• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Trichoderma harzianum dan Mikoriza untuk Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki) pada Karet.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Trichoderma harzianum dan Mikoriza untuk Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki) pada Karet."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI

Trichoderma harzianum

DAN MIKORIZA UNTUK

PENGENDALIAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH

(

Rigidoporus lignosus

(KLOZTCH) IMAZEKI) PADA KARET

CICIK SEPTIYANI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Trichoderma harzianum dan Mikoriza untuk Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki) pada Karet adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada pengurus tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

ABSTRAK

CICIK SEPTIYANI. Potensi Trichoderma harzianum dan Mikoriza untuk Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki) pada Karet. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA.

Indonesia merupakan negara produsen karet terbesar di dunia setelah Negara Thailand. Pengembangan industi karet hingga saat ini masih terus dilakukan, namun adanya serangan penyakit menjadi hambatan dalam pengembangan budidaya karet tersebut. Penyakit jamur akar putih yang disebabkan oleh cendawan Rigidoporus lignosus merupakan penyakit utama pada perkebunan karet. Percobaan bertujuan untuk mengetahui potensi Trichoderma harzianum dan mikoriza dalam mengendalikan penyakit jamur akar putih pada bibit karet di di rumah kaca. Percobaan dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap, 8 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan tersebut adalah pemberian mikoriza, T. harzianum dan kombinasi keduanya, dengan dan tanpa inokulasi R. lignosus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa T. harzianum, mikoriza, dan kombinasi keduanya mampu menekan perkembangan kejadian dan keparahan penyakit JAP. Pada saat pembibitan, perlakuan T. harzianum secara tunggal lebih efektif dan efisien dalam menekan penyakit JAP dan dapat memperbaiki vigor tanaman.

(4)

ABSTRACT

CICIK SEPTIYANI. Potential of Trichoderma harzianum and Mycorrhiza for Controling White Root Rot Disease (Rigidoporus lignosus (Kloztch) Imazeki) on Rubber. Supervised by MEITY SURADJI SINAGA.

Indonesia is the largest producer of rubber after Thailand. The development of the rubber industry is still on going. However, the presence of rubber diseases become a problem in the rubber industry development. White root fungus disease caused by the fungus Rigidoporus lignosus is a major disease in rubber plantations. The experiment aims to determine the potential of the fungus Trichoderma harzianum and mycorrhizae fungi for controlling white root disease on rubber seedlings in the greenhouse. The experiment has been done in complete randomizeddesign, 8 treatments and 4 replications. The treatments were, applications of T. harzianum, mycorrhizae, and their combinations, with and without R. lignosus. The result have shown that T. harzianum, mycorrhizae, and their combinations have supressed JAP diseases incidence and severity. At the time of seedlings, the treatment of T. harzianum singly has found as the most effective and efficient in supressing diseases severity and in increasing plant vegetative growth.

(5)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantukan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

POTENSI

Trichoderma harzianum

DAN MIKORIZA UNTUK

PENGENDALIAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH

(

Rigidoporus lignosus

(KLOZTCH) IMAZEKI) PADA KARET

CICIK SEPTIYANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan petunjuknya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Tugas akhir ini dilaksanakan dari bulan Desember 2014 sampai Mei 2015 dengan topik pengendalian penyakit jamur akar putih pada bibit karet.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc selaku pembimbing skripsi yang banyak memberi arahan dan bimbingan selama pelaksanaan tugas akhir dan Bapak Dr. Ir. Teguh Santosa, DEA sebagai dosen penguji yang memberikan masukan untuk penulisan skripsi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada beasiswa Bidik Missi yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan di IPB, serta orang tua (Ibu Sri mastutik dan Bapak Muhidi) dan keluarga besar di Rembang (mas lilik, mas agung, dan mas riki) yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan skripsi, baik secara moril maupun materi. Tidak lupa penulis juga ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh dosen dan tenaga kependidikan Departemen Proteksi Tanaman, teman teman PTN 48 yang sangat saya sayangi, serta semua rekan rekan laboratorium Mikologi Tumbuhan yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada pihak Laboratorium Mikologi Tumbuhan, University Farm, dan Unit Lapangan Cikabayan yang telah meminjamkan rumah kaca untuk penelitian.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Bogor , Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

BAHAN DAN METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Metode Penelitian 4

Peremajaan Isolat R. lignosus 4

Persiapan Inokulum Patogen 4

Pembiakan Massal T. harzianum 4

Persiapan Media Tanam dan Penanaman Bibit Karet 5 Uji Antagonisme in VitroR. lignosus dan T. harzianum 5 Aplikasi Mikoriza pada Bibit Karet 5 Aplikasi T. harzianum pada Bibit Karet 5 Inokulasi Buatan R. lignosus pada Bibit Karet 5

Pengamatan 5

Rancangan Percobaan dan Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Uji Antagonisme in vitroR. lignosus dengan T. harzianum 8 Uji Keefektifan Agens Hayati dalam Penghambatan JAP

pada Karet 9

SIMPULAN DAN SARAN 17

DAFTAR PUSTAKA 18

(10)

DAFTAR TABEL

1 Pengaruh T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya terhadap periode laten, kejadian penyakit, keparahan penyakit, laju infeksi

penyakit JAP, tinggi tanaman, dan tingkat asosiasi mikoriza 10

DAFTAR GAMBAR

1 Uji ganda R. lignosus dengan T. harzianum pada 2 hsi - 5hsi 8 2 Gejala penyakit jamur akar putih 21 hsi - 56 hsi 9 3 Bentuk asosiasi mikoriza pada akar sekunder 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji sidik ragam pengaruh perlakuan T. harzianum, mikoriza, dan

kombinasinya terhadap periode laten penyakit JAP 22 2 Hasil uji sidik ragam pengaruh perlakuan T. harzianum, mikoriza, dan

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) merupakan komoditas perkebunan yang penting bagi perekonomian masyarakat dan merupakan komoditas ekspor andalan dan unggulan bagi Indonesia. Selain berperan sebagai penyedia lapangan kerja bagi sekitar 1.4 juta kepala keluarga, komoditas karet juga berkontribusi sebagai salah satu sumber devisa non migas, pemasok bahan baku karet, dan mendorong pertumbuhan sentra ekonomi baru di wilayah–wilayah pengembangan karet (Pulungan et al. 2014). Indonesia memiliki areal perkebunan karet terluas di dunia yaitu 3 556 042 hektar pada 2013, namun dari sisi produksi karet kering berada pada posisi kedua setelah Thailand yakni 3 180 297 ton. Pengembangan industri karet hingga saat ini terus dilakukan. Di Indonesia, produksi karet meningkat secara lambat sejak 2009 hingga 2013 dengan produksi yang berturut– turut dari 2 440 346 ton, 2 734 854 ton, 3 029 354 ton, 3 040 376 ton, dan 3 180 297 ton (BPS 2015).

Dalam usaha pengembangan budidaya karet terdapat hambatan yang utama yaitu adanya penyakit jamur akar putih (JAP) yang disebabkan oleh Rigidoporus lignosus. Cendawan penyebab JAP bersifat parasit fakultatif, artinya dapat hidup sebagai saprofit yang kemudian dapat menjadi parasit jika terdapat inang yang cocok. Cendawan R. lignosus tidak dapat bertahan hidup apabila tidak ada sumber makanan. Bila belum ada inang, patogen ini bertahan pada sisa–sisa tunggul. Penularan penyakit JAP dapat terjadi melalui persinggungan antara akar karet sehat dengan sisa-sisa akar tanaman lama, tunggul-tunggul atau pohon yang sakit. Selain melalui persinggungan antara akar sehat dengan akar sakit, penyebaran bisa terjadi melalui hembusan angin yang membawa spora dari cendawan ini. Spora yang jatuh di tunggul atau sisa kayu akan tumbuh dan membentuk koloni (Pawirosoemardjo 2004).

Penyakit jamur akar putih dapat menyerang pada semua umur tanaman, namun lebih banyak terdapat pada kebun karet muda. Gejala awal yang muncul pada tanaman sakit yaitu daun tampak kusam dan melengkung ke bawah. Setelah itu, daun menguning, dan pada akhirnya daun akan rontok. Pada pohon dewasa, gugurnya daun disertai dengan matinya ranting-ranting dan menyebabkan pohon mempunyai mahkota yang jarang. Pohon yang sakit kadang-kadang membentuk bunga dan buah sebelum masanya. Akar menjadi busuk, sehingga pohon mudah tumbang. Gejala pada bagian di atas tanah mirip dengan gejala yang disebabkan oleh penyakit akar pada umumnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui penyebab penyakitnya dengan pasti perlu dilakukan pembukaan akar (Semangun 2006).

(12)

2

serangan JAP telah mencapai 20000 hektar dengan perkiraan kerugian hasil sebesar Rp 7.82 milyar (Muharni et al. 2011).

Upaya pengendalian penyakit JAP yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan fungisida sintetis. Selain tidak efektif, penggunaan bahan kimia sering menimbulkan residu pada lingkungan dan membunuh organisme bukan sasaran. Selain penggunaan fungisida sintetis, beberapa cara pengendalian JAP yang telah dilakukan, diantaranya dengan menghilangkan tunggul-tunggul atau organ tanaman berkayu secara tuntas sebagai sumber infeksi, menanam tanaman penutup tanah jenis leguminosa, serta pengendalian hayati dengan menggunakan agens hayati seperti Trichoderma sp. yang bersifat antagonis terhadap patogen tumbuhan. Pengendalian hayati dengan menggunakan agens hayati yang bersifat antagonis merupakan salah satu altenatif pengendalian patogen tular tanah yang lebih aman dan ramah lingkungan, serta dapat mengurangi penggunaan dari fungisida yang berdampak buruk terhadap organisme lain (Pawirosoemardjo 2004).

Pengendalian hayati terhadap patogen tanaman adalah pemanfaatan satu atau lebih organisme untuk mengurangi kepadatan inokulum, aktifitas patogen atau parasit dalam keadaan aktif atau dorman dengan cara mengintroduksi satu atau lebih antagonis pada lingkungan atau inang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Aspek dari pengendalian hayati adalah memanipulasi mikroorganisme yang kompetitif atau yang bersifat antagonis terhadap patogen tanaman yang interaksinya di alam dapat menurunkan atau mencegah terjadinya penyakit tanaman. Keberhasilan pengendalian hayati sangat ditentukan oleh jenis dan jumlah inokulum antagonis yang diberikan, jenis patogen yang akan dikendalikan, dan faktor lingkungan yang memengaruhi, serta cara aplikasi ke dalam tanah (Cook & Baker 1996).

Cendawan antagonis yang telah banyak dimanfaatkan sebagai pengendali hayati patogen tumbuhan adalah Trichoderma sp. Biakan cendawan Trichoderma sp. dalam media apikatif seperti dedak dapat diberikan ke areal pertanaman dan bersifat sebagai biodekomposer serta sebagai biofungisida. Trichoderma harzianum merupakan salah satu dari spesies Trichoderma sp. yang mampu berperan sebagai pengendali hayati karena mempunyai aktivitas antagonistik yang tinggi terhadap cendawan patogen tular tanah. Cendawan ini termasuk ke dalam jenis cendawan tanah, sehingga sangat mudah didapatkan di berbagai macam tanah, dipermukaan akar berbagai macam tumbuhan, dan juga dapat diisolasi dari kayu busuk atau serasah. T. harzianum sebagai agens pengendali patogen tumbuhan memiliki beberapa keunggulan diantaranya memiliki mekanisme pengendalian yang bersifat spesifik target, mampu mengoloni rhizosfer dengan cepat dan melindungi akar dari serangan cendawan patogen, mampu mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi tanaman. Selain itu, Trichoderma sp. sebagai agens antagonis mudah dibiakkan secara massal, mudah disimpan dalam waktu lama dan dapat diaplikasikan sebagai seed furrow dalam bentuk tepung atau granular (Amin et al. 2010).

(13)

3

boinense. Trichoderma sp. juga dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan beberapa cendawan patogen yang lain seperti Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, dan Sclerotium rolfsii (Chet 1987, Aeny 2010). Hasil penelitian Misni et al. (2004) menunjukkan bahwa T. harzianum dapat menekan perkembangan penyakit layu F. Oxysporum f.sp. lycopersici (Sacc.) pada tanaman tomat sebesar 80 % dan dapat mempertahankan persentase bunga menjadi buah sebesar 71.47 % serta mampu meningkatkan produksi tanaman.

Selain penggunaan Trichoderma sp., agens antagonis yang sudah luas digunakan dalam pengendalian secara biologi adalah mikoriza. Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualistik antara cendawan dan akar tanaman. Simbiosis tersebut bermanfaat bagi keduanya, dimana cendawan mikoriza memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula sederhana (glukosa) dan Karbon (C) dari tumbuhan, sedangkan cendawan melalui hifa eksternalnya yang terdistribusi di dalam tanah dapat menyalurkan air, mineral, dan hara tanah untuk membantu aktifitas metabolisme tumbuhan inangnya (Brundrett et al. 2008). Mikoriza mampu meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen akar, misalnya dengan menghasilkan selubung akar atau antibiotik. Mikoriza juga dapat meningkatkan resistensi terhadap kekeringan, terutama pada daerah yang kurang hujan. Pertumbuhan tanaman pada tanah yang tercemar logam berat dapat diting-katkan ketahanannya jika dikolonisasi oleh mikoriza, misalnya pada daerah pertambangan. Mikoriza juga mampu menyesuaikan diri pada lingkungan yang ekstrim, terutama pada tanah marginal.

Penelitian mengenai mikoriza telah mulai banyak dilakukan, seperti yang dilaporkan oleh Hasanudin (2008), bahwa mikoriza dapat membantu meningkatkan produksi kedelai pada tanah ultisol di Lampung, bahkan pada penelitian lebih lanjut dilaporkan bahwa penggunaan mikoriza dapat meningkatkan produksi jagung yang mengalami kekeringan sesaat pada fase vegetatif dan generatif. Mikoriza juga sangat berperan dalam meningkatkan toleransi tanaman terhadap lahan kritis, yang berupa kekeringan dan banyak terdapatnya logam-logam berat. Potensi mikoriza sebagai agen antagonis tergantung pada kondisi lingkungan. Keberadaan mikoriza juga bersifat sinergis dengan bakteri pelarut fosfat dan Trichoderma sp. (Setiadi 1989). Informasi mengenai keefektifan T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya untuk menekan perkembangan JAP masih minim. Oleh karena itu, dilakukan suatu kajian yang bertujuan untuk mengetahui potensi T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya dalam menekan perkembangan JAP pada tanah yang ditanami karet.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan mengkaji potensi agens hayati T. harzianum dan mikoriza dalam mengendalikan penyakit jamur akar putih (R. lignosus) pada tanaman karet di pembibitan.

Manfaat Penelitian

(14)

4

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2014 sampai bulan Mei 2015 di Rumah Kaca Cikabayan dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Peremajaan Isolat Rigidoporus lignosus

Isolat Rigidoporus lignosus yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Isolat R. lignosus ditumbuhkan pada media PDA sebanyak 10 cawan petri yang berdiameter 9 cm dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Komposisi media PDA untuk 1 liter terdiri atas campuran agar 20 gram, kentang 200 gram, aquades 1000 ml, dextrose 20 gram, antibiotik chloramphenicol setengah kapsul per erlenmeyer. Media PDA yang telah dibuat dimasukkan ke dalam erlenmeyer terlebih dahulu lalu disterilkan dengan menggunakan autoklaf, kemudian dituang ke masing–masing cawan petri sebanyak 10 cawan dalam keadaan steril di laminar air flow. Peremajaan isolat dilakukan dengan cara satu bulatan R. lignosus yang berdiamter 1 cm diletakkan diatas media PDA.

Pembiakan Massal Trichoderma harzianum

Isolat Trichoderma harzianum yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. T. harzianum diremajakan pada media PDA dan diinkubasi pada suhu ruang selama 5 hari. Pembiakan massal dilakukan dengan meletakkan 10 bulatan T. harzianum yang sudah berhasil diremajakan ke dalam media jagung pipil steril yang sudah dimasukkan ke dalam plastik tahan panas. Inkubasi dilakukan selama 14 hari untuk mendapatkan massa T. harzianum yang telah menutupi seluruh permukaan jagung.

Persiapan Inokulum Patogen

Inokulasi artifisial dilakukan dengan inokulum R. lignosus yang diperbanyak pada ranting karet yang berdiameter 1 cm dengan ukuran panjang 5 cm. Ranting karet kemudian direndam selama 24 jam dan dikeringanginkan, kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas dan disterilkan dengan autoklaf. Selanjutnya, ranting karet yang sudah disterilkan diinokulasi dengan biakan R. lignosus yang berumur 7 hari dan diinkubasi selama 2 minggu.

Uji Antagonisme in vitro R. lignosus dengan T. harzianum

(15)

5

Rumus persen hambatan cendawan antagonis = (R1- R2)/R1 x 100% R1: hifa patogen yang menjauhi agens antagonis

R2: hifa patogen yang mendekati agens antagonis.

Uji antagonisme dilakukan sebanyak 3 perlakuan yaitu (1) R. lignosus, (2) T. harzianum, (3) R. lignosus dan T. harzianum yang ditumbuhkan secara bersamaan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali.

Persiapan Media Tanam dan Penanaman Bibit Karet

Media tanam yang digunakan dalam penelitian adalah campuran tanah yang sudah disterilkan, pupuk kandang, dan pupuk kompos. Media tanam yang sudah siap langsung dimasukkan ke dalam polybag berukuran 30 cm x 30 cm. Bibit karet yang digunakan adalah klon GD 139 yang berumur 6 bulan. Dilakukan penyiraman setiap hari pada pagi hari serta dilakukan penyiangan gulma yang tumbuh di polybag secara manual. Pupuk diberikan pada bibit karet setelah pembentukan tajuk yang pertama dengan memberikan 10 gram pupuk majemuk NPK 15-15-15.

Aplikasi Mikoriza dan T. harzianum pada Bibit Karet

Mikoriza yang digunakan adalah mikoriza dalam bentuk granul dan sudah siap pakai yang diproduksi oleh BPTP Serpong. Mikoriza diberikan bersamaan pada saat penanaman bibit karet pada polybag (pindah tanam). Mikoriza diberikan sebanyak 10 gram per tanaman di daerah sekitar perakaran bibit karet. Setelah 3 minggu aplikasi mikoriza dilakukan aplikasi T. harzianum yang telah diperbanyak pada jagung pecah steril. T. harzianum diberikan di daerah sekitar perakaran sebanyak 10 gram pada masing - masing tanaman.

Inokulasi buatan R. lignosus pada bibit karet

Inokulasi buatan R. lignosus yang telah dibiakkan pada potongan ranting karet dilakukan 1 minggu setelah aplikasi T. harzianum disekitar perakaran. Inokulasi dilakukan dengan cara menempelkan sumber inokulum pada leher akar tanaman karet.

Pengamatan

Peubah yang diamati adalah periode laten, laju infeksi, keparahan penyakit, kejadian penyakit, tinggi tanaman, serta tingkat asosiasi mikoriza. Untuk mengetahui periode laten dilakukan pembukaan pada leher akar bibit karet yang dimulai 2 minggu setelah inokulasi patogen. Bibit karet yang positif terserang JAP terdapat rhizomorf yang menempel pada akar bibit karet tersebut. Kejadian penyakit JAP dihitung dengan menggunakan persamaan:

Kejadian penyakit (Townsend & Heuberger 1943) = n/(N ) x 100% n : jumlah tanaman yang terinfeksi jamur akar putih

N : jumlah tanaman yang diamati

Menurut Tombe et al. (2002) (dimodifikasi) untuk pengamatan dan monitoring keparahan penyakit akibat serangan JAP (R. lignosus) digunakan sistem skoring sebagai berikut:

(16)

6

(1) : rhizomorf baru menempel sampai mulai berpenetrasi ke dalam jaringan akar, tetapi akar belum mengalami pembusukan. Daun tanaman terutama bagian bawah mulai agak layu

(2) : jaringan akar sudah mulai membusuk sampai pada pangkal batang. Tanaman sudah mulai layu dan daun mulai berguguran.

Keparahan penyakit dihitung dengan menggunaan persamaan:

Keparahan penyakit (Townsend & Heuberger 1943) = x 100% ni : jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i

vi : skor ke-i

N : jumlah tanaman yang diamati V : skor tertinggi

Laju infeksi dihitung dengan menggunakan persamaan:

Laju infeksi (Van der Plank 1963) = (log - log ), dengan t adalah selang waktu pengamatan, Xt adalah keparahan penyakit pada waktu-t, dan Xo adalah keparahan penyakit pada pengamatan sebelumnya.

Pengamatan tingkat asosiasi mikoriza dilakukan dengan metode pencucian jaringan sel dan pewarnaan yang dilakukan Bundrett et al. (1996). Akar karet terlebih dahulu dicuci pada air mengalir, kemudian dipotong dengan ukuran 1 cm sebanyak 1 gram. Akar yang telah dipotong kemudian dimasukkan ke dalam larutan KOH 10 % dan dipanaskan pada suhu 95 0C selama 1 jam. Akar yang masih berwarna gelap dimasukkan ke dalam larutan H2O2 10 % selama 10 menit.

Kemudian akar dibilas dengan air, dan dimasukkan ke dalam larutan HCL 0.5 % selama 15 menit, setelah itu direndam dalam larutan trypan blue 0.05 % dan larutan lactid acid glyserol yang terdiri dari campuran asam laktat, gliserol, dan aquades, kemudian dipanaskan pada suhu 85 0C selama 15 menit. Akar yang telah diwarnai kemudian disimpan dalam larutan 50 % gliserol selama 24 jam, dan setelah itu disebar secara merata pada cawan petri yang berdiameter 14 cm dan sudah diberi gridline yang berukuran 0.8 cm x 0.8 cm. Akar yang sudah disebar pada cawan kemudian diamati dibawah mikroskop stereo untuk mengetahui apakah jaringan akar sudah berasosiasi dengan mikoriza atau belum. Jaringan akar yang diduga sudah berasosiasi dengan mikoriza kemudian diamati dibawah mikroskop compound untuk mengetahui struktur khas dari mikoriza tersebut.

Tingkat asosiasi mikoriza (Smith & Dickson 1997) = x 100 %

A = jumlah akar yang terinfeksi x gridline (0.8 cm) x (panjang akar terinfeksi)

B = jumlah total akar x gridline (0.8 cm) x (panjang akar total terinfeksi dan yang tidak terinfeksi)

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

(17)

7

pada penelitian. Adapun jenis perlakuannya yaitu (1) R. lignosus tanpa agens hayati; (2) R. lignosus + T. harzianum; (3) R. lignosus + Mikoriza; (4) R. lignosus + Mikoriza + T. harzianum; (5) Tanpa inokulasi R. lignosus, tanpa agens hayati; (6) T. harzianum tanpa inokulasi R. lignosus; (7) Mikoriza tanpa inokulasi R. lignosus; (8) Mikoriza + T. harzianum tanpa inokulasi R. lignosus. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan statistical analisis system (SAS). Perlakuan yang berpengaruh nyata akan diuji lanjut menggunakan

(18)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Antagonisme in vitro R. lignosus dengan T. harzianum

Pada hari pertama uji ganda in vitro, belum nampak daya hambatan koloni cendawan R. lignosus oleh T. harzianum. Hal tersebut diketahui dari diameter koloni patogen yang hampir sama dengan T. harzianum dan belum terjadi kontak langsung antara kedua koloni. Interaksi antara kedua koloni sudah mulai nampak pada 2 hsi dimana diameter koloni T. harzianum sudah lebih besar dari diameter koloni patogen. Pada hari ketiga dan keempat pengamatan, pertumbuhan koloni R. lignosus menjadi sangat terhambat terutama pada bagian yang berdekatan dengan koloni T. harzianum, sedangkan pertumbuhan koloni T. harzianum semakin meluas dan mulai tumbuh diatas koloni patogen yang menunjukkan adanya mekanisme hiperparasitisme. Pada 5 hsi, pertumbuhan koloni T. harzianum sudah memenuhi cawan bahkan menutupi pertumbuhan koloni R. lignosus (Gambar 1).

Selain hiperparasitisme, T. harzianum juga memiliki mekanisme antibiosis

dengan menghasilkan viridin sebagai antibiotik, serta menghasilkan enzim β -1,3-glukanase dan kitinase yang menyebabkan eksolisis pada hifa inangnya (Chet 1987, Aeny 2010). Mekanisme lisis mulai nampak pada 3 hsi dimana terdapat zona hambatan diantara kedua koloni yang terjadi sebelum koloni T. harzianum mampu tumbuh diatas koloni R. lignosus. Hal tersebut juga telah disampaikan oleh Danielson dan Davey (2002) yang menyatakan bahwa T. harzianum dapat memproduksi enzim litik dan antibiotik antifungal, dapat berkompetisi dengan patogen, dapat membantu pertumbuhan tanaman, dan memiliki kisaran penghambatan yang luas karena dapat menghambat berbagai jenis fungi, seperti Ganoderma boninense, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, dan Sclerotium rolfsii.

Hari ke – 2 Kontrol

a

Hari ke – 4

Gambar 1 Uji ganda R. lignosus dengan T. harzianum pada 2 hsi - 5hsi: (A) pada 2 hsi, diameter koloni Th sudah lebih besar dari diameter koloni patogen, (B) pada 3 hsi, pertumbuhan koloni patogen menjadi sangat terhambat, pertumbuhan Th semakin cepat dan meluas, (C) pada 4 hsi, koloni Th sudah mulai tumbuh diatas koloni patogen, (D) pada 5 hsi, Koloni Th sudah memenuhi cawan dan menutupi seluruh permukaan koloni patogen. (Th) T. harzianum, (P) R. lignosus

Th

Th Th

Th P

P P

P P P

P

A B

(19)

9

Uji Keefektifan Agens Hayati dalam Penghambatan JAP pada Karet Pada 21 hsi (hari setelah inokulasi), perlakuan yang diinokulasi R. lignosus tanpa agens hayati terdapat miselium berwarna putih yang menyerupai akar rambut (rhizomorf) mulai menempel pada akar bibit karet (Gambar 2C). Seiring bertambahnya hari, rhizomorf yang muncul semakin meluas dan mulai berpenetrasi ke dalam jaringan akar. Hal ini menyebabkan terjadinya gejala layu kering pada tajuk terutama pada daun bagian bawah, yang terjadi pada 28 hsi (Gambar 2A). Infeksi lanjut dari JAP menyebabkan tanaman menjadi kering dan daun mulai berguguran hingga dapat menyebabkan kematian pada bibit (Gambar 2B). Kematian pada bibit karet disebabkan karena akar sudah membusuk, dimana akar menjadi lunak dan berubah warna menjadi hitam serta rhizomorf yang masih menempel pada akar berubah warna menjadi coklat (Gambar 2D). Pada umumnya, kematian bibit karet terjadi pada 56 hsi. Pada perlakuan bibit karet yang tidak diinokulasi R. lignosus walaupun diinfestasikan Trichoderma harzianum, mikoriza atau kombinasinya, gejala layu kering tidak terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa T. harzianum dan mikoriza tidak bersifat patogenik pada bibit karet.

Gejala JAP yang muncul pada percobaan sesuai dengan pernyataan Semangun (2006) yang menyatakan bahwa tanaman yang terserang JAP mula−mula daunnya tampak kusam, kurang mengkilat, dan melengkung ke bawah, setalah itu daun−daun menguning dan rontok. Gejala pada bagian di atas tanah mirip dengan gejala yang disebabkan oleh penyakit−penyakit akar pada umumnya, untuk itu perlu dilakukan pembukaan akar untuk mengetahui penyebab pastinya. Pada permukaan akar yang sakit terdapat benang−benang miselium jamur (rhizomorf) berwarna putih menjalar sepanjang akar. Rhizomorf terlihat seperti benang yang meluas dan bercabang−cabang seperti jala. Kadang-kadang rhizomorf berwarna kekuningan dan kecokelatan menyerupai warna tanah jika sudah terlalu lama tertimbun tanah, kulit yang sakit akan busuk dan warnanya cokelat. Kayu dari akar yang baru saja mati tetap keras, berwarna cokelat, kadang-kadang agak kekelabuan. Pada pembusukan yang lebih jauh, kayu berwarna putih atau krem, tetapi padat dan kering, meskipun di tanah basah kayu yang terserang dapat busuk.

.

Gambar 2 Gejala penyakit jamur akar putih: (A) daun bagian bawah mulai menguning (28 hsi), (B) tanaman kering dan layu (56 hsi), (C) terdapat rhizomorf patogen disekitar akar (21 hsi), (D) akar sudah membusuk (49 hsi)

[image:19.595.109.524.541.697.2]
(20)

10

Tabel 1 Pengaruh T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya terhadap periode laten, kejadian penyakit, keparahan penyakit, laju infeksi penyakit JAP, tinggi tanaman, dan tingkat asosiasi mikoriza

a

TA= tanpa agens hayati; RL= Rigidoporus lignosus; TH= Trichoderma harzianum; M= Mikoriza b

nilai yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan

DMRT α=5%

Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian agens hayati, baik secara tunggal maupun kombinasi mampu mengendalikan dan menekan perkembangan penyakit JAP pada perlakuan yang diinokulasi R. lignosus. Hal tersebut dapat diketahui dari angka kejadian dan keparahan penyakit pada semua perlakuan yang diinokulasikan patogen dengan infestasi agens hayati lebih rendah daripada perlakuan tanpa agens hayati. Adanya agens hayati yang diinfestasikan pada bibit karet mampu mengurangi laju infeksi dan mampu memperlambat periode laten dari penyakit JAP, sehingga mampu menekan perkembangan dari penyakit JAP tersebut. Nilai kejadian dan keparahan penyakit tertinggi terjadi pada perlakuan yang diinokulasi R. lignosus tanpa agens hayati, yaitu mencapai 100%, sedangkan pada perlakuan yang diinokulasi R. lignosus dengan aplikasi agens hayati memiliki nilai kejadian dan keparahan penyakit yang lebih rendah dari 100%. Hal tersebut menandakan bahwa pemberian T. harzianum dan mikoriza efektif dalam menekan perkembangan penyakit JAP pada bibit karet di rumah kaca.

Meskipun pemberian T. harzianum dan mikoriza secara tunggal maupun kombinasinya mampu menekan perkembangan penyakit JAP, perlakuan T. harzianum secara tunggal lebih efektif bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya dalam mengendalikan penyakit JAP pada karet untuk di pembibitan. Perlakuan mikoriza secara tunggal maupun kombinasinya kurang efektif jika digunakan di pembibitan karena mikoriza membutuhkan waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan T. harzianum dalam menghambat perkembangan penyakit JAP. Namun, tidak menutup kemungkinan peggunaan mikoriza maupun kombinasinya dengan T. harzianum justru lebih efektif dalam mengendalikan JAP pada perkebunan karet yang sudah dewasa, karena tanaman yang telah terkolonisasi atau terinfeksi oleh mikoriza pada fase pembibitan, tanaman tersebut akan membawa hifa ataupun spora cendawan mikoriza tersebut selama tanaman tersebut tumbuh (Bundrett et al. 2008).

Aplikasi mikoriza secara tunggal maupun kombinasi dengan T. harzianum efektif bila digunakan dalam pengendalian patogen untuk jangka panjang karena Perlakuana Periode

laten (hsi)b Kejadian penyakit (%)b Keparahan penyakit (%)b Laju infeksib Tinggi tanaman (cm)b Tingkat asosiasi mikoriza (%)b

(21)

11

membutuhkan waktu yang cukup lama agar mampu berasosiasi secara menyeluruh pada jaringan akar karet. Menurut Simanjuntak et al. (2013) aplikasi mikoriza tiga bulan sebelum inokulasi sumber inokulum patogen akan memberikan peluang bagi cendawan tersebut untuk dapat menginfeksi akar dan berkolonisasi di dalam jaringan perakaran bibit kelapa sawit PN. Oleh karena itu, ketika akar bibit kelapa sawit bertemu dengan sumber inokulum patogen, patogen yang mungkin dapat menginfeksi bagian ujung akar tidak akan mampu berkembang ke bagian akar yang lebih dalam. Sifat antagonisme mikoriza yang diuji diduga mampu mengalahkan perkembangan Ganoderma sp. dari segi ruang dan nutrisi khususnya di daerah perakaran bibit kelapa sawit yang menjadi tempat kompetisi bagi dua mikroorganisme tersebut.

Penekanan perkembangan penyakit JAP oleh T. harzianum dan mikoriza dilakukan dengan berbagai mekanisme yang dapat menghambat proses penetrasi patogen pada jaringan tanaman, sehingga mampu memperlambat munculnya gejala dan periode laten dari penyakit JAP. Berdasarkan data periode laten pada tabel 1, rerata periode laten tercepat terjadi pada perlakuan yang diinokulasi R. lignosus tanpa agens hayati yaitu pada 31.12 hari setelah inokulasi. Hal tersebut diduga karena patogen lebih cepat beradaptasi menginfeksi akar bibit karet tanpa diinfestasikan agens hayati. Sedangkan, rerata periode laten terlambat terjadi pada perlakuan yang diinokulasikan R. lignosus yang dikombinasikan dengan pemberian T. harzianum yaitu 40.75 hari setelah inokulasi. Pada perlakuan yang tidak diinokulasi R. lignosus tidak memiliki periode laten karena tidak ada gejala yang muncul pada bibit karet.

Perlakuan agens hayati mampu memperlambat periode laten atau masa inkubasi dari penyakit JAP, karena terjadi persaingan antara patogen dengan agens hayati. Hal ini didukung dari hasil uji ganda antagonisme dari T. harzianum terhadap JAP (Gambar 1). Oleh karena itu, patogen menjadi tertekan pertumbuhannya sehingga tidak dapat melakukan proses awal patogenesis yaitu proses penetrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Widodo (1993) yang menyatakan bahwa patogen sukar melakukan penetrasi ke tanaman dan menimbulkan penyakit apabila sistem perakaran terkuasai antagonis. Selain itu juga menurut Agrios (1997), kondisi lingkungan yang mendukung perkembangan patogen dan kurang mendukung bagi tanaman akan mempercepat masa inkubasi.

Pemberian agens hayati juga mampu mengurangi laju infeksi penyakit JAP, hal ini dapat diketahui dari rerata laju infeksi pada perlakuan yang diinfestasi agens hayati lebih kecil dan berbeda nyata dengan perlakuan tanpa agens hayati. Rata-rata laju infeksi yang terbesar terjadi pada perlakuan inokulasi patogen tanpa agens hayati yaitu sebesar 0.99, sedangkan laju infeksi terkecil terjadi pada perlakuan R. lignosus yang dikombinasikan dengan T. harzianum dan mikoriza yaitu sebesar 0.24. Nilai rerata laju infeksi yang kecil menandakan jika pertambahan laju infeksi tersebut terjadi dengan sangat lambat. Hal ini diduga adanya agens hayati yang diaplikasikan di sekitar perakaran mampu menghambat laju perkembangan dari patogen. Hal ini sesuai dengan penelitian Widiastuti et al. (2004) yang menyatakan bahwa kombinasi agens biokontrol T. harzianum dan mikoriza menghasilkan kemampuan menekan perkembangan penyakit tular tanah di pembibitan kelapa sawit.

(22)

12

berarti patogen memiliki agresifitas yang rendah, sedangkan apabila nilai laju infeksi lebih besar dari 0.5 unit per hari berarti patogen memiliki agresifitas yang tinggi. Berdasarkan nilai laju infeksi dari perlakuan R. lignosus tanpa agens hayati yang melebihi 0.5 unit per hari yaitu 0.99 unit per hari, dapat dikatakan isolat JAP yang digunakan memiliki agresifitas yang tinggi. Selain itu juga, tingkat keagresifan patogen dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya dan ketahanan inang (Van der Plank 1963, Pawirosoemardjo et al. 2004).

Trichoderma harzianum memiliki daya antagonis terhadap patogen dengan mekanisme mikoparasitik, kompetisi, antibiosis dan lisis dengan menghasilkan enzim dan toksin yang dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen. Sesuai dengan pernyataan Harman (2000) yang menyatakan bahwa mekanisme pengendalian cendawan fitopatogen meliputi mikoparasitik, antibiosis, kompetisi ruang dan nutrisi, serta mengahancurkan dinding sel cendawan patogen, menghasilkan enzim kitinase dan b-1-3-glukanase. Akibatnya, hifa cendawan patogen akan rusak protoplasmanya dan cendawan patogen akan mati. Selain itu, T. harzianum mampu menghasilkan enzim penghidrolisis dinding sel patogen yang akan menghambat sintesis selaput dinding sel dan meningkatkan keaktifan yang bersifat fungisida. Akibat terganggunya sintetis tersebut menyebabkan menurunnya kemampuan patogen dalam menginfeksi dan menyebabkan gejala pada bibit karet. Keberhasilan Trichoderma sp. dalam mengendalikan berbagai cendawan patogen sudah banyak dilaporkan. T. harzianum dilaporkan mampu menurunkan intensitas penyakit busuk pepelah R. solani pada saat tanam yaitu sebesar 29.1% - 37.2% (Soenartiningsih et al. 2014).

Pemberian T. harzianum selama 8 minggu setelah aplikasi (MSA) belum mampu menurunkan kejadian dan keparahan penyakit setiap minggunya dan belum mampu menyembuhkan bibit karet yang terinfeksi JAP hingga 0%. Hal ini menunjukkan bahwa T. harzianum hanya mampu menghambat perkembangan dari penyakit JAP dan belum mampu menyembuhkan penyakit JAP. Ini disebabkan T. harzianum tidak langsung mematikan spora patogen, tetapi menghambat pertumbuhannya dari sekitar tanahnya, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama lagi bagi T. harzianum untuk mengendalikan JAP, agar tanaman terbebas dari JAP. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harman (2000) yang menyatakan bahwa Trichoderma sp. tidak mematikan secara langsung spora cendawan penyebab penyakit tetapi menghambat pertumbuhan cendawan tersebut dari tanah sekitarnya. Hal ini terjadi karena pertumbuhan spora T. harzianum lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan spora cendawan patogen. Trichoderma sp. dapat menghasilkan antibiotik glikotoksin yang mampu menghambat pertumbuhan cendawan parasit seperti Pythium pada tanaman.

(23)

13

Peningkatan enzim peroksidase dan kalosa dapat menjadi penghalang fisik dan kimia terhadap penetrasi patogen pada bagian akar maupun daun (Howell 2014). Selain itu, pemberian agens antagonis juga mampu memicu sistem kekebalan tanaman, dan dikenal sebagai resistensi sistemik terinduksi terhadap beberapa patogen tanaman. Pemberian agens antagonis juga dapat mengubah sistem akar menjadi lebih besar, sehingga penyerapan nutrisi atau hara untuk tanaman menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan produksi (Harman 2000).

T. harzianum yang diaplikasikan pada tanah di sekitar perakaran bibit karet akan mampu mendekomposisi bahan organik yang ada di dalam tanah yang mana salah satu fungsi Trichoderma sp. itu sendiri adalah sebagai dekomposer sehingga dapat memudahkan penyerapan unsur hara bagi tanaman. Unsur hara yang tersedia merupakan hasil dari dekomposisi oleh Trichoderma sp. yang menghidrolisis bahan organik menjadi unsur hara. Menurut Pandriyani dan Supriati (2010), Trichoderma sp. dapat menghasilkan enzim-enzim pengurai yang dapat menguraikan bahan organik. Penguraian ini akan melepaskan hara yang terikat dalam senyawa komplek menjadi tersedia terutama unsur N dan P.

Pemberian T. harzianum, baik secara tunggal maupun kombinasinya dengan mikoriza pada perakaran bibit karet selain berfungsi sebagai pengendali penyakit JAP, dapat juga berperan dalam memperbaiki vigor tanaman. Hal ini dapat diketahui pada perlakuan yang diinfestasi T. harzianum yang memiliki tinggi tanaman yang tertinggi yaitu mencapai 94 cm. Pulungan (2014) melaporkan bahwa pemberian T. harzianum mampu memberikan kesuburan pada tanaman serta dapat mengaktifkan zat stimulan pertumbuhan tanaman yang ada di dalam tanaman, sehingga T. harzianum dapat berperan sebagai plant growth enhancer (peningkat pertumbuhan tanaman). Hal ini juga didukung oleh penelitian Suwahyono & Wahyudi (2004) yang menyatakan bahwa pemberian Trichoderma sp. pada tanaman alpukat mampu meningkatkan jumlah akar dan lebar daun, serta tumbuh pucuk daun yang baru setelah beberapa minggu terserang penyakit. Selain itu, Sutanto (2002) menyatakan bahwa Trichoderma sp. merupakan mikroba tanah yang mempunyai peranan kunci dalam kesuburan tanah. Pertama, Trichoderma sp. berperan sebagai mesin yang mengatur hara secara simultan sehingga membuat hara tersedia bagi tanaman dan menyimpan unsur hara yang belum dimanfaatkan. Kedua, Trichoderma sp. berperan dalam pelaksanaan sintesis terhadap sebagian besar bahan organik yang bersifat stabil seperti humus yang berfungsi sebagai penyimpan hara dan berperan dalam memperbaiki struktur tanah.

Infestasi mikoriza pada akar tanaman dapat meningkatkan ketahanan tanaman dari serangan patogen akar. Mikoriza melakukan asosiasi pada akar tanaman dengan membentuk struktur khusus yang dapat mencegah patogen menginfeksi tanaman, hal ini dibuktikan dengan keparahan penyakit JAP pada perlakuan yang diinokulasi R. lignosus dan infstasi mikroiza, baik secara tunggal maupun kombinasinya dengan T. harzianum lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan R. lignosus tanpa agens hayati. Sistem perakaran karet dapat diperbaiki dan ditingkatkan ketahanan terhadap penyakit JAP dengan adanya asosiasi perakaran karet dan mikoriza. Akar yang terkolonisasi mikoriza dapat terlindungi dari patogen tanaman (Morin et al. 1999).

(24)

14

mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara, sehingga tanaman lebih sehat dan pada akhirnya mampu menghambat infeksi patogen melalui mekanisme enzimatis yang dihasilkan oleh tanaman dan mikoriza. Proses penghambatan masuknya patogen ke akar tanaman yaitu dengan memanipulasi kondisi yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan patogen pada tanaman yaitu dengan jalan menggunakan karbohidrat dan eksudat akar oleh mikoriza, sehingga mikoriza dapat memanfaatkan karbohidrat dan eksudat-eksudat untuk menghasilkan zat-zat tertentu yang dapat berfungsi untuk menekan atau mematikan patogen sehingga patogen tidak mampu menginfeksi akar tanaman. Pemberian mikoriza mampu meningkatkan ketersediaan hara mineral bagi tanaman, baik berupa unsur makro maupun mikro, terutama meningkatkan ketersediaan fosfor dan nitrogen bagi tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza melalui akar eksternalnya menghasilkan senyawa glikoprotein, glomalin, dan asam-asam organik yang akan mengikat butir-butir tanah menjadi agregat mikro, kemudian agregrat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah diserap tanaman (Yuliawati 2002).

Peranan mikoriza dalam meningkatkan ketahanan tanaman dapat disebabkan oleh pengaruh ketahanan terimbas (induksi). Infeksi mikoriza dapat meningkatkan konsentrasi kitinase dan kandungan asam amino terutama arginin, yang merupakan hasil akumulasi pada akar tanaman. Menurut Scharff et al. (1998), pada tanaman kedelai yang terinfeksi mikoriza terjadi peningkatan konsentrasi fitoaleksin, sehingga pengaruh simbiosis mikoriza dengan tanaman inang dapat meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap beberapa patogen. Kolonisasi mikoriza menyebabkan perubahan induksi, seperti terjadinya stimulasi biokimia, yaitu peningkatan fenil propanoid dalam jaringan inang. Selain itu, meningkatnya ketahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen dan parasit akar disebabkan oleh kemampuan mikoriza dalam memproduksi antibiotika guna menghadang patogen tanah.

Pemberian mikoriza mampu meningkatkan tinggi tanaman baik pada bibit karet yang diinokulasi R. lignosus maupun tidak diinokulasi R. lignosus. Rerata tinggi tanaman pada perlakuan mikoriza yang diinokulasi R. lignosus lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan yang diinokulasi R. lignosus namun tanpa agens hayati, hal terebut menandakan bahwa bibit karet masih bisa melakukan pertumbuhan meskipun terserang penyakit JAP. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sufardi et al. (2013) yang menyatakan bahwa pemberian mikoriza sebanyak 10 gram per tanaman dapat meningkatkan tinggi tanaman. Tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa bermikoriza. Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Selain itu, akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman. Manfaat mikoriza dalam ekosistem sangat penting, yaitu berperan dalam siklus hara, memperbaiki struktur tanah dan menyalurkan karbohidrat dari akar tanaman ke organisme tanah yang lain (Brundrett 2004).

(25)

15

[image:25.595.113.455.133.436.2]

senyawa polifosfat. Senyawa polifosfat kemudian dipindahkan ke dalam hifa dan dipecah menjadi fosfat organik yang dapat diserap oleh sel tanaman. Efisiensi pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza (Purba 2005).

Gambar 3 Bentuk asosiasi mikoriza pada akar sekunder karet: (A) jaringan akar yang tidak berasosiasi dengan mikoriza (perbesaran 400x), (B) akar yang berasosiasi dengan mikoriza, (C) miselium mikoriza yang tersebar dalam korteks akar karet (perbesaran 400x), (D) struktur vesikel mikoriza pada jaringan akar karet (perbesaran 400x)

Mikoriza yang diinfestasikan pada perakaran bibit karet sudah berasosiasi dengan akar tanaman. Bentuk asosiasi mikoriza pada perakaran ditandai dengan warna yang lebih gelap pada jaringan akar. Berdasarkan data pada tabel 1, tingkat asosiasi mikoriza yang tertinggi terjadi pada perlakuan mikoriza tanpa inokulasi R. lignosus yaitu sebesar 49.02%. Pada perlakuan yang diinokulasi R. lignosus, tingkat asosiasi mikoriza lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa R. lignosus. Hal ini diduga karena adanya kompetisi antara mikoriza dengan R. lignosus, sehingga perkembangan dari mikoriza menjadi sangat terhambat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Douds et al. (2010) yang menyatakan bahwa adanya mikroba patogen baik bakteri ataupun cendawan yang terdapat dalam tanah cukup signifikan dalam menghambat perkecambahan spora endomikoriza karena mikroba tersebut banyak menginfeksi hifa dan spora mikoriza sehingga menyebabkan kemampuan germinasi spora–spora tersebut terhambat.

Pada jaringan akar karet yang tidak diinfestasi mikoriza, tidak ditemukan adanya asosiasi hifa internal maupun eksternal serta struktur lainnya dari mikoriza pada jaringan akar bibit karet (Gambar 3A), sedangkan mikoriza yang

A B

(26)

16

(27)

17

SIMPULAN

Berdasarkan hasil uji in vitro, T. harzianum mampu menghambat petumbuhan dari R. lignosus dengan beberapa mekanisme penghambatan, diantaranya hiperparasitisme, persaingan ruang dan nutrisi, serta antibiosis dan lisis dengan menghasilkan enzim dan toksin. Sedangkan secara in vivo, diketahui bahwa perlakuan T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya mampu menekan perkembangan penyakit jamur akar putih pada bibit karet selama enam bulan, sekaligus mampu memperbaiki vigor tanaman. Perlakuan T. harzianum secara tunggal sudah mampu mengendalikan serangan R. lignosus pada bibit karet.

SARAN

Perlu dilakukan uji keefektifan pengendalian T. harzianum, mikoriza, dan kombinasi keduanya di lapang dan pengamatan.

(28)

18

DAFTAR PUSTAKA

Aeny TN. 2010. Pengaruh beberapa isolat Trichoderma spp. pada pertumbuhan in vitro Ganoderma boninense, penyebab penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit (Elaeis Guineensis). Di dalam : Hasibuan R et al. Pengelolaan Keragaman Hayati Tanah untuk Menunjang Keberlanjutan Produksi Pertanian Tropika. Prosiding Seminar Nasional Keragaman Hayati Tanah I; 2010 Jun 29–30; Bandar Lampung. Bandar Lampung (ID) : Universitas Lampung. Hlm 304–316.

Agrios GN. 1997. Plant Pathology 4th ed. New York: Academic Press.

Amin F, Razdan VK, Mohiddin FA, Bhat KA, Banday S. 2010. Potential of Trichoderma species as biocontrol agents of soil borne fungal propagules. J Phytol. 2(10): 38-41.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi perkebunan besar menurut jenis tanaman [Internet]. [diunduh 2015 Apr 25]. Tersedia pada: http://bps.go.id. Brundrett MN, Bougher B, Dell T, Grove N, Malajczuk. 1996. Working with

Mycorrhizasin Forestry and Agriculture. Canberra (AU): ACIAR.

Brundrett MN. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. J Biological Reviews. 79: 473-495.

Chet I. 1987. Innovative Approaches to Plant Diseases Control. USA: Wiley-Interscience Publication.

Cook RJ, Baker KF. 1996. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Patogens. Minnesota: APS Press.

Davey CB, Danielson RM. 2002. Non nutritional factors affecting the growth of Trichoderma in culture. Di dalam : Hasibuan R et al., editor. Pengelolaan Keragaman Hayati Tanah untuk Menunjang Keberlanjutan Produksi PertanianTropika. Prosiding Seminar Nasional Keragaman Hayati Tanah I; 2010 Jun 29–30; Bandar Lampung. Bandar Lampung (ID): Universitas Lampung. Hlm 304–316.

Douds J, Nagahashi G, Hepperly PR. 2010. On-farm production ofinoculum of indigenous arbuscular mycorrhizal fungi and assessment ofdiluent of compost for inoculum production. J Bioresource Technology. 101: 2326-2330.

Harman GE. 2000. Myths and dogmas of biocontrol changes in perception derived from research on Trichoderma harzianum. JPlant Dis. 84(4): 377-391.

Hasanudin. 2008. Peningkatan ketersediaan dan serapan N dan P serta hasil tanaman kedelai melalui inokulasi mikoriza Azotobactor dan bahan organik pada ultisol. J Ilmu – Ilmu Pertanian Indonesia. 5: 83-89.

Howell CR. 2014. Mechanism employed by Trichoderma species in the biological control plant diseases: the history and evolution of current concepts. J Plant Disease. 87(1): 4-10.

Morin C, Samson J, Dessureault M. 1999. Protection of black spruce seedlings against Cylindrocladium root rot with ectomycorrhizal fungi. J Canadian Journal of Botany. 77: 169-174.

(29)

19

dalam: Situmorang et al., editor. Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Karet untuk Mempertahankan Potensi Produksi Mendukung Industri Perkaretan Indonesia Tahun 2020. Prosiding Pertemuan Teknis; 2004 Okt 6-7; Palembang. Palembang (ID): Pusat Penelitian Karet. hlm 21-45.

Pulungan MH, Lubis L, Zahara F, Fairuzah Z. 2014. Uji efektifitas Trichoderma harzianum dengan formulasi granular ragi untuk mengendalikan penyakit Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus (Swartz:fr) van Ov) pada tanaman karet di pembibitan. J Online Agroekoteknologi. 2(2): 497 -512. Purba T. 2005. Isolasi dan uji efektifitas jenis MVA terhadap pertumbuhan bibit

kelapa sawit (Elais guineensis jacq) pada tanah Histosol dan Ultisol [tesis]. Medan(ID): Universitas Sumatera Utara.

Scharff AM, I Jakobsen, L. Rosendahl. 1998. The effect of symbiotic Microorganisms on phytoalexin content of soybean roots. J Plant Physiol. 151:716-723.

Semangun H. 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Setiadi Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas – Bioteknologi, IPB.

Simanjuntak D, Fahridayanti, Susanto A. 2013. Efikasi mikoriza dan Trichoderma sebagai pengendali penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma) dan sebagai pemacu pertumbuhan di pembibitan kelapa sawit. JWidyariset. 16(2) : 233 – 242.

Soenartiningsih, Djaenuddin N, Saenong MS. 2014. Efektifitas Trichoderma sp dan Gliocladium sp sebagai agen biokontrol hayati penyakit busuk pelepah daun pada jagung. JPenelitian pertanian tanaman pangan. 133(2) : 129– 135.

Sufardi, Syakur, Karnilawati. 2013. Amelioran organik dan mikoriza meningkatkan status fosfat tanah dan hasil jagung pada tanah andosol. JAgrista. 17(1).

Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik, Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Yokyakarta (ID): Kanisius.

Suwahyono U, Wahyudi P. 2004. Penggunaan Biofungisida pada Usaha Perkebunan [internet]. [diunduh pada 2015 April 26]. Tersedia pada : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/terapan.

Tombe MG, Purnayasa D, Wahyuno, Sugeng , Zulhisnain. 2002. Uji pengendalian penyakit busuk akar jambu mete dengan kompos, pestisida nabati dan agen hayati. Laporan Hasil Penelitian Proyek PHT. Badan Litbang Pertaniaan. Van der Plank JE. 1963. Plant Diseases : Epidemics and control. Di dalam :

Pawirosoemardjo S et al., editor. Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih pada Tanaman Karet secara Biologi dengan Biofungisida Triko SP plus. Prosiding Lokakarya Nasioanal Jamur Akar Putih pada Tanaman Karet; 2006. Hlm 49 – 68.

Widiastuti H. 2004. Biologi interaksi cendawan mikoriza arbuskular kelapa sawit pada tanah masam sebagai dasar pengembangan teknologi aplikasi dini [Disertasi Sekolah Pasca Sarjana]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Widodo. 1993. Penggunaan Pseudomonas kelompok Flourescens untuk

(30)

20

(31)

21

(32)

22

Lampiran 1 Hasil uji sidik ragam pengaruh perlakuan T. harzianum, mikoriza, dan kombinasinya terhadap periode laten penyakit JAP

a

P = perlakuan infestasi agens antagonis dan inokulasi patogen *P menunjukkan berbeda nyata pada taraf α = 5%

Lampiran 2 Hasil uji sidik ragam pengaruh perlakuanT. harzianum, mikoriza,dan kombinasinya terhadap laju infeksi penyakit JAP

a

P = perlakuan infestasi agens antagonis dan inokulasi patogen *P menunjukkan berbeda nyata pada taraf α = 5%

Lampiran 3 Keparahan penyakit JAP pada 21 HSI sampai 56 HSI

Perlakuana Persentase keparahan penyakit JAP pada n- HSI (100%)

21 28 35 42 49 56

TA− RL 0 0 0 0 0 0

TH– RL 0 0 0 0 0 0

M – RL 0 0 0 0 0 0

TH+ M – RL 0 0 0 0 0 0

TA+ RL 6.25 18.75 37.50 68.75 75.00 100.00

TH+ RL 0 0 6.25 6.25 12.50 18.75

M + RL 0 0 18.75 25.00 37.50 50.00

TH+ M + RL 0 0 6.25 18.75 18.75 31.25

a

TA= tanpa agens hayati; RL= Rigidoporus lignosus; TH= Trichoderma harzianum; M= Mikoriza

Lampiran 4 Kejadian penyakit JAP pada 21 HSI sampai 56 HSI

Perlakuana Persentase kejadian penyakit JAP pada n- HSI (100%)

21 28 35 42 49 56

TA− RL 0 0 0 0 0 0

TH– RL 0 0 0 0 0 0

M – RL 0 0 0 0 0 0

TH+ M – RL 0 0 0 0 0 0

TA+ RL 12.50 37.50 62.50 100.00 100.00 100.00

TH+ RL 0 0 12.50 12.50 25.00 25.00

M + RL 0 0 37.50 62.50 62.50 62.50

TH+ M + RL 0 0 12.50 37.50 37.50 37.50

a

TA= tanpa agens hayati; RL= Rigidoporus lignosus; TH= Trichoderma harzianum; M= Mikoriza Sumber keragaman Db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Nilai P

Pa 7 10553.63 1507.66 196.25 0.0001*

Galat 24 184.38 7.68

Total 31 10738.00

Sumber keragaman Db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F hitung Nilai P

Pa 7 4.59 0.65 8.59 0.0001*

Galat 24 2.44 0.07

(33)

23

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 01 September 1993 dari bapak Muhidi dan ibu Srimastutik. Penulis adalah putri keempat dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK dan SDN 2 Sumberjo Rembang pada tahun 2005, SMP Negeri 1 Rembang pada tahun 2008, dan SMA Negeri 2 Rembang tahun 2011. Penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2011 melalui jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) undangan.

Gambar

Gambar 2  Gejala penyakit jamur akar putih: (A) daun bagian bawah mulai menguning (28 hsi), (B) tanaman kering dan layu (56 hsi), (C) terdapat rhizomorf patogen disekitar akar (21 hsi), (D) akar sudah membusuk (49 hsi)
Gambar 3  Bentuk asosiasi mikoriza pada akar sekunder karet: (A) jaringan akar yang  tidak berasosiasi dengan mikoriza (perbesaran 400x), (B) akar yang berasosiasi dengan mikoriza, (C) miselium mikoriza yang tersebar dalam korteks akar karet (perbesaran 400x), (D) struktur vesikel mikoriza pada jaringan akar karet (perbesaran 400x)

Referensi

Dokumen terkait

” , maka sebagai kelanjutan proses, kami Pokja Konstruksi Unit Layanan Pengadaan Kota Kupang mengundang saudara untuk hadir dalam tahapan pembuktian kualifikasi

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, FaxC. Dyah

[r]

This means that if examined from the real empirical facts through the perception of students to the state of service majors related to functional value (want

Untuk menciptakan wiraniaga yang dapat memasarkan produk asuransi jiwa dengan baik, langkah yang dilakukan oleh PT Asuransi Bumi Asih yakni memberikan pendidikan dan pelatihan

Hasil yang sama dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahman dkk 15, juga didapatkan kadar albumin yang lebih rendah pada anak gizi buruk dengan penyakit

Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Menurut Provinsi dan Bukan Angkatan Kerja (Sekolah) Selama Seminggu yang Lalu, 2000-20121. Sumber : BPS, Data diolah dari

kesempatan yang pernah diberikan oleh Allah untuk mengenal kalian lebih. dekat dan membantu studi