Besar TKR mengeluarkan sebuah Maklumat yang antara lain menyatakan,
bahwa disamping tentara resmi (TKR) diperbolehkan juga tetap adanya
laskar-laskar sebab hak dan kewajiban mempertahankan negara bukanlah
monopoli tentara.30
Keberadaan TKR ternyata masih menyimpan rasa kecewa dikalangan
orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan atau latihan kemiliteran
(seperti KNIL atau PETA), karena TKR yang masih bersifat kerakyatan atau
masih mengutamakan sekali keamanan di dalam negeri. Mereka yang
merasa kecewa mengatakan bahwa Indonesia lebih membutuhkan suatu alat
dan organisasi pertahanan nasional untuk menghadapi sekutu, terutama
29
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,
(Jakarta: Gajah Mada University Press, 1982), h. 24. 30
menghadapi Belanda yang berusaha menjajah Indonesia kembali. Jadi
menurut mereka TKR seharusnya tidak hanya mengutamakan segi
“keamanan” (polisionil), tetapi tentara yang benar-benar bersifat “pertahanan” (militer).31
Atas prakarsa dari Markas Tinggi TKR (yang dibentuk pada November
1945), pada tanggal 1 Januari 1946, pemerintah mengeluarkan “Penetapan
Pemerintah No. 2/S.D.1946” yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat
menjadi “Tentara Keselamatan Rakyat”,32 dan Kementrian Keamanan
Rakyat menjadi Kementrian Pertahanan. Dua puluh hari kemudian,
keluarlah “Maklumat Pemerintah 26 Januari 1946” yang mengganti nama
Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Di
dalam Maklumat itu antara lain disebutkan, bahwa TRI bersifat kebangsaan
(nasional) dan merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia. Akan
tetapi di dalam maklumat tersebut pemerintah tidak menegaskan dan tidak
menentukan tentang bagaimana status dan kedudukan organisasi bersenjata
di luar TRI, seperti Laskar-laskar dan Barisan Rakyat, yang sejak bulan
Desember 1945 diakui hak hidupnya oleh Markas Tinggi TKR.33 Ditetapkan
bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di Negara Republik
Indonesia dan akan disusun atas dasar militer internasional.34
Pada tanggal 19 Juli 1946 terbentuk Angkatan Laut Republik Indonesia
, yang disingkat dengan ALRI. Kemudian, berdasarkan “Penetapan
31 Muhaimin, Perkembangan Milite, h. 25. 32
A. Hasnan Habib, “Hubungan Sipil Militer Pasca Orde baru dan Prospeknya di Masa Depan.” Progresif, Vol II No. 1, (Jakarta Political Science Forum FISIP UI, 2002), h. 15.
33
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 17. 34
Pemerintah No. 6/S.D. 1946” tanggal 9 April, terbentuk TRI bagian udara
yang dikenal dengan nama “Angkatan Udara Republik Indonesia”, disingkat
AURI, dan mengangkat R. Suriadi Surjadarma menjadi kepala stafnya. Dan
untuk menciptakan adanya kesatuan pimpinan militer, pada tanggal 26 Juni
1946, pemerintah (Presiden dengan Menteri Pertahanan) mengangkat
Jendral R. Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik
Indonesia yang meliputi tentara darat, laut, dan udara.35
Pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden mengeluarkan Dekrit guna
membentuk suatu panitia yang dipimpin oleh Presiden sendiri. Panitia
negara ini kemudian bernama “Panitia Pembentukan Organisasi Tentara
Nasional Indonesia” dengan beranggotakan sebanyak 21 orang dari
pemimpin pasukan-pasukan bersenjata, termasuk di dalamnya
pemimpin-pemimpin beberapa laskar yang paling berpengaruh kuat. Setelah beberapa
lama bekerja dengan beberapa kesulitannya, pada tanggal 7 Juni 1947,
keluar sebuah penetapan Presiden yang membentuk satu organisasi tentara,
bernama “Tentara Nasional Indonesia” disingkat TNI,36 sebagai
penyempurnaan dari TRI. Di dalam penetapan itu antara lain diputuskan,
bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947, dengan resmi berdiri Tentara Nasional
Indonesia, dan segenap Angkatan Perang yang ada serta anggota laskar yang
bersenjata, baik yang sudah atau tidak bergabung dalam biro perjuangan di
masukkan serentak ke dalam Tentara Nasional Indonesia.37
35
Muhaimin, Perkembangan Militer., h. 27. 36
Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 51. 37
Dari perkembangan yang berlangsung sejak poklamasi dan sejak
terbentuknya BKR hingga terbentuknya TNI, dapatlah disimpulkan bahwa
TNI lahir dan berdiri dari tiga elemen pokok atau unsur pokok yang
masing-masing memiliki karakteristik yang berlainan dan bahkan dengan sifat yang
heterogen, yaitu bekas tentara KNIL, PETA, dan Laskar.
Pada masa perang kemerdekaan di tahun 1945-1949 kepemimpinan
serta komando militer Indonesia sangat carut-marut dan simpang siur. Salah
satunya dikarenakan berlakunya sistem parlementer sejak dikeluarkannya
“Maklumat Wakil Presiden No. X, maka jabatan Presiden sebagai panglima
Tertinggi sebenarnya tidak berwenang lagi; tetapi prakteknya panglima
tertinggi itu tetap dianggap sebagai atasannya langsung oleh Panglima
Besar. Menteri Pertahanan yang seharusnya bertanggung jawab dalam
segala hal atas pimpinan militer, pada hakekatnya hanya menjadi pimpinan
administratif belaka; sedangkan de facto atas pimpinan militer berada pada tangan Panglima Besar APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang
merangkap sebagai Panglima Angkatan Darat, beserta Staf Umumnya dan
gabungan kepala stafnya. Ada lagi lembaga yang bernama Dewan
Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang dapat
disamakan sebagai pemegang kekuasaan militer. disamping itu adanya
Dewan Siasat Militer yang diketuai oleh Presiden sendiri menambah
terpencarnya kepemimpinan militer Indonesia di mana duduk panglima tiap
angkatan. 38
38
Pada masa 10 tahun pertama Indonesia merdeka persoalan tentang
militer selalu timbul, terutama mengenai peran politik yang ingin dimiliki
oleh militer, karena mereka merasa juga perlu ikut berperan aktif dalam
perpolitikan bangsa ini. Tetapi, pola hubungan sipil-militer pada masa-masa
ini kurang harmonis, asumsi mengenai peran militer dalam perpolitikan
harus dibatasi, berkembang berbarengan dengan keinginan pihak militer
yang menginginkan berperan dalam perpolitikan.
C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia
Hubungan sipil militer merupakan tema dan agenda utama yang
dibicarakan oleh para ilmuan politik dan pegiat demokrasi. Tentu saja
dengan tujuan untuk menemukan sebuah konsep yang komprehensif yang
bisa membuat relasi sipil-militer berjalan secara sehat, sehingga
demokratisasi bisa benar-benar tumbuh dan berkembang dengan sehat pula.
Di Indonesia, upaya ini dilakukan pertama-tama dengan penghapusan
dwifungsi atau reposisi TNI.
Tentang profesionalisme militer, Huntington menggunakan analogi
yang sederhana. Jika tanggung jawab pokok dari seorang dokter adalah
kepada pasiennya, dan seorang pengacara kepada kliennya, maka tanggung
jawab pokok seorang perwira militer adalah kepada negara. Seperti dokter
dan pengacara, perwira hanya mengurusi satu segmen dari berbagai kegiatan
kliennya. Ia hanya menjelaskan kepada kliennya mengenai kebutuhan dalam
bidang ini, menyarankan hal-hal yang dapat memenuhi segala kebutuhan
klien tersebut, dan setelah kliennya tersebut mengambil keputusan,
membantu klien tersebut menerapkan itu semua.
Pada batasan tertentu, perilaku seorang perwira militer terhadap negara
dituntun oleh suatu kode yang tersurat dalam hukum yang setara dengan
norma-norma etika profesional para dokter dan pengacara. Sebagian besar
kode etik perwira diungkapkan dalam kebiasaan, tradisi, dan semangat
profesi yang berkesinambungan. Huntington menambahkan bahwa
profesionalisme tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan, skill, dan
expertise seseorang atau lembaga terhadap pekerjaan yang menjadi
bidangnya saja, tetapi juga memiliki ciri-ciri khusus lain. Salah satu hal
yang bisa disebut sebagai ciri khusus di sini adalah responsibility.39
Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai
sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi
tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam
masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas
militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan
dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan
kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan.
Karena itu, masih dalam pandangan Huntington, militer profesional
mempunyai tiga karakter atau ciri40, yaitu:
39
Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics Civil-Military Relation, (Cambridge: Harvard University Press, 2003), h. 13.
40
1) Keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi
militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan
keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam
untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan
aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai.
2) Militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus.
Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama
sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung
jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim
sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan
dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin
mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak
mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional.
3) Militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan
rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional
tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara.
Huntington melihat bahwa intervensi politik militer terjadi sehubungan
dengan adanya instabilitas politik dan kemunduran yang berasal dari
politisasi kekuatan-kekuatan sosial serta tidak adanya partai-partai politik
apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap militer. Militer
dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal
negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah
supremasi sipil.
Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi,
tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan
hukum rakyat yang tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya
intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak
ada keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam
proses pembuatan kebijakan politik, seperti pembuatan kebijakan politik
luar negeri dan pertahanan.
Militer di negara-negara maju juga ikut dalam mengatasi
masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara maju, seperti
aktivitas civic missions untuk menanggulangi bencana alam atau bencana lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu
amatlah rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah
menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi
darurat. Akhirnya, militer adalah sangat diperlukan dalam sebuah negara.
Negara kuat jika mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa
diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada dalam frame work sebagai
alat negara yang profesional yang tidak turut campur dalam
Intervensi militer ke wilayah politik akan menghambat proses demokratisasi
dan bahkan membunuh demokrasi itu sendiri.41
Masalah yang menyangkut hubungan sipil dan militer adalah soal yang
muncul sebagai akibat lahirnya profesi perwira sebagai keahlian tersendiri.
Fenomena ini mulai tampil pada awal abad ke-19 di Eropa. Ketika profesi
perwira masih merupakan monopoli para kerabat istana, maka tidak ada
masalah antara pimpinan politik dengan para perwira sebagai pengelola
kekerasan (manage of violence). Tetapi ketika posisi perwira terbuka untuk siapa saja yang memenuhi syarat untuk itu, dan pimpinan tentara terpisah
dari pimpinan politik, maka timbullah soal di sekitar hubungan antara
pimpinan politik dan pimpinan tentara.42
Secara empiris, dalam hubungan sipil-militer ada beberapa pola yang
dapat diamati dari sistem pemerintahan suatu negara. Negara-negara liberal
demokratis, biasanya menganut sistem supremasi sipil. Sedangkan
negara-negara rezim pemerintahan otoriter, biasanya cenderung menggunakan pola
supremasi militer. Pola lainnya adalah gabungan dari kedua pola di atas,
yakni tidak supremasi sipil atau militer (pola campuran) di mana kedua
pihak sepakat dalam kesetaraan dan kesehjateraan untuk menjalankan
pemerintahan. Hubungan sipil-militer dapat juga diamati melalui misi atau
peran militer yang dijalankan, apakah misinya dalam menghadapi ancaman
terhadap kedaulatan negara berorientasi ke dalam atau keluar atau
kedua-duanya. Hubungan sipil-militer dalam masa transisi menuju demokrasi juga
41
Huntington, The Soldier and the State, h. 18. 42
dapat dilihat dari dua dimensi penting, yaitu kontestasi militer dan hak-hak
istimewa kelembagaan militer.43
Namun sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemikiran tentang hubungan
sipil-militer dengan segala varian-variannya yang ada, memang memiliki
perbedaan-perbedaan, sesuai dengan rezim pemerintahannya atau sistem
politik yang dianut oleh suatu negara. Jika pola yang berkembang adalah
supremasi sipil, maka pada akhirnya dalam model seperti ini akan
memberikan dampak pada peran militer yang hanya sebagai alat negara,
yang mengurusi masalah pertahanan ataupun melebur menjadi sub-ordinasi
pemerintahan sipil. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, dimana supremasi
militer yang lebih menonjol, maka peran militer tidak hanya berfungsi
sebagai alat negara, akan tetapi juga menjadi alat kekuasaan. Pada pola ini,
kekuatan militer akan diarahkan untuk mendominasi semua peran yang ada,
termasuk pula mengambil alih peran-peran yang seharusnya merupakan
ranah orang-orang sipil.
Pada umumnya di negara-negara barat, terdapat model hubungan
sipil-militer yang menekankan “supremasi sipil atas sipil-militer” (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum.44 “supremasi sipil
atas militer” merupakan konsep yang melekat dalam pengertian demokrasi
di mana sebuah masyarakat yang demokratis hanya akan mungkin tumbuh
43
Bakrie, Pertahanan Negara.
44
jika setiap komponen bangsa, terutama militer karena monopoli formalnya
atas penggunaan kekerasan, tunduk pada institusi kenegaraan yang
dihasilkan secara demokratis beserta kebijakan dan keputusan yang
dikeluarkannya. Model ini juga banyak dianut oleh negara-negara sedang
berkembang yang menerapkan sistem demokrasi liberal.
Konsep tentang “kontrol sipil” lahir “dalam ketakutan abad 18 dan
kebencian terhadap tentara sebagai suatu ancaman terhadap
kebebasan-kebebasan rakyat”.45 Teori-teori yang membahas soal hubungan sipil-militer
ini pada umumnya bertolak dari pengalaman negara-negara demokrasi yang
salah satu cirinya adalah secara tegas menempatkan tentara di bawah
kendali kepemimpinan sipil. Secara khusus mengenai hubungan sipil-militer
di negara industri yang demokratis, Perlmutter yang mengutip Huntington
menyebut dengan istilah objective civilian control (pengendalian sipil objektif) dan subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif).46
Dalam penjelasannya, karakteristik yang terkandung dalam pengertian
objective civilian control (pengendalian sipil objektif) adalah:
1. Profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat
akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka;
2. Sub-ordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik
yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan
militer;
45
Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 2.
46
3. Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tesebut
atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer;
4. Akibatnya, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan
minimalisasi politik dalam militer.47
Dapat pula dijelaskan bahwa dalam model kontrol sipil objektif ini
biasanya dilakukan dengan cara militarizing the military.48 Hal ini dapat dicapai dengan memperbesar profesionalisme kelompok militer di satu sisi,
dan pada sisi yang lain kekuasaan militer harus mengalami pengurangan
yang sedemikian rupa. Namun yang perlu dipertegas dalam hal ini adalah
bahwa kekuasaan militer tersebut tidak serta-merta hilang sama sekali,
melainkan tetap diberikan tetapi dalam bentuk kekuasaan yang terbatas.
Kekuasaan yang diberikan hanya berfungsi untuk digunakan dalam hal-hal
yang terkait dengan permasalahan profesinya. Apabila ada hal yang berada
di luar kepentingan profesinya, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk
meningkatkan profesionalisme militer, maka secara otomatis kekuasaan
militer harus dipangkas.
Sebaliknya, menurut Salim Said model subjective civilian control adalah keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan berkompetisi dalam
masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan
dan kepentingan politik mereka.49 Lebih lanjut bahwa pengendalian sipil
47
Anwar, Gus Dur Versus Militer, h. 20. 48
P. Anthonius Sitepu, “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan terhadap Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer,” dalam POLITEIA Jurnal Ilmu Politik (Medan: Departemen Ilmu Politik dan Labotarium Politik Fisip Universitas Sumatera Utara, 2006), h. 46.
49
subjektif lazimnya dilakukan dengan cara memperbesar kekuasaan sipil
(maximing civilian power) dibandingkan dengan kekuasaan militer.50 Pengendalian sipil subjektif (subjective civilian control) merujuk pada upaya politisi sipil untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi mereka
dan membuat mereka lebih dekat kepada para politisasi sipil tersebut
(civilianizing the military), baik politisasi pro maupun anti pemerintah, khususnya di parlemen dan di partai-partai politik. Model kontrol sipil
subjektif ditengarai akan melahirkan pola hubungan sipil dan militer yang
kurang sehat.
Huntington dalam Salim Said menekankan bahwa esensi Objective civilian control adalah pengakuan pada otonomi profesi militer, sedangkan subjective civilian control menolak adanya otonomi profesi militer. Dengan bahasa lain mungkin dapat dikatakan, pada objective civilian control otonomi yang dimiliki tentara menyebabkan mereka menjadi golongan
profesional yang hanya menjalankan tugas negara. sedang pada subjective civilian control, tidak adanya otonomi tentara menjadikan mereka hanya alat bagi penguasa.51
Namun demikian, di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia,
52
dikotomi sipil-militer tersebut dianggap –oleh kalangan militer atau sipil
yang tak mau berkonfrontasi dengan militer– kurang menggambarkan
realitas sesungguhnya, karena dikotomi tersebut hanya akan melahirkan
50
Bakrie, Pertahanan Negara, h. 42. 51
Said, Militer Indonesia dan Politik, h. 275. 52
konfrontasi.53 Oleh sebab itu, kalangan ini lebih menginginkan terjadinya
“kerja sama”, “hubungan kemitraan” atau “harmoni/keselarasan” antara sipil
dan militer. Dalam model tersebut, dapat saja terjadi militer merupakan “the first among equals” (pertama di antara yang sederajat) dalam hubungannya dengan institusi-institusi sipil. Ini khususnya terjadi apabila mitra sipilnya
lemah. Namun, bila institusi-institusi sipil cukup kuat, maka muncullah
gagasan dari militer untuk melakukan “pembagian peran” (role sharing). Di sini sangat tampak, kalangan militer tidak memandang demokrasi dalam
hubungan vertikal antara sipil dan militer, yang sebenarnya lebih
mengedepankan supremasi sipil atas militer. Pada posisi tersebut, para
tentara lebih senang pada pola hubungan yang setara (equal relationship). Sambil mengkritik teori Huntington yang dianggapnya lebih bertolak
dari pengalaman tentara di negara-negara maju, Alfred Stepan54 juga
memperkenalkan peranan baru tentara. Peranan baru yang terutama terlihat
di negara-negara baru merdeka bagi Stepan menyebabkan lahirnya konsep
“the new profesionalism of internal security and national development”. Contoh yang dikemukakan Stepan untuk mendukung teorinya adalah Brazil
dan Peru. Secara teknis militer tingkat profesionalitas tentara Brazil dan
Peru sangat tinggi, tetapi pada saat yang sama keterlibatan mereka ke dalam
urusan keamanan dalam negeri, mereka akhirnya terseret ke urusan politik.
53
Sitepu, Militer dan Politik, h. 46. 54
Dalam hubungannya dengan konsep relasi sipil-militer di sebuah sistem
pemerintahan, maka menurut Eric A. Nordlinger, bentuk pemerintahan sipil
dibagi dalam tiga model, yakni: Model Tradisional, Model Liberal, dan
Model Panetrasi atau Serapan.55
1. Model Tradisional adalah model kontrol sipil di negara monarki.
Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh
dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di
Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan
elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini
berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir
sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan
bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka
untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang
raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan
sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model
ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika
terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan
statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model
ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika
pendidikan dan kemahiran dijadikan parameter utama
55
dibandingkan status dan kekayaan warisan. bentuk pemerintahan
sipil di mana tidak ada perbedaan yang mencolok antara sipil dan
militer. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini berpengaruh
sekali di bawah sistem pemerintahan kerajaan pada abad ketujuh
belas dan delapan belas. Golongan aristokrat Eropa (elit Eropa) dan
elit militernya lebih mengutamakan kekuasaan, kekayaan, dan
status sebagai seorang sipil. Bentuk pemerintahan sipil tradisional
ini dapat mempertahankan legitimasi pihak sipil yang disebabkan
oleh tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer.
2. Model Liberal. Model ini dengan jelas mendasarkan pada
diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya
bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu,
militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni.
Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh
sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang
diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang
seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer.
Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki