JACOMINA TAHAPARY
Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis Sistem Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Kabupaten Maluku Tenggara adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Jacomina Tahapary
JACOMINA TAHAPARY. System of Small Pelagic Fisheries Development in Southeast Maluku District Waters. Supervised by DOMU SIMBOLON and TRI WIJI NURANI.
Southeast Maluku District waters generally shallow in depth and has abundant biologycal resources, particulary small pelagic fisheries. Fishing ground of Southeast Maluku district is 17.879 km2 and small pelagic fisheries production reached 101.583,6 tons. This research was conducted based on system development of small pelagic fisheries in the water of Southeast Maluku District. The purpose of this study were to estimate the potential size of the small pelagic fisheries, determinate the appropriate technology and determining the optimum fishing allocation units in the utilization of small pelagic fisheries resources, and development strategy of small pelagic fisheries in the waters of Southeast Maluku District. The data was analysed using maximum sustainable yield (MSY), multy criteria analysis (MCA), linear goal programming (LGP) and analytical hierarchy process (AHP). The result still below its maximum sustainable level. Utilization rate of indian mackerel (kembung) was 80,82%, round scad (layang) was 8,01%, fringescale sardinella (tembang) 79,69%, anchovies (teri) was 59,99%, silver sardine (lemuru) was 49,03% and trevalies (selar) was 56,33%. Unit efforts of small pelagic fisheries in the waters of Southeast Maluku is 125,43% for indian mackerel, 160,95% for round scad, 60,11% for fringescale sardinella, 38,03% for anchovies, 150,08% for silver sardine and 162,54% for trevalies. Appropriate fishing gears in of Southeast Maluku waters for small pelagic fisheries in optimum allocation were purse seine 12 units, lift net 46 units, drift gill net 408 units and encricling gill net 322 units. The strategy for policy of small pelagic fisheries development is increasing the number of catches for successful implementation.
Keywords: system development, small pelagic, Southeast Maluku District
JACOMINA TAHAPARY. Sistem Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON dan TRI WIJI NURANI.
Pembangunan perikanan tangkap dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha perikanan, diarahkan untuk meningkatkan konsumsi, penerimaan devisa, dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, diidentifikasikan bahwa tujuan pembangunan perikanan tangkap adalah : (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan; dan (2) menjaga kelestarian SDI dan lingkungannya. Tujuan tersebut dewasa ini diperluas cakupannya untuk membantu perekonomian negara, baik dalam penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, maupun pemasukkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
Perairan Kabupaten Maluku Tenggara pada umumnya merupakan perairan yang dangkal dan kaya akan sumber daya hayati khususnya ikan pelagis kecil. Luas areal penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 17.879 km2 dan produksi ikan pelagis kecil mencapai 101.583,6 ton, tetapi pengelolaannya belum dilakukan secara optimal. Hal ini diketahui dari sarana prasarana yang belum memadai dengan usaha penangkapan yang masih bersifat tradisional. Disamping itu kualitas sumber daya manusia (nelayan) relatif masih rendah, dicirikan dengan kemampuan manajemen yang lemah dan keterampilan yang rendah sehingga lambat dalam mengadopsi teknologi. Aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan yang mendiami pulau-pulau kecil sebagian besar terkonsentrasi pada perairan yang menjadi hak ulayatnya. Hal ini disebabkan sarana produksi mereka yang serba terbatas dan kurangnya modal untuk memperluas areal operasi atau intensifikasi usahanya.
Kondisi tersebut kemudian yang menjadi dasar untuk melakukan penelitian tentang sistem pengembangan perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Tujuan penelitian ini adalah untuk pendugaan besarnya potensi sumber daya perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tenggara, menentukan teknologi tepat guna dan alokasi unit penangkapan optimum dalam pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil, dan menentukan strategi pengembangan perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tenggara.
Potensi sumber daya diperoleh melalui analisis Schaefer dan outputnya dapat digunakan untuk menentukan status pemanfaatan dan peluang pengembangan sumber daya ikan pelagis kecil. Untuk pemanfaatan potensi sumber daya ikan pelagis kecil, dibutuhkan teknologi penangkapan tepat guna dan dianalisis melalui pendekatan teknologi, biologi dan sosial ekonomi dengan menerapkan metode multi criteria analysis (MCA).
adalah menentukan kebijakan strategis. Untuk itu dibutuhkan pendekatan sistem, faktor-faktor yang berpengaruh, yang selanjutnya dianalisis melalui analitycal hierarchy process (AHP). Informasi ini sangat penting sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam menentukan prioritas pengembangan perikanan pelagis kecil di perairan Maluku Tenggara di masa depan.
Alat penangkapan ikan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tenggara terdiri dari 4 jenis, yaitu purse seine, bagan, jaring insang hanyut dan jaring insang lingkar. Sedangkan jenis ikan pelagis kecil yang dominan adalah jenis ikan layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger spp), selar (Selaroides spp), lemuru (Sardinella lemuru), tembang (sardinella sp), dan teri (Stolephorus spp).
Hasil dari penelitian ini adalah tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tenggara masih dibawah tingkat potensi lestari. Tingkat pemanfaatan ikan kembung 80,82%, ikan layang 8,01%, ikan tembang 79,69%, ikan teri 59,99%, ikan lemuru 49,03% dan ikan selar 56,33%. Tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tenggara adalah ikan kembung 125,43%, ikan layang 160,95%, ikan tembang 60,11%, ikan teri 38,03%, ikan lemuru 150,08% dan ikan selar 162,54%. Teknologi penangkapan tepat guna yang diprioritaskan di perairan Kabupaten Maluku Tenggara untuk perikanan pelagis kecil adalah purse seine dengan alokasi optimum 12 unit, bagan dengan alokasi 46 unit, jaring insang hanyut dengan alokasi 408 unit dan jaring insang lingkar dengan alokasi 322 unit. Alternatif kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tenggara diprioritaskan pada peningkatan jumlah hasil tangkapan dengan aspek-aspek penting yang diprioritaskan untuk dipertimbangkan yaitu aspek biologi dalam meningkatkan efisiensi alat tangkap, aspek ekonomi dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja, aspek pemasaran dalam penguatan pasar domestik, aspek teknis dalam mengatasi pengaruh lingkungan fisik terhadap selektivitas alat dan aspek sosial dalam meningkatkan upah yang diterima oleh nelayan.Tindakan yang dilakukan untuk meningkatan jumlah hasil tangkapan adalah dengan melakukan pengembangan teknologi penangkapan. Tindakan tersebut juga bermanfaat untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (nelayan) agar dapat memanfaatkan sumber daya ikan secara bertanggungjawab dan lestari.
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
JACOMINA TAHAPARY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Jacomina Tahapary
NRP : C452080021
Program Studi : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Prof. Dr. John Haluan, M.Sc Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Puji Syukur dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian di Kabupaten Maluku Tenggara Provinsi Maluku. Judul Tesis “Sistem Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil di Perairan Kabupaten Maluku Tenggara”, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si sebagai komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar mulai dari persiapan penelitian sampai selesainya tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Mulyono Baskoro, M.Sc sebagai penguji luar komisi atas berbagai masukkan demi penyempurnaan tesis ini.
3. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual, yang telah memberikan ijin belajar bagi penulis.
4. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara dan Kepala sub bidang Perikanan Laut DKP Kabupaten Maluku Tenggara atas kerjasama dan bantuan saat penulis melakukan penelitian.
5. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku.
6. Nelayan-nelayan Kabupaten Maluku Tenggara yang banyak membantu saat penulis melakukan penelitian.
7. Rekan-rekan SPT dan TPT 2008, Eka Anto Supeni, Irfan Yulianto, Andan Hamdani, Hamba A. Mubarok, Muh Syahrir, Hasfiandi, Syamsul Marlin Amir, Irawan Alham, Esa Divinubun, Adi susanto, Hendrawan Syafrie dan Gufran atas kebersamaan dan bantuan selama penulis melaksanakan pendidikan.
Mien Kelabora, Beny Jeujanan, Rein Beruatwarin, Yunet Betaubun, Juliet Putnarubun, dan Fabian Souisa.
9. Papa (Alm) dan mama, kakak-kakak dan adik-adik. Papa Wem dan mama Cos serta kakak-kakak ipar atas segala pengorbanan, doa dan dukungan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.
10. Keluarga Mama Yo Maturbongs, Ibu Corry Resubun/Renjaan, Mas Agung dan Usi Corry atas perhatiannya bagi penulis selama pendidikan.
11. Last but not least, dengan perasaan kasih dan cinta yang dalam bagi suami Hani Tethool dan anak-anak Axel, Abel, Arel dan Ongky atas segala doa, pengertian dan kesabarannya selama penulis di Bogor.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian tesis ini penulis ucapkan terima kasih. Kiranya Tuhan membalas semua kebaikan Bapak/Ibu/Saudara.
Bogor, Juli 2010
Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 19 Juni 1971 dari ayah Junus Tahapary (Almarhum) dan ibu Juliana Leatemia/Tahapary. Penulis merupakan putri kelima dari tujuh bersaudara.
DAFTAR ISI
2.2 Pengembangan Perikanan Tangkap ... 12
2.3 Sistem... 17
2.8 Teknologi Penangkapan Tepat Guna ... 28
2.9 Linear Goal Programming (LGP) ... 29
3.4.3 Perbandingan keunggulan antar unit penangkapan ikan... 42
3.4.4 Optimasi alokasi unit penangkapan ... 44
4 HASIL PENELITIAN... 55
4.1 Kondisi Perikanan Tangkap Pelagis Kecil... 55
4.1.1 Unit penangkapan ... 55
4.1.2 Operasi penangkapan ikan pelagis kecil... 57
4.1.3 Produksi perikanan ... 59
4.2 Potensi Lestari Sumber Daya Perikanan Pelagis Kecil... 60
4.3 Tingkat Pemanfaatan dan Tingkat Pengupayaan ... 64
4.4 Teknologi Penangkapan Tepat Guna ... 65
4.4.1 Penilaian dan standarisasi aspek biologi ... 65
4.4.2 Penilaian dan standarisasi aspek teknis ... 66
4.4.3 Penilaian dan standarisasi aspek ekonomi ... 66
4.4.4 Penilaian dan standarisasi aspek sosial ... 67
4.4.5 Penilaian dan standarisasi berdasarkan aspek gabungan... 68
4.5 Alokasi Optimum Unit Penangkapan Pelagis Kecil ... 70
4.6 Strategi Kebijakan Pengembangan Pelagis Kecil ... 74
4.6.1 Aktor atau pelaku... 77
5 PEMBAHASAN... 79
5.1 Potensi Sumber Daya ... 79
5.2 Teknologi Penangkapan Tepat Guna ... 82
5.2.1 Seleksi unit penangkapan berdasarkan aspek biologi ... 83
5.2.2 Seleksi unit penangkapan berdasarkan aspek teknis... 84
5.2.3 Seleksi unit penangkapan berdasarkan aspek ekonomi ... 85
5.2.4 Penilaian dan standarisasi aspek sosial ... 86
5.2.5 Seleksi unit penangkapan berdasarkan penilaian gabungan 87 5.3 Optimalisasi Unit Penangkapan ... 88
5.4 Strategi Kebijakan Pengembangan Pelagis Kecil ... 90
5.4.1 Proses hierarki analisis... 90
5.4.2 Hierarki proses kedepan... 91
5.4.3 Proses hierarki balik... 96
6 KESIMPULAN DAN SARAN... 111
6.1 Kesimpulan ... 111
6.2 Saran... 112
DAFTAR PUSTAKA ... 103
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Skala banding secara berpasang (Saaty 1991) ... 31
2. Nilai random consistensy index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 (Saaty 1991) ... 32
3. Skor kriteria CPUE... 37
4. Skor kriteria lama trip penangkapan ... 37
5. Skor kriteria Komposisi hasil tangkapan ... 38
6. Skor kriteria ukuran hasil tangkapan... 38
7. Skor kriteria metode pengoperasian alat tangkap ... 39
8. Skor kriteria daya jangkau operasi penangkapan ikan... 39
9. Skor kriteria pengaruh lingkungan fisik terhadap pengoperasian alat tangkap ... 39
10. Skor kriteria selektivitas teknologi penangkapan ikan... 40
11. Skor kriteria tingkat penggunaan teknologi ... 40
12. Skor kriteria pendapatan dan penerimaan kotor per tahun... 41
13. Skor kriteria penerimaan kotor per trip/alat tangkap ... 41
14. Skor kriteria penerimaan kotor per tenaga kerja ... 41
15. Skor kriteria penerimaan kotor per tenaga penggerak kapal/bulan... 41
16. Skor kriteria penilaian dan penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap ... 42
17. Skor kriteria kesempatan kerja kepada nelayan ... 42
18. Skor kriteria jumlah tenaga kerja ... 42
19. Skor kriteria pendapatan nelayan ... 42
20. Matriks banding berpasang (pairwise comparison) (Saaty 1991) ... 50
21. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2004-2008 ... 55
22. Perkembangan jumlah kapal penangkap Tahun 2004-2008 ... 56
23. Banyaknya nelayan dan kelompok nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2004 – 2008... 56
24. Produksi perikanan tangkap ikan pelagis kecil (ton) di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2004 – 2008 ... 59
26. Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual,
effort optimal dan tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil tahun
2004-2008 ... 64
27. Penilaian dan standarisasi aspek biologi untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil... 65
28. Penilaian dan standarisasi aspek teknis untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil... 66
29. Penilaian dan standarisasi aspek ekonomi untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil... 67
30. Penilaian dan standarisasi aspek sosial untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan pelagis kecil... 68
31. Penilaian dan standarisasi aspek gabungan ... 69
32. Hasil dan rangking alternatif pengembangan... 76
33. Skor akhir dan rangking dari tindakan pada proses balik ... 78
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram alir kerangka pikir penelitian ... 7
2. Diagram hierarki sistem pengembangan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tenggara ... 48
3. Diagram hierarki proses balik sistem pengembangan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tenggara ... 49
4. Diagram alir penyusunan strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis di Kabupaten Maluku Tenggara ... 53
5. Grafik kurva potensi lestari ikan layang ... 61
6. Grafik kurva potensi lestari ikan teri ... 61
7. Grafik kurva potensi lestari ikan kembung ... 62
8. Grafik kurva potensi lestari ikan selar ... 62
9. Grafik kurva potensi lestari ikan tembang ... 63
10.Grafik kurva potensi lestari ikan lemuru... 63
11.Diagram hierarki sistem pengembangan perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tenggara... 76
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta lokasi penelitian ... 111
2. Penentuan fungsi persamaan dari analisis LGP dengan LINDO untuk alokasi optimal alat tangkap sumber daya ikan pelagis kecil ... 113
3. Output dan input dari hasil analisis LGP dengan LINDO untuk alokasi optimal alat tangkap sumber daya ikan pelagis kecil... 115
4. Hasil analisis maximum sustainable yield dan effort sumberdaya ikan pelagis kecil ... 117
5. Output hierarki proses kedepan AHP dengan expert choice... 123
6. Output hierarki balik AHP dengan expert choice... 125
7. Jenis-jenis alat tangkap pelagis kecil ... 129
1.1 Latar Belakang
Pembangunan perikanan tangkap dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha perikanan, diarahkan untuk meningkatkan konsumsi, penerimaan devisa, dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, diidentifikasikan bahwa tujuan pembangunan perikanan tangkap adalah : (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan; dan (2) menjaga kelestarian SDI dan lingkungannya. Tujuan tersebut dewasa ini diperluas cakupannya untuk membantu perekonomian negara, baik dalam penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa melalui ekspor, maupun pemasukkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) (Barani 2005).
Kabupaten Maluku Tenggara terletak antara 50–6,50 LS dan 1310–133,50 BT. Daerah ini di utara berbatasan dengan Pulau Irian bagian selatan, di selatan dengan Laut Arafura, di sebelah barat dengan Laut Banda dan bagian utara Kepulauan Tanimbar dan di timur dengan Kepulauan Aru (Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tenggara 2008). Perairan Maluku Tenggara pada umumnya merupakan perairan yang dangkal. Perairan ini, merupakan perairan yang kaya akan sumber daya hayati, khususnya ikan (pelagis, demersal dan udang).
Potensi sumber daya perairan Maluku Tenggara melimpah, dengan volume produksi dari kegiatan perikanan tangkap pada tahun 2008 adalah 67.309,33 ton (DKP Kabupaten maluku Tenggara 2008). Jenis ikan pelagis kecil ekonomis penting yang dominan tertangkap di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tenggara adalah layang, kembung, selar, tembang, teri dan lemuru. Jenis-jenis ikan ini tersebar di perairan sekitar Kepulauan Kei Kecil dan Kei Besar. Kelompok ikan pelagis kecil merupakan kelompok yang memiliki keragaman jenis dan produksi lebih besar dibandingkan dengan jenis ikan pelagis besar dan ikan karang.
ton/tahun dengan JTB sebesar 633.600 ton. Luas areal penangkapan ikan dari kedua WPP sebesar 17.879 km2 (Komnaskajikanlut 2008).
Jenis-jenis alat penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Maluku Tenggara belum terdata secara rinci, namun jenis-jenis alat penangkapan ikan ini dapat dikelompokkan dalam 6 kelompok alat penangkapan ikan. Kelompok alat penangkapan ikan tersebut adalah pukat udang (shrimp trawl), pukat ikan (fish trawl), jaring insang permukaan (surface gillnet), jaring insang dasar (bottom gillnet), pancing (angling gear), bagan (lift net), bubu (fish trap) dan alat tangkap lain. Berbagai jenis alat tangkap yang digunakan berasal dari bantuan pemerintah dan alat tangkap yang bersifat turun temurun. Saat ini belum dilakukan suatu kajian atau penelitian jenis teknologi alat tangkap yang paling tepat untuk dikembangkan.
Dalam menghadapi suatu permasalahan yang kompleks, untuk proses pengambilan keputusan seringkali menghadapi kebingungan karena begitu banyaknya alternatif yang harus dipertimbangkan, banyaknya kombinasi pilihan yang harus diseleksi dan terlalu banyaknya penyimpangan yang harus dihindari. Untuk mendapatkan keputusan terbaik, pengambilan keputusan harus memikirkan segala isi permasalahan yang ada.
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dalam bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan nelayan yang memadai (Monintja 2000).
sistem yang nyata dapat ditentukan dan memungkinkan perencanaan jangka panjang (Nurani 1996).
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian tentang “Sistem Pengembangan Perikanan Tangkap Ikan Pelagis Kecil di Perairan Kabupaten
Maluku Tenggara” penting dilakukan untuk pengembangan usaha perikanan tangkap yang tepat dan memanfaatkan potensi perikanan pelagis yang ada. Hasil penelitian ini adalah dapat gunakan sebagai bahan informasi dalam penentuan kebijakan dalam rangka pengembangan perikanan tangkap di perairan Kabupaten Maluku Tenggara untuk masa yang akan datang.
1.2 Perumusan Masalah
Hasil analisis potensi sumber daya ikan di Perairan Maluku Tenggara pada wilayah pengelolaan 4 mil laut adalah sebesar 13.379,7 ton dengan nilai maximum sustainable yield (MSY) sebesar 6.689,8 ton dan total allowable catch (TAC) sebesar 5.351,9 ton. Dengan demikian, di perairan Maluku Tenggara pada wilayah kelola 4 mil laut, ikan yang masih dapat dieksploitasi lagi sebesar 781,6 ton– 2265,6 ton per tahun. Data statistik perikanan Kabupaten Maluku Tenggara 2003 menyatakan bahwa Kecamatan Kei Kecil memproduksi ikan sebanyak 84.382,3 ton, sangat jauh berbeda dengan 4 (empat) kecamatan lainnya yang hanya mampu memproduksi ikan antara 2.144,8 ton sampai 2.706,0 ton. Namun hasil rujukan di lapangan membuktikan bahwa sebagian besar produksi ikan tersebut adalah hasil tangkapan kapal-kapal berskala industri yang mendaratkan ikannya di Kecamatan Kei Kecil, padahal daerah penangkapannya bukan pada perairan yang menjadi wilayah pengelolaan Kabupaten Maluku Tenggara (Statistik Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara, 2003).
penangkapan ikan oleh nelayan yang mendiami pulau-pulau kecil sebagian besar terkonsentrasi pada perairan yang menjadi hak ulayatnya. Hal ini disebabkan sarana produksi mereka yang serba terbatas dan kurangnya modal untuk memperluas areal operasi atau intensifikasi usahanya.
Berdasarkan uraian di atas, pendugaan terhadap potensi sumber daya ikan pelagis kecil seperti tingkat pemanfaatan dan potensi lestari atau maximum sustainable yield (MSY) perlu dilakukan. Unit penangkapan ikan pelagis kecil perlu dievaluasi berdasarkan pertimbangan berbagai aspek seperti aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Evaluasi tersebut diperlukan untuk menentukan unit penangkapan ikan unggulan. Dengan diketahuinya besar potensi sumber daya, unit penangkapan tepat guna dan alokasinya maka strategi pengembangan perikanan pelagis kecil dapat diformulasikan, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1) Menduga besarnya potensi sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tenggara.
2) Menentukan teknologi penangkapan tepat guna dan alokasi unit penangkapan optimum dalam pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil.
3) Menentukan strategi pengembangan perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Maluku Tenggara.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Memberikan informasi kepada stakeholder perikanan tentang teknologi pemanfaatan tepat guna yang dapat dikembangkan di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tenggara.
2) Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk pengembangan perikanan tangkap di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tenggara.
3) Menambah khasanah keilmuan yang terkait dengan potensi sumber daya ikan dan teknologi penangkapan ikan.
1.5 Hipotesis
Sumber daya perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tenggara masih dapat dikembangkan dengan menduga potensi lestari sumber daya ikan pelagis kecil, menentukan teknologi penangkapan tepat guna dan menyusun strategi pengembangan yang tepat.
1.6 Kerangka Pemikiran
Kegiatan untuk memanfaatkan sumber daya ikan semakin meningkat perannya dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Untuk itu, diperlukan adanya pengkajian secara menyeluruh, baik aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Aspek biologi terkait erat dengan ketersediaan sumber daya ikan yang menjadi target penangkapan. Aspek teknis berhubungan erat dengan teknologi dan armada penangkapan. Aspek sosial terkait erat dengan tenaga kerja (nelayan) dan kesejahteraannya serta kemungkinan adanya dampak negatif yang diderita oleh nelayan sekitar. Sedangkan aspek ekonomi yang menyangkut efektivitas dan efisiensi biaya operasional yang kemudian berdampak kepada pendapatan usaha nelayan. Tingkat pendapatan dan keberadaan dan ketersediaan ikan pada fishing ground.
Secara teoritis kerangka pemikiran dirancang untuk melihat perikanan tangkap saat ini, dan berdasarkan kinerja yang ada dapat dilakukan berbagai strategi untuk perbaikan di masa depan atau berbagai alternatif pemecahannya. Secara teknis operasioanal, kerangka penelitian dibangun berdasarkan pada isu pengelolaan perikanan di wilayah penelitian. Isu pengelolaan perikanan tersebut merupakan fenomena yang timbul dari kondisi sumber daya perikanan, tingkat eksploitasi sumber daya perikanan, penggunaan teknologi penangkapan, etika pemanfaatan sumber daya perikanan dan dampak ekonomi sosial saat ini.
tersebut dapat menggambarkan status keberlanjutan perikanan tangkap dan dapat dijadikan pertimbangan pembangunan perikanan kedepan.
Dengan kondisi perikanan yang bersifat kompleks di perairan Maluku Tenggara, maka dibutuhkan suatu pendekatan sistem agar dapat mengkaji berbagai dimensi yang terkait secara komprehensif dan terintegrasi. Dalam hal ini, kajian dibatasi pada perikanan pelagis kecil dengan tujuan untuk mengetahui potensi sumber daya ikan pelagis kecil, teknologi tepat guna yang akan diterapkan dan jumlah alokasi unit penangkapan yang optimum serta mendesain strategi pengembangannya.
Potensi sumber daya diperoleh melalui analisis Schaefer dan outputnya dapat digunakan untuk menentukan status pemanfaatan dan peluang pengembangan sumber daya ikan pelagis kecil. Untuk pemanfaatan potensi sumber daya ikan pelagis kecil, dibutuhkan teknologi penangkapan tepat guna dan dianalisis melalui pendekatan teknologi, biologi dan sosial ekonomi dengan menerapkan metode multi criteria analysis (MCA).
Salah satu karakterisitik sumber daya ikan pelagis kecil adalah milik bersama (common property), yang berimplikasi terhadap tingkat pemanfaatan yang berlebih (overfishing). Oleh karena itu, teknologi penangkapan tepat guna yang sudah diperoleh harus diatur alokasi optimumnya dan untuk tujuan tersebut dapat diterapkan analisis linear goal programming (LGP).
‐ Sarana dan prasarana belum memadai
‐ Konflik dalam pemanfaatan sumber daya pelagis kecil
‐ Sumber daya manusia kurang profesional
Pendekatan sistem
Teknologi SDI SDM/Nelayan Pemasaran
2.1 Potensi dan Produksi Perikanan Tangkap
Laut Indonesia memiliki luas kurang lebih 5,8 juta km2 dengan garis
pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumber daya, terutama sumber daya
perikanan laut yang cukup besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitas.
Potensi SDI Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di
wilayah perairan Indonesia dan perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia
(ZEEI), yang terbagi dalam sebelas wilayah perairan utama atau wilayah
pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari, dan
baru dimanfaatkan sebesar 4,4 juta ton pada tahun 2003 atau baru 85,94% dari
JTB. Sedangkan dari sisi diversitas, dari sekitar 28.400 jenis ikan yang ada di
dunia, yang ditemukan di perairan Indonesia lebih dari 25.000 jenis (RPPK
2005).
Sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau,
Indonesia memiliki total lahan darat 1,9 juta km2 dan daerah perairan laut kurang
lebih 5,8 juta km2, yang terdiri dari perairan teritorial dan kepulauan seluas 3,1
juta km2, serta perairan ZEEI seluas 2,7 juta km2. Indonesia memiliki sumber daya
perikanan yang cukup potensial untuk mendukung pembangunan ekonomi
nasional, terutama sumber daya perikanan laut yang merupakan properti atau hak
milik bersama, dengan potensi produksi sekitar 6,4 juta ton/tahun (Dahuri 2002).
Kegiatan penangkapan ikan di laut masih menyumbangkan kontribusi
terbesar yaitu sekitar 73,4% terhadap total produksi ikan di Indonesia yang pada
tahun 2002 mencapai 4,77 juta ton. Mempertimbangkan potensi dan tingkat
pemanfaatan SDI di Indonesia pada saat ini, maupun kecenderungan permintaan
pasar, maka dapat dikatakan bahwa usaha perikanan tangkap di Indonesia masih
prospektif untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif,
terutama untuk pemanfaatan potensi sumber daya yang berada di wilayah Timur
Indonesia, perairan lepas pantai maupun ZEEI. Dengan upaya optimalisasi
pemanfaatan potensi SDI tersebut, diharapkan dapat meningkatkan produksi ikan,
pendukung dan penunjang, meningkatkan pendapatan masyarakat serta
mendorong pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional (DJPT 2005).
KOMNASKAJIKANLUT (2002) menyatakan bahwa potensi SDI di
perairan laut Indonesia mencapai 6,4 juta ton/tahun. Potensi tersebut meliputi ikan
pelagis besar sebesar 1,17 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,61 juta ton, ikan
demersal sebesar 1,37 juta ton, ikan karang konsumsi sebesar 0,15 juta ton, udang
penaeid sebesar 0,09 juta ton, lobster sebesar 0,04 juta ton dan cumi-cumi sebesar
0,03 juta ton. Dari potensi untuk penangkapan ikan di laut sebesar 6,4 juta
ton/tahun (total allowable catch sebesar 5,12 juta ton/tahun) tersebut diatas,
sampai dengan tahun 2002 baru dapat dimanfaatkan sekitar 4,1 juta ton atau
63,93%, sehingga masih terdapat peluang untuk pengembangan usaha
penangkapan sekitar 1,2 juta ton/tahun.
Secara teoritis potensi sumber daya umumnya didasarkan pada konsep
maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) atau disingkat MSY, yaitu
suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari
tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang (Sparre dan
Venema 1999).
Gulland (1983) menguraikan bahwa maximum sustainable yield (MSY)
adalah hasil tangkap terbanyak berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang
masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang mengakibatkan biomas
sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama dengan sediaan biomas pada
permulaan periode tersebut. MSY mencakup 3 hal penting :
1) Memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan.
2) Memastikan bahwa kuantitas-kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari
waktu ke waktu.
3) Besarnya hasil penangkapan adalah alat ukur yang layak untuk menunjukkan
keadaan perikanan.
Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa perubahan
ikan yang secara matematis dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi sebagai
berikut:
dx/dt = f (x)
dx/dt = xr (1 – x/k)...(1)
dimana :
x = ukuran kelimpahan biomas ikan
k = daya dukung alam
r = laju pertumbuhan instrinsik
f (x) = fungsi pertumbuhan biomas ikan
dx/dt = laju pertumbuhan biomas
Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan melalui kegiatan penangkapan,
maka ukuran kelimpahan akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut
merupakan selisih antar laju pertumbuhan biomas dengan jumlah biomas yang
ditangkap, sehingga secara hubungan fungsional, dinyatakan sebagai berikut
(Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2004):
dx/dt = f (x) – h...(2)
dimana :
h = hasil tangkapan
dan hasil tangkapan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
h = q.E.x ...(3)
dimana :
q = koefisien teknologi penangkapan
E = tingkat upaya penangkapan (effort)
Pada kondisi keseimbangan, perubahan kelimpahan sama dengan nol
(dx/dt = 0), dengan asumsi koefisien teknologi sama dengan satu (q = 1) maka
diperoleh hubungan antara laju pertumbuhan biomassa dengan hasil tangkapan.
Hubungan tersebut secara matematis dinyatakan dengan menggabungkan
persamaan (1) dengan persamaan (3) sehingga diperoleh persamaan baru sebagai
berikut :
dx/dt = f(X) – h = 0
h = f (x)
sehingga hubungan antara ukuran kelimpahan (stok) dengan tingkat upaya dapat
dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :
x = k – k/rE ...(5)
Dengan mensubstitusikan persamaan (5) ke dalam persamaan (3), maka
diperoleh fungsi produksi lestari perikanan tangkap yang menggambarkan
hubungan antar tingkat upaya (effort) dengan hasil tangkapan (produksi)
lestarinya, sehingga secara matematis persamaannya menjadi :
h = k.E – (k/r)E2...(6)
Dengan memasukkan faktor harga per satuan hasil tangkap dan biaya per
satuan upaya penangkapan, maka persamaan keuntungan dari usaha pemanfaatan
sumber daya perikanan menjadi :
π = TR – TC ...(7)
π = p.h – c. E ...(8) dimana :
π = keuntungan pemanfaatan sumber daya
p = harga rata-rata hasil tangkapan
c = biaya penangkapan ikan per satuan upaya
TR = penerimaan total
TC = biaya total penangkapan ikan
2.2 Pengembangan Perikanan Tangkap
Pengembangan menurut DEPDIKBUD (1990) dalam kamus besar bahasa
Indonesia berarti pengertian proses, cara atau perbuatan mengembangkan.
Pengembangan merupakan usaha perubahan dari suatu kondisi yang kurang
kepada suatu yang dinilai lebih baik. Manurung et al. (1998), memberikan
pengertian tentang pengembangan sebagai suatu proses yang membawa
peningkatan kemampuan penduduk dalam mengelola lingkungan sosial yang
disertai dengan meningkatkan taraf hidup mereka. Dengan demikian
pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan
meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik
(Bahari 1989).
Monintja (1987) mengemukakan bahwa pengembangan usaha perikanan
tangkap secara umum dilakukan melalui peningkatan produksi dan produktivitas
usaha perikanan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani dan
nelayan, produk domestik bruto (PDB), devisa negara, gizi masyarakat dan
penyerapan tenaga kerja, tanpa mengganggu atau merusak kelestarian sumber
daya perikanan. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan usaha
perikanan yakni aspek biologi, teknis (teknologi), ekonomis dan sosial budaya.
Aspek-aspek yang berpengaruh dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap
di suatu kawasan konservasi antara lain:
1) Aspek biologi, berhubungan dengan sediaan SDI, penyebarannya, komposisi,
ukuran hasil tangkapan dan jenis spesies.
2) Aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas
pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat.
3) Aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak
terhadap nelayan.
4) Aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta
efisiensi biaya operasional yang berdampak terhadap pendapatan bagi
stakeholders
Apabila pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan ditekankan
pada perluasan kesempatan kerja, maka menurut Moninjta (1987), teknologi yang
perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat
menyerap banyak tenaga kerja, dengan pendapatan setiap nelayan memadai.
Selanjutnya menurut Monintja (1987), dalam kaitannya dengan penyediaan
protein untuk masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang
memiliki produktivitas nelayan per tahun yang tinggi, namun masih dapat
dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis.
Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa mendatang
memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan IPTEK.
Pemanfaatan IPTEK kita diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumber
berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus
mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi (Barus et al.
1991).
Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan
melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh karena
itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan
ikan yang dikembangkan, yaitu: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak
dan mengganggu kelestarian sumber daya, 2) secara teknis efektif digunakan, 3)
secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan, dan 4) secara ekonomi teknologi
tersebut bersifat menguntungkan. Selanjutnya dikatakan bahwa satu aspek yang
tidak dapat diabaikan adalah kebijakan-kebijakan dan peraturan pemerintah.
Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu
diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan,
apabila hal ini dapat disepakati, maka syarat-syarat pengembangan teknologi
penangkapan Indonesia haruslah dapat:
1) Menyediakan kesempatan kerja yang banyak
2) Menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan
3) Menjamin jumlah produksi yang tinggi
4) Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor
5) Tidak merusak kelestarian SDI
Beberapa strategi perencanaan pengelolaan perikanan tangkap menurut
Monintja dan Yusfiandayani (2001), antara lain:
1) Pengikutsertaan nelayan dalam proses perencanaan merupakan suatu hal yang
mutlak untuk mendapatkan dukungan yang kuat terhadap perencanaan
pengembangan perikanan tangkap. Hal ini akan mempermudah proses law
inforcement setiap kebijakan pengelolaan.
2) Implementasi monitoring, controlling dan surveillance (MCS), guna
pembentukan sistem informasi yang efektif dan akurat, untuk perencanaan
pengelolaan SDI, serta untuk menjamin usaha penangkapan ikan yang
3) Code of conduct for responsible fisheries (FAO 1995) dalam artikel 10
tentang “Integrasi Perikanan ke dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir” terutama
pada artikel 10.1:
(1) Negara harus menjamin pemberlakuan suatu kebijakan, hukum dan
kerangka kelembagaan yang tepat, guna mencapai pemanfaatan sumber
daya secara terpadu dan lestari, dengan memperhatikan kerawanan dari
ekosistem pantai dan sifat sumber daya alam (SDA) yang terbatas dan
kebutuhan dari masyarakat pesisir.
(2) Mengingat penggunaan ganda dari wilayah pesisir, negara harus
menjamin bahwa wakil dari sektor perikanan dan masyarakat penangkap
ikan harus dilibatkan dalam perencanaan pengelolaan dan pembangunan
wilayah pantai.
(3) Negara harus membentuk sebagaimana layaknya, kelembagaan dan
kerangka hukum untuk menentukan kemungkinan pemanfaatan sumber
daya pesisir dan untuk mengatur akses terhadapnya, dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat nelayan pesisir dan praktek-praktek
kebiasaan untuk keselarasan terhadap pembangunan berkelanjutan.
(4) Negara harus menfasilitasi pemberlakukan praktek-praktek perikanan
yang dapat menghindari konflik antar pengguna sumber daya perikanan
dan antara mereka dengan pengguna wilayah pesisir lainnya.
(5) Negara harus mengusahakan penetapan prosedur dan mekanisme pada
tingkat administrasi yang sesuai, guna menyelesaikan konflik di dalam
sektor perikanan dan antara sumber daya perikanan dengan para
pengguna wilayah pesisir lainnya.
Berbagai masalah dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan di
bidang perikanan tangkap antara lain: 1) usaha perikanan tangkap masih
didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil, 2) tidak ada kepastian dalam
hal produktivitas dan ketersediaan bahan baku, 3) maraknya IUU fishing baik oleh
nelayan asing maupun nelayan domestik, sehingga beberapa jenis alat tangkap
produktivitasnya menurun, 4) rendahnya kepastian hukum, 5) kurangnya insentif
investasi, 6) keamanan kegiatan penangkapan di berbagai wilayah kurang
tidak resmi (unpredictable), 8) bidang perikanan tangkap dipandang tidak
bankable, 9) rendahnya kualitas SDM, 10) sarana dan prasarana daerah tertentu
belum memadai, dan 11) tumpang tindihnya peraturan pusat dan daerah, terutama
terkait dengan pungutan, restribusi, dan pajak pengusahaan perikanan (DJPT
2005).
Sasaran pembangunan sub-sektor pembangunan perikanan tangkap yang
ingin dicapai menurut DJPT (2004) pada akhir tahun 2009 adalah:
1) tercapainya produksi perikanan tangkap sebesar 5,47 juta ton;
2) meningkatnya pendapatan nelayan rata-rata menjadi Rp. 1,5 juta/bulan;
3) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan menjadi US$ 5,5 milyar;
4) meningkatnya konsumsi dalam negeri menjadi 30 kg/kapita/tahun; dan
5) penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap (termasuk nelayan) sekitar 4 juta
orang.
Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa
komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu
dengan yang lainnya. Komponen-komponen perikanan tangkap, yakni: 1)
masyarakat atau sumber daya manusia (SDM); 2) sarana produksi; 3) usaha
penangkapan; 4) prasarana pelabuhan; 5) unit pengolahan; dan 6) unit pemasaran
(Monintja dan Yusfiandani 2001).
Pembangunan perikanan tangkap ke depan dinilai cerah karena potensi dan
prospek yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu : 1) luasnya perairan yang dimilki
(laut teritorial, laut nusantara dan ZEE), dan perairan umum (danau, waduk, rawa
dan genangan air lainnya); 2) potensi lestari ikan laut yang belum dikelola secara
optimal; 3) potensi SDM yang melimpah yang belum dioptimalkan; 4) prospek
pasar dalam dan luar yang cerah untuk produk-produk perikanan laut; 5)
permintaan untuk konsumsi dalam dan luar negeri sangat tinggi seiring
meningkatnya jumlah penduduk; dan 6) kesadaran masyarakat akan pentingnya
ikan sebagai bahan pangan yang aman, sehat dan bebas kolestrol sehingga
masyarakat beralih dari mengkonsumsi red-meat menjadi white-meat (DJPT
2005).
Pemanfaatan peluang pengembangan tersebut didukung dengan jumlah
6,0 juta orang. Dari sisi keterkaitan antar sektor, keberhasilan pembangunan
sektor perikanan masih tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan sektor lain.
Saat ini dukungan sektor terkait belum sepenuhnya menunjukkan keberpihakan,
seperti dukungan permodalan, jaminan keamanan dan kepastian hukum, penataan
ruang, pengendalian pencemaran, pembangunan infrastruktur, serta urusan
kepelabuhanan (RPPK 2005).
Kebijakan pembangunan perikanan tangkap menurut DJPT (2005) adalah
1) menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian
dengan membangkitkan industri dalam negeri mulai dari penangkapan sampai ke
pengolahan dan pemasaran, 2) rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi
armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri
dalam negeri dan nelayan lokal, dan 3) penerapan pengelolaan perikanan
(fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian
lingkungan dan terwujudnya keadilan.
2.3 Sistem
Wilson (1990) mendefinisikan sistem sebagai satu set elemen yang saling
berkaitan dan terorganisir menghasilkan satu set tujuan. Proses analisa sistem
mencakup 6 tahap kegiatan, yaitu:
1) Definisi masalah : definisi kebutuhan, penentuan input, output dan hubungan
antar elemen sistem serta definisi batasan sistem.
2) Penentuan tujuan sistem
3) Sintesa sistem : penentuan alternatif dan fungsi sistem, perencanaan sub
sistem dan penggunaan kreatifitas
4) Analisa sistem : penentuan cara dan metode analisis sistem yang digunakan
5) Seleksi sistem optimum : pendefinisian kriteria keputusan, evaluasi akibat
dan merangking sistem
6) Penerapan sistem
Djojonegoro (1993) diacu dalam Nurani (1996) mengemukakan, pada
umumnya suatu sistem terdiri dari berbagai elemen yang sangat kompleks,
dalam bentuk fungsi matematik atau abstraksi lain yang disebut model.
Penggunaan model menguntungkan dalam analisis sebab:
1) Dengan model dapat dilakukan analisis dan percobaan dalam situasi yang
kompleks dengan mengubah-ngubah nilai atau bentuk relasi antar variabel
yang tidak mungkin dilakukan pada sistem nyata.
2) Model memberikan penghematan dalam mendiskripsikan suatu keadaan
nyata.
3) Menghemat waktu, tenaga dan sumber daya lainnya
4) Dapat memfokuskan perhatian lebih banyak pada karakteristik yang penting
dari masalah.
Penyelesaian masalah pada sistem-sistem yang kompleks yang sulit
ditetapkan model matematiknya, dapat diatasi dengan menggunakan simulasi.
Simulasi diartikan sebagai penyelidikan satu sistem atau proses dengan bantuan
suatu sistem.
2.4 Alat Tangkap Ikan Pelagis Kecil
2.4.1 Pukat cincin (purse seine)
Purse seine adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi
panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan melalui cincin yang
diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga dengan menarik tali
kerut bagian bawah jaring dapat dikuncupkan, jaring akan berbentuk seperti
mangkok (Baskoro 2002). Disebut “pukat cincin” karena alat tangkap ini
dilengkapi dengan cincin. Fungsi cincin dan tali kerut/tali kolor ini penting
terutama pada waktu pengoperasian jaring. Dengan adanya tali kerut tersebut
jaring yang semula tidak berkantong bandingkan dengan jaring payang (seine net)
akan terbentuk kantong pada tiap akhir penangkapan ikan (Subani dan Barus
1989).
Purse seine biasanya disebut jaring kantong, karena bentuk jaring tersebut
waktu dioperasikan menyerupai kantong. Purse seine kadang-kadang juga disebut
jaring kolor, karena pada bagian bawah jaring dilengkapi dengan tali kolor yang
berguna untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi, dengan cara
Menurut Von Brandt (1984) pukat cincin (purse seine) dibentuk dari
dinding jaring yang sangat panjang, biasanya tali ris bawah (leadline) sama atau
lebih panjang dari tali ris atas (floatline). Floatline memuat rangkaian pelampung
(float) yang menjaga posisi jaring agar tetap berada di permukaan air. Leadline
adalah tali ris bawah yang merangkai kumpulan pemberat (sinker) yang terbuat
dari timah sehingga memungkinkan jaring untuk melebar secara vertikal dengan
maksimal. Pada pukat cincin (purse seine), mata jaring hanya berfungsi
penghadang gerak ikan, bukan penjerat seperti pada gillnet (Ayodhyoa 1981).
Menurut Baskoro (2002) alat penangkap ikan (pukat cincin) ini
dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan
satu kapal ataupun dua unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian
bagian bawah jaring dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang
dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini ditujukan
untuk menangkap ikan permukaan (pelagic fish).
2.4.2 Bagan
Bagan (Lift net) atau dikenal juga sebagai jaring angkat adalah jaring
berbentuk empat persegi panjang yang dibentangkan di dalam air secara
horisontal dengan menggunakan batang-batang bambu atau kayu sebagai
rangkanya. Pemasangan jaring dilakukan di bagian permukaan air, tengah atau
dasar perairan. Alat ini dilengkapi alat bantu berupa cahaya dari lampu petromaks
atau lampu elektrik. Perahu/rakit bagan dapat dikatakan sebagai bangunan utama
dari bagan perahu/rakit karena selain untuk mengapungkan bangunan bagan juga
di atasnya terkonsentrasi seluruh peralatan dan merupakan tempat kegiatan pada
saat operasi penangkapan. Operasi penangkapan ikan biasanya dilakukan pada
malam hari dengan menggunakan alat bantu cahaya (light fishing), untuk menarik
ikan berkumpul pada suatu arel tertentu sehingga memudahkan penangkapan.
2.4.3 Jaring insang (gillnet)
Pengertian jaring insang (gillnet) yang umum berlaku di Indonesia adalah
satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi
jaring ke arah panjang atau arah horisontal (mesh length) jauh lebih banyak
daripada jumlah mata ke arah dalam atau arah vertikal (mesh depth). Pada bagian
atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan di bagian bawah
dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya
yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dioperasikan (dipasang) di
daerah penangkapan dalam keadaan tegak (Martasuganda 2002).
Menurut Martasuganda (2002) klasifikasi jaring insang dibagi menjadi dua
yaitu berdasarkan konstruksi dan metode pengoperasian. Berdasarkan
konstruksinya, jaring insang dikelompokkan menjadi dua, yaitu berdasarkan
jumlah lembar jaring utama dan cara pemasangan tali ris. Berdasarkan jumlah
lembar jaring utama, jaring insang dibagi 3 yaitu jaring insang satu lembar, jaring
insang dua lembar, dan jaring insang tiga lembar. Pengelompokkan berdasarkan
konstruksi cara pemasangan tali ris jaring insang dibagi kedalam 4 jenis yaitu:
1) Pemasangan jaring utama bagian atas dengan tali ris atas dan jaring utama
bagian bawah dengan tali ris bawah disambungkan secara langsung.
2) Jaring utama bagian atas disambungkan secara langsung dengan tali ris atas dan
bagian jaring utama bagian bawah disambungkan melalui tali penggantung
(hanging twine) dengan tali ris bawah.
3) Pemasangan jaring utama bagian atas dengan tali ris atas disambungkan
melalui tali penggantung dan bagian bawah dari jaring utama disambungkan
secara langsung dengan tali ris bawah.
4) Jaring utama bagian atas dengan tali ris atas dan bagian jaring utama bagian
bawah dengan tali ris bawah disambungkan melalui tali penggantung.
Menurut (Subani dan Barus 1989) secara umum pemasangan gillnet
adalah dipasang melintang terhadap arah arus dengan tujuan menghadang arah
ikan dan diharapkan ikan-ikan tersebut menabrak jaring serta terjerat (gilled) di
sekitar insang pada mata jaring atau terpuntal (entangled) pada tubuh jaring.
2.5 Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil
Kawasan pelagis terbagi secara horisontal dan vertikal. Secara horisontal
dibagi atas dua zona, yaitu: zona neritik, mencakup massa air yang terletak di atas
Secara vertikal terdiri atas zona epipelagik yang mempunyai kedalaman
100-150 m atau lebih umum disebut zona tembus cahaya. Zona ini merupakan
kawasan terjadinya produktivitas primer yang penting bagi kelangsungan
kehidupan dalam laut. Kemudian zona di sebelah bawah epipelagik sampai pada
kedalaman sekitar 700 m disebut zona mesopelagik. Pada kawasan zona ini
penetrasi cahaya kurang atau bahkan berada dalam keadaan gelap (Nybakken
1992). Selanjutnya menurut Nybakken (1992), organisma pelagis adalah
organisma yang hidup di laut terbuka lepas dari dasar laut dan menghuni seluruh
daerah di perairan lepas yang dikenal dengan kawasan pelagis.
Menurut Uktolseja et al (1998), sumber daya ikan pelagis kecil, yang
mempunyai ukuran panjang 5–50 cm (ukuran dewasa), terdiri dari 16 kelompok
dimana produksinya didominasi oleh 6 kelompok besar yang masing-masing
mencapai lebih dari 100.000 ton. Kelompok ikan tersebut adalah kembung
(Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), jenis-jenis selar (Selaroides spp dan
Atale spp), lemuru bali (Sardinella spp) dan teri (Stelophorus spp).
Ikan pelagis kecil adalah ikan yang hidup di lapisan permukaan sampai
kedalaman 30–60 m, tergantung pada kedalaman laut yang bersangkutan.
Kelompok ikan pelagis kecil biasanya hidup bergerombol (schooling), hidup di
perairan neritik (dekat pantai). Bila hidup di perairan yang secara
berkala/musiman mengalami upwelling (pengadukan) ikan pelagis kecil dapat
membentuk biomassa yang besar (Mukhsin 2003).
2.6 Ikan Pelagis Kecil
Di Indonesia sumber daya ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu
sumber daya perikanan yang paling melimpah (Merta et al. 1998) dan paling
banyak ditangkap untuk dijadikan konsumsi masyarakat Indonesia dari berbagai
kalangan bila dibandingkan dengan tuna yang sebagian besar produk unggulan
ekspor dan hanya sebagian kelompok dapat menikmatinya.
Penyebaran ikan pelagis kecil di Indonesia merata di seluruh perairan,
namun ada beberapa yang dijadikan sentra daerah penyebaran seperti lemuru
(Sardinella sp) banyak tertangkap di Selat Bali, layang (Decapterus spp) di Selat
di Selat Malaka dan Kalimantan, kembung perempuan (Rastrelliger neglectus) di
Sumatera Barat, Tapanuli dan Kalimantan Barat. Menurut data wilayah
pengelolaan FKPPS (Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya
Ikan) maka ikan layang banyak tertangkap di Laut Pasifik, teri di Samudera
Hindia dan kembung di Selat Malaka. Ikan pelagis dapat ditangkap dengan
berbagai alat penangkap ikan seperti purse seine, jaring insang, payang, bagan dan
sero (Suyedi 2001).
Beberapa sifat ikan pelagis kecil (pipp.dkp.go.id. 24 oktober 2007) yaitu:
1) biasanya dapat ditemukan pada perairan pesisir (selat dan teluk) sampai dengan
laut terbuka; 2) mampu melakukan migrasi atau ruaya dalam skala kecil sampai
besar (bergerombol); 3) tubuh didominasi warna biru pada bagian punggung
(dorsal) dan warna abu-abu pada bagian perut, berkaitan dengan kemampuan
beradaptasi secara dominan pada daerah permukaan perairan dan menghindari
pemangsaan; 4) bentuk tubuhnya agak bulat lonjong dan cenderung sntesis
bilateral dengan kemampuan renang yang cepat sehingga mudah melakukan
migrasi; 5) telur yang dihasilkan pada saat pemijahan adalah sangat banyak dan
dilepaskan langsung ke kolom air sehingga langsung terbawa oleh arus; 6)
berukuran 2-50 cm.
2.6.1 Layang (Decapterus spp)
Jenis ikan ini memiliki bentuk seperti cerutu dan sisiknya sangat halus.
Dengan kondisi tubuh yang demikian, layang (Decapterus spp) mampu berenang
dengan kecepatan tinggi. Decapterus ruselli mempunyai bentuk tubuh yang
memanjang dan agak pipih, sedang Decapterus macrosoma mempunyai bentuk
tubuh yang menyerupai cerutu. Keduanya mempunyai bintik hitam pada bagian
tepi insangnya dan masing-masing terdapat sebuah sirip tambahan (finlet) pada
belakang sirip punggung dan sirip dubur. Pada bagian belakang garis sisik (lateral
line) terdapat sisik yang berlingir (lateral scute) (Saanin 1984). Decapterus ruselli
mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari Kepulauan
Seribu hingga pulau Bawean dan pulau Masalembo.
Klasifikasi Ikan layang menurut Saanin (1984), adalah sebagai berikut:
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Famili : Carangidae
Genus : Decapterus
Species : Decapterus ruselli (Rupped)
Decapterus macrosoma (Bleeker)
2.6.2 Kembung (Rastrelliger spp)
Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu. Tubuh
dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari
bagian lainnya. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Gigi yang kecil terletak
di tulang rahang. Mempunyai 2 buah sirip punggung (dorsal fin), sirip punggung
pertama terdiri atas jari-jari lemah. Sirip dubur tidak mempunyai jari-jari keras.
Lima sampai enam sirip tambahan (finlet) terdapat di belakang sirip dubur dan
sirip punggung kedua. Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada
(pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari
keras dan jari-jari lemah. Klasifikasi ikan kembung menurut Saanin (1984)
sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Famili : Scrombidae
Genus : Rastrelliger
Species : Rastrelliger brachysoma (Bleeker)
2.6.3 Tembang (sardinella sp)
Klasifikasi ikan tembang (Sardinella sp) menurut Saanin (1984) adalah
sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Sub ordo : Clupeoidei
Famili : Clupeoidae
Sub famili : Clupeinae
Genus : Sardinella
Species : Sardinella fimbriata Val
Ikan tembang (Sardinella fimbriata Val) atau Fringescale Sardinella
mempunyai bentuk badan memanjang dan pipih (compressed). Sisik-sisik terdapat
di bagian bawah badan (17-19) + (12-15). Awal sirip punggung agak ke depan
dari pertengahan badan, berjari lemah 17-20, sirip dubur pendek dengan
jari-jari lemah 16-19. Tapis insang halus, jumlahnya 60-80 pada busur insang pertama
bagian bawah. Warna kulit biru kehijauan dan tembus cahaya. Di Indonesia
panjang totalnya dapat mencapai 13 cm (Whitehead 1985).
Ciri-ciri morfologis ikan tembang adalah bentuk tubuh fusiform
compressed, awal sirip dorsal terletak sebelum mid point tubuh, sirip anal kecil
dan terletak jauh di bagian belakang sirip dorsal, sirip dada terletak di bagian
bawah sirip dorsal, jumlah gill raker bagian bawah antara 60-81, bagian dorsal
berwarna biru kehijauan dan bagian ventral berwarna keperakan. Bagian perut
ikan tembang berwarna tajam keperakan, sirip ekor homocerkal, jumlah total
scutes 30-33, sirip anal terletak jauh di belakang sirip punggung, jumlah tulang
rawan pada sirip perut adalah 7 buah, sirip perut terletak di bagian bawah
(anterior) dari sirip punggung (dorsal fin), dan tipe sisiknya cycloid.
Perbandingan panjang badan standar dengan tinggi badan berkisar 3,4:1.
Dibandingkan dengan lemuru, ukuran tinggi badan ikan tembang adalah lebih
Beberapa nama latin dari ikan tembang adalah Spratela fimbriata, Clupea
fimbriata dan Harengula fimbriata (Whitehead (1985) diacu dalam Lelono
(1997)). Famili Clupeidae mempunyai enam genus, yaitu Sardinella, Harengula,
Clupea, Sardina, Sprattus, dan Opistonema. Bentuk umum badan ikan famili
Clupeidae ada dua, yaitu gilik (cylindrical) seperti Sardinella lemuru dan
Amblygaster sirm, dan pipih (compressed) seperti Sardinella fimbriata, Sardinella
gibossa, Sardinella melanura, dan Sardinella albella. Nama lain dari ikan
tembang di Pantai Utara Jawa adalah tanjan, juwi, sesek, mursiah dan ciro (Lelono
1997).
2.6.4 Teri (Stolephorus spp)
Teri (Stolephorus spp) terdapat di seluruh perairan pantai di Indonesia
dengan nama yang berbeda-beda seperti : teri (Jawa), bilis (Sumatera dan
Kalimantan) dan puri (Ambon). Ikan teri berukuran 6-9 cm, seperti Stolephorus
heterolobus, S. insularis dan S. buccaneezi. Tetapi ada pula yang berukuran besar
seperti Stelophorus commersonii dan S. indicus yang dikenal sebagai teri kasar
atau teri gelagah yang ukuran tubuhnya dapat mencapai 17,5 cm.
Ciri morfologi teri (Stolephorus spp) adalah bentuk badan bulat
memanjang (fusiform) hampir silindris, perut bulat dengan 3-4 sisik duri seperti
jarum (sisik abdominal), yang terdapat di antara sirip dada (pectoral) dan sirip
perut (ventral) . Sirip ekor (caudal) bercagak dan tidak bergabung dengan sirip
dubur (anal). Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah
21. Sisiknya kecil, tipis dan sangat mudah terkelupas. Wilayah penyebaran jenis
ikan teri di Indonesia meliputi perairan Barat Sumatera, Selat Malaka, Selatan dan
Utara Sulawesi, Timur Sumatera juga menyebar ke Bali, Maluku dan Papua serta
perairan Utara dan Selatan Jawa.
Klasifikasi teri menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Famili : Clupeidae
Genus : Stolephorus
Species : Stolephorus spp
2.6.5 Selar (Selaroides spp)
Jenis-jenis ikan selar (Selaroides spp) yang tertangkap di perairan
Indonesia yaitu selar bentong (selar crumenopthalmus) dan selar kuning
(Selaroides leptolepsis).
Klasifikasi selar menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Famili : Carangidae
Genus : Caranx, selar
Species : Selar crumenopthalmus
Selar kuning memiliki bentuk tubuh lonjong, pipih dengan sirip punggung
(dorsal) pertama berjari-jari keras 1 buah dengan jari-jari lemah 15 buah. Sirip
duburnya (anal) terdiri atas 2 jari-jari keras yang terpisah dan 1 jari-jari keras
yang bersambung dengan 20 jari-jari lemah. Tapis insang pada busur insang
pertama bagian bawah berjumlah 26 buah. Garis rusuk membusur, memiliki 25-34
sisik daun (scule). Selar bentong (Selar crumenophthalmus) memiliki bentuk yang
hampir sama tetapi dapat dibedakan dari matanya yang berukuran lebih besar
(Ditjen Perikanan (1997) diacu dalam Wiyono (2001)).
Perbedaan mendasar lainnya terletak pada jumlah jari-jari pada sirip dubur
(anal) dan sirip punggung (dorsal), jumlah tapis insang dan jumlah sisik duri.
Jari-jari keras sirip punggung (dorsal) pertama ada 9 buah (satu yang terdepan
mengarah ke bagian muka), sedangkan yang kedua berjari keras satu dan
jari-jari lemah 24–26 buah. Sirip dubur (anal) terdiri atas 2 jari-jari keras yang
terpisah dan 1 jari-jari keras yang tersambung dengan 21–23 buah jari-jari lemah.
belakangnya dengan sisik duri (scule) berjumlah 32–38 buah. Kedua jenis ikan ini
memakan jenis ikan-ikan kecil dan udang kecil. Hidup secara bergerombol di
sekitar pantai dangkal, sedangkan Selar crumnophthalmus hidup sampai
kedalaman 80 meter (Ditjen Perikanan (1997) diacu dalam Wiyono (2001)).
Penangkapan ikan selar ini menggunakan alat tangkap pancing, pukat banting,
pukat selar, payang, mini purse seine, sero dan jaring insang. Dipasarkan dalam
bentuk segar, asin kering dan asin rebus dan harganya sedang.
2.7 Kondisi Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Maluku Tenggara merupakan wilayah kepulauan dengan
jumlah pulau seluruhnya berjumlah 119 pulau, luas daratan 4.676,00 km2 dan luas
perairan 3.180,70 km2 menjadikan kabupaten ini mempunyai sumber perikanan
yang berlimpah. Kabupaten Maluku Tenggara terdiri dari 2 gugus kepulauan,
yaitu kepulauan Kei Kecil dengan jumlah pulau 98 pulau dimana 12 pulau tidak
dihuni dan kepulauan Kei Besar dengan jumlah pulau 21 pulau dimana 7 pulau
tidak dihuni. (Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara, 2008).
Visi Kabupaten Maluku Tenggara yakni terwujudnya Kabupaten Maluku
Tenggara sebagai daerah penghasil perikanan dan daerah pendidikan,
perdagangan serta pariwisata yang kompetitif, dengan demikian sudah tentu
sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu sektor andalan mempunyai
prospek pengembangan yang cerah dan menjanjikan untuk dikelolah sebagai
kegiatan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Hal ini telah dibuktikan bahwa
selama krisis, sektor ini menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan kegiatan
ekonomi produktif.
Iklim merupakan gabungan berbagai kondisi sehari-hari dimana unsur
penyusun iklim utama adalah temperatur dan curah hujan, sehingga untuk
mengetahui tipe ilkim suatu wilayah perlu mengetahui karakteristik temperatur
dan curah hujan. Suhu rata-rata Kabupaten Maluku Tenggara dalam tahun
2002-2007 ditemukan pada bulan Agustus yaitu 23,6oC dan suhu tertinggi pada bulan
Oktober-Nopember yakni 32,5–32,7oC. Suhu udara musim barat berkisar 24,1–
31,5oC, pada musim pancaroba 1 berkisar 31,3–31,4oC, pada musim timur 30,1–
permukaan laut berkisar 23–23,5oC (rata-rata 23,3oC) (Rencana Tata Ruang Laut
DKP Provinsi Maluku 2006).
Iklim Kabupaten Maluku Tenggara tipe A (nilai Q = 0.10) dengan 10
bulan basah, 1 bulan kering dan 1 bulan lembab. Curah hujan di daerah ini
memiliki pola Munson (musiman) dengan ciri distribusi curah hujan bulanan
berbentuk “V”. Musim barat berlangsung pada bulan Desember hingga Februari,
Musim timur pada Juni hingga Agustus, pancaroba 1 Pada bulan Maret hingga
Mei dan pancaroba 2 pada bulan September hingga Nopember.
Pengurangan jumlah curah hujan terjadi saat pertengahan musim timur
(Juni-Agustus) hingga pertengahan musim pancaroba 2 (Oktober), tetapi
melimpah pada saat musim barat hingga akhir pancaroba 1. Nilai rata-rata curah
hujan terendah dalam 5 tahun terakhir dicapai pada bulan Agustus yakni 50,8 mm.
Terindikasi bahwa jumlah curah hujan Agustus-September semakin menurun
sejak tahun 2007 sampai sekarang, dan dua bulan ini tergolong bulan sangat
kering. Secara umum terlihat bahwa saat musim barat dan pancaroba 1, curah
hujan melimpah sepanjang tahun dengan rata > 300 mm dan hari hujan
rata-rata 18–24 hari. (Rencana Tata Ruang Laut DKP Provinsi Maluku 2006).
2.8 Teknologi Penangkapan Tepat Guna
Tujuan teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk mendapatkan
jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (perfomance) yang baik
ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat
tangkap yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1988)
mengemukakan bahwa untuk menentukan unit usaha perikanan tangkap pilihan
digunakan metode skoring mencakup analisis terhadap aspek-aspek sebagai
berikut :
1) Aspek biologi mencakup : ukuran mesh size jaring yang digunakan untuk
menganalisa selektivitas alat tangkap, jumlah ikan layak tangkap, jumlah
komposisi hasil tangkapan dan cara pengoperasian alat tangkap.
2) Aspek teknis mencakup : produksi per trip, produksi per tenaga kerja dan