• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perkebunan Dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Di Lahan Perkebunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perkebunan Dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Di Lahan Perkebunan"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERKEBUNAN DAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUNGAN

HIDUP DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

DI LAHAN PERKEBUNAN

TESIS

Oleh

ALBOIN

067005002/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERKEBUNAN DAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUNGAN

HIDUP DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

DI LAHAN PERKEBUNAN

TESIS

Untuk Memproleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum

Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALBOIN

067005002/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan

rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian tesis

dengan judul ”Analisis Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perkebunan dan

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak

Pidana Lingkungan Hidup Di Lahan Perkebunan”.

Penulisan tesis untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi

untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam bidang Ilmu Hukum pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH,

DFM, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,MH selaku dosen pembimbing yang

telah demikian sabar dalam membimbing dan memberikan saran kepada penulis.

2. Bapak Prof. Dr. Muhamad Yamin, SH, MH, Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum,

Selaku dosen penguji yang telah Begitu banyak memberikan kritik, saran dan

masukan pada penulis demi kesempurnaan tesis ini.

(4)

4. Bapak Direktur Sekolah Pascasarjana, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc,

Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan

Ibu Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Para Dosen dan Staf Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara.

6. Bapak Dekan Fakultas Hukum USU, Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum.

7. Sahabat-sahabat tercinta dan rekan-rekan seperjuangan Kelas Khusus Hukum

Ekonomi Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera

Utara. Tahun 2006 yang telah memberikan motivasi dan dorongan bagi penulis.

8. Ibu saya tercinta, Ostina br. Ambarita yang telah tulus memberi cinta dan

perhatiannya bagi kami anak-anaknya dan terlebih terhadap cucu-cucunya.

Teramat khusus terhadap anak-anakku Indra dan Andre yang telah setia dan

sabar serta penuh perhatian dan kasih sayang menolong saya sebagai orang tuanya dalam

pekerjaan sehari-hari.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh karena

itu penulis mengharapkan kritik dan saran membangun demi kesempurnaan tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan kita semua.

Medan, April 2008

(5)

ABSTRAK

Berdasarkan pasal 48 ayat (1), pasal 50 ayat (1) Undang-undang Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan disebutkan adanya tindak pidana lingkungan hidup yang terjadi dilahan perkebunan yang berhubungan dengan tindak pidana membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran yang berakibat pada terjadinya pencemaran dan perusakan fungsi lingkungan hidup; dan tindak pidana mengedarkan, memperdagangkan hasil usaha perkebunan yang melanggar larangan berupa; Pemalsuan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan; Menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; Mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain yang dapat merusak fungsi lingkungan hidup;

sebenarnya mempunyai sifat dan karakteristik yang sama dengan pasal 41 ayat (1),

pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu; Tindak pidana karena melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; dan tindak

pidana melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, impor, ekspor,

memperdagangkan, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Salah satu solusi yang dikemukan dalam tulisan ini adalah; untuk menemukan dasar hukum apa yang akan diajukan sebagai dasar penuntutan atas tindak pidana yang berakibat pada rusak dan tercemarnya fungsi lingkungan hidup. Setelah diketahui dasar hukum pengajuan tuntutannya maka, diketahuilah PPNS mana yang berwenang melakukan penyidikan atas perkara tindak dimaksud. Salah satu solusinya adalah menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1977 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga PPNS yang berwenang untuk menyidiknya pun haruslah PPNS Lingkungan Hidup.

Penelitian ini didasarkan atas penelitian yuridis normatif ditambah dengan penelitian kepustakaan, dengan didukung oleh data primer, data sekunder dan data tertier.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kesamaan sifat dan karekteristik tindak pidana yang disebut diatas lebih mengarah ke persoalan lingkungan hidup, sehingga perlunya ketegasan penggunaan dasar tuntutan pada tindak pidana tersebut. Ketegasan ini adalah untuk mewujud suatu kepastian hukum dan kepastian kewenangan penyidik. Sebab konsekwensinya apabila sesorang PPNS ternyata tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup dimaksud maka, seluruh rangkaian kegiatan penyidikan dan seluruh Berita Acara Pemeriksaan yang dikeluarkan menjadi tidak sah.

(6)

Polri maka dapat ditempuh jalur Mahkamah Konstitusi dengan dasar gugatan atas sengketa wewenang antar lembaga pemerintah.

Kata kunci : Kewenangan Penyidikan; PPNS; Tindak Pidana Lingkungan Hidup

(7)

ABSTRACT

Based on chapter 48 verse (1), chapter 50 verse (1) of the Law 18/2004 regarding the estate, it has been said that there is criminal matter of live environment in estate farm related to criminal of opening and/or cultivating estate farm by burning leading to pollution and environmental degradation; and criminal matter of distributing, trading the estate product that break the prohibition such as: quality manipulation and/or package of estate product, using auxiliary materials to produce the estate product, mixing the estate product with another materials to destroy the function of life environment; actually they have the same attitudes and characteristic as that of chapter 41 verse (1), chapter 43 verse (1) of the Law No. 23/1997 regarding the Cultivation of Life Environment, i.e., criminal matter of breaking the law leading to pollution and/or environmental degradation; and criminal matter of breaking the applicable statues, import, export, trade, tough they have god knowledge and reasons to assume that what they are commit ting will led to pollution and/or environmental degradation.

One of solution offered in this paper is : to find out the foundation of law to be proposed as prosecution reason for criminal matter leading to pollution and degradation the gradation of life environment. Once the reason of law prosecution known, it should be then known which PPNS to have the authority in making the investigation for those criminal matter. The solution is to apply the Law No. 23/1997 regarding Management of Life Environment, thus the authorizing PPNS for investigation should be PPNS of Live Environment.

This research is based on normative juridical research supported by library research, primary data, secondary and tertiary data.

The result of research indicates that the similarity of attitudes and characteristics of criminal mater mentioned above than more toward the problem of life environment, thus there should be the certainity in prosecution basis application for the criminal matters. This certainity will be to realize the law enforcement and authority of the investigators. Because as consequence, if PPNS in fact those not have the authority to make the investigation for criminal matter of life environment, all set of investigation activities and all investigation Official news issued, will become invalid.

It is also suggested; in presence of claim between PPNS of estate and PPNS of life Environment for authority of investigation, police can take the role to decide which PPNS is to act as investigator, and if one of the PPNS is not satisfied whit the decision, then Police investigator can be reached through constitution of Court in basis of claim for authority conflict between government institutions.

(8)

RIWAYAT HIDUP

N a ma : Alboin

Tempat / Tgl. Lahir : Kisaran, 15 Juni 1964

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Instansi : Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara.

Pendidikan :

- Sekolah Dasar Methodist Lubuk Pakam (lulus tahun 1977)

- Sekolah Menengah Pertama Nasional Medan (lulus tahun 1981)

- Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk Pakam (lulus tahun 1984)

- Sarjana Hukum STIH Tambun Bungai Palangka Raya (lulus tahun 1991)

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Kegunaan Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Metode Penelitian ... 12

1. Tipe Penelitian ... 12

2. Sumber Data ... 14

3. Metode Pengumpulan Data... 15

(10)

G. Landasan Teori ... 17

BAB II : TINDAK PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN

LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN PERKEBUNAN 32

A. Tindak Pidana Pada Lahan Perkebunan ... 32

B. Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup

Pada Lahan Perkebunan... 57

BAB III : PPNS YANG BERWENANG SEBAGAI PENYIDIK

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN

PERKEBUNAN ... 71

A. Analisis Wewenang PPNS Perkebunan dan Wewenang

PPNS Lingkungan Hidup ... 71

B. Adanya Kesamaan Sifat dan Karakteristik Tindak Pidana

Lingkungan Hidup ... 80

C. PPNS yang Berwenang Sebagai Penyidik Tindak Pidana

Lingkungan Hidup di lahan Perkebunan .... 95

BAB IV : PERAN PENYIDIK POLRI DALAM MENETAPKAN

PPNS SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA

LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN PERKEBUNAN 102

A. Peran Penyidik Polri Dalam Menetapkan PPNS Sebagai

Penyidik Tindak Pidana Lingkungan Hidup Pada Lahan

(11)

B. Pertimbangan PPNS Sebagai Penyidik Tindak Pidana

Lingkungan Hidup Pada Lahan Perkebunan... 108

BAB V : PENUTUP ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 115

(12)

DAFTAR SINGKATAN

BUMN : Badan Usaha Milik Negara.

PTPN : Perseroan Terbatas Perkebunan Negara

HPH : Hak Pengusahaan Hutan

HTI : Hutan Tanaman Industri

PPNS : Penyidik Pegawai Negeri Sipil

POLRI : Kepolisian Republik Indonesia

KORWAS : Koordinatordan Pengawas

UUPLH : Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU PERKEBUNAN : Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

BAP : Berita Acara Pemeriksaan

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana

KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

PTK : Pemeriksaan Tempat Kejadian

UU : Undang-undang

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu primadona ekspor yang sedang dikembangkan Indonesia

di luar migas adalah hasil perkebunan, baik itu perkebunan yang dikelola

pekebun, perkebunan swasta maupun yang dikelola oleh Negara lewat

Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.Hasil ekspor dimaksud adalah

dalam rangka peningkatan devisa negara. Dalam peningkatan devisa

negara ini, pemerintah juga sedang melakukan revitalisasi dan perluasan

perkebunan, baik yang dilakukan BUMN, Perkebunan Swasta dan

pekebun yang bersifat perorangan.

Di dalam melakukan revitalisasi dan perluasan perkebunan

ini tentu akan melakukan pengolahan lahan dan perluasan lahan

perkebunan. Revitalisasi ini sangat terkait akan penggunaan teknologi

pengolahan lahan dan teknologi pengolahan hama tanaman, teknologi

pembukaan lahan tanpa bakar, serta teknologi antisipasi kekeringan.

Sedangkan perluasan lahan perkebunan juga sangat terkait pada

pembukaan lahan baru di luar perkebunan. Luas areal perkebunan

(14)

sekitar 75% nya dikelola langsung oleh rakyat (pekebun)1 dan akan

bertambah lagi setelah lewat tahun tersebut. Revitalisasi dan penambahan

luasan penanaman tanaman perkebunan ini dilakukan tidak saja yang

dikelola sebuah Badan Hukum, baik Badan Hukum Swasta maupun Badan

Hukum Negara yang dikelola oleh sebuah BUMN seperti PTPN, akan

tetapi pekebun yang dikelola secara perorangan oleh masyarakat turut

juga direvitalisasi dan ditambah luasannya serta ditingkatkan mutunya.

Pembangunan perkebunan baik yang dilakukan dengan cara merevitalisasi

dan menambah luasan lahan akan sangat terkait dengan masalah

lingkungan hidup, karena akan terjadi perubahan ekologi dan perubahan

ekosistem Lingkungan Hidup baik secara wajar dan dapat ditoleransi

maupun perubahan Lingkungan Hidup yang memerlukan penanganan dan

pengelolaan secara baik. Perubahan ekologi2 dan perubahan ekosistem3

ini disebabkan oleh adanya mata rantai salah satu benda yang terputus,

sebab segala sesuatu benda, manusia dan binatang di dunia ini

mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi jika terjadi

suatu peristiwa yang menimpa alam, menimpa manusia, itu dapat

dikatakan sebagai Resultante berbagai pengaruh di sekitarnya,

1

Departemen Pertanian, Rencana Strategis Direktorat Perlindungan Perkebunan, Tahun

2005-2009, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005) hlm. 1.

2

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cet. Ke 18, (Yogyakarta, Perc. Gadjah Mada University Press, 2005), Hlm 1, menyebutkan : Ecology yakni ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya, dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya.

3

(15)

tapi manusia berfungsi sebagai “subjek” dari ekologi dan ekosistem itu.

Kerusakan lingkungan ini merupakan pengaruh sampingan dari tindakan

manusia untuk mencapai tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap

lingkungan.

Pembukaan lahan perkebunan baik yang dilakukan oleh Badan

Hukum Swasta, Badan Hukum Negara yaitu BUMN dan pekebun

perorangan akan sangat mempengaruhi ekologi dan ekosistem dan tentu

mempengaruhi pula pada kondisi lingkungan hidup itu sendiri. Oleh

karenanya perlu dilakukan perlindungan terhadap alam agar ekologi dan

ekosistemnya dapat terjaga, sehingga tidak menciptakan bencana bagi

manusia.

Perlindungan terhadap alam ini, perlu dilakukan dengan

menciptakan kesadaran manusia yang tinggi supaya tanggung jawab

terhadap lingkungan itu makin tinggi. Disamping penciptaan atas

kesadaran lingkungan ini juga dibuat hukum yang baik dan pasti serta

hukum yang berwibawa yang mengatur tentang lingkungan. Hukum

lingkungan modern sekarang ini sudah berorientasi pada lingkungan yang

sifat dan wataknya mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu

sendiri dan berguna kepada ekologi itu sendiri. Dengan berorientasi

kepada lingkungan itu sendiri maka hukum lingkungan modern itu sendiri

(16)

selalu berada pada dinamika yang luwes. Hukum perlindungan

lingkungan itu menyebar ke berbagai bidang kebijaksanaan, peraturan

perundang-undangan baik di bidang pengelolaan lingkungan hidup

maupun di luar peraturan pokok lingkungan hidup, seperti

Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Perkebunan yang sudah berorientasi

untuk menjaga perlindungan akan lingkungan hidup yang sehat, seimbang

dan lestari, hukum agraria, hukum bangunan dan bekerja bagian khusus

dalam hukum pemerintahan, seperti hukum perumahan rakyat dan hukum

kehutanan.

Di dalam revitaliasi perkebunan, kendala yang dihadapi Indonesia

setiap tahunnya adalah adanya pembakaran hutan yang dipersiapkan

sebagai lahan perkebunan, atau persiapan lahan perkebunan dalam rangka

penanaman kembali lahan perkebunan tersebut dengan cara pembakaran

yang dilakukan para pelaku usaha perkebunan.

Hutan Indonesia sebenarnya termasuk lahan basah yang sebenarnya

kecil kemungkinan terjadinya kebakaran dengan sendirinya atau

disebabkan oleh karena faktor alam, tapi fakta di lapangan yang terlihat

adalah : bahwa hutan yang terbakar adalah kawasan perkebunan yang

dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu cara dalam

(17)

pemicu kebakaran lahan perkebunan tersebut lebih banyak karena faktor

disengaja dimunculkannya api.

Penyebab lain meningkatnya tingkat pembakaran lahan perkebunan

pada masa persiapan dan/atau pengolahan lahan perkebunan

setidak-tidaknya dipengaruhi; oleh adanya pembangunan industri kayu

monokultur yang tidak dibarengi adanya pembangunan hutan tanaman

sebagai bahan baku industrinya; dan besarnya peluang yang diberikan

pemerintah kepada pengusaha Hutan Tanaman Industri (HTI) dan

Pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk melakukan konversi

lahan menjadi perkebunan monokultur dalam skala besar, seperti

Perkebunan Kelapa Sawit dan Perkebunan Kayu HTI; serta penegakan

hukum yang lamban merespon tindakan pembakaran lahan perkebunan.

Pembakaran lahan yang direfleksikan dalam tulisan ini adalah,

pembakaran lahan perkebunan (yang disengaja dan/ataupun karena

kelalaiannya) pada masa persiapan lahan, yaitu : pada waktu membuka

dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran lahan

perkebunan yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi

lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan ancaman

hukuman serta denda pada Pasal 49 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004

tentang Perkebunan.4

4

(18)

Kalimat pembakaran lahan perkebunan pada masa persiapan lahan

seperti : membuka dan atau mengolahnya dengan cara pembakaran yang

mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan fungsi

lingkungan hidup, sifat dan karakteristiknya adalah lebih mengarah ke

tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang juga diatur di dalam

Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu : adanya ancaman pidana bagi

siapa yang melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan

terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.5 Sehingga

timbul permasalahan, yaitu; adanya 2 (dua) undang-undang yang mengatur

1 (satu) tindak pidana yang sama, yaitu : tindak pidana yang berakibat

kepada pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup. Jika terjadi

tindak pidana yang demikian maka undang-undang mana yang harus

diterapkan. Apakah Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang

berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda Rp. 10.000.000.000.- (sepuluh miliar rupiah). Ayat (2) : Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 15.000.000.000.- (lima belas miliar rupiah).

5

Pasal 41 ayat (1) : Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000.- lima ratus juta rupiah); ayat (2) : Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000.- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(19)

Perkebunan atau Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup? Selanjutnya Apakah penyidikannya

masuk wewenang PPNS Perkebunan? Sebab PPNS Perkebunan diberi

wewenang berdasarkan Pasal 45 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)

Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan6 atau penyidikannya

masuk pada wewenang PPNS Lingkungan Hidup, yang juga diberi

wewenang untuk melakukan penyidikan berdasarkan Pasal 40 ayat (1)

dan ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup.7

6

Pasal 45 menyebutkan :

(1) Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perkebunan.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang untuk :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan dengan tindak pidana di bidang perkebunan.

b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang perkebunan.

c. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perkebunan.

d. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan pengembangan perkebunan; e. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkebunan.

f. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perkebunan;

g. membuat dan menandatangani berita acara; dan

h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang perkebunan.

7

Pasal 40 menyebutkan :

(1) Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

(20)

Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas perlu dibahas

guna menciptakan suatu kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana dan

kepastian wewenang bagi PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan

Hidup. Kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana adalah, berdasarkan

undang-undang yang mana yang akan didakwakan kepadanya. Kepastian

wewenang sangat terkait dengan kepastian hukum tadi. Jika jelas dasar

hukum tuntutan pidananya maka jelas pula PPNS yang akan

menyidiknya.

Jika terjadi saling klaim antara PPNS Perkebunan dengan PPNS

Lingkungan Hidup, bahwa pelaku tindak pidana membuka dan/atau

mengolah lahan perkebunan dengan cara pembakaran lahan perkebunan

yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan

hidup harus disidik berdasarkan undang-undang yang menjadi dasar

kewenangannya maka, bagaimana peran penyidik Polri yang mempunyai

fungsi sebagai koordinator dan pengawasan seluruh PPNS dimaksud

dalam mencari jalan keluar terciptanya suatu kepastian hukum dan

kepastian wewenang PPNS tadi? Tentu inilah yang akan dibahas dalam

bab-bab selanjutnya dengan cara mencari dan menemukan sifat dan

karakteristik tindak pidana tersebut, sehingga lebih terkait dan

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup,

(21)

mendekati ke peraturan perundang-undangan mana penyelesaiannya,

terkait dalam penyelesaiannya maka juga akan dianalisis wewenang

masing-masing PPNS tersebut, maka ditemukanlah solusi kepastian

wewenang tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,

dapat dirumuskan pokok masalah yang selanjutnya akan dibahas dalam

tulisan ini pada bab selanjutnya.

Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Tindak pidana apa saja yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup di

lahan Perkebunan?

2. PPNS mana yang berwenang sebagai penyidik tindak pidana

lingkungan hidup di lahan perkebunan?

3. Bagaimana Peran penyidik Polri dalam menetapkan PPNS sebagai

penyidik tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka, yang menjadi

tujuan penulisan tesis ini, adalah :

1. Untuk mengetahui tindak pidana yang berkaitan dengan lingkungan

(22)

2. Untuk mengetahui PPNS mana yang berwenang sebagai penyidik

tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan.

3. Untuk mengetahui bagaimana peran penyidik Polri dalam menetapkan

PPNS sebagai penyidik tindak pidana lingkungan hidup di lahan

perkebunan.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan dalam

menganalisa tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang

Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang

terdapat pada lahan perkebunan sebagaimana yang diatur dalam

Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, setelah itu baru

ditentukan berdasarkan wewenang PPNS mana sebagai penyidiknya, baik

secara praktis maupun secara teoritis, yaitu :

1. Menjadi bahan masukan bagi PPNS Lingkungan Hidup, PPNS

Perkebunan dalam menangani perkara Tindak Pidana Lingkungan

Hidup pada lahan perkebunan, agar tidak terjadi rebutan/sengketa

kewenangan dan menjadi kerangka acuan bagi kedua PPNS dalam

menjalankan/melaksanakan tugasnya sesuai dengan dasar

kewenangannya masing-masing. Disamping itu, menjadi bahan

masukan bagi Penyidik Polri dalam perannya menetapkan PPNS,

karena kewenangannya sebagai Koordinator dan Pengawas seluruh

(23)

2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk

penelitian lebih selanjutnya terhadap kewenangan kedua PPNS ini

dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang

terjadi pada lahan perkebunan. Disamping itu, dan juga memberi

masukan dan kontribusi positif bagi perkembangan dan pengayaan

ilmu hukum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti,

diketahui bahwa penelitian dengan judul “Analisis Kewenangan Penyidik

Pegawai Negeri Sipil Perkebunan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Lingkungan Hidup Dalam Melakukan Penyidikan Tindak Pidana

Lingkungan Hidup Pada Lahan Perkebunan” belum pernah dilakukan

pada pernasalahan pendekatan yang sama, walaupun penelitian tentang

PPNS di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) yang

membahas tentang peranan PPNS dalam melakukan penyidikan ada di

teliti, namun pada konteks bidang lain, untuk yang membahas tentang

judul diatas belum pernah dilakukan, termasuk juga permasalahan dan

pendekatan yang dilakukan juga berbeda. Jadi Penelitian ini adalah asli

dan belum pernah ditulis dan diteliti oleh peneliti lain sebelumnya,

dan keaslian tulisan ini secara akademis keilmuan dapat

(24)

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Sebagai konsekwensi pemilihan ke-3 (tiga) topik permasalahan

yang disebutkan diatas maka, tipe penelitian yang dilakukan adalah

Yuridis Normatif, yakni penelitian yang memfokuskan pada kajian

kepada kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif dengan

pertimbangan bahwa titik tolak analisisnya terhadap paraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan PPNS

Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup. Namun disamping itu juga,

kajian lain turut diikutsertakan, seperti; penelitian kepustakaan untuk

membantu memperdalam pengkajian hukum normatifnya adalah

sangat membantu dalam mencari solusi pemecahan masalahnya;

Penelitian bersifat deskriptif analisis terhadap norma-norma atau

kaidah-kaidah artinya, penelitian ini menggambarkan suatu keadaan

normatif peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar

kewenangan masing-masing PPNS dihadapkan kepada permasalahan

yang dikemukakan dengan tujuan adalah untuk memberi pembatasan

terhadap kerangka studi atas suatu analisis/klasifikasi tanpa ada

maksud dan tujuan lainnya, yaitu untuk menguji hipotesa-hipotesa

(25)

Jadi, dengan permasalahan dikemukakan di atas maka,

penelitian yuridis normatif ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh

Johnny Ibrahim, yaitu bahwa;

“Penelitian Normatif adalah untuk menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan norma-norma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai bahan hukum maupun yang dicari sebagai bahan kajian guna memecahkan problem hukum faktual yang dihadapi masyarakat, maka tidak ada jalan lain berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu praktis normologis dan mengandalkan penelitian hukum normative.”8

dan ini sesuai dengan pendapat Surjono Soekanto dan

Sri Mamudji; yang menyebutkan bahwa;

“dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas dapat dilakukan (terutama) terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan-bahan penelitian tersebut mengandung kaidah-kaidah hukum. Sebab, tidak setiap pasal dalam suatu perundang-undangan misalnya mengandung kaidah hukum, ada pasal-pasal yang hanya merupakan batasan saja sebagaimana lazimnya ditemukan pada bab-bab ketentuan umum dari perundang-undangan tersebut.” 9

2. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah diambil

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier.

8

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. ke-2, (Surabaya, (Bayu Media Publishing, 2006), hlm. 73.

9

(26)

2.1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah : bahan hukum yang diurutkan

berdasarkan hirearki yang terdiri dari atas Undang-Undang Dasar

1945, Tap MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan

peraturan lainnya di bawah Undanga-undang

2.2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari

hasil pengkajian dari buku-buku, teks, literatur, karya tulis

ilmiah, yang berkaitan dalam mendukung pemecahan masalah.

2.3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang dapat memberi

petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, tulisan dan lain-lain

yang dapat menunjang dan sekaligus digunakan sebagai bahan

tambahan informasi dalam penelitian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian

(27)

dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun

data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan, yaitu :

pengumpulan data primer berupa peraturan perundang-undangan yang

gunanya adalah sebagai bahan hukum yang mengikat dari sudut acuan

dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan, data

sekunder berupa buku-buku teks, literatur, karya tulis ilmiah yang

gunanya adalah untuk memberi penjelasan terhadap bahan hukum

primer yaitu berupa hasil penelitian karya ilmiah dari kalangan hukum

yang dianggap relevan dengan penelitian ini dan data tersier seperti

kamus, tulisan dan lain-lain yang gunanya adalah memberi petunjuk

dan penjelasan lebih lanjut tentang bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder.

4. Analisa Data

Analisa data merupakan suatu proses atau langkah-langkah dalam

pengorganisasian dan mengurutkan bahan hukum yang dikumpulkan

pada suatu pola kategori dan satuan untuk menjawab permasalahan

yang telah dirumuskan di atas. Jadi bahan hukum yang

diperoleh dari kepustakaan, bahan hukum primer seperti peraturan

perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku teks,

literatur, karya tulis ilmiah, dan bahan hukum tersier seperti kamus,

(28)

sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna

membahas dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yang

menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum

terhadap permasalahn konkrit yang dihadapi. Dengan demikian

kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan

dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.

G. Landasan Teori

Didalam setiap pembangunan yang bahan bakunya berasal dari

pengelolaan sumber daya alam maka, kebijakan pemerintah adalah selalu

mempertahankan fungsi lingkungan hidup dengan melakukan

Perlindungan Lingkungan Hidup yang berkelanjutan.

Menurut Alvi Syahrin: bahwa:

“Perlindungan Lingkungan Hidup mempunyai arti penting bagi pembangunan jangka panjang dan kemakmuran rakyat, sehingga penyediaan,penggunaan dan peningkatan kemampuan lingkungan hidup perlu mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah dalam mewujudkan kemakmuran rakyat, berkewajiban melakukan upaya pencegahan maupun pembaharuan kemampuan lingkungan hidup, bekerja sama dengan negara lain dalam perlindungan lingkungan hidup dunia, mempertimbangkan pentingnya perlindungan lingkungan hidup dalam memutuskan segala permasalahan ekonomi dan sosial, serta melindungi warisan generasi yang akan datang. Perlindungan lingkungan hidup merupakan bagian dari proses pembangunan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.”10

10

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman

(29)

Jadi pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap

lingkungan hidup dapat dilakukan lewat penataan kebijaksanaan dan

peraturan perundang-undangan guna mewujudkan pembangunan jangka

panjang yang dapat meningkatkan kemampuan lingkungan hidup.

Peningkatan kemampuan lingkungan hidup ini juga diwujudkan dengan

adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini menjadi suatu hal yang

harus diwujudkan guna peningkatan kemampuan lingkungan hidup, oleh

karenanya peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup

haruslah diwujudkan lewat hukum positif yang memuat norma-norma

berperilaku bagi pelaku usaha perkebunan.

Hukum posistf yang memuat tentang tindak pidana lingkungan

hidup di lahan perkebunan mengalami dualisme antara undang-undang

perkebunan dan UUPLH. Harusnya UU Perkebunan hanya mengatur

masalah perkebunan saja, sebab masalah lingkungan hidup telah diatur

dalam UUPLH.

Menurut Hans Kelsen, mengatakan ;

Teori hukum murni adalah teori hukum positif, yang berupaya membatsi dirinya atas penertian hukum pada bidang-bidang lain dan hendaknya menghindari pencampuranadukan dengan berbagai displin ilmu lainnya, yang dapat mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan padanya oleh sifat pokok bahasannya.11

11

(30)

Sedangkan pengertian hukum positif terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia yang disebut norma hukum12

Sedangkan maksud norma adalah sesuatu yang harus ada dan yang harus terjadi khsusunya bagaimana manusia harus berperilaku dengan cara tertentu.13

Pengertian kewenangan didalam pasal 45 ayat (2) Undang-undang

Perkebunan dan pasal 40 ayat (2) undang-undang Pengelolaan

Lingkungan Hidup tidaklah secara tegas disebutkan, namun secara umum

dapat dikatakan bahwa pengertian wewenang PPNS Perkebunan dan

PPNS Lingkungan Hidup dapat dilihat dari apa yang dilakukan dalam

tahapan-tahapan kegiatan penyidikannya yaitu; memeriksa kebenaran

laporan, memeriksa orang/pelaku tindak pidana,meminta keterangan dan

barang bukti, melakukan pemeriksaan administrasi dan tempat kejadian

perkara, melakukan penyitaan,meminta keterangan ahli, meminta

keterangan ahli, membuat Berita Acara seluruh rangkaian penyidikan dan

menghentikan penyidikan.

Jadi, arti wewenang adalah sebuah tindakan rangkaian penyidikan

yang didasarkan atas undang-undang untuk melakukan penyidikan atas

suatu tindak pidana lingkungan hidup yang khusus terjadi hanya dilahan

perkebunan.

12

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dan Negara, (Jakarta, Bee Media Indonesia, 2007), hlm. 142-143.

13

(31)

Dasar wewenang ini diberikan secara khusus juga oleh Pasal 7

ayat (2) KUHAP dengan sebutan kewenangan khusus melakukan tugas

penyidikan atas dasar undang-undang sebagai dasar kwewenangannya.

Jadi wewenang khusus itu hanya diberi oleh undang-undang dalam

melakukan rangkaian penyidikan.

Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup adalah undang-undang yang harus menjadi acuan,

walaupun tidak secara tegas disebutkan oleh undang-undang dimaksud,

tapi secara umum diakui sebagai undang-undang yang menjadi acuan pokok.

Artinya seluruh undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup

maka harus mempedomani Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup, tak terkecuali dengan Undang-undang

Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan tetap mempedomani

undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini.

Permasalahannya disini adalah, bahwa adanya diatur tindak pidana

yang berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup terutama Pasal 26

Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, dimana tindak

pidana membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara

pembakaran sehingga mengakibatkan pencemaran dan kerusakan fungsi

lingkungan hidup terjadi di lahan perkebunan, sehingga menimbulkan

penafsiran dan menjadi perdebatan, apakah tindak pidana ini masuk

(32)

Sementara itu setiap tindak pidana yang berakibat terjadinya pencemaran

dan kerusakan fungsi lingkungan hidup maka dapat dikenakan ancaman

pidana berdasarkan Pasal 41 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lalu peraturan

perundang-undangan mana yang harus digunakan sebagai dasar melakukan tuntutan

terhadap tindak pidana yang sama? Sebab adanya 2 (dua) peraturan

perundang-undangan yang bebrbeda mengatur 1 (satu) tindak pidana yang

sama?

Untuk menjawab persoalan ini maka, landasan teori yang

dipergunakan adalah dengan memperhatikan pasal 1 ayat (2) Kitab

Undang-undang Hukum Pidana14 yang menyebutkan adanya perlakuan

khusus bagi tindak pidana yang bersifat khusus, yaitu; dengan

menggunakan;

Asas ”Lex specialist derogat lex generale”, yaitu; asas yang mengemukakan bahwa; undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum. Maksud dari asas ini adalah; bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.15

14

Pasal 1 ayat 2 (dua) menyebutkan; Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Pasal 1 ayat 2 (dua) menyebutkan; Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.

15

(33)

Lalu menjadi PPNS mana yang berwenang dalam menyidik perkara

tindak pidana lingkungan hidup ini?

Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, bahwa ;

“tindak pidana di bidang lingkungan hidup menyangkut aspek yang bersifat sangat teknis, sehingga memerlukan keahlian tertentu untuk melakukan penyidikan, yang sukar diharapkan dari para penyidik pejabat Polri”16

Dari pendapat beliau ini dapat digariskan bahwa tindak pidana

lingkungan hidup ini karena sifatnya sangatlah teknis maka,

Penyidiknyapun haruslah yang berasal dari lembaga teknis dimaksud,

yaitu PPNS Lingkungan Hidup. Sebab kalau diteliti lebih lanjut bahwa

dasar pengajuan tuntutannya haruslah menggunakan Undang-undang

Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana

PPNS Lingkungan Hidup mempunyai dasar kewenangan menurut

undang-undang ini.

Didalam pelaksanaan kewenangan masing-masing PPNS

Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup maka, masing-masing PPNS ini

mempunyai dasar kewenangannya dalam melakukan penyidikan. PPNS

Perkebunan mempunyai kewenangan khusus berdasarkan Pasal 45 ayat (1)

Undang-undang Nomor 18 tahun 2004, sedangkan PPNS Lingkungan

Hidup mempunyai kewenangannya berdasarkan Pasal 40

Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

16

(34)

Yang menjadi dasar awal diperbolehkannya Pegawai Negeri Sipil

(PNS) sebagai penyidik adalah didalam Undang-undang No. 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lazim disebut Kitab

undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP) Pasal 6 ayat (2) b dan

Pasal 7 ayat ( 2 ), dimana berdasarkan pasal ini merupakan dasar hukum

diberikannya wewenang khusus terhadap PPNS untuk melakukan

penyidikan di bidang tindak pidana khusus dan sekaligus diberi

wewenang sesuai undang-undang yang menjadi dasar hukumnya untuk

melakukan tugasnya di bawah koordinasi dan pengawasan POLRI.17

Sebutan wewenang khusus pada PPNS mempunyai arti bahwa PPNS hanya

mempunyai wewenang terbatas hanya pada undang-undang itu saja yang

artinya PPNS dalam melakukan penyidikan tidak boleh menggunakan

dasar tuntutannya di luar undang-undang yang menjadi dasar

penuntutannya. Dalam melakukan penyidikan maka PPNS dimaksud

adalah seorang penyidik pada sebuah Departemen yang diangkat oleh

Menteri atau Kepala pada sebuah lembaga vertikal (Nasional) atau

diusulkan dan diangkat oleh instansi yang berwenang atas

rekomendasi/pertimbangan tidak keberatan dari Kepala Kepolisian

Republik Indonesia dan Jaksa Agung.

17

UU No. 8 tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana Pasal 6 ayat (1) mengatakan penyidik adalah :

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

b. Pejabat pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

(35)

Di dalam istilah sebutan, maka, ada 2 (dua) sebutan terhadap

PPNS ini, yaitu; pertama; PPNS Nasional (pusat), dan kedua; PPNS

Daerah. PPNS Nasional (pusat) lahir dari undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang KUHAP khususnya dalam Pasal 6 ayat (1) b dan

oleh karenanya lahirlah PPNS Perkebunan yang dasar kewenangnnya

lahir atas dasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang

Perkebunan kemudian PPNS Lingkungan Hidup lahir atas dasar

kewenangannya dari Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sementara itu PPNS Daerah lahir dari

undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah yang menyebutkankan bahwa penyidikan terhadap penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah dilakukan oleh PPNS Daerah dan dipertegas lagi

dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah Pasal 149 ayat (2) yang menyatakan bahwa : Penyidikan dan

penuntutan terhadap penyelenggaraan atas ketentuan Perda dilakukan

oleh penyidik dan pemutusan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.18

Dalam hal menjalankan kewenangan masing-masing PPNS ini

maka, atas dasar masing-masing undang-undang yang menjadi dasar

kewenangan PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup itu, maka

18

Biro Humas Sekretariat Jenderal Departemen Dalam Negeri, Pembinaan dan Pemberdayaan

(36)

secara umum, kewenangan PPNS Perkebunan, PPNS Lingkungan Hidup,

PPNS Daerah, bahkan PPNS lainnya adalah sama, hanya bidang tugasnya

yang berbeda, kalau profil bentuk wewenangnya adalah serupa, bahkan

bagi seluruh PPNS diharuskan melakukan koordinasi dengan Penyidik

Polri, karena Penyidik Polri yang fungsinya sebagai koordinator dan

fungsi pengawasan bahkan sampai pada fungsi pembinaan teknis terhadap

seluruh PPNS (tugas ini diemban oleh bagian reserse).

Adapun secara umum kewenangannya adalah sebagai berikut :

1. Melakukan tindakan upaya paksa, seperti :

a. penangkapan

b. penahanan

c. penggeledahan

d. pemeriksaan surat

2. Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas semua tindakan,

seperti :

a. BAP pemeriksaan tersangka

b. BAP penangkapan

c. BAP penahanan

d. BAP penggeledahan

(37)

f. BAP pemeriksaan surat

g. BAP pemasukan rumah

h. BAP pemeriksaan saksi

i. BAP pemeriksaan tempat kejadian (PTK)

j. BAP pemeriksaan lain-lainnya sesuai KUHAP

k. BAP pelaksanaan lain-lain sesuai dengan KUHAP

Apabila dalam proses penyidikan ternyata tidak cukup bukti sesuai

dengan kewenangannya pada poin 1 di atas tadi maka, kedua PPNS tersebut

harus menghentikan proses penyidikan dengan pemberitahuan kepada

Kejaksaan melalui penyidik Polri. Selanjutnya apabila proses penyidikan

berlanjut dan bentuk tindakan upaya paksa dilakukan oleh PPNS

Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup maka upaya paksa itu

dilakukan harus dalam bentuk ”koordinasi dengan polisi”.19

Di dalam usaha mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga suatu tindak pidana lingkungan hidup, apakah PPNS

Lingkungan Hidup dan PPNS Perkebunan mempunyai wewenang untuk

melakukan penyelidikan? Sebab sesuai dengan perkembangan tindak

pidananya maka, Penyelidikan bisa merupakan bahagian dari penyidikan.

19

(38)

Menurut pendapat Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Kewenangan PPNS

berdasarkan UU No, 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang dipimpin Oleh

Bapak Edi Warman, mengatakan bahwa;

”di dalam KUHAP tidak tegas disebutkan sebab KUHAP tidak mengatur hal itu, tetapi KUHAP juga tidak secara tegas melarang PPNS untuk melakukan penyelidikan”.20

Memang di dalam Pasal 1 angka 4, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1)

KUHAP menyebutkan bahwa penyelidik itu adalah Polri,21 sedangkan

undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dan

Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

tidak menyebutkan apakah PPNS perkebunan dan PPNS Lingkungan

Hidup berwenang melakukan penyelidikan.

Tindak pidana pembakaran lahan yang dilakukan oleh pelaku usaha

perkebunan sudah barang tentu banyak yang dilakukan secara disengaja,

atau paling tidak, dilakukan karena adanya unsur kelalaian. Pembakaran

lahan perkebunan oleh pelaku usaha perkebunan pada waktu membuka

dan/atau mengolah lahan perkebunan biasanya dilakukan untuk

20

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum

Kewenangan PPNS Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, (Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004), hlm. 74.

21

Pasal 1 ayat (4); Penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diberi undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Pasal 4; Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia

(39)

menghemat biaya dan waktu, namun rata-rata pihak pelaku usaha

perkebunan tidak ada yang mau mengaku telah melakukan pembakaran

pada lahan perkebunannya.

Lahan perkebunan yang diperoleh baik dari konversi hutan,

biasanya rata-rata mempunyai tingkat kepadatan serasah yang banyak dan

oksigen yang cukup dan rata-rata hutan basah, sehingga sangat sulit

kemungkinannya untuk terbakar sendiri, atau karena faktor alam.

Ada beberapa penyebab kebakaran ini terjadi, baik itu kebakaran

hutan maupun kebakaran lahan. Menurut Departemen Kehutanan dan

Perkebunan, bahwa;

“kerusakan hutan yang diakibatkan kesengajaan misalnya baik itu karena persiapan persiapan perubahan lahan perkebunan adalah sangat tinggi. Bahkan sumber api dan atau penyebab kebakaran hutan itu terjadi karena ada 3 unsur yaitu : panas, bahan bakar dan oksigen berbaur. Jika salah satu ke-3 unsur ini tidak ada maka kebakaran hutan itu tidak akan terjadi. Karena oksigen terdapat hampir merata di semua wilayah, maka yang diterangkan disini hanyalah unsur panas dan bahan bakar.

a. Panas

(40)

kebakaran hutan berasal dari manusia, sedangkan selebihnya berasal dari alam.

1).Sumber api yang berasal dari manusia digolongkan menjadi : a. Yang dinyalakan secara sengaja, dalam kaitannya dengan

perladangan, penggembalaan ternak, perburuan binatang liar, persiapan penanaman (perkebunan, kehutanan), tindakan iseng (untuk kesenangan), balas dendam terhadap petugas kehutanan, mengalihkan perhatian petugas (untuk dapat mencuri hasil hutan ditempat lain), pembuatan api unggun, dan lain-lain.. Api yang berasal dari kebakaran ladang, di Sumatera Utara, memberikan andil 54% terhadap terjadinya kebakaran hutan. Angka tersebut nampaknya berlaku di daerah lain untuk Pulau Jawa. Perlu dicatat bahwa penggunaan api untuk perladangan, perkebunan, kehutanan dan lain lain tak terhindarkan dan tak harus mengakibatkan kebakaran hutan, asal terkendali.

b. Yang tak disengaja, seperti api dari kereta api, pekerja hutan, pengunjung objek wisata hutan, obor, puntung rokok, perkemahan, dapur arang, dan lain-lain.

2).Faktor alam, misalnya api yang timbul karena terjadinya petir, meletusnya gunung berapi dan api abadi.

b. Bahan Bakar

Bahan bakar merupakan faktor yamg paling dominan sebagai penyebab kebakaran hutan.

(41)

bulan, juga menimbulkan asap tebal yang sangat mengganggu kegiatan hidup manusia.”22

Terkait dengan peran Polri dalam mengeluarkan keputusan dalam

menetapkan PPNS jika terjadi saling klaim antara PPNS Perkebunan

dan PPNS Lingkungan Hidup jika terjadi tindak pidana dibidang

lingkungan hidup pada lahan perkebunan maka, Polri dapat menetapkan

PPNS berdasarkan kewenangan yang dimilikinya sebagai Koordinator

dan Pengawas keseluruhan PPNS, yaitu; di dalam Pasal 7 ayat (2)

Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau

lazim disebut Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Hal ini sangat berguna dalam rangka memenuhi asas dalam KUHAP itu

sendiri, yaitu; asas peradilan cepat. Sebab apabila dibiarkan

masing-masing PPNS ini saling klaim kewenangan akan menimbulkan

terhambatnya proses penyidikan terhadap si pelaku tindak pidana

tersebut.

22

(42)

BAB II

T I N D A K P I D A N A Y A N G B E R K A I T A N D E N G A N

LINGKUNGAN HIDUP PADA LAHAN PERKEBUNAN

A. Tindak Pidana Pada Lahan Perkebunan

Di dalam Undang-Undang tentang Perkebunan, ada disebutkan

bermacam beberapa tindak pidana yang dapat dilakukan penyidikan

terhadap pelaku tindak pidana oleh Undang-Undang ini, wewenang

penyidikannya adalah oleh PPNS yang lingkup tugas dan tanggung

jawabnya berada di bidang perkebunan, dalam hal ini yang tersedia

adalah PPNS Perkebunan, yang sekarang berada pada Direktorat Jenderal

Perkebunan – Departemen Pertanian.

Tindak pidana yang disebutkan dalam Undang-Undang tentang

perkebunan ini ada yang berkaitan murni tentang perkebunan itu sendiri

dan juga berkaitan dengan Lingkungan Hidup. Namun dalam tulisan ini

akan disebutkan secara keseluruhan dari apa yang disebutkan sebagai

tindak pidana, baik itu tindak pidana tentang perkebunan itu sendiri

maupun tindak pidana yang berkaitan langsung dengan tindak pidana

(43)

Adapun yang disebutkan sebagai perbuatan tindak pidana oleh

Undang-undang tentang Perkebunan ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan

tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan

dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin.

2. Melanggar ketentuan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau

aset lainnya, menggunakan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau

tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha

perkebunan.

3. Membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara

pembakaran yang berakibat pada terjadinya pencemaran dan

perusakan Fungsi Lingkungan Hidup.

4. Melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil

perkebunan yang melanggar larangan berupa :

a. Pemalsuan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan;

b. Menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan

hasil perkebunan;

c. Mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain yang

(44)

fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak

sehat.

5. Mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen.

6. Menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari penjarahan

dan/atau pencurian.

Dari ke-6 (enam) tindak pidana ini, oleh Undang-undang tentang

Perkebunan menjadi satu kesatuan pengaturan, karena mengatur mulai dari

Pembukaan Lahan, Mengolah Lahan, Budi Daya Tanaman Perkebunan,

Mengolah Hasil Perkebunan sampai dengan Peredaran dan Pemasarannya

dan mengatur pada persoalan Lingkungan Hidup.

Berikut akan dijelaskan secara sekilas ke-6 (enam) tindak pidana

yang oleh Undang-undang Perkebunan ini dimasukkan dalam beberapa

pasal-pasal, yaitu :

1. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan

tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan

dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin

Di dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 tahun

2004 tentang Perkebunan23 dijelaskan bahwa dilarang untuk

23

(45)

melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan

tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan

dengan kapasitas tertentu tanpa memiliki izin. Melakukan suatu usaha

budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau

usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu

tanpa memiliki izin. Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang

Perkebunan.

Yang menjadi unsur-unsur tindak pidana menurut Pasal 46

ayat (1) ini adalah :

2. Setiap orang.

3. Dengan sengaja.

4. a. Melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan

tertentu

b. Melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan

kapasitas tertentu

5. Dengan tidak memiliki izin usaha perkebunan.

Di dalam poin ini, disebutkan ada 2 (dua) jenis perbuatan yang

menjadi tindak pidana yang berkaitan dengan izin, baik yang

(46)

dilakukan secara sengaja maupun akibat kelalaiannya, juga yang

dilakukan oleh orang-perorangan ataupun suatu Badan Hukum, yaitu :

1. Melakukan suatu usaha budi daya tanaman perkebunan;

2. Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas

tertentu; dimana kedua jenis tindak pidana ini dilakukan secara

sengaja maupun karena kelalaiannya yang dilakukan dengan tidak

memiliki izin usaha perkebunan.

Kedua perbuatan tindak pidana ini adalah untuk memenuhi

pelarangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)

dalam undang-undang ini, yaitu bahwa : setiap pelaku usaha

perkebunan baik itu usaha budi daya tanaman perkebunan dan/atau

usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas pabrik

tertentu harus memiliki izin terlebih dahulu, jika tanpa izin adalah

dianggap illegal.24 Jadi, dengan melakukan Kegiatan suatu usaha budi

daya tanaman perkebunan pada luasan tanah tertentu atau hanya

melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan

kapasitas tertentu; tanpa memiliki izin usaha perkebunan saja sudah

dapat memenuhi unsur sebagai perbuatan tindak pidana, tanpa harus

24

(47)

melakukan kedua jenis tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 49 ayat (1) dan (2).

Jenis usaha budi daya tanaman perkebunan itu adalah serangkaian

kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan, tanaman, pemanenan dan

sortasi (penyeleksian), sedangkan jenis usaha industri pengolahan hasil

perkebunan itu adalah merupakan serangkaian kegiatan pengolahan yang

bahan baku utamanya adalah hasil dari budi daya tanaman perkebunan

tadi dan/atau yang dibeli dari hasil perkebunan lainnya di luar areal

perkebunannya. Misalnya dibeli dari pekebun atau perusahaan

perkebunan lainnya, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 15

Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.25

Izin Usaha Perkebunan ini sangat besar tujuan dan manfaatnya bagi

pemerintah atau masyarakat, guna mengendalikan dan memasukkan

persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat menolong masyarakat dan

pemerintah, seperti; persyaratan tentang Lingkungan Hidup dengan tujuan

untuk mengamankan dan melestarikan fungsi lingkungan hidup;

25

(48)

persyaratan adanya pengenaan pajak bagi negara dengan tujuan untuk

biaya pembangunan, membuka lapangan pekerjaan dengan tujuan

mensejahterakan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh

Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menginginkan agar seluruh

masyarakat mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak;

meningkatkan devisa, pembatasan kepemilikan tanah dan melarang untuk

mengalihfungsikan tanah perkebunan, dan lain-lain.26 Sehingga

tercapailah apa yang dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor

18 tahun 2004 tentang Perkebunan tadi.

Manfaat untuk pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah, dengan

adanya kewajiban bagi setiap pelaku usaha perkebunan untuk memelihara

kelestarian fungsi lingkungan hidup dan melakukan pencegahan

kerusakannya. Dan yang lebih penting adalah adanya kewajiban membuat

Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) sebelum

dimulainya usaha perkebunan atau sebelum izin diperoleh maka pelaku

usaha perkebunan harus lebih dahulu membuat Amdal pada lokasi

kegiatan usaha perkebunan dimaksud atau upaya pengelolaan lingkungan

26

Pasal 3; Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan : a. meningkatkan pendapatan masyarakat;

b. meningkatkan penerimaan negara; c. meningkatkan penerimaan devisa negara; d. menyediakan lapangan pekerjaan;

e. meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing;

(49)

hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup bagi yang hanya memiliki

luasan tertentu, sehingga kepada pelaku usaha perkebunan hanya diberi

kewajiban ini. Hal ini untuk memenuhi persyaratan izin sebagaimana yang

disyaratkan dalam Pasal 25 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang

Perkebunan.27

Disamping itu adalah untuk melarang pelaku usaha perkebunan

untuk mengalihfungsikan lahan perkebunan untuk peruntukan lainnya di

luar sektor perkebunan sesuai dengan izin yang dimilikinya, sehingga

terjadi pengurangan luasan minimum lahan perkebunan.28 Misalnya lahan

perkebunan digunakan untuk pembangunan perumahan yang dijual ke

masyarakat.

27

Pasal 25, menyebutkan :

(1) Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.

(2) Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan perkebunan wajib :

a. Membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pemantauan lingkungan hidup. b. Memiliki analisis dan manajemen resiko bagi yang menggunakan hasil rekayasa genetik;

c. Membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengolahan lahan

(3) Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah dan menanggulangi kerusakannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah memperoleh izin usaha perkebunan wajib menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup dan/atau analisis dan manajemen resiko lingkungan hidup serta memantau penerapannya.

(4) Setiap perusahaan perkebunan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditolak permohonan izin usahanya.

(5) Setiap perusahaan perkebunan yang telah memperoleh izin usaha perkebunan tetapi tidak menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dicabut izin usahanya.

28

(50)

Dari persyaratan-persyaratan izin yang harus dipenuhi oleh

pelaku usaha perkebunan akan menjadikan pemerintah sebagai

pengendali dan yang bertanggung jawab lewat kebijakannya untuk

mempertahankan suatu ekosistem yang baik dan bermanfaat bagi

lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.

2. Melanggar ketentuan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau

aset lainnya, menggunakan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau

tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan,29 maka

untuk dapat memenuhi unsur-unsur sebagai tindak pidananya adalah

sebagai berikut :

1. Setiap orang;

2. Dengan sengaja melanggar larangan;

a. Melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau

aset lainnya

29

(51)

b. Penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya

yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha

perkebunan berdasarkan penjelasan Pasal 21 Undang-undang Nomor 18

tentang Perkebunan antara lain; tindakan yang menganggu pekerja,

sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun

sebagaimanan mestinya.

Menurut poin 2 huruf a ini, perbuatan tindak pidana dengan

melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau

aset lainnya masih dapat dibagi 2 (dua) yaitu; pertama; melakukan

tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun, yang mengakibatkan

terganggunya usaha perkebunan.

kedua; melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan aset

lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Yang dimaksud dengan aset lainnya disini adalah : yang

berhubungan baik langsung ataupun tidak langsung dengan kegiatan

usaha perkebunan, misalnya pagar pembatas, traktor, gedung dan lain-lain.

Di dalam unsur-unsur pidana pada poin 2 huruf b, maka

penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya

masih ada 2 (dua) alternatif, yaitu, pertama; Penggunaan lahan

(52)

perkebunan dan kedua; tindakan lainnya tanpa izin yang

mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

Tindak pidana melangar larangan yang berakibat rusaknya

kebun dan/atau assetnya, dan tindak pidana penggunaan lahan

perkebunan (yang telah memperoleh izin) tanpa seizin pemilik usaha

perkebunan sehingga mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.,

baik yang dilakukan secara sengaja dan/ataupun karena kelalaiannya

yang berakibat rusaknya kebun dan/atau assetnya adalah suatu

perbuatan tindak pidana yang dilakukan sipelaku tindak pidana yang

berakibat terjadinya suatu kerusakan pada suatu rangkaian kegiatan

usaha perkebunan, baik itu berakibat pada kerusakan sistem produksi,

kerusakan pada hamparan lahan perkebunan, kerusakan pada sarana

dan prasarana perkebunan, kerusakan pada sistem pengendali

lingkungan, kerusakan pada budi daya tanaman perkebunan, kerusakan

pada asset perkebunan, jadi harus terpenuhi unsur berakibat terjadinya

kerusakan kebun dan atau asset lainnya. Jika suatu tindakan itu tidak

berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, maka

tindakan si pelaku tidak memenuhi unsur sebagaimana maksud pasal

ini. Jika perbuatan dimaksud secara sengaja dilakukan sehingga

berakibat pada terjadinya kerusakan kebun dan/atau asset lainnya

maka ancaman hukuman maksimal adalah 5 (lima) tahun penjara

dengan denda maksimal Rp. 5.000.000.000.- (lima miliar rupiah).

(53)

sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat 2 (dua), ancaman hukuman

maksimal adalah 2 (dua) tahun dengan denda maksimal Rp.

2.500.000.000.- (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Unsur perbuatan tindak pidana; penggunaan lahan perkebunan

tanpa seizin pemilik usaha perkebunan dan/atau tindakan lainnya

sehingga mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Di dalam

perbuatan tindak pidana ini maka harus ada unsur; adanya tindakan

penggunaan lahan tanpa seizin pelaku usaha perkebunan dan

terganggunya usaha perkebunan. Jadi kedua unsur ini harus terpenuhi.

Tindakan menggunakan lahan tanpa izin namun tidak berakibat

terganggunya usaha perkebunan, maka ketentuan pasal ini tidak dapat

dikenakan kepada si pelaku. Sebab harus ada dulu pembuktian bahwa

benar-benar terjadi gangguan terhadap usaha perkebunannya.

Perbuatan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat

(1) dan ayat (2) ini adalah untuk memenuhi maksud dari Pasal 21

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.30

3. Membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan dengan cara

pembakaran yang berakibat pada terjadinya pencemaran dan

perusakan fungsi lingkungan hidup

Suatu perusahaan yang telah memperoleh izin usaha

perkebunan, lalu melanjutkan kegiatannya untuk membuka lahan dan

30

(54)

atau mengolah lahan dimaksud dengan melakukan pembakaran yang

berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan

hidup menurut Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 18

tahun 2004, maka dalam hal ini harus dipenuhi dulu beberapa unsur

dalam perbuatan tindak pidananya. Unsur-unsur dimaksud adalah :

1. Setiap orang

2. a. Dengan sengaja dan/atau karena kelalaiannya membuka lahan

perkebunan dengan cara pembakaran

b. Dengan sengaja dan/atau karena kelalaiannya mengolah lahan

perkebunan dengan cara pembakaran

3. Mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup

Kriteria pencemaran lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 12

Undang-undang 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup adalah; masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat

energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh

kegiatan manusia sehinga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu

yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai

dengan peruntukannya; sedangkan Perusakan Lingkungan Hidup

adalah : tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak

Referensi

Dokumen terkait

Selain komponen dalam sistem peradilan pidana sebagaimana yang disebutkan , maka perlu ditambahkan lagi satu komponen yang khusus untuk perkara tindak pidana

dalam suatu pasal masih dalam perdebatan, tetapi tidak dapat disangsikan lagi bahwa unsur ini merupakan unsur yang ada atau mutlak dalam suatu tindak pidana agar si

Selain komponen dalam sistem peradilan pidana sebagaimana yang disebutkan , maka perlu ditambahkan lagi satu komponen yang khusus untuk perkara tindak pidana

melakukan tindak pidana pembakaran lahan menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014, pada Pasal 113 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan,

Kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik untuk mengungkap tindak pidana, dapat dilihat kembali dalam Pasal 1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat (1) huruf

Bentuk penggabungan pertama didasarkan pada ketentuan Pasal 74, Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan pada ketentuan Pasal 6

Selain komponen dalam sistem peradilan pidana sebagaimana yang disebutkan , maka perlu ditambahkan lagi satu komponen yang khusus untuk perkara tindak pidana

Penyidikan Lanjutan pada perkara tindak pidana kehutanan dapat dimaknai bahwa apabila Penuntut Umum melakukan penyidikan namun, Penyidik baik kepolisian maupun PPNS belum melengkapi