• Tidak ada hasil yang ditemukan

Valuasi Terhadap Potensi Tumbuhan Di Cagar Alam Dolok Tinggi Raja Berdasarkan Persepsi Suku Batak Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Valuasi Terhadap Potensi Tumbuhan Di Cagar Alam Dolok Tinggi Raja Berdasarkan Persepsi Suku Batak Simalungun"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

VALUASI TERHADAP POTENSI TUMBUHAN DI CAGAR

ALAM DOLOK TINGGI RAJA BERDASARKAN PERSEPSI

SUKU BATAK SIMALUNGUN

IRMAYANI HASIBUAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Valuasi Terhadap Potensi Tumbuhan di Cagar Alam Dolok Tinggi Raja Berdasarkan Persepsi Suku Batak Simalungun” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

IRMAYANI HASIBUAN. Valuasi terhadap potensi tumbuhan di cagar alam Dolok Tinggi Raja berdasarkan persepsi suku Batak Simalungun. Dibimbing oleh TATIK CHIKMAWATI dan EKO BAROTO WALUYO.

Kawasan cagar alam Dolok Tinggi Raja merupakan salah satu hutan tropis yang memiliki keanekaragaman flora yang tinggi. Suku Batak Simalungun yang menghuni kawasan di sekitar cagar alam DTR menggunakan banyak jenis tumbuhan sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya. Tulisan ini mengulas tentang pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat suku Batak Simalungun dan mengetahui kearifan lokal masyarakat suku Batak Simalungun dalam menjaga ketersediaan tumbuhan tersebut di alam.

Pengumpulan data tumbuhan dengan wawancara berdasarkan informasi dari informan dan survei eksploratif dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2014. Wawancara lanjutan dan pengumpulan data dengan kuisioner dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2015 di desa Dolok Merawa dan desa Nagori Dolok kawasan cagar alam DTR, kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera Utara. Pembuatan spesimen herbarium dan identifikasi di laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cibinong. Untuk standarisasi nama ilmiah botani digunakan referensi dari laman IPNI (International Plant Name Indeks). Analisis data dilaksanakan dengan menghitung nilai LUVI dan ICS.

Tumbuhan bermanfaat berdasarkan persepsi masyarakat suku Batak Simalungun yang ditemukan di dalam cagar alam DTR sebanyak 111 spesies yang termasuk dalam 88 genera dan 51 famili. Famili Euphorbiaceae dan Arecaceae adalah famili yang memiliki jumlah spesies tertinggi. Tumbuhan bermanfaat dikelompokkan dalam 10 kategori yaitu sebagai obat, kosmetik, perabot/mebel, buah-buahan, sayuran, bumbu masakan, campuran minuman, bahan baku cat, ritual, dan kayu bakar.

Hasil valuasi tumbuhan oleh masyarakat suku Batak Simalungun menunjukkan bahwa hajorlang (Daemonorop draco) memiliki nilai LUVI tertinggi dari seluruh kategori pemanfaatan (LUVI=0,263). Hobal putaran (Hoya patela) yang berguna sebagai obat memiliki nilai ICS tertinggi (ICS=8). Tumbuhan bermanfaat yang ditemukan di cagar alam DTR tersebut digunakan melalui berbagai cara yaitu dikonsumsi langsung, dihaluskan, diremas-remas, direndam air hangat, dikukus, direbus, dipanggang, dan digoreng. Bagian tumbuhan yang digunakan adalah akar, batang, air batang, air kulit batang, getah, daun muda, daun, buah, atau seluruh bagian tumbuhan, dan bagian yang paling banyak digunakan adalah bagian daun.

Menarik untuk dijadikan penelitian lebih lanjut bahwa masyarakat Batak Simalungun mulai menanam beberapa spesies asli atau liar yang ditemukan di cagar alam DTR di dekat pemukiman dan ladang. Dengan demikian, status tumbuhan sebagai spesies liar atau tanaman budidaya dapat diketahui secara berkelanjutan. Selain itu, dengan dilakukan proses budidaya dapat mengurangi kegiatan eksploratif di kawasan cagar alam.

(5)

SUMMARY

IRMAYANI HASIBUAN. Valuation of potential plant in Dolok Tinggi Raja natural reserve according to Batak Simalungun tribe perseption. Supervised by TATIK CHIKMAWATI and EKO BAROTO WALUYO.

Dolok Tinggi Raja natural reserve is one of the tropical forests that have high diversity flora. Batak Simalungun tribe that inhabited the area around DTR natural reserve uses many plants species for their life needs. This Thesis explains about the use of plants by the people of Batak Simalungun tribe and determines local knowledge of the tribe in maintaining the sustainability of the plants in nature.

Plant data collection with interviews based on information from informants and survey exploration was conducted in July until August 2014. A continued interview and data collection using questionnaire were conducted in February until March 2015 in Dolok Merawa and Nagori Dolok villages, DTR natural reserve area of Simalungun district, North Sumatra province. Making herbarium specimens and identification were conducted in the laboratory of Plant Taxonomy, Bogor Agricultural University and Research Institute of Indonesia (LIPI), Cibinong. The scientific botanical names used references from IPNI page (International Plant Name Index) for standardization. Data analysis had been calculated by calculating the value of LUVI and ICS.

Useful plants based on public perception of Simalungun Batak tribe found in DTR natural reserve are 111 species classified into 88 genera and 51 families. The Euphorbiaceae and Arecaceae have the highest number spesies of useful plants. The community classified useful plants into 10 categories which are medicine, cosmetic, furnishings/furniture, fruits, vegetables, seasoning, mixed drinks, the raw material of paint, ritual, and firewood.

The results of the valuation of plant species by Batak Simalungun tribe community showed that the highest LUVI value is hajorlang (Daemonorop draco) used for dye (LUVI=0,263), while plant species with the highest ICS value is hobal putaran (Hoya patela) used for medicinal plant (ICS=8). Batak Simalungun community uses plants which found in DRT natural reserve using various ways which are direct consumption, mashing, squeezing, extracted, soaking in warm water, steamed, boiled, baked, and fried. The community used various plant parts such as the root, stems, trunks water, water bark, sap, young leaves, leaves, fruit, or whole parts of the plant, and the most part used is leaves. It is interesting that the community of Batak Simalungun tribe has cultivated the same useful species that grow in DTR natural reserve which were indigenous or wild species closed to their houses. Therefore, the status of each species as a crop or wild species will be known. The cultivation process will reduce the exploration activities by community in natural reserve areas.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

VALUASI TERHADAP POTENSI TUMBUHAN DI CAGAR

ALAM DOLOK TINGGI RAJA BERDASARKAN PERSEPSI

SUKU BATAK SIMALUNGUN

IRMAYANI HASIBUAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini memiliki tema yaitu Valuasi Terhadap Potensi Tumbuhan di Cagar Alam Dolok Tinggi Raja Berdasarkan Persepsi Suku Batak Simalungun yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 – Maret 2015 di kabupaten Simalungun, Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cibinong.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi dan Prof (Ris) Dr Eko Baroto Walujo, MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan nasihat, motivasi, saran, serta bimbingan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada bapak dan ibu pengajar di program studi Biologi Tumbuhan (BOT) atas semua ilmu, dukungan, bimbingan, dan nasihat selama ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Program Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) tahun 2013, Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Departemen Biologi FMIPA IPB atas perizinan penelitian. Kepada Herbarium Bogoriense (BO) atas bantuan identifikasi tumbuhan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua (Indra Saputra Hasibuan dan Sulastri), adik (Siti Handayani Hasibuan dan Muhammad Nikmat Hadi Hasibuan), seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa, dukungan, motivasi serta kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFATAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Cagar Alam 4

Sejarah Suku Batak Simalungun 4

Profil Sosial Budaya Masyarakat Simalungun 5

Keanekaragaman Hayati Indonesia 6

Pemanfaatan Tumbuhan 6

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian 10

Prosedur Penelitian 10

Wawancara, Survei Eksploratif dan Kuisioner 11 Identifikasi Tumbuhan dan Pembuatan Herbarium 11

Analisis Data 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Unit Landskap 16

Nilai Indeks Pengguna Lokal (LUVI) 20

Nilai Indeks Kepentingan Budaya (ICS) 21

Kategori Pengelompokan Sumber Daya Tumbuh-tumbuhanan di

Masing-masing Unit Lanskap 23

Kekayaan dan Keanekargaman Spesies Tumbuhan 25

Kearifan Lokal Masyarakat Suku Batak Simalungun terhadap Cagar

Alam Dolok Tinggi Raja 42

5 SIMPULAN 43

DAFTAR PUSTAKA 44

(12)

DAFTAR TABEL

1 Nilai kualitas kegunaan suatu spesies tumbuhan 14 2 Kategori intensitas penggunaan tumbuhan berguna 14 3 Kategori eksklusivitas atau tingkat kesukaan tumbuhan 15 4 Nilai dan peringkat terhadap unit lanskap berdasarkan persepsi gender 19 5 Nilai LUVI tertinggi pada 10 kategori pemanfaatan tumbuhan 20 6 Nilai PDM landskap terhadap 10 ketegori pemanfaatan oleh suku Batak

Simalungun 24

7 Tumbuhan bermanfaat yang ditemukan di cagar alam DTR dengan lebih dari satu pemanfaatan, macam pemanfaatan, macam pemanfaatan, dan

bagian yang dimanfaatkan 27

8 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan dan macam pemanfaatan 27 9 Sepuluh tumbuhan dengan nilai LUVI tertinggi yang dimanfaatkan

sebagai bahan perabot, mebel dan bahan bangunan

35

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian di cagar alam DTR, kabupaten Simalungun, provinsi

Sumatera Utara, Indonesia. 10

2 Macam lanskap di suku Batak Simalungun A. Huta, B. Juma, C. Kobun sawit, D. Kobun karet, E. Harangan , F. Harangan toras 17 3 Rupa bumi kawasan penelitian. = Huta, = Juma, = Kobun

sawit, = Kobun karet, = Cagar alam DTR, = Jalan, = Batas desa/daerah, = Harangan toras (cagar alam DTR/hutan

lindung) 18

4 Nilai indeks kepentingan budaya (ICS) tumbuhan di cagar alam DTR berdasarkan persepsi suku Batak Simalungun. = ICS desa Dolok

Merawa. = ICS desa Nagori Dolok 21

5 Famili dominan tumbuhan bermanfaat dengan jumlah genus dan spesies tertinggi di cagar alam DTR. =spesies, =genera 25 6 Jumlah spesies tumbuhan pada tiap kategori pemanfaatan. : spesies

tumbuhan yang memiliki satu kategori manfaat, : spesies tumbuhan yang memiliki lebih dari satu kategori manfaat 26 7 Cara penggunaan tumbuhan obat yang ditemukan di cagar alam DTR

oleh masyarakat suku Batak Simalungun 29 8 Buah yang dimanfaatkan. A. Buah Tualang (Kompassia malaccensis),

B. buah Rupas (Arthocarpus rigidus) 36

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah spesies tumbuhan bermanfaat di cagar alam DTR berdasarkan

manfaatnya dan persepsi masyarakat suku Batak Simalungun 50 2 Hasil perhitungan nilai PDM dan LUVI spesies tumbuhan bermanfaat

menurut suku Batak Simalungun yang terdapat cagar alam DTR 54 3 Nilai ICS (Indeks Cultural Significant) tumbuhan di cagar alam DTR

(14)
(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia yang terletak di daerah tropis memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi yang tersebar luas di seluruh wilayahnya, meliputi hutan pada beberapa dataran rendah sampai dataran tinggi. Keanekaragaman flora Indonesia berada pada tingkat biodiversitas tertinggi di dunia setelah Brazil dan Zaire. Tingginya keanekaragaman flora tersebut didukung oleh kondisi lingkungan tempat hidupnya yang dapat menyediakan nutrisi dan keadaan yang nyaman untuk tetap bertahan hidup (Indriyanto 2006).

Kawasan cagar alam Dolok Tinggi Raja (DRT) merupakan salah satu hutan tropis yang memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Kawasan ini terletak di kecamatan Silau Kahean, kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera Utara. Sebagian permukaan cagar alam ini ditutupi oleh pegunungan kapur seluas ± 5 hektar dari luas keseluruhan 167 hektar dan terdapat kawah-kawah kecil tempat keluarnya air panas. Di daerah ini tumbuh beberapa tumbuhan pionir Blumea sp., Canarium sp., Garcinia sp., Kompassia sp., Nepenthes sp., Pteris sp., Pandanus sp., Quercus sp., Shorea sp. dan rerumputan (Hartini dan Puspitaningtyas 2009; BBKSDA SUMUT 2011).

Selain itu, Indonesia dihuni oleh berbagai macam suku bangsa yang tersebar di berbagai daerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 melaporkan Indonesia terdiri dari 1128 suku bangsa. Salah satunya adalah suku Batak Simalungun, dimana suku ini merupakan suku Batak tertua dari semua suku Batak yang ada di provinsi Sumatera Utara. Masyarakat Batak Simalungun menghuni Kawasan cagar alam DTR dan sebagian besar kabupaten Simalungun. Selain suku Batak Simalungun, kawasan cagar alam DTR juga dihuni oleh suku lainnya sebagai suku minoritas seperti suku Karo, Batak Toba, Melayu, Jawa dan masyarakat dari campuran lebih dari satu suku (BBKSDA SUMUT 2011).

(16)

pengobatan, pewarna, bahan perabot, bangunan dan sebagai bahan makanan khas pada acara-acara adat.

Tumbuhan yang dimanfaatkan suatu masyarakat tradisional, biasanya dijaga keberadaan tumbuhan tersebut di alam agar mereka tetap dapat menggunakannya secara terus-menerus. Putusan MK no.35/puu-x/2012 menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara masyarakat dengan flora dan fauna di hutan sekitar masyarakat tersebut tinggal. Keanekaragaman hayati yang dimanfaatkan suatu masyarakat dapat berasal dari habitat ladang, perkebunan, persawahan, maupun hutan terdekat. Hutan yang berada dalam masyarakat hukum adat disebut hutan adat yang penetapannya diatur pada pasal 1-6 Putusan MK no.35/puu-x/2012. Penetapan status sebagai hutan adat harus disepakati oleh pemerintah dan pemangku adat setempat sesuai dengan putusan tersebut dan setiap daerah memiliki tanggung jawab memelihara daerahnya sendiri sesuai dengan pasal 18 UUD 1945 dan UU no 6 tahun 2014.

Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat tradisional tidak hanya untuk kepentingan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan budaya. Setiap suku memiliki kecenderungan dalam pemanfaatan tumbuhan. Tumbuhan yang dimanfaatkan umumnya berasal dari daerah sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, karena masyarakat suku tersebut mudah dalam memperolehnya. Hal tersebut sesuai dengan pasal 28 UUD 1945 tentang hak asasi manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan mengolah sumber daya alam yang tersedia. Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat menyebabkan menurunnya ketersedian tumbuhan tersebut di alam. Penurunan ketersediaan dari tumbuhan secara terus menerus dapat mencapai kepunahan (Widhiono 2009). Hal ini dapat terjadi jika pengetahuan masyarakat tentang pengaturan dan tata cara pemanfaatan tumbuhan kurang. Salah satu contoh, pada beberapa kawasan di Indonesia telah terjadi penurunan Dipterocarpaceae karena kayunya dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan bangunan dan perabot rumah tangga (Purwaningsih 2004; Widhiono 2009). Hal yang sama juga terjadi di daerah kota Cane provinsi Sumatera Utara, sebagian masyarakat menggunakan daun Johannesteijsmannia altiform sebagai atap rumah. Tumbuhan tersebut dimanfaatkan tanpa pembudidayaan, dan sekarang spesies tersebut termasuk spesies langka yang tercatat dalam IUCN Plant Red Data Book (Mogea 1995).

Berbagai masalah yang berkaitan dengan penurunan sumber daya hayati terjadi pada beberapa kawasan konservasi seperti taman nasional, hutan lindung dan cagar alam. Masalah yang terjadi menyebabkan penurunan bahkan kepunahan sumber daya hayati. Hal tersebut menyebabkan perubahan valuasi sumber daya hayati pada daerah-daerah tersebut. Masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan pengawasan pada kegiatan konservasi yang diawali dari pendataan melalui berbagai penelitian agar diketahui fluktuasi yang terjadi pada sumber daya hayati di kawasan konservasi tersebut.

(17)

kepedulian terhadap sumber daya alam yang ada menjadi permasalahan yang harus diperbaiki agar kestabilan ekosistem cagar alam tetap terjaga. Pemanfaatan keanekaragaman hayati bagi kepentingan masyarakat telah ditegaskan pada UUD 1945 pada pasal 33 adalah untuk kemakmuran rakyat. Walaupun demikian, pengaturan dan tata cara pemanfaatannya harus tetap dilakukan demi terwujudnya pemanfaatan yang berkelanjutan dan kelestarian tumbuhannya tetap terjaga.

Penelitian ini memberikan data tentang valuasi tumbuhan bermanfaat yang dapat digunakan untuk kegiatan konservasi tumbuhan. Kegiatan konservasi pada kawasan cagar alam DTR dilakukan demi mempertahankan tingginya nilai keanekaragaman tumbuhan yang ada di dalamnya. Pendataan tumbuhan yang bermanfaat menjadi langkah awal yang baik. Oleh karena itu, penelitian ini sangat mendukung pelaksanaan kegiatan konservasi di kawasan tersebut.

Tujuan Penelitian

(18)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Cagar Alam

Cagar alam adalah suatu kawasan yang sangat penting dalam melindungi makhluk hidup khas yang berada di dalamnya sesuai dengan Undang-undang RI nomor 5 tahun 1990 yang menyatakan bahwa cagar alam/kawasan suaka alam yang mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu perlu dilindungi supaya perkembangannya berlangsung secara alami. Peraturan pemerintah nomor 62 tahun 1998 menyatakan kawasan konservasi selain taman nasional dan cagar alam diberi tanggung jawab kepada pemerintah daerah untuk pengelolaannya. Cagar alam dikelola langsung oleh pemerintah pusat, agar lebih dapat diamati perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (LPHL 1998).

Flora dan fauna di kawasan konservasi seperti cagar alam, hutan lindung, taman nasional dan beberapa kawasan konservasi lainnya sebaiknya dijaga kelestariannya. Jika terjadi kerusakan atau penurunan keanekaragaman hayati pada daerah ini, maka dapat mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut. Cara pengelolaan dan pemeliharaan dari suatu kawasan konservasi sangat mempengaruhi keberadaan dan kepunahan flora fauna di dalamnya (Mariana & Kuatrina 2010).

Kawasan cagar alam DTR adalah salah satu hutan tropis yang memiliki keanekaragaman yang tinggi dengan luas 167 hektar terletak di kecamatan Silau Kahean, kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Ketinggian kawasan ini antara 450 sampai 600 meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan 10 sampai 45%, pH 6,2 sampai di atas 7, curah hujan 2500 sampai 3500 mm per tahun. Berdasarkan klasifikasi Smith dan Ferguson kawasan ini termasuk ke dalam tipe iklim A dengan suhu rata-rata 24 °C sampai 30 °C dan kelembaban 25-66% (Hartini & Puspitaningtyas 2009; BBKSDA SUMUT 2011).

Sejarah Suku Batak Simalungun

Simalungun merupakan suatu kabupaten yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Kabupaten ini dihuni oleh sebagian besar masyarakat suku Batak Simalungun. Daerah ini dulu disebut kampung ‘Nagur’ sebelum berubah menjadi kabupaten. Pemimpin daerah ini bermarga Sinaga. Daerah yang berbatasan dengan wilayah yang dulu disebut kerajaan ‘Silou’ yang juga dipimpin oleh pemimpin yang cukup berkuasa. Daerah ‘Silou’ ini tidak semakmur daerah ‘Nagur’. Oleh karena itu, pemimpin daerah ‘Silou’ berusaha menaklukkan daerah

‘Nagur’ sebagai pelebaran wilayah kekuasaannya. Masyarakat kampung ini

berusaha menyelamatkan diri dengan melarikan diri ke berbagai daerah di luarnya. Sebagian besar masyarakatnya menyelamatkan diri ke daerah yang sekarang

dikenal dengan ‘Pulau Samosir’. Setelah beberapa waktu beberapa orang di antara

(19)

semak-semak dan pohon. Mereka menyebutnya ‘sima-sima nalungun’ yang berarti daerah sunyi sepi. Lama kelamaan orang-orang menyebutnya ‘Simalungun’ (Sembiring 2012).

Profil Sosial Budaya Masyarakat Simalungun

Suku Batak Simalungun menghuni sebagian besar kabupaten Simalungun yang terdiri atas 31 kecamatan di antaranya kecamatan Silau Kahean yang terdiri atas 16 desa (Dolok Merwa, Dolok Saribu Bangun, Nagori Simanabun, Pardomuan Bandar, Pardomuan Tongah, Nagori Dolok, Nagori Tani, Damakitang, Bandar Maruhut, Silou Paribuan, Bah Sarimah, Silou Dunia, Bandar Nagori, Nagori Mariah Buttu, Nagori Sinasih, dan Nagori Buttu Bayu). Selain suku Batak Simalungun, kawasan ini juga dihuni oleh suku lain sebagai suku minoritas yaitu suku Jawa, Melayu, Padang, Batak Mandailing, Batak Toba, Nias dan beberapa masyarakat dari campuran beberapa suku. Agama yang dianut masyarakat di daerah ini adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, sedikit Hindu dan Budha yang merupakan masyarakat pendatang dari daerah luar. Masyarakat di daerah ini hidup rukun dan damai walaupun terdapat perbedaan kebiasaan masing-masing suku dan jumlah masyarakat dari masing-masing suku. Masyarakat yang tinggal di perkampungan/pedesaan biasanya cenderung memanfaatkan tumbuhan yang ada di lingkungan sekitarnya dibandingkan masyarakat yang tinggal di perkotaan (BBKSDA SUMUT 2011).

Penduduk wanita suku Batak Simalungun yang tinggal di pedesaan masih gemar memakan demban yang berisi sirih (Piper sp.), gambir (Uncaria gambir), pinang (Arenga pinanga), kapur yang dikunyah bersamaan dengan menyuntil. Menyuntil adalah menyisipkan sejenis tembakau di antara rahang dan bibir. Kebiasaan ini dipercayai dapat memperkuat gigi dan mencegah kerusakan gigi tetapi dapat merubah warna gigi karena meninggalkan warna merah bata sampai kecoklatan pada gigi dan sulit dibersihkan, bahkan warna tersebut terkadang bersifat permanen. Berdasarkan uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih mengandung flavonoid, tanin dan karotenoid sedangkan ekstrak buah pinang dan gambir mengandung tanin dan flavonoid. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga ekstrak tersebut mengandung zat warna alam yang sangat berpotensi sebagai zat warna (Bogiriani 2010).

(20)

Keanekaragaman Hayati Indonesia

Indonesia memiliki banyak kepulauan dari 17.508 pulau dengan luas tanah 1,9 juta km2 dan laut 3,1 juta km2, memiliki banyak jenis habitat dan menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia. Indonesia memiliki sekitar 28.000 spesies tanaman. Perusakan habitat yang disebabkan berbagai faktor seperti fragmentasi dan masuknya spesies invasif, serta eksploitasi berlebihan telah menyebabkan Indonesia memiliki daftar panjang spesies yang terancam punah. Indonesia melakukan introspeksi dan mencari cara yang dapat digunakan untuk melestarikan keanekaragaman hayati (Astirin 2000; Nahdi 2008; Triyono 2013).

Seluruh bagian dari ekosistem memiliki peran penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, baik tumbuhan penutup tanah, herba, semak sampai tumbuh-tumbuhan berkayu yang menutupi kanopi suatu kawasan. Tumbuhan penutup tanah seperti lumut menjadi perintis suatu vegetasi yang mengalami kerusakan khususnya wilayah konservasi yang harus dipertahankan keseimbangan dan keanekaragamannya. Pada suatu kawasan dengan kemiringan tinggi sangat jarang ditemukan tumbuhan penutup tanah. Hal tersebut karena abrasi yang sangat tinggi pada bagian permukaannya. Abrasi yang terjadi juga dapat mengurangi kesuburan tanah di daerah tersebut karena lapisan senyawa organik yang digunakan tumbuhan sebagai sumber hara menjadi berkurang bahkan hilang (Windadri 2007).

Pemanfaatan Tumbuhan

Tetumbuhan di sekitar lingkungan tempat tinggal memiliki banyak potensi yang kita belum benar-benar pelajari manfaatnya. Tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti makanan, obat, sandang dan diolah menjadi barang-barang yang dapat mempemudah pekerjaan kita. Spesies tumbuhan liar maupun budi daya dapat dimanfaatkan baik berasal dari bagian umbi, batang, daun, bunga maupun buah. Tetumbuhan dipercaya memegang peranan dalam kesehatan masyarakat tradisional yang biasanya lebih sering memanfaatkan berbagai tumbuhan yang ada di lingkungan tempat tinggalnya (Ali-Shtayeh et al. 2008; Murni et al. 2012; Kumar et al. 2015).

Suku di Indonesia mempunyai ciri-ciri dan jati diri budaya yang sudah jelas terdefinisi, sehingga diduga kemungkinan besar persepsi dan konsepsi masyarakat terhadap sumber daya nabati di lingkungannya berbeda-beda, termasuk dalam pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional. Persepsi tersebut sangat bergantung pada ketersedian tumbuhan di sekitar tempat tinggal suku tersebut (Rifai 1998).

(21)

mengandung senyawa yang disebut phyllanthindan dan hypophyllanthin yang berfungsi merangsang regenerasi sel hati. Contoh lain yaitu senyawa calkon yang bersifat anti tumor yang diisolasi dari kulit batang Cryptocarya costata yang dimanfaatkan sebagai obat penyembuhan penyakit tumor; Justica pectoralis berfungsi mengobati flu, sakit kepala dan demam; Mellissa officinalis berfungsi mengobati batuk dan sakit kepala; Averrhoa carambola berfungsi mengobati diabetes; Piper umbelatum berfungsi mengobati penyakit liver; Rosa alba berfungsi mengobati sakit perut dan sakit kepala; Citrus limon berfungsi mengobati flu; Afraegle paniculata, Haematostaphis barteri, Indigoera pulchra, Monanthotaxis sp., Ozoroa insignis, Strychnos innocua, Strychnos spinosa dan Xeroderris stuhlmannii mengobati malaria di Ghana; daun Piper betle, mahkota Phaleria macrocarpa, ekstrak Tinospora crispa, Centela asiatica, Curcuma zedoaria, Zingiber officinale, Apium graveolens, Rapanus sativus, Pyrus malus, Citrus reticulata, gula merah, ekstrak Cammelia sinensis, daun Azandirachta indica, Aglaia odorata, dan Curcuma domestica dimanfaatkan untuk mengatasi kelebihan kolesterol di daerah Jawa Barat; (Zulnely et al. 2004; Alex et al. 2005; Daniel 2006; Permadi 2006; Usman et al. 2005; Chodijah et al. 2007; Wiwaha et al. 2012; Soebiecki 2014; Baliano et al. 2015).

Pemanfaatan tumbuhan obat harus dikelola pemanfaatannya secara rasional agar dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan masa datang. Cara pemanfaatan tumbuhan obat bermacam-macam seperti digunakan segar, direbus, dikeringkan, dimasak dengan minyak, dilayukan atau dibakar. Hal lain yang sangat berpengaruh yaitu kandungan airnya, seperti pada beberapa tumbuhan dari spesies Zingiberaceae. Kandungan air spesies-spesies dari famili ini berpengaruh terhadap kemaksimalan khasiatnya (Alex et al. 2005; Arun et al. 2012; Hidayat & Gusti 2012; Winangsing et al. 2013).

Tumbuhan banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, baik sebagai makanan pokok, sayuran, buah-buahan maupun bumbu masakan. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai makanan pokok di Indonesia biasanya berasal dari kelompok Arecaceae, Convolvulaceae, Euphorbiaceae, dan

Graminae. Pemanfaatan tetumbuhan untuk buah-buahan pada umumnya dimakan

(22)

saat belum matang. Sisi lain yang menjadi pertimbangan terhadap kefavoritan buah adalah tampilan dan tekstur karena tampilan dan tekstur buah mempengaruhi tingkat kegemaran masyarakat untuk mengkonsumsinya (Ali-Shtayeh et al. 2008; Antarlina 2009; Permadi & Murinto 2015).

Bagian tumbuhan tertentu dimanfaatkan sebagai pewarna. Contohnya permukaan kulit buah Daemonorop draco dimanfaatkan sebagai bahan dasar pewarna di Jambi. Pewarna yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Jenis pewarna ini banyak ditemukan di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Contoh lain pewarna alami digunakan oleh suku Marori Men-Gey, kabupaten Merauke yaitu Curcuma domestica, Gmelina sp., Morinda citrifolia, Mangifera indica, Ziziplus sp., Vaccinium sp. dan Zyzygium sp.. Bagian tanaman dimanfaatkan meliputi akar, rimpang, kulit kayu, karet, dan daun. Sebagai contoh, daun Pandanus amayllifolius dimanfaatkan sebagai pewarna makanan seperti kolak, bubur dan beberapa jenis kue dan buah. Tanaman pewarna dimanfaatkan oleh suku Marori Men-Gey sebagai pewarna peralatan tradisional, makanan dan tubuh (Harbelubun et al. 2005; Munawarah et al. 2011; Iik et al. 2012; Mardiahningsih & Resmi 2014).

Tumbuhan penghasil kayu dengan kualitas yang baik biasanya dimanfaatkan sebagai bahan baku perabot, bahan bangunan atau bahan kerajinan (handicrafts). Kelompok tumbuhan dari famili Dipterocarpaceae umumnya menghasilkan kayu dengan kualitas yang baik. Kelompok ini banyak tumbuh dan dimanfaatkan sebagai bahan baku perabot atau bahan baku sandang di pulau Sumatera dan Kalimantan. Spesies-spesies tumbuhan lain yang dimanfaatkan masyarakat dan memiliki kayu berpotensi baik di daerah tropis seperti di Bengkulu dan Jambi adalah Arenga pinata, Durio zibethinus, Aleurites moluccana, Anacolosa sp., Arthocarpus elasticus, Cyathea contaminan, Gigantochloa atter, Ochanostachys sp., Scorodocarpus borneensis dan Strombosida sp.. Bagian lain yang dimanfaatkan sebagai bahan baku perabot dan kerajinan adalah daun tumbuhan, contohnya daun dari kelompok Pandanaceae dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan pada beberapa daerah di Jawa khususnya Jawa Timur dan Tengah (Wardah & Fancisca 2009; Hartini 2011; Rohmach et al. 2012; Purwaningsih 2014).

Beberapa tumbuhan memiliki perbedaan pada pemanfaatannya. Bagian tumbuhan yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (tiang rumah, kusen pintu dan jendela) dan bahan baku berbagai perabot rumah tangga umumnya adalah organ batang dan kulit kayu. Hal tersebut disebabkan bagian batang dan kulit memiliki struktur serat yang kuat, kokoh dan tahan lama seperti selulosa, lignin dan pektin. Nilai kekuatan serat dari tumbuhan tersebut sangat mempengaruhi ketahanannya. Tumbuhan yang banyak menghasilkan serat berasal dari famili Apocynaceae, Arecaceae, Dilleniaceae, Dipterocarpaceae, Fabaceae, Gnetaceae, Malvaceae, Pandanaceae, dan Tiliaceae (Jansen et al. 2003; Yudo & Sukanto 2008; Rugayah & Sunarti 2009).

(23)

Mereka menggunakan kurang lebih 18 spesies rotan sebagai bahan dasar pembuatan keranjang dan tali temali (Rugayah & Sunarti 2009; Jumiati et al. 2012).

(24)

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Pengumpulan data tumbuhan dilakukan melalui wawancara berdasarkan informasi dari informan dan survei eksploratif dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2014. Wawancara lanjutan dan pengumpulan data dengan kuisioner dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2015 di desa Dolok Merawa dan desa Nagori Dolok kawasan cagar alam DTR, kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera Utara (Gambar 1). Cagar alam DTR memiliki letak geografis pada 3o08’ s/d 3o09’ LU dan 98°46’30” s/d 98°48’30” BT (BBKSDA SUMUT 2011). Pembuatan spesimen herbarium, identifikasi dan analisis nilai kegunaan dilaksanakan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cibinong. Untuk standarisasi nama ilimiah botani digunakan referensi dari laman IPNI (International Plant Name Indeks).

Gambar 1 Lokasi penelitian di cagar alam DTR, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatra Utara, Indonesia

Prosedur Penelitian

(25)

Wawancara, Survei Eksploratif dan Kuisioner

Data dikumpulkan dengan teknik penilaian etnobotani partisipatif (Participatory Etnobotanical Apprasial) dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan etik (pendekatan berdasarkan ilmu botani) dan pendekatan emik (pendekatan berdasarkan pengetahuan masyarakat) (Waluyo 2004).

Wawancara semi-terstruktur dilakukan kepada informan yang ditunjuk bersamaan dengan pelaksanaan survei eksploratif. Survei eksplorasi dilakukan dengan mengumpulkan spesimen tumbuhan yang dimanfaatkan suku Batak Simalungun berdasarkan informasi dari masyarakat lokal sebagai informan kunci untuk memandu di lapangan (Martin 1995; Waluyo 2004). Tiga orang informan kunci dipilih dari masing-masing desa yang berasal dari suku Batak Simalungun, mengerti banyak tentang pemanfaatan tumbuhan, fasih dengan bahasa daerah setempat dan bersedia dan mampu membantu di lapangan (Sheil et al. 2004). Survei ekploratif diawali dengan menentukan informan kunci. Berbagai spesies tumbuhan yang memiliki manfaat diambil contoh spesimen buktinya untuk keperluan identifikasi. Selanjutnya spesimen tumbuhan dimasukkan ke dalam lipatan kertas koran, diberi alkohol lalu dimasukkan ke dalam plastik dan ditutup rapat. Masing-masing spesimen tumbuhan dicatat data lapangan yang meliputi nama lokal, ciri penting, kegunaan dan bagian yang dimanfaatkan, didokumentasikan, serta diukur faktor lingkungannya (suhu udara, kelembaban dan intensitas cahaya) dengan alat 4 in 1 dan ketinggian tempat dengan Global Positioning System (GPS).

Pengumpulan data melalui kuisioner dilakukan setelah diperoleh data hasil pengoleksian tumbuhan berdasarkan informasi dari informan sebanyak 3 orang dari masing-masing desa (desa Dolok Merawa dan Nagori Dolok) pada saat eksplorasi. Data yang diperoleh dari survei eksploratif dilakukan pengecekan kembali kepada 10 orang masyarakat (5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan) suku Batak Simalungun lainnya dari masing-maing desa (desa Dolok Merawa dan Nagori Dolok) yang merupakan desa terdekat dari kawasan cagar alam DTR, kabupaten Simalungun, provinsi Sumatera Utara. Data kuantitatif diperoleh dengan distribusi kerikil atau Pebble Distribution Method (PDM). Responden yang dipilih secara purposive sampling berdasarkan jenis kelamin (50% wanita dan 50% laki-laki) diberi kuisioner. Pemilihan demografi adalah jenis kelamin karena umumnya berbeda pengetahuan antara laki-laki yang lebih sering menjelajahi alam sekitar dengan wanita yang biasanya hanya berada pada daerah dekat tempat tinggal (Martin 1995; Sheil et al. 2004).

Identifikasi Tumbuhan dan Pembuatan Herbarium

(26)

Plants Volume 2– Portraits of Tree Families (van Balgooy 1998); dan Plant Resources of South- East Asia (Bring & Escobin 2003).

Setelah diidentifikasi menggunakan buku acuan, nama spesimen diverifikasi berdasarkan IPNI (International Plant Name Index). Setelah diidentifikasi, spesimen dibuat herbarium, baik kering maupun basah. Pembuatan herbarium kering dilakukan dengan cara mengeringkan spesimen yang telah dikoleksi dari lapangan dalam oven, pada suhu 60 °C selama 2 sampai 3 hari. Sebelum dikeringkan, spesimen terlebih dahulu disusun dalam lipatan kertas koran kemudian dijepit pada sasag dengan pembatas karton dan aluminium. Selanjutnya spesimen ditempel pada kertas herbarium (kertas bebas asam) dan dilanjutkan dengan pemberian label. Pembuatan herbarium basah dilakukan dengan perendaman spesimen dengan alkohol 70% di dalam botol dengan ukuran sesuai dengan ukuran spesimen (van Steenis 1988; Rugayah et al. 2004).

Analisis Data

Data kuantitatif dihitung untuk mengetahui kepentingan suatu spesies atau indeks nilai bagi pengguna lokal. Data kuantitatif adalah jumlah keseluruhan dari Gij suatu spesies. merupakan keseluruhan nilai Gji suatu spesies.

RWj = bobot yang diberikan untuk kelas kegunaan yang luas, dimana

Dalam penerapan di lapangan aplikasi rumus LUVI dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menentukan nilai kategori makanan pada beberapa lanskap misalnya kategori bahan makanan mempunyai PDM 11. Nilai kelas kategori berarti 11/100. b. Menentukan peringkat spesies tumbuhan pada kelompok pemanfaatan sebagai

makanan. Misalnya Zea mays pada peringkat 8 dari 100, maka nilainya 8/100. c. Menentukan nilai untuk spesies tumbuhan. Responden memilih 10 spesies

tumbuhan yang disepakati sebagai tumbuhan terpenting pada setiap kategori pemanfaatan, kemudian spesies tersebut diberi nilai. Misalnya Zea mays memperoleh nilai 9 dari 100, karena ada tumbuhan dari kategori bahan makanan yang termasuk pada 10 spesies yang dipilih, maka perbandingan Zea mays adalah 9/(100 yang termasuk + 100 lebih).

d. Perhitungan LUVI secara keseluruhan untuk Zea mays yang termasuk dalam kategori bahan makanan adalah 11/100 x 8/100 x 9/200 = 0,0396.

(27)

indeks kepentingan budaya/ICS (Index Cultural Significant) dengan rumus sebagai berikut:

n

ICS = ∑ (qx ix e) ni

i=1

Untuk spesies tumbuhan yang memiliki kegunaan lebih dari sekali dengan rumus: n

ICS = ∑ (q1 x i1 x e1) n1 + (q2 x i2 x e2) n2+ ... + (qn x in x en) nn

i=1 Keterangan:

ICS : (Index Cultural Significant) Jumlah nilai guna suatu spesies tumbuhan dari kegunaan 1 hingga ke n, dimana n menunjukkan kegunaan terakhir dari suatu spesies

q : nilai kualitas (quality value), 4= obat dan kosmetik; 3= konstruksi dan perabot; 2= Makanan (buah, sayur, bumbu, campuran minuman dan bagian tumbuhan tertentu dimakan langsung); 1= Lain-lain (ritual, pewarna, kayu bakar).

i : nilai intensitas (intensity value), 3= tinggi jika memiliki 7 jumlah pemanfaatan atau lebih; 2= sedang, jika memiliki 4-6 jumlah pemanfaatan; 1= rendah, jika memiliki 3 pemanfaatan atau kurang dari tiga.

e : nilai esklusivitas (exclusivity value), 1= tidak dapat digantikan oleh spesies lain, 0,5 = jika spesies tersebut dapat digantikan oleh spesies lain yang memiliki manfaat yang sama.

Kategori nilai kualitas, intensitas dan eksklusivitas dari spesies- spesies tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat berdasarkan perhitungan yang dikemukakan Turner (1988) dan telah dimodifikasi disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.

(28)

Tabel 1 Nilai kualitas kegunaan suatu spesies tumbuhan

Nilai Deskripsi

4 Obat dan Kosmetik

Obat masalah saluran pencernaaan (maag, sariawan/panas dalam, mencret)

Memar dalam dan penyakit dalam (liver, sakit pinggang, Obat sesak nafas/ dada, batuk/batuk rejan; mengeluarkan lendir tenggorokan

Obat masalah sendi dan otot (pegal-pegal, terkilir, rematik, asam urat)

Obat memperbaiki imunitas/jamu dan masuk angin

Obat penyakit luar/kulit (gatal-gatal, bisul), penghenti darah luka Obat penyakit yang berhubungan dengan saraf (sawan, lumpuh perangsangan saraf kaki)

Menstimulasi saraf kaki balita untuk cepat berjalan Penghalus rambut

3 Konstruksi, perabot dan kerajinan

Bahan tiang rumah, kusen jendela, pintu, palang atap, gagang cangkul

Bahan perabot rumah tangga Bahan kerajinan

2 Makanan (buah, sayur, bumbu, campuran minuman dan bagian tumbuhan tertentu dimakan langsung)

1 Lain-lain (ritual, pewarna, dan kayu bakar)

Ritual pernikahan, tolak bala dan kematian Sebagai jimat

Pewarna cat Kayu bakar

Tabel 2 Kategori intensitas penggunaan tumbuhan berguna

Nilai Deskripsi

3 Tinggi, jika memiliki 7 jumlah pemanfaatan atau lebih 2 Sedang, jika memiliki 4-6 jumlah pemanfaatan

(29)

Tabel 3 Kategori eksklusivitas atau tingkat kesukaan tumbuhan

Nilai Deskripsi

1 Meliputi spesies tumbuhan berguna yang disukai tetapi tidak terdapat spesies lain yang memiliki manfaat yang sama apabila spesies - spesies tersebut tidak ada.

(30)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Unit Lanskap

Hasil interaksi masyarakat suku Batak Simalungun dengan lingkungan tempat mereka tinggal paling tidak menghasilkan lima unit lanskap yaitu huta yang sering disebut kampung (daerah sekitar tempat tinggal penduduk), kobun (kebun yang umumnya berisi tanaman yang lebih homogen), juma (ladang yang umumnya berisi tanaman yang heterogen), harangan (hutan sekunder), dan harangan toras (hutan sekunder tua. Masing-masing unit lanskap memiliki fungsi yang berbeda-beda dan dicirikan oleh tutupan vegetasi (fisiognomi) yang berbeda pula (Gambar 2). Oleh karena itu setiap unit lanskap memiliki struktur dan komposisi yang beda sesuai dengan fungsi masing-masing unit lanskap itu. 1. Huta merupakan perkampungan tempat di mana masyarakat tinggal, termasuk

pekarangan dan rumah tempat tinggal masyarakat. Banyak spesies tumbuhan di pekarangan rumah masyarakat suku Batak Simalungun yang tinggal di dekat cagar alam DTR. Masyarakat suku Batak Simalungun menanam berbagai tumbuhan yang biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari di pekarangan rumahnya seperti buah-buahan, sayuran, bumbu masakan dan tanaman hias. Tanaman buah yang ditanam meliputi papaya (Carica papaya), jambu air (Syzigium aqueum), jambu batu (Psidium guajava), mangga (Mangifera indica), rambutan (Nephelium lappaceum), dan lainnya. Tanaman untuk bumbu masakan yang ditanam adalah hunir (Curcuma domestica), kencur (Kaemferia galaga), laos (Alpinia galaga), serai (Cymbopogon citratus), pandan wangi (Pandanus amarylifolius), siak etek (Capsicum frutescens), tomat (Solanum lycopersicum) dan rimbang (Solanum torvum). Tanaman sayuran yang ditanam yaitu terong (Solanum melongena), daun singkong (Manihot utilisima) dan beberapa spesies tanaman hias yang ditanam di pot maupun langsung di tanah seperti mawar (Rosa sp.), melati (Jasminum sambac), bunga kertas (Bougainvillea sp.), beberapa spesies keladi-keladian (Aglonema sp.), bunga pacar air (Impatiens balsamina), bambu-bambuan (Bambusa sp.) serta beberapa tanaman berbunga lainnya. Tanah di pekarangan rumah mereka biasanya lebih kering dan daerahnya terbuka dari pada lanskap lainnya (juma, kobun, harangan dan harangan toras).

(31)

menggunakan pupuk untuk mengembalikan kesuburan tanah pada lanskap juma.

Gambar 2 Macam lanskap di suku Batak Simalungun. A. Huta, B. Juma, C. Kobun sawit, D. Kobun karet, E. Harangan , F. Harangan toras

3. Kobun merupakan daerah perladangan yang biasanya tidak jauh dari huta. Kobun memiliki jarak 100-10.000 meter dari huta. Pada lanskap kobun biasanya ditanam tanaman yang lebih homogen pada daerah yang agak luas. Spesies-spesies tumbuhan yang biasanya ditanam di kobun adalah karet (Havea braziliensis), kopi (Coffea sp.), sawit (Elaeis guineensis), ubi kayu A

E

D B

C

(32)

(Manihot utilisima), siak (Capsicum annum), siak etek (Capsicum frutescens), jage (Zingiber officinale), kencur (Kaemferia galaga), dan terong (Solanum melongena).

4. Harangan merupakan kawasan yang masyarakat suku Batak Simalungun mengangapnya sebagai hutan sekunder muda. Hutan sekunder muda yang dimaksud adalah kawasan hutan yang masih sering dilewati masyarakat dengan jalan setapak dan beberapa tumbuhan dan hewannya masih dimanfaatkan masyarakat untuk pemenuhan berbagai kebutuhan mereka. Kawasan ini bersebelahan dengan kobun dan juma masyarakat. Tumbuhan yang tumbuh di dalamnya sangat beranekaragam dan cukup rimbun sehingga tidak semua bagian dari lantai hutan dapat memperoleh cahaya matahari langsung. Cahaya matahari yang dapat masuk lantai hutan biasanya 40-70 %. Pada lanskap ini ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuhan berkayu, liana, semak, herba, paku-pakuan dan berbagai spesies lumut. Kesuburan tanah pada lanskap ini juga tinggi. Hal tersebut ditandai dengan baiknya pertumbuhan vegetasi di dalamnnya.

5. Harangan toras merupakan kawasan hutan yang hampir tidak dijamah manusia. Hutan primer dan bahkan sekunder tuapun dimasukkan dalam ketegori harangan toras. Pada lanskap ini lantai hutan biasanya sangat padat dengan serasah dan tumbuh beberapa spesies tumbuhan berkayu yang besar serta beberapa liana. Cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan juga lebih sedikit dari pada harangan. Pohon-pohon pada lanskap ini tumbuh menjulang tinggi dengan diameter yang cukup besar.

Hampir seluruh kawasan cagar alam DTR termasuk dalam lanskap harangan, hanya 0,05 % yang merupakan lanskap harangan toras. Lanskap yang dikategorikan di atas memiliki posisi yang tersebar di kecamatan Silau Kahean khususnya wilayah yang berbatasan dengan cagar alam DTR (Gambar 3).

Gambar 3 Rupa bumi kawasan penelitian. = Huta, = Juma, = Kobun sawit, =Kobun karet, = Cagar alam DTR, = Jalan, =Batas daerah, = Harangan toras

(33)

dengan mempertimbangkan kesuburan tanah tersebut untuk ditanami. Perbedaan kawasan yang dimanfaatkan menjadi juma biasanya lebih datar dibandingkan yang dijadikan kobun. Pertimbangan tersebut juga berkaitan dengan intensitas pemeliharaan tumbuhan yang ditanam di kawasan tersebut. Masyarakat umumnya lebih sering mengunjungi juma dibanding kobun. Hal tersebut juga berkaitan tumbuhan yang ditanam di juma lebih membutuhkan pemeliharaan dibanding di kobun. Pertimbangan penentuan pada lanskap lain yaitu harangan yang merupakan hutan sekunder yang bisanya tidak diurus pemeliharaannya secara rutin oleh masyarakat. Lanskap juma dan kobun yang tidak diurus lebih dari 30 tahun juga dapat menjadi harangan, sedangkan jika tidak dipelihara lebih dari 80 tahun dapat dikategorikan ke dalam lanskap harangan toras yang sering disebut juga dengan hutan sekunder tua.

Hasil analisis persepsi masyarakat Batak Simalungun terhadap kecendrungan kepentingan spesies tumbuhan berguna yang ada di lima unit lanskap pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai dan peringkat terhadap unit lanskap berdasarkan persepsi gender

No. Lanskap Rata-rata

Keterangan: PDM (L): Nilai PDM untuk laki-laki; PDM (P): Nilai PDM untuk perempuan

Persepsi dan kecendrungan masyarakat desa Dolok Merawa memandang bahwa harangan merupakan unit lanskap yang paling penting (PDM=40,9) yang merupakan sumber kebutuhan sehari-hari. Kemudian berturut-urut juma (PDM=23), kobun (PDM=15,8), huta (PDM=14,1), dan harangan toras (PDM=6). Seterusnya dalam persepsi gender yang membedakan adalah bahwa pada laki-laki unit lanskap kobun lebih penting dari pada huta. Sebaliknya dalam perspektif perempuan huta lebih penting dari kobun. Hal ini mengindikasikan bahwa kecendrungan wanita lebih banyak tinggal di pemukiman dibanding laki-laki yang harus bertanggung jawab di kobun.

(34)

persepsi masyarakat laki-laki dibanding perempuan. Sebaliknya unit lanskap kobun menurut persepsi masyarakat perempuan lebih penting dari pada menurut persepsi masyarakat laki-laki.

Nilai Indeks Pengguna Lokal (LUVI)

Tumbuhan bermanfaat berdasarkan persepsi suku Batak Simalungun yang ditemukan dari cagar alam DTR memiliki spesies dengan nilai LUVI tertinggi pada masing-masing kategori pemanfaatan (Tabel 5).

Tabel 5 Nilai LUVI tertinggi pada 10 kategori pemanfaatan tumbuhan

No Pemanfaatan Nama Tumbuhan Nilai LUVI (DM) Nilai LUVI (ND)

10 Kayu bakar tambul-tambul

(Macaranga triloba)

0,150 0,125 0,175 0,058 0,050 0,067

Keterangan: DM: desa Dolok Merawa; ND: desa Nagori Dolok

(35)

baik laki-laki maupun perempuan pada masyarakat desa Dolok Merawa maupun masyarakat desa Nagori Dolok.

Nilai Indeks Kepentingan Budaya (ICS)

Untuk mengetahui nilai guna setiap spesies tumbuhan berguna bagi masyarakat, hasil pengukuran terhadap indeks kepentingan budaya (ICS) berdasarkan nilai kualitas, intensitas dan eksklusivitas mengindikasikan bahwa masyarakat suku Batak Simalungun memiliki nilai kepentingan setiap spesies tumbuhan berbeda-beda, seperti terdapat pada lampiran 3. Bedasarkan hal tersebut berikut merupakan 10 tumbuhan bermanfaat dengan nilai ICS tertinggi dari seluruh kategori pemanfaatan yang ditemukan di cagar alam DTR (Gambar 4):

Gambar 4 Nilai indeks kepentingan budaya (ICS) tumbuhan di cagar alam DTR berdasarkan persepsi suku Batak Simalungun. = ICS desa Dolok Merawa, = ICS desa Nagori Dolok

Menurut persepsi suku Batak Simalungun, hobal putaran (Hoya patela) merupakan spesies tumbuhan yang memiliki nilai ICS tertinggi yaitu 8 (masyarakat desa Dolok Merawa) dan 6 (masyarakat desa Nagori Dolok). Perbedaan nilai ini disebabkan oleh kecenderungan masyarakat desa Dolok Merawa menggunakan spesies ini lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat desa Nagori Dolok (Gambar 4). Getah dari hobal putaran (Hoya patela) dimanfaatkan untuk mengobati sakit maag dan daunnya dimanfaatkan sebagai campuran jamu penambah stamina.

Spesies yang memiliki nilai tinggi berikutnya adalah pirawas (Cinnamomum porrectum) dengan nilai ICS yaitu 5,5 berdasarkan persepsi masyarakat desa Dolok Merawa maupun desa Nagori Dolok. Spesies berikutnya memiliki nilai ICS sebesar 4 yaitu sirip-rip (Tetrastigma leucostaphyllum), balik angin (Aglaia argentea), anderasi (Villebrunea rubescens), temu kunci (Gomphostemma microcalyx), dan bulung kertas (Ampelocissus cinnamomea).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Nilai ICS (Indeks Cultural Significant)

(36)

Tumbuhan yang memiliki nilai ICS tertinggi yang ditemukan di cagar alam DTR berdasarkan persepsi masyarakat suku Batak Simalungun adalah kategori tumbuhan obat. Tumbuhan bermanfaat menurut persepsi suku Batak Simalungun yang ditemukan di kawasan ini didominasi oleh spesies - spesies tumbuhan obat.

Nilai ICS tertinggi berdasarkan persepsi masyarakat suku Batak Simalungun di desa Dolok Merawa adalah hobal putaran (Hoya patela) dengan nilai ICS=8 yang termasuk pada kategori manfaat sebagai obat (Lampiran 3). Spesies ini memiliki dua manfaat pada kategori obat yaitu bagian daunnya dimanfaatkan untuk campuran jamu yang berkhasiat menambah stamina tubuh. Bagian lain dari tumbuhan ini yang dimanfaatkan adalah getahnya yang dapat memperbaiki dinding lambung yang rusak. Senyawa aktif yang terkandung dalam tetumbuhan tersebut berguna memperbaiki luka pada lambung dan sebagai anti bakteri yang masuk ke lambung bersama makanan. Zaeer et al. (2010) menyatakan beberapa spesies dari famili Apocynaceae mengandung senyawa anti bakteri.

Pada kategori lain bahan kosmetik, sakka dairi (Elatostemma sesquifolium) dengan nilai ICS=2 menjadi tumbuhan satu-satunya yang ditemukan di cagar alam DTR. Sakka dairi pada jaman dulu dimanfaatkan masyarakat tradisional suku Batak Simalungun sebagai bahan penghalus rambut. Air perasan daun tumbuhan ini bermanfaat sama seperti kondisioner sampo pada saat ini. Pada kategori perabot/mebel/bahan kerajinan, rupas (Arthocarpus rigidus) dengan nilai ICS=3 yang masih berkerabat dekat dengan nangka (Arthocarpus integer) memiliki batang yang cukup kuat dan sering dimanfaatkan masyarakat untuk bahan dasar perabot, kusen jendela, pintu maupun bagian lain dari bangunan. Selain pada kategori perabot, pada kategori buah adalah rupas (Arthocarpus rigidus) juga sangat digemari dengan nilai ICS=1, dimana buahnya dapat langsung dimakan. Untuk kategori sayuran adalah toppu hayu (Claoxylon longifolium) yang ditemukan di harangan menjadi spesies yang favorit oleh suku Batak Simalungun dengan nilai ICS=1. Masyarakat menggunakan pucuk mudanya sebagai bahan utama sayur. Toppu hayu (Claoxylon longifolium) dimasak bersama dengan santan atau ditumis. Kategori lainnya yang favorit adalah bumbu masakan, yang menjadi spesies terfavorit adalah asam gelugur (Garcinia athoviridis) dengan nilai ICS=1, buahnya dimanfaatkan sebagai penambah rasa asam dan penyegar masakan. Pada kategori campuran minuman/gula dikenal spesies tumbuhan yang memiliki khasiat yang sangat mirip dengan teh yaitu pizor holing (Psycotria laseluensis) dengan nilai ICS=1, daunnya diracik seperti pembuatan teh dan biasanya diseduh dalam keadaan telah dikeringkan.

(37)

dengan nilai ICS=1, dipercaya memiliki kualitas sangat baik sebagai kayu bakar dan tidak menghasilkan asap yang mengepul saat dibakar.

Nilai ICS tertinggi berdasarkan persepsi masyarakat suku Batak Simalungun di desa Nagori Dolok pada umumnya sama dengan persepsi masyarakat desa Dolok merawa kecuali, beberapa tumbuhan pada kategori manfaat sebagai obat yaitu hobal putaran (Hoya patela) dengan nilai ICS=6; kategori perabot yaitu pirawas (Cinnamomum porrectum) dengan nilai ICS=1,5, dimana batang dari pirawas ini memiliki rongga ditengahnya sehingga sering dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan gendang pada alat musik tradisional suku Batak. Kategori pemanfaatan tumbuhan lainnya adalah sebagai campuran minuman/gula, yang memiliki nilai ICS tertinggi adalah anduppar (Aglaia sp.) dengan nilai ICS=2.

Kategori Pengelompokan Sumber Daya Tumbuh-tumbuhan di Masing-masing Unit Lanskap

Masyarakat suku Batak Simalungun yang menghuni kawasan sekitar cagar alam DTR mengelompokkan 10 kategori pemanfaatan tumbuhan yang ditemukan di cagar alam DTR. Masyarakat suku Batak Simalungun tersebut memiliki perbedaan kecenderungan berbeda dalam memanfaatkan tumbuhan dari masing-masing lanskap. Pada masyarakat desa Dolok Merawa perbedaan tersebut ditampilkan dengan perbedaan nilai PDM yang mereka berikan (Tabel 6).

Berdasarkan nilai PDM (Tabel 6), menurut persepsi masyarakat desa Dolok Merawa diketahui beberapa pemanfaatan memiliki nilai PDM yang termasuk pada kategori tinggi. Pada lanskap harangan yang termasuk kategori tinggi yaitu pemanfaatan tumbuhan sebagai campuran minuman, obat, pewarna, bahan kerajinan/bahan perabot, bahan kosmetik, ritual, sedangkan menurut persepsi masyarakat desa Nagori Dolok, pada lanskap harangan pemanfaatan tumbuhan yang termasuk kategori tinggi adalah sebagai obat, campuran minuman, dan bahan kerajinan/mebel/perabot. Menurut masyarakat desa Dolok Merawa pada lanskap harangan toras yang termasuk kategori tinggi adalah pemanfaatan tumbuhan sebagai pewarna, bahan baku mebel/bahan perabot/bahan kerajinan, obat sedangkan menurut masyarakat Nagori Dolok tumbuhan yang termasuk pada kategori tinggi adalah sebagai bahan kerajinan, bahan campuran minuman, dan obat.

(38)

Tabel 6 Nilai PDM lanskap terhadap 10 kategori pemanfaatan oleh suku Batak Simalungun

Lanskap

No. Pemanfaatan Harangan Harangan

Toras Juma Kebun Huta

Menurut persepsi masyarakat desa Dolok Merawa pada lanskap huta, kategori pemanfaatan tumbuhan yang termasuk dalam kategori tertinggi yaitu sebagai bahan ritual, sedangkan menurut persepsi masyarakat desa Nagori Dolok yang termasuk kategori tinggi yaitu pemanfaatan tumbuhan sebagai sayuran, bahan ritual, bumbu masakan, dan bahan kosmetik. Sedikit perbedaan penggunaan tumbuhan dalam pemenuhan kebutuhan biasa terjadi antara desa yang bersebelahan. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh interaksi masyarakat dengan tumbuhan dan ketersediaan tumbuhan tersebut di alam.

(39)

Masyarakat desa Nagori Dolok yang cenderung memanfaatkan tumbuhan dari lanskap huta (kampung), dimana letak desa ini lebih jauh dari cagar alam DTR. Hal tersebut yang menjadi alasan masyarakat memanfaatkan tumbuhan dari sekitar tempat tinggal mereka (lanskap huta). Selain jarak desa ini yng lebih jauh, jalan yang dapat digunakan menuju cagar alam DTR juga mengalami kerusakan dan sulit untuk dilalui.

Kekayaan dan Keanekaragaman Spesies Tumbuhan

Tumbuhan bermanfaat berdasarkan jumlah spesies tertinggi yang ditemukan di kawasan cagar alam DTR disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan persepsi masyarakat suku Batak Simalungun, tumbuhan bermanfaat yang ditemukan di dalam cagar alam DTR sebanyak 111 spesies yang termasuk dalam 88 genera dan 51 famili (Lampiran 1). Berikut merupakan famili tumbuhan bermanfaat yang memiliki jumlah spesies tertinggi:

Gambar 5 Famili dominan tumbuhan bermanfaat dengan jumlah genus dan spesies tertinggi di cagar alam DTR. = spesies, = genera

Famili Euphorbiacea dan Arecaceae merupakan famili tumbuhan bermanfaat yang meliliki jumlah spesies terbanyak yaitu masing-masing delapan spesies, tetapi jumlah genera kedua famili berbeda (Gambar 5). Jumlah spesies terbanyak berikutnya adalah berasal dari famili Moraceae (4 genera, 6 spesies), Rubiacea (5 genera, 5 spesies), Apocynaceae (3 genera, 5 spesies). Cagar alam DTR terletak di daerah tropis, sesuai dengan Richards (1981) yang menyatakan vegetasi dasar yang sering dijumpai pada hutan hujan tropis adalah spesies-spesies dari famili Araceae, Begoniaceae, Commelinaceae, Orchidaceae, Urticaceae, Zingiberaceae, serta tumbuhan menjalar seperti genus Calamus, Drypetes, Smilax, dan Tectaria. Selain itu, cagar alam DTR juga termasuk hutan sekunder. Berdasarkan penelitian sebelumnya, hutan sekunder seperti Taman Nasional Batang Gadis umumnya didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan Euphorbiaceae (Kartawinata 2004; Kuswanda & Bambang 2008).

Tumbuhan bermanfaat di cagar alam DTR berdasarkan persepsi suku Batak Simalungun terdiri dari 8 spesies bermanfaat sebagai buah-buahan, 6 spesies

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Euphorbiaceae Arecaceae Moraceae Rubiaceae Apocynaceae

(40)

bermanfaat sebagai sayuran, 6 spesies bermanfaat sebagai bumbu masakan, 5 spesies bermanfaat sebagai campuran minuman dan gula, 62 spesies bermanfaat sebagai obat, 34 spesies bermanfaat sebagai bahan bangunan/perabot/ bahan kerajinan, 1 spesies bermanfaat sebagai pewarna, 1 spesies bermanfaat sebagai bahan kosmetik, 2 spesies bermanfaat sebagai bahan ritual, dan 1 spesies yang dimanfaatkan sebagai kayu bakar bermutu baik (Gambar 6). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa di dalam cagar alam DTR, tumbuhan dengan spesies terbanyak adalah berpotensi sebagai obat-obatan dan bahan perabot/bangunan (Lampiran 1).

Gambar 6 Jumlah spesies tumbuhan pada tiap kategori pemanfaatan. : spesies tumbuhan yang memiliki satu kategori manfaat, : spesies tumbuhan yang memiliki lebih dari satu kategori manfaat

Spesies-spesies tumbuhan bermanfaat yang ditemukan di cagar alam DTR dan dikategorikan masyarakat dari dua desa yaitu Dolok Merawa dan Nagori Dolok hampir sama secara keseluruhan, tetapi terdapat persepsi yang sedikit berbeda pada kegemaran dalam memanfaatkan beberapa tumbuhan dan penyebutan nama lokal. Sebagai contoh, tumbuhan dengan nama daerah sabal oleh masyarakat desa Dolok Merwa sedangkan masyarakat desa Nagori Dolok mengenal tumbuhan tersebut dengan nama daerah sabal bolon, dimana menunjuk pada spesies yang sama yaitu Cinnamomum iners. Spesies lain yang juga memiliki penyebutan nama daerah yang berbeda adalah Pterospermum heterophyllum, masyarakat desa Dolok Merawa mengenal dengan nama bayur sedangkan masyarakat Nagori Dolok mengenal dengan nama daerah teluk bayur. Hal lain yang berbeda adalah manfaat pada spesies tertentu sedikit berbeda, contohnya masyarakat desa Dolok Merawa mengetahui manfaat dari temu ring-ring (Gomphostemma microcalyx) sebagai obat sesak dan terkilir sedangkan masyarakat desa Nagori Dolok menyatakan manfaatnya sebagai obat campak.

Satu spesies tumbuhan bermanfaat menurut masyarakat suku Batak Simalungun tidak hanya memiliki satu manfaat, tetapi beberapa spesies tumbuhan memiliki lebih dari satu manfaat (Tabel 7).

(41)

Tabel 7 Tumbuhan bermanfaat yang ditemukan di cagar alam DTR dengan lebih dari satu pemanfaatan, macam pemanfaatan, dan bagian yang dimanfaatkan

Nama spesies Pemanfaatan Bagian yang dimanfaatkan

Bagot puli (Arenga obtusifolia) sayur daun muda

bahan minuman air tangkai batang

Hapolsit (Helicia robusta); hotting batu (Elatostachys verrucosa);

Ingol-ingol (Angiopteris arecta) obat sariawan air kikisan kulit batang

tiang gubuk batang

Pahu bolon (Alantodia aspera) sayur daun

obat sariawan air kikisan kulit batang

Pirawas (Cinnamomum porrectum) mengeluarkan lendir

di tenggorokan

ekstrak daun

gendang batang

Toppu hayu (Claoxylon longifolium) sayur daun muda

minyak urut seluruh bagian

Sihala paku (Alpinia galaga) bumbu masakan buah

obat batuk batang

Siputar balik (Leptaspis urceolata) obat lumpuh seluruh bagian

zimat seluruh bagian

Pada beberapa tumbuhan, pemanfaatan tidak selalu hanya menggunakan bagian tertentu saja, tetapi terdapat tumbuhan yang dimanfaatkan seluruh bagiannya seperti siputar balik (Leptaspis urceolata) dan toppu hayu (Claoxylon longifolium) (Tabel 7). Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan pada setiap spesies berbeda-beda. Bagian yang dimanfaatkan dari tumbuhan yang ditemukan di cagar alam DTR oleh masyarakat suku Batak Simalungun juga berbeda-beda (Tabel 8) Tabel 8 Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan dan macam pemanfaatan

Bagian tumbuhan Pemanfaatan

Keterangan: A: obat; B: mebel; C: kosmetik; D: buah; E: sayur; F: bumbu masakan; G: campuran minuman; H: ritual; I: pewarna; J: kayu bakar

(42)

bagian batang (33 spesies). Untuk pemanfaatan sebagai sayuran, bagian daun muda yang lebih banyak dimanfaatkan masyarakat (4 spesies). Pemanfaatan bagian dari tubuh tumbuhan bergantung pada tujuan penggunaannya karena setiap bagian tumbuhan dapat memiliki fungsi dan struktur yang berbeda-beda.

Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Obat

Berbagai tumbuhan digunakan masyarakat suku Batak Simalungun dalam mengobati penyakit yang diderita, sebagai contoh untuk mengobati nyeri pada gigi mereka menggunyah demban. Demban terdiri dari beberapa tumbuhan yaitu Piper betle, Uncaria gambir, Areca catechu dan ditambahkan sedikit kapur makan. Tetumbuhan yang mereka gunakan untuk bahan ramuan obat-obatan diperoleh dari huta, juma maupun harangan. Lanskap lain yaitu kobun dan harangan toras jarang mereka gunakan sebagai sumber perolehan tumbuhan obat.

Tumbuhan obat di cagar alam DTR yang dimanfaatkan oleh suku Batak Simalungun sebanyak 63 spesies. Menurut persepsi masyarakat desa Dolok Merawa 10 spesies tumbuhan obat yang sangat digemari dan ditemukan di cagar alam DTR adalah sabal (Cinnamomum iners), anderasi (Villebrunea rubescens), ban-ban (Marantochloa leucanta), boru duma (Urtica sp.), siputar balik (Leptaspis urcoelata), sukkit (Molineria latifolia), sandulpak (Triandica cochinchinensis), tanduk marbuah (Phyllanthus niruri), si raja landong (Ficus deltoidea) dan sibau lam-lam (Saprosma ternatuum). Secara umum, persepsi masyarakat desa Dolok Merawa terhadap sabal (Cinnamomum iners) adalah tumbuhan obat yang sangat digemari dengan nilai LUVI tertinggi (LUVI = 0,015). Menurut masyarakat desa Nagori Dolok 10 spesies tumbuhan yang sangat digemari dan ditemukan di cagar alam DTR adalah sabal (Cinnamomum iners), horas kotala (Eurycoma longifolia), sukkit (Molineria latifolia), apus-pus (Plecospermum soaveolens), boru duma (Urtica sp.), tanduk marbuah (Phyllanthus niruri), sibau lam-lam (Saprosma ternatuum), temu ring-ring (Gomphostemma microcalyx), dosih (Alstonia spectabilis), temu kunci (Boesenbergia rotunda), dan langge (Homalomena propiqua). Secara umum, persepsi masyarakat desa Nagori Dolok mengidentifikasi sabal (Cinnamomum iners) sebagai tumbuhan yang sangat digemari dengan nilai LUVI tertinggi sebesar 0,007 (laki-laki dan perempuan). Tumbuhan yang memiliki manfaat sebagai obat dan ditemukan di cagar alam DTR tidak diizinkan diambil dengan tujuan yang berkaitan dengan nilai ekonomis dan tidak mendesak. Hal tersebut dilakukan guna menjaga kelestarian tumbuhan bermanfaat yang ada di dalam cagar alam DTR.

Tumbuhan yang sangat digemari masyarakat sebagai obat dan memiliki nilai persepsi yang tinggi tersebut dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit dengan berbagai cara pengolahan. Sabal (Cinnamomum iners) memiliki nilai LUVI tertinggi dan didukung juga dengan nilai ICS yang tinggi (Lampiran 3) berada pada peringkat sebagai tumbuhan obat yang sangat digemari masyarakat suku batak Simalungun. Sabal (Cinnamomum iners) memiliki akar yang berkhasiat untuk mengobati sakit pinggang.

(43)

yaitu dikonsumsi langsung, dihaluskan, diperas, direndam air hangat, dikukus, direbus, dipanggang, dan digoreng seperti disajikan pada gambar 7.

Gambar 7 Cara penggunaan tumbuhan obat yang ditemukan di cagar alam DTR oleh masyarakat suku Batak Simalungun

Cara pemanfaatan yang paling banyak dilakukan adalah dengan cara diperas (14 spesies) dari 67 spesies tumbuhan obat yang ditemukan di cagar alam DTR. Berbagai cara penggunaan tumbuhan obat tersebut bertujuan untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari tetumbuhan obat tersebut karena cara pengolahan merupakan bagian yang penting dalam pengobatan. Hal tersebut sesuai dengan Telban (1988) yang menyatakan bahwa cara penggunaan tumbuhan sebagai obat sangat berpengaruh pada keberhasilan pengobatan suatu penyakit.

Beberapa penyakit yang diderita masyarakat suku Batak Simalungun dan dapat disembuhkan dengan tetumbuhan yang ditemukan di cagar alam DTR yaitu:

Penyakit pada saluran pencernaan. Beberapa penyakit saluran pencernaan dialami oleh masyarakat suku Batak Simalungun yang menghuni kawasan cagar alam DTR adalah sakit maag, sariawan/panas dalam, diare, sakit gigi dan kelebihan lendir pada tenggorokan. Tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengobati sakit maag adalah andor tumbung (Meremia peltata) dan andor polat (Tetracera scandens) dengan meminum air pada batangnya; dong-dong (Ficus fistulosa) dengan cara mengunyah bagian daun mudanya; boru duma (Urtica sp.) dengan cara meminum air rebusan akarnya sebanyak satu gelas 2-3 kali sehari; mengkonsumsi getah dari pulai (Alstonia spectabilis) atau hobal putaran (Hoya patela) sebanyak 1 sendok 2-3 kali sehari. Senyawa aktif yang terkandung dalam tetumbuhan tersebut berguna memperbaiki luka pada lambung dan sebagai anti bakteri yang masuk ke dalam lambung bersama makanan. Sesuai dengan pernyataan Zaeer et al. (2010) yang menyatakan spesies dari famili Apocynaceae mengandung senyawa anti bakteri.

Penyakit sariawan/panas dalam biasanya diobati masyarakat dengan cara mengkonsumsi kerokan air kulit batang dari tumbuhan pahu bolon (Alantodia aspera), tabar-tabar (Cheilocostus speciosus), sihala bibiran (Cyrtandra lobgifolia), ingol-ingol (Angiopteris avecta), atau anderasi (Villebrunea

14

11 11 11

8 6

2 2

1 1

Jumlah Spesies

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian di cagar alam DTR, Kabupaten Simalungun, Provinsi
Tabel 1 Nilai kualitas kegunaan suatu spesies tumbuhan
Tabel 3 Kategori eksklusivitas atau tingkat kesukaan tumbuhan
Gambar 2 Macam lanskap di suku Batak Simalungun. A. Huta, B. Juma, C.
+7

Referensi

Dokumen terkait

color-enhanced autoradiographs of [ H]epibatidine binding to high affinity nicotinic cholinergic receptors in different levels of the brain from rostral through caudal (left to

[r]

DUE-like 8 Ketua Tim Penyusun Program Pelatihan Pamong TPA/KB FIP UNY Fakultas FIP UNY 6 Feb 2006 SK Rektor 012 9 Anggota Tim Penyususn Evaluasi Diri Fakultas Ilmu

[r]

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Daerah Kementerian Keuangan Provinsi Jawa Barat melaksanakan Pelelangan Pekerjaan Jasa Konsultansi Pengawas pekerjaan renovasi

Kelengkapan yang trarus dibawa pada saat pembuktian kualifikasi adalah o'Eiffk&s Asli" seluruh. file Dokumen Penawaran yang telah dimasukan/diunggah melalui

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas tidak menunjukkan korelasi terhadap C-organik, pH tanah, suhu tanah, dan kadar

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan fungisida sebagai perlakuan benih pada pertanaman jagung dapat menurunkan kelimpahan nematoda parasit tumbuhan yang