• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK PENANGKARAN DAN KUALITAS SUARA CUCAK

RAWA (

Pycnonotus zeylanicus

Gmelin, 1789) DI

MEGA BIRD

AND ORCHID FARM

,

BOGOR

DINI AYU LESTARI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Dini Ayu Lestari

(4)

ABSTRAK

DINI AYU LESTARI. Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MAS’UD dan JARWADI BUDI HERNOWO.

Upaya konservasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi cucak rawa (Pcynonotus zeylanicus) di alam melalui penangkaran. Identifikasi teknik penangkaran, ukuran keberhasilan, teknik pelatihan suara dan sebaran kualitas suara perlu dilakukan untuk menilai keberhasilan penangkaran cucak rawa. Penelitian dilakukan di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor pada Maret sampai April 2014. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kuantitaif. Jenis kandang cucak rawa terdiri dari kandang pembesaran, kandang reproduksi, dan inkubator. Pakan yang diberikan pada cucak rawa pisang kepok, pepaya, pur, dan jangkrik. Jenis penyakit yang pernah di derita cucak rawa yakni diare, feses berwarna putih, feses berwarna hijau, flu, dan kaki seperti lumpuh. Persentase dan kriteria keberhasilan penangkaran cucak rawa meliputi daya tetas telur sedang (68.69%), tingkat perkembangbiakan tinggi (77.38%), dan angka kematian rendah (10.34%). Teknik pelatihan suara yang dilakukan oleh pengelola yakni dengan mendekatkan kandang cucak rawa yang ingin dilatih dengan kandang cucak rawa pelatihnya. Sebaran kualitas suara cucak rawa bervariasi.

Kata kunci: cucak rawa, penangkaran

ABSTRACT

DINI AYU LESTARI. Captive Breeding Technique and Song Quality of Straw Headed Bulbul (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) in Mega Bird and Orchid Farm, Bogor. Supervised by BURHANUDDIN MAS’UD and JARWADI BUDI HERNOWO.

The effort which can be established to save straw headed bulbul (Pcynonotus zeylanicus) that has decreased population is ex-situ conservation. Captivation technique, success indicator, voice training techniques performed by manager and distribution sound quality of straw headed bulbul varies need to be identified in order to find out the success rate in captivating straw headed bulbul. This research was conducted in Mega Bird and Orchid Farm, Bogor from March to April 2014. Descriptive and quantitative data analysis was applied in this research. The cage consist of growing cage, reproduction cage, and incubator. Foods given to the bird were banana, papaya, voer and cricket. The types of diseases recorded were diarrhea, white-colored feces, green-colored feces, flu, and paralyzed feet. The criteria and success rate in captivating were consist of medium-scaled egg hatching rate (68.69%), high breed rate (77.38%), and low mortality rate (10.34%). Song training techniques performed was close the straw headed bulbul cage that want to be trained with a cage of straw headed bulbul coach. Distribution sound quality of straw headed bulbul was varies.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DINI AYU LESTARI

DEPARTEMEN SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

TEKNIK PENANGKARAN DAN KUALITAS SUARA CUCAK

RAWA (

Pycnonotus zeylanicus

Gmelin, 1789) DI

MEGA BIRD

(6)
(7)

Judul Skripsi : Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor

Nama : Dini Ayu Lestari

NIM : E34100036

Disetujui oleh

Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS Pembimbing I

Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir H Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah penangkaran, dengan judul Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) di Mega Bird and Orchid Farm, Bogor.

Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena tidak luput dari dukungan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung. Penghargaan dan terimakasih diberikan kepada Bapak Dr Ir Burhanuddin Mas’ud, MS dan Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF sebagai dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati mendukung dan senantiasa memberikan kritik dan saran.

Diucapkan juga terimakasih kepada Bapak Prasetyo Hardiono, Ibu Tri Ruspiyani, Lucky Indah Setyani, Anniza Dian Pertiwi dan keluarga besar yang selalu bermurah hati untuk mendoakan penulis selama menempuh pendidikan dan mencari ilmu pengetahuan. Penghargaan penulis juga sampaikan kepada seluruh staf pengelola penangkaran Mega Bird and Orchid Farm yang telah membantu selama pengumpulan data karya ilmiah ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Nurul Rahayu, SSi, sahabatku 274, ami, dayang, estu, qiqin, dan penghuni asrama putri darmaga (APD), teman-teman KSHE 47 dan pihak-pihak lain yang telah berpartisipasi dalam mensukseskan karya ilmiah ini secara tidak langsung yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bogor, Juli 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Bahan dan Alat 2

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 2

Prosedur Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Teknik Penangkaran 5

Teknik Pelatihan Suara dan Sebaran Kualitas Suara 20

SIMPULAN DAN SARAN 22

Simpulan 22

Saran 23

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jenis data dan metode pengumpulan data 3

2 Analisis kuantitatif pakan 4

3 Analisis faktor keberhasilan penangkaran 5

4 Populasi cucak rawa April 2014 berdasarkan jenis kelamin dan kelas

umur 6

5 Jenis, ukuran, konstruksi, dan fasilitas kandang di MBOF 7 6 Fasilitas kandang cucak rawa di penangkaran MBOF 9

7 Jenis pakan dan minum cucak rawa di MBOF 12

8 Rata-rata jumlah konsumsi dan tingkat palatabilitas 13

9 Kandungan gizi pakan cucak rawa 13

10 Konsumsi pakan cucak rawa di MBOF 14

11 Riwayat penyakit yang pernah diderita cucak rawa di MBOF 15 12 Faktor pembeda cucak rawa jantan dan betina 16

13 Penentuan jenis kelamin cucak rawa di MBOF 16

14 Perbandingan pertumbuhan anakan cucak rawa di MBOF 19 15 Persentase tingkat keberhasilan penangkaran cucak rawa di MBOF

periode tahun 2013 sampai 2014 19

16 Klasifikasi harga jual cucak rawa di MBOF 20

17 Karakteristik pola suara cucak rawa di penangkaran MBOF 21

18 Wave form suara cucak rawa di penangkaran MBOF 22

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur organisasi pengelolaan MBOF 6

2 Suhu dan kelembaban di dalam kandang reproduksi 11

3 Topografi sayap burung 15

4 Pasangan cucak rawa, A) jantan, B) betina 16

5 Sketsa pasangan cucak rawa. A) jantan, B) betina 17

6 Piyik cucak rawa umur lima hari 18

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Burung cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus Gmelin, 1789) tergolong dalam famili Pycnonotidae yang sering disebut merbah atau cucak-cucakan. Menurut Iswantoro (2008) dan Turut (1999) famili ini tergolong dalam burung pengicau yang memiliki suara merdu, sehingga burung ini sangat digemari dan dicari para penggemar burung.

Holmes (1995) dalam BirdLife International (2001) melaporkan bahwa penyebab utama penurunan populasi cucak rawa karena perburuan liar, sehingga cucak rawa telah menjadi satwa peliharaan di Indonesia. Iswantoro (2008) menambahkan bahwa populasi cucak rawa menurun karena rusaknya ekosistem hutan dan habitat alaminya. Dampaknya adalah burung ini menjadi langka di alam dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi kepunahan jika tidak ada upaya pelestarian yang tepat dan berkelanjutan.

Collar et al. (1994) dalam MacKinnon et al. (2010) menggolongkan cucak rawa dalam status rentan. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) versi 3.1 tahun 2014 menyatakan cucak rawa dalam status rentan (vulnerable). Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora (CITES) pada tahun 1998 menyatakan cucak rawa termasuk dalam kategori Appendix II yaitu jenis burung yang perlu diatur dan dibatasi perdagangannya, serta perdagangannya hanya diperbolehkan dari hasil penangkaran (breeding) (Iswantoro 2008). Menurut Sukmantoro et al. (2006) peraturan perundang-undangan di Indonesia belum menetapkan cucak rawa sebagai satwa yang dilindungi. Gunarso et al. (2009) menambahkan bahwa spesies ini tidak dilindungi di Indonesia, namun diperlukan upaya konservasi dan pelarangan perburuan cucak rawa di habitat alaminya.

Upaya konservasi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan populasi cucak rawa di luar habitat alaminya salah satunya melalui konservasi ek-situ. Tujuan upaya konservasi ek-situ melalui penangkaran adalah meningkatkan populasi cucak rawa dengan tetap menjaga kemurnian genetiknya (Mas’ud 2002). Menurut Setio dan Takandjandji (2007) kegiatan penangkaran tidak hanya untuk kegiatan konservasi jenis dan peningkatan populasi, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengembangan wisata.

Kegiatan penangkaran dilandasi oleh Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar yang merupakan bagian dari upaya pemanfaatan jenis flora-fauna liar dengan tujuan agar dapat dimanfaatkan secara lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Setio dan Takandjandji 2007).

(12)

2

kualitas suara cucak rawa di MBOF dinilai penting untuk dilakukan karena tingginya permintaan cucak rawa di MBOF.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi teknik penangkaran, ukuran keberhasilan penangkaran, teknik pelatihan suara dan sebaran kualitas suara cucak rawa di MBOF.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat menjadi rekomendasi dan evaluasi dalam upaya pengembangan penangkaran cucak rawa, khususnya di penangkaran MBOF, Bogor, Jawa Barat.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2014. Penelitian ini dilaksanakan di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) yang berlokasi di Desa Cijujung Tengah, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian adalah cucak rawa yang terdapat di MBOF. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis, kamera, panduan wawancara, termometer dry-wet, timbangan pegas, timbangan manual, penggaris, jangka sorong, recorder dan microphone, program analisis suara burung yakniGold Wave versi 5.6 dan Raven Pro versi 1.4.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

(13)

3

Teknik penangkaran

Pengelolaan penangkaran dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan dan wawancara pengelola. Data yang diambil untuk mengetahui faktor-faktor pengaruh keberhasilan penangkaran cucak rawa adalah :

1. Teknik adapatasi satwa meliputi : proses perlakuan satwa dan lama waktu adaptasi.

2. Sistem perkandangan meliputi : jenis kandang, ukuran dan konstruksi kandang, peralatan dan perlengkapan kandang, perawatan dan sanitasi kandang serta suhu dan kelembaban di dalam kandang.

3. Manajemen pakan meliputi : jenis pakan, jumlah pakan, sumber pakan, waktu pemberian pakan, cara pemberian pakan, dan frekuensi pemberian pakan, jumlah konsumsi, tingkat palatabilitas, konsumsi protein dan konsumsi energi.

4. Manajemen kesehatan dan perawatan meliputi : jenis penyakit yang pernah, sedang, dan sering diderita serta pengobantannya, serta perawatan pasca susut bulu (moulting).

5. Manajemen reproduksi meliputi : sumber dan jumlah bibit, penentuan jenis kelamin, pemilihan bibit/induk dan penjodohan, seks ratio, pengaturan peneluran atau penetasan, pengasuhan atau pembesaran piyik dan anakan. 6. Ukuran keberhasilan penangkaran meliputi persentse daya tetas telur,

tingkat perkembangbiakan, dan persentase angka kematian.

7. Pemanfaatan atau pengelolaan hasil meliputi harga jual, cara penanganan satwa yang akan dijual, dan proses pengiriman.

Teknik pelatihan suara dan sebaran kualitas suara

Data sebaran kualitas suara dikelompokkan kedalam beberapa kategori suara, yakni suara cucak rawa master (pelatih), alam, dan cucak rawa yang telah

Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data

No Data yang diambil

(14)

4

dilatih berkicau di penangkaran (berhasil dan belum berhasil dilatih). Perekaman suara dilakukan pada pagi hari yakni pukul 07.00-09.00 WIB. Hal ini dikarenakan menurut Lundberg dan Atallo (1992) dalam Rusfidra (2004) bahwa puncak aktivitas berkicau pada burung pada umumnya terjadi pagi hari dan cenderung akan menurun pada siang dan sore hari. Suara cucak rawa direkam dengan menggunakan recorder dan microphone kemudian dilakukan proses editing menggunakan program gold wave 5.6 dan program raven pro versi 1.4 untuk mengidentifikasi pola suara. Perekaman pola suara diulang sebanyak 3 kali pada 5 sampel burung, yaitu 1 ekor cucak rawa master (pelatih), 2 ekor cucak rawa berasal dari alam, dan 1 ekor cucak rawa yang telah berhasil dilatih berkicau, dan 1 ekor cucak rawa yang belum berhasil dilatih berkicau. Parameter pola suara yang diamati mengacu penelitian Rusfidra (2004) adalah :

1. Jumlah syllable, yaitu ukuran elemen yang muncul sebagai alur (trace) yang terpisah antara satu suara dengan suara lainnya

2. Frekuensi (Hz), merupakan jumlah getearan per detik dari suatu

syllable

3. Durasi suara (detik), adalah lama tempuh suara pada saat individu burung mempoduksi suara

4. Tempo (syllable/detik) yaitu pengulangan beberapa syllable yang sama per detik

5. Amplitudo (kuat suara) : simpangan terjauh dari syllable.

Prosedur Analisis Data

Data hasil wawancara mengenai data pendukung dan teknik penangkaran dianalisis secara deskriptif. Data mengenai teknik penangkaran dianalisis secara deskriptif meliputi teknik adaptasi, aspek kandang, pakan, kesehatan, reproduksi, dan pemanfaatan hasil serta identifikasi pola suara. Analisis data mengenai pakan juga dilakukan secara kuantitatif (Tabel 2).

Tabel 2 Analisis kuantitatif pakan Jumlah

Konsumsi

Tingkat Paltabilitas Kebutuhan Pakan* JK = B-b

 Kebutuhan kalori (kkal)

(15)

5 Data mengenai ukuran keberhasilan penangkaran juga dianalisis secara kuantitatif menggunakan analisis faktor keberhasilan yang mengacu pada Suprijatna et al. (2008) (Tabel 3).

Data hasil rekaman suara kicauan menggunakan recorder dianalisis dengan program gold wave versi 5.6 untuk proses editing dan program raven pro versi 1.4 untuk mengidentifikasi pola suara cucak rawa. Suara hasil rekaman divisualisasikan dalam bentuk wave form untuk menggambarkan pola kicauan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Penangkaran

Sejarah penangkaran, sumber bibit, organisasi penangkaran

Cucak rawa mulai ditangkarkan di penangkaran MBOF pada tahun 1997. Pemilik penangkaran MBOF pada awalnya membuat penangkaran burung hanya untuk dijadikan hiburan dan hobi, namun karena kecintaannya pada burung-burung berkicau (termasuk cucak rawa) pemilik penangkaran menangkarkan burung-burung tersebut. Tingginya permintaan (demand) cucak rawa di pasaran juga melatarbelakangi dibentuknya penangkaran.

Jumlah cucak rawa yang ditangkarkan pada awalnya berjumlah dua pasang. Cucak rawa tersebut diperoleh dari membeli kepada penangkar burung berkicau dan penangkap burung di alam yang berada di daerah Medan. Cucak rawa tersebut dipelihara dan dijadikan sebagai indukan. Jumlah cucak rawa saat ini mencapai 70 ekor. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelola MBOF dapat mengembangbiakan

cucak rawa dengan baik. Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa suatu penangkaran

dinilai berhasil jika dapat mengembangbiakan satwa yang ditangkarkan. Manajemen pengelolaan penangkaran MBOF dibagi kedalam beberapa spesifikasi pekerjaan yang berbeda-beda (Gambar 1).

Tabel 3 Analisis faktor keberhasilan penangkaran Persentase daya tetas

Keterangan kriteria faktor keberhasilan penangkaran : 0 – 30% = rendah

31 – 70% = sedang

(16)

6

Populasi cucak rawa di penangkaran

Populasi cucak rawa di MBOF pada tahun 2013 berjumlah 73 ekor, sedangkan sampai bulan April 2014 jumlah populasi cucak rawa di MBOF sebanyak 84 ekor, namun setelah dikurangi dengan cucak rawa yang telah diperdagangkan populasinya menjadi 70 ekor (Tabel 4).

Proses adaptasi

Pengelola MBOF tidak menyediakan kandang khusus sebagai kandang karantina untuk burung cucak rawa yang baru didatangkan. Cucak rawa yang baru didatangkan langsung dimasukkan ke dalam kandang reproduksi, kemudian langsung disatukan dengan cucak rawa lainnya yang sedang dalam masa penjodohan. Tujuannya adalah untuk menjodohkan cucak rawa bukan untuk mengkarantina. Perlakuan yang diberikan pengelola pada cucak rawa yang baru didatangkan sama seperti perlakuan pada cucak rawa lainnya.

Tabel 4 Populasi cucak rawa April 2014 berdasarkan jenis kelamin dan umur Kelas umur Jenis kelamin Jumlah

(ekor) Keterangan

Gambar 1 Struktur organisasi pengelolaan MBOF

(17)

7 Sistem perkandangan

Mas’ud (2002) mendefinisikan kandang sebagai habitat buatan yang dibuat menyerupai kondisi alaminya, sehingga cucak rawa dapat beraktivitas seperti di habitat alaminya. Menurut Setio dan Takandjandji (2007) kondisi menyerupai habitat alami cucak rawa didapatkan dengan cara penanaman pohon-pohon pelindung di dalam kandang, tidak ada pengaruh binatang lainnya, tersedia air untuk minum dan mandi burung. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat kandang adalah ukuran dan konstruksi kandang, sarana pendukung di dalam kandang, dan kondisi lingkungan kandang (Mas’ud 2002).

Jenis, ukuran, konstruksi, dan fasilitas kandang

Jenis kandang cucak rawa yang terdapat pada penangkaran MBOF terdiri dari tiga bagian kandang yaitu kandang pembesaran, kandang reproduksi, dan kandang inkubator yang memiliki ukuran, konstruksi, dan fasilitas yang berbeda-beda (Tabel 5).

Kandang pembesaran atau sangkar berfungsi sebagai tempat pemeliharaan anakan sampai dewasa (1 bulan sampai < 2 tahun). Menurut Soemarjoto (2003) ukuran kandang sangkar cucak rawa ideal yakni ± (50 x 50 x 60) cm dengan

(18)

8

bentuk persegi empat yang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum serta tempat bertengger. Fasilitas kandang pembesaran cucak rawa di MBOF diantaranya tempat pakan, minum, dan tempat bertengger/tenggeran, hal ini sesuai dengan pendapat Soemarjoto (2003) (Tabel 6). Tempat pakan dan minum pada kandang pembesaran terbuat dari plastik agar tidak mudah pecah jika terjatuh. Sudrajad (1999) menjelaskan tempat pakan dan minum cucak rawa terbuat dari bahan yang tidak bocor dan tidak mudah pecah, seperti terbuat dari plastik, bambu, almunium. Menurut Turut (1999) bahwa tenggeran cucak rawa sebaiknya berupa cabang atau ranting kayu dengan diameter kurang lebih 2 cm. Berdasarkan hal-hal tersebut maka kandang pembesaran cucak rawa di MBOF dapat dikatakan sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidup cucak rawa. Cucak rawa yang berada pada kandang pembesaran dimandikan pada tempat mandi khusus (kandang pemandian) oleh pengelola setiap pagi hari.

Kandang reproduksi berfungsi sebagai tempat perkawinan indukan dan reproduksi. Kandang reproduksi cucak rawa terletak dibagian dalam dan lebih tertutup jika dibandingkan kandang lainnya. Hal tersebut dikarenakan agar proses reproduksi tidak terganggu oleh aktivitas manusia, gangguan burung lain dan

kebisingan. Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa cucak rawa yang mengerami telurnya harus dihindarkan dari berbagai gangguan karena dapat menyebabkan telur tidak menetas karena induk tidak ingin mengeraminya lagi. Menurut Mas’ud (2002) ukuran minimal kandang reproduksi cucak rawa yakni ± (2 x 1,5 x 2,5) meter. Atap kandang reproduksi di MBOF tidak semuanya tertutupi asbes, terdapat sisi atap yang hanya menggunakan kawat ram agar sirkulasi udara optimal dan cahaya matahari dapat masuk ke dalam kandang. Asbes digunakan sebagai atap karena untuk melindungi cucak rawa ketika hujan dan panas. Lantai kandang reproduksi cucak rawa berupa tanah untuk mempermudah proses dekomposisi/penguraian feses. Mas’ud (2002) dan Soemarjoto (2003) menjelaskan bahwa kandang reproduksi yang ideal mempunyai ventilasi yang baik dengan menggunakan atap kawat ram dan asbes pada sisi lainnya sebagai tempat berlindung, serta lantainya berupa tanah agar kotoran mudah terurai. Kandang reproduksi terdapat dua buah pintu yakni pintu besar pada bagian bawah dan pintu kecil pada bagian tengah. Pintu besar berfungsi untuk mempermudah penangkar dalam membersihkan kandang dan mengganti air minum yang sekaligus air mandi, sedangkan pintu kecil digunakan untuk memberikan pakan setiap harinya.

Kandang reproduksi cucak rawa dilengkapi dnegan fasilitas diantaranya tempat pakan, minum yang sekaligus menjadi tempat mandi, tempat bertengger/tenggeran, tempat bersarang dan pohon palem agar sesuai di habitat alaminya dan membuat sejuk kandang (Tabel 6). Soemarjoto (2003) menjelaskan bahwa kandang reproduksi dilengkapi dengan tempat pakan, minum, mandi, tempat bertengger, pohon, dan sarang. Sarang cucak rawa di MBOF terbuat dari sabut kelapa berdiameter 10 cm dengan kedalaman 2-2,5 cm dan beratapkan fiber. Sarang tersebut berada pada ketinggian sekitar 1,5 meter dari tanah. Menurut

(19)

hal-9 hal tersebut maka kandang reproduksi cucak rawa di MBOF dapat dikatakan sesuai untuk memenuhi kebutuhan reproduksi cucak rawa.

Kandang inkubator terletak di dalam kantor MBOF berfungsi untuk memelihara piyik-piyik (usia 0 bulan dan belum tumbuh bulu serta berwarna merah) dan anakan cucak rawa (usia <1 bulan). Kandang ini hanya memiliki satu pintu besar dengan tiga buah tempat sirkulasi udara/jendela disamping dan diatasnya. Suprijatna dkk (2008) menjelaskan bahwa inkubator yang baik harus dapat mengatur sirkulasi udara dengan lancar. Kandang inkubator MBOF memiliki sirkulasi udara yang baik, bak penampung air sebagai pengatur kelembaban, sarang yang disangga dengan pot bunga, lampu, dan tempat pakan dan minum yang diletakkan diluar kandang (Tabel 6).

Tabel 6 Fasilitas kandang cucak rawa di penangkaran MBOF Jenis

kandang

Gambar fasilitas kandang Keterangan gambar

Kandang pembesaran

A) tempat pakan B) tempat minum

C) tempat bertengger (ranting)

Kandang reproduksi

D) tempat bertengger (kayu) E) tempat minum sekaligus

mandi

F) tempat bersarang (jerami) G) pohon palem

H) tempat pakan

Kandang inkubator

I) tempat pakan

J) tempat minum dan pipet K) pengatur kelembaban L) lampu

(20)

10

Sarang pada kandang inkubator disangga dengan pot agar terhindar dari semut. Menurut Sudrajad (1999) diperlukan penanganan khusus pada kandang inkubator agar piyk dan anakan cucak rawa terhindar dari semut. Lampu lima watt yang terdapat pada kandang inkubator digunakan untuk mengahangatkan tubuh piyik-piyik dan anakan cuak rawa. Suhu kandang inkubator berkisar 25-26oC.

Pengatur kelembaban yang terdapat pada kandang inkubator terdiri dari wadah plastik yang berisi kain basah dan sedikit air. Ventilasi (jendela) terbuat dari kawat ram. Berdasarkn hal-hal tersebut maka kandang inkubator cucak rawa di MBOF dapat dikatakan sesuai untuk memenuhi kebutuhan piyik dan anakan cucak rawa.

Pemeliharaan kandang

Kegiatan pemeliharaan kandang penting untuk dilakukan karena berkaitan dengan prinsip kesejahteraan satwa yakni satwa bebas dari sakit atau penyakit. Kegiatan pemeliharaan kandang bertujuan untuk menghindari timbulnya penyakit akibat dari kandang kotor (Setio dan Takandjanji 2007). Kegiatan pemeliharaan kandang di MBOF meliputi kegiatan pemeliharaan di luar kandang dan di dalam kandang. Kegiatan pemeliharaan di luar kandang meliputi pembersihan sampah dan daun-daun kering yang ada di luar kandang yang dilakukan setiap hari yakni pagi hari, merapikan tanaman dan menanam tanaman untuk memperindah penangkaran yang dilakukan secara insidental.

Kegiatan pemeliharaan di dalam kandang meliputi pembersihan dan penjemuran sarang pada kandang inkubator, pembersihan tempat pakan dan tempat minum, pembersihan kandang dari feses burung, sisa-sisa makanan, serta penggantian dan perbaikan kawat ram yang telah rusak. Kegiatan-kegiatan pemeliharaan di dalam kandang dilakukan secara rutin setiap satu kali sehari yakni pagi hari, namun untuk kegiatan perbaikan kawat ram yang telah rusak dilakukan secara insidental.

Kegiatan pemeliharaan kandang cucak rawa yang dilakukan oleh pengelola dapat dikatakan baik karena persentase angka kematian cucak rawa rendah dan kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh pengelola MBOF sesuai dengan acuan Sudrajad (1999). Menurut Sudrajad (1999) upaya pemeliharaan kandang meliputi perbaikan kawat ram/dinding kandang yang rusak, pembersihan kandang dan fasilitasnya secara rutin. Alat-alat yang digunakan untuk merawat dan membersihkan kandang adalah sapu lidi, pengki, gunting rumput, karung, gerobak sampah, sikat, lap, dan selang air.

Suhu dan kelembaban kandang

Hasil pengamatan suhu di dalam kandang reproduksi cucak rawa di MBOF adalah berkisar antara 26.5-31oC dengan kelembaban 85-92% (Gambar 2).

(21)

11

Menurut William (1999) burung termasuk kedalam hewan berdarah panas (homeotherm) yang suhu didalam tubuhnya tinggi yakni 40-44 oC. William (1999) menjelaskan bahwa suhu 32.2 oC dapat mempengaruhi ovum dan sperma serta menurunkan daya tetas telur, oleh karena itu suhu kandang cucak rawa di MBOF dapat ditoleransi oleh cucak rawa untuk proses reproduksinya. Menurut William (1999) fluktuasi kelembaban yang ekstrim (seperti di daerah sub tropis) akan mempengaruhi reproduksi. Fluktuasi suhu dan kelembaban di kandang reproduksi cucak rawa dapat ditoleransi untuk proses reproduksinya.

Manajemen pakan

Pemberian pakan dan minum

Jenis pakan dan minum cucak rawa di MBOF diklasifikasikan berdasarkan kelas umurnya (Tabel 7). Menurut Turut (1999) cucak rawa di alam memakan jenis buah-buahan yang terdapat di hutan, seperti pisang, pepaya, ceri, dan jambu. Pemberian pakan berupa pisang kepok dan pepaya (pakan utama) yang dilakukan oleh pengelola sesuai dengan kehidupan cucak rawa di alam. Pakan hewani cucak rawa di alam berasal dari siput sungai, kumbang kecil, lebah penggerek, telur

semut merah, rayap, belalang, dan cacing tanah (Mas’ud 2002). Pemberian pakan

berupa jangkrik (pakan tambahan) yang dilakukan oleh pengelola sesuai dengan kehidupan cucak rawa di alam yang membutuhkan protein hewani. Sumber pakan cucak rawa di MBOF berasal dari supplyer khusus yang dipesan oleh pengelola. Cara pemberian buah (pepaya/pisang) dibelah menyerupai bentuk persegi panjang, dan dicuci terlebih dahulu, kemudian bagian atas buahnya di sayat dengan pisau agar mempermudah cucak rawa untuk memakannya.

(22)

12

Jangkrik diberikan dengan cara menghilangkan kaki belakangnya terlebih dahulu. Cara tersebut dilakukan karena kaki belakangnya bergerigi tajam sehingga dapat merusak pita suara cucak rawa (Sudrajad 1999). Cara pemberian pakan pada piyik dan anakan cucak rawa yaitu dengan cara disuapi secara perlahan dengan kayu sedangkan pemberian air minumnya dengan menggunakan pipet kecil kemudian disuapi secara perlahan.

Jumlah konsumsi dan palatabilitas

Jumlah konsumsi adalah jumlah pakan yang dikonsumsi cucak rawa. Tingkat palatabilitas adalah tingkat kesukaan satwa terhadap suatu jenis pakan. Rata-rata jumlah konsumsi terbesar cucak rawa pada kandang pembesaran dan kandang reproduksi adalah pepaya, yakni masing-masing berjumlah 44 g dan 29.5 g (Tabel 8). Hal ini menunjukkan pakan palatabel cucak rawa pada kedua kandang tersebut adalah pepaya, yakni sebesar 33.3% dan 54.63%. Walaupun jangkrik memiliki rata-rata palatabilitas tertinggi pada kedua kandang, namun tidak dapat dibandingkan karena jangkrik merupakan pakan tambahan.

Jumlah konsumi pakan tertinggi cucak rawa di kandang pembesaran dan kandang reproduksi yakni pepaya karena pada saat penelitian suhu rata-rata harian mencapai 28.35 oC, sehingga cucak rawa membutuhkan air dari sumber pakannya. Kadar air dalam pepaya lebih tinggi dibandingkan jenis pakan lainnya. Cucak rawa di kedua kandang tersebut tidak menyukai pur karena pur memiliki serat kasar yang tinggi sehingga sulit dicerna. Serat kasar pada suatu pakan menunjukkan kesukaran pakan tersebut untuk dicerna (Tillman et al. 1989).

Tabel 7 Jenis pakan dan minum cucak rawa di MBOF Klasifikasi

cucak rawa

Usia Jenis pakan Frekuensi

pemberian Dewasa 1 tahun sampai

(23)

13

Analisis Kandungan Gizi

Jenis-jenis pakan cucak rawa di MBOF memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda. Kandungan gizi terbesar pada pepaya yakni kadar air, sedangkan kandungan gizi pada pisang kepok, jangkrik, dan pur adalah energi (Tabel 9). Air tergolong ke dalam gizi yang sangat penting untuk satwa kerena kandungan air dalam tubuh makhluk hidup sebesar 70% (Kateran 2010). Fungsi air diantaranya memperlancar proses metabolisme dan fisiologi tubuh (Tilmen et al. 1789). Menurut Kateran (2010) energi merupakan gizi yang bermanfaat untuk menunjang aktivitas.

Pemberian pakan cucak rawa yang dilakukan oleh pengelola MBOF bervariasi (berupa pepaya, pisang, jangkrik, dan pur) dapat dikatakan baik, karena memiliki berbagai macam kandungan gizi yang beranekaragam jumlahnya,

Tabel 8 Rata-rata jumlah konsumsi dan tingkat palatabilitas

Jenis pakan

Kandang pembesaran/ekor Kandang reproduksi/ekor Rata-rata

Tabel 9 Kandungan gizi pakan cucak rawa Nilai gizi Pepaya(a) Pisang

(2010); (a2) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979) dalam Baga (1999); (b) Aji (1996)

dalam Yunanti (2012); (b1) Depkes RI (1990) dalamPutri (2012); (c) Koswara (2010) dalam

(24)

14

sehingga kebutuhan gizi cucak rawa terpenuhi dan dapat meminimalisir tingkat stres burung dari kebosanan terhadap pakan.

Konsumsi pakan

Konsumsi pakan yang perlu diketahui adalah konsumsi protein kasar (%) dan konsumsi energi (kkal) karena protein dan energi sangat mempengaruhi proses pertumbuhan dan reproduksi (Tabel 10). Mas’ud (2002) melaporkan bahwa pakan untuk cucak rawa dewasa yang tidak reproduksi diperlukan karbohidrat yang tinggi untuk menunjang aktivitasnya dan karena pertumbuhannya sudah maksimal.

Cucak rawa anakan dan piyikan memerlukan asupan protein yang banyak didalam pakan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Kandungan protein yang tinggi pada bahan pakan juga diperlukan oleh cucak rawa yang sedang atau akan bertelur. Protein dibutuhkan satwa untuk meningkatkan produktivitas telur dan meningkatkan daya tetas telur (Kateran 2010). Daya tetas telur di MBOF dikategorikan sedang, sehingga dapat dikatakan konsumsi protein cucak rawa (4.79%) di MBOF cukup tercukupi. Menurut Yunanti (2012) konsumsi energi Jalak Bali di MBOF sebesar 1909.1 kkal, sehingga dapat dikatakan konsumsi energi cucak rawa di MBOF lebih tinggi dari konsumsi Jalak Bali.

Manajemen kesehatan dan perawatan

Jenis penyakit dan penanganannya

Jenis penyakit yang pernah diderita cucak rawa di penangkaran MBOF adalah diare, feses berwarna putih, feses berwarna hijau, flu, dan seperti lumpuh (Tabel 11). Semua jenis penyakit yang pernah diderita oleh cucak rawa di penangkaran MBOF hanya diobati dengan satu macam obat, yakni tonic treasur. Cara pemberian obat pada anakan/piyik cucak rawa yakni dengan dihaluskan terlebih dahulu kemudian dicampurkan kedalam minum, sedangkan pada indukan cucakrawa obat langsung dimasukkan ke dalam paruh cucak rawa setelah dihancurkan terlebih dahulu. Suplemen makanan yang diberikan pada piyik dan anakan cucak rawa, yakni scott’s emulsion dan minyak ikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan piyik dan anakan cucak rawa. Induk cucak rawa diberikan vitamin yakni canary post agar menghasilkan telur yang berkualitas baik.

Tabel 10 Konsumsi pakan cucak rawa di MBOF Jenis pakan Protein kasar (%) Energi (kkal)

Pepaya 0.22 17.49

Pisang kepok 1.68 1558.15

Jangkrik 1.02 8.74

Pur 1.86 420.78

(25)

15

Bentuk perawatan cucak rawa lainnya di MBOF adalah dengan cara memandikannya atau menyediakan tempat untuk mandi. Sudrajad (1999) menjelaskan bahwa cucak rawa pada habitat alaminya di alam memiliki kegemaran untuk mandi, oleh sebab itu pengelola penangkaran harus memandikannya. Pengelola MBOF memandikan cucak rawa yakni pukul 08.00, hal ini sesuai dengan pendapat Sudrajad (1999) bahwa waktu yang tepat memandikan cucak rawa pagi hari, yakni pukul 08.00-10.00.

Perawatan pasca susut bulu

Susut bulu (moulting) pada cucak rawa di MBOF bukan merupakan penyakit, namun peristiwa alami yang terjadi untuk regenerasi bulu sayap kanan atau kirinya. Menurut Karso (1996) moulting pada cucak rawa terjadi pasca perkawinan. Menurut Jarulis et al. (2013) moulting family pycnonotidae terjadi pada bulu sayap primer (Gambar 3).

Cucak rawa yang mengalami susut bulu (moulting) tidak diberikan perlakuan khusus oleh pengelola. Hal ini dikarenakan bahwa bulu yang susut hanya 1-2 buah, tidak seperti burung lainnya yang mengalami penyusutan bulu dalam jumlah yang besar selama kurun waktu 3-4 bulan.

Tabel 11 Riwayat penyakit yang pernah diderita cucak rawa di MBOF Jenis

penyakit Gejala Keterangan

Diare Feses cair, tidak kompak Piyik dan anakan Feses berwarna

putih

Feses cair, encer, berlendir, dan berwarna putih

Piyik,

anakan, indukan Feses berwarna

hijau

Feses cair, encer, dan berwarna hijau

Piyik, anakan, indukan Flu Paruh dan hidungnya berair,

terdengar suara seperi bersin-bersin

Piyik, anakan, indukan

Seperti lumpuh Lemas, tidak dapat berdiri tegak Piyik dan anakan

Gambar 3 Topografi sayap burung

(26)

16

Manajemen Reproduksi

Penentuan jenis kelamin

Pengetahuan mengenai cara membedakan jenis kelamin jantan dan betina cucak rawa sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan perkembangbiakannya. Apabila pengelola salah dalam menentukan jenis kelamin cucak rawa yang akan dijodohkan maka proses reproduksi tidak akan berhasil. morfologi (Tabel 13). Bentuk morfologi yang membedakan cucak rawa jantan dan betina adalah bulu dada (Gambar 4 dan 5).

Tabel 13 Faktor pembeda cucak rawa jantan dan betina

Faktor pembeda Jantan Betina

Suara Sangat keras dan nyaring Tidak keras dan cukup nyaring

Ekor Lebih panjang Lebih pendek

Bulu dada Warna hitam yang tidak jelas pada bulu dadanya

Warna hitam dan putih yang jelas

Gambar 4 Pasangan cucak rawa, A) jantan, B) betina Tabel 12 Penentuan jenis kelamin cucak rawa di MBOF

Faktor pembeda Jantan Betina

Suara Sangat keras dan nyaring Tidak keras dan cukup nyaring

Perilaku Lebih aktif Pendiam

Bulu dada Warna hitam keabu-abuan Warna hitam legam

(27)

17

Pemilihan induk

Pengelola MBOF memilih cucak rawa yang sehat dan tidak cacat sebagai indukan. Sudrajad (1999) mendefinisikan cucak rawa sehat jika badannya besar, bulu tubuhnya bagus, dan nafsu makan tinggi. Karso (1996) menambahkan bahwa cucak rawa sehat dicirikan dengan tidak sedang sakit. Suara tidak menjadi syarat utama dalam pemilihan induk, hanya sebagian kecil saja induk cucak rawa yang bersuara roppel (bagus) dipilih sebagai indukan. Perbandingan seks rasio cucak rawa jantan dan betina di MBOF adalah 1:1 artinya jantan dan betina selalu dipasangkan dalam satu kandang. Total jumlah induk cucak rawa di MBOF adalah 28 pasang dengan komposisi 28 ekor cucak rawa dari alam dan 28 ekor cucak rawa dari penangkaran.

Penjodohan

Mas’ud (2002) menjelaskan terdapat dua tipe penjodohan cucak rawa yakni menjodohkan secara berkelompok di dalam kandang besar dan menjodohkan di dalam kandang soliter. Proses pembentukan pasangan yang dilakukan oleh pengelola adalah dengan cara menjodohkan beberapa pasang cucak rawa di dalam satu kandang, kemudian diamati perlilakunya. Apabila terlihat ada pasangan cucak rawa yang saling tertarik (diketahui apabila dua ekor cucak rawa saling mendekat dan bermain bersama), maka pasangan tersebut dipisahkan dan dimasukkann kedalam kandang reproduksi. Sudrajad (1999) melaporkan bahwa ciri cucak rawa yang telah mendapatkan pasangan adalah terlihat saling berdekatan, terlihat tenang, terbang berkejaran serta terkadang terdengar kicauan dari jantan dan betina secara bergantian, namun apabila pasangan tidak cocok ditandai dengan adanya perkelahian diantara kedua pasangan. Proses penjodohan berlangsung selama 2-3 bulan. Pengelola MBOF melakukan kegiatan penjodohan pada cucak rawa ketika berusia 2-3 tahun.

Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur

Peneluran, pengeraman, dan penetasan telur dilakukan di dalam kandang reproduksi. Sudrajad (1999); Mas’ud (2002) melaporkan bahwa pengeraman telur cucak rawa secara alami yakni 14 hari yang dilakukan oleh jantan dan betina secara bergantian. Mas’ud (2002) menjelaskan bahwa proporsi mengeraman induk betina lebih banyak dibandingkan induk jantan. Telur yang dihasilkan oleh cucak rawa di MBOF sebanyak 2 butir dengan pengeraman selama 14 hari. Piyik cucak

Bulu dada berwarna hitam keabu-abuan

Bulu dada berwarna hitam legam

(28)

18

rawa yang baru menetas dibiarkan berada di dalam kandang reproduksi bersama induknya selama 5-7 hari pasca penetasan, setelah itu dipindahkan ke dalam kandang inkubator untuk mendapatkan perawatan oleh pengelola MBOF. Waktu yang dibutuhkan cucak rawa untuk dapat kembali bertelur adalah 14 hari pasca pengangkatan piyik. Cucak rawa di MBOF mampu bereproduksi sebanyak 8 kali dalam satu tahun. Tingkat reproduksi cucak rawa di MBOF dapat dikatakan tinggi karena menurut Mas’ud (2002) cucak rawa di penangkaran dapat berkembangbiak sebanyak 7 kali dalam satu tahun.

Pembesaran piyik dan anakan cucak rawa

Piyik cucak rawa (Gambar 6) yang telah menetas dalam kandang reproduksi dibiarkan bersama induknya, namun setelah 5-7 hari piyik tersebut dipindahkan ke kandang inkubator. Hal ini dilakukan oleh pengelola agar meminimalisir tingkat kematian, kesehatan piyik dan pertumbuhannya terkontrol, serta induk cucak rawa dapat melakukan reproduksi kembali. Pembesaran piyik cucak rawa seperti ini disebut hand rearing yakni pembesaran piyik cucak rawa dengan memisahkan atau mengambil piyik dari induknya untuk selanjutnya dipelihara dan dibesarkan oleh penangkar secara intensif hingga burung dapat mandiri. Pembesaran piyik pasca telur menetas dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara alami oleh induknya dan dirawat oleh pengelola, namun perawatan piyik oleh pengelola lebih baik karena dapat meminimalisir kematian (Sudrajad 1999).

Anakan cucak rawa (Gambar 7) yang mencapai umur <1 bulan akan dibesarkan dan dirawat di kandang inkubator. Saat anakan cucak rawa berumur 1 bulan akan dipindahkan ke kandang pemeliharaan agar dapat mandiri dan memacu pertumbuhan badannya.

Pertumbuhan piyik cucak rawa

Hasil observasi pertumbuhan piyik selama dua minggu diperoleh bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan antara generasi F1a (kedua induk berasal dari alam) dengan F1b (induk berasal dari alam dan penangkaran) (Tabel 14). Observasi dilakukan hanya dua minggu, karena piyik yang berumur lebih dari dua minggu dijual oleh pengelola.

Gambar 6 Piyik cucak rawa umur lima hari

(29)

19

Generasi F1b memiliki ukuran morfometrik relatif lebih panjang dibandingkan F1a karena cucak rawa asal penangkaran memiliki performa tubuh yang lebih baik dibandingkan cucak rawa berasal dari alam. Hal ini dikarenakan pengelola MBOF melakukan pengaturan pakan dengan baik pada setiap kelas umur cucak rawa, sehingga cucak rawa indukan memiliki sifat-sifat morfologi kuantitatif yang lebih baik.

Warwick et al. (1995) menjelaskan bahwa sifat-sifat morfologi kuantitatif dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan yang berperan mempengaruhi sifat-sifat morfologi kuantitatif diantaranya pengaturan pakan oleh pengelola.

Ukuran keberhasilan penangkaran cucak rawa

Peresentase tingkat keberhasilan penangkaran cucak rawa di MBOF pada tahun 2013 dan 2014 memiliki perbedaan (Tabel 15).

Hasil perhitungan rata-rata daya tetas telur cucak rawa di MBOF sebesar 68.69% yang termasuk kedalam kategori sedang. Faktor yang mempengaruhi daya tetas telur yakni kandungan gizi dalam pakan cucak rawa. Sudrajad (1999) menjelaskan bahwa induk yang tercukupi gizinya akan menghasilkan telur yang berkualitas dan berdaya tetas tinggi. Rata-rata tingkat perkembangbiakan cucak rawa yakni 77.38% dengan kategori tinggi karena kegiatan penjodohan di MBOF berhasil, sehingga jumlah induk cucak rawa bertambah setiap tahunnya.

Tabel 15 Persentase tingkat keberhasilan penangkaran cucak rawa periode tahun 2013 dan 2014

Tahun

Persentase (%) Daya tetas telur Tingkat

perkembangbiakan Angka kematian

2013 58.06 71.43 10.96

2014 79.31 83.33 9.72

Rata-rata 68.69 77.38 10.34

Kriteria Sedang Tinggi Rendah

Tabel 14 Perbandingan pertumbuhan anakan cucak rawa di MBOF Rataan Pengukuran

Morfometrik (mm)

Generasi F1a Generasi F1b Minggu 1 Minggu 2 Minggu 1 Minggu 2

Panjang tubuh total 67 115 67.7 125.7

Panjang sayap 37.4 73 38.5 81.3

Panjang ekor 0.3 30 4.3 37.6

Panjang kepala 27 31.7 27.2 36.8

Panjang paruh 15.1 16.7 15.1 17.4

Tinggi paruh 13.5 14.7 13.1 13.8

(30)

20

Tingkat kematian tinggi terjadi pada piyik cucak rawa karena kondisi tubuhnya masih lemah. Rata-rata angka kematian cucak rawa di MBOF adalah 10.96% yang termasuk kedalam kategori rendah. Hal ini dikarenakan pemantauan piyik di kandang inkubator dilakukan secara intensif untuk mencegah terjadinya kelaparan pada piyik. Berdasarkan hal tersebut maka sistem pembesaran piyik secara hand rearing berhasil karena dapat meminimalisir tingkat kematian pada piyik cucak rawa.

Pemanfaatan atau pengelolaan hasil

Sudrajad (1999) melaporkan bahwa permintaan cucak rawa di pasar burung tinggi. Harga jual cucak rawa yang ditawarkan oleh pengelola MBOF sudah termasuk kandang pemeliharaan, namun belum termasuk biaya pengiriman untuk pembeli diluar Pulau Jawa (Tabel 16).

Harga yang ditawarkan oleh pengelola MBOF sudah termasuk kandang pemeliharaan, namun belum termasuk biaya pengiriman untuk pembeli di luar Pulau Jawa. Pembeli cucak rawa di MBOF beragam, diantaranya berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Pulau Jawa, dan luar Pulau Jawa. Burung yang akan di jual di luar Pulau Jawa dimasukkan ke dalam boks atau kotak yang terbuat dari triplek. Jika pembeli bersal dari Pulau Jawa burung hanya dimasukkan ke dalam kandang pemeliharaan/sangkar dengan ditutupi koran. Pembeli yang berasal dari Pulau Jawa biasanya langsung mengambil burung yang akan dibelinya, sedangkan pembeli yang berasal dari luar Pulau Jawa pengelola menggunakan jasa pengiriman atau kargo.

Teknik Pelatihan Suara dan Sebaran Kualitas Suara

Teknik pelatihan suara yang dilakukan oleh pengelola yakni dengan mendekatkan kandang cucak rawa yang ingin dilatih dengan kandang cucak rawa pelatih (master). Cucak rawa di MBOF sering berkicau pada pagi hari. Sebaran kualitas suara cucak rawa di MBOF bervariasi. Sebaran kualitas suara cucak rawa dikelompokkan menjadi empat kriteria yakni suara cucak rawa pelatih (cucak rawa yang bersuara bagus atau roppel), suara cucak rawa berasal dari alam (cucak rawa berasal dari alam tanpa ada pelatihan suara), suara cucak rawa yang berhasil dilatih (cucak rawa hasil penangkaran yang intensitas pelatihannya lebih tinggi), dan suara cucak rawa yang belum berhasil dilatih (cucak rawa hasil penangkaran yang intensitas pelatihannya rendah). Cucak rawa pelatih memiliki tempo yang cepat dan amplitudo yang tinggi dibandingkan burung lainnya (Tabel 17).

Tabel 16 Klasifikasi harga jual cucak rawa di MBOF Klasifikasi burung Umur Suara Harga (Rp)

Anakan 2

minggu-1 bulan

Belum berkicau

5 000 000 – 8 000 000 Dewasa reproduktif ≥ 3 tahun Belum bagus 15 000 000

Dewasa ≥ 2 tahun Roppel (suara bagus)

(31)

21

Cucak rawa di MBOF memiliki dua tipe suara yakni kwo-kikoek-kuekik-kikeik (suara cucak rawa pelatih) dan kuik-kuik-kukak-kuik (suara cucak rawa berasal dari alam). Grant dan Grant (1997) mejelaskan bahwa sifat nyanyian merupakan sifat yang diwariskan melalui proses imprinting. Menurut Cardoso dan Sabbatini (2004) dalam Rusfidra (2007) proses imprinting merupakan interaksi antara naluri dan pengalaman berlatih (learning).

Menurut Mas’ud (2002) kriteria kualitas suara kicauan yang baik ditentukan oleh keras lunaknya suara, besar kecilnya volume suara, dan kerapatan suara. Keras lunaknya suara diinterpretasikan dengan amplitudo (Rusdin 2007). Cucak rawa yang berhasil dilatih memiliki aplitudo tertinggi ke dua setelah cucak rawa master. Hal ini menunjukkan bahwa cucak rawa yang dilatih akan mempunyai karakteristik suara seperti cucak rawa master. Besarnya amplitudo dipengaruhi oleh stamina atau tenaga dari setiap individu burung Rusdin (2007).

Besar kecilnya volume suara diukur melalui frekuensi yang dihasilkan. Menurut Purnamasari (2006) frekuensi dapat menggambarkan volume suara yang dihasilkan. Semua cucak rawa di MBOF memiliki frekuensi yang sama (0-2250 Hz) hal ini menunjukkan bahwa volume kicauan cucak rawa terdengar nyaring. Besar kecilnya frekuensi yang dihasilkan dipengaruhi oleh kemampuan individu burung dalam mengolah udara pada saat respirasi (inspirasi dan ekspirasi) (Rusdin 2007).

Kerapatan suara digambarkan dengan tempo yang cepat artinya tidak ada jeda atau interval antar elemen suara. Kerapatan suara dikenal dengan istilah

roppel yakni tidak ada jeda pada suara depan, tengah, dan akhir, sehingga terdengar suara yang berulang-ulang (Mas’ud 2002). Turut (1999) menambahkan bahwa suara roppel yakni tidak ada jarak antar elemen suara dan terdengar nyaring.

Cucak rawa pelatih yang bersuara roppel memiliki bentuk wave form yang hampir sama dengan suara cucak rawa yang telah berhasil dilatih (Tabel 18). entuk wave form cucak rawa pelatih tebal dan rapat atau tidak ada interval antar elemen suara yang menunjukkan tempo cepat dan amplitudo tinggi, sedangkan cucak rawa yang telah berhasil dilatih memiliki pola tebal dan terdapat interval antar elemen suara. Hal ini menunjukkan bahwa cucak rawa yang dilatih dengan intensitas pelatihan lebih tinggi akan mempunyai karakteristik suara seperti cucak rawa master (kualitas suaranya bagus atau roppel). Cucak rawa yang berasal dari

(32)

22

alam dan cucak rawa yang belum berhasil dilatih memiliki tampilan wave form

yang hampir sama yakni bentuk wave form tipis yang menandakan bahwa amplitudonya rendah. Cucak rawa yang belum berhasil dilatih belum dapat dibedakan suara depan, tengah, dan belakang. Hal ini menunjukkan bahwa cucak rawa yang belum berhasil dilatih memiliki kualitas suara yang rendah, oleh karena itu perlu mendapatkan pelatihan yang lebih intensif.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa teknik penangkaran cucak rawa di MBOF yang terdiri dari sistem perkandangan, manajemen pakan, manajemen kesehatan dan perawatan, manajemen reproduksi, dan pemanfaatan sudah baik. Hal ini dikarenakan ukuran kandang, fasilitas kandang, dan

(33)

23 manajemen yang telah dilakukan pengelola sesuai untuk memenuhi kehidupan cucak rawa sehingga cucak rawa dapat berkembangbiak. Penangkaran cucak rawa di MBOF dapat dikategorikan cukup berhasil karena persentase daya tetas telur sedang (68.69%), persentase tingkat perkembangbiakan tinggi (77.38%), dan persentase angka kematian rendah (10.34%). Teknik pelatihan suara yang dilakukan oleh pengelola yakni dengan mendekatkan kandang cucak rawa yang ingin dilatih dengan kandang cucak rawa pelatihnya. Sebaran kualitas suara cucak rawa di MBOF bervariasi yakni cucak rawa berkualitas rendah (suara cucak rawa yang belum berhasil dilatih sehingga suara depan, tengah, dan akhir belum dapat dibedakan) hingga cucak rawa berkualitas bagus atau (roppel yakni tidak ada interval antar elemen suara, tempo cepat, dan amplitudo tinggi).

Saran

Saran yang dapat diberikan yakni pengeloala MBOF perlu menyediakan kandang karantina untuk cucak rawa yang baru didatangkan. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai analisis inbreeding (perkawinan antar kerabat dekat) untuk meminimalisir resiko inbreeding, sehingga ukuran keberhasilan penangkaran tidak mengalami penurunan.

DAFTAR PUSTAKA

[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2014 Daftar Populasi Satwa yang Termasuk kedalam Red List of IUCN. [Internet]. [diunduh 2014 Jun 10]. Tersedia pada: http : www.iucnredlist.org.

Baga KM. 1999. Budidaya Pepaya. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

BirdLife International. 2001. Threatened birds of Asia : the BirdLife international Red Data Book. Cambridge (US): BirdLife International,

Grant PR, Grant. 1997. Genetics and the origin of bird species. Proc. Natl. Acad. Sci. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 1]; 94: 7768–7775. Tersedia pada: http://www.pnas.org/content/94/15/7768.full.pdf.

Gunarso P, Setyawati T, Sunderland T, Shackleton C. 2009. Pengelolaan Sumberdaya Hutan di era Desentralisasi Pelajaran yang Dipetik dari Hutan Penelitian Malinau, Kalimantan Timur, Indonesia [Laporan Teknis]. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR) dan International Tropical Timber Organization (ITTO).

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar: Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-unsur Iklim. Bogor (ID): Pustaka Jaya.

(34)

24

Jarulis. Meidian A, Kamilah SN, Alrahmado. 2013. Breeding dan Moulting Burung-burung di Hutan Terfragmen Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu dan Semirata FMIPA Universitas Lampung; 2013; Lampung, Indonesia. Lampung (ID): Universitas Lampung. Hlm 15-28.

Karso SP. 1996. Penangkaran burung cucak rowo. Yogyakarta (ID): Kanisius. Kateran PP. 2010. Kebutuhan gizi ternak unggas di Indonesia. Wartazoa. 20(4):

172-180.

MacKinnon J, Phillipps K, Balen BV. 2010. Seri Panduan Lapang Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan LIPI.

Mas’ud B. 2002. Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis Menangkarkan Cucak Rawa. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka.

Noor RR. 2008. Genetika Ternak. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Purnamasari DK. 2006. Pemberian ekstrak daun saga, sambiloto, pare hutan dan efeknya terhadap suara burung perkutut (Geopelia striata) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Puti AR. 2012. Pengaruh kadar air terhadap tekstur dan warna keripik pisang kepok (Musa paradidiaca formatypica) [skripsi]. Makassar (ID): Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin.

Rusdin M. 2007. Analisis fenotipe, genotipe dan suara ayam pelung di kabupaten cianjur [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rusfidra. 2004. Karakterisasi sifat-sifat fenotipik sebagai strategi awal konservasi

ayam kokok balenggek di Sumatera Barat [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Rusfidra. 2007. Kajian Bioakustik Pada Ayam Kokok Balenggek “Ayam Lokal

Penyanyi” Sumatera Barat dan Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2007. Padang, Indonesia, Padang (ID): Universitas Andalas. hlm.608-614.

Setio P, Takandjandji M. 2007. Konservasi Ek-Situ Burung Endemik Langka Melalui Penangkaran dan Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang, 20 September 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Konservasi Alam. hlm 47–61.

Soemarjoto R. 2003. Mengatasai Permasalahan Burung Berkicau. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Sudrajad. 1999. Cucakrawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010. Studi karakter mutu buah pepaya IPB. J. Hort Indoneisa. 1(1): 17-26.

Sukmantoro W, Irham M, Novarino W, Hasudungan F, Kemp M, Muchtar M. 2006. Daftar Burung Indonesia No. 2. Bogor (ID): Indonesian Ornithologists’ Union.

Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Thohari M. 1987. Gejala inbreeding dalam penangkaran satwa liar. J Media

(35)

25 Tillman DA, Hartadi D, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Turut R. 1999. Sukses Melatih Cucak Rawa. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1984. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta

(ID): Gajah Mada University Press.

Widodo W. 1995. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

(36)

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Indramayu, Jawa Barat pada 20 Januari 1992. Penulis merupakan putri kedua dari Bapak Prasetyo Hardiono dan Ibu Tri Ruspiyani. Pendidikan formal penulis yang telah ditempuh yaitu pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Kedokan Agung III pada periode tahun 1998–2004, kemudian penulis melanjutkan ke pendidikan SMP Negeri 01 Karang Ampel periode tahun 2004–2007, dan melanjutkan ke pendidikan SMA Negeri 7 Cirebon periode tahun 2007–2010. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan masuk dalam mayor departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan.

Penulis aktif ke dalam unit kegiatan mahasiswa IPB Koran Kampus pada tahun 2010-2013. Selama kuliah di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif mengikti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan menjadi anggota Kelompok Pemerhati Tumbuhan (KPF).

Pada tahun 2009, penulis mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Wisata Alam Pangandaran. Pada tahun 2011, penulis mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dan melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Sukabumi.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Teknik Penangkaran dan Kualitas Suara Cucak Rawa (Pycnonotus zeylanicus

Gambar

Gambar 1 Struktur organisasi pengelolaan MBOF
Tabel 6 Fasilitas kandang cucak rawa di penangkaran MBOF
Gambar 2 Suhu dan kelembaban di dalam kandang reproduksi
Tabel 7 Jenis pakan dan minum cucak rawa di MBOF
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah membaca pemberitaan “Pencoblosan Ulang Pilwali Surabaya”, saya cenderung mencari informasi apakah calon pasangan walikota/wakil walikota pilihan anda adalah orang yang

yang telah diteliti yaitu: hasil belajar siswa, aktivitas siswa selama pembelajaran dan aktivitas guru dalam mengajar di kelas terhadap Metode Sosiodrama pada

Pembelajaran kooperatif adalah jenis kerja kelompok termasuk bentuk- bentuk kegiatan yang dibimbing dan diarahkan oleh Guru. Pembelajaran kooperatif mengutamakan

Untuk menampilkan semua sistem informasi pada sistem operasi linux, maka perintahnya adalah $ uname –a , seperti gambar berikut ini.. Menampilkan sistem informasi

[r]

This experience is expected to help in preparing writers in entering the real.

[r]

[r]