• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebaran Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sebaran Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Bandung."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

CUCU SUTRISNA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Sebaran Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Bandung“ adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari hasil karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Cucu Sutrisna

(3)

ABSTRAK

CUCU SUTRISNA. Sebaran Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Bandung. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI.

Anjing merupakan hewan kesayangan yang paling diminati selain kucing, anjing juga merupakan sahabat dan teman bermain, selain itu dimanfaatkan untuk berburu dan penjaga rumah yang handal. Infestasi ektoparasit pada anjing dapat mengganggu kesehatan anjing dan pemiliknya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sebaran infestasi ektoparasit pada anjing di kota Bandung. Pengamatan dilakukan berdasarkan data rekam medik dari tahun 2008 sampai 2014 dari 7 Klinik Hewan yang terdapat di Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prevalensi infestasi ektoparasit sebesar (0.91%) dari 70800 ekor anjing yang datang ke klinik. Ragam jenis ektoparasit yang umum menyerang anjing adalah caplak Rhipicephalus sanguineus (19.9%), kutu

Trichodectes canis (74.6%), dan pinjal Ctenocephalides felis (5.5%). infestasi ektoparasit lebih banyak ditemukan pada anjing jantan (60.24%) daripada anjing betina (39.4%). Anjing dengan ras murni memiliki sebaran tertinggi yaitu (65.46%) diikuti oleh anjing ras campuran (23.09%) dan anjing lokal (11.45%). Berdasarkan umur, anjing berumur di atas 1 tahun lebih sedikit terserang ektoparasit (20.48%) daripada anjing berumur di bawah 1 tahun (41.57%) dan sisanya (39.7%) tidak terdata. Hasil uji Chi-square (p>0.01) menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, jenis anjing, dan umur dengan infestasi ektoparasit pada anjing di Bandung dengan P-value jantan 0.319 dan P-value betina 0.982.

(4)

ABSTRACT

CUCU SUTRISNA. Distribution of Ectoparasites Infestations in Dogs in Bandung. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI

Dogs is the most desirable pets than cats, dogs also companions and playmates, other than that utilized for hunting and a reliable house keeper. Ectoparasite infestations in dogs can damage the health of the dog and its owner. The study aims to learn distribution of ectoparasite infestations in dogs in Bandung. Observations were made based on the medical records from 2008 to 2014, from 7 veterinary clinic located in the city of Bandung. The result showed that prevalence of ectoparasites infestations ( 0.91%) of 70800 dogs come to clinic. Diverse types of ectoparasites commonly attack dogs i.e. tick, Rhipicephalus sanguineus (19.9); lice, Trichodectes canis (74.6%); and flea, Ctenocephalides felis (5.5%). Ectoparasites infestation found more on male dogs (60.24%) than female dogs (39.4%). The pure breed dog had the highest distribution (65.46%), followed by the mixed dog (23.09%), and the local dog (11.45%). However, based on age, the dogs over the age of 1 year less infested (20.48%) than the dogs under 1 year old (41.6%), and the rest of (39.7%) was unidentified. The result of Chi-square test (p>0.01) showed no significant different between sex, breed, and age with the ectoparasites infestations in dogs in Bandung with P-value male 0.319 and female 0.982.

(5)

CUCU SUTRISNA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan KaruniaNya, sehingga skripsi dengan judul Sebaran Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Kota Bandung dapat diselesaikan

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini :

1. Kedua orangtua dan keluarga besar yang selalu memberikan doa serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS selaku dosen pembimbing yang telah berkenan membimbing dan memberikan pengarahan, kritik, dan saran kepada penulis selama penelitian sampai akhir penulisan skripsi ini selesai.

3. Drh Fadjar Satrija, PhD selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan banyak motivasi dan saran kepada penulis selama masa perkuliahan.

4. Seluruh staff Bagian Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

5. Drh Dwiati Nirvana Bahari yang telah bersedia membantu mengumpulkan data rekam medik di Bandung.

6. Teman-teman seperjuangan Acromion FKH-47, khususnya Fahmi Khairi dan Grady Priasdika yang merupakan teman sepenelitian yang telah memberikan semangat dan warna-warni selama kuliah di FKH IPB.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat berguna khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca, serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dibidang kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

Bogor, Agustus 2015

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Caplak 2

Klasifikasi dan Morfologi Rhipicephalus sanguinus 3

Siklus Hidup Rhipicephalus sanguinus 3

Pinjal 4

Klasifikasi dan Morfologi Ctenocephalides felis 5

Siklus Hidup Pinjal 5

Kutu (Trichodectes canis) 6

Klasifikasi dan Morfologi Kutu (Trichodectes canis) 6

Siklus Hidup T canis 7

METODOLOGI 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Metode Penelitian 8

Pengambilan Data 8

Analisis Data 8

` HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Prevalensi Kejadian Infestasi Ektoparasit 8

Ragam Jenis Ektoparasit 9

Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Jenis Kelamin Anjing 10

Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Ras Anjing 11

Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing 12

Hasil uji Chi-square 14

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 18

(12)

DAFTAR TABEL

1 Prevalensi Kejadian Infestasi Ektoparasit 9

2 Ragam Jenis Ektoparasit 10

3 Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Jenis Kelamin Anjing 11

4 Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Ras Anjing 12

5 Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing 13

6 Hasil Uji Chi-square 14

DAFTAR GAMBAR

1 Caplak Rhipicephalus sanguineus 3

2 Siklus hidup caplak pada anjing 4

3 Ctenocephalides canis 5

4 Siklus hidup pinjal 6

5 Kutu Trichodectes canis 7

6 Prevalensi Kejadian Infestasi Ektoparasit 9

7 Ragam Jenis Ektoparasit 10

8 Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Jenis Kelamin Anjing 11

9 Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Ras Anjing 12

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing merupakan hewan kesayangan yang paling banyak diminati selain kucing, hal ini berkaitan dengan hubungan sosial yang erat antara anjing dengan manusia. Anjing memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi di antara mamalia lain dan memiliki sifat setia pada majikannya. Tujuan pemeliharaan anjing bukan hanya sebagai sahabat dan teman bermain, namun juga untuk berburu dan sebagai penjaga rumah yang bisa diandalkan.

Lingkungan yang tidak memadai dan cara perawatan yang kurang baik merupakan penyebab utama anjing terserang ektoparasit seperti caplak, pinjal, dan kutu sebagai vektor penyakit. Caplak hidup di permukaan kulit hewan dan menghisap darah inang melalui pembuluh darah perifer yang berada di bawah kulit. Ektoparasit mudah ditemukan karena ukurannya yang cukup besar dan melekat pada kulit inangnya. Predileksi yang paling disukai caplak adalah leher, sela-sela jari, dan bagian dalam telinga (Hadi dan Soviana 2010).

Pinjal Ctenocephalides felis merupakan ektoparasit penyebab dermatitis pada anjing (Muller dan Kirk 1969). Gigitannya dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat yang kemudian berlanjut hingga menjadi radang kulit yang disebut

flea bites dermatitis. Selain gigitannya, kotoran dan saliva pinjal juga berbahaya karena dapat menyebabkan radang kulit. Infestasi pinjal dalam jumlah yang tinggi dapat menyebabkan anjing menderita kekurangan darah (anemia), lemah, dan pucat. Selain itu, C. felis dapat bertindak sebagai inang antara cacing pita anjing yaitu Dipylidium caninum dan cacing filarial anjing Dipetalonema reconditum

(Levine 1990; Hadi dan Soviana 2010).

Anjing juga sering terinfeksi kutu, kutu merupakan ektoparasit yang bersifat obligat karena seluruh hidupnya tergantung pada tubuh inangnya. Morfologi kutu sudah beradaptasi dengan cara hidupnya, misalnya dengan tidak memiliki sayap, sebagian besar tidak bermata, bentuk tubuh yang pipih dorsoventral, bagian mulut disesuaikan untuk menusuk atau menghisap. Selain itu, kutu memiliki kaki yang kokoh dengan kuku yang besar pada ujung tarsus yang bersamaan dengan tonjolan tibia berguna untuk merayap dan memegangi rambut inangnya. Rambut halus dan hangat yang dimiliki anjing merupakan lingkungan yang nyaman bagi kutu. Ektoparasit ini hidup dengan menghisap darah anjing dan bisa menyebabkan masalah kesehatan mulai dari alergi sampai ke masalah yang serius seperti infeksi cacing pita. Ektoparasit ini biasanya muncul pada kondisi atau cuaca yang hangat. Gigitan kutu memicu reaksi alergi seperti infeksi kulit.

(14)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari sebaran infestasi ektoparasit pada anjing di kota Bandung.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang ektoparasit yang menyerang anjing di kota Bandung.

TINJAUAN PUSTAKA

Caplak

Caplak adalah ektoparasit penghisap darah yang mempunyai peranan penting dalam bidang kesehatan hewan. Penyebaran caplak di seluruh dunia sangat luas dan umumnya terdapat di lingkungan meliputi hutan, rawa, gunung, dan padang rumput (Soulbsy 1982; Levine 1994).

Rhipicephalus sanguineus adalah caplak yang tersebar luas di dunia dan merupakan vektor bagi banyak patogen yang menyerang anjing, caplak ini bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat dimana anjing (inang) tinggal (Dantas-Torres 2010). Di Indonesia penduduk setempat menyebutnya kutu anjing atau kutu babi, sedangkan di luar negeri disebut kutu anjing coklat (brown dog tick) (Saim 1992). Di Inggris (Featherstone et al. 2012) melaporkan adanya R. sanguineus pada persilangan anjing liar yang sebelumnya diimpor dari Yunani pada Mei 2012.

Dari sudut pandang etiologis, R. sanguineus merupakan ektoparasit yang endofilik dan monotropik. Namun, meski sangat endofilik, R. sanguineus juga mampu bertahan di lingkungan luar. Selain itu, mesti monotropik, R. sanguineus

kadang-kadang dapat menginfeksi host lain seperti manusia (Dantas-Torres 2010). Caplak yang sering juga disebut sengkenit (tick) terdiri atas dua famili yaitu

Ixodidae dan Argasidae. Ixodidae terdiri atas genus Ixodes, Haemaphysalis, Dermacentor, Hyalomma, Nosomma, Rhipicepalus, Boophilus, dan Margropus, sedangkan Argasidae terdiri atas genus Argas, Ornithodoros, dan Otobius (James dan Harwood 1969). Caplak dari spesies R. sanguineus merupakan jenis caplak yang sering terdapat pada anjing (Gambar 1).

(15)

3

Gambar 1 Caplak Rhipicephalus sanguineus

(Hadi et al. 2013)

Klasifikasi dan Morfologi Rhipicephalus sanguineus

Menurut (Krantz 1970), caplak anjing (R. sanguineus) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Arachnida

Ordo : Parasitiformes

Sub Ordo : Metastigmata

Famili : Ixodidae

Genus : Rhipicephalus

Spesies :Rhipicephalus sanguineus

Rhipicephalus sp. yang sering menyerang pada anjing di Indonesia adalah

R. sanguineus (Subronto 2006). Caplak mudah dikenali karena ukurannya yang besar hingga 30 mm dengan bentuknya yang memiliki tiga pasang kaki (tahap belum dewasa) dan empat pasang kaki (tahap dewasa) serta berwarna coklat gelap (Levine 1994). Caplak betina bagian punggungnya berbentuk heksagonal. Parasit ini paling sering ditemukan di kepala, leher, telinga, dan telapak kaki anjing. Caplak jantan memiliki lempeng adrenal menyolok.

Siklus Hidup Rhipicephalus sanguineus

(16)

4

larva dapat bertahan sampai 3 bulan. Kehidupannya terdapat pada 2 tempat yaitu kehidupan di tubuh hewan atau disebut stadium parasitik dan kehidupan di luar tubuh hewan yang disebut stadium non parasitik. Kehidupan caplak pada stadium parasitik dimulai dari saat larva menempel pada hewan sampai caplak dewasa jenuh darah (engorged) dan jatuh dari tubuh hewan, sedangkan kehidupan caplak pada stadium non parasitik dimulaidari saat caplak jenuh darah jatuh dari hewansampai stadium larva generasi berikutnya sebelummenempel pada tubuh hewan. Larva mempunyai 3 pasang kaki, dan tempat yang disenangi caplak yaitu bagianleher, dada, dan bagian antara kedua kaki belakang (Lord 2001).Caplak lain yang menyerang ternak di Indonesia yaitu genus Amblyomma spp., Haemaphysalis bispinosa., Rhipicephales pilans. Umumnya caplakhidup pada kelembaban 40% sampai 80%, suhu dengan 19 ºC– 40 ºC (Hadi dan Soviana 2010).

Gambar 2 Siklus hidup caplak pada anjing (Hadi et al. 2013)

Pinjal

Pinjal termasuk ke dalam ordo Siphonaptera yang pada awalnya dikenal sebagai ordo Aphniptera. Menurut (Service 1988) terdapat sekitar 3000 spesies pinjal yang masuk ke dalam 200 genus. Pinjal yang telah teridentifikasi baru 2000 spesies (Zentko dan Richman 1997).

Ordo Siphonaptera terdiri atas tiga super famili yaitu Pulicoidea, Copysyllodea, dan Ceratophyllidea. Ketiga super famili ini terbagi menjadi 9 famili yaitu Pulicidae, Rophalopsyllidae, Hystrichopsyllidae, Pyglopsyllidae, Stephanocircidae, Macropsyllidae, Ischnopsyllidae, Leptopsyllidae, dan

Ceratophillidae (Dunnet dan Mardon 1991). Dari semua famili dalam ordo siphonapteraini yang paling penting dalam bidang kesehatan hewan adalah famili

Pulicidae.

(17)

5

felis dan C. canis) dibedakan oleh perbedaan morfologi sedikit yang terdeteksi hanya di bawah pembesaran tinggi (Zentko dan Richman 2003).

Klasifikasi dan Morfologi Ctenocephalides felis

Menurut (Soulsby 1982), C. felis berdasarkan taksonominya termasuk ke dalam :

Filum : Arthropoda Kelas : Insekta

Ordo : Siphonaptera

Famili : Pulicidae

Genus : Ctenocephalides

Spesies : Ctenocephalides felis

Pinjal merupakan insekta yang tidak memiliki sayap dengan tubuh berbentuk pipih bilateral dengan panjang 1.5–4.0 mm (Soulsby 1982), sedangkan menurut (Service 1988) pinjal dewasa memiliki ukuran tubuh yaitu 1.0–8.5 mm. Ukuran tubuh pinjal jantan biasanya lebih kecil dari betina (Levine 1990).

Secara umum morfologi dari pinjal C. felis (Gambar 3) adalah seperti yang telah dijelaskan di atas, tetapi ciri khas dari pinjal ini terdapat pada duri pertama dari ktenidia genalnya yang mempunyai panjang yang sama dengan duri di belakangnya, selain itu pinjal ini memiliki manubrium yang menyempit di bagian apeks. Kaki belakang dari pinjal ini terdiri atas 6 sampai 7 ruas dorsal.

Secara morfologi C. felis jantan dan betina memiliki beberapa perbedaan. C. felis jantan dan C. felis betina diantaranya adalah pada ruas abdomen ke 9 dari pinjal C. felis jantan terdapat organ clasper yang sedikit meruncing dan dapat digerakkan bagian ujungnya. C. felis betina perangkap mulutnya dilengkapi dengan stilet yang panjangnya hampir tiga kali dari lebarnya (Sen dan Fletcher 1962).

Gambar 3 Ctenocephalides canis

(Hadi et al. 2013)

Siklus Hidup Pinjal (Gambar 4)

(18)

6

bertelurnya (Soulsby 1982), sedangkan menurut (Rust dan Dryden 1997) C. felis

dapat bertelur 40–50 butir setiap hari selama puncak reproduksi. Telur pinjal berbentuk oval dan berwarna kekuningan (Taboada 1966) dengan panjang kurang lebih 0.5 mm (Soulsby 1982). Biasanya telur diletakkan di kandang, alas kandang, rumput ataupun di bawah karpet. Pada sarang atau kandang (alas kandang) anjing sering ditemukan telur, larva, dan pupa pinjal.

Gambar 4 Siklus hidup pinjal (Hadi et al. 2013)

Kutu (Trichodectes canis)

Trichodectes canis diketahui banyak menghuni berbagai tempat di seluruh dunia dan mampu mentolelir kondisi temperatur yang ekstrem (Emerson dan Harga 1985). Di Chile dilaporkan bahwa kutu ini menginfeksi anjing liar (rubah), kutu ditemukan pada paha, pinggang, dan sisi lateral hewan. Identifikasi kutu sebagai T. canis berdasarkan ukuran, bentuk antena, bentuk toraks, dan alat kelamin (Gonzalez et al. 2006).

Klasifikasi dan Morfologi Trichodectes canis

Menurut (Soulsby 1982), T. Canis berdasarkan taksonominya termasuk ke dalam :

Kingdom : Animalia Kelas : Insekta

Ordo : Phthiraptera

Famili : Trichodectidae

Genus : Trichodectes

Spesies : Trichodectes Canis

(19)

7

ditemukan pada anjing rakun berbeda dalam hal panjang tubuh dari yang ditemukan pada anjing domestik, yang menunjukan adanya polimorfolisme di antara kutu di habitat yang berbeda (Allaby 2009). Betina dari genus T. canis juga dapat dicirikan oleh organ khusus yang tumbuh dari bawah ujung perut. Bila dilihat dari atas, bagian puncak struktur ini keluar dari bawah perut yang menyerupai dua pelengkap melengkung yang terjadi di kedua sisi wilayah genital. Tujuan dari embel-embel ini adalah untuk membantu lem telurnya pada rambut inang dan pegangan bulu agar tetap pada inang.

Gambar 5 Trichodectes canis

(Hadi et al. 2013)

SiklusHidupT.canis

Kutu mengalami metamorfosis tidak sempurna yang dimulai dari telur, nimfa instar pertama sampai ketiga kemudian dewasa. Telur yang dihasilkan kutu betina dewasa berjumlah 10–300 selama hidupnya dengan ukuran 1–2 mm, berbentuk oval, berwarna putih, dan beberapa jenis telur dilengkapi operkulum. Telur akan menetas menjadi nimfa setelah 5–18 hari. Warna nimfa dan kutu dewasa putih, makin tua akan menjadi gelap. Kutu dewasa dapat hidup 10 hari sampai beberapa bulan (Hadi dan Soviana 2010).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

(20)

8

Metode Penelitian

Pengambilan Data

Data penelitian diambil dari data rekam medik pasien anjing dari 7 klinik hewan di wilayah 1 Bandung Timur, 2 Gunung Batu, 3 Terusan Djundjunan, 4 Buah Batu, 5 Cibatat, 6 Soreang, dan 7 Pasir Koja di Bandung dari Januari 2008 sampai dengan April 2014.

Analisis Data

Data kasus dianalisis secara deskriptif dan dikelompokan berdasarkan jenis/ras, umur, jenis kelamin serta lokasi anjing, kemudian dianalisis dengan uji Chi-square menggunakan software SPSS 15.0. Data disajikan secara deskriptif dan dalam bentuk tabel dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyebaran ektoparasit di Bandung bisa digambarkan dengan rekam medik yang ada pada beberapa klinik hewan yang dijadikan sampel yaitu 7 klinik dari total sekitar 23 klinik yang tersebar didaerah Bandung. Data rekam medik yang diperoleh dari klinik hewan di wilayah Bandung dari Januari 2008 sampai dengan April 2014 menunjukkan pasien yang datang sedikitnya ada 252 ekor sampai 6000 ekor anjing pertahun yang datang ke klinik dengan berbagai ras/jenis anjing.

Prevalensi Kejadian Infestasi Ektoparasit

Tabel 1 dan Gambar 6 menunjukkan prevalensi kejadian ektoparasit di 7 (tujuh) wilayah di Bandung dari Januari 2008–April 2014. Data rekam medik menunjukkan adanya fluktuasi tiap tahun di semua wilayah di Bandung. Penurunan yang signifikan terjadi di Terusan Djundjunan dari tahun 2008 ke 2009 dan di Buah Batu dari tahun 2011 ke 2012. Kenaikan yang signifikan terjadi di Cibatat tahun 2012 ke 2013. Secara keseluruhan prevalensi kejadian infestasi ektoparasit memiliki presentase rata-rata sebesar 0.91%. Fluktuasi kejadian infestasi ektoparasit dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim, suhu, kelembaban, cara pemeliharaan, dan perlakuan pemilik anjing. Di Indonesia dengan iklim tropis memungkinkan infestasi ektoparasit terjadi. Selain itu, perilaku pemilik anjing yang tidak berusaha memisahkan anjing-anjing yang terinfestasi dengan anjing-anjing yang bebas ektoparasit, juga mempengaruhi penyebaran infestasi ektoparasit. Berbeda dengan Negara 4 musim, infestasi ektoparasit umumnya meningkat pada musim panas. Kondisi panas dan kelembaban yang tinggi menyebabkan adanya kelainan kulit pada hewan kesayangan akibat infestasi ektoparasit. Perilaku pemilik anjing sangat menentukan tinggi atau rendahnya infestasi ektoparasit. (Dantas-Torres et al.

(21)

9

Tabel 1 Prevalensi kejadian infestasi ektoparasit di beberapa klinik di wilayah Bandung dari Januari 2008–April 2014

Klinik di Wilayah

Gn Batu T er Djun Buah Batu Cibatat Soreang Ps Koja

2008

Gambar 6 Prevalensi kejadian infestasi ektoparasit di beberapa klinik di wilayah Bandung dari Januari 2008–April 2014

Ragam Jenis Ektoparasit

(22)

10

ektoparasit seperti caplak R. sanguineus dan kutu T. canis di Eropa semakin bertahan di alam.

Tabel 2 Ragam Jenis Ektoparasit dari Januari 2008–April 2014

Klinik di Wilayah

Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Jenis Kelamin Anjing

(23)

11

terinfestasi caplak dikarenakan adanya penularan caplak antar anjing di dalam penampungan anjing (kennel) yang sama.

Tabel 3 Sebaran infestasi ektoparasit berdasarkan jenis kelamin di beberapa Klinik di wilayah Bandung dari Januari 2008–April 2014

Klinik di Wilayah

Gambar 8 Sebaran infestasi ektoparasit berdasarkan jenis kelamin di beberapa Klinik di wilayah Bandung Tahun 2008–2014

Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Ras Anjing

(24)

12

kulit yang menggulung yang membuat ektoparasit nyaman untuk bersembunyi. Data pasien anjing di wilayah Bandung lebih banyak anjing ras murni yang dipelihara kemungkinan anjing yang lebih banyak terinfeksi adalah anjing ras murni. Adapun, di Brazil yaitu wilayah Recife ektoparasit banyak menyerang anjing lokal, karena penduduk Recife lebih banyak memelihara anjing lokal sehingga potensi anjing lokal terinfestasi ektoparasit lebih tinggi seperti yang dilaporkan oleh (Dantas-Torres et al. 2006) meskipun ektoparasit ini sudah banyak juga menyerang anjing mix dan ras murni, tetapi lebih banyak yang menyerang anjing domestik.

Tabel 4 Sebaran ektoparasit berdasarkan ras anjing di beberapa klinik di wilayah Bandung dari Januari 2008–April 2014

Klinik di Wilayah wilayah Bandung Tahun 2008–2014

Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing

(25)

13

yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dengan rata-rata (20.5%), dan yang tidak tercatat sebesar (37.94%). Sebaran tertinggi anjing yang berumur kurang dari 1 (satu) tahun dan lebih dari 1 (satu) tahun ada di wilayah Buah batu dengan masing-masing (54.7%) dan (28.1%), sementara persentase terbanyak untuk anjing yang tidak terdata umurnya ada di Bandung Timur dengan (53.13%). Anjing yang berumur kurang dari 1 tahun banyak terinfestasi ektoparasit karena mobilitas anak anjing yang tinggi pada tempat-tempat yang menjadi habitat ektoparasit seperti rerumputan. Selain itu, anakan anjing memiliki paparan yang konstan dari induk yang positif ektoparasit. Menurut (Belot et al. 1984), ektoparasit seperti caplak, pinjal, dan kutu sebenarnya terdapat pada kulit tetapi tidak menunjukkan gejala klinis pada hewan yang sehat, penularan ektoparasit terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. Ketika kekebalan tubuh anak anjing menurun maka parasit akan berkembang menjadi lebih banyak dan menimbulkan penyakit kulit. Pada anak anjing akan tertular oleh induknya. Hal ini sama dengan yang terjadi pada kejadian demodekosis yang dilaporkan oleh (Sardjana 2012) bahwa kejadian infeksi demodekosis dapat terjadi pada anjing semua umur, khususnya pada anjing muda dan anakan sangat sering terjadi.

Tabel 5 Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing dari Januari 2008–April 2014

<1 Tahun >1 Tahun Tidak Terdata

Ekor % Ekor % Ekor %

Bdg Timur Gn Batu Ter Djun Buah Batu Cibatat Soreang P koja

Umur < 1 th Umur 1-3 th Umur >3 th

(26)

14

Hasil Uji Chi-square

Kasus infestasi ektoparasit pada anjing dari Januari 2008 sampai April 2014 (Tabel) apabila dianalisis lebih lanjut, maka total anjing terinfestasi pada jantan (176 ekor) lebih banyak daripada betina (138 ekor). Anjing jantan dengan ras murni lebih banyak terinfestasi oleh ektoparasit (117 ekor), diikuti oleh anjing mix (57 ekor), anjing lokal (2 ekor). Sedangkan, jika dilihat dari segi umur, maka anjing berumur kurang dari 1 tahun paling banyak terinfestasi ektoparasit baik pada jantan (116 ekor) maupun pada betina (89 ekor). Berdasarkan analisis uji Chi-square ternyata tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis ektoparasit dengan jenis kelamin, jenis anjing, dan umur (p>0.01) (Tabel). Penelitian Priasdika (2014) melaporkan bahwa infestasi ektoparasit pada anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis ektoparasit dengan jenis kelamin, jenis anjing, dan umur dengan p-value untuk anjing jantan sebesar (0.013) dan anjing betina sebesar (0.004) (p<0.01).

Tabel 6 Hasil uji Chi-square hubungan jenis kelamin, jenis anjing, umur, dan jenis ektoparasit

Jenis Anjing

Umur (tahun) Total

<1 1-3 >3

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Lokal 2 3 0 2 0 0 2 5

Mix (campuran)

32 28 22 13 3 1 57 42

Ras murni 82 58 29 30 6 3 117 91

Total 116 89 51 45 9 4 176 138

P-value 0.319 0.982

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(27)

15

(74.6%), dan pinjal, C. felis (5.5%). Infestasi ektoparasit ditemukan lebih banyak pada anjing jantan (60.24%) daripada anjing betina (39.76%). Anjing dengan ras murni memiliki sebaran infestasi paling tinggi (65.46%), diikuti oleh anjing mix

(23.09%) dan anjing lokal (11.45%). Namun, berdasarkan umur anjing, anjing berumur lebih dari 1 tahun lebih sedikit terinfestasi (20.5%) daripada anjing berumur kurang dari 1 tahun (41.6%), dan sisanya (37.9%) tidak terdata. Hasil uji Chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara infestasi ektoparasit dengan jenis kelamin, jenis anjing, dan umur anjing dengan P-value anjing jantan (0.319) dan P-value anjing betina (0.982) (p<0.01).

.

Saran

Bukti adanya kasus Infestasi ektoparasit yang cukup tinggi diantara anjing-anjing piara harus disosialisasikan secara meluas dan intensif kepada masyarakat, oleh individu (dokter hewan) maupun instansi terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Allaby M. 2009. Oxford Dictionary of Zoology. New York (US): Oxford University Pr.

Belot J, Parent R, Pangui JL. 1984. Courte Communication : Demodecie Canine,

Observations Cliniques a Propos D’un Essai De Traitment Par L’ivermectine.Le Point Veterinaire.16(85):66–85.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Terjemahan Soetiyono Partosoedjono dan Mukayat Djarubito Brotowidjoyo. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.

Dantas-Torres. 2010. Biology and ecology of the brown dog tick, Rhipicephalus sanguineus. Parasites and Vectors.3(26):1–10

Dantas-Torres F, Figueredo LA, Brandao-Filho SP. 2006. Rhipicephalus sanguinus (Acari: Ixodidae), The Brown Dog Tick, Parasitizing Humans in Brazil. Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical.39(1):64–67. Dunnet DM, Mardon DK. 1991. The Insect of Australia. Melbourne (AU):

Melbourne University Pr.

Emerson K, Harga R. 1985. Koevolusi dari Parasit Arthropoda dan Mamalia. New York (US): John Wiley and Sons, Inc.

Featherstone D, Ince A, MacKinnon D, Cumbers A, Strauss K. 2012. Tick surveillance in the UK. Veterinary Record.171: 225. doi: 10.1136/vr.e5831. Gonzalez D, Briceno C, Cicchino A, Funk SM, Jimenez J. 2006. First Records of

Trichodectes canis (Insecta: Phthiraptera: Trichodectidae) from Darwin’s Fox, Pseudalopex fulvipes (Mammalia: Carnivora: Canidae. European Journal of Wildlife Research DOI 10.1007/s10344-006-0066-y.

(28)

16

Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Supriyono. 2013. Ektoparasit: Atlas Entomologi Veteriner. Bogor (ID): IPB Pr.

James MT, Harwood RF. 1969. Herm’s Medical Entomology. 6th ed. London (UK): The Macmillan Company.

James N, Leah LF. 2001. Life Cycle of the Brown Dog Tick, Rhipicephalus sanguineus Latreille. Florida (US): Florida Medical Entomology Laboratory, University of Florida.

Krantz GW. 1970. A Mannual of Acarology. Oregon (US): O. S. U Book Stores, Inc. Corvallis.

Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Terjemahan Gatut Ashadi dan Wardianto. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr.

Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Terjemahan G. Ashadi Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.

Lord CC. 2001. Brown Dog Tick, Rhipicephalus sanguinus Latreille (Arachnida: Acari: Ixodidae). EENY-221.

Matallah F, Benakhla A, Medjouel L, Matallah S.2012. Tick Infestation of Dogs and Prevalence of Canine Babesiosis in The North-East of Algeria; Area of El-Tarf. American-Eurasian Journal of Sustainable Agriculture.6(3):126– 134.

Muller GH, Kirk RW. 1969. Small Animal Dermatology. Philadelphia (US). London (UK). W. B. Sounders Company.

Priasdhika G. 2014. Studi Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Pondok Pengayom Satwa Jakarta. [Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Rust MK, Dryden MW. 1997. The Biology, Ecology and Management Of The Cat Flea. Annual Review of Entomology.8(42):151–473.

Sardjana AKW. 2012. Treatment of Canine Demodecosis In Veterinary Teaching Hospital Faculty of Veterinary Medicine Airlangga University. Veterinary Medical Journal Clinical Veterinary.1(1):1–6.

Saim A. 1992. Caplak Stadia Parasitik (Acarnia: Ixodidae) pada sambar,Cervus unicolor di Indonesia. Buletin Peternakan.

Sen SK, Fletcher TB. 1962. Veterinary Entomology and Acarologi for India. India Coucil of Agricultural Research. New Delhi (IN).

Service MW. 1988. Guide To Medical Entomology. Mac Milan International. Soulsby EJC. 1982. Helminth. Arthropods and Protozoa of Domesticated

Animals. London (UK): Billiere, Tindall and Cassel Ltd.

Silverman J, Appel A. 1994. Adult Cat Flea (Siphonaptera: Pulicidae) Excretion of Host Blood Proteins in Relation to Larval Nutrition. Journal of Medical Entomology.31(2):265–271.

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr.

Walker K. 2007. Dog flea (Ctenocephalides canis) [internet]. [diunduh 2014 Sept 9]. Tersedia pada http://www.padil.gov.au.

Taboada O. 1966. Medical Entomology. Maryland (US): Naval Medical School National Naval Medical Center Bethesda.

Van der Kaars WA, Dam MAC. 1995. A 135,000-year record of vegetational and

climatic change from the Bandung area, West-Java,

(29)

17

Wiryana IKS, Damriyasa IM, Dharmawan NS, Arnawa KAA, Dianiyanti K, Harumna D. 2014. Kejadian Dermatosis yang Tinggi pada Anjing Jalanan di Bali. Journal of Veterinary.15(2):217–220.

(30)

18

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil uji Chi-square Klinik-klinik Hewan di Bandung

Case Processing Summary

Jenis_anjing * Umur * Jenis_kelamin Crosstabulation

Count

a 4 cells (44.4%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .10. b 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .14.

(31)

19

Lampiran 2 Hasil Uji Chi-Square Klinik Hewan Pondok Pengayom

Hipotesis:

H0 = tidak terdapat hubungan antara jenis anjing dengan umur H1 = terdapat hubungan antara jenis anjing dengan umur Tolak H0 jika p-value < α

Jenis_anjing * Umur Crosstabulation

Count

Umur

Total <=1 1<x<=3 >3

Jenis_anjing Lokal 46 55 3 104

Mix 38 61 9 108

Ras 66 67 0 133

Ras pendek 55 64 9 128

Ras panjang 22 28 15 65

Total 227 275 36 538

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 43.420a 8 0.000

Likelihood Ratio 42.749 8 0.000

Linear-by-Linear Association 3.596 1 0.058

N of Valid Cases 538

a. 1 cells (6,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,35.

(32)

20

RIWAYAT HIDUP

Cucu Sutrisna panggilan Cucu lahir di Tasikmalaya pada tanggal 23 Februari 1993 dari pasangan suami istri Bapak Dayat dan Ibu Yati. Penulis adalah anak ketiga dari 3 bersaudara. Tempat tinggal penulis di Tasikmalaya sekarang adalah di Kp. Cipanagon, Desa Linggalaksana, Kec Cikatomas, Tasikmalaya.

Gambar

Gambar 1 Caplak Rhipicephalus sanguineus
Gambar 2  Siklus hidup caplak pada anjing (Hadi et al. 2013)
Gambar 4  Siklus hidup pinjal
Gambar 5 Trichodectes canis
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk maksud ini tclah dipclajari cara masuknya EBV kc dalam scl hospcs yang dapat menyebabkan infeksi laten, protein-protein laten yang diekspresikan untuk mendukung pertahanan

Pengetahuan pegawai dan petugas kesehatan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Pekanbaru tentang pengelolaan limbah cair tinggi, tapi pada pengaturan kondisi proses dan operasi

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa ikatan sekunder sangat menentukan ketahanan polimer thermoplastik terhadap deformasi plastik atau yang selama ini kita

Pendidikan Agama Islam pada dasarnya menempati posisi yang strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, terutama dalam membentuk iman dan Berdasarkan karakteristik

Program utama pengembangan agribisnis komoditas unggas sangat terkait dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Guna menjamin penyediaan pasokan d.o.c. ayam ras yang

Penyelenggara Diklat adalah lembaga diklat yang mempunyai kewenangan dan tanggungjawab serta terakreditasi oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) untuk menyelenggarakan

Dari hasil pra penelitian yang dilakukan di SMA MULIA PRATAMA MEDAN terkait dengan informasi kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa ternyata masih

a) Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku menurut BPS adalah jumlah nilai tambah bruto yang timbul dari seluruh sektor perekonomian disuatu