ANALISIS KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
PERKEBUNAN DAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUNGAN
HIDUP DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
DI LAHAN PERKEBUNAN
TESIS
Oleh
ALBOIN
067005002/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
PERKEBUNAN DAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUNGAN
HIDUP DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
DI LAHAN PERKEBUNAN
TESIS
Untuk Memproleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ALBOIN
067005002/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian tesis
dengan judul ”Analisis Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perkebunan dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak
Pidana Lingkungan Hidup Di Lahan Perkebunan”.
Penulisan tesis untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi
untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam bidang Ilmu Hukum pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH,
DFM, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,MH selaku dosen pembimbing yang
telah demikian sabar dalam membimbing dan memberikan saran kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. Muhamad Yamin, SH, MH, Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum,
Selaku dosen penguji yang telah Begitu banyak memberikan kritik, saran dan
masukan pada penulis demi kesempurnaan tesis ini.
4. Bapak Direktur Sekolah Pascasarjana, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc,
Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Ibu Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Para Dosen dan Staf Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara.
6. Bapak Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum.
7. Sahabat-sahabat tercinta dan rekan-rekan seperjuangan Kelas Khusus Hukum
Ekonomi Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara. Tahun 2006 yang telah memberikan motivasi dan dorongan bagi penulis.
8. Ibu saya tercinta, Ostina br. Ambarita yang telah tulus memberi cinta dan
perhatiannya bagi kami anak-anaknya dan terlebih terhadap cucu-cucunya.
Teramat khusus terhadap anak-anakku Indra dan Andre yang telah setia dan
sabar serta penuh perhatian dan kasih sayang menolong saya sebagai orang tuanya dalam
pekerjaan sehari-hari.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi kesempurnaan tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan kita semua.
Medan, April 2008
ABSTRAK
Berdasarkan pasal 48 ayat (1), pasal 50 ayat (1) Undang-undang Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan disebutkan adanya tindak pidana lingkungan hidup yang terjadi dilahan perkebunan yang berhubungan dengan tindak pidana membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran yang berakibat pada terjadinya pencemaran dan perusakan fungsi lingkungan hidup; dan tindak pidana mengedarkan, memperdagangkan hasil usaha perkebunan yang melanggar larangan berupa; Pemalsuan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan; Menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; Mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain yang dapat merusak fungsi lingkungan hidup;
sebenarnya mempunyai sifat dan karakteristik yang sama dengan pasal 41 ayat (1),
pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu; Tindak pidana karena melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; dan tindak
pidana melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, impor, ekspor,
memperdagangkan, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Salah satu solusi yang dikemukan dalam tulisan ini adalah; untuk menemukan dasar hukum apa yang akan diajukan sebagai dasar penuntutan atas tindak pidana yang berakibat pada rusak dan tercemarnya fungsi lingkungan hidup. Setelah diketahui dasar hukum pengajuan tuntutannya maka, diketahuilah PPNS mana yang berwenang melakukan penyidikan atas perkara tindak dimaksud. Salah satu solusinya adalah menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga PPNS yang berwenang untuk menyidiknya pun haruslah PPNS Lingkungan Hidup.
Penelitian ini didasarkan atas penelitian yuridis normatif ditambah dengan penelitian kepustakaan, dengan didukung oleh data primer, data sekunder dan data tertier.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesamaan sifat dan karekteristik tindak pidana yang disebut diatas lebih mengarah ke persoalan lingkungan hidup, sehingga perlunya ketegasan penggunaan dasar tuntutan pada tindak pidana tersebut. Ketegasan ini adalah untuk mewujud suatu kepastian hukum dan kepastian kewenangan penyidik. Sebab konsekwensinya apabila sesorang PPNS ternyata tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup dimaksud maka, seluruh rangkaian kegiatan penyidikan dan seluruh Berita Acara Pemeriksaan yang dikeluarkan menjadi tidak sah.
Polri maka dapat ditempuh jalur Mahkamah Konstitusi dengan dasar gugatan atas sengketa wewenang antar lembaga pemerintah.
Kata kunci : Kewenangan Penyidikan; PPNS; Tindak Pidana Lingkungan Hidup
ABSTRACT
Based on chapter 48 verse (1), chapter 50 verse (1) of the Law 18/2004 regarding the estate, it has been said that there is criminal matter of live environment in estate farm related to criminal of opening and/or cultivating estate farm by burning leading to pollution and environmental degradation; and criminal matter of distributing, trading the estate product that break the prohibition such as: quality manipulation and/or package of estate product, using auxiliary materials to produce the estate product, mixing the estate product with another materials to destroy the function of life environment; actually they have the same attitudes and characteristic as that of chapter 41 verse (1), chapter 43 verse (1) of the Law No. 23/1997 regarding the Cultivation of Life Environment, i.e., criminal matter of breaking the law leading to pollution and/or environmental degradation; and criminal matter of breaking the applicable statues, import, export, trade, tough they have god knowledge and reasons to assume that what they are commit ting will led to pollution and/or environmental degradation.
One of solution offered in this paper is : to find out the foundation of law to be proposed as prosecution reason for criminal matter leading to pollution and degradation the gradation of life environment. Once the reason of law prosecution known, it should be then known which PPNS to have the authority in making the investigation for those criminal matter. The solution is to apply the Law No. 23/1997 regarding Management of Life Environment, thus the authorizing PPNS for investigation should be PPNS of Live Environment.
This research is based on normative juridical research supported by library research, primary data, secondary and tertiary data.
The result of research indicates that the similarity of attitudes and characteristics of criminal mater mentioned above than more toward the problem of life environment, thus there should be the certainity in prosecution basis application for the criminal matters. This certainity will be to realize the law enforcement and authority of the investigators. Because as consequence, if PPNS in fact those not have the authority to make the investigation for criminal matter of life environment, all set of investigation activities and all investigation Official news issued, will become invalid.
It is also suggested; in presence of claim between PPNS of estate and PPNS of life Environment for authority of investigation, police can take the role to decide which PPNS is to act as investigator, and if one of the PPNS is not satisfied whit the decision, then Police investigator can be reached through constitution of Court in basis of claim for authority conflict between government institutions.
RIWAYAT HIDUP
N a ma : Alboin
Tempat / Tgl. Lahir : Kisaran, 15 Juni 1964
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Instansi : Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara.
Pendidikan :
- Sekolah Dasar Methodist Lubuk Pakam (lulus tahun 1977)
- Sekolah Menengah Pertama Nasional Medan (lulus tahun 1981)
- Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk Pakam (lulus tahun 1984)
- Sarjana Hukum STIH Tambun Bungai Palangka Raya (lulus tahun 1991)
- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... v
RIWAYAT HIDUP... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR SINGKATAN ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Kegunaan Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Metode Penelitian ... 12
1. Tipe Penelitian ... 12
2. Sumber Data ... 14
3. Metode Pengumpulan Data... 15
G. Landasan Teori ... 17
BAB II : TINDAK PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN
LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN PERKEBUNAN 32
A. Tindak Pidana Pada Lahan Perkebunan ... 32
B. Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup
Pada Lahan Perkebunan... 57
BAB III : PPNS YANG BERWENANG SEBAGAI PENYIDIK
TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN
PERKEBUNAN ... 71
A. Analisis Wewenang PPNS Perkebunan dan Wewenang
PPNS Lingkungan Hidup ... 71
B. Adanya Kesamaan Sifat dan Karakteristik Tindak Pidana
Lingkungan Hidup ... 80
C. PPNS yang Berwenang Sebagai Penyidik Tindak Pidana
Lingkungan Hidup di lahan Perkebunan .... 95
BAB IV : PERAN PENYIDIK POLRI DALAM MENETAPKAN
PPNS SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA
LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN PERKEBUNAN 102
A. Peran Penyidik Polri Dalam Menetapkan PPNS Sebagai
Penyidik Tindak Pidana Lingkungan Hidup Pada Lahan
B. Pertimbangan PPNS Sebagai Penyidik Tindak Pidana
Lingkungan Hidup Pada Lahan Perkebunan... 108
BAB V : PENUTUP ... 114
A. Kesimpulan ... 114
B. Saran ... 115
DAFTAR SINGKATAN
BUMN : Badan Usaha Milik Negara.
PTPN : Perseroan Terbatas Perkebunan Negara
HPH : Hak Pengusahaan Hutan
HTI : Hutan Tanaman Industri
PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil
POLRI : Kepolisian Republik Indonesia
KORWAS : Koordinatordan Pengawas
UUPLH : Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU PERKEBUNAN : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
BAP : Berita Acara Pemeriksaan
KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana
KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
PTK : Pemeriksaan Tempat Kejadian
UU : Undang-undang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu primadona ekspor yang sedang dikembangkan Indonesia
di luar migas adalah hasil perkebunan, baik itu perkebunan yang dikelola
pekebun, perkebunan swasta maupun yang dikelola oleh Negara lewat
Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.Hasil ekspor dimaksud adalah
dalam rangka peningkatan devisa negara. Dalam peningkatan devisa
negara ini, pemerintah juga sedang melakukan revitalisasi dan perluasan
perkebunan, baik yang dilakukan BUMN, Perkebunan Swasta dan
pekebun yang bersifat perorangan.
Di dalam melakukan revitalisasi dan perluasan perkebunan
ini tentu akan melakukan pengolahan lahan dan perluasan lahan
perkebunan. Revitalisasi ini sangat terkait akan penggunaan teknologi
pengolahan lahan dan teknologi pengolahan hama tanaman, teknologi
pembukaan lahan tanpa bakar, serta teknologi antisipasi kekeringan.
Sedangkan perluasan lahan perkebunan juga sangat terkait pada
pembukaan lahan baru di luar perkebunan. Luas areal perkebunan
sekitar 75% nya dikelola langsung oleh rakyat (pekebun)1 dan akan
bertambah lagi setelah lewat tahun tersebut. Revitalisasi dan penambahan
luasan penanaman tanaman perkebunan ini dilakukan tidak saja yang
dikelola sebuah Badan Hukum, baik Badan Hukum Swasta maupun Badan
Hukum Negara yang dikelola oleh sebuah BUMN seperti PTPN, akan
tetapi pekebun yang dikelola secara perorangan oleh masyarakat turut
juga direvitalisasi dan ditambah luasannya serta ditingkatkan mutunya.
Pembangunan perkebunan baik yang dilakukan dengan cara merevitalisasi
dan menambah luasan lahan akan sangat terkait dengan masalah
lingkungan hidup, karena akan terjadi perubahan ekologi dan perubahan
ekosistem Lingkungan Hidup baik secara wajar dan dapat ditoleransi
maupun perubahan Lingkungan Hidup yang memerlukan penanganan dan
pengelolaan secara baik. Perubahan ekologi2 dan perubahan ekosistem3
ini disebabkan oleh adanya mata rantai salah satu benda yang terputus,
sebab segala sesuatu benda, manusia dan binatang di dunia ini
mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi jika terjadi
suatu peristiwa yang menimpa alam, menimpa manusia, itu dapat
dikatakan sebagai Resultante berbagai pengaruh di sekitarnya,
1
Departemen Pertanian, Rencana Strategis Direktorat Perlindungan Perkebunan, Tahun
2005-2009, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005) hlm. 1.
2
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cet. Ke 18, (Yogyakarta, Perc. Gadjah Mada University Press, 2005), Hlm 1, menyebutkan : Ecology yakni ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya, dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya.
3
tapi manusia berfungsi sebagai “subjek” dari ekologi dan ekosistem itu.
Kerusakan lingkungan ini merupakan pengaruh sampingan dari tindakan
manusia untuk mencapai tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap
lingkungan.
Pembukaan lahan perkebunan baik yang dilakukan oleh Badan
Hukum Swasta, Badan Hukum Negara yaitu BUMN dan pekebun
perorangan akan sangat mempengaruhi ekologi dan ekosistem dan tentu
mempengaruhi pula pada kondisi lingkungan hidup itu sendiri. Oleh
karenanya perlu dilakukan perlindungan terhadap alam agar ekologi dan
ekosistemnya dapat terjaga, sehingga tidak menciptakan bencana bagi
manusia.
Perlindungan terhadap alam ini, perlu dilakukan dengan
menciptakan kesadaran manusia yang tinggi supaya tanggung jawab
terhadap lingkungan itu makin tinggi. Disamping penciptaan atas
kesadaran lingkungan ini juga dibuat hukum yang baik dan pasti serta
hukum yang berwibawa yang mengatur tentang lingkungan. Hukum
lingkungan modern sekarang ini sudah berorientasi pada lingkungan yang
sifat dan wataknya mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu
sendiri dan berguna kepada ekologi itu sendiri. Dengan berorientasi
kepada lingkungan itu sendiri maka hukum lingkungan modern itu sendiri
selalu berada pada dinamika yang luwes. Hukum perlindungan
lingkungan itu menyebar ke berbagai bidang kebijaksanaan, peraturan
perundang-undangan baik di bidang pengelolaan lingkungan hidup
maupun di luar peraturan pokok lingkungan hidup, seperti
Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Perkebunan yang sudah berorientasi
untuk menjaga perlindungan akan lingkungan hidup yang sehat, seimbang
dan lestari, hukum agraria, hukum bangunan dan bekerja bagian khusus
dalam hukum pemerintahan, seperti hukum perumahan rakyat dan hukum
kehutanan.
Di dalam revitaliasi perkebunan, kendala yang dihadapi Indonesia
setiap tahunnya adalah adanya pembakaran hutan yang dipersiapkan
sebagai lahan perkebunan, atau persiapan lahan perkebunan dalam rangka
penanaman kembali lahan perkebunan tersebut dengan cara pembakaran
yang dilakukan para pelaku usaha perkebunan.
Hutan Indonesia sebenarnya termasuk lahan basah yang sebenarnya
kecil kemungkinan terjadinya kebakaran dengan sendirinya atau
disebabkan oleh karena faktor alam, tapi fakta di lapangan yang terlihat
adalah : bahwa hutan yang terbakar adalah kawasan perkebunan yang
dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu cara dalam
pemicu kebakaran lahan perkebunan tersebut lebih banyak karena faktor
disengaja dimunculkannya api.
Penyebab lain meningkatnya tingkat pembakaran lahan perkebunan
pada masa persiapan dan/atau pengolahan lahan perkebunan
setidak-tidaknya dipengaruhi; oleh adanya pembangunan industri kayu
monokultur yang tidak dibarengi adanya pembangunan hutan tanaman
sebagai bahan baku industrinya; dan besarnya peluang yang diberikan
pemerintah kepada pengusaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dan
Pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk melakukan konversi
lahan menjadi perkebunan monokultur dalam skala besar, seperti
Perkebunan Kelapa Sawit dan Perkebunan Kayu HTI; serta penegakan
hukum yang lamban merespon tindakan pembakaran lahan perkebunan.
Pembakaran lahan yang direfleksikan dalam tulisan ini adalah,
pembakaran lahan perkebunan (yang disengaja dan/ataupun karena
kelalaiannya) pada masa persiapan lahan, yaitu : pada waktu membuka
dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran lahan
perkebunan yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi
lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan ancaman
hukuman serta denda pada Pasal 49 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004
tentang Perkebunan.4
4
Kalimat pembakaran lahan perkebunan pada masa persiapan lahan
seperti : membuka dan atau mengolahnya dengan cara pembakaran yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan fungsi
lingkungan hidup, sifat dan karakteristiknya adalah lebih mengarah ke
tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang juga diatur di dalam
Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu : adanya ancaman pidana bagi
siapa yang melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.5 Sehingga
timbul permasalahan, yaitu; adanya 2 (dua) undang-undang yang mengatur
1 (satu) tindak pidana yang sama, yaitu : tindak pidana yang berakibat
kepada pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup. Jika terjadi
tindak pidana yang demikian maka undang-undang mana yang harus
diterapkan. Apakah Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang
berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda Rp. 10.000.000.000.- (sepuluh miliar rupiah). Ayat (2) : Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 15.000.000.000.- (lima belas miliar rupiah).
5
Pasal 41 ayat (1) : Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000.- lima ratus juta rupiah); ayat (2) : Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000.- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Perkebunan atau Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup? Selanjutnya Apakah penyidikannya
masuk wewenang PPNS Perkebunan? Sebab PPNS Perkebunan diberi
wewenang berdasarkan Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan6 atau penyidikannya
masuk pada wewenang PPNS Lingkungan Hidup, yang juga diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan berdasarkan Pasal 40 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.7
6
Pasal 45 menyebutkan :
(1) Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perkebunan.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan dengan tindak pidana di bidang perkebunan.
b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang perkebunan.
c. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perkebunan.
d. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan pengembangan perkebunan; e. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkebunan.
f. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;
g. membuat dan menandatangani berita acara; dan
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang perkebunan.
7
Pasal 40 menyebutkan :
(1) Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas perlu dibahas
guna menciptakan suatu kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana dan
kepastian wewenang bagi PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan
Hidup. Kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana adalah, berdasarkan
undang-undang yang mana yang akan didakwakan kepadanya. Kepastian
wewenang sangat terkait dengan kepastian hukum tadi. Jika jelas dasar
hukum tuntutan pidananya maka jelas pula PPNS yang akan
menyidiknya.
Jika terjadi saling klaim antara PPNS Perkebunan dengan PPNS
Lingkungan Hidup, bahwa pelaku tindak pidana membuka dan/atau
mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran lahan perkebunan
yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan
hidup harus disidik berdasarkan undang-undang yang menjadi dasar
kewenangannya maka, bagaimana peran penyidik Polri yang mempunyai
fungsi sebagai koordinator dan pengawasan seluruh PPNS dimaksud
dalam mencari jalan keluar terciptanya suatu kepastian hukum dan
kepastian wewenang PPNS tadi? Tentu inilah yang akan dibahas dalam
bab-bab selanjutnya dengan cara mencari dan menemukan sifat dan
karakteristik tindak pidana tersebut, sehingga lebih terkait dan
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup,
mendekati ke peraturan perundang-undangan mana penyelesaiannya,
terkait dalam penyelesaiannya maka juga akan dianalisis wewenang
masing-masing PPNS tersebut, maka ditemukanlah solusi kepastian
wewenang tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
dapat dirumuskan pokok masalah yang selanjutnya akan dibahas dalam
tulisan ini pada bab selanjutnya.
Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Tindak pidana apa saja yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup di
lahan Perkebunan?
2. PPNS mana yang berwenang sebagai penyidik tindak pidana
lingkungan hidup di lahan perkebunan?
3. Bagaimana Peran penyidik Polri dalam menetapkan PPNS sebagai
penyidik tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka, yang menjadi
tujuan penulisan tesis ini, adalah :
1. Untuk mengetahui tindak pidana yang berkaitan dengan lingkungan
2. Untuk mengetahui PPNS mana yang berwenang sebagai penyidik
tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan.
3. Untuk mengetahui bagaimana peran penyidik Polri dalam menetapkan
PPNS sebagai penyidik tindak pidana lingkungan hidup di lahan
perkebunan.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan dalam
menganalisa tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang
Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
terdapat pada lahan perkebunan sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, setelah itu baru
ditentukan berdasarkan wewenang PPNS mana sebagai penyidiknya, baik
secara praktis maupun secara teoritis, yaitu :
1. Menjadi bahan masukan bagi PPNS Lingkungan Hidup, PPNS
Perkebunan dalam menangani perkara Tindak Pidana Lingkungan
Hidup pada lahan perkebunan, agar tidak terjadi rebutan/sengketa
kewenangan dan menjadi kerangka acuan bagi kedua PPNS dalam
menjalankan/melaksanakan tugasnya sesuai dengan dasar
kewenangannya masing-masing. Disamping itu, menjadi bahan
masukan bagi Penyidik Polri dalam perannya menetapkan PPNS,
karena kewenangannya sebagai Koordinator dan Pengawas seluruh
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk
penelitian lebih selanjutnya terhadap kewenangan kedua PPNS ini
dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang
terjadi pada lahan perkebunan. Disamping itu, dan juga memberi
masukan dan kontribusi positif bagi perkembangan dan pengayaan
ilmu hukum.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti,
diketahui bahwa penelitian dengan judul “Analisis Kewenangan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perkebunan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana
Lingkungan Hidup Pada Lahan Perkebunan” belum pernah dilakukan
pada pernasalahan pendekatan yang sama, walaupun penelitian tentang
PPNS di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) yang
membahas tentang peranan PPNS dalam melakukan penyidikan ada di
teliti, namun pada konteks bidang lain, untuk yang membahas tentang
judul diatas belum pernah dilakukan, termasuk juga permasalahan dan
pendekatan yang dilakukan juga berbeda. Jadi Penelitian ini adalah asli
dan belum pernah ditulis dan diteliti oleh peneliti lain sebelumnya,
dan keaslian tulisan ini secara akademis keilmuan dapat
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Sebagai konsekwensi pemilihan ke-3 (tiga) topik permasalahan
yang disebutkan diatas maka, tipe penelitian yang dilakukan adalah
Yuridis Normatif, yakni penelitian yang memfokuskan pada kajian
kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif dengan
pertimbangan bahwa titik tolak analisisnya terhadap paraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan PPNS
Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup. Namun disamping itu juga,
kajian lain turut diikutsertakan, seperti; penelitian kepustakaan untuk
membantu memperdalam pengkajian hukum normatifnya adalah
sangat membantu dalam mencari solusi pemecahan masalahnya;
Penelitian bersifat deskriptif analisis terhadap norma-norma atau
kaidah-kaidah artinya, penelitian ini menggambarkan suatu keadaan
normatif peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar
kewenangan masing-masing PPNS dihadapkan kepada permasalahan
yang dikemukakan dengan tujuan adalah untuk memberi pembatasan
terhadap kerangka studi atas suatu analisis/klasifikasi tanpa ada
maksud dan tujuan lainnya, yaitu untuk menguji hipotesa-hipotesa
Jadi, dengan permasalahan dikemukakan di atas maka,
penelitian yuridis normatif ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh
Johnny Ibrahim, yaitu bahwa;
“Penelitian Normatif adalah untuk menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan norma-norma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai bahan hukum maupun yang dicari sebagai bahan kajian guna memecahkan problem hukum faktual yang dihadapi masyarakat, maka tidak ada jalan lain berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu praktis normologis dan mengandalkan penelitian hukum normative.”8
dan ini sesuai dengan pendapat Surjono Soekanto dan
Sri Mamudji; yang menyebutkan bahwa;
“dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas dapat dilakukan (terutama) terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan-bahan penelitian tersebut mengandung kaidah-kaidah hukum. Sebab, tidak setiap pasal dalam suatu perundang-undangan misalnya mengandung kaidah hukum, ada pasal-pasal yang hanya merupakan batasan saja sebagaimana lazimnya ditemukan pada bab-bab ketentuan umum dari perundang-undangan tersebut.” 9
2. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah diambil
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.
8
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. ke-2, (Surabaya, (Bayu Media Publishing, 2006), hlm. 73.
9
2.1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah : bahan hukum yang diurutkan
berdasarkan hirearki yang terdiri dari atas Undang-Undang Dasar
1945, Tap MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan
peraturan lainnya di bawah Undanga-undang
2.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari
hasil pengkajian dari buku-buku, teks, literatur, karya tulis
ilmiah, yang berkaitan dalam mendukung pemecahan masalah.
2.3. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang dapat memberi
petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, tulisan dan lain-lain
yang dapat menunjang dan sekaligus digunakan sebagai bahan
tambahan informasi dalam penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian
dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun
data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan, yaitu :
pengumpulan data primer berupa peraturan perundang-undangan yang
gunanya adalah sebagai bahan hukum yang mengikat dari sudut acuan
dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan, data
sekunder berupa buku-buku teks, literatur, karya tulis ilmiah yang
gunanya adalah untuk memberi penjelasan terhadap bahan hukum
primer yaitu berupa hasil penelitian karya ilmiah dari kalangan hukum
yang dianggap relevan dengan penelitian ini dan data tersier seperti
kamus, tulisan dan lain-lain yang gunanya adalah memberi petunjuk
dan penjelasan lebih lanjut tentang bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.
4. Analisa Data
Analisa data merupakan suatu proses atau langkah-langkah dalam
pengorganisasian dan mengurutkan bahan hukum yang dikumpulkan
pada suatu pola kategori dan satuan untuk menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan di atas. Jadi bahan hukum yang
diperoleh dari kepustakaan, bahan hukum primer seperti peraturan
perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku teks,
literatur, karya tulis ilmiah, dan bahan hukum tersier seperti kamus,
sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna
membahas dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yang
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum
terhadap permasalahn konkrit yang dihadapi. Dengan demikian
kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan
dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.
G. Landasan Teori
Didalam setiap pembangunan yang bahan bakunya berasal dari
pengelolaan sumber daya alam maka, kebijakan pemerintah adalah selalu
mempertahankan fungsi lingkungan hidup dengan melakukan
Perlindungan Lingkungan Hidup yang berkelanjutan.
Menurut Alvi Syahrin: bahwa:
“Perlindungan Lingkungan Hidup mempunyai arti penting bagi pembangunan jangka panjang dan kemakmuran rakyat, sehingga penyediaan,penggunaan dan peningkatan kemampuan lingkungan hidup perlu mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah dalam mewujudkan kemakmuran rakyat, berkewajiban melakukan upaya pencegahan maupun pembaharuan kemampuan lingkungan hidup, bekerja sama dengan negara lain dalam perlindungan lingkungan hidup dunia, mempertimbangkan pentingnya perlindungan lingkungan hidup dalam memutuskan segala permasalahan ekonomi dan sosial, serta melindungi warisan generasi yang akan datang. Perlindungan lingkungan hidup merupakan bagian dari proses pembangunan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.”10
10
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Jadi pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap
lingkungan hidup dapat dilakukan lewat penataan kebijaksanaan dan
peraturan perundang-undangan guna mewujudkan pembangunan jangka
panjang yang dapat meningkatkan kemampuan lingkungan hidup.
Peningkatan kemampuan lingkungan hidup ini juga diwujudkan dengan
adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini menjadi suatu hal yang
harus diwujudkan guna peningkatan kemampuan lingkungan hidup, oleh
karenanya peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup
haruslah diwujudkan lewat hukum positif yang memuat norma-norma
berperilaku bagi pelaku usaha perkebunan.
Hukum posistf yang memuat tentang tindak pidana lingkungan
hidup di lahan perkebunan mengalami dualisme antara undang-undang
perkebunan dan UUPLH. Harusnya UU Perkebunan hanya mengatur
masalah perkebunan saja, sebab masalah lingkungan hidup telah diatur
dalam UUPLH.
Menurut Hans Kelsen, mengatakan ;
Teori hukum murni adalah teori hukum positif, yang berupaya membatsi dirinya atas penertian hukum pada bidang-bidang lain dan hendaknya menghindari pencampuranadukan dengan berbagai displin ilmu lainnya, yang dapat mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannya.11
11
Sedangkan pengertian hukum positif terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia yang disebut norma hukum12
Sedangkan maksud norma adalah sesuatu yang harus ada dan yang harus terjadi khsusunya bagaimana manusia harus berperilaku dengan cara tertentu.13
Pengertian kewenangan didalam pasal 45 ayat (2) Undang-undang
Perkebunan dan pasal 40 ayat (2) undang-undang Pengelolaan
Lingkungan Hidup tidaklah secara tegas disebutkan, namun secara umum
dapat dikatakan bahwa pengertian wewenang PPNS Perkebunan dan
PPNS Lingkungan Hidup dapat dilihat dari apa yang dilakukan dalam
tahapan-tahapan kegiatan penyidikannya yaitu; memeriksa kebenaran
laporan, memeriksa orang/pelaku tindak pidana,meminta keterangan dan
barang bukti, melakukan pemeriksaan administrasi dan tempat kejadian
perkara, melakukan penyitaan,meminta keterangan ahli, meminta
keterangan ahli, membuat Berita Acara seluruh rangkaian penyidikan dan
menghentikan penyidikan.
Jadi, arti wewenang adalah sebuah tindakan rangkaian penyidikan
yang didasarkan atas undang-undang untuk melakukan penyidikan atas
suatu tindak pidana lingkungan hidup yang khusus terjadi hanya dilahan
perkebunan.
12
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dan Negara, (Jakarta, Bee Media Indonesia, 2007), hlm. 142-143.
13
Dasar wewenang ini diberikan secara khusus juga oleh Pasal 7
ayat (2) KUHAP dengan sebutan kewenangan khusus melakukan tugas
penyidikan atas dasar undang-undang sebagai dasar kwewenangannya.
Jadi wewenang khusus itu hanya diberi oleh undang-undang dalam
melakukan rangkaian penyidikan.
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup adalah undang-undang yang harus menjadi acuan,
walaupun tidak secara tegas disebutkan oleh undang-undang dimaksud,
tapi secara umum diakui sebagai undang-undang yang menjadi acuan pokok.
Artinya seluruh undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup
maka harus mempedomani Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, tak terkecuali dengan Undang-undang
Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan tetap mempedomani
undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini.
Permasalahannya disini adalah, bahwa adanya diatur tindak pidana
yang berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup terutama Pasal 26
Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, dimana tindak
pidana membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara
pembakaran sehingga mengakibatkan pencemaran dan kerusakan fungsi
lingkungan hidup terjadi di lahan perkebunan, sehingga menimbulkan
penafsiran dan menjadi perdebatan, apakah tindak pidana ini masuk
Sementara itu setiap tindak pidana yang berakibat terjadinya pencemaran
dan kerusakan fungsi lingkungan hidup maka dapat dikenakan ancaman
pidana berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lalu peraturan
perundang-undangan mana yang harus digunakan sebagai dasar melakukan tuntutan
terhadap tindak pidana yang sama? Sebab adanya 2 (dua) peraturan
perundang-undangan yang bebrbeda mengatur 1 (satu) tindak pidana yang
sama?
Untuk menjawab persoalan ini maka, landasan teori yang
dipergunakan adalah dengan memperhatikan pasal 1 ayat (2) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana14 yang menyebutkan adanya perlakuan
khusus bagi tindak pidana yang bersifat khusus, yaitu; dengan
menggunakan;
Asas ”Lex specialist derogat lex generale”, yaitu; asas yang mengemukakan bahwa; undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum. Maksud dari asas ini adalah; bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.15
14
Pasal 1 ayat 2 (dua) menyebutkan; Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Pasal 1 ayat 2 (dua) menyebutkan; Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.
15
Lalu menjadi PPNS mana yang berwenang dalam menyidik perkara
tindak pidana lingkungan hidup ini?
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa ;
“tindak pidana di bidang lingkungan hidup menyangkut aspek yang bersifat sangat teknis, sehingga memerlukan keahlian tertentu untuk melakukan penyidikan, yang sukar diharapkan dari para penyidik pejabat Polri”16
Dari pendapat beliau ini dapat digariskan bahwa tindak pidana
lingkungan hidup ini karena sifatnya sangatlah teknis maka,
Penyidiknyapun haruslah yang berasal dari lembaga teknis dimaksud,
yaitu PPNS Lingkungan Hidup. Sebab kalau diteliti lebih lanjut bahwa
dasar pengajuan tuntutannya haruslah menggunakan Undang-undang
Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana
PPNS Lingkungan Hidup mempunyai dasar kewenangan menurut
undang-undang ini.
Didalam pelaksanaan kewenangan masing-masing PPNS
Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup maka, masing-masing PPNS ini
mempunyai dasar kewenangannya dalam melakukan penyidikan. PPNS
Perkebunan mempunyai kewenangan khusus berdasarkan Pasal 45 ayat (1)
Undang-undang Nomor 18 tahun 2004, sedangkan PPNS Lingkungan
Hidup mempunyai kewenangannya berdasarkan Pasal 40
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
16
Yang menjadi dasar awal diperbolehkannya Pegawai Negeri Sipil
(PNS) sebagai penyidik adalah didalam Undang-undang No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazim disebut Kitab
undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP) Pasal 6 ayat (2) b dan
Pasal 7 ayat ( 2 ), dimana berdasarkan pasal ini merupakan dasar hukum
diberikannya wewenang khusus terhadap PPNS untuk melakukan
penyidikan di bidang tindak pidana khusus dan sekaligus diberi
wewenang sesuai undang-undang yang menjadi dasar hukumnya untuk
melakukan tugasnya di bawah koordinasi dan pengawasan POLRI.17
Sebutan wewenang khusus pada PPNS mempunyai arti bahwa PPNS hanya
mempunyai wewenang terbatas hanya pada undang-undang itu saja yang
artinya PPNS dalam melakukan penyidikan tidak boleh menggunakan
dasar tuntutannya di luar undang-undang yang menjadi dasar
penuntutannya. Dalam melakukan penyidikan maka PPNS dimaksud
adalah seorang penyidik pada sebuah Departemen yang diangkat oleh
Menteri atau Kepala pada sebuah lembaga vertikal (Nasional) atau
diusulkan dan diangkat oleh instansi yang berwenang atas
rekomendasi/pertimbangan tidak keberatan dari Kepala Kepolisian
Republik Indonesia dan Jaksa Agung.
17
UU No. 8 tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana Pasal 6 ayat (1) mengatakan penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
Di dalam istilah sebutan, maka, ada 2 (dua) sebutan terhadap
PPNS ini, yaitu; pertama; PPNS Nasional (pusat), dan kedua; PPNS
Daerah. PPNS Nasional (pusat) lahir dari undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya dalam Pasal 6 ayat (1) b dan
oleh karenanya lahirlah PPNS Perkebunan yang dasar kewenangnnya
lahir atas dasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang
Perkebunan kemudian PPNS Lingkungan Hidup lahir atas dasar
kewenangannya dari Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara itu PPNS Daerah lahir dari
undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah yang menyebutkankan bahwa penyidikan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dilakukan oleh PPNS Daerah dan dipertegas lagi
dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Pasal 149 ayat (2) yang menyatakan bahwa : Penyidikan dan
penuntutan terhadap penyelenggaraan atas ketentuan Perda dilakukan
oleh penyidik dan pemutusan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.18
Dalam hal menjalankan kewenangan masing-masing PPNS ini
maka, atas dasar masing-masing undang-undang yang menjadi dasar
kewenangan PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup itu, maka
18
Biro Humas Sekretariat Jenderal Departemen Dalam Negeri, Pembinaan dan Pemberdayaan
secara umum, kewenangan PPNS Perkebunan, PPNS Lingkungan Hidup,
PPNS Daerah, bahkan PPNS lainnya adalah sama, hanya bidang tugasnya
yang berbeda, kalau profil bentuk wewenangnya adalah serupa, bahkan
bagi seluruh PPNS diharuskan melakukan koordinasi dengan Penyidik
Polri, karena Penyidik Polri yang fungsinya sebagai koordinator dan
fungsi pengawasan bahkan sampai pada fungsi pembinaan teknis terhadap
seluruh PPNS (tugas ini diemban oleh bagian reserse).
Adapun secara umum kewenangannya adalah sebagai berikut :
1. Melakukan tindakan upaya paksa, seperti :
a. penangkapan
b. penahanan
c. penggeledahan
d. pemeriksaan surat
2. Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas semua tindakan,
seperti :
a. BAP pemeriksaan tersangka
b. BAP penangkapan
c. BAP penahanan
d. BAP penggeledahan
f. BAP pemeriksaan surat
g. BAP pemasukan rumah
h. BAP pemeriksaan saksi
i. BAP pemeriksaan tempat kejadian (PTK)
j. BAP pemeriksaan lain-lainnya sesuai KUHAP
k. BAP pelaksanaan lain-lain sesuai dengan KUHAP
Apabila dalam proses penyidikan ternyata tidak cukup bukti sesuai
dengan kewenangannya pada poin 1 di atas tadi maka, kedua PPNS tersebut
harus menghentikan proses penyidikan dengan pemberitahuan kepada
Kejaksaan melalui penyidik Polri. Selanjutnya apabila proses penyidikan
berlanjut dan bentuk tindakan upaya paksa dilakukan oleh PPNS
Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup maka upaya paksa itu
dilakukan harus dalam bentuk ”koordinasi dengan polisi”.19
Di dalam usaha mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga suatu tindak pidana lingkungan hidup, apakah PPNS
Lingkungan Hidup dan PPNS Perkebunan mempunyai wewenang untuk
melakukan penyelidikan? Sebab sesuai dengan perkembangan tindak
pidananya maka, Penyelidikan bisa merupakan bahagian dari penyidikan.
19
Menurut pendapat Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Kewenangan PPNS
berdasarkan UU No, 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang dipimpin Oleh
Bapak Edi Warman, mengatakan bahwa;
”di dalam KUHAP tidak tegas disebutkan sebab KUHAP tidak mengatur hal itu, tetapi KUHAP juga tidak secara tegas melarang PPNS untuk melakukan penyelidikan”.20
Memang di dalam Pasal 1 angka 4, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1)
KUHAP menyebutkan bahwa penyelidik itu adalah Polri,21 sedangkan
undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
tidak menyebutkan apakah PPNS perkebunan dan PPNS Lingkungan
Hidup berwenang melakukan penyelidikan.
Tindak pidana pembakaran lahan yang dilakukan oleh pelaku usaha
perkebunan sudah barang tentu banyak yang dilakukan secara disengaja,
atau paling tidak, dilakukan karena adanya unsur kelalaian. Pembakaran
lahan perkebunan oleh pelaku usaha perkebunan pada waktu membuka
dan/atau mengolah lahan perkebunan biasanya dilakukan untuk
20
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum
Kewenangan PPNS Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, (Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004), hlm. 74.
21
Pasal 1 ayat (4); Penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diberi undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
Pasal 4; Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia
menghemat biaya dan waktu, namun rata-rata pihak pelaku usaha
perkebunan tidak ada yang mau mengaku telah melakukan pembakaran
pada lahan perkebunannya.
Lahan perkebunan yang diperoleh baik dari konversi hutan,
biasanya rata-rata mempunyai tingkat kepadatan serasah yang banyak dan
oksigen yang cukup dan rata-rata hutan basah, sehingga sangat sulit
kemungkinannya untuk terbakar sendiri, atau karena faktor alam.
Ada beberapa penyebab kebakaran ini terjadi, baik itu kebakaran
hutan maupun kebakaran lahan. Menurut Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, bahwa;
“kerusakan hutan yang diakibatkan kesengajaan misalnya baik itu karena persiapan persiapan perubahan lahan perkebunan adalah sangat tinggi. Bahkan sumber api dan atau penyebab kebakaran hutan itu terjadi karena ada 3 unsur yaitu : panas, bahan bakar dan oksigen berbaur. Jika salah satu ke-3 unsur ini tidak ada maka kebakaran hutan itu tidak akan terjadi. Karena oksigen terdapat hampir merata di semua wilayah, maka yang diterangkan disini hanyalah unsur panas dan bahan bakar.
a. Panas
kebakaran hutan berasal dari manusia, sedangkan selebihnya berasal dari alam.
1).Sumber api yang berasal dari manusia digolongkan menjadi : a. Yang dinyalakan secara sengaja, dalam kaitannya dengan
perladangan, penggembalaan ternak, perburuan binatang liar, persiapan penanaman (perkebunan, kehutanan), tindakan iseng (untuk kesenangan), balas dendam terhadap petugas kehutanan, mengalihkan perhatian petugas (untuk dapat mencuri hasil hutan ditempat lain), pembuatan api unggun, dan lain-lain.. Api yang berasal dari kebakaran ladang, di Sumatera Utara, memberikan andil 54% terhadap terjadinya kebakaran hutan. Angka tersebut nampaknya berlaku di daerah lain untuk Pulau Jawa. Perlu dicatat bahwa penggunaan api untuk perladangan, perkebunan, kehutanan dan lain lain tak terhindarkan dan tak harus mengakibatkan kebakaran hutan, asal terkendali.
b. Yang tak disengaja, seperti api dari kereta api, pekerja hutan, pengunjung objek wisata hutan, obor, puntung rokok, perkemahan, dapur arang, dan lain-lain.
2).Faktor alam, misalnya api yang timbul karena terjadinya petir, meletusnya gunung berapi dan api abadi.
b. Bahan Bakar
Bahan bakar merupakan faktor yamg paling dominan sebagai penyebab kebakaran hutan.
bulan, juga menimbulkan asap tebal yang sangat mengganggu kegiatan hidup manusia.”22
Terkait dengan peran Polri dalam mengeluarkan keputusan dalam
menetapkan PPNS jika terjadi saling klaim antara PPNS Perkebunan
dan PPNS Lingkungan Hidup jika terjadi tindak pidana dibidang
lingkungan hidup pada lahan perkebunan maka, Polri dapat menetapkan
PPNS berdasarkan kewenangan yang dimilikinya sebagai Koordinator
dan Pengawas keseluruhan PPNS, yaitu; di dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau
lazim disebut Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Hal ini sangat berguna dalam rangka memenuhi asas dalam KUHAP itu
sendiri, yaitu; asas peradilan cepat. Sebab apabila dibiarkan
masing-masing PPNS ini saling klaim kewenangan akan menimbulkan
terhambatnya proses penyidikan terhadap si pelaku tindak pidana
tersebut.
22
BAB II
T I N D A K P I D A N A Y A N G B E R K A I T A N D E N G A N
LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN PERKEBUNAN
A. Tindak Pidana Pada Lahan Perkebunan
Di dalam Undang-Undang tentang Perkebunan, ada disebutkan
bermacam beberapa tindak pidana yang dapat dilakukan penyidikan
terhadap pelaku tindak pidana oleh Undang-Undang ini, wewenang
penyidikannya adalah oleh PPNS yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya berada di bidang perkebunan, dalam hal ini yang tersedia
adalah PPNS Perkebunan, yang sekarang berada pada Direktorat Jenderal
Perkebunan – Departemen Pertanian.
Tindak pidana yang disebutkan dalam Undang-Undang tentang
perkebunan ini ada yang berkaitan murni tentang perkebunan itu sendiri
dan juga berkaitan dengan Lingkungan Hidup. Namun dalam tulisan ini
akan disebutkan secara keseluruhan dari apa yang disebutkan sebagai
tindak pidana, baik itu tindak pidana tentang perkebunan itu sendiri
maupun tindak pidana yang berkaitan langsung dengan tindak pidana
Adapun yang disebutkan sebagai perbuatan tindak pidana oleh
Undang-undang tentang Perkebunan ini adalah sebagai berikut :
1. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan
tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan
dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin.
2. Melanggar ketentuan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau
aset lainnya, menggunakan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau
tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha
perkebunan.
3. Membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara
pembakaran yang berakibat pada terjadinya pencemaran dan
perusakan Fungsi Lingkungan Hidup.
4. Melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil
perkebunan yang melanggar larangan berupa :
a. Pemalsuan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan;
b. Menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan
hasil perkebunan;
c. Mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain yang
fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak
sehat.
5. Mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen.
6. Menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari penjarahan
dan/atau pencurian.
Dari ke-6 (enam) tindak pidana ini, oleh Undang-undang tentang
Perkebunan menjadi satu kesatuan pengaturan, karena mengatur mulai dari
Pembukaan Lahan, Mengolah Lahan, Budi Daya Tanaman Perkebunan,
Mengolah Hasil Perkebunan sampai dengan Peredaran dan Pemasarannya
dan mengatur pada persoalan Lingkungan Hidup.
Berikut akan dijelaskan secara sekilas ke-6 (enam) tindak pidana
yang oleh Undang-undang Perkebunan ini dimasukkan dalam beberapa
pasal-pasal, yaitu :
1. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan
tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan
dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin
Di dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 tahun
2004 tentang Perkebunan23 dijelaskan bahwa dilarang untuk
23
melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan
tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan
dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin. Melakukan suatu usaha
budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau
usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu
tanpa memiliki izin. Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang
Perkebunan.
Yang menjadi unsur-unsur tindak pidana menurut Pasal 46
ayat (1) ini adalah :
2. Setiap orang.
3. Dengan sengaja.
4. a. Melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan
tertentu
b. Melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan
kapasitas tertentu
5. Dengan tidak memiliki izin usaha perkebunan.
Di dalam poin ini, disebutkan ada 2 (dua) jenis perbuatan yang
menjadi tindak pidana yang berkaitan dengan izin, baik yang
dilakukan secara sengaja maupun akibat kelalaiannya, juga yang
dilakukan oleh orang-perorangan ataupun suatu Badan Hukum, yaitu :
1. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan;
2. Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas
tertentu; dimana kedua jenis tindak pidana ini dilakukan secara
sengaja maupun karena kelalaiannya yang dilakukan dengan tidak
memiliki izin usaha perkebunan.
Kedua perbuatan tindak pidana ini adalah untuk memenuhi
pelarangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
dalam undang-undang ini, yaitu bahwa : setiap pelaku usaha
perkebunan baik itu usaha budi daya tanaman perkebunan dan/atau
usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas pabrik
tertentu harus memiliki izin terlebih dahulu, jika tanpa izin adalah
dianggap illegal.24 Jadi, dengan melakukan Kegiatan suatu usaha budi
daya tanaman perkebunan pada luasan tanah tertentu atau hanya
melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan
kapasitas tertentu; tanpa memiliki izin usaha perkebunan saja sudah
dapat memenuhi unsur sebagai perbuatan tindak pidana, tanpa harus
24
melakukan kedua jenis tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (1) dan (2).
Jenis usaha budi daya tanaman perkebunan itu adalah serangkaian
kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan, tanaman, pemanenan dan
sortasi (penyeleksian), sedangkan jenis usaha industri pengolahan hasil
perkebunan itu adalah merupakan serangkaian kegiatan pengolahan yang
bahan baku utamanya adalah hasil dari budi daya tanaman perkebunan
tadi dan/atau yang dibeli dari hasil perkebunan lainnya di luar areal
perkebunannya. Misalnya dibeli dari pekebun atau perusahaan
perkebunan lainnya, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 15
Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.25
Izin Usaha Perkebunan ini sangat besar tujuan dan manfaatnya bagi
pemerintah atau masyarakat, guna mengendalikan dan memasukkan
persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat menolong masyarakat dan
pemerintah, seperti; persyaratan tentang Lingkungan Hidup dengan tujuan
untuk mengamankan dan melestarikan fungsi lingkungan hidup;
25
persyaratan adanya pengenaan pajak bagi negara dengan tujuan untuk
biaya pembangunan, membuka lapangan pekerjaan dengan tujuan
mensejahterakan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menginginkan agar seluruh
masyarakat mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak;
meningkatkan devisa, pembatasan kepemilikan tanah dan melarang untuk
mengalihfungsikan tanah perkebunan, dan lain-lain.26 Sehingga
tercapailah apa yang dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor
18 tahun 2004 tentang Perkebunan tadi.
Manfaat untuk pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah, dengan
adanya kewajiban bagi setiap pelaku usaha perkebunan untuk memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan melakukan pencegahan
kerusakannya. Dan yang lebih penting adalah adanya kewajiban membuat
Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) sebelum
dimulainya usaha perkebunan atau sebelum izin diperoleh maka pelaku
usaha perkebunan harus lebih dahulu membuat Amdal pada lokasi
kegiatan usaha perkebunan dimaksud atau upaya pengelolaan lingkungan
26
Pasal 3; Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan : a. meningkatkan pendapatan masyarakat;
b. meningkatkan penerimaan negara; c. meningkatkan penerimaan devisa negara; d. menyediakan lapangan pekerjaan;
e. meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing;
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup bagi yang hanya memiliki
luasan tertentu, sehingga kepada pelaku usaha perkebunan hanya diberi
kewajiban ini. Hal ini untuk memenuhi persyaratan izin sebagaimana yang
disyaratkan dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang
Perkebunan.27
Disamping itu adalah untuk melarang pelaku usaha perkebunan
untuk mengalihfungsikan lahan perkebunan untuk peruntukan lainnya di
luar sektor perkebunan sesuai dengan izin yang dimilikinya, sehingga
terjadi pengurangan luasan minimum lahan perkebunan.28 Misalnya lahan
perkebunan digunakan untuk pembangunan perumahan yang dijual ke
masyarakat.
27
Pasal 25, menyebutkan :
(1) Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.
(2) Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan perkebunan wajib :
a. Membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pemantauan lingkungan hidup. b. Memiliki analisis dan manajemen resiko bagi yang menggunakan hasil rekayasa genetik;
c. Membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengolahan lahan
(3) Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah dan menanggulangi kerusakannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah memperoleh izin usaha perkebunan wajib menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup dan/atau analisis dan manajemen resiko lingkungan hidup serta memantau penerapannya.
(4) Setiap perusahaan perkebunan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditolak permohonan izin usahanya.
(5) Setiap perusahaan perkebunan yang telah memperoleh izin usaha perkebunan tetapi tidak menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dicabut izin usahanya.
28
Dari persyaratan-persyaratan izin yang harus dipenuhi oleh
pelaku usaha perkebunan akan menjadikan pemerintah sebagai
pengendali dan yang bertanggung jawab lewat kebijakannya untuk
mempertahankan suatu ekosistem yang baik dan bermanfaat bagi
lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
2. Melanggar ketentuan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau
aset lainnya, menggunakan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau
tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan,29 maka
untuk dapat memenuhi unsur-unsur sebagai tindak pidananya adalah
sebagai berikut :
1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja melanggar larangan;
a. Melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau
aset lainnya
29
b. Penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya
yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.
Tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha
perkebunan berdasarkan penjelasan Pasal 21 Undang-undang Nomor 18
tentang Perkebunan antara lain; tindakan yang menganggu pekerja,
sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun
sebagaimanan mestinya.
Menurut poin 2 huruf a ini, perbuatan tindak pidana dengan
melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau
aset lainnya masih dapat dibagi 2 (dua) yaitu; pertama; melakukan
tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun, yang mengakibatkan
terganggunya usaha perkebunan.
kedua; melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan aset
lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.
Yang dimaksud dengan aset lainnya disini adalah : yang
berhubungan baik langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan
usaha perkebunan, misalnya pagar pembatas, traktor, gedung dan lain-lain.
Di dalam unsur-unsur pidana pada poin 2 huruf b, maka
penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya
masih ada 2 (dua) alternatif, yaitu, pertama; Penggunaan lahan
perkebunan dan kedua; tindakan lainnya tanpa izin yang
mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.
Tindak pidana melangar larangan yang berakibat rusaknya
kebun dan/atau assetnya, dan tindak pidana penggunaan lahan
perkebunan (yang telah memperoleh izin) tanpa seizin pemilik usaha
perkebunan sehingga mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.,
baik yang dilakukan secara sengaja dan/ataupun karena kelalaiannya
yang berakibat rusaknya kebun dan/atau assetnya adalah suatu
perbuatan tindak pidana yang dilakukan sipelaku tindak pidana yang
berakibat terjadinya suatu kerusakan pada suatu rangkaian kegiatan
usaha perkebunan, baik itu berakibat pada kerusakan sistem produksi,
kerusakan pada hamparan lahan perkebunan, kerusakan pada sarana
dan prasarana perkebunan, kerusakan pada sistem pengendali
lingkungan, kerusakan pada budi daya tanaman perkebunan, kerusakan
pada asset perkebunan, jadi harus terpenuhi unsur berakibat terjadinya
kerusakan kebun dan atau asset lainnya. Jika suatu tindakan itu tidak
berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, maka
tindakan si pelaku tidak memenuhi unsur sebagaimana maksud pasal
ini. Jika perbuatan dimaksud secara sengaja dilakukan sehingga
berakibat pada terjadinya kerusakan kebun dan/atau asset lainnya
maka ancaman hukuman maksimal adalah 5 (lima) tahun penjara
dengan denda maksimal Rp. 5.000.000.000.- (lima miliar rupiah).
sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat 2 (dua), ancaman hukuman
maksimal adalah 2 (dua) tahun dengan denda maksimal Rp.
2.500.000.000.- (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Unsur perbuatan tindak pidana; penggunaan lahan perkebunan
tanpa seizin pemilik usaha perkebunan dan/atau tindakan lainnya
sehingga mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Di dalam
perbuatan tindak pidana ini maka harus ada unsur; adanya tindakan
penggunaan lahan tanpa seizin pelaku usaha perkebunan dan
terganggunya usaha perkebunan. Jadi kedua unsur ini harus terpenuhi.
Tindakan menggunakan lahan tanpa izin namun tidak berakibat
terganggunya usaha perkebunan, maka ketentuan pasal ini tidak dapat
dikenakan kepada si pelaku. Sebab harus ada dulu pembuktian bahwa
benar-benar terjadi gangguan terhadap usaha perkebunannya.
Perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat
(1) dan ayat (2) ini adalah untuk memenuhi maksud dari Pasal 21
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.30
3. Membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara
pembakaran yang berakibat pada terjadinya pencemaran dan
perusakan fungsi lingkungan hidup
Suatu perusahaan yang telah memperoleh izin usaha
perkebunan, lalu melanjutkan kegiatannya untuk membuka lahan dan
30
atau mengolah lahan dimaksud dengan melakukan pembakaran yang
berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan
hidup menurut Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 18
tahun 2004, maka dalam hal ini harus dipenuhi dulu beberapa unsur
dalam perbuatan tindak pidananya. Unsur-unsur dimaksud adalah :
1. Setiap orang
2. a. Dengan sengaja dan/atau karena kelalaiannya membuka lahan
perkebunan dengan cara pembakaran
b. Dengan sengaja dan/atau karena kelalaiannya mengolah lahan
perkebunan dengan cara pembakaran
3. Mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
Kriteria pencemaran lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 12
Undang-undang 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup adalah; masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat
energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehinga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya; sedangkan Perusakan Lingkungan Hidup
adalah : tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak