• Tidak ada hasil yang ditemukan

Militer Dan Kekuatan Politik:Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Militer Dan Kekuatan Politik:Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

MILITER DAN KEKUATAN POLITIK:

STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL ERA 1945-1998

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

Hadi Nafis Kamil NIM: 206033201080

Pembimbing

Dr. Sirajudin Aly,MA. NIP :150318684

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

MILITER DAN KEKUATAN POLITIK:

STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL ERA 1945-1998

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

Hadi Nafis Kamil NIM: 206033201080

Pembimbing

Dr. Sirajudin Aly,MA. NIP :150318684

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan

dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 23 Mei 2009

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang penulis

panjatkan kehadirat Allah Swt, shalawat serta salam semoga senantiasa

dilimpahkan kepada Rasulullah Saw. keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Amin.

Atas segala karunia-Nya, penulis masih diberi kesempatan dalam upaya

menyelesaikan skripsi ini dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam

menyelesaikan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan. Namun

berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998.

Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa apa-apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak

yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan

terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

(5)

3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku

Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Sirajudin Aly, M.A dan keluarga selaku Dosen Pembimbing

atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan

arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Haniah Hanafie, Bapak Agus Nugraha dan seluruh dosen serta

staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) yang

telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas

selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat

Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas

FISIP UI), dan Perpustakaan Pusat Sejarah TNI, yang banyak

memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur

yang tersedia.

8. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua

orangtua, Ayahanda dan Ibunda , Kak dan , mereka semua tak pernah

lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik. Dan mereka semua

(6)

9. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Extensi, Asep,

Yusuf, Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah

yang menjadi sumber inspirasi penulis.

10.Rekan-rekan

Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia

sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,

yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari

ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.

Ciputat, 19 Februari 2009

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I. PENDAHULUAN

... ... 1

A. Latar Belakang Masalah ...

... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...

... 13

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...

... 13

D. Studi Kepustakaan...

... 14

E. Metodologi Penulisan...

... 16

F. Sistematika Penulisan ...

... 17

BAB II. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI

INDONESIA ... ... 19 A. Definisi Militer ...

(8)

B. Berdirinya TNI Di Indonesia

... ... 21

C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia ... 28

D. Fungsi Militer Dalam Negara ... 44

BAB III. MILITER SEBAGAI KEKUATAN POLITIK ... ... 50

A. Definisi Kekuatan Politik ... ... 50

B. Penggolongan Kekuatan Kekuatan Politik ... ... 53

C. Kekuatan Politik Militer ... ... 55

D. Keterlibatan Militer Dalam Politik ... ... 66

E. Militer Profesional ... ... 69

BAB IV. KEKUATAN POLITIK MILITER PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU... ... 75

A. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Lama... ... 75

(9)

2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) ...

... 84

3. Masa Pemberontakan PKI (Gerakan 30 September)... ... 92

B. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Baru ... 100

1. Dwi Fungsi ABRI... ...

101

BAB V. PENUTUP

... ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran-Saran ... 119

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Militer sebagai sebuah organisasi pertahanan, mutlak di perlukan oleh

setiap negara yang ingin aman dari ancaman-ancaman yang dapat

mengganggu eksistensi negara tersebut. Urgensi akan organisasi militer

tersebut bagi negara yang baru merdeka dari kolonialisme adalah untuk

mempertahankannya dari ancaman kembalinya bangsa kolonial. Sebagai

kalangan yang merasa ikut berperan dalam proses pencapaian kemerdekaan

di Indonesia, militer memang tidak dapat dipungkiri, walaupun bentuknya

belum seperti saat ini. Sehingga tuntutan untuk ikut terlibat dalam

perpolitikanpun harus dipertimbangkan. Beberapa manuver yang dilakukan militer untuk ke tujuan itupun terekam dalam sejarah, di antaranya pada

“Peristiwa 17 Oktober 1952”1, dan yang tidak dapat dilupakan dan juga

merupakan awal dari sejarah dominasi militer bangsa ini adalah pada

peristiwa ”Gerakan 30 September 19652 sampai Supersemar”3. Dimana

militer mengambil alih tandu kekuasaan demi keselamatan negara.

Geliat militer Indonesia dalam gelanggang politik tidak terjadi secara

alami, tetapi merupakan konsekuensi sejarah sejak lahirnya tentara

Indonesia. Mentalitas umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah

1

Peristiwa 17 Oktober 1952 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 76. 2

Gerakan 30 September 1965 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 91. 3

(11)

kemerdekaan adalah peran langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch

mencatat, “dalam masa revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di

dalam perjuangan kemerdekaan di mana tindakan politik dan militer saling

menjalin tak terpisahkan”.4

Apabila dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan

wilayah, dan keselamatan bangsa terancam, panglima TNI dapat

menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal mencegah kerugian

negara lebih besar. Padahal, krisis dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) adalah krisis keadilan dan kemakmuran yang kian jauh,

sehingga militer bukan solusinya. Meski dalam konteks Indonesia, militer

pada dasarnya merupakan budaya politik yang kuat dalam kehidupan

masyarakat.

Terdapat pula pendapat yang menolak keras peran sosial politik

ABRI/TNI dikarenakan oleh dua hal,5 Pertama, peran sosial politik militer

terlahir dalam keadaan perang atau keadaan darurat, sehingga untuk masa

kini di mana kondisi darurat perang telah dilewati maka secara otomatis

peran sosial politik akan hilang dengan sendirinya. Artinya meminjam

istilah dalam kaidah “ushul fiqh” peran sosial politik di masa perang adalah

sebuah ruqshoh (keringanan) yang masih bisa ditoleransi. Kedua, karena panduan politik yang diajukan dalam melihat peran sosial politik adalah

konsep civilian supremacy. Dalam konsep ini fungsi sosial politik militer

4

Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 15.

5

(12)

akan berhadap-hadapan dengan demokrasi dan demokratisasi. Karena

diyakini budaya militer akan menghambat laju dari demokrasi yang tengah

diupayakan.

Bila kita ingin membenahi negara dan keluar dari krisis multidimensi,

harus dilakukan demiliterisasi total dalam kehidupan politik dan bisnis. Apa

yang diberitakan koran, maraknya penyelundupan dan perdagangan barang

ilegal, karena ada backing (beking), dan biasanya oknum militer, karena

desakan kebutuhan yang tak bisa ditutup oleh pendapatannya yang rendah.

Ini menunjukkan betapa tidak mudahnya membenahi kehidupan militer

menjadi profesional.

Munculnya militer dipanggung politik, sosial dan ekonomi

negara-negara berkembang, berpangkal dari lemahnya pihak sipil untuk

mengendalikan unsur-unsur kehidupan masyarakat. Politisi sipil yang

dengan relatif cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan

suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing,

mengorganisisr masyarakat yang relatif tergesa-gesa berhadapan dengan

tuntutan modernisasi, masih mencoba model-model yang mungkin

dipergunakan untuk melayani tuntutan-tuntutan masyarakatnya sendiri.6

Kekuatan militer dalam dunia politik di Indonesia, sebenarnya

mempunyai akar sejarah yang panjang dan tidak bisa dihapus begitu saja,

bahkan akan menjadi sesuatu yang musykil. Pada era reformasi, saat

partai-partai politik bermunculan, ternyata partai-partai-partai-partai politik mengundang militer

6

(13)

masuk di dalamnya. Dianggapnya partai politik akan menjadi kuat bila ada

militernya, apalagi yang sudah berpangkat jenderal. Akibatnya, hampir tidak

ada satu partai pun yang di dalamnya tidak ada militernya.

Peran militer dalam kehidupan politik masih tetap dominan, meski

kepala negara orang sipil, apalagi jika para militer di partai-partai politik

"bermain mata", maka militer tetap akan mengendalikan kehidupan politik

di suatu negara. Munculnya satgas-satgas (satuan tugas) di partai-partai

politik, sebenarnya dapat ditengarai, budaya militer tetap besar dan

mengakar kuat dalam kehidupan politik kita. Bahkan, satgas-satgas itu bisa

menjadi dan bertindak lebih militer daripada militer sendiri. Penampakan

lahiriahnya saja menunjukkan sikap over acting militernya, dengan memakai baju, topi, sepatu bak seorang militer sejati.

Jika kita ingin mengakhiri peran politik militer dan menjadikannya

profesional, maka budaya militer yang telah berkembang kuat di

masyarakat, harus dirombak lebih dulu. Budaya militer tidak hanya pada

uniformitas berpakaian. Yang mendasar adalah cara berpikir militer yang

ada pada politisi kita, yang suka memaksakan kehendak dan pendapat

sendiri dengan cara mengerahkan massa guna mendukung sikap "pokoknya"

dari para pemimpin partai politik. Bahkan, militer seolah menjadi simbol

kepahlawanan bangsa, sehingga taman makam pahlawan seakan hanya

haknya militer.

Merebaknya budaya militer dalam kehidupan partai politik, akan

(14)

komunalisme, di mana partai politik selalu mengandalkan pengerahan massa

guna melakukan tekanan politik. Komunalisme cenderung destruktif, dan

melemahkan kekuatan akal budi untuk menyelesaikan masalah dengan

cara-cara cerdas, komunikatif dan mencerahkan. Komunalisme dapat

berkembang sebagai bentuk kepanikan politik yang biasanya berujung pada

tindakan kekerasan tak terkendali.

Dalam dunia bisnis, peran militer harus diperkecil, apalagi untuk

menjadi kekuatan beking dunia usaha dan bisnis, yang akan memunculkan

premanisme bisnis dan menyuburkan perdagangan barang ilegal yang

merusak kehidupan masyarakat. Pengurangan peran militer ini hanya

mungkin diwujudkan, jika ada kekuatan hukum yang aktual dalam praktik

hidup masyarakat. Jika hukum masih disubordinir kekuasaan dan

kepentingan politik partai, maka militer akan menjadi tulang punggungnya.

Kolaborasi penguasa, pengusaha, dengan militer akan memperparah dan

menghambat proses demokratisasi dan penegakan hukum yang bertumpu

pada law enforcement.

Dalam laporan Human Rights Watch bertajuk Too High A Price: The Human Rights Cost of Indonesian Military Economic Activities, fenomena militer sebagai businessmen dilihat terjadi sebagian karena minimnya

anggaran negara untuk militer.7 Faktor ini pun sering dijadikan pembenaran

bagi setiap aktivitas ekonomi, legal ataupun ilegal, yang dilakukan oleh

militer. Kendati demikian, laporan yang sama juga membongkar mitos

7

(15)

minimnya anggaran untuk militer, karena bukti-bukti aktual yang ada justru

berkata sebaliknya.

Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat

perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya

kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga

jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,

karena militer menarik dukungan darinya. Begitu juga dengan kejatuhan

presiden KH Abdurrahman Wahid. Bahkan, fenomena dukungan Megawati

terhadap pencalonan Gubernur DKI Sutiyoso tidak bisa dipisahkan dari

upaya melakukan konspirasi politik dengan militer guna mendukung dan

memantapkan kekuasaannya. Tanpa dukungan militer, maka kekuasaan

Megawati akan jatuh, apalagi di saat-saat seperti sekarang, banyak

kelompok masyarakat menggugat kekuasaannya sebagai akibat

kebijakannya yang tidak populis, seperti menaikkan harga BBM, tarif dasar

listrik (TDL).8

Karena itu, yang menjadi persoalan adalah masih kuatnya budaya

militer dalam jagat perpolitikan bangsa, yang ditandai kecenderungan

menguatnya penyelesaian masalah dengan mengandalkan otot ketimbang

nalar. Cara-cara pemaksaan kehendak secara sepihak, baik pemerintah

maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sedang terlibat konflik,

dengan mengerahkan massanya dan tidak sabar dengan proses dialektika

8

(16)

akal budi untuk mencari jalan keluarnya adalah pertanda kuatnya budaya

militer dalam kehidupan politik kita.

Cara-cara premanisme yang hanya mengandalkan kekerasan dan

kekuatan fisik tidak hanya subur dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga

dalam menjalankan pemerintahan, di mana pemerintah, di pusat maupun

daerah, dalam usahanya meningkatkan pendapatannya, melakukan cara-cara

preman, hanya mengandalkan kekuatan kekuasaan, yang sama sekali tidak

cerdas dan mencari gampangnya, yaitu dengan menaikkan tarif dan menarik

pungutan. Padahal, pemerintah seharusnya kreatif, berjiwa entrepreneur

untuk mengelola kekayaan sumber daya alam yang dikuasainya. Jika tidak,

bernapas pun suatu saat akan dikenai pungutan oleh pemerintah, jika sumber

pungutan lain sudah dikuras habis.

Demokrasi pada hakikatnya bertumpu pada kekuatan akal budi guna

mengatasi konflik dan pluralitas, yang sudah menjadi kodrat hidup

masyarakat di mana pun dan kapan pun. Konflik dan pluralitas adalah

realitas fundamental kehidupan masyarakat yang tidak mungkin berakhir,

dan demokrasi adalah cara paling sehat untuk mengelola dan

menyelesaikannya, dengan bertumpu proses dialektika akal budi. Jika

kekuatan akal budi menjadi landasan kehidupan politik rendah dan jatuh,

kekuatan otot yang mendasari budaya militer akan menguat. Demokrasi

hanya mungkin dengan demiliterisasi budaya politik bangsa.

Pada dasarnya RUU TNI patut dikritisi, terutama dalam kaitan dengan

(17)

pemikiran politik bangsa, yang sudah mulai letih dengan aneka konflik

kekerasan yang tidak segera dapat diselesaikan. Akibatnya, militer dianggap

sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis multidimensi yang melanda

kehidupan bangsa. Padahal, kembalinya kekuasaan politik militer

sebenarnya berlawanan secara fundamental dengan proses demokratisasi.

Dalam konteks ini, gonta-ganti kepala pemerintahan atau presiden

bukan sesuatu yang negatif, justru akan menjadi political exercise bagi pendewasaan demokrasi, dan siapa saja yang jadi presiden harus melakukan

kontrak kerja dengan rakyatnya untuk mewujudkan keadilan dan

kemakmuran bagi seluruh rakyat. Jika dalam praktiknya tidak mampu

mewujudkannya, ia harus bersedia turun atau diturunkan di tengah jalan,

sepanjang law enforcement tetap terjaga dengan kian meningkatnya disiplin para aparat penegak hukum dan militer melepaskan diri dari kepentingan

kekuasaan politik dan pemerintahan.

Karena itu, harus dilakukan perubahan konstitusi secara

berkesinambungan, sesuai tuntutan dan tantangan perubahan. Dan,

reformasi tidak akan dirusak akibat gonta-ganti presiden di tengah jalan,

bahkan akan memperjelas arah untuk menegakkan keadilan dan

kemakmuran bagi kehidupan seluruh rakyat, dan akan memacu lahirnya

pemerintahan yang makin bersih dan efektif.

Di dalam suatu perubahan, apalagi suatu perubahan paradigmatis, selalu

terdapat suatu kegelisahan yang muncul karena ketegangan antara kehendak

(18)

itu. Langkah maju-mundur lalu tampak sebagai bentuk luar dari

kegelisahan. Dan di dalam kegelisahan itulah potensi set back selalu membayangi proses politik. sebab, kekuatan status quo selalu menunggu di

tikungan kegelisahan, apalagi bila kehendak perubahan ini menyangkut

suatu fondasi yang selama ini menjadi tumpuan politik status quo, yaitu kedudukan tentara di dalam politik.9

Pada akhir tahun 1950-an ilmuwan politik barat menanggapi bahwa

peranan militer yang memiliki peran bidang pemerintahan demokrasi barat

akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan politik di

negara-negara Dunia Ketiga10 pada umumnya. Banyak negara-negara dunia

mencoba mengupayakan sistem demokrasi dengan berlandaskan pada model

yang terdapat di barat, senantiasa akhirnya melahirkan rezim otorian dimana

pihak militer turut serta bermain didalamnya.

Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara formal,

ideologi sebagai konsepsi kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia

untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah

doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena

militer juga berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi

kemerdekaan, maka konsep kenegaraan integralistik yang dipedomani dan

dipertahankan militer juga bisa disebut sebagai bagian dari ideologi militer.

9

Rocky Gerung, “Tentara, Politik, dan Perubahan,” dalam Lukas Luwarso dan Imran Hasibuan, Indonesia di Tengah Transisi (Jakarta: Propatria, 2000), h.178.

10

(19)

Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan militer, dikenal dua

konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses

demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh.

Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep "perang rakyat semesta"

dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang.

Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah11:

1. Militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja harus

dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh

komponen masyarakat sipil.

2. Karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup

peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan

politik yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan

aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan

berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat

erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai "musuh".

Dalam doktrin militer Indonesia terdapat rumusan "ancaman, gangguan,

hambatan, dan tantangan" (AGHT) yang merupakan strategi yang lahir dari

rumusan fungsi hankam ABRI yang menyatakan bahwa tugas militer adalah

"memelihara dan memperkuat ketahanan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan

nasional untuk secara defensif aktif mempertahankan dan mengamankan

kedaulatan serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia.".12 Lewat

11

Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, Robert Hariono Imam (penerjemah), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 56.

12

(20)

konsep AGHT-nya militer bisa dengan mudah merumuskan siapa "kawan"

dan "lawan". Dengan begitu akan dengan mudah membungkam setiap

aspirasi yang bernada kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan

militer. Apalagi dalam konteks Indonesia, antara kepala pemerintahan dan

panglima tertinggi militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi,

sempurnalah otoritas dan kewenangan menentukan "lawan" dan "musuh" itu

dalam satu tangan: presiden.

Di samping itu, konsepsi tentang negara integralistik yang menyatukan

rakyat dengan negara berdampak pada subordinasi seluruh kepentingan dan

aspirasi rakyat pada negara yang sudah diidentifikasi dengan kekuasaan

militer. Dalam konsep ini sulit dibedakan mana militer yang merupakan

bagian dari negara dengan militer yang dikuasai negara. Kosepsi kenegaraan

seperti itu akan membenarkan militer untuk berperan atas nama negara dan

rakyat sekaligus. Di sinilah letak akutnya hubungan antara peran militer

dengan otoritarianisme negara dan dengan demikian berarti demokrasi yang

sejati otomatis akan menjauh dari peran sosial politik militer.

Setelah melalui pergulatan mengenai peristiwa pembentukan organisasi

militer di Indonesia, yang telah berganti-ganti nama, yang tentunya

mempengaruhi terhadap sifat serta orientasi militer. Ketika bernama TNI,

nasionalisme yang tercermin dari nama itu menandakan anggota militer

tidak terbatas pada satu etnis atau suku tertentu, tetapi seluruh warga negara

(21)

Peran politik yang diperoleh militer dengan susah payah mereka

peroleh, melalui berbagai peristiwa yang terekam dalam sejarah bangsa ini,

menandakan bahwa militer sebagai salah satu unsur yang mutlak dalam

suatu negara keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta

bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat

perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya

kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga

jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,

karena militer menarik dukungan kepadanya.

Apabila kita melihat proses di atas secara lebih jernih, persoalan

peranan dan keterlibatan TNI dalam konteks dunia politik pada saat itu

adalah awal mula keberagaman proses politik di Indonesia dimana militer

menjadi ornament politik yang diperhitungkan. Melalui

pertimbangan-pertimbangan yang telah diungkapkan, penulis menganggap betapa

pentingnya dilakukan penelitian atas keterlibatan politik TNI di era orde

lama. Penelitian skripsi ini akan menyoroti proses peranan TNI menjadi

sebuah kekuatan politik sekaligus mencoba melihat seberapa besar

pengaruhnya terhadap stabilitas negara Indonesia. Untuk itu skripsi ini

mengambil judul “ Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”.

(22)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan tentang Militer Dan Kekuatan

Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional

(1945-1998), maka pembatasan masalah dalam tulisan ini memiliki titik tekan

seperti seberapa besar keterlibatan politik militer pada masa Orde Lama

(1950-1965) dan masa Orde Baru (1965-1998). Periodesasi dikarenakan

pada saat itulah awal mula militer mulai berkecimpung dalam dunia politik.

Yaitu penyelesaian-penyelesaian konflik yang melibatkan militer baik

dalam masalah sosial maupun politik dalam pentas Nasional.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka

permasalahan penelitan ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep militer sebagai kekuatan politik?

b. Bagaimana keterlibatan dan peranannya terhadap proses politik di

Indonesia era Orde Lama dan Orde Baru?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan ini adalah :

a. Mempelajari konsep-konsep yang berkembang mengenai militer

dan politik.

b. Menganalisa keterlibatan militer dalam percaturan politik

(23)

2. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan dan menambah

khazanah dan kepustakaan relasi militer dan politik. Selain itu, hasil

penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi akademis dan

ilmiah mengenai dunia politik di lingkungan jurusan Pemikiran Politik

Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Civitas Academica Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat umum.

D. Studi Kepustakaan

Kajian mengenai militer dan politik, khususnya mengenai sepak terjang

TNI di pentas politik nasional bukanlah hal yang baru dalam khazanah

kepustakaan politik Indonesia. Jika kita telusuri kepustakaan mengenai

militer di Indonesia, telah banyak penulis asing maupun lokal yang

mengupas masalah tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun

makalah. Namun demikian, kajian komprehensif yang mengupas secara

menyeluruh mengenai perkembangan reformasi internal TNI –khususnya

dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah– masih belum banyak dilakukan.

Di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur (baik dalam

bentuk buku atau skripsi) yang pernah membahas perihal perkembangan

militer Indonesia dengan reformasi internalnya.

1. Abdoel Fatah dengan judul buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, adalah judul disertasi S-3 di Universitas Kebangsaan Malaysia yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh

(24)

dalam peta perpolitikan Indonesia hingga reformasi internal yang

dilakukan TNI dapat dikatakan lengkap. Namun saya menilai,

kekurangan buku ini adalah dalam hal keseimbangan informasi, data dan

fakta mengenai banyak peristiwa yang dibahas. Karena buku ini terlalu

banyak melihat dari sudut pandang kalangan internal militer. Hal ini

dapat dimaklumi mengingat penulis dari buku ini adalah seorang anggota

TNI Angkatan Laut. Dan dapat dipastikan kesan subjektif sangat kental

dalam pembahasan buku ini.

2. Untuk judul skripsi yang pernah mengulas permasalahan militer

Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah skripsi yang ditulis

oleh Ahmad Syauki dengan judul Konsep Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Menurut A.H. Nasution dan ditulis pada tahun 2006. Dalam skripsi ini lebih banyak dibicarakan mengenai hubungan sipil-militer

khususnya dalam pandangan A.H. Nasution. Yang menjadi titik tekan

dalam skripsi ini adalah mengenai fakta sejarah yang ada, di mana militer

sejak dahulu kala dapat memainkan peranan penting dalam setiap

perebutan kekuasaan hingga Orde Baru. Dan Nasution adalah pelaku

sejarah yang turut mengotaki terbentuknya kekuatan politik militer di

Indonesia. Menurut saya skripsi ini belum menyinggung perihal

reformasi internal TNI.

3. Skripsi kedua yang saya ketahui dan menjadikan militer sebagai latar

belakang permasalahan utama adalah Saipul Umam dengan judul skripsi

(25)

Birokrasi Orde Baru pada tahun 2006. Skripsi ini menjadikan salah satu cabang yang dikuasai lembaga TNI secara penuh pada era Orba, yakni

sistem birokrasi. Keterlibatan militer dalam politik yang sudah terlalu

melebihi ambang kewajaran dapat dilihat dalam skripsi ini. Fokus utama

Saipul adalah birokasi Orde Baru yang sudah dirasuki tangan-tangan

militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya

seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung

persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang reformasi internal

TNI.

Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai politik

militer, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup UIN perihal kekuatan

politik militer pada masa orde lama khususnya masih sangat terbatas. Dalam

kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian skripsi yang

dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti dalam

skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara

khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Metodologi Penulisan

Pembahasan tentang Peran Militer Sebagai Kekuatan Politik Pada Masa

Orde Lama menggunakan metode kualitatif atau kepustakaan (library research), pengumpulan datanya adalah melalui dokumentasi, yaitu pengumpulan data dilakukan dengan mencari literatur dalam bentuk buku,

surat kabar, jurnal, majalah dan sebagainya yang bertemakan seputar

(26)

Adapun metode pembahasan yang digunakan, yaitu deskriptif-analisis.

Sebagaimana yang ditunjukkan oleh namanya, pembahasan deskriptif ini

bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai data-data dalam rangka

menguji hipotesa atau menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah

(pokok masalah).13 Sedangkan analisis secara harfiah berarti uraian, namun

dalam hal ini analisis berarti suatu bahasan dengan cara mengolah data,

memberikan interpretasi terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun.

Jadi metode deskriptif-analisis adalah suatu pembahasan yang bertujuan

untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah terkumpul dan

tersusun dengan cara memberikan inpretasi terhadap data tersebut.14

Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun

2007.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam tulisan akan terdiri dari beberapa bab. Bab pertama,

berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan penilitian, methodologi penelitian, serta sistematika

penulisan. Bab dua akan mengupas tentang sejarah berdirinya militer di

Indonesia, yang berisi tentang latar belakang berdirinya militer, fungsi serta

definisi militer, urgensinya pembentukan milter di Indonesia. Bab tiga,

mencoba mengeksplorasi kajian teori miiliter sebagai kekuatan politik dan

13

Sunardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 18 14

(27)

keterlibatannya. Bab empat, mencoba menguraikan tentang peran kekuatan

politik militer di pentas nasional. Bab ini akan mengulas serta melacak

gerakan-gerakan militer, keterlibatan-keterlibatan militer dalam

menyelesaikan konflik yang terjadi pada masa orde lama dan orde baru.

Sedang Bab lima yang merupakan bab terakhir dalam tulisan ini adalah

penutup sebagai konklusi dai keseluruhan analisa skripsi ini, yang berisikan

kesimpulan.

BAB II

LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI INDONESIA

A. Definisi Militer

Di dalam bukunya Amos Perlmutter menyebutkan bahwa organisasi

militer adalah sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan

(28)

organisasi itu. Profesi militer disebut sebagai suatu profesi sukarela karena

setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di dalamnya, namun ia juga

bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk

suatu perkumpulan sukarela melainkan terbatas kepada suatu hirarki

birokrasi.15 Lebih lanjut dapat pula diidentifikasi bahwa dalam diri para

prajurit militer terdapat tiga ciri khas sekaligus, yaitu koorporatis (dalam hal

ekskulusifitas), birokratis (dalam hal hirarki), dan profesional (dalam hal

semangat misi).16 Militer adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk

mengamankan negara atau bangsa dari ancaman luar negeri maupun dalam

negeri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung

tinggi supremasi sipil.17

Ketika kita hendak membahas hubungan sipil-militer, ada baiknya kita

mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan terminologi sipil

dan militer, yang sudah umum diketahui. Banyak pengamat militer

memberikan batasan sipil secara beragam, dalam buku Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, sipil didefinisikan sebagai masyarakat umum, lembaga pemerintahan, swasta, para politisi, dan negarawan. Sipil dibatasi

hanya pada masyarakat politik yang diwakili partai politik. Menurut buku

ini masyarakat politik adalah sebuah area di mana masyarakat bernegara

15

Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h. 3. 16

Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4. 17

(29)

secara khusus mengatur dirinya sendiri dalam konstes politik guna

memperoleh fungsi kontrol atas kekuasaan pemerintah dan aparat negara.18

Sedangkan dalam mendefinisikan militer, Amos perlmutter19

mengatakan bahwa ketika ia menyebut militer, maka yang dimaksud adalah:

1. kebanyakan perwira tinggi senior (di atas tingkat kolonel);

2. perwira yang berorientasi pada lembaga (pada tiap rank);

3. perwira profesional (tiap rank);

4. perwira yang rank, status, kedudukan, dan orientasinya

menghubungkan mereka dengan sektor sipil dalam masalah garis

kebijaksanaan politik.

Melalui definisi di atas, Perlmutter membatasi konsep militer hanya

pada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan

politik, aspirasi, dan memiliki orientasi yang bersifat politik, serta tidak

memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah, atau pertama.

Sedangkan Cohen mendefinisikan militer sebagai personel militer, lembaga

militer, atau hanya para perwira senior. Dan Letjen TNI (Purn) Sayidiman

Suryohadiprojo yang dikutip Connie mendefinisikan militer sebagai

organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara.20

Kecenderungan tentara untuk campur tangan dalam politik dan dalam

pembuatan keputusan dikaitkan dengan peranan-peranan dan orientasi

koorporasi dan birokrasinya. Sebagai sebuah korporasi organisasi militer

18

Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara Dan Postur TNI Ideal (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 41.

19

Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),h. 12. 20

(30)

berusaha melaksanakan pengawasan intern terhadap profesinya dan

melindunginya dari pengawasan politik dari luar, ini dimaksudkan untuk

meningkatkan derajat otonomi organisasi militer. Kaum militer berusaha

mencapai otonomi yang maksimal, dengan konsekuen melancarkan

pengaruh politik, baik melalui lembaga-lembaga dan rezim politik. Sebagai

suatu profesi birokrasi, tentara berkecimpung dalam politik hingga mampu

menjadi partner vital bagi politisi sipil dan birokrat lain di dalam perumusan

dan penerapan kebijaksanaan keamanan nasional.21

B. Berdirinya TNI Di Indonesia

Terdapat semacam kenyataan bahwa TNI adalah tentara yang lahir di

tengah krisis revolusi. Fakta tersebut oleh banyak kalangan dikatakan telah

menjadi sebuah identitas sesungguhnya dari tentara Indonesia, maka

tidaklah terlalu mengherankan jika pada perkembangan selanjutnya watak

Angkatan Bersenjata Indonesia, sekalipun asal-usulnya revolusioner, sangat

dipengaruhi oleh ciri-ciri pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.22

Akar pembentukan militer di Indonesia bukanlah hal yang disengaja,

kita harus menyadari bahwa militer Indonesia adalah tentara yang muncul

secara spontan. Tentara bukanlah dibentuk oleh pemerintah, tidak juga oleh

partai politik maupun pemerintahan kolonial. Artinya tentara membentuk

21

Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4 22

(31)

dirinya sendiri, karena elit politik ragu-ragu untuk membentuk tentara pada

hari-hari awal setelah proklamasi kemerdekaan.23

Militer yang membentuk dirinya sendiri ini mengumpulkan anggotanya

dari berbagai organisasi, sebagian diantaranya telah terlibat politik, pada

hari-hari disekitar proklamasi kemerdekaan. Pada dasarnya, terdapat empat

sumber rekruitmen militer pada saat itu, yaitu:

1. PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air), PETA merupakan

pasukan pembantu yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang

dibentuk oleh Jepang guna melawan kekuatan Sekutu.24

2. KNIL(Koninklijke Nederlandshe Indische Leger), KNIL didirikan sebagai tanggapan langsung terhadap perang Jawa. Selama bagian

akhir abad ke-19 dan awal ke-20 KNIL menjadi suatu kekuatan

utama dalam menegakkan ketenteraman di Jawa dan penaklukan di

daerah-daerah Hindia Belanda lainnya. KNIL adalah tentara yang

dibentuk oleh penjajah Belanda untuk kepentingannya.25

3. Laskar, Laskar merupakan para pemuda yang mendapat pelatihan

militer dari Jepang selama masa pendudukan.26

4. Orang-orang yang tidak berasal dari ketiga kelompok yang telah

disebutkan diatas.

23

Said Salim, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 30.

24

Britton, Profesionalisme, h. 38. 25

Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004

(Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 45. 26

(32)

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17

Agustus 1945, para tentara eks-KNIL dan PETA merupakan dua sumber

utama bagi korps perwira Republik Indonesia.27

Idealnya pembentukan sebuah kekuatan bersenjata disaat-saat awal

kemerdekaan dipandang sangat penting. Karena, angkatan bersenjata

merupakan alat vital yang menentukan tegak rubuhnya serta timbul

tenggelamnya negara. Tetapi hal ini tidak dilakukan pada saat-saat awal

Indonesia merdeka, bahkan oleh A.H. Nasution hal ini dianggap sebagai

suatu kesalahan dan kekeliruan yang akan menjadi sumber pelbagai

kesulitan-kesulitan negara di kemudian hari.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pemerintahan baru tidak

segera membentuk tentara kebangsaan. Pada sidang Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2 tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan

antara lain untuk membentuk Kabinet Presidensil, terdiri dari dua belas

departemen. Salah satu diantaranya ialah Departemen Keamanan Rakyat.

Dalam sidang pada tanggal 19 Agustus 1945 itu, Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk membentuk sebuah

tentara kebangsaan.28 Namun keputusan itu diralat kembali dalam sidang

PPKI ke-3 tanggal 23 Agustus 1945, dan pemerintah hanya mengumumkan

pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).

27

Mabes ABRI, Sukardi S. Hadi Handojo, ed., 30 tahun Angkatan bersenjata republik Indonesia (Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976), hal. 17.

28

(33)

Baru setelah dua bulan Indonesia merdeka dibentuklah organisasi

ketentaraan yang bernama “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR) yang

dikepalai pertama kali oleh Mayor Urip Sumohardjo, dan Supriadi sebagai

menteri keamanan rakyat. Pembentukan TKR ini segera diikuti oleh

perintah mobilisasi TKR yang dikeluarkan oleh KNIP, sebagai organ yang

membawahi TKR, pada tanggal 9 oktober, yaitu untuk lebih menyatukan

bekas-bekas tentara PETA, KNIL, Heiho, Laskar-laskar, serta

barisan-barisan rakyat yang lainnya.29 Dalam masa itu, barisan-barisan pemuda

bersenjata yang bersifat setengah organisasi militer dan setengah organisasi

politik (laskar-laskar), tetap diperbolehkan berdiri tanpa diperintah untuk

melebur diri ke dalam TKR. Karena itu bebarapa lama kemudian, yaitu

tanggal 6 Desember 1945, untuk menghilangkan kesimpang siuran, Markas

Besar TKR mengeluarkan sebuah Maklumat yang antara lain menyatakan,

bahwa disamping tentara resmi (TKR) diperbolehkan juga tetap adanya

laskar-laskar sebab hak dan kewajiban mempertahankan negara bukanlah

monopoli tentara.30

Keberadaan TKR ternyata masih menyimpan rasa kecewa dikalangan

orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan atau latihan kemiliteran

(seperti KNIL atau PETA), karena TKR yang masih bersifat kerakyatan atau

masih mengutamakan sekali keamanan di dalam negeri. Mereka yang

merasa kecewa mengatakan bahwa Indonesia lebih membutuhkan suatu alat

dan organisasi pertahanan nasional untuk menghadapi sekutu, terutama

29

Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,

(Jakarta: Gajah Mada University Press, 1982), h. 24. 30

(34)

menghadapi Belanda yang berusaha menjajah Indonesia kembali. Jadi

menurut mereka TKR seharusnya tidak hanya mengutamakan segi

“keamanan” (polisionil), tetapi tentara yang benar-benar bersifat “pertahanan” (militer).31

Atas prakarsa dari Markas Tinggi TKR (yang dibentuk pada November

1945), pada tanggal 1 Januari 1946, pemerintah mengeluarkan “Penetapan

Pemerintah No. 2/S.D.1946” yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat

menjadi “Tentara Keselamatan Rakyat”,32 dan Kementrian Keamanan

Rakyat menjadi Kementrian Pertahanan. Dua puluh hari kemudian,

keluarlah “Maklumat Pemerintah 26 Januari 1946” yang mengganti nama

Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Di

dalam Maklumat itu antara lain disebutkan, bahwa TRI bersifat kebangsaan

(nasional) dan merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia. Akan

tetapi di dalam maklumat tersebut pemerintah tidak menegaskan dan tidak

menentukan tentang bagaimana status dan kedudukan organisasi bersenjata

di luar TRI, seperti Laskar-laskar dan Barisan Rakyat, yang sejak bulan

Desember 1945 diakui hak hidupnya oleh Markas Tinggi TKR.33 Ditetapkan

bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di Negara Republik

Indonesia dan akan disusun atas dasar militer internasional.34

Pada tanggal 19 Juli 1946 terbentuk Angkatan Laut Republik Indonesia

, yang disingkat dengan ALRI. Kemudian, berdasarkan “Penetapan

31 Muhaimin, Perkembangan Milite, h. 25. 32

A. Hasnan Habib, “Hubungan Sipil Militer Pasca Orde baru dan Prospeknya di Masa Depan.” Progresif, Vol II No. 1, (Jakarta Political Science Forum FISIP UI, 2002), h. 15.

33

Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 17. 34

(35)

Pemerintah No. 6/S.D. 1946” tanggal 9 April, terbentuk TRI bagian udara

yang dikenal dengan nama “Angkatan Udara Republik Indonesia”, disingkat

AURI, dan mengangkat R. Suriadi Surjadarma menjadi kepala stafnya. Dan

untuk menciptakan adanya kesatuan pimpinan militer, pada tanggal 26 Juni

1946, pemerintah (Presiden dengan Menteri Pertahanan) mengangkat

Jendral R. Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik

Indonesia yang meliputi tentara darat, laut, dan udara.35

Pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden mengeluarkan Dekrit guna

membentuk suatu panitia yang dipimpin oleh Presiden sendiri. Panitia

negara ini kemudian bernama “Panitia Pembentukan Organisasi Tentara

Nasional Indonesia” dengan beranggotakan sebanyak 21 orang dari

pemimpin pasukan-pasukan bersenjata, termasuk di dalamnya

pemimpin-pemimpin beberapa laskar yang paling berpengaruh kuat. Setelah beberapa

lama bekerja dengan beberapa kesulitannya, pada tanggal 7 Juni 1947,

keluar sebuah penetapan Presiden yang membentuk satu organisasi tentara,

bernama “Tentara Nasional Indonesia” disingkat TNI,36 sebagai

penyempurnaan dari TRI. Di dalam penetapan itu antara lain diputuskan,

bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947, dengan resmi berdiri Tentara Nasional

Indonesia, dan segenap Angkatan Perang yang ada serta anggota laskar yang

bersenjata, baik yang sudah atau tidak bergabung dalam biro perjuangan di

masukkan serentak ke dalam Tentara Nasional Indonesia.37

35

Muhaimin, Perkembangan Militer., h. 27. 36

Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 51. 37

(36)

Dari perkembangan yang berlangsung sejak poklamasi dan sejak

terbentuknya BKR hingga terbentuknya TNI, dapatlah disimpulkan bahwa

TNI lahir dan berdiri dari tiga elemen pokok atau unsur pokok yang

masing-masing memiliki karakteristik yang berlainan dan bahkan dengan sifat yang

heterogen, yaitu bekas tentara KNIL, PETA, dan Laskar.

Pada masa perang kemerdekaan di tahun 1945-1949 kepemimpinan

serta komando militer Indonesia sangat carut-marut dan simpang siur. Salah

satunya dikarenakan berlakunya sistem parlementer sejak dikeluarkannya

“Maklumat Wakil Presiden No. X, maka jabatan Presiden sebagai panglima

Tertinggi sebenarnya tidak berwenang lagi; tetapi prakteknya panglima

tertinggi itu tetap dianggap sebagai atasannya langsung oleh Panglima

Besar. Menteri Pertahanan yang seharusnya bertanggung jawab dalam

segala hal atas pimpinan militer, pada hakekatnya hanya menjadi pimpinan

administratif belaka; sedangkan de facto atas pimpinan militer berada pada tangan Panglima Besar APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang

merangkap sebagai Panglima Angkatan Darat, beserta Staf Umumnya dan

gabungan kepala stafnya. Ada lagi lembaga yang bernama Dewan

Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang dapat

disamakan sebagai pemegang kekuasaan militer. disamping itu adanya

Dewan Siasat Militer yang diketuai oleh Presiden sendiri menambah

terpencarnya kepemimpinan militer Indonesia di mana duduk panglima tiap

angkatan. 38

38

(37)

Pada masa 10 tahun pertama Indonesia merdeka persoalan tentang

militer selalu timbul, terutama mengenai peran politik yang ingin dimiliki

oleh militer, karena mereka merasa juga perlu ikut berperan aktif dalam

perpolitikan bangsa ini. Tetapi, pola hubungan sipil-militer pada masa-masa

ini kurang harmonis, asumsi mengenai peran militer dalam perpolitikan

harus dibatasi, berkembang berbarengan dengan keinginan pihak militer

yang menginginkan berperan dalam perpolitikan.

C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia

Hubungan sipil militer merupakan tema dan agenda utama yang

dibicarakan oleh para ilmuan politik dan pegiat demokrasi. Tentu saja

dengan tujuan untuk menemukan sebuah konsep yang komprehensif yang

bisa membuat relasi sipil-militer berjalan secara sehat, sehingga

demokratisasi bisa benar-benar tumbuh dan berkembang dengan sehat pula.

Di Indonesia, upaya ini dilakukan pertama-tama dengan penghapusan

dwifungsi atau reposisi TNI.

Tentang profesionalisme militer, Huntington menggunakan analogi

yang sederhana. Jika tanggung jawab pokok dari seorang dokter adalah

kepada pasiennya, dan seorang pengacara kepada kliennya, maka tanggung

jawab pokok seorang perwira militer adalah kepada negara. Seperti dokter

dan pengacara, perwira hanya mengurusi satu segmen dari berbagai kegiatan

kliennya. Ia hanya menjelaskan kepada kliennya mengenai kebutuhan dalam

(38)

bidang ini, menyarankan hal-hal yang dapat memenuhi segala kebutuhan

klien tersebut, dan setelah kliennya tersebut mengambil keputusan,

membantu klien tersebut menerapkan itu semua.

Pada batasan tertentu, perilaku seorang perwira militer terhadap negara

dituntun oleh suatu kode yang tersurat dalam hukum yang setara dengan

norma-norma etika profesional para dokter dan pengacara. Sebagian besar

kode etik perwira diungkapkan dalam kebiasaan, tradisi, dan semangat

profesi yang berkesinambungan. Huntington menambahkan bahwa

profesionalisme tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan, skill, dan

expertise seseorang atau lembaga terhadap pekerjaan yang menjadi

bidangnya saja, tetapi juga memiliki ciri-ciri khusus lain. Salah satu hal

yang bisa disebut sebagai ciri khusus di sini adalah responsibility.39

Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai

sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi

tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam

masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas

militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan

dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan

kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan.

Karena itu, masih dalam pandangan Huntington, militer profesional

mempunyai tiga karakter atau ciri40, yaitu:

39

Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics Civil-Military Relation, (Cambridge: Harvard University Press, 2003), h. 13.

40

(39)

1) Keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi

militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan

keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam

untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan

aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai.

2) Militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus.

Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama

sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung

jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim

sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan

dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin

mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak

mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan

melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional.

3) Militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan

rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional

tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara.

Huntington melihat bahwa intervensi politik militer terjadi sehubungan

dengan adanya instabilitas politik dan kemunduran yang berasal dari

politisasi kekuatan-kekuatan sosial serta tidak adanya partai-partai politik

(40)

apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap militer. Militer

dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal

negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah

supremasi sipil.

Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi,

tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan

hukum rakyat yang tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya

intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak

ada keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam

proses pembuatan kebijakan politik, seperti pembuatan kebijakan politik

luar negeri dan pertahanan.

Militer di negara-negara maju juga ikut dalam mengatasi

masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara maju, seperti

aktivitas civic missions untuk menanggulangi bencana alam atau bencana lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu

amatlah rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah

menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi

darurat. Akhirnya, militer adalah sangat diperlukan dalam sebuah negara.

Negara kuat jika mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa

diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada dalam frame work sebagai

alat negara yang profesional yang tidak turut campur dalam

(41)

Intervensi militer ke wilayah politik akan menghambat proses demokratisasi

dan bahkan membunuh demokrasi itu sendiri.41

Masalah yang menyangkut hubungan sipil dan militer adalah soal yang

muncul sebagai akibat lahirnya profesi perwira sebagai keahlian tersendiri.

Fenomena ini mulai tampil pada awal abad ke-19 di Eropa. Ketika profesi

perwira masih merupakan monopoli para kerabat istana, maka tidak ada

masalah antara pimpinan politik dengan para perwira sebagai pengelola

kekerasan (manage of violence). Tetapi ketika posisi perwira terbuka untuk siapa saja yang memenuhi syarat untuk itu, dan pimpinan tentara terpisah

dari pimpinan politik, maka timbullah soal di sekitar hubungan antara

pimpinan politik dan pimpinan tentara.42

Secara empiris, dalam hubungan sipil-militer ada beberapa pola yang

dapat diamati dari sistem pemerintahan suatu negara. Negara-negara liberal

demokratis, biasanya menganut sistem supremasi sipil. Sedangkan

negara-negara rezim pemerintahan otoriter, biasanya cenderung menggunakan pola

supremasi militer. Pola lainnya adalah gabungan dari kedua pola di atas,

yakni tidak supremasi sipil atau militer (pola campuran) di mana kedua

pihak sepakat dalam kesetaraan dan kesehjateraan untuk menjalankan

pemerintahan. Hubungan sipil-militer dapat juga diamati melalui misi atau

peran militer yang dijalankan, apakah misinya dalam menghadapi ancaman

terhadap kedaulatan negara berorientasi ke dalam atau keluar atau

kedua-duanya. Hubungan sipil-militer dalam masa transisi menuju demokrasi juga

41

Huntington, The Soldier and the State, h. 18. 42

(42)

dapat dilihat dari dua dimensi penting, yaitu kontestasi militer dan hak-hak

istimewa kelembagaan militer.43

Namun sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemikiran tentang hubungan

sipil-militer dengan segala varian-variannya yang ada, memang memiliki

perbedaan-perbedaan, sesuai dengan rezim pemerintahannya atau sistem

politik yang dianut oleh suatu negara. Jika pola yang berkembang adalah

supremasi sipil, maka pada akhirnya dalam model seperti ini akan

memberikan dampak pada peran militer yang hanya sebagai alat negara,

yang mengurusi masalah pertahanan ataupun melebur menjadi sub-ordinasi

pemerintahan sipil. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, dimana supremasi

militer yang lebih menonjol, maka peran militer tidak hanya berfungsi

sebagai alat negara, akan tetapi juga menjadi alat kekuasaan. Pada pola ini,

kekuatan militer akan diarahkan untuk mendominasi semua peran yang ada,

termasuk pula mengambil alih peran-peran yang seharusnya merupakan

ranah orang-orang sipil.

Pada umumnya di negara-negara barat, terdapat model hubungan

sipil-militer yang menekankan “supremasi sipil atas sipil-militer” (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum.44 “supremasi sipil

atas militer” merupakan konsep yang melekat dalam pengertian demokrasi

di mana sebuah masyarakat yang demokratis hanya akan mungkin tumbuh

43

Bakrie, Pertahanan Negara.

44

(43)

jika setiap komponen bangsa, terutama militer karena monopoli formalnya

atas penggunaan kekerasan, tunduk pada institusi kenegaraan yang

dihasilkan secara demokratis beserta kebijakan dan keputusan yang

dikeluarkannya. Model ini juga banyak dianut oleh negara-negara sedang

berkembang yang menerapkan sistem demokrasi liberal.

Konsep tentang “kontrol sipil” lahir “dalam ketakutan abad 18 dan

kebencian terhadap tentara sebagai suatu ancaman terhadap

kebebasan-kebebasan rakyat”.45 Teori-teori yang membahas soal hubungan sipil-militer

ini pada umumnya bertolak dari pengalaman negara-negara demokrasi yang

salah satu cirinya adalah secara tegas menempatkan tentara di bawah

kendali kepemimpinan sipil. Secara khusus mengenai hubungan sipil-militer

di negara industri yang demokratis, Perlmutter yang mengutip Huntington

menyebut dengan istilah objective civilian control (pengendalian sipil objektif) dan subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif).46

Dalam penjelasannya, karakteristik yang terkandung dalam pengertian

objective civilian control (pengendalian sipil objektif) adalah:

1. Profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat

akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka;

2. Sub-ordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik

yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan

militer;

45

Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 2.

46

(44)

3. Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tesebut

atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer;

4. Akibatnya, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan

minimalisasi politik dalam militer.47

Dapat pula dijelaskan bahwa dalam model kontrol sipil objektif ini

biasanya dilakukan dengan cara militarizing the military.48 Hal ini dapat dicapai dengan memperbesar profesionalisme kelompok militer di satu sisi,

dan pada sisi yang lain kekuasaan militer harus mengalami pengurangan

yang sedemikian rupa. Namun yang perlu dipertegas dalam hal ini adalah

bahwa kekuasaan militer tersebut tidak serta-merta hilang sama sekali,

melainkan tetap diberikan tetapi dalam bentuk kekuasaan yang terbatas.

Kekuasaan yang diberikan hanya berfungsi untuk digunakan dalam hal-hal

yang terkait dengan permasalahan profesinya. Apabila ada hal yang berada

di luar kepentingan profesinya, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk

meningkatkan profesionalisme militer, maka secara otomatis kekuasaan

militer harus dipangkas.

Sebaliknya, menurut Salim Said model subjective civilian control adalah keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan berkompetisi dalam

masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan

dan kepentingan politik mereka.49 Lebih lanjut bahwa pengendalian sipil

47

Anwar, Gus Dur Versus Militer, h. 20. 48

P. Anthonius Sitepu, “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan terhadap Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer,” dalam POLITEIA Jurnal Ilmu Politik (Medan: Departemen Ilmu Politik dan Labotarium Politik Fisip Universitas Sumatera Utara, 2006), h. 46.

49

(45)

subjektif lazimnya dilakukan dengan cara memperbesar kekuasaan sipil

(maximing civilian power) dibandingkan dengan kekuasaan militer.50 Pengendalian sipil subjektif (subjective civilian control) merujuk pada upaya politisi sipil untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi mereka

dan membuat mereka lebih dekat kepada para politisasi sipil tersebut

(civilianizing the military), baik politisasi pro maupun anti pemerintah, khususnya di parlemen dan di partai-partai politik. Model kontrol sipil

subjektif ditengarai akan melahirkan pola hubungan sipil dan militer yang

kurang sehat.

Huntington dalam Salim Said menekankan bahwa esensi Objective civilian control adalah pengakuan pada otonomi profesi militer, sedangkan subjective civilian control menolak adanya otonomi profesi militer. Dengan bahasa lain mungkin dapat dikatakan, pada objective civilian control otonomi yang dimiliki tentara menyebabkan mereka menjadi golongan

profesional yang hanya menjalankan tugas negara. sedang pada subjective civilian control, tidak adanya otonomi tentara menjadikan mereka hanya alat bagi penguasa.51

Namun demikian, di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia,

52

dikotomi sipil-militer tersebut dianggap –oleh kalangan militer atau sipil

yang tak mau berkonfrontasi dengan militer– kurang menggambarkan

realitas sesungguhnya, karena dikotomi tersebut hanya akan melahirkan

50

Bakrie, Pertahanan Negara, h. 42. 51

Said, Militer Indonesia dan Politik, h. 275. 52

(46)

konfrontasi.53 Oleh sebab itu, kalangan ini lebih menginginkan terjadinya

“kerja sama”, “hubungan kemitraan” atau “harmoni/keselarasan” antara sipil

dan militer. Dalam model tersebut, dapat saja terjadi militer merupakan “the first among equals” (pertama di antara yang sederajat) dalam hubungannya dengan institusi-institusi sipil. Ini khususnya terjadi apabila mitra sipilnya

lemah. Namun, bila institusi-institusi sipil cukup kuat, maka muncullah

gagasan dari militer untuk melakukan “pembagian peran” (role sharing). Di sini sangat tampak, kalangan militer tidak memandang demokrasi dalam

hubungan vertikal antara sipil dan militer, yang sebenarnya lebih

mengedepankan supremasi sipil atas militer. Pada posisi tersebut, para

tentara lebih senang pada pola hubungan yang setara (equal relationship). Sambil mengkritik teori Huntington yang dianggapnya lebih bertolak

dari pengalaman tentara di negara-negara maju, Alfred Stepan54 juga

memperkenalkan peranan baru tentara. Peranan baru yang terutama terlihat

di negara-negara baru merdeka bagi Stepan menyebabkan lahirnya konsep

“the new profesionalism of internal security and national development”. Contoh yang dikemukakan Stepan untuk mendukung teorinya adalah Brazil

dan Peru. Secara teknis militer tingkat profesionalitas tentara Brazil dan

Peru sangat tinggi, tetapi pada saat yang sama keterlibatan mereka ke dalam

urusan keamanan dalam negeri, mereka akhirnya terseret ke urusan politik.

53

Sitepu, Militer dan Politik, h. 46. 54

(47)

Dalam hubungannya dengan konsep relasi sipil-militer di sebuah sistem

pemerintahan, maka menurut Eric A. Nordlinger, bentuk pemerintahan sipil

dibagi dalam tiga model, yakni: Model Tradisional, Model Liberal, dan

Model Panetrasi atau Serapan.55

1. Model Tradisional adalah model kontrol sipil di negara monarki.

Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh

dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di

Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan

elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini

berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir

sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan

bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka

untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai

kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang

raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan

sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model

ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika

terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan

statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model

ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika

pendidikan dan kemahiran dijadikan parameter utama

55

(48)

dibandingkan status dan kekayaan warisan. bentuk pemerintahan

sipil di mana tidak ada perbedaan yang mencolok antara sipil dan

militer. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini berpengaruh

sekali di bawah sistem pemerintahan kerajaan pada abad ketujuh

belas dan delapan belas. Golongan aristokrat Eropa (elit Eropa) dan

elit militernya lebih mengutamakan kekuasaan, kekayaan, dan

status sebagai seorang sipil. Bentuk pemerintahan sipil tradisional

ini dapat mempertahankan legitimasi pihak sipil yang disebabkan

oleh tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer.

2. Model Liberal. Model ini dengan jelas mendasarkan pada

diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya

bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu,

militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni.

Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh

sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang

diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang

seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer.

Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki

Gambar

Tabel 163Kelompok Sosial Budaya  Sumber Kekuasaan
Gambaran lintasan sejarah di atas memberikan suatu analisis tentang

Referensi

Dokumen terkait

Di era modern ini masih sedikit yang menyelidiki filsafat akhlak, karena mereka telah merasa puas mengambil akhlak dari agama dan tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah

Ada pengaruh yang signifikan antara variabel variabel kepemimpinan, dukungan organisasi, komitmen organisasi, kepuasan kerja terhadap kinerja karyawan.. Kata Kunci :

Setelah beberapa kali tes alat psikologi yang berbeda, dan menunjukkan kecenderungan yang berbeda, baru saya menyadari bahwa tipe kecenderungan saya bekerja,

Berdasarkan mean perbedaan tingkat prokrastinasi akademik menunjukkan nilai mean mahasiswa perempuan adalah 53,38 dan laki-laki 58,98 yaitu pada rentang 47,25 sampai dengan 67,5

Panitia Pengadaan Pekerjaan Jasa Konsultansi adalah satu Panitia yang terdiri dari pegawai-pegawai yang telah memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa

erent phases of the oak development (outer and inner bark, unopened buds, young developing leaves, and blossoms), and (b) volatiles released from oak twigs and branches during

Sementara pendidikan ilmu komunikasi yang berorientasi operasi teknis membutuhkan teori praktis yang biasanya dikem– bangkan para praktisi bidang komunikasi dan metodologi berupa