• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelayakan Usaha Tempe Skala Kecil dan Menengah di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelayakan Usaha Tempe Skala Kecil dan Menengah di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

KELAYAKAN USAHA TEMPE SKALA KECIL DAN

MENENGAH DI KECAMATAN BALEENDAH

KABUPATEN BANDUNG

RADEN ARGINIA REGINA SARI ADISUDARMA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kelayakan Usaha

Tempe Skala Kecil Dan Menengah Di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Raden Arginia Regina Sari Adisudarma

(4)

ABSTRAK

RADEN ARGINIA REGINA SARI ADISUDARMA. Kelayakan Usaha Tempe

Skala Kecil dan Menengah di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung.

Dibimbing oleh TINTIN SARIANTI.

Tempe adalah salah satu produk olahan tradisional khas Indonesia yang

bergizi tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan

usaha tempe pada 2 skala usaha yaitu skala usaha dibawah 100 kg kedelai / hari

dan skala usaha diatas 100 kg kedelai / hari. Metode analisis yang digunakan yaitu

analisis non finansial seperti aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek

hukum, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Analisis finansial ditentukan dari

beberapa kriteria investasi seperti NPV, IRR, Net B/C dan

Payback Period

.

Analisis

switching value

dilakukan untuk mengukur perubahan kenaikan harga

kedelai dan penurunan produksi. Hasil penelitian yang dilakukan pada kedua skala

usaha menunjukan bahwa usaha tersebut layak untuk dilakukan. Hasil dari

switching value

dari skala usaha kecil dan skala usaha menengah, menunjukan

bahwa penurunan produksi lebih berpengaruh terhadap kelayakan usaha

dibandingkan kenaikan harga kedelai.

Kata kunci: kelayakan, kenaikan harga kedelai, tempe

ABSTRACT

RADEN ARGINIA REGINA SARI ADISUDARMA. Feasibility of Small and

Medium Scale Businesses of Tempe in Baleendah, Bandung. Supervised by

TINTIN SARIANTI.

Tempe is one of many Indonesian traditional food that highly nutritious.

The aim of this research was to analyze the feasibility of the 2 scales of tempe

business wich are above 100 kg/day scale of business and below 100 kg/day scale

of business. Analysis method used was non financial analysis method such as

market aspects, technical aspects, management aspects, and legal aspects, social

and environmental aspects. Financial analysis was determined by some criterias

such as NPV, IRR, Net B/C and Payback Period. Switching value analysis

conducted to measure the change of the price increase and decrease in soybean

production. The result showed that both of the two scales of tempe business were

feasible. The result of switching values analysis showed that on both scales the

decreasing of production had more impact on/ was more affecting business

feasibility than that of the increasing of soybean price.

(5)

KELAYAKAN USAHA TEMPE SKALA KECIL DAN

MENENGAH DI KECAMATAN BALEENDAH

KABUPATEN BANDUNG

RADEN ARGINIA REGINA SARI ADISUDARMA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul skripsi : Kelayakan Usaha Tempe Skala Kecil dan Menengah di

Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung

Nama

: Raden Arginia Regina Sari Adisudarma

NIM

: H34114085

Disetujui oleh

Tintin Sarianti, SP. MM

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dwi Rachmina, MSi

Ketua Departemen

(7)

PRAKATA

Segenap puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat kepada Allah SWT,

karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penuils dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “

Kelayakan Usaha Tempe Skala Kecil dan Menengah di

Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung

”.

Shalawat dan salam semoga

senantiasa tercurah pada junjungan alam Nabi Muhammad SAW.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Tintin Sarianti, SP. MM selaku

pembimbing, Dra. Yusalina, MSi selaku pembimbing akademik, Ir. Popong

Nurhayati, MM selaku evaluator kolokium, Dr. Ir. Suharno, MAdev selaku

penguji utama, dan Rahmat Yanuar, SP. MSi selaku penguji komisi pendidikan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pengrajin tempe di Kecamatan

Baleendah Kabupaten Bandung, serta Sekretaris KOPTI Kabupaten Bandung.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mamah, ayah, serta seluruh

keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Saya ucapkan terima kasih kepada

sahabat-sahabat yang senantiasa selalu memberikan motivasi dan persahabatan

yang luar biasa, teman-teman di Departemen Agribisnis yang telah membantu

selama perkuliahan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

...

vii

DAFTAR GAMBAR

...

viii

DAFTAR LAMPIRAN

...

ix

PENDAHULUAN

...

1

Latar Belakang

...

1

Perumusan Masalah

...

3

Tujuan Penelitian

...

4

Manfaat Penelitian

...

4

Ruang Lingkup Penelitian

...

4

TINJAUAN PUSTAKA

...

5

KERANGKA PEMIKIRAN

...

8

Kerangka Pemikiran Teoritis

...

8

Kerangka Pemikiran Operasional

...

12

METODE PENELITIAN

...

14

Lokasi dan Waktu Penelitian

...

14

Jenis dan Sumber Data

...

14

Metode Pengumpulan Data

...

14

Metode Pengolahan dan Analisis Data

...

14

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

...

19

Gambaran Lokasi dan Keadaan Umum

...

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

22

Kelayakan Aspek Non Finansial

...

22

Kelayakan Aspek Finansial

...

33

SIMPULAN DAN SARAN

...

46

Simpulan

...

46

Saran

...

47

DAFTAR PUSTAKA

...

47

(9)

DAFTAR TABEL

1 PDB pada usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan usaha besar (UB)

tahun 2008-2012

1

2 Konsumsi tempe di Indonesia tahun 2009-2013

2

3 Luas administatif Kecamatan Baleendah

20

4 Usia pengrajin tempe responden di Kecamatan Baleendah Kabupaten

Bandung tahun 2014

21

5 Tingkat pendidikan pengrajin tempe responden di Kecamatan Baleendah

Kabupaten Bandung

21

6 Pengalaman usaha pengrajin tempe responden di Kecamatan Baleendah

Kabupaten Bandung

21

7 Jumlah tenaga kerja pada pengrajin responden usaha tempe di Kecamatan

Baleendah kabupaten Bandung tahun 2014

22

8 Permintaan dan penawaran tempe pada pengrajin skala kecil dan pengrajin

skala menengah di Kecamatan Baleendah

23

9 Kebutuhan bahan baku pembuatan tempe pada skala kecil dan menengah pada

kondisi normal

26

10 Kebutuhan bahan baku pembuatan tempe pada skala kecil dan menengah pada

kondisi setelah penurunan volume input produksi

26

11

Inflow

pada pengrajin tempe skala kecil dan menengah sebelum kenaikan

harga kedelai

35

12

Inflow

pada pengrajin tempe skala kecil dan menengah setelah kenaikan harga

kedelai dengan modal kerja tetap, volume input produksi turun, dan harga jual

tempe tetap

35

13

Inflow

pada pengrajin tempe skala kecil dan menengah setelah kenaikan harga

kedelai dengan modal kerja tetap, volume input produksi turun, dan harga jual

tempe naik

36

14

Inflow

pada pengrajin tempe skala kecil dan menengah setelah kenaikan harga

kedelai dengan modal kerja bertambah, volume input produksi naik, dan

harga jual tempe naik

36

15 Biaya tetap usaha pembuatan tempe pada skala kecil dan menengah

37

16 Biaya variabel usaha pembuatan tempe sebelum kenaikan harga kedelai pada

skala kecil dan menengah

38

17 Biaya variabel usaha pembuatan tempe setelah kenaikan harga kedelai pada

skala kecil dan menengah dengan modal kerja tetap, volume input produksi

menurun

38

18 Biaya variabel usaha pembuatan tempe setelah kenaikan harga kedelai pada

skala kecil dan menengah dengan modal kerja bertambah, volume input

(10)

19 Laba bersih usaha pembuatan tempe skala kecil dan menengah pada saat

sebelum kenaikan harga kedelai

40

20 Laba bersih usaha pembuatan tempe skala kecil dan menengah pada saat

setelah kenaikan harga kedelai

40

21 Kriteria investasi dari 2 skala usaha sebelum kenaikan harga kedelai

41

22 Kriteria investasi dari 2 skala usaha setelah kenaikan harga kedelai dengan

volume input produksi turun, harga jual tempe tetap

41

23 Kriteria investasi dari 2 skala usaha setelah kenaikan harga kedelai dengan

volume input produksi turun, harga jual tempe naik

42

24 Kriteria investasi dari 2 skala usaha setelah kenaikan harga kedelai dengan

volume input produksi meningkat, harga jual tempe naik

43

25 Hasil switching value usaha pembuatan tempe terhadap kenaikan harga

kedelai

44

26 Hasil switching value usaha pembuatan tempe terhadap penurunan produksi

44

27 Kriteria kelayakan usaha pembuatan tempe pada skala kecil dan menengah 45

28 Perbandingan keuntungan dari usaha pembuatan tempe skala kecil dan skala

menengah

45

29 Perbandingan hasil switching value pada ke-2 skala usaha

46

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran operasional penelitian

13

2 Hubungan Antara NPV dan IRR

17

3 (a) Tempe yang dikemas dengan menggunakan daun pisang (b) Tempe yang

dikemas dengan menggunakan plastik

24

4 Saluran pemasaran tempe secara langsung

24

5 Saluran pemasaran tempe melalui pedagang perantara

25

6 Layout usaha tempe

28

7 Proses perebusan kedelai

29

8 (a) Proses pencucian kedelai (b) Kedelai yang sudah ditiraskan kemudian

dicampur ragi

29

9 (a) Contoh plastik yang digunakan pengrajin tempe yang telah diberi lubang

(b) Contoh ragi tempe yang digunakan pengrajin tempe

30

10 (a) Proses pencetakan dan pengemasan kedelai (b) Proses pemeraman kedelai

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Biaya investasi usaha pembuatan tempe skala usaha kecil dan menengah

50

2 Laba rugi usaha tempe skala kecil sebelum kenaikan harga kedelai

51

3 Laba rugi usaha tempe skala menengah sebelum kenaikan harga kedelai

51

4 Laba rugi usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja tetap, volume input produksi menurun, dan harga jual tempe tetap

51

5 Laba rugi usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja tetap, volume input produksi menurun, harga jual tempe tetap 52

6 Laba rugi usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja tetap, volume input produksi menurun, harga jual tempe naik 52

7 Laba rugi usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja tetap, volume produksi menurun, harga jual tempe naik

52

8 Laba rugi usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja meningkat, volume input produksi bertambah, harga jual tempe

naik

53

9 Laba rugi usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja meningkat, volume input produksi bertambah, harga jual tempe

naik

53

10

Cashflow

usaha tempe pada skala kecil sebelum kenaikan harga kedelai

54

11

Cashflow

usaha tempe skala menengah sebelum kenaikan harga kedelai

55

12

Cashflow

usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja tetap, volume input produksi turun, harga jual tempe tetap

56

13

Cashflow

usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja tetap, volume input produksi turun, harga jual tempe tetap

57

14

Cashflow

usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja tetap, volume input produksi turun, harga jual tempe naik

59

15

Cashflow

usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja tetap, volume input produksi turun, harga jual tempe naik

60

16

Cashflow

usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja bertambah, volume input produksi naik, harga jual naik

61

17

Cashflow

usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan

modal kerja bertambah, volume input produksi naik, harga jual naik

62

18

Switching value

usaha tempe skala kecil terhadap kenaikan harga kedelai pada

kondisi I

64

19

Switching value

usaha tempe skala menengah terhadap kenaikan harga kedelai

pada kondisi I

65

20

Switching value

usaha tempe skala kecil terhadap kenaikan harga kedelai pada

(12)

21

Switching value

usaha tempe skala menengah terhadap kenaikan harga kedelai

pada kondisi II

67

22

Switching value

usaha tempe skala kecil terhadap kenaikan harga kedelai pada

kondisi III

69

23

Switching value

usaha tempe skala menengah terhadap kenaikan harga kedelai

pada kondisi III

70

24

Switching value

usaha tempe skala kecil terhadap kenaikan harga kedelai pada

kondisi IV

71

25

Switching value

usaha tempe skala menengah terhadap kenaikan harga kedelai

pada kondisi IV

72

26

Switching value

usaha tempe skala kecil terhadap penurunan produksi pada

kondisi I

73

27

Switching value

usaha tempe skala menengah terhadap penurunan produksi

pada kondisi I

75

28

Switching value

usaha tempe skala kecil terhadap penurunan produksi pada

kondisi II

76

29

Switching value

usaha tempe skala menengah terhadap penurunan produksi

pada kondisi II

77

30

Switching value

usaha tempe skala kecil terhadap penurunan produksi pada

kondisi III

78

31

Switching value

usaha tempe skala menengah terhadap penurunan produksi

pada kondisi III

79

32

Switching value

usaha tempe skala kecil terhadap penurunan produksi pada

kondisi IV

81

33

Switching value

usaha tempe skala menengah terhadap penurunan produksi

pada kondisi IV

82

34 Foto alat-alat yang digunakan pada usaha pembuatan tempe skala kecil dan

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia mempunyai peran

penting dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Pada tahun 2009 komposisi

PDB nasional tersusun dari UKM sebesar 53.32%, usaha besar 41.00%, dan

sektor pemerintahan 5.68% (Departemen Koperasi 2011). Peningkatan PDB pada

Tabel 1 terlihat bahwa Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menunjukan

kecenderungan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dari usaha besar.

Kontribusi UMKM pada PDB tahun 2012 mencapai Rp1 451 460.2 milyar,

sedangkan untuk usaha besar mencapai Rp1 073 660.1 milyar (Departemen

Koperasi 2012).

Tabel 1 PDB pada usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan usaha besar (UB)

tahun 2008-2012

Indikator Tahun (dalam Rp. Milyar)

2008 2009 2010 2011 2012

PDB ATAS DASAR HARGA

KONSTAN (A+B) 1 997 938.0 2 089 058.5 2 217 947.0 2 377 110.0 2 525 120.4 a. Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah (UMKM) 1 165 753.2 1 212 599.3 1 282 571.8 1 369 326.0 1 451 460.2 Usaha Mikro (UMi) 655 703.8 682 259.8 719 070.2 761 288.8 790 825.6 Usaha Kecil (UK) 217 130.2 224 311.0 239 111.4 261 315.8 294 260.7 Usaha Menengah (UM) 292 919.1 306 028.5 324 390.2 346 781.4 366 373.9 b.Usaha Besar (UB) 832 184.8 876 459.2 935 375.2 1 007 784.0 1 073 660.1

Sumber: Kementrian Koperasi dan UKM, Departemen Koperasi (2012)

Sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mampu menunjukan kinerja

yang lebih tangguh dan mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan

pada perekonomian nasional, karena industri kecil lebih "bermain" disektor riil

yang memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga bermanfaat tidak hanya bagi

pertumbuhan ekonomi tetapi juga pemerataan kesejahteraan rakyat. Terdapat

beberapa indikator yang menjelaskan pentingnya pemberdayaan usaha mikro kecil

menengah (UMKM)

1

:

1.

UMKM merupakan basis usaha yang mampu bertahan dari badai krisis

ekonomi pada tahun 1997.

2.

UMKM sangat potensial menyerap tenaga kerja.

3.

UMKM berperan memberi kontribusi dalam struktur perekonomian nasional.

Salah satu UMKM yang potensial untuk dikembangkan adalah usaha

pengolahan yang berbasis kedelai. Tingginya permintaan akan produk olahan

yang berbahan baku kedelai berpengaruh terhadap kebutuhan konsumsi kedelai,

akan tetapi hal tersebut kurang diimbangi oleh kemampuan produksi kedelai

dalam negeri. Indonesia baru mampu memproduksi kedelai sekitar 29% dari total

kebutuhan dalam negeri, sehingga untuk memenuhi 71% kebutuhan kedelai

1

(14)

pemerintah melakukan impor

2

. Menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka

Komoditi (Bappebti) dalam Hakim (2014), dari jumlah kebutuhan kedelai

nasional 2013 yaitu 2.2 juta ton akan diserap 83.7% untuk kebutuhan pangan atau

pengrajin (industri tahu tempe), 14.7% diserap untuk kebutuhan industri kecap,

tauco dan lainnya, 1.2% untuk kebutuhan benih dan 0.4% untuk kebutuhan pakan.

Data tersebut sesuai dengan data Kementerian Perindustrian yang menyatakan

bahwa 83.7% pengguna kedelai adalah industri tahu tempe. Industri tahu dan

tempe membutuhkan 1.8 juta ton kedelai setiap tahunnya. Hal ini semakin

menunjukkan bahwa industri pengolahan berbahan baku kedelai sangat tergantung

kepada ketersediaan kedelai impor.

Menurut Informatika Pertanian (2008) dalam Komalasari (2008), salah satu

usaha pengolahan kedelai yang cukup potensial untuk diusahakan adalah usaha

pembuatan tempe karena Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di

dunia, sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk

tempe, 40% dalam bentuk tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain. Selain itu

juga tempe cukup digemari karena harganya yang terjangkau oleh semua lapisan

masyarakat serta sebagai alternatif dari sumber protein nabati yang lengkap.

Enzim pencernaan yang dihasilkan oleh jamur tempe, protein, lemak, dan

karbohidrat pada tempe lebih mudah dicerna didalam tubuh dibandingkan yang

terkandung dalam kedelai

3

.

Mayoritas dari pengrajin tempe yang ada di Indonesia merupakan pengrajin

pada skala usaha kecil dan menengah, dengan modal usaha yang terbatas serta

dilakukan dalam proses produksi yang masih konvensional. Selain keterbatasan

modal yang dimiliki pengrajin, harga kedelai impor yang berfluktuasi bahkan

cenderung meningkat seperti pada akhir tahun 2013 harga kedelai impor

mengalami kenaikan sebesar Rp2 300 per kg, sebelumnya harga kedelai impor

berkisar pada Rp7 400 per kg kemudian menjadi Rp9 700 per kg

4

, dirasakan

cukup memberatkan bagi para pengrajin tempe. Selain itu juga dengan adanya

kenaikan harga kedelai impor didiuga berdampak terhadap jumlah konsumsi

tempe di Indonesia seperti dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Konsumsi tempe di Indonesia tahun 2009-2013

Tahun

Konsumsi (kg/kapita/tahun)

2009

7.039

2010

6.935

2011

7.300

2012

7.091

2013

6.532

Rata-rata pertumbuhan 2009-2013 (%)

0.23

Sumber : SUSENAS, BPS dalam PUSDATIN (2013)

2

Suryanto.

2012.

Anomali

Cuaca

Pemicu

Naiknya

harga

Kedelai

dalam

www.antaranews.com/berita/323710/anomali-cuaca-pemicu-naiknya-harga-kedelai [diakses 22

Mei 2014]

3

http://jagastamina.blogspot.com/ khasiat-dan-manfaat-tempe-kedelai.html [diakses 24 Desember

2013]

4

http://Radaronline.co.id/2013/08/30/produsen

tahu-tempe-di-kab-bandung-berencana-demo-ke

(15)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat adanya penurunan konsumsi tempe pada

tahun 2011 hingga 2013, diduga karena fluktuasi harga kedelai impor yang

cenderung meningkat, serta diduga pengrajin tempe memiliki keterbatasan modal,

kemungkinan pengrajin mengurangi volume input bahan baku untuk diolah,

sehingga akan menurunkan produksi tempe segar yang dihasilkan, sehingga

jumlah konsumsi ikut mengalami penurunan.

Perumusan Masalah

Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah yang terdapat banyak

pengrajin yang mengolah kedelai seperti usaha tahu dan tempe, kurang lebih

terdapat 1000 pengrajin tahu dan tempe. Pada akhir tahun 2013 harga kedelai

impor kembali mengalami kenaikan sebesar Rp2 300 per kg, sebelumnya harga

kedelai impor berkisar Rp7 400 kg kemudian menjadi Rp9 700 per kg, dengan

kenaikan harga kedelai impor tersebut dirasakan sangat memberatkan bagi para

pengrajin komoditi tempe dan tahu, sehingga sekitar 60% dari 1000 pengrajin

yang terdapat di Kabupaten Bandung menghentikan produksinya

5

.

Kecamatan Baleendah merupakan salah satu daerah di Kabupaten Bandung

yang terdapat pengrajin tempe sekitar 33 pengrajin dengan skala usaha kecil dan

menengah, yang tergolong kedalam skala usaha kecil yaitu pengrajin yang

memproduksi tempe < 100 kg kedelai per hari, sedangkan pada skala usaha

menengah yaitu pengrajin memproduksi tempe > 100 kg kedelai per hari.

Berdasarkan hasil wawancara kepada para pengrajin tempe di daerah tersebut

harga kedelai impor yang berfluktuasi bahkan cenderung naik dirasakan cukup

menghawatirkan karena kenaikan harga kedelai impor sebagai bahan utama

pembuatan tempe dapat mempengaruhi kelangsungan usaha mereka. Menurut

hasil wawancara dengan pengrajin tempe responden, jika harga kedelai tidak

kembali stabil, kemungkinan usaha mereka akan gulung tikar. Hal tersebut diduga

karena pengrajin tempe tidak memiliki dana cadangan, hanya memiliki dana

cash

yang setiap hari diputarkan sebagai modal untuk berproduksi dengan jumlah dana

cash

yang tetap. Sehingga pengrajin tidak mampu untuk menutupi kekurangan

modal untuk berproduksi setelah adanya kenaikan harga kedelai impor tersebut.

Kenaikan harga kedelai impor yang cukup signifikan membuat para

pengrajin tempe mulai melakukan penyesuaian seperti, mempertahankan harga

jual yang sama namun dengan memperkecil ukuran tempe yang diproduksi, atau

dengan menaikkan harga jual tempe, dari pengrajin tempe yang menjadi

responden dalam penelitian ini melakukan penyesuaian terhadap kenaikan harga

kedelai impor yaitu dengan menaikkan harga jual tempenya. Melihat kondisi dari

isu tersebut dengan demikian analisis kelayakan usaha pembuatan tempe menjadi

penting untuk dilakukan. Tujuan kelayakan usaha adalah untuk menilai apakah

usaha pembuatan tempe ini masih layak untuk diusahakan dan masih dapat

mendatangkan keuntungan bagi pelaku usaha.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka perumusan masalah

yang akan dibahas adalah:

5

http://Radaronline.co.id/2013/08/30/produsen

tahu-tempe-di-kab-bandung-berencana-demo-ke

(16)

1.

Bagaimana kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat dari aspek non

finansial seperti aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek

hukum, aspek sosial, aspek ekonomi, dan lingkungan pada skala usaha

kecil dan menengah?

2.

Bagaimana kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat dari aspek finansial

pada skala usaha kecil dan menengah terhadap kenaikan harga kedelai?

3.

Bagaimana tingkat kepekaan kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat

secara finansial pada skala usaha kecil dan menengah terhadap kenaikan

harga kedelai dan penurunan jumlah produksi tempe?

4.

Bagaimana perbandingan kelayakan finansial usaha pembuatan tempe

pada skala usaha kecil dan menengah?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusahan masalah yang telah di

paparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1.

Mengetahui kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat dari aspek non

finansial seperti aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek

hukum, aspek sosial, aspek ekonomi, dan lingkungan pada skala usaha

kecil dan menengah?

2.

Mengetahui kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat dari aspek finansial

pada skala usaha kecil dan menengah terhadap kenaikan harga kedelai?

3.

Mengetahui tingkat kepekaan kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat

secara finansial pada skala usaha kecil dan menengah terhadap kenaikan

harga kedelai dan penurunan jumlah produksi tempe?

4.

Membandingkan kelayakan finansial usaha pembuatan tempe pada skala

usaha kecil dan menengah?

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1.

Pengrajin tempe, sebagai masukan dalam kelayakan usaha pembuatan

tempe serta hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk keberlangsungan

usaha tersebut.

2.

Bagi pembaca, sebagai informasi untuk melakukan investasi pada usaha

tersebut dan sebagai bahan perbandingan dalam melakukan studi lanjutan

khususnya dibidang studi kelayakan bisnis.

3.

Bagi penulis, untuk mengaplikasikan ilmu studi kelayakan bisnis yang

diperoleh selama perkuliahan dan sebagai referensi yang dapat dilakukan

pada usaha pembuatan tempe.

Ruang Lingkup Penelitian

(17)

aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial, aspek ekonomi, dan lingkungan,

serta aspek hukum. Usaha yang dianalisis adalah skala usaha kecil dan menengah,

yang termasuk kedalam skala usaha kecil yaitu pengrajin yang memproduksi

tempe < 100 kg kedelai per hari, sedangkan untuk skala usaha menengah yaitu

pengrajin yang memproduksi tempe > 100 kg kedelai per hari.

TINJAUAN PUSTAKA

Masalah yang sering dihadapi oleh usaha kecil menengah di Indonesia

adalah permodalan, teknologi, pemasaran, akses informasi pasar, dan bahan baku.

Pada usaha pengolahan kedelai seperti tahu dan tempe, masalah yang sering kali

dihadapi adalah mengenai bahan baku yaitu kedelai yang sebagian besar pengrajin

tahu dan tempe menggunakan kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat

dikarenakan Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri

sekitar 70%. Pada beberapa bulan terakhir di tahun 2007, harga kedelai nasional

meningkat signifikan mencapai lebih dari 100%. Kenaikan harga kedelai

mempengaruhi kondisi usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup. Hal ini dapat

dilihat dari penurunan seluruh penggunaan input produksi. Hal ini dapat

ditunjukan pada penelitian Amalia (2008) mengenai dampak kenaikan harga

kedelai terhadap efisiensi teknis dan pendapatan usaha tempe.

Kenaikan harga input kedelai yang diikuti pengurangan penggunaan input

kedelai pada akhirnya menyebabkan penurunan biaya produksi tempe namun

meningkatkan jumlah keuntungan RTI terhadap biaya tunai maupun keuntungan

terhadap biaya total. Kenaikan harga kedelai mempengaruhi pendapatan usaha

tempe RTI, disebabkan oleh meningkatnya jumlah biaya variabel/produksi yang

harus dikeluarkan oleh RTI. Hal ini dapat ditunjukan pada penelitian Hakim

(2014) mengenai dampak kenaikan harga kedelai terhadap pendapatan usaha

tempe (studi kasus: Rumah Tempe Indonesia). Berbagai masalah dan kelemahan

yang dialami usaha kecil menengah berakibat pada risiko kegagalan. Kegagalan

perencanaan, kesalahan dalam penaksiran pasar, kesalahan dalam memperkirakan

kontinuitas bahan baku, dan sebagainya. Maka analisis kelayakan dilakukan guna

mengevaluasi kegiatan usaha dan memberikan alternatif manfaat rencana

pengembangan yang menghasilkan manfaat lebih baik.

Kelayakan Aspek Non Finansial

(18)

dengan perusahaan lain sehingga memberikan jaminan dan kepastian antara

produsen dengan konsumen. Hal ini dapat ditunjukan dari penelitian Napitupulu

(2009) tentang usaha pembuatan jus dan sirup belimbing manis dan jambu biji

merah mempunyai jaminan pasar yaitu mendapatkan tawaran untuk memasok

produknya ke beberapa

supermarket

.

Pada aspek teknis untuk usaha dibidang pengolahan salah satu yang perlu

untuk diperhatikan yaitu jarak sumberdaya produksi dengan lokasi usaha, sumber

air, serta sumber listrik. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Rustiana (2008) pada

penelitiannya mengenai usaha pengolahan puree mangga, mengemukakan bahwa

mangga

grade C

yang tidak laku terjual dalam bentuk segar apabila tidak segera

dimanfaatkan akan mengalami kerusakan karena umur simpan yang sangat

singkat sehingga dapat terbuang sia-sia. Oleh karena itu sebaiknya jarak antara

lokasi usaha dengan sumber bahan baku tidak terlalu jauh sehingga kerusakan

bahan baku tidak terlalu berat.

Pada aspek manajemen dinyatakan layak jika terdapat kesiapan tenaga kerja

untuk menjalankan bisnis, dan bisnis tersebut dapat dibangun sesuai waktu yang

telah diperkirakan (Suliyanto 2010), dari pernyataan tersebut dapat dibuktikan

pada penelitian yang dilakukan oleh Rustiana (2008) dengan adanya kerja sama

yang dilakukan oleh BB Litbang Pascapanen Pertanian dengan CV. Promindo.

CV. Promindo telah memiliki struktur organisasi yang formal sehingga

pembagian tugas dan wewenang juga sudah jelas. Sehingga tenaga kerja sudah

memiliki kesiapan dalam hal menjalankan tugas dan wewenang masing-masing,

dengan adanya pembagian tugas dan wewenang dari masing-masing tenaga kerja

dapat mempengaruhi juga dalam hal perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk

menjalankan usaha tersebut. Pada CV. Promindo terdapat 13 karyawan yang telah

dibagi kedalam

job describtion

masing-masing sehingga karyawan dapat

mengerjakan pekerjaanya dengan baik sesuai dengan waktu yang telah ditentukan

karena tidak harus melakukan rangkap tugas.

Pada aspek hukum dinyatakan layak untuk diusahakan jika sesuai dengan

ketentuan hukum dan mampu memenuhi segala persyaratan perizinan di wilayah

tersebut. Dapat dibuktikan oleh penelitian Napitupulu (2009) mengenai Analisis

Kelayakan Usaha Pembuatan Jus dan Sirup Belimbing Manis dan Jambu Biji

Merah. CV WPIU yang telah memiliki badan hukum dan memiliki

perizinan-perizinan yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu usaha seperti akta pendirian,

surat keterangan domisili usaha, nomor pokok wajib pajak (NPWP), tanda daftar

perusahaan, surat izin usaha perdagangan, sertifikat halal, izin dinas kesehatan,

serta ketentuan jumlah pajak yang menjadi kewajiban CV WPIU kepada negara

adalah pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan UU No. 17 Tahun 2000

tentang tarif umum PPh wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap

dimana sistem pajak ini adalah bersifat progresif.

(19)

Pada aspek sosial dan lingkungan, usaha yang dilakukan harus memberikan

kontribusi positif terhadap masyarakat lingkungan sekitar tempat usaha dan ikut

serta dalam melestarikan lingkungan seperti usaha tidak menimbulkan limbah

yang dapat mencemari lingkungan sekitar usaha dan mampu menyerap tenaga

kerja dari masyarakat di sekitar lokasi usaha. Hal tersebut dibuktikan oleh

penelitian dari Mujianingsih (2013) mengenai usaha industri kecil tempe,

menunjukan bahwa industri kecil tempe di Kecamatan Matesih berjumlah 80 unit

usaha dan mampu menyerap 53 orang tenaga kerja sehingga industri tempe kecil

tersebut memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar usaha. Serupa

dengan penelitian dari Suryani (2011), bahwa usaha yang baik adalah usaha yang

memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sekitar usaha terbukti dari

usaha pembuatan mie mentah jagung yang tidak menghasilkan limbah berbahaya

hasil dari proses pembuatan mie tersebut, limbah yang dihasilkan hanya berupa

remah-remah tepung yang dapat dibuang ke tempat sampah sehingga tidak

mencemari lingkungan.

Kelayakan Aspek Finansial

Aspek finansial pada usaha yang akan atau sedang dijalankan dinyatakan

layak apabila telah memenuhi 4 kriteria investasi yaitu Net B/C > 1, NPV > 0,

IRR diatas

discount rate

dan

payback periode

yang kurang dari umur proyek.

Beberapa penelitian menunjukan pada saat kenaikan kedelai mempengaruhi

pengurangan penggunaan input kedelai pada akhirnya menyebabkan penurunan

biaya produksi tempe, akan tetapi meningkatkan jumlah keuntungan

terhadap

biaya tunai maupun keuntungan terhadap biaya total. Dapat ditunjukan pada

penelitian Hakim (2014)

mengenai dampak kenaikan harga kedelai terhadap

pendapatan usaha tempe (studi kasus: Rumah Tempe Indonesia). Hasil analisis

menunjukan

pada nilai keuntungan per satuan kg tempe untuk kemasan 450gr dan

kemasan 700gr meningkat sebesar 51% dan 28.9%. Selain itu nilai R/C atas biaya

tunai dan biaya total yang meningkat setelah kenaikan harga kedelai menunjukkan

usaha ini tetap layak untuk dijalankan dan dikembangkan.

Hasil penelitian Mujianingsih (2013) dilatarbelakangi oleh karena adanya

permasalahan dalam hal permodalan, teknologi, pemasaran, akses informasi pasar

dan sebagainya. Sehingga tujuan dari penelitian tersebut yaitu untuk mengetahui

profil industri kecil tempe, untuk mengetahui kelayakan finansial usaha industri

kecil tempe, dikarenakan adanya keterbatasan serta untuk mengetahui strategi

pengembangan sektor industri kecil tempe di Kecamatan Matesih Kabupaten

Karanganyar. Hasil dari perhitungan kelayakan dijelaskan bahwa industri kecil

tempe di Kecamatan Matesih Kabupaten Karanganyar layak dilakukan. Nilai BCR

adalah sebesar 1.37 layak dilakukan. Nilai IRR adalah sebesar 38.72% layak

dilakukan. Sehingga dari penelitian Mujianingsih dapat memberikan gambaran

kepada penelitian penulis bahwa usaha kecil pembuatan tempe dengan segala

keterbatasan dari usaha kecil, masih layak untuk diusahakan dan bahkan masih

adanya peluang untuk dikembangkan.

(20)

dilihat dari nilai kriteria investasi NPV sebesar Rp271 883 775.00 untuk kulit sapi

dan untuk kulit kerbau sebesar Rp89 836 846.00, untuk kulit sapi IRR yang

diperoleh sebesar 67.81%,

Net

B/C sebesar 5.09, dan

Payback Periode

selama

2.83 Tahun. Sedangkan untuk kulit kerbau IRR sebesar 27.48%, Nilai

Net

B/C

sebesar 2.16,

Payback Period

selama 5.30 tahun. Hal tersebut menunjukan kriteria

investasi penting untuk dilakukan pada usaha pengolahan makanan.

Analisis

switching value

, mengukur seberapa kuat usaha dapat bertahan

hingga keuntungan sama dengan 0. Berdasarkan Napitupulu (2009), dengan

menggunakan analisis

switching value

kenaikan harga gula pasir melebihi

18.84%, kenaikan harga botol jus lebih dari 20.94%, penurunan penjualan jus

melebihi 6.09%, serta penurunan penjualan sirup lebih dari 10.48%, usaha

pembuatan jus dan sirup ini tidak layak untuk dilaksanakan. Dengan demikian,

usaha ini lebih peka terhadap penurunan penjualan jus dan sirup daripada

kenaikan harga gula pasir dan botol jus. Sedangkan menurut Suryani (2011),

bahwa unit usaha pengolahan puree mangga masih layak untuk dilaksanakan jika

volume produksi puree mangga mengalami penurunan maksimal sebesar 15.08%.

Usaha ini pun masih layak dijalankan jika harga jual puree mangga turun sebesar

15.08% serta kenaikan harga mangga

grade

C maksimal sebesar 31.89%. Dari

ketiga variabel yang dianggap signifikan mempengaruhi proyek, variabel harga

puree mangga menjadi variabel yang dinilai memiliki resiko yang tinggi dalam

mempengaruhi kelayakan usaha. Penurunan harga puree mangga sebesar 15.08%

dapat menyebabkan proyek tidak layak dijalankan. Faktor yang dapat

menyebabkan harga puree turun adalah munculnya pesaing-pesaing baru akan

produk puree mangga di masa yang akan datang.

Dari ke-5 penelitian terdahulu memberikan gambaran pada penelitian

penulis yang berjudul analisis kelayakan usaha pembuatan tempe pada skala kecil

dan menengah di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung, mengenai analisis

biaya dan manfaat serta laba rugi. Analisis biaya dan manfaat dilakukan untuk

mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan serta manfaat yang diterima selama

usaha tersebut berjalan. Kemudian hasil dari analisis tersebut diolah dan

mendapatkan hasil analisis rugi laba. Sebagai acuan referensi terhadap kriteria

kelayakan non finansial usaha pembuatan tempe di Kecamatan Baleendah.

Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian penulis adalah penggunaan

alat analisis untuk menentukan kelayakan finansial seperti

Net Present Value

(NPV)

, Internal Rate of Return

(IRR),

Net Benefit-Cost Ratio

(Net B/C), dan

Payback Period

, dan analisis

Switching Value

. Kelayakan non finansial

membahas mengenai aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, sosial, ekonomi dan

lingkungan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

(21)

Berdasarkan definisi tersebut, dilihat dari tujuannya bisnis dapat dikelompokan

menjadi 2 kelompok berikut:

a.

Bisnis yang berorientasi keuntungan (

Profit Oriented

)

Bisnis yang didirikan semata-mata bertujuan memperoleh keuntungan untuk

meningkatkan

kesejahteraan

pemilik

dan

karyawan

serta

untuk

mengembangkan usaha lebih lanjut. Contoh: perusahaan pembuatan sepatu,

perusahaan penggilingan padi, dan sejenisnya.

b.

Bisnis yang tidak berotientasi keuntungan (

Non Profit Oriented

)

Bisnis yang didirikan dengan tujuan utama untuk kepentingan sosial. Contoh:

Yayasan Sosial Yatim Piatu, Yayasan Sosial Jompo.

Secara umum bisnis merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan biaya

untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa dengan harapan akan

memperoleh hasil atau keuntungan dikemudian hari. Menurut Suliyanto (2010)

kondisi lingkungan usaha yang sangat dinamis dan intensitas persaingan yang

semakin ketat membuat seorang pengusaha tidak cukup hanya mengandalkan

pengalaman dan intuisi saja dalam memulai usahanya. Sehingga dibutuhkan suatu

studi yang bertujuan untuk memutuskan apakah sebuah bisnis layak untuk

dilaksanakan atau tidak, dan memberikan manfaat lebih atau tidak.

Studi Kelayakan Bisnis

Studi kelayakan bisnis merupakan penelitian yang bertujuan untuk

memutuskan apakah sebuah ide bisnis layak untuk dilaksanakan atau tidak.

Sebuah ide bisnis dinyatakan layak untuk dilaksanakan jika ide tersebut dapat

mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semua pihak (

stakeholder

)

dibandingkan dampak negatif yang ditimbulkan (Suliyanto 2010). Dalam

menentukan kriteria kelayakan suatu bisnis ada beberapa aspek yang perlu

diperhatikan yaitu aspek non finansial dan aspek finansial dan diantara

aspek-aspek tersebut saling berkaitan dalam memenuhi kriteria kelayakan suatu bisnis.

Studi kelayakan bisnis dibagi kedalam aspek non finansial yang terdiri dari aspek

pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan

budaya, aspek lingkungan dan aspek finansial (Nurmalina

et al

. 2009).

Menurut Suliyanto (2010) studi kelayakan bisnis merupakan penelitian yang

bertujuan untuk memutuskan apakah sebuah ide bisnis layak untuk dilaksanakan

atau tidak. Sebuah ide bisnis dinyatakan layak untuk dilaksanakan jika ide

tersebut dapat mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semua pihak

dibandingkan dampak negatif yang ditimbulkan.

Aspek-Aspek Studi Kelayakan Bisnis

Menurut Nurmalina

et al

. (2010) secara umum aspek-aspek yang perlu

diperhatikan dalam studi kelayakan bisnis adalah aspek non finansial dan aspek

finansial. Aspek non finansial terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek

manajemen dan hukum, aspek sosial, aspek ekonomi, aspek budaya, serta aspek

lingkungan. Banyaknya aspek yang perlu diperhatikan dalam suatu studi

kelayakan sangat tergantung kepada karakteristik dari masing-masing bisnis.

Aspek Pasar

Aspek pasar adalah aspek yang menganalisis potensi pasar, intensitas

persaingan,

market share

yang dapat dicapai. Aspek pasar dan pemasaran

(22)

perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan (Nurmalina

et al

. 2010). Aspek

pasar dikatakan layak jika pelaku usaha mampu meraih potensi pasar dan peluang

pasar dalam menjalankan usahanya.

Aspek Teknis

Aspek teknis merupakan aspek yang menganalisis kesiapan teknis dan

ketersediaan teknologi yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis (Suliyanto

2010). Menurut Nurmalina

et al.

(2010) dalam bukunya studi kelayakan bisnis

menjelaskan beberapa faktor-faktor yang perlu dianalisis dalam aspek teknis

seperti lokasi bisnis, luas produksi, kriteria pemilihan mesin dan

equipment

,

layout

yang dipilih, dan jenis teknologi yang tepat.

Aspek teknis dikatakan layak jika telah diperoleh lokasi yang layak, dapat

mencapai luas produksi yang optimal, tersedia teknologi, dan menyusun

layout

bisnis secara optimal.

Aspek Manajemen dan Hukum

Aspek manajemen mempelajari tentang manajemen dalam masa

pembangunan bisnis dan manajemen dalam masa operasi, dalam masa

pembangunan bisnis hal yang dipelajari yaitu siapa pelaksana bisnis, bagaimana

jadwal penyelesaian bisnis, sedangkan manajemen dalam operasi mempelajari

bagaimana bentuk badan usaha yang dipilih, bagaimana struktur organisasi,

deskripsi masing-masing jabatan, jumlah tenaga kerja yang digunakan, dan

tenaga-tenaga inti (Nurmalina

et al

. 2010).

Aspek manajemen dikatakan layak jika bisnis tersebut dapat dilaksanakan

sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan dan kesiapan dalam tenaga kerja

untuk menjalankan bisnis.

Aspek hukum mempelajari tentang bentuk badan usaha yang akan

digunakan, jaminan-jaminan yang bisa disediakan bila akan menggunakan sumber

dana yang berupa pinjaman, berbagai akta, sertifikat, dan izin. Aspek hukum juga

diperlukan untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan bisnis pada saat

menjalin jaringan kerjasama dengan pihak lain (Nurmalina

et al.

2010). Aspek

hukum dikatakan layak jika memenuhi seluruh persyarataan perizinan wilayah

dan ketentuan hukum yang berlaku di wilayah tersebut.

Aspek Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Menurut Nurmalina

et al.

(2010) pada aspek sosial yang dipelajari adalah

penambahan kesempatan kerja atau pengangguran, pemerataan kesempatan kerja,

dan bagaimana bisnis tersebut terhadap lingkungan sekitar lokasi bisnis seperti

semakin ramainya daerah tersebut, lalu lintas yang semakin lancar, adanya

penerangan listrik, telepon, dan sarana lain. Aspek ekonomi suatu bisnis dapat

memberikan peluang peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah,

pendapatan pajak, dan dapat menambah aktivitas ekonomi.

(23)

Aspek Finansial

Pada analisis finansial, selain analisis rugi laba diperlukan juga analisis

suatu proyek investasi terhadap kas, hal ini dilakukan agar investor dapat

melakukan investasi dan membayar kewajiban finansial. Menurut Nurmalina

et al.

(2010),

cashflow

disusun untuk menunjukan perubahan kas selama 1 periode

tertentu serta memberikan alasan mengenai perubahan kas tersebut dengan

menunjukan dari mana sumber-sumber kas dan penggunaannya.

Kriteria kelayakan investasi secara finansial yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain meliputi:

1.

Net Present Value

(NPV)

Net Present Value

adalah selisih antara total

present value

manfaat dengan

total

present value

biaya, atau jumlah

present value

dari manfaat bersih tambahan

selama umur bisnis. Suatu bisnis dikatakan layak jika NPV > 0 yang artinya bisnis

menguntungkan atau memberikan manfaat. Sedangkan apabila NPV < 0 maka

bisnis tidak layak untuk dijalankan.

2.

Internal Rate of Return

(IRR)

Internal Rate of Return

atau tingkat

discount rate

yang menghasilkan NPV

sama dengan nol dan untuk melihat seberapa besar pengembalian bisnis terhadap

investasi yang ditanamkan. Suatu bisnis dikatakan layak bila dapat memberikan

nilai IRR yang lebih besar dari tingkat

discount rate

yang berlaku. Sebaliknya

suatu bisnis dinyatakan tidak layak bila nilai IRR lebih kecil dari

discount rate

yang berlaku.

3.

Net Benefit Cost Ratio

(Net B/C)

Net Benefit Cost Ratio

adalah rasio antara manfaat bersih yang bernilai

positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif. Kriteria investasi Net B/C

digunakan untuk mengetahui sampai sejauh mana manfaat yang diterima oleh

bisnis dapat menutup seluruh biaya yang dikeluarkan dan mempunyai modal lagi

bagi kelanjutannya.

Suatu bisnis dikatakan layak berdasarkan kriteria investasi ini, apabila nilai

Net B/C > 1 sebaliknya nilai Net B/C < 1 menunjukkan bahwa manfaat yang

diperoleh adalah lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Net B/C = 1 berarti

besarnya manfaat yang diperoleh adalah sama besarnya dengan biaya yang

dikeluarkan untuk mendapatkan manfaat tersebut.

4.

Payback Period

Kriteria

Payback Period

digunakan untuk mengetahui tingkat kecepatan

modal investasi yang dikeluarkan dapat kembali. Semakin cepat modal dapat

kembali semakin baik untuk membiayai kegiatan lain, dalam kriteria ini suatu

bisnis dikatakan layak apabila

Payback Period

kurang dari umur bisnis.

Analisis Switching Value

Gittinger (1986) dalam Nurmalina

et al.

(2010) menjelaskan bahwa analisis

switching value

merupakan perhitungan untuk mengukur perubahan maksimum

dari perubahan suatu komponen

inflow

(penurunan harga output, penurunan

produksi) atau perubahan komponen

outflow

(peningkatan harga input atau

peningkatan biaya produksi) yang masih dapat ditoleransi agar bisnis masih tetap

layak. Oleh karena itu perubahan jangan melebihi nilai tersebut. Bila melebihi

maka bisnis menjadi tidak layak untuk dijalankan. Perhitungan ini mengacu

(24)

dapat dilakukan dengan menghitung secara coba-coba perubahan maksimum yang

boleh terjadi akibat perubahan di dalam komponen

inflow

atau

outflow

misal

kenaikan biaya produksi, penurunan volume produksi, dan penurunan harga

output

.

Kerangka Pemikiran Operasional

Usaha tempe merupakan usaha pengolahan dengan bahan baku kedelai,

kedelai yang digunakan oleh pengrajin tempe yang menjadi responden pada

penelitian ini menggunakan kedelai impor. Menurut hasil wawancara dengan para

pengrajin, penggunaan kedelai impor pada produksi tempe dikarenakan kedelai

lokal kualitasnya kurang memenuhi untuk diolah sebagai tempe, karena kedelai

lokal memiliki kelemahan seperti ukuran polong kecil, tidak seragam, kurang

bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas pada saat proses pencucian, proses

peragian lebih lama, dan proses pengukusan lebih lama empuk, bahkan bisa

kurang empuk setelah menjadi tempe. Konsumsi Indonesia akan kedelai cukup

tinggi serta tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri, sehingga pemerintah

memberlakukan impor.

Penggunaan kedelai impor menyebabkan Indonesia menjadi ketergantungan

akan negara lain salah satunya terhadap Amerika Serikat. Amerika Serikat

merupakan negara pengimpor utama kedelai kepada Indonesia selain Brasil dan

Argentina. Pada 1 tahun terakhir Amerika Serikat sedang mengalami penurunan

produksi kedelai yang diakibatkan musim kemarau

6

. Serta pembelian secara

besar-besaran yang dilakukan oleh Cina mengakibatkan pasokan kedelai di pasar

dunia menipis. Keadaan tersebut mempengaruhi secara tidak langsung kepada

Indonesia, selain itu juga nilai tukar rupiah terhadap dollar AS cenderung

melemah sehingga mengakibatkan harga kedelai terus mengalami peningkatan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha pembuatan

tempe skala usaha kecil dan menengah dengan adanya isu bahwa pengrajin tempe

kemungkinan mengalami kerugian, bahkan sampai gulung tikar setelah adanya

kenaikan harga kedelai impor tersebut. Kelayakan usaha pembuatan tempe ini

dinilai melalui beberapa aspek yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen,

aspek hukum, aspek sosial, aspek ekonomi, aspek lingkungan, dan aspek

finansial.

Analisis aspek finansial kelayakan usaha pembuatan tempe dianalisis

berdasarkan nilai

Net present value

(NPV),

Internal rate of return

(IRR),

Net

benefit cost rasio

(Net B/C),

Payback periode

(PP). Analisis kelayakan yang

dilakukan nantinya bertujuan untuk memberikan manfaat yang lebih baik untuk

dilakukan pada usaha pembuatan tempe. Analisis

switching value

dilakukan untuk

melihat dampak dari suatu keadaan yang berbuah dari hasil suatu analisis.

Perubahan dari sisi penerimaan dan perubahan dari sisi pengeluaran. Seluruh

rangkaian analisis kelayakan tersebut akan memberikan informasi mengenai

kelayakan usaha pembuatan tempe. Ringkasan kerangka operasional dapat dilihat

pada Gambar 1.

6

(25)

Gambar 1 Kerangka pemikiran operasional penelitian

Analisis Kelayakan Usaha Tempe pada Skala Usaha Kecil

dan Menengah di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung

Kendala

Penurunan produksi yang dialami AS

Pembelian secara besar-besaran oleh Cina

Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar

Kedelai impor dinilai memiliki kualitas yang

lebih baik sebagai bahan baku pembuatan tempe

Ketergantungan terhadap impor kedelai

Mengakibatkan terjadinya kenaikan harga kedelai impor di

Indonesia menjadi salah satu masalah bagi pengrajin tempe

Tidak Layak

Layak

Analisis Non Finansial

Aspek Pasar Aspek Teknis

Aspek Manajemen dan Hukum Aspek Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Analisis Switching value

Analisis Finansial

(26)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pengrajin tempe di Kecamatan Baleendah,

Kabupaten Bandung. Lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive)

berdasarkan atas pertimbangan bahwa Kecamatan Baleendah merupakan salah

satu sentra produksi tempe di Kabupaten Bandung. Pengambilan data pada lokasi

penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2014 sampai Februari 2014.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Data primer didapatkan

melalui wawancara dan pengisian kuisioner. Data sekunder yang digunakan

berupa literatur yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Kementrian Koperasi

dan UKM, Perpustakaan LSI, serta website dan situs terkait.

Metode Pengumpulan Data

Metode yang akan digunakan dalam pengumpulan data primer dan data

sekunder. Data primer adalah dengan mengisi kuisioner dan wawancara langsung.

Responden yang dipilih untuk menganalisis usaha tempe pada penelitian ini

adalah pengrajin tempe skala usaha kecil dan menengah. Penentuan skala tersebut

berdasarkan pada jumlah kedelai yang digunakan untuk produksi setiap hari,

untuk skala usaha kecil jumlah kedelai yang diolah sebanyak < 100 kg, sedangkan

untuk skala usaha menengah kedelai yang diolah sebanyak > 100 kg. Penentuan

responden dilakukan secara sengaja

(purposive), jumlah pengrajin yang berada di

Kecamatan Baleendah kurang lebih sebanyak 33 pengrajin. Jumlah pengrajin

skala kecil sebanyak 16 pengrajin dan skala menengah sebanyak 17 pengrajin,

dari 2 skala tersebut diambil 30%, yaitu dari skala kecil sebanyak 5 pengrajin dan

skala menengah sebanyak 5 pengrajin. Jumlah tersebut dipilih dengan

pertimbangan bahwa data yang diperlukan lebih mengarah kepada biaya-biaya

pada industri tempe yang umumnya relatif sama antar pengrajin.

Data sekunder, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi

literatur, penelusuran pustaka dan

browsing

internet. Pengambilan data dengan

metode pengamatan langsung dilokasi penelitian, yakni dengan wawancara

pemilik usaha dan berbagai pihak yang terkait disekitar lokasi penelitian.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif yang

diolah menggunakan komputer dengan menggunakan program

Microsoft Excel

(27)

tersebut dianalisis untuk menentukan layak atau tidak layak secara non finansial.

Analisis secara kuantitatif dilakukan terhadap aspek finansial usaha tempe dengan

membandingkan biaya dan manfaat yang diperoleh dimasa sekarang dengan masa

mendatang melalui tingkat diskonto tertentu. Aspek finansial yang dianalisis

adalah

Net Present Value

(NPV),

Internal Rate of Return

(IRR),

Net Benefit Cost

Ratio

(Net B/C) dan

Payback Periode

serta analisis

switching value

.

Analisis Aspek Pasar

Analisis aspek pasar dilakukan secara deskriptif meliputi potensi pasar,

pangsa pasar, serta bauran pemasaran tempe. Tujuan dari bauran pemasaran yaitu

untuk memperoleh laba yang optimal dengan menganalisis variabel seperti produk,

harga, promosi, dan distribusi yang diusahakan oleh pengrajin tempe di

Kecamatan Baleendah. Aspek pasar dikatakan layak jika terdapat potensi pasar

dan peluang pasar yang dapat diraih oleh pengrajin tempe serta dapat

terpenuhinya bauran pemasaran. Potensi pasar dapat diprediksi dengan

menganalisis jumlah permintaan dan penawaran.

Analisis Aspek Teknis

Analisis aspek teknis dilakukan pada analisis penentuan lokasi usaha

pembuatan tempe, pemilihan jenis peralatan, proses produksi yang dilakukan

dalam usaha pembuatan tempe, dan

layout

ruangan. Analisis aspek teknis

dilakukan secara deskriptif, analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah aspek

ini berjalan sesuai perkiraan dengan contoh kondisi yang sebenarnya. Aspek

teknis dikatakan layak jika lokasi usaha, peralatan, proses produksi, dan

layout

ruangan dapat menghasilkan secara optimal serta mendukung kegiatan

pengembangan usaha dalam memperoleh laba.

Analisis Aspek Manajemen dan Hukum

Analisis aspek manajemen dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang

berhubungan dengan aspek manajemen pada usaha pembuatan tempe, contohnya

seperti struktur organisasi, pembagian tugas dan wewenang karyawan. Analisis

aspek manajemen dilakukan secara deskriptif untuk mengetahui apakah fungsi

manajemen dapat diterapkan dengan contoh kondisi yang sebenarnya pada usaha

pembuatan tempe. Aspek manajemen dikatakan layak jika usaha tersebut dapat

dilakukan sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan dan kesiapan tenaga kerja

untuk menjalankan usaha tersebut.

Aspek hukum mengkaji ketentuan hukum yang harus dipenuhi sebelum

menjalankan usahanya. Aspek hukum layak jika usaha tersebut sesuai dengan

ketentuan hukum dan mampu memenuhi segala persyaratan perizinan di wilayah

usaha tersebut didirikan. Dalam penelitian ini akan dianalisis sejauh mana

pengrajin tempe memiliki perizinan, bentuk dan badan hukum usaha yang diikuti.

Analisis Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

Aspek sosial yaitu adanya dampak seperti penambahan kesempatan kerja

atau pengurangan pengganguran, lalu lintas yang semakin lancar, dan sarana

lainnya. Aspek sosial memperhatikan manfaat dan pengorbanan sosial yang

mungkin dialami oleh masyakarat disekitar lokasi bisnis (Nurmalina

at al.

2010).

(28)

meningkatkan taraf hidup. Aspek ekonomi dikatakan layak apabila suatu bisnis

dapat memberikan peluang peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan asli

daerah, pendapatan pajak, dan dapat menambah aktivitas ekonomi.

Menurut Hufschmidt

et al.

(1987) dalam Nurmalina

et al.

(2010)

Pertimbangan tentang sistem alami dan kualitas lingkungan dalam analisis suatu

bisnis justru akan menunjukan kelangsungan suatu bisnis itu sendiri, sebab tidak

ada bisnis yang akan bertahan lama apabila tidak bersahabat dengan lingkungan.

Dalam penelitian ini akan ditinjau kelayakan usaha pembuatan tempe dengan

mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan, apakah usaha tempe dapat diterima

oleh masyarakat sekitarnya serta apakah dampak yang ditimbulkan terhadap

lingkungan.

Analisis Aspek Finansial

Analisis finansial diperlukan kriteria investasi yang digunakan untuk

menyatakan layak atau tidaknya suatu usaha. Kriteria investasi yang digunakan

yaitu

Net Present Value

(NPV),

Internal Rate of Return

(IRR),

Net Benefi Cost

Ratio

(Net B/C),

Payback Period

(PP). Data kuantitatif diolah dengan

menggunakan

Software Microsoft Excel

.

Net Present Value

Suatu bisnis dapat dinyatakan layak jika jumlah seluruh manfaat yang

diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan. Selisih antara manfaat dan biaya

disebut dengan manfaat bersih atau arus kas bersih.

Net Present Value

atau nilai

kini manfaat bersih adalah selisih antara total

present value

manfaat dengan total

present value

biaya, atau jumlah

present value

dari manfaat bersih tambahan

selama umur bisnis. Nilai yang dihasilkan oleh perhitungan NPV adalah dalam

satuan mata uang (Rp). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

keterangan:

Bt

= Manfaat (

Benefit

) pada tahun ke-t

Ct

= Biaya (

Cost

) pada tahun ke-t

n

= Umur proyek

i

= Tingkat

Discount Rate

(%)

t

= Tahun kegiatan bisnis (t = 0,1,2,3,...,n), tahun awal bisnis tahun

0 atau tahun 1 tergantung karakteristik bisnisnya.

Pada metode NPV terdapat 3 kriteria penilaian investasi yaitu apabila NPV

> 0 berarti layak untuk dilakukan. Sebaliknya, apabila nilai NPV < 0 maka usaha

tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. NPV = 0 berarti usaha tersebut sulit

dilaksanakan karena manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya

yang dikeluarkan.

Net Benefit Cost Ratio

Net Benefit Cost Ratio

(B/C

ratio

) adalah rasio antara manfaat bersih yang

(29)

menunjukkan besarnya tingkat tambahan manfaat pada setiap tambahan biaya

sebesar 1 satuan. Proyek dinyatakan layak untuk dilaksanakan apabila nilai B/C

ratio

> 1. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan:

Bt

= Manfaat (

Benefit

) pada tahun ke-t

Ct

= Biaya (

Cost

) pada tahun ke-t

n

= Umur proyek

t

= Tahun kegiatan bisnis

i

=

Discount Rate

(%)

Internal Rate of Return

Internal Rate of Return

adalah tingkat

discount rate

(DR) yang

menghasilkan NPV sama dengan 0. Besaran yang dihasilkan dari perhitungan ini

adalah dalam satuan persentase (%). Sebuah bisnis dikatakan layak apabila

IRR-nya lebih besar dari

opportunity cost of capital

-nya (DR). Secara matematis IRR

dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

i

1

=

Discount rate

yang menghasilkan NPV positif

i

2

=

Discount rate

yang menghasilkan NPV negatif

NPV

1

= NPV yang bernilai positif

NPV

2

= NPV yang bernilai negatif

Gambar 2 Hubungan Antara NPV dan IRR

Kriteria kelayakan investasi berdasarkan IRR, Yaitu:

IRR > i, artinya usaha layak untuk dilakukan

IRR < i, artinya usaha tidak layak untuk dilakukan

(30)

Payback Period

Metode ini mencoba mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali.

Bisnis yang

payback period

-nya singkat atau cepat pengembaliannya

kemungkinan besar akan dipilih. Usaha layak untuk dilaksanakan jika

payback

period

lebih kecil dari umur proyek. Secara matematis

payback period

dapat

dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

PP

= Jumlah waktu (tahun) yang diperlukan untuk mengembalikan modal

investasi yang ditanamkan.

I

= Besarnya biaya investasi yang diperlukan.

Ab

= Manfaat bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya.

Kriteria kelayakan investasi berdasarkan PP, yaitu PP < n, artinya usaha

layak untuk dilaksanakan.

Analisis Switching Value

Analisis

switching value

merupakan perhitungan untuk mengukur

perubahan maksimum dari perubahan suatu komponen

inflow

(penurunan harga

output, penurunan produksi) atau perubahan komponen

outflow

(peningkatan

harga input / peningkatan biaya produksi) yang masih dapat ditoleransi agar bisnis

masih tetap layak. Oleh karena itu perubahan jangan melebihi nilai tersebut. Bila

melebihi maka bisnis menjadi tidak layak untuk dijalankan. Perhitungan ini

mengacu kepada berapa besar perubahan terjadi sampai NPV = 0.

Perubahan-perubahan yang bisa terjadi dalam menjalankan bisnis umumnya

dikarenakan oleh kenaikan dalam biaya, penurunan harga produk, dan lain-lain.

Kenaikan harga faktor produksi yang akan dianalisis yaitu harga kedelai. Kedelai

merupakan bahan baku utama dalam pembuatan tempe, kedelai yang digunakan

merupakan kedelai impor sehingga harga kedelai berfluktuasi tergantung terhadap

nilai tukar dollar terhadap rupiah, dan penurunan volume produksi.

Asumsi Dasar

Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1.

Skala usaha kecil memproduksi tempe < 100 kg kedelai setiap hari, skala

usaha menengah memproduksi tempe > 100 kg kedelai setiap hari.

2.

Terdapat 4 Kondisi dalam penelitian ini:

a.

Sebelum kenaikan harga kedelai (Normal).

b.

Setelah kenaikan harga kedelai dengan modal kerja tetap, volume input

produksi turun, dan harga jual tempe tetap.

c.

Setelah kenaikan harga kedelai dengan modal kerja tetap, volume input

produksi turun, dan harga jual tempe naik.

d.

Setelah kenaikan harga kedelai dengan modal kerja bertambah, volume

input produksi meningkat, dan harga jual tempe naik.

3.

Penurunan volume input produksi sebesar 13% setelah terjadi kenaikan harga

(31)

4.

Nilai konversi rata-rata yang digunakan pada skala usaha kecil sebesar 1.74

dan skala menengah sebesar 1.45 yang artinya 1 kg kedelai menghasilkan

1.74 kg tempe pada skala kecil dan 1 kg kedelai menghasilkan 1.45 kg tempe

pada skala menengah.

5.

Tidak ada produk yang cacat atau gagal dan hasil produksi semua habis

terjual.

6.

Pengrajin tempe berproduksi setiap hari, penentuan hari dalam 1 tahun terdiri

dari 360 hari. Periode produksi tempe membutuhkan waktu sekitar 3-4 hari.

7.

Umur usaha berdasarkan pada umur ekonomis investasi yang paling lama

yaitu bangunan selama 10 tahun.

8.

Perhitungan umur usaha dari mulai tahun ke-1, karena persiapan usaha hanya

membutuhkan waktu kurang dari 1 tahun sehingga dalam periode tahun

pertama sudah bisa menghasilkan tempe selama 5 bulan.

9.

Tingkat

discount rate

yang digunakan yaitu 7.32% berdasarkan tingkat inflasi

bulan Maret 2014

7

, alasan pemilihan tingkat

discount rate

tersebut

dikarenakan tingkat inflasi akan mempengaruhi daya beli pengrajin serta

pengrajin menggunakan modal pribadi.

10.

Harga variabel lain diasumsikan tetap setiap tahun dan harga yang berlaku

selama penelitian yaitu harga pada bulan Februari 2014.

11.

Harga bahan baku kedelai sebelum kenaikan Rp7 400 per kg dan setelah

kenaikan Rp8 500 per kg.

12.

Rata-rata upah tenaga kerja pada skala kecil sebesar Rp46 000 per orang dan

pada skala menengah sebesar Rp58 000 per orang untuk

Gambar

Tabel 1  PDB pada usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan usaha besar (UB)
Gambar 1  Kerangka pemikiran operasional penelitian
Gambar 2  Hubungan Antara NPV dan IRR
Tabel 3  Luas administatif Kecamatan Baleendah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan analisis statistik dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat reaksi yang positif pada saat penetapan JII, adanya peningkatan

%kala prioritas usulan rencana kegiatan pembangunan desa untuk 1 (satu) tahun anggaran berikutnya yang tercantum dalam dokumen RPJM

Berdasarkan analisis faktor yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan usaha kecil sektor industri pengolahan di

Petani jahe putih akan menghasilkan pendapatan yang lebih besar jika pengelolaan usaha taninya dilakukan dengan baik yaitu menggunakan faktor produksi secara

Pada pengembangan sistem gerbang otomatis ini, terdapat beberapa rancangan model klasifikasi masker yang perlu dipertimbangkan untuk memaksimalkan

Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia.Unit fungsional dasar dari

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data dari hasil validasi ahli isi/materi, ahli media, respon siswa terhadap produk yang dikembangkan dan hasil

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasi yang menggunakan analisa regresi linier berganda sebagai alat analisa untuk mengetahui pengaruh