• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerentanan, Strategi Nafkah, Dan Tingkat Kesejahteraan Pada Keluarga Petani Di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kerentanan, Strategi Nafkah, Dan Tingkat Kesejahteraan Pada Keluarga Petani Di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul."

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

KERENTANAN, STRATEGI NAFKAH, DAN TINGKAT

KESEJAHTERAAN KELUARGA PETANI DI KECAMATAN

PLAYEN KABUPATEN GUNUNGKIDUL

ADAM SUGIHARTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kerentanan, Strategi Nafkah, dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga Petani di Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Adam Sugiharto

NIM I251120091

(3)

RINGKASAN

ADAM SUGIHARTO. Kerentanan, Strategi Nafkah, dan Tingkat Kesejahteraan pada Keluarga Petani di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul. Dibimbing oleh HARTOYO dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

Terjadinya kerentanan dan kesejahteraan pada keluarga petani dipengaruhi oleh banyak faktor. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat kesejahteraan dan kerentanan keluarga petani, perilaku strategi nafkah yang diterapkan membedakan di desa yang dekat dan jauh dari kantor kecamatan dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga petani di Playen. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Responden yang digunakan adalah suami atau istri dari keluarga petani yang memiliki lahan pertanian. Lokasi penelitian dilakukan di 2 (dua) desa yaitu Desa Bandung, merupakan desa yang letaknya berdekatan dengan kantor kecamatan dan Desa Bleberan, merupakan desa yang letaknya jauh dari kantor kecamatan. Kedua desa berada di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul. Teknik pengambilan contoh dengan cara simple random sampling. Contoh yang diambil sebanyak 100 keluarga contoh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur suami dan istri 55,86 dan 48,55 tahun. Rata-rata jumlah anggota keluarga (JAK) sebanyak 4,1 orang. Rata-rata lama pendidikan suami dan istri 9,11 dan 8,14 tahun. Rata-rata pengeluaran perkapita keluarga sebesar Rp 400.940,00. Rata-rata kepemilikan asset fisik keluarga sebesar Rp 157.820.000,00. Rata-rata kepemilikan asset finansial keluarga adalah sebesar Rp 4.421.200,00. Rata-rata keluarga petani memanfaatkan modal alam pada skala sedang dan memanfaatkan modal sosial keluarga pada skala tinggi. Rata-rata skor kerentanan keluarga petani tergolong rendah. Sebanyak 30,0 persen keluarga petani menerapkan strategi nafkah tunggal, sisanya 70,0 persen menerapkan strategi nafkah campuran. Dengan menggunakan indikator tingkat kesejahteraan BKKBN keluarga contoh yang sejahtera sebanyak 57,0 persen sisanya 43,0 persen tidak sejahtera. Dengan indikator garis kemiskinan BPS terhadap pengeluaran perkapita sebesar Rp238.056,-/kap/bln, maka sebanyak 14,0 persen keluarga petani tidak sejahtera, sisanya sebanyak 86,0 persen dinyatakan sejahtera.

Hasil uji beda menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga, umur suami dan istri, lama pendidikan suami, kepemilikan modal fisik berupa mebeler, rumah, pekarangan dan sawah, besarnya pemanfaatan modal alam, besarnya pemanfaatan modal sosial, perilaku petani untuk menanam pohon jati sebagai strategi nafkah, dan tingkat kerentanan sosial-ekonomi keluarga petani memiliki perbedaan yang signifikan pada p-value <0,5.

Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan pada keluarga petani menggunakan uji logistik biner adalah pendidikan suami, besarnya pengeluaran perkapita keluarga petani per bulan, besarnya nilai modal fisik yang dimiliki keluarga dan skor kerentanan keluarga petani.

(4)

SUMMARY

ADAM SUGIHARTO. Vulnerability, Livelihood Strategy, and Well Being on Peasant Family in Sub District Playen, Distrik Gunung Kidul. Supervised by HARTOYO and ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.

The ocuring of family vulnerability and peasant family well being can be influenced by many factors. Purpose of this research are to analize degree of peasant familie’s vulnerability and well being, livelihood strategy they are apllied and factors that influencing the degree of peasant familie’s vulnerability and well being. This research design use cross sectional study. Respondent are husband or wife from owner farm land. The research take place in 2 (two) village that is Bandung village which it is nearest village from sub district office and Bleberan Village, which it is more far from sub district office. Both of them are in Sub District Playen, District Gunungkidul. Teqnique sampling use in this research is random sampling. Total amount sample are 100 family.

The result shown that average of husband and wife age are 55,86 and 48,55 years. Average of family member are 4,1 person. Average of husband and wife education are 9,11 and 8,14 years. Average of income of the family are Rp.463.000,00-/cap/month, and average of expenses of the family are Rp.400.940,00-/cap/month. Average of family physical asset are Rp.157.820.000,-,. Average of financial asset are Rp 4.421.200,00. Peasant familie’s average use of natural asset on medium scale and average use of social capital on high scale. Average score for the family vulnerability is vulnerable at low level. As much as 30,0 percent peasant familie’s applied single livelihood strategy, the rest 70,0 percent of peasant familie’s apllied mix livelihood strategy. Using degree of BKKBN family well being as much as 57,0 percent family is prosperous and the rest 43,0 percent are not prosperous. Using BPS cut of that is Rp.238.056,-/cap/month, as much as 44,0 percent family are not prosperous, and the rest as much as 56,0 percent family is prosperous.

Compare mean-t test analysis shown that family member, age of husband and wife, husband education level, physical asset such as meubelair, house, kavling and rice land, the level of natural asset consumtion, the level of social asset consumtion, the habit of peasant family in cropping jati tree as livelihood strategy, and the degree of peasant familie’s socio-economic vulnerability have significaly differences on P-Value <0,05.

Using regression linier modeling, factors that influence degree of peasant family well being are husband education, sum of family expenses/month, sum of total value family phisycal asset, and peasant family vulnerability score.

Key word : family well being, livelihood strategy, peasant family, Vulnerability.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(6)

KERENTANAN, STRATEGI NAFKAH, DAN TINGKAT

KESEJAHTERAAN KELUARGA PETANI DI KECAMATAN

PLAYEN KABUPATEN GUNUNGKIDUL

ADAM SUGIHARTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(7)

Penguji luar komisi pada ujian tesis : Dr.Ir. Lilik Noor Yuliati, MFSA

(8)

Judul Tesis : Kerentanan, Strategi Nafkah, dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga Petani di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul

Nama : Adam Sugiharto

NIM : I251120091

Program Studi : Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak (IKA)

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Hartoyo, MSc Dr.Ir.Istiqlaliyah Muflikhati, MSi

Ketua Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi Ilmu Keluarga Dekan Sekolah Pascasarjana dan Perkembangan Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus:

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan Desember 2014 ini ialah kerentanan, strategi nafkah, dan tingkat kesejahteraan keluarga petani, dengan judul Kerentanan, Strategi Nafkah, dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga Petani di Kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul .

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis menerima dengan tangan terbuka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk dijadikan perbaikan dikemudian hari. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. Hartoyo, MSc dan Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, MSi selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala masukan, bimbingan dan arahan dalam penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, Msc atas segala masukkannya dalam penyempurnaan tesis ini.

3. Tim penguji ujian tesis yaitu Dr.Ir. Herien Puspitawati, Msc, MSc selaku Kaprodi IKA dan Dr.Ir. Lilik Noor Yuliati, MSFA selaku dosen penguji luar komisi pada sidang tesis atas analisa dan sanggahan yang objektif dan cermat.

4. Seluruh staf pengajar pada Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya pada mayor Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis.

5. Pimpinan dan staf redaksi jurnal IKK atas berbagai bantuan yang diberikan kepada kami.

6. Kepala dan pejabat BKKBN yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan kuliah S-2 di Institut pertanian Bogor.

7. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kependudukan dan KB (Pulap), BKKBN yang telah memberikan bantuan dana pendidikan.

8. Istriku tercinta Eva Meilina, SE, Ak dan anakku Rania Annisa Salsabila atas kesabarannya menunggu kelulusanku.

9. Almarhum dan Almarhumah kakek-nenekku, atas kasih sayang dan teladan sepanjang masa, ibu, kedua adikku serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

10.Rekan-rekan di Biro Umum BKKBN atas pertemanan yang hangat.

11.Wulan, Iman, Lita, Oktri, Bionda, Fitri A & M, Risda, Mbak Herlin, Anggi, Nora, Bu Mulyani, Dee dee, Rahmaita, atas kebersamaan dalam perkuliahan selama ini. 12.Yusan Sholeh, SS, atas bantuannya mendampingi di daerah penelitian, Kades

Bandung Mawal Edi Tri Kusmantya, Kades Bleberan Hartono, Camat Playen Drs.Suyatna, Bupati Gunung Kidul Hj. Badingah, S.Sos dan segenap SKPD DIY dan Kabupaten Gunungkidul yang telah mengijinkan peneliti melakukan penelitian di daerah Gunungkidul.

13.Terakhir ucapan terimakasih diucapkan setulusnya kepada beliau yang membantu pada awal kuliahku di IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Adam Sugiharto

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Konsep dan PendekatanTeori Keluarga 5

Sumber Daya Keluarga 7

Kerentanan Keluarga 12

Strategi Nafkah Keluarga 17

Kesejahteraan Keluarga 21

Keluarga Petani 24

3 KERANGKA PEMIKIRAN 25

4 METODE PENELITIAN 26

Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian 26

Teknik Pengambilan Contoh 27

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 28

Pengolahan dan Analisis Data 29

Definisi Operasional variabel 33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Keadaan umum lokasi penelitian 35

Kondisi sosial ekonomi penduduk 36

Karakteristik keluarga 38

Modal-Modal Strategi Nafkah 43

Strategi Nafkah 55

Bentuk-bentuk Strategi Nafkah pada Rumah tangga Petani Tadah Hujan 55

Kerentanan Keluarga Aspek Sosial Ekonomi 62

Tingkat Kesejahteraan Keluarga 68

Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga 70

Pembahasan Umum 71

6 SIMPULAN DAN SARAN 77

Simpulan 77

Saran 77

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 86

(11)

DAFTAR TABEL

2.1 Penelitian empiris kerentanan pedesaan 13

2.2 Matrik indikator potensi penambah dan pengurang kerentanan bagi individu,

rumah tangga dan masyarakat 16

2.3 Penelitian strategi nafkah dalam berbagai setting lokasi 20

4.1. Jumlah item pertanyaan per variable dan sumber instrument penelitian 29

4.2. Variabel penelitian dan pengukurannya 30

5.1. Sebaran keluarga contoh berdasarkan jumlah tanggungan keluarga dan lokasi

tempat tinggal 38

5.2. Sebaran keluarga contoh berdasarkan umur suami-istri dan lokasi tempat tinggal 39 5.3. Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan suami dan lokasi tempat

tinggal 40

5.4. Sebaran keluarga contoh berdasarkan lama pendidikan istri dan lokasi tempat

tinggal 41

5.5. Sebaran keluarga contoh berdasarkan pengeluaran perkapita dan lokasi tempat

tinggal 42

5.6. Rataan, standar deviasi dan prosentase pengeluaran keluarga contoh 43 5.7. Sebaran keluarga contoh berdasarkan kepemilikan jenis-jenis modal fisik dan

lokasi tempat tinggal 45

5.8. Nilai rata-rata dan standar deviasi kepemilikan modal fisik berdasarkan lokasi tempat tinggal

46

5.9. Jenis-jenis dan nilai kepemilikan nilai modal finansial berdasarkan lokasi tempat

tinggal 48

5.10 Sebaran keluarga contoh berdasarkan frekuensi pemanfaatan modal alam dan

lokasi tempat tinggal 49

5.11 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pemanfaatan modal alam dan lokasi tempat

tinggal 50

5.12 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besaran pemanfaatan modal sosial tingkat kepercayaan antar anggota keluarga dan lokasi tempat tinggal 51 5.13 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pemanfaatan modal sosial trust dan lokasi

tempat tinggal

51

5.14 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pemanfaatan modal sosial norma keluarga dan lokasi tempat tinggal

52

5.15 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besaran pemanfaatan modal norma sosial keluarga dan lokasi tempat tinggal

52

5.16 Keberadaan modal jaringan sosial keluarga berdasarkan lokasi tempat tinggal 53 5.17 Frekuensi pemanfaatan modal jaringan sosial keluarga berdasarkan lokasi tempat

tinggal

53

5.18 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pemanfaatan modal jaringan sosial dan

lokasi tempat tinggal 54

5.19 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pemanfaatan modal sosial dan lokasi tempat

tinggal 54

5.20 Prosentase keluarga contoh berdasarkan kepemilikan ternak 56 5.21 Sebaran keluarga contoh berdasarkan perilaku mereka dalam menanam pohon jati

dan lokasi tempat tinggal

57

(12)

5.22 Sebaran keluarga contoh berdasarkan bauran strategi nafkah 58 5.23 Sebaran keluarga contoh berdasarkan bauran strategi nafkah dan lokasi tempat

tinggal

59

5.24 Sebaran keluarga contoh berdasarkan analisa crosstab besaran pendapatan perkapita keluarga dengan strategi migrasi yang diterapkan

60

5.25 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pelaku migrasi berkala 61 5.26 Sebaran keluarga contoh berdasarkan faktor-faktor penyumbang kerentanan dan

lokasi tempat tinggal

66

5.27 Sebaran keluarga contoh berdasarkan tingkat kerentanan sosial-ekonomi keluarga dan lokasi tempat tinggal

67

5.28 Sebaran keluarga contoh berdasarkan tingkat kerentanan dan tingkat

kesejahteraan keluarga 68

5.29 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin menurut indikator batas garis kemiskinan BPS, pengeluaran perkapita < GK/Rp 238.056,00

68

5.30 Sebaran keluarga contoh menurut 5 (lima) tingkat kesejahteraan keluarga indikator BKKBN dan lokasi tempat tinggal

69

5.31 Sebaran keluarga contoh menurut 2 (dua) tingkat kesejahteraan keluarga indikator

BKKBN dan lokasi tempat tinggal 70

5.32 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga petani 70

DAFTAR GAMBAR

2.1. Mengukur Modal Sosial dalam Masyarakat 11

2.2. Pendekatan Strategi nafkah berkelanjutan menurut DFID (2000) 17

2.3. Diversifikasi mata pencaharian di pedesaan 19

3.1. Kerangka pemikiran“Kerentanan, Strategi Nafkah, dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga Petani di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul” 26

4.1. Alur penentuan lokasi dan contoh 28

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta wilayah Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul 87

2 Gambar keadaan desa lokasi penelitian 88

3 Harga pengeluaran pangan yang berlaku di pasaran pada saat penelitian 91 4 Harga jual komoditi produk petani yang berlaku di pasaran pada saat

penelitian

92

5 Hasil uji korelasi Pearson 93

6 Riwayat hidup penulis 94

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Petani di Indonesia memiliki kerentanan yang cukup tinggi, mengingat kondisi lingkungan yang semakin tidak menentu, kesulitan mengakses berbagai fasilitas dan dihuni oleh populasi penduduk yang tinggi yaitu nomor 4 terbesar dunia (Akatiga 2003). Menurut Ersado (2006), Rumahtangga dan wilayah yang sumber penghidupannya lebih banyak berasal dari aktifitas pertanian lebih beresiko mengalami kerentanan dan kemiskinan dibanding yang secara signifikan memperoleh sumber penghidupan dari non pertanian. Kerentanan tersebut semakin meningkat sejalan dengan adanya perubahan iklim serta sebagian kawasan memiliki topografi khas pegunungan yang sulit mendapatkan irigasi, sulit dibuat jalan, dan memiliki tanah jenis tertentu semisal grumusol, padas, pasir dan tanah kapur yang tidak subur untuk bertanam padi (Wicaksono 2013). Kerentanan yang disebabkan karena kondisi lingkungan disebut kerentanan karena faktor eksternal keluarga (Loayza dan Raddatz 2006 ), sedangkan kerentanan yang tidak disebabkan karena faktor lingkungan disebut kerentanan karena faktor internal keluarga (Moser 1996). Penelitian Deep End Paper (2010) menyebutkan bahwa keluarga yang rentan adalah keluarga dengan pendapatan rendah, keluarga dengan orang tua muda, keluarga dengan orangtua tunggal, keluarga dengan bahasa dan budaya yang berbeda dengan masyarakatnya, keluarga dengan orang tua penyandang disabilitas, keluarga yang mengalami masalah perumahan, keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, keluarga yang mengalami masalah kesehatan mental dan keluarga yang mengalami masalah dengan usaha perlindungan anak.

(14)

Salah satu kondisi keluarga yang rentan adalah keluarga yang kepala keluarganya adalah wanita. Menurut Moser (1996), karena beban ganda yang ditanggungnya, wanita seringkali diberikan beban yang tidak proporsional dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan situasi ekonomi, dengan demikian hal ini justru mengurangi kemampuan mereka untuk merespon peluang-peluang yang baru.Temuan Moser juga menyebutkan bahwa kemampuan masyarakat untuk mengatasi kesulitan ekonomi sebagian besar dipengaruhi oleh harta kekayaannya (Moser, 1996).

Dibalik kuatnya kesan keterpurukan kehidupan petani, dalam kenyataannya di lapangan terdapat sekelompok petani yang maju dan hidupnya sejahtera. Namun karena jumlahnya yang relatif sedikit, keragaan sekelompok petani maju tersebut seakan-akan seperti sebuah penyimpangan yang positif. Menurut Sunarti & Khomsan (2006) para petani maju adalah mereka yang berani menanggung resiko dan mampu keluar dari situasi yang membelenggu dinamika dan kreativitas usaha.

Menurut Rochaeni (2005), pola nafkah penduduk pedesaan amat terbatas disebabkan keterbatasan modal strategi nafkah berupa modal manusia, modal sosial, modal alam, modal fisik dan modal uang sehingga memaksa mereka untuk berada dalam status masyarakat yang rentan (Rochaeni, 2005). Pencerminan strategi rumahtangga untuk hidup sejahtera ditunjukkan oleh alokasi waktu anggota rumahtangga untuk mencari nafkah, menyelesaikan pekerjaan rumahtangga, dan kegiatan lainnya. Dalam hal ini kontribusi kerja merupakan refleksi sistem produksi dalam rumah tangga. Tiap kegiatan anggota rumahtangga ditujukan untuk mencapai nilai guna yang akhirnya menghasilkan kesejahteraan. Keluarga dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi berarti memiliki kualitas hidup yang lebih baik, sehingga pada akhirnya keluarga tersebut mampu menciptakan kondisi yang lebih baik untuk bisa meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Menurut White dan Wiradi (1989), fenomena pencaharian pendapatan tambahan rumahtangga lazim dijumpai pada masyarakat pedesaan di Jawa. Hal ini menandai adanya keragaman dalam sumber pendapatan rumahtangga. Pendapatan rumahtangga berasal dari berbagai sumber yang selalu berubah sesuai dengan musim dan kesempatan, pasar tenaga kerja, dan waktu luang setiap harinya. Pembagian pekerjaan relatif lentur diantara anggota rumahtangga. Konsekuensi dari keadaan ini yaitu terjadinya perubahan struktur pekerjaan dan alokasi waktu kerja pada anggota rumahtangga petani yang pada gilirannya akan menyebabkan perubahan struktur pendapatan rumahtangga petani didaerah pedesaan.

(15)

kerentanan dan tingkat kesejahteraan keluarga belum ada, dengan demikian penelitian yang meneliti strategi nafkah yang dikaitkan dengan dimensi kerentanan dan tingkat kesejahteraan masih terbuka untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Provinsi DIY memiliki jumlah penduduk miskin 541.900 atau 15, 03 persen total penduduk. Kedalaman kemiskinan (poverty gap index PI) sebesar 2,13 dan keparahan kemiskinan (poverty soverity index P2)

sebesar 0,46 (BPS 2013). Kabupaten Gunungkidul memiliki jumlah penduduk miskin 152.400 atau 21,70 persen dari jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul, kedalaman kemiskinan (poverty gap index P1)

sebesar 3,54 dan keparahan kemiskinan (poverty severity index P2)

sebesar 0,86 dengan batas garis kemiskinan perkapita/bulan sebesar Rp 238.056. Disisi lain, Kabupaten Gunung Kidul memiliki sejumlah masalah ekonomi dan sosial antara lain sebagian penduduknya tidak memiliki rumah sehat atau rumah tidak layak huni (RTL), kesulitan mengakses air bersih, dan memiliki IPM rendah. Salah satu indikasi rumah sehat menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai per kapita minimal 10 m2. Pada tahun 2011 masih ada sekitar empat persen rumah tangga didaerah perkotaan dan tiga persen didaerah pedesaan Gunungkidul tinggal dirumah dengan lantai per kapita kurang dari sama dengan 10 m2 (BPS Gunungkidul 2012).

Masalah air minum bersih bagi penduduk di Gunungkidul masih menjadi masalah serius tahunan yang perlu perhatian dari semua pihak. Masalah tahunan ini berkaitan dengan musim kemarau yang menyebabkan sumber-sumber air mengering sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Ada sekitar 18 persen Rumah Tangga di Gunung Kidul yang sumber air minumnya berasal dari air hujan (BPS Gunungkidul 2012).

(16)

lingkungan kering, terancam oleh bencana alam, kekurangan lapangan kerja dan berkurangnya sumber - sumber ekonomi untuk kelangsungan hidup mereka. Hal ini akhirnya menurunkan taraf hidup keluarga petani.

Menurut Sen (1985), taraf hidup manusia tidak boleh hanya dipandang dari sekadar tingkat pendapatan, namun juga kualitas hidup yang dimilikinya. Kualitas hidup manusia didekati dengan tingkat harapan hidup yang merupakan cermin dari sisi kesehatan dan kemampuan baca tulis serta lama sekolah dari sisi pendidikan. Dengan melihat perkembangan angka IPM tiap tahun, tampaknya kemajuan yang dicapai Gunungkidul dalam pembangunan manusia masih harus diupayakan dengan usaha yang lebih keras lagi. Angka IPM Gunungkidul hanya mengalami sedikit peningkatan dari 70,18 pada tahun 2009 menjadi 70,45 pada tahun 2010 dan 70,84 pada tahun 2011. Lambatnya kenaikan IPM ini dapat dipahami, mengingat dampak dari investasi di sektor kesehatan dan pendidikan khususnya terhadap peningkatan indikator penyusun IPM baru akan terlihat secara nyata dalam jangka panjang.

Lokasi yang terdekat dengan ibukota kecamatan memiliki ciri-ciri sebagai desa semi kota, sebutan tersebut ditandai dengan adanya jalan penghubung antar antar kota antar provinsi yang melewati Desa Bandung, yaitu desa yang terdekat dengan ibukota kecamatan. Selain itu berbagai fasilitas penunjang berada di desa ini antara lain adanya pondok pesantren, pasar rakyat, sekolah dari SD hingga SMA, adanya apotek, salon, bengkel las, bengkel reparasi elektronik dan lokasi kantor penyuluh pertanian desa. Sedangkan lokasi yang jauh dari ibukota kecamatan memiliki ciri-ciri sebagai desa pelosok, sebutan ini didasarkan pada ciri geografis bahwa desa ini terletak di belakang jika ditarik garis dari keberadaan jalan penghubung antar kota antar provinsi. Selain itu keberadaan fasilitas penunjang yang ada di Desa Bleberan, yaitu desa yang jauh dari ibukota kecamatan juga tak sebanyak fasilitas yang ada di Desa Bandung. Oleh karena itu dalam analisa penelitian ini perlu dilakukan upaya pembedaan lokasi atas kedua lokasi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan menjawab permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat kerentanan sosial-ekonomi pada keluarga petani di lokasi yang letaknya dekat dan jauh dari ibukota kecamatan?

2. Bagaimana strategi nafkah rumah tangga petani di lokasi yang dekat dan jauh dari ibukota kecamatan?

3. Bagaimana perbedaan tingkat kesejahteraan keluarga petani di lokasi yang letaknya dekat dan jauh dari ibukota kecamatan?

4. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga petani.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bermaksud meneliti tingkat kerentanan, strategi nafkah yang diterapkan, dan tingkat kesejahteraan sosial-ekonomi keluarga petani di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul.

(17)

1. Mengidentifikasi tingkat kerentanan sosial-ekonomi pada keluarga petani di daerah tandus yang letaknya dekat dan jauh dari ibukota kecamatan.

2. Mengidentifikasi strategi nafkah rumah tangga petani di lokasi yang dekat dan jauh dari ibukota kecamatan.

3. Menganalisis perbedaan tingkat kesejahteraan keluarga petani di daerah tandus yang letaknya dekat dan jauh dari ibukota kecamatan.

4. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga petani.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana strategi nafkah keluarga petani di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Bagi penulis dan akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena lapangan. Selain itu diharapkan penelitian ini bisa menambah literatur di bidang manajemen keluarga terutama yang terkait dengan topik kerentanan, strategi nafkah, kesejahteraan keluarga, pertanian dan pedesaan.

2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi wacana dan menambah pengetahuan bagi masyarakat umum terkait dengan strategi nafkah keluarga di pedesaan.

3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi usulan, saran, informasi dan data untuk pembuatan kebijakan yang terkait dengan upaya mensejahterakan keluarga petani dan memajukan usaha pertanian khususnya petani tadah hujan di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep dan Pendekatan Teori Keluarga

Pengertian Keluarga

Burges dan Locke (1945) mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, yang anggotanya terikat oleh adanya hubungan perkawinan (suami istri) serta hubungan darah (anak kandung) atau adopsi (anak pungut). Hubungannya dengan anak, keluargapun dicirikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan anak yang paling dapat member kasih sayang yang tulus, manusiawi, efektif, dan ekonomis. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang syah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, antar keluarga, dengan masyarakat dan lingkungannya (Landis 1986 dalam Puspitawati 2012).

(18)

keluarga, seperti orang mondok dan pembantu rumah tangga yang hidup dalam satu unit tempat tinggal (pemondokan atau bangunan beratap). Bangunan disebut unit tempat tinggal jika unit tersebut dimaksudkan untuk dihuni sebagai satuan-satuan tempat tinggal yang terpisah.

Tujuan dan Fungsi Keluarga

Deacon dan Firebough (1988) mengatakan fungsi keluarga adalah bertanggungjawab dalam menjaga, menumbuhkan, dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan demikian, pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia hal-hal sebagai berikut : (a) pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial. (b) kebutuhan akan pendidikan formal, informal, dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, emosional dan spiritual.

Keluarga adalah unit terkecil dalam suatu masyarakat. Diharapkan, setiap keluarga yang ada merupakan keluarga yang sehat, yaitu yang dapat menciptakan konsensus apabila ada konflik, keluarga yang stabil, dapat beradaptasi terhadap lingkungannya apabila terjadi sesuatu, dapat memotivasi orangtua untuk mendedikasikan hidupnya dalam menciptakan bonding emosional yang kuat diantara anggota keluarganya. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi kebutuhan agama, psikologi, makan dan minum, dan sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya.

Siklus Perkembangan Keluarga

Konsep Perkembangan Keluarga Duvall (1971) terbagi kedalam 8 tahapan siklus keluarga, yaitu (1) tahap awal perkawinan dicirikan bahwa kondisi sosial ekonomi pasangan suami istri baru merintis; Prioritas tujuan adalah menyesuaikan karakteristik individu dengan kondisi perkawinan awal. Perpindahan tempat tinggal dari orang tua ke rumah baru; (2) tahap punya anak, dicirikan bahwa prioritas kebutuhan anak (materi, kasih sayang, waktu); Prioritas membeli susu, perawatan kesehatan, diaper, mainan, keamanan dan perlindungan anak; pembagian peran pengasuhan anak; butuh bonding dan attachment fisik serta ikatan emosi yang tinggi antara orangtua dan anak; (3)Tahap anak umur pra sekolah, dicirikan dengan kebutuhan biaya anak bertambah (anak mulai sekolah

pre-school); Anak mulai siap-siap masuk SD; Prioritas menabung untuk

(19)

apakah setelah lulus akan bekerja atau melanjutkan ke perguruan tinggi. Komunikasi antara orang tua dan anak menjadi sangat penting. Bonding emosi lebih tinggi dibandingkan bonding fisik antara orangtua dan anak; (6) tahap anak lepas dari orang tua, dicirikan peran pengasuhan sudah selesai. Anak sudah mandiri (menikah atau bekerja) dan tidak tinggal serumah lagi dengan orang tua. Biaya pendidikan menjadi tidak ada. Orang tua berada pada kondisi tingkatan sosial, ekonomi yang maksimal. Pasangan suami istri menjadi sendiri lagi; (7) tahap orang tua umur menengah, dicirikan orang tua usia menengah tinggal berdua saja, pada fase ini sekali-kali anaknya menengok. Pasangan mulai memasuki usia pensiun. Kondisi pendapatan menjadi menurun. Pasangan mulai hidup dari uang pensiun dan uang tabungan. Sekali-kali anak membantu keuangan. Kesehatan mulai menurun; Mulai punya cucu; (8) tahap orang tua umur lanjut usia, dicirikan dengan tahap usia lanjut, salah satu pasangan mulai meninggal. Sebagian orangtua tinggal sendiri atau tinggal dengan anaknya. Kesehatan semakin menurun. Kondisi sosial ekonomi mulai menurun.

Teori Struktural Fungsional

Prasyarat dalam teori struktural-fungsional menjadikan suatu keharusan yang wajib ada agar keseimbangan sistem tercapai, baik pada tingkat masyarakat maupun tingkat keluarga. Levy dalam Megawangi (2005) menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi :

(1) Diferensiasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, peran ayah adalah peran instrumental yaitu sebagai bread

winer atau pencari nafkah keluarga, sedangkan peran ibu adalah peran

ekspresif yaitu memberikan rasa kasih sayang, pengasuhan dan bertanggungjawab mengurus rumahtangga,

(2) Alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga, (3) Alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota

keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, tujuan keluarga adalah mencapai derajat sakinah, mawadah warahmah,

(4) Alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5)Alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/tehnik sosialisasi

internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku (Puspitawati 2012).

Sumber Daya Keluarga

(20)

sumberdaya internal adalah ketika individu-individu atau keluarga memiliki apa yang dapat mereka kendalikan. Deacon dan firebough (1981) membicarakan keluarga sebagai system dan subsystem. Sebagai sistem keluarga memiliki elemen masukan, proses dan keluaran. Masukannya adalah barang, energi dan informasi. Bentuk spesifik dari barang, energi dan informasi itu diklasifikasikan sebagai sumberdaya dan kebutuhan.

Keluarga akan memakai sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan. Perubahan sumberdaya dan respon atas kebutuhan tersebut akan meninggalkan system keluarga dan masuk ke lingkungan sebagai keluaran. Perubahan masukan barang, energi dan informasi tersebut dinamakan proses atau transformasi. subsystem dalam system keluarga diidentifikasi berupa personal dan manajerial. Personal system yang terdekat mempengaruhi keluarga adalah keluarga dan masyarakat, sedangkan yang terjauh adalah lingkungan. Deacon dan Firebough (1988) menggolongkan sumberdaya menjadi dua macam: (1) eksternal berupa dukungan alam dan dukungan keluarga;(2) internal berupa kemampuan dan kualitas manusia didalam keluarga serta pengalaman hidup dan jaringan yang dimilikinya. Namun beberapa peneliti termasuk diantaranya DFID (2000), Ellis (2000), Yeboah (2010) mengelompokkan sumber daya menjadi 5 sampai dengan 6 kelompok meliputi : (1) Human capital atau sumber daya manusia, (2) Physical capital atau sumber daya fisik, (3) Natural capital atau sumber daya alam, (4)

Financial capital atau sumber daya uang, (5) Social capital atau sumber daya social, dan (6) political capital atau sumber daya politik.

Modal Manusia

Menurut Yeboah (2010) Human capital meliputi kemampuan manusia, yang terdiri dari pendidikan, keahlian, kesehatan individu dan kelompok. Sumberdaya manusia di dalam sistem keluarga adalah keahlian, kemampuan, dan pengetahuan manusia yang menjadi anggota dari system. Jika terkadang keluarga meminjam pengetahuan, keahlian atau kemampuan dari luar keluarga, hal ini bisa terjadi karena ditukar uang, waktu, atau menerima bantuan dalam bentuk barang. Barang-barang tangible yang siap langsung dikonsumsi atau yang akan digunakan untuk memproduksi barang-barang yang lain.

(21)

Keadaan fisiologi suami-istri juga diperhitungkan dalam membahas masalah kemiskinan. Keadaan fisiologi menggambarkan sehat atau tidaknya keluarga dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Kesehatan dimaknai sebagai kondisi yang dialami setiap orang. WHO (1984) mendefinisikan sehat sebagai status kenyamanan menyeluruh dari jasmani, mental, dan sosial, bukan hanya tidak ada penyakit atau kecacatan. Kesehatan mental diartikan sebagai kemampuan berpikir dengan jernih dan koheren. Istilah ini dibedakan dari kesehatan emosional dan sosial, meskipun ada hubungan yang dekat diantara ketiganya. Kesehatan sosial berarti kemampuan untuk membuat dan mempertahankan hubungan dengan orang lain, sedangkan kesehatan jasmani adalah dimensi sehat yang paling nyata, mempunyai perhatian pada fungsi mekanistik tubuh. Namun deskripsi tentang kesehatan dalam tulisan ini dibatasi pada kesehatan jasmani (Emilia 1994). Hasil Penelitian Iskandar (2012) menunjukkan 96,7 persen status suami yang dalam keadaan sehat di perkotaan tergolong miskin sedangkan 98 persen status suami yang dalam keadaan sehat dipedesaan tergolong tidak miskin.

Pendidikan suami-istri dan pekerjaan suami-istri juga menjadi bagian dari dimensi sumberdaya internal keluarga. Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu proses mengubah sesosok manusia biologis menjadi sesosok social being

(pendidikan juga disebut sosialisasi). Sosialisasi merupakan upaya transformasi nilai-nilai sosial budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga diharapkan bertingkah laku seperti generasi pertama (Wignjosoebroto 1994). Dimensi sumberdaya internal keluarga yang terakhir adalah pekerjaan suami-istri. Pekerjaan ada yang berupa swasta, pedagang dan wiraswasta. Swasta adalah pekerja bebas. Pekerja bebas maksudnya orang yang melakukan usaha mandiri, tetapi tidak berorientasi pada keuntungan dan usaha yang dilakukannya tidak terlembaga, seperti tukang cukur, dan petani tradisional. Pedagang adalah beberapa pekerja yang bersama-sama dalam suatu tempat, diantara mereka merupakan koordinator yang biasanya sebagai pemasok modal utama. Wiraswasta adalah orang yang mempunyai sifat kewiraswastaan, seperti keberanian mengambil resiko, keutamaan dan keteladanan dalam menangani usaha dengan berpijak pada kemauan maupun kemampuan sendiri (Priyono dan Soerata, 2005).

Modal Fisik

Masih menurut Yeboah (2010), sumber daya keluarga yang kedua adalah

(22)

Modal Alam

Natural capital atau sumber daya alam adalah cadangan sumberdaya dari alam yang bisa mencakup tanah, air, dan energi panas. Dalam konteks individu seringkali sumberdaya alam semisal minyak dan gas kurang ramah dan tidak bisa diakses oleh perempuan. temuan Peprah dan Boohene (2011) menyatakan supaya wanita dapat menikmati sumberdaya alam semisal minyak dan gas maka caranya adalah dengan menciptakan mata pencaharian alternatif semisal memberikan akses kepada jasa keuangan, capacity building¸training and

development, dan pelayanan teknis di daerah tambang. Sedangkan ILO dan FAO

(2009) menyebutkan yang dimaksud sebagai modal alam adalah akses kepada tanah, air, flora, fauna, hutan, sungai, kehidupan danau, kehidupan liar, kehidupan angkasa, kehidupan laut dan biodiversitas (ILO dan FAO, 2009).

Modal Finansial

Menurut Yeboah (2010) Modal finansial meliputi uang dari gaji, tabungan, dan pinjaman. Sementara itu ILO dan FAO (2009) menyebutkan modal finansialmeliputi tabungan dalam bentuk uang tunai dan asset liquid seperti biji-bijian, emas, perhiasan, akses menuju penghasilan rutin, akses menuju fasilitas pinjaman dan asuransi.

Modal Sosial

Menurut Yeboah (2010) modal sosial meliputi keuntungan yang disebabkan oleh hubungan dan pertemanan. sementara itu Suandi (2007) menganggap modal sosial merupakan sumberdaya terpenting dalam kehidupan masyarakat, karena modal ini merupakan jaringan/hubungan keluarga terhadap dunia luar baik bersifat formal maupun informal untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Widodo (2011) memasukkan lembaga kesejahteraan lokal sebagai strategi ekonomi berupa kegiatan otok-otok

(menyumbang biaya hajatan) dan rempoh (arisan) dimana pelakunya adalah laki-laki dan pemanfaatan jejaring sosial berupa tindakan berhutang pada tetangga atau kerabat dan tukar menukar informasi pekerjaan dimana pelakunya adalah laki-laki dan perempuan. Kabir et.al (2000) menyatakan strategi berhutang akan ditempuh terutama ketika ada anggota keluarga yang sakit sehingga mata pencaharian terganggu. Dampak sakitnya salah satu anggota keluarga akan mengganggu ekonomi rumah tangga karena (1) akan kehilangan penghasilan, (2) pekerjaan tidak aman, (3) mengeluarkan banyak uang untuk pengobatan, (4) relasi antar anggota keluarga terganggu, (5) jaringan sosial dalam masyarakat akan terganggu. Minamoto (2010) juga menyatakan modal komunitas sosial penting selama rekonstruktusi bencana alam. Alfiasari (2008) menulis ada tiga hal sebagai modal sosial dalam rangka menjaga ketahanan pangan rumah tangga miskin, yaitu : (1) kepercayaan (trust, (2) jaringan sosial (networks), dan (3) norma sosial (norms). Dalam membangun ikatan sosialnya, modal social dilandasi oleh ”trust”

(kepercayaan) sehingga modal sosial akan menjadi infrastruktur komunitas yang dibentuk secara sengaja (Fukuyama 2001).

(23)

anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerjasama dalam memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama. Untuk studi yang khusus membahas tentang modal sosial, Narayan dan Cassidy (1999) merumuskan detail pengukuran modal sosial (Gambar 1).

Gambar 2.1. Mengukur Modal Sosial dalam Masyarakat Sumber : Narayan dan Cassidy (1999)

Modal Politik

DFID (2000), Ellis (2000), Yeboah (2010) mengelompokkan sumber daya menjadi 5 sampai dengan 6 kelompok yang mana salah satunya adalah modal politik, yaitu mengkaji kekuatan dan kapasitas yang diberikan kepada individu atau kelompok untuk mempengaruhi keputusan. Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor

Modal

Partisipasi dlm pengambilan keputusan Heterogenitas keanggotaan

Sumber pendanaan kelompok

Kesukaan membantu orang Kepercayaan kepada orang Kejujuran kepada orang

Seberapa baik orang-orang bersama Kekompakan orang-orang

Aksi sosial keseharian

Meminta tetangga mengantarkan anak sakit pakai mobil Meminta bantuan ketika diri sendiri sakit

Pernahkah anda jadi sukarelawan Harapan untuk dibantu sukarelawan Dikritik karena tidak mau kerja bakti Kontribusi yang adil kepada tetangga Pernahkah anda membantu seseorang

Percaya kepada keluarga

Percaya pada orang-orang bertetangga Percaya pada orang-orang dari suku lain Percaya pada pemilik usaha

Percaya kepada pegawai pemerintah Percaya kepada hakim/jaksa/polisi

(24)

kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal.

Kerentanan Keluarga

Konsep Kerentanan

Cristiaensen dan Subbarao (2004) merumuskan bahwa yang dimaksud kerentanan seseorang adalah peluang seseorang dengan apa yang dimilikinya sekarang untuk menjadi miskin dimasa yang akan datang, yaitu peluang untuk menjadi miskin kelak jika sekarang tidak miskin, atau peluang untuk tetap miskin jika sekarang pun sudah miskin. Kerentanan diartikan terpisah dari status kemiskinan atau kesejahteraan yang disandangnya sekarang. Namun, kerentanan dan kemiskinan secara konseptual sangat erat kaitannya. Kemiskinan berkaitan dengan ex post realisasi variabel stochastic vocal (seperti kesejahteraan) dengan respect kepada apa yang secara sosial disebut ambang minimum (garis kemiskinan), sedangkan kemiskinan adalah ex ante harapan bahwa variabel vocal relatif terhadap ambang ini (Cristiaensen dan Subbarao, 2004).

Kerentanan Keluarga Aspek Sosial-Ekonomi

Terdapat beberapa indikator kuantitatif kerentanan sosial ekonomi pada tingkat individu yang sering digunakan, yaitu diantaranya : usia bayi dan lansia (dibawah 5 tahun dan diatas 65 tahun), pendapatan, gender, status kerja, jenis tempat tinggal, rumah tempat tinggal milik sendiri atau berkelompok dengan keluarga besar, situasi kerusakan bangunan rumah milik pribadi, sewa atau kredit, status kepemilikan asuransi kesehatan, status asuransi rumah dan isinya, status kepemilikan kendaraan, kecacatan yang dialami, dan status tabungan/hutang.

Chambers (1983) menyatakan bahwa orang miskin tidak hanya masalah rendahnya tingkat pendapatan atau konsumsinya, tetapi kecenderungan untuk mengalami penurunan yang lebih parah lagi dari kondisinya sekarang ini pada masa yang akan datang. Kerentanan, adalah kondisi tidak sejahtera seorang individu, sebuah rumahtangga atau sekelompok masyarakat saat menghadapi perubahan lingkungan, hal ini bisa dirumuskan sebagai akibat dari tiga proses yang saling berkaitan: determinasi non-stochastik kemiskinan (misalnya pendidikan kepala keluarga), terpapar resiko (misalnya kekeringan), dan kesanggupan melakukan koping terhadap goncangan (misalnya melalui asuransi dan pasar kredit). Dengan demikian, dalam mengukur kerentanan tidak hanya dengan mengukur penghasilan dan konsumsinya sekarang dalam bentuk rupiah, akan tetapi juga mengukur asset mereka dan perubahannya sepanjang waktu dalam upaya memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kemiskinan kronis dalam konsep money-metric of poverty yang didominasi literatur kemiskininan terkini.

(25)

terlalu menyederhanakan persoalan orang miskin. Para pakar ekonomi mengekspresikan kemiskinan dalam dominasi income-poverty. Padahal, orang miskin bersifat lokal, komplek, beragam, dan dinamis. Banyak dimensi penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu : inferioritas, pengasingan, kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan, dan penghinaan (Chambers, 1995).

Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Tabel 2.1. Penelitian empiris kerentanan pedesaan

No Seting Lokasi Peneliti Hasil

1 Serbia Ersado, 2006 Karakteristik keluarga, penyimpangan cuaca dan iklim, geografi, kebijakan publik berpengaruh terhadap terjadinya kerentanan

2 Andes, Austria Stadel , 2008 Konsep tradisional tentang ketinggian, barang pengganti, saling bantu,d an dukungan komunitas mendukung ketahanan masyarakat Andean. Strategi nafkah pedesaan harus bisa beradaptasi dengan setiap kemajuan untuk mampu mengatasi setiap tantangan dan peluang.

3 Indonesia Sunarti, 2013 Ketahanan keluarga lansia bisa dicapai saat mereka bisa mengelola sumberdaya

keluarga (FRM) dan mengatasi

kerentanan pada fase-fase keluarga sebelumnya.

4 Luzaka, Zambia Moser dan

Holland (1996)

Aset keluarga berfungsi sebagai buffer

untuk mengatasi kerentanan. Aset yang dimaksud adalah tangible asset, intangible asset semisal tenaga kerja, modal manusia dan modal social. Perubahan lingkungan bisa memperkuat atau justru menggerus modal-modal ini.

(26)

Kerentanan karena faktor geografi. Menurut Ersado (2006), Rumahtangga dan wilayah yang sumber penghidupannya lebih banyak berasal dari aktifitas pertanian lebih beresiko mengalami kerentanan dan kemiskinan dibanding yang secara signifikan memperoleh sumber penghidupan dari non pertanian. Wilayah dengan topografi pegunungan terlihat lebih rentan, kemungkinan karena ketidakmampuan mereka untuk mengakses infrastruktur sosial dan fisik yang penting. Variabel agregat seperti lokasi geografis, kekeringan dan akses kepada layanan komunikasi secara signifikan berkorelasi dengan kerentanan dan kemiskinan rumahtangga.

Kerentanan karena faktor karakteristik keluarga. Menurut Ersado (2006). Sumberdaya manusia dengan level pendidikan yang lebih tinggi semisal level pendidikan kepala rumahtangganya secara signifikan akan mengurangi kerentanan dan kemiskinan rumahtangga. Rumahtangga dengan anggota yang berpendidikan lebih tinggi dari SMP secara signifikan menghadapi kerentanan yang lebih rendah dibanding keluarga dengan anggota dengan pencapaian pendidikan yang lebih rendah, rumah tangga yang berukuran besar dan lebih banyak anggota yang berusia tua akan lebih rentan dan memiliki kecenderungan untuk berada dalam kemiskinan. Populasi yang rata-rata berusia tua dan berkurangnya simpul-simpul pekerja aktif dan peluang untuk menghasilkan pendapatan ditambah pencapaian pendidikan yang rendah, secara signifikan memperburuk kemiskinan di Serbia, Ersado (2006).

Kerentanan Karena rendahnya kepemilikan asset. Masih menurut Ersado (2006), kepemilikan asset penting peranannya sebagai faktor pengurang kerentanan sebuah keluarga. Kerentanan dan kemiskinan pedesaan sangat kuat berkaitan dengan kepemilikan asset dan akses menuju pasar untuk memobilasi mereka dalam waktu yang diperlukan. Keluarga dengan nilai asset tahan lama

(durable asset) secara signifikan akan kurang rentan. Aset tidak hanya

menentukan potensi pendapatan, tetapi juga menentukan kemungkinan cepatnya pulih dari situasi krisis semisal ketika rumahtangga menghadapi goncangan dan kesanggupan mereka untuk mengatasi kerentanan. Meningkatnya level kerentanan bisa merefleksikan rendahnya level asset yang dimiliki atau sulitnya memperoleh hasil dari asset itu. Tidak hanya nilai asset yang menjadi sumber kerentanan, tetapi juga bagaimana mereka memobilisasi dalam waktu yang dibutuhkan dan kemudahan dimana mereka bisa mentransfernya menjadi dampak semisal kesehatan, pendidikan dan konsumsi.

Kerentanan akibat penyimpangan cuaca dan iklim. Menurut Ersado (2006), kerentanan pedesaan di Serbia sangat kuat terkait dengan perubahan cuaca dan topografi. Kekeringan pada tahun 2003 menjadi pemicu meningkatnya kemiskinan dan kerentanan karena menurunnya produksi pertanian secara signifikan.Variabilitas dan penyimpangan curah hujan pada jangka panjang berkaitan dengan meningkatnya kerentanan Ersado (2006).

(27)

meningkatkan manajemen resiko serta kemampuan coping mereka. Akumulasi dan mobilisasi asset yang penting untuk mitigasi resiko umumnya dilakukan pada pembangunan akses menuju pasar dan kelembagaan pasar. Intervensi yang tepat pada basis kemiskinan akan memiliki dampak yang besar pada kerentanan. Wilayah dengan akses yang sulit terhadap infrastruktur komunikasi semisal jalan adalah yang lebih rentan.

Menurut Moser (1996), rumah adalah asset fisik produktif yang bisa menjadi bantalan (buffer) rumah tangga dalam upaya memerangi kemiskinan akut. Demikian juga tentang pendapatan dan pengeluaran keluarga, Moser (1996) berpendapat bahwa didalam rumahtangga kemampuan seseorang dalam mengontrol pemasukan keluarga seringkali menjadi kunci penting terwujudnya peningkatan atau penurunan kesejahteraan keluarga, bahkan kesalahan dalam mengelola pemasukan keluarga bisa menjadi penyebab penurunan pemasukan keluarga (Moser dan Holland 1996).

Menurut Ersado (2006), segala sesuatu pastilah selalu setara, meningkatnya ukuran besar keluarga akan menambah beban keluarga baik dari segi kebutuhan asset maupun sumberdaya lainnya dan secara positif berkorelasi terhadap terjadinya kerentanan dan kemiskinan (Ersado 2006). Salah satu penentu utama kemiskinan di pedesaan adalah kepemilikan asset tahan lama (durable asset) pada sebuah rumah tangga. Keluarga-keluarga dengan nilai asset tahan lama yang semakin tinggi akan secara signifikan kurang rentan (Ersado 2006).

Menurut Golden et.al (2012) sebuah keluarga dikatakan rentan apabila tidak stabil dalam hal perumahan, memiliki penghasilan kecil, ibu-ibu yang terisolir yaitu tidak mampu atau sulit mengakses infrastruktur, para ibu yang tidak menikah, tidak bekerja dan tidak memperoleh santunan uang (Loprest dan Nichols 2011), tidak memiliki satupun pekerjaan yang pasti ditambah kewajiban harus menghidupi anak-anak (Loprest dan Zedlewski 2006), keluarga yang memiliki anggota cacat fisik atau mental akut hingga berdampak pada masalah ekonomi (Bond et al. 1999; Gold et al. 2006), keluarga yang memiliki anggota bekas narapidana sehingga anggota keluarga yang lain dikucilkan dan dicemooh ditengah-tengah masyarakat (Butler et al. 2012), keluarga yang mengalami kekerasan, menderita gangguan mental, cacat, dan memiliki masalah keluarga yang kompleks, keluarga dengan kondisi keuangan yang kurang terjamin, yaitu keluarga “terisolir” yang tidak memperoleh pendampingan keuangan dari pemerintah, keluarga dengan variabel pengeluaran yang berlebih, yaitu adanya pengeluaran-pengeluaran yang diluar dugaan seperti biaya perbaikan mobil, biaya darurat kesehatan dan perbaikan rumah Golden, O.et.al (2012), keluarga dengan penghasilan yang tidak menentu dan keluarga dengan tunjangan anak yang tidak menentu (Acs, Loprest, dan Nichols 2009).

(28)

tangga yang bekerja hanya satu orang, keluarga petani yang mengalami goncangan ekonomi karena musim kemarau panjang. Moser dan Holland (1996) menyusun matrik indikator potensi penambah dan pengurang kerentanan bagi individu, rumahtangga dan masyarakat. Untuk lebih mudah memahami indikator penambah dan pengurang kerentanan pada individu, rumah tangga dan masyarakat secara matrik disajikan pada Tabel 2. 2.

Tabel 2.2. Matrik indikator potensi penambah dan pengurang kerentanan bagi individu, rumahtangga dan masyarakat Tenaga kerja • Kehilangan pekerjaan secara

permanen

• Penurunan upah tenaga kerja • Gaji meningkat dalam jangka

pendek, upah tenaga kerja minimum

• Dirumahkan karena cacat fisik

• Meningkatnya jumlah anggota keluarga yang bekerja, terutama wanita

• Meningkatnya industri berbasis rumahtangga

• Meningkatnya pekerjaan yang dilakukan pekerja perseorangan

Modal manusia

• Penurunan akses atau kualitas kepada infrastruktur sosial atau ekonomi

• Penurunan kesertaan bersekolah atau meningkatnya angka DO • Penurunan kesertaan pada klinik

kesehatan

• Penggantian layanan dari pribadi menjadi umum, semisal pompa air, biaya kesehatan pribadi, biaya pendidikan pribadi

Rumahtangga Perumahan • Meningkatnya persepsi terhadap

ancaman pengusiran

• Membusuknya simpanan di rumah • Keramaian di dalam rumah yang

keterlaluan

• Penyelesaian masalah ketidakamanan gudang penyimpanan

• Penggunaan skema sarang antar generasi

Relasi Keluarga

• Kerapuhan rumahtangga sebagai suatu unit sosial disebabkan perubahan struktur, perceraian, atau terbelahnya keluarga

• Penambahan unit keluarga baru yang mengurangi rasio penghasil dibanding penerima penghasilan— terutama dengan penambahan wanita kepala keluarga baru didalam KK yang sudah ada sebelumnya (”hidden female household heads”).

• Ketidaksanggupan wanita untuk menyeimbangkan berbagai tanggungjawab dan partisipasi ke masyarakat

• Anak perempuan tertua sedang mengasuh bayi

• Manula tidak memiliki perawat lansia

• Meningkatnya KDRT

• Pemecahan kepala keluarga yang meningkatkan rasio penghasil dibanding penerima penghasilan

• Berbagi dalam pengasuhan anak, memasak dan ruangan

• Berkurangnya KDRT

Masyarakat Modal sosial • Meningkatnya ketidakamanan

pribadi di tempat umum • Penurunan saling bantu antar

rumahtangga

(29)

• Luruhnya semangat kebersamaan di level organisasi

organisasi

Sumber : Moser dan McIlwaine (1997)

Strategi Nafkah Keluarga

Konsep Strategi Nafkah

[DFID] Department for International Development mengadaptasi sebuah definisi strategi nafkah yang mengacu pada Chambers conways (1992) bahwa

livelihood merupakan kemampuan, aset dan aktifitas yang diperlukan sebagai alat untuk hidup. Matapencaharian dikatakan lestari apabila ia bisa menanggulangi dan bisa pulih dari tekanan serta goncangan dan memelihara atau meningkatkan kemampuan serta asetnya baik untuk sekarang maupun diwaktu yang akan datang, apabila tidak bergantung pada sumberdaya alam” (DFID 2000).Konteks kerentanan menurut DFID (2000) adalah disebabkan karena goncangan, trend dan musim. Bagaimana strategi nafkah yang berkelanjutan menurut DFID digambarkan dalam Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Pendekatan Strategi Nafkah Berkelanjutan menurut DFID (2000) Ellis (2000), menyatakan bahwa pendekatan nafkah berkelanjutan berusaha mencapai derajat pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi secara adil dan seimbang. Pencapaian derajat kesejahteraan sosial didekati melalui kombinasi aktivitas dan pemanfaatan modal-modal yang ada dalam tata nafkah. Strategi nafkah meliputi aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Semakin beragam pilihan sumber nafkah sangat memungkinkan terjadinya strategi nafkah. Secara jelas dalam bidang pertanian digambarkan dengan adanya pola intensifikasi dan diversifikasi. Strategi nafkah

Pengaruh

(30)

juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi produksi melalui usaha cost minimization

dan profit maximization. Selain adanya pilihan, strategi nafkah mengharuskan adanya sumberdaya manusia dan modal. Pola hubungan sosial juga memberikan warna dalam strategi nafkah. Pola relasi patron-klien dianggap sebagai sebuah lembaga yang mampu memberikan jaminan keamanan subsistensi rumah tangga petani (Crow, 1989).

Pola pencarian nafkah dan sistem penghidupan memiliki keterkaitan yang kuat antara satu sama lain. Hal ini disebabkan karena ketika suatu masyarakat menerapkan pola pencarian nafkah tertentu maka jumlah pendapatan yang mereka dapat akan berbeda-beda sesuai dengan pola yang diterapkan. Jumlah pendapatan yang berbeda-beda akan berimplikasi pada sistem penghidupan yang nantinya akan dijalani masyarakat tersebut. Masalahnya adalah masyarakat dituntut untuk memiliki alternatif dalam pola pencarian nafkah, hal ini disebabkan karena berbagai situasi, kondisi, dan dinamika yang mungkin terjadi dalam proses pencarian nafkah. Masyarakat harus berusaha mengenali kemampuan, keterampilan , dan sumberdaya alam yang mereka miliki guna memanfaatkannya secara maksimal.

Tulak (2009) menunjukkan bahwa mereka yang memiliki keunggulan dalam pencapaian tingkat ekonomi, biasanya memiliki kelenturan dalam menyusun strategi bertahan hidup (livelihood strategies). Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kelenturan dalam struktur nafkah (livelihood structure) akan menunjukkan stabilitas ekonomi rumahtangga yang lebih baik. Pada kenyataannya, mereka yang berasal dari lapisan ekonomi menengah ke atas akan menunjukkan kinerja yang lebih baik dalam bernafkah. Dengan menerapkan berbagai strategi nafkah (livelihood diversity) bertumpu pada sumberdaya yang mereka miliki, rumahtangga pertanian berhasil meningkatkan derajat kesejahteraannya (Dharmawan, 2001). Penelitian Tulak (2009) Juga menunjukkan bahwa faktor kesejahteraan sosial ekonomi dan kelimpahan modal (available

resources) yang dimiliki oleh masing-masing rumahtangga akan menentukan

strategi nafkah yang dipilih ke depan.

Menurut Sumarti (2007) pola nafkah ganda di pedesaan didefinisikan sebagai “proses-proses dimana rumahtangga membangun suatu kegiatan dan kapasitas dukungan sosial yang beragam untuk survival/bertahan hidup dan untuk meningkatkan taraf hidupnya”. Mengacu pada Scoones (1998), terdapat tiga strategi nafkah yang berbeda yang dilakukan oleh penduduk pedesaan, yaitu : (1) intensifikasi atau ekstensifikasi pertanian, (2) diversifikasi nafkah, dan (3) migrasi (keluar) berupa perpindahan dengan sukarela/sengaja atau tidak.

Menurut Chambers (1995), beberapa cara yang dipergunakan oleh rumahtangga dalam kerangka bertahan hidup antara lain: (1) mutual help dengan tetangga atau saudara, (2) kontrak lepas, (3) pekerjaan sambilan, (4) pekerjaan khusus (tukang cukur, tukang kayu, penjahit), (5) memanfaatkan tenaga kerja anak, (6) pekerjaan kerajinan, (7) menggadaikan dan menjual asset, (8) pemisahan anggota keluarga (menitipkan anak pada kerabat), (9) migrasi musiman, (10) remitten, (11) penghematan makanan dan konsumsi, dan lainnya.

(31)

maka Ellis (1998; 2000) menggambarkan suatu penekanan mengenai sumberdaya air sebagai landasan livelihood platform sehingga dimungkinkan diversifikasi pekerjaan di pedesaan. Menurut Ellis, strategi nafkah pertanian terdiri dari sector

on farm dan off farm. Ellis (2000), menjelaskan bahwa sector on farm merujuk pada nafkah yang bersumber dari hasil pertanian dalam arti luas (pertanian perkebunan, peternakan, perikanan, dll). Hasil pertanian tersebut berasal dari lahan milik yang digarap secara pribadi, lahan sewaan atau pun bentuk bagi hasil. Bagaimana gambaran diversifikasi mata pencaharian di pedesaan menurut Ellis (2000) dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Diversifikasi mata pencaharian di pedesaan Sumber: Elaborasi didasarkan pada Ellis (2000) dengan modifikasi.

Migrasi Sebagai Bagian Strategi Nafkah Keluarga

Olsson dan Elmqvist (2006), menyatakan bahwa diversifikasi nafkah itu penting untuk kaum miskin di pedesaan. Migrasi adalah diversifikasi yang umum selama musim kering, tetapi juga ada area yang menerapkan strategi berladang sambil membuat permen dan mencari dammar (resin). Strategi berganti pekerjaan juga dilaporkan oleh Ozturk (2009).

Siddique (2003) menyatakan bahwa migrasi berkontribusi pada strategi nafkah kaum miskin. Ia menyatakan bahwa orang yang sangat miskin cenderung untuk bermigrasi ke bagian lain dalam satu negara. Di Pedesaan Bangladesh, masyarakat mengalami apa yang disebut sebagai tuna tanah. Tujuh puluh persen masyarakatnya sepenuhnya tidak punya tanah atau tidak bisa menggarap tanah (BBS, 1998–1999). Studi menunjukkan bahwa masyarakat berpindah sendiri-sendiri dalam kampungnya, kemudian ke desa sebelahnya, dan secara berkala pindah ke kota ketika mereka menyadari tidak ada lagi pilihan mata pencaharian di kampungnya.

Diversifikasi mata Pendaharian

Aktivitas yang didasarkan pada sumber daya alam

(32)

Studi Tentang Strategi Nafkah dan Posisi Penelitian dalam Konteks Kekinian

Kajian mengenai strategi nafkah telah dilakukan sejak beberapa puluh tahun yang lalu oleh Sajogyo (1982) walaupun hanya secara implisit. Berbagai kajian sistem penghidupan tersebut biasanya dikaitkan dengan kemiskinan di pedesaan. Penelitian Geertz (1976) memberikan gambaran bahwa kondisi pertanian di Jawa mengalami kemandegan terutama karena lahan yang terbatas harus menanggung beban penduduk yang semakin padat. Persoalan kepemilikan dan penguasaan lahan menjadi isu penting dalam kaitannya dengan ekonomi rumah tangga petani.

White (1990) membedakan rumahtangga petani ke dalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sektor non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sektor pertanian maupun non pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sedang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sektor non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Biasanya mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani,dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akan mengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka tanpa modal, dengan imbalan yang rendah ke dalam kegiatan di luar pertanian. Pada rumahtangga padagolongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy).

Beberapa tesis dan disertasi lain mencoba mencoba menelusuri beragam strategi nafkah masyarakat dengan setting ekologi yang berbeda disajikan dalam Tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3. Penelitian Strategi nafkah dalam berbagai setting Lokasi

No Setting Lokasi Peneliti

1 Pegunungan Dharmawan (2001 dan 2006),

2 Sungai Efendi (2012)

3 Nelayan Zid (2011), Iqbal (2004), Lestari (2005);

4 Masyarakat sekitar hutan Purnomo(2005) 5 Rumahtangga miskin perkotaan Musyarofah (2006) 6 Perkebunan Tembakau Widiyanto (2009) 7 Wilayah Konservasi Budaya Nizwah, Z.K. (2011) 8

9

Daerah Transmigrasi Kemiskinan: Ethiophia

Tulak et al. (2009) Woldeamanuel (2009)

(33)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga; dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.

Konsep kesejahteraan adalah sesuatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda sehingga memberikan nilai-nilai yang berbeda pula tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan (Kusumo, 2009). Dimensi kesejahteraan keluarga sangat luas dan kompleks. Taraf kesejahteraan tidak hanya berupa ukuran yang terlihat (fisik dan kesehatan) tapi juga yang tidak dapat dilihat (spiritual). Oleh karena itu, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga (Puspitawati 2012), sebagai berikut:

1. Economical well-being: indikator yang digunakan pendapatan (GNP, GDP,

keluarga) & aset nasional (anggaran, devisa).

2. Sosial well-being: indikator yang digunakan tingkat pendidikan (SD-SMP-SMA-PT) dan pekerjaan (white collar = elit/prof., sarjana &blue collar = proletar/buruh pekerja)

3. Physical well-being: indikator yang digunakan status gizi, status kesehatan, tingkat mortalitas

4. Psychological/spiritual mental: indikator yang digunakan sakit jiwa, stres, bunuh diri, perceraian, aborsi.

Martinez et al (2003) menyatakan bahwa keluarga yang sejahtera adalah keluarga yang kuat dan sukses (strong and successful families) dalam mengatasi berbagai masalah, yaitu :

1) kesehatan, indikatornya keluarga merasa sehat secara fisik, mental, emosional dan spiritual yang maksimal;

2) ekonomi, indikatornya keluarga memiliki sumberdaya ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (a living wage) melalui kesempatan bekerja, kepemilikan aset dalam jumlah tertentu dan sebagainya;

3) kehidupan keluarga yang sehat, indikatornya bagaimana keluarga terampil dalam mengelola resiko, kesempatan, konflik dan pengasuhan untuk mencapai kepuasan hidup;

4) pendidikan, indikatornya kesiapan anak untuk belajar di rumah dan sekolah sampai mencapai tingkat pendidikan yang diinginkan dengan keterlibatan dan dukungan peran orang tua hingga anak mencapai kesuksesan.

5) kehidupan bermasyarakat, indikatornya jika keluarga memiliki dukungan seimbang antara yang bersifat formal ataupun informal dari anggota lain dalam masyarakatnya, seperti hubungan pro-sosial antar anggota masyarakat, dukungan teman, keluarga dan sebagainya.; dan

6) perbedaan budaya dalam masyarakat yang ada dapat diterima melalui keterampilan interaksi personal dengan berbagai budaya.

Pengukuran Tingkat Kesejahteraan Keluarga

(34)

konsep kebutuhan minimun (kalori) proxy pengeluaran. Sedangkan BKKBN mengukur kesejahteraan dengan mengambil keluarga batih/inti sebagai unit pengertian. BKKBN membagi kesejahteraan keluarga ke dalam tiga kebutuhan yakni :

1. Kebutuhan dasar (basic needs) yang terdiri dari variabel pangan, sandang, papan, dan kesehatan.

2. Kebutuhan sosial psikologis (sosial psychological needs) yang terdiri dari variabel pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan eksternal.

3. Kebutuhan pengembangan (developmental needs) yang terdiri dari variabel tabungan, pendidikan khusus, akses terhadap informasi.

Kesejahteraan keluarga objektif terdiri atas :

1. Kesejahteraan keluarga berdasarkan kriteria Sayogyo (1971) yang diacu dalam Puspitawati (2012) :

a. Menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan (membedakan daerah pedesaan dan perkotaan). b. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi

ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, yang bersangkutan digolongkan sangat miskin sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun. 2. Kesejahteraan ekonomi objektif keluarga diukur dengan proxy besarnya

pengeluaran keluarga. Pengeluaran keluarga yaitu pengeluaran yang diperuntukkan bagi pembelian keluarga sehari-hari, yakni kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, pengeluaran keluarga dialokasikan untuk kebutuhan pangan, non pangan dan investasi. Porsi pengeluaran tersebut akan mencerminkan tingkat kesejahteraan sebuah keluarga (Suandi 2007).

3. Kesejahteraan keluarga berdasarkan kriteria kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Untuk menentukan suatu keluarga digolongkan sejahtera secara material didasarkan atas pendapatan yang dibandingkan dengan garis kemiskinan. Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan dibawah garis kemiskinan, tentunya tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara material, sehingga digolongkan pada keluarga miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyetarakan kebutuhan-kebutuhan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari. Sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan.

4. Kesejahteraan keluarga berdasarkan kriteria Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

Gambar

Gambar keadaan desa lokasi penelitian
Gambar 2.1. Mengukur Modal Sosial dalam Masyarakat
Tabel 2.1. Penelitian empiris kerentanan pedesaan
Tabel 2.2. Matrik indikator potensi penambah dan pengurang kerentanan bagi individu, rumahtangga dan masyarakat
+7

Referensi

Dokumen terkait

perusahaan terhadap penerimaan opini audit going concern dan price earning ratio diganti dengan opinion shopping karena dalam penelitian sebelumnya variabel price

Tenaga analisis yang peran utamanya terdapat pada usaha untuk menciptakan berbagai model pengambilan keputusan, dengan demikian manajer lebih memahami implikasi

Apabila digunakan E- Learning dengan Schoology pada pem- belajaran materi Hukum Gravitasi Newton, maka siswa dapat lebih mudah memahami materi, terutama

&#34;len dengan usia perkembangan psikosoial dewasa. &#34;lien bahagia dengan hidup yang di#alani sekarang$ meskipun terkadang mendapati masalah$ klien dapat mengatasinya dengan

gitu.(W/FGD/Ki.10/MS/197-200) Kalau saya sendiri, saya berusaha buat setia, buat jadi yang terbaik buat suami. Tapi kalau laki-laki kayak gitu, ya saya tetep gak mau dong. Saya

Pendekatan nilai pasar bersifat retrospektif dengan melihat harga jual properti serupa yang baru lalu untuk memperkirakan harga dari suatu properti tertentu dimasa

Oleh karena itu, gagasan Islamisasi tidak hanya melakukan kritik terhadap ilmu pengetahuan modern, tetapi juga berusaha memasukkan nilai- nilai Islam yang universal untuk

Pelanggaran Kode Etik adalah setiap sikap, perkataan, perbuatan, penampilan dan busana yang bertentangan dengan kode etik mahasiswa yang diketahui pada saat atau,