ii
DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
(STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)
Oleh
Dayat Hadi Jaya
Sulitnya penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup disebabkan oleh banyaknya faktor yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran lingkungan dan lemahnya profesionalitas aparat penegak hukum, serta mahalnya biaya finansial. Permasalahan dalam tesis ini yaitu “Bagaimanakah pelaksanaan tugas dan kewenangan dan faktor apa saja yang menjadi kendala penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa
pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung?”
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua pendekatan, yaitu: Pendekatan Yuridis Normatif berupa studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan. Selanjutnya Pendekatan Yuridis Empiris adalah pendekatan dengan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan.
Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana lingkungan berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung berjalan berdasarkan sesuai ketentuan di dalam KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam pelaksanaannya Penyidik Polri dan PPNS-LH masih harus berkoordinasi untuk saksi ahli dengan instansi pemerintah lain sesuai dengan bidangnya sehingga membutuhkan waktu yang lama dan tidak efisien. Kendala dalam penyidikan tindak pencemaran limbah B3 adalah pengambilan sample limbah dari suatu industri tidak mudah, pembuktian materiil yang tidak sederhana, kurang memadainya pengetahuan dan keterampilan penyidik khususnya tentang lingkungan hidup terkait dengan pencemaran limbah B3, kurang memadainya sarana prasarana seperti laboratorium membuat petugas kesulitan dalam hal penggolongan pencemaran yang telah terjadi.
Hendaknya dibuat petunjuk teknis yang lebih jelas dan tegas terkait dengan tugas dan wewenang penyidikan khususnya terhadap tindak pidana lingkungan antara Penyidik Polri dengan PPNS-LH. Selanjutnya kepada Kepolisian Daerah Lampung hendaknya mengirimkan anggotanya atau penyidik untuk pelatihan dan pendidikan khususnya terkait dengan tindak pidana lingkungan
(STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)
Oleh
Dayat Hadi Jaya
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM
Pada
Program Studi Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP
(STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)
(TESIS)
Oleh
Dayat Hadi Jaya
NPM 1222011052
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
RIWAYAT HIDUP ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 7
D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyidikan, Penyidik, Tugas dan Kewenangannya secara Umum ... 16
B. Tugas dan Fungsi Kepolisian ... 26
C. Wewenang Penyidik Polri... 28
D. Tindak Pidana ... 35
E. Lingkungan Hidup ... 51
F. Tindak Pidana Lingkungan Hidup ... 56
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 62
B. Sumber dan Jenis Data ... 63
C. Penentuan Resonden ... 64
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 64
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam Melakukan
Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berupa Pencemaran
Limbah B3 Di Provinsi Lampung ... 66
B. Faktor yang menjadi Kendala Penyidikan yang dilakukan Penyidik Polri dalam melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup berupa Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung ... 111
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 117
B. Saran ... 118
V
Kerusakan meluas di daratan dan lautan karena
perbuatan tangan manusia
Allah akan mengenakan sebagian siksa akibat dari
tindakan mereka, mestinya mereka sadar tidak
meneruskan dosanya kemudian bertobat
vi
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan untuk:
Ayahanda Hi. Diatma Oesman (Alm) dan Ibunda Hj. Rukmini (Alm).
Isteriku tercinta Drg. Imra Mastuti dan Anak-anakku yang
kubanggakan: Velia Putri Agustia, M. Fajar Ramadhan, dan Zerico
Rifki Ramadhan yang selalu menjadi pelipur hati dan pendorong
se a gatku serta do’a ya u tuk keberhasila ku.
vii
Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 2 September 1965 yang merupakan
anak ke-7 dari 8 bersaudara buah hati pasangan Hi. Diatma Oesman (Alm)
dan Hj. Rukmini (Alm).
Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri Nambah rejo Punggur,
lulus tahun 1978. Sekolah Menengah Pertama Negeri Punggur, lulus tahun
1981. Sekolah Menengah Atas Negeri Kota Gajah, lulus tahun 1984. Pada
tahun 1996 penulis mendapat gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Saburai. Pada tahun 2012 penulis diterima sebagai Mahasiswa
pada Fakultas Hukum Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan
pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut
dikembangkannya berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang
didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut
mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan
lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta
pendanaan. Keterkaitan dan keseluruhan aspek lingkungan telah memberi
konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak
dapat berdiri sendiri, akan tetapi berintegrasi dengan seluruh pelaksanaan
pembangunan.
Kegiatan pembangunan yang makin meningkat sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan hidup yang bertumpu pada pembangunan industri yang diantaranya
memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radio aktif. Disamping menghasilkan
produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses,
antara lain dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), yang
apabila dibuang kedalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan
Berbagai jenis limbah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan merupakan
sumber pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari terjadinya
dampak akibat limbah B3 diperlukan suatu sistem pengelolaan yang terintegrasi
dan berkesinambungan. Upaya pengelolaan limbah B3 tersebut merupakan salah
satu usaha dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup.
Sistem manajemen pengelolaan yang baik perlu diterapkan agar usaha tersebut
dapat berjalan dengan baik pula, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat
berpotensi menghasilkan limbah B3 seperti sektor Industri, rumah sakit dan
pertambangan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memberlakukan peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup sebagai dasar dalam pelaksanaannya.
Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, maka hak, kewajiban dan
kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 oleh setiap orang/badan usaha maupun
organisasi kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh hukum.
Indonesia dengan wilayah negara yang luas tentu memiliki masalah lingkungan
yang kompleks dan perlu mendapat perhatian serius. Terjadinya kerusakan dan
pencemaran lingkungan di Indonesia akan membawa dampak terhadap kehidupan
rakyat Indonesia bahkan juga rakyat negara tetangga kita. Lihatlah bagaimana
Malaysia dan Singapura memprotes pemerintah Indonesia atas asap kebakaran
hutan Indonesia yang datang ke wilayah negara tersebut. Pepohonan di hutan
ditebang tanpa ada upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan
beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau
sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya.
Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah
kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak
hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.
Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.
Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan
bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang
kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.
Masalah pencemaran sungai khususnya oleh industri di Provinsi Lampung
tampaknya merupakan masalah yang seakan tiada akhir. Dari waktu ke waktu,
tahun ke tahun telinga kita seringkali mendengar teriakan penduduk khususnya
yang bermukim disekitar daerah aliran sungai baik Way Seputih, Way
Tulangbawang, Way Pangubuan, dan lain-lain. tentang matinya ikan-ikan di
sungai, di kerambah, keluhan gatal-gatal pada kulit mereka setelah mandi di
sungai, rusaknya daerah pertanian/sawah, dan lain-lain. Konon kabarnya dari
dahulu masyarakat disana hampir tidak pernah mengalami hal seperti itu, namun
semenjak kehadiran beberapa pabrik/industri, baik industri singkong/tapioka,
gula, nanas, Crde Palm Oil (CPO), yang berarti minyak sawit mentah, seringkali
air sungai mereka menjadi keruh dan berbusa dengan warna coklat
kehitam-hitaman, belum lagi aroma bau tidak sedap yang terbawa angin yang biasanya
berasal dari pabrik singkong menerpa pemukiman mereka sudah menjadi santapan
sedikitnya telah terjadi 9 kali kasus pencemaran oleh industri khususnya yang
berada di Lampung Tengah, Tulang Bawang, Lampung Timur, Lampung Selatan
dan Lampung Utara. Jumlah itu barangkali baru yang terungkap dan di ekspose
oleh media, dibalik itu angkanya mungkin jauh lebih besar mengingat banyaknya
jumlah industri yang tersebar di wilayah ini. Menurut sumber Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI) Lampung total jumlah industri di Provinsi Lampung
adalah sebanyak 193 buah yang umumnya adalah berupa Agroindustri, di mana
160 buah merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 33 buah
Penanaman Modal Asing (PMA), baik skala besar, menengah maupun kecil. Dari
jumlah itu sebagian besar merupakan industri singkong/tapioka (33 buah), gula (6
buah), nanas, sawit/CPO, karet, dan yang kesemuanya itu bila pengelolaan
lingkungannya dilakukan secara tidak hati-hati sangat berpotensi dan riskan sekali
menimbulkan pencemaran lingkungan.1
Tragisnya setiap kali terjadi kasus pencemaran selama itu pula yang selalu
menjadi korban adalah rakyat kecil/nelayan yang notabene hidupnya sangat
tergantung dari apa apa yang bisa diberikan oleh sungai. Tragisnya lagi selama itu
pula tidak ada satupun pihak yang merasa bersalah dan bertanggungjawab. Tidak
perusahaan, tidak pemerintah, lantas siapa? Salah satu contoh pencemaraan
lingkungan yang diduga akibat pembuangan limbah dari PT Sungai Mas Agung
Abadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat.2
Problem lingkungan hingga kini terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum
tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan
1
http://panisean.wordpress.com, diakses pada tanggal 26 Oktober 2013
2
demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya
dampak kontraproduktif terhadap lingkungan khususnya akibat perkembangan
dunia industri yang pesat maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup
menjadi mutlak diperlukan. Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk
memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam
kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hukum lingkungan dengan demikian,
mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu mewujudkan
pembangunan berkelanjutan.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai institusi di luar Polri untuk
membantu tugas-tugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 94 ayat (1) mengatur bahwa:
Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
Ketentuan pada Pasal 94 ayat (1) seharusnya memberi batasan secara jelas tentang
pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan sengketa lingkungan hidup,
sehingga tidak menimbulkan sengketa kewenangan diantara Polri dan PPNS. Hal
ini juga bisa dalam penjelasan ketentuan tersebut, dimana dalam penjelasannya di
katakan cukup jelas. Tetapi justru ketentuan yang ada dalam Pasal 94 ayat (1)
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk membahas
permasalahan Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup
yang diberjudul “Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam
Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi
Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, yang menjadi masalah dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik Polri dalam
melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran
limbah B3 di Provinsi Lampung?
b. Faktor apa sajakah yang menjadi kendala penyidikan yang dilakukan
penyidik polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup
berupa pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum
Pidana terutama mengenai kajian-kajian yang berhubungan dengan pelaksanaan
tugas dan kewenangan penyidik Polri serta faktor yang menjadi kendala penyidik
Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa
pencemaran limbah B3. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Polda Lampung
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk:
a. Menganalisis pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik Polri dalam
melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran
limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung.
b. Menganalisis faktor-faktor yang menjadi kendala penyidikan yang dilakukan
penyidik polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup
berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya teori
hukum pidana mengenai penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa
pencemaran limbah B3.
b. Kegunaan praktis
1) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan
mengenai arti penting lingkungan yang sehat dan memberikan
pertimbangan agar tidak melakukan melakukan pencemaran lingkungan.
2) Bagi Polri, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan dalam
penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah
3) Bagi peneliti lain yang meneliti topik sejenis, hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai sumber informasi dan bahan pembanding yang dapat
melengkapi hasil penelitiannya .
D. Kerangka Teoretis dan Konseptual
1. Kerangka Teoretis
Landasan berpijak untuk menjawab permasalahan menggunakan teori-teori
berikut:
a. Teori Kewenangan
Literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan
istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan
begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan
istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan
dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang
diperintah” (the rule and the ruled).3
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak
berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh
Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,4 sedangkan kekuasaan yang
berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional
atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami
3
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 35-36.
4
sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan
bahkan yang diperkuat oleh Negara.5 Dalam hukum publik, wewenang berkaitan
dengan kekuasaan.6 Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang
karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah
kekuasaan formal.
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam
keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah,
bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena
itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah
kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku
itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.7 Agar kekuasaan
dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu
dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana
jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan
kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.8 Dengan demikian
kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum,
sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu
dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi
(inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan
jelas bersumber dari konstitusi.
5
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 52.
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang
digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah
“bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika
dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah
“bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah
“bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum
privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya
digunakan dalam konsep hukum publik.9
Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan
wewenang.10 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)
dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan
oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat
wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi
wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang
dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi
wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara
9
Phillipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 20.
10
yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.11
b. Teori Penegakan Hukum Pidana
Teori Penegakan Hukum Pidana oleh Joseph Goldstein. Upaya penegakan hukum
pidana menurut Joseph Goldstein dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:12
1) Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)
Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area di mana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of no Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement.
2) Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)
Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap tidak mungkin dilaksanakan secara penuh, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan diskresi.
3) Actual Enforcement
Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat.
Bagi indonesia, pembangunan nasional yang diselenggarakan adalah mengikuti
pola pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 33 ayat (3). Ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi
11
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1994, hlm. 65.
12
penyelenggaraan pengelolaan linkungan hidup yang bertujuan melestarikan
kemampuan lingkungan hidup agar dapat menunjang kesejahteraan dan mutu
hidup generasi mendatang.13 Namun tidah hanya diamantkan dari satu pasal saja
terdapat pasal lain diantaranya Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945
menjelaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dana sehat merupakan hak asasi
warga negara Indonesia. Berdasarkan Pasal Undang-Undang Nomor 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
“Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan
hidup.”
Hukum pidana memainkan peranan dalam upaya penegakan hukum lingkungan,
walaupun beban yang ditimpakan pada hukum pidana tidak melebihi kapasitas
yang dimilikinya, karena dalam upaya penegakan hukum lingkungan sangat
tergantung pada berbagai faktor yang hampir tidak ada dipahami dalam
keseluruhanya.14 Dari keberadaan perkembangan pemikiran tentang teori-teori
hukum pidana, maka terdapat beberapa asas yang disepakati oleh para penulis
atau pakar hukum pidana, yaitu asas legalitas (The Principle of Legality) yang
bersifat preventif umum, asas kesamaan, asas proporsionalitas, asas publisitas dan
asas subsidaritas , serta asas baru dalam UUPPLH yaitu asas ultimum remedium.15
Konsep asas subsidaritas sangat tidak jelas dan kabur sekali untuk dipedomani
dalam tataran aplikatif dan juga dianggap sebagai kelemahan penerapan
13
Yayasan Bantuan Hukum Indeonesia dan AusAID 2006, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, 2006, hlm 214.
14
Syahrul Machmud, Problematika Penerapan Delik Formil Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia, Indonesia,Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm120.
15
penyelesaian sengketa pidana UUPPLH dalam melaksanakan fungsinya.
Penafsiran tersebut dapat dipertegas bahwa, pertama pendayagunaan hukum
pidana disandarkan pada tidak efektifnya hukum administrasi dan hukum perdata
dan alternatif penyelesaian sengketa. Pemaknaan kedua, hukum pidana dapat
langsung didayagunakan bila tingkat kesalahan pelaku relatif berat, dan/atau
akibat perbuatanya menimbulkan keresahan masyarakat.16
c. Teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana
merupakan teori berikutnya yang digunakan sebagai salah satu saran a
perlindungan masyarakat akan menjadi faktor penghambat bila tidak ada
atau tidak berfungsi dengan baik, faktor tersebut adalah:17
1) Faktor hukumnya sendiri.
2) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun yang menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa sang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
2. Konseptual
Istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini dirumuskan dalam
pengertian-pengertian sebagai berikut:
a. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan
wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari
16
Syahrul Machmud, Ibid, hlm. 129.
17
kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe
voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup
wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka
pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang
utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.18
b. Penyidik adalah Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan. (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002)
c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 angka 2 KUHAP)
d. Polisi adalah merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat.19 Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1)
dijelaskan bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan
fungsi dan lembaga polisisesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Istilah kepolisian dalam undang-undang ini mengandung dua pengertian,
yakni fungsi polisi danlembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian
sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
18
Ateng Syafrudin, Op.Cit, hlm. 23
19
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung,
pengayom dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian
adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan
diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan
perundang-undangan.20
e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.21
f. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. (Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup)
g. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat,
energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan
dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
(Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009)
20
Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, Laks Bang Pressindo, Jogyakarta, 2008, hlm. 52-53.
21
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyidikan, Penyidik, Tugas dan Kewenangannya secara Umum
1. Pengertian Penyidikan
Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan
yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana
dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah
penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan
penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan”
suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan
pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta
mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang
ditemukan dan juga menentukan pelakunya. Pengertian penyidikan tercantum
dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum,
yaitu:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna
Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung
dalam pengertian penyidikan adalah:
a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-
tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan; b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.
Berdasarkan keempat unsur tersebut sebelum dilakukan penyidikan, telah
diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum
diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu
diketahui dari penyelidikannya.22
2. Pengertian Penyidik
Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. KUHAP
lebih jauh lagi mengatur tentang penyidik dalam Pasal 6, yang memberikan
batasan pejabat penyidik dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam
tahap penyidikan tersebut adalah pejabat penyidik POLRI dan Pejabat penyidik
negeri sipil.
Penyidik pembantu selain diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6
KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu
22
disamping penyidik.23 Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang
berhak sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan,
ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan
kepangkatan seorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6
KUHAP yang dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik antara
lain adalah:
a. Pejabat Penyidik Polri
Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka harus
memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat
(2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan
kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum.
Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan penyidik adalah
berupa PP Nomor 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat
penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:
1) Pejabat Penyidik Penuh
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus
memenuhi syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan,yaitu:
a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
b. Atau yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;
c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia
23
2) Penyidik Pembantu
Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat
Kepolisan Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian
Negara menurut syarat-syarat yang diatur denganperaturan pemerintah.24 Pejabat
polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur didalam Pasal 3
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2010. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat
sebagai pejabat penyidik pembantu:25
a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan
syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a);
c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan
atau pimpinan kesatuan masing-masing.
b) Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP,
yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai
penyidik. Pada dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada
undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang
penyidikan pada salah satu pasal.26 Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh
pejabat pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan
tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai
dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP
24
Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan . Liberty, Yogyakarta, hlm. 19
25
M.Yahya Harahap. Op.Cit, hlm. 111-112
26
yang berbunyi: “Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud Pasal 6
ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang
menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya
berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”
3. Tugas dan Kewenangan penyidikan yang ditentukan di dalam KUHAP
Yang berwenang melakukan penyidikan dicantumkan dalam Pasal 6 KUHAP,
namun pada praktiknya, sekarang ini terhadap beberapa tindak pidana tertentu ada
penyidik-penyidik yang tidak disebutkan di dalam KUHAP. Untuk itu pada
subbab ini akan dipaparkan siapa sajakah penyidik yang disebutkan di dalam
KUHAP dan siapa saja yang juga yang merupakan peyidik namun tidak tercantum
di dalam KUHAP. Adapun tugas penyidik itu sendiri antara lain adalah: Pertama,
membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 KUHAP. (Pasal 8 ayat (1) KUHAP) Kedua, menyerakan ber kas perkara
kepada penuntut umum. (Pasal 8 ayat (2) KUHAP), Ketiga, penyidik yang
mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa
yang patut diduga merupakan tindak pidana korupsi wajib segera melakukan
penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP), Keempat, menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8
ayat (3) KUHAP), Kelima, dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan
suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal
tersebut kepada penuntut umum. (Pasal 109 ayat (1) KUHAP), Keenam, wajib
segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum, jika
hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik
wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari
penuntut umum (Pasal 110 ayat (3) KUHAP), Kedelapan, setelah menerima
penyerahan tersangka, penyidik wajib melakukan pemeriksaan dan tindakan lain
dalam rangka penyidikan (Pasal 112 ayat (2) KUHAP), Kesembilan, Sebelum
dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepada orang yang
disangka melakukan suatu tindak pidana korupsi, tentang haknya untuk
mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib
didampingi oleh penasihat hukum (Pasal 114 KUHAP), Kesepuluh, wajib
memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka (Pasal 116
ayat (4) KUHAP), Kesebelas , wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan
kata yang dipergunakan oleh tersangka (Pasal 117 ayat (2) KUHAP),
Keduabelas, wajib menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka dan atau
saksi, setelah mereka menyetuji isinya (Pasal 118 ayat (2) KUHAP), Ketigabelas,
dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan
dijalankan, penyidik harus mulai melakukan pemeriksaan (Pasal 122 KUHAP),
Keempatbelas, dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib terlebih
dahulu menjukkan tanda pengenalnya kepada ter sangka atau keluarganya (Pasal
125 KUHAP), Kelimabelas, membuat berita acara tentang jalannya dan hasil
penggeledahan rumah (Pasal 126 ayat (1) KUHAP), Keenambelas, membacakan
terlebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang
bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatanganinya, tersangka atau
keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi
pengenalnya terlebih dahulu dalam hal melakukan penyitaan (Pasal 128 KUHAP),
Kedelapanbelas, memperlihatkan benda yang akan disita kepada keluarganya dan
dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh
Kepala Desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (Pasal 129 ayat (1)
KUHAP), Kesembilanbelas, Penyidik membuat berita acara penyitaan (Pasal 129
ayat (2) KUHAP), Keduapuluh, menyampaikan turunan berita acara penyitaan
kepada atasannya, keluarganya dan Kepala Desa (Pasal 129 ayat (4) KUHAP),
Keduapuluh satu, menandatangani benda sitaan sesaat setelah dibungkus (Pasal
130 ayat (1) KUHAP), Sedangkan kewenangan dari penyidik antara lain adalah:
1. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang untuk
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi (Pasal 7
ayat (1) jo Pasal 112 ayat (1) KUHAP);
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
2. Dalam hal dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus (Pasal 120 KUHAP jo Pasal 133 ayat (1)
KUHAP).
3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga, atau penasihat
hukum tersangka atas penahanan tersangka (Pasal 123 ayat (2) KUHAP).
4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat atau rumah
yang digeledah demi keamanan dan ketertiban (Pasal 127 ayat (1) KUHAP).
5. Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidaknya
meninggalkan tempat terrsebut selama penggeledahan berlangsung (Pasal 127
ayat (2) KUHAP).
6. Dalam hal timbul dugaan kuat ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik
dengan izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta
kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia
mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipakai
sebagai bahan perbandingan (Pasal 132 ayat (2) KUHAP)
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum
yang berlaku. Untuk itu Penyidik membuat berita acara pelaksanaan tindakan
(Pasal 75 KUHAP) tentang:27
10.Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan; 11.Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP.
4. Proses Pemeriksaan Penyidikan yang Dilakukan Oleh Penyidik
Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik difokuskan sepanjang hal yang
menyangkut persoalan hukum. Titik pangkal pemeriksaan dihadapan penyidik
ialah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan mengenai peristiwa pidana yang
sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak
pemeriksaan, terhadapnya harus diberlakukan asas akusatur. Tersangka harus
ditempatkan pada kedudukan menusia yang memiliki harkat martabat. Dia harus
dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Yang diperiksa bukan manusia
tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek
pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut ditujukan ke arah kesalahan tindak pidana
yang dilakukan oleh tersangka. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai
dengan prinsip hukum “praduga tak bersalah” (presumption of innocent ) sampai
diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.28
Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang harus
diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli. Demi untuk terang
dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Namun, kepada tersangka harus
ditegakkan perlindungan harkat martabat dan hak-hak asasi, kepada saksi dan ahli,
harus juga diperlakukan dengan cara yang berperikemanusiaan dan beradab.
Penyidik Polri tidak secara serta-merta dapat melakukan kegiatan penyidikan
dengan semaunya, melainkan ada juga batasan-batasan yang harus diikuti oleh
28
penyidik tersebut agar tidak melanggar hak asasi manusia mengingat kekuasaan
penyidik dalam melakukan rangkaian tindakan tersebut terlampau besar.
Batasan-batasan kegiatan penyidik tersebut terdapat pada Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip
Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisan
Republik Indonesia. Di dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan tersebut disebutkan,
dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas POLRI dilarang:
a. Melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan;
b. Menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan
kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang c. Memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;
d. Memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan
laporan hasil penyelidikan;
e. Merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau
memutarbalikkan kebenaran;
f. Melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara;
Mengenai batasan-batasan tentang tindakan pemeriksaan yang dilakukan Penyidik
dalam rangka proses penyidikan, juga terdapat batasan-batasan yang dituangkan
di dalam peraturan a quo tersebut. Batasan-batasan tersebut terdapat di dalam
Pasal 27 Ayat (2), yang menyebutkan: Dalam melakukan pemeriksaan terhadap
saksi, tersangka atau terperiksa, petugas dilarang:
a. Memeriksa saksi, tersangka atau terperiksa sebelum didampingi penasihat hukumnya, kecuali atas persetujuan yang diperiksa;
b. Menunda-nunda waktu pemeriksaan tanpa alasan yang sah, sehingga
merugikan pihak terperiksa;
c. Tidak menanyakan keadaan kesehatan dan kesiapan yang diperiksa pada awal pemeriksaan;
d. Tidak menjelaskan status keperluan terperiksa dan tujuan pemeriksaan; e. Mengajukan pertanyaan yang sulit dipahami terperiksa, atau dengan cara
membentak-bentak, menakuti atau mengancam terperiksa;
g. Melecehkan, merendahkan martabat dan/atau tidak menghargai hak terperiksa;
h. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang bersifat fisik atau psikis dengan maksud untuk mendapatkan keterangan, informasi atau pengakuan;
i. Memaksa saksi, tersangka/terperiksa untuk memberikan informasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rahasia jabatannya;
j. Membujuk, mempengaruhi atau memperdaya pihak yang diperiksa untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan hak-hak yang diperiksa;
k. Melakukan pemeriksaan pada malam hari tanpa didampingi oleh
penasehat hukum dan tanpa alasan yang sah;
l. Tidak memberikan kesempatan kepada terperiksa untuk istirahat,
melaksanakan ibadah, makan, dan keperluan pribadi lainnya tanpa alasan yang sah;
m. Memanipulasi hasil pemeriksaan dengan tidak mencatat sebagian
keterangan atau mengubah keterangan yang diberikan terperiksa yang menyimpang dari tujuan pemeriksaan;
n. Menolak saksi atau tersangka untuk mengajukan saksi yang meringankan untuk diperiksa;
o. Menghalang-halangi penasehat hukum untuk memberi bantuan hukum
kepada saksi/tersangka yang diperiksa;
p. Melakukan pemeriksaan ditempat yang melanggar ketentuan hukum;
q. Tidak membacakan kembali hasil pemeriksaan kepada yang diperiksa dengan bahasa yang dimengerti, sebelum pemeriksaan diakhiri; dan r. Melalaikan kewajiban tanda tangan pemeriksa, terperiksa dan/atau orang
yang menyelesaikan jalannya pemeriksaan.
B. Tugas dan Fungsi Kepolisian
Pengertian Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah
Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk
menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat. Dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut
untuk mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat
dan sekaligus mewujudkan ketentraman ditengah-tengah masyarakat.
Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, maka dapat diwujudkan apabila
bertanggungjawab, dengan memberikan pelayanan pada masyarakat secara
optimal. Sehubungan dengan itu, maka tugas yang diembang oleh institusi
Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar
semua tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif.
Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara dan untuk
mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah pembagian tugas agar
mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi, karena itulah di bentuk organisasi
polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk mengamankan dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan, terutama mereka yang
melakukan suatu tindak pidana.
Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan didalamnya
yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, menyatakan sebagai
berikut :
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung
tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.
Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir
31 butir a menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut :
“Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama dibidang pembinaan keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun
Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas Polisi
Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa tugas
Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi mulai dari
Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil semua
membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat. Untuk
melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Polisi
Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha pekerjaan dan kegiatan
untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi sebagai pengayom
masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi
tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu
aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan
tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961
pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan
tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara
Republik Indonesia.
C. Wewenang Penyidik Polri
Pasal 1 butir 1 KUHAP memberikan batasan tentang penyidik.
“Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Penyidik dalam melakukan tugas, harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan
yang telah ditentukan. Syarat kepangkatan seorang penyidik dalam melakukan
Nomor 27 Tahun 1983. Adapun syarat-syarat tersebut dijelaskan dalam Pasal 2
yang menyatakan bahwa:
(1) Penyidik adalah :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurang
berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi.
b. Pejabat pegawai negeri tertentu yang sekurang-kurangnya
berpangkat pengatur muda Tk. I (golongan II/b) atau yang
disamakan dengan itu.
(2) Dalam sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagai dimaksud
pada ayat (1) huruf a, maka komandan sektor kepolisian bintara
dibawah pembantu letnan dua polisi karena jabatannya adalah
penyidik.
(3) Penyidik Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, ditunjukan
oleh kepala kepolisian negara republik indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Wewenang penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diangkat oleh
Menteri atas usul dari Departemen yang membawahi pegawai negeri
tersebut.
(6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat
Berdasarkan wewenang di atas dapatlah dikatakan bahwa penyidik adalah pejabat
kepolisian, baik karena ia diangkat oleh komandannya. Hal ini berarti bahwa
syarat kepangkatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) butir a PP.
Nomor 27 Tahun 1983 tidak mutlak diterapkan dalam praktek. Oleh karena
pelaksanaan penyidik dan penyelidikan dibutuhkan jumlah polisi (penyidik atau
penyidik pembantu) yang memadai.
KUHAP memberikan ketegasan dan membedakan antara penyelidikan dan
penyidikan. Pasal 4 dan Pasal 5 KUHAP mengatur tentang pejabat yang
menjalankan kewajiban-kewajiban penyelidikan. Sedangkan Pasal 6, 7, dan 8
KUHAP dijelaskan mengenai pejabat yang menjalankan kewajiban sebagai
penyidik. Tugas penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik merupakan monopoli
tunggal bagi Polri. Hal ini cukup beralasan untuk menyederhanakan dan memberi
kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak melakukan penyelidikan,
kemudian menghilangkan kesimpangsiuran penyelidik oleh aparat penegak
hukum sehingga, tidak lagi terjadi tumpang tindih, juga merupakan efisiensi
tindakan penyelidikan. Mengenai tugas dan wewenang penyelidik dapat dilihat
dalam Pasal 5 KUHAP, yang mengatur:
Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang.
2) Mencari keterangan dan barang bukti.
3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri.
Pasal ini membedakan antara laporan dan pengaduan padahal kedua-duanya
merupakan pemberitahuan kepada yang berwajib yakni polri tentang adanya
kejahatan atau pelanggaran yang sering terjadi atau telah selesai. Perbedaan dapat
peneliti kemukakan sebagai berikut:
Pada laporan pemberitahuan tersebut merupakan hak atau kewajiban yang harus
disampaikan oleh setiap orang kepada yang berwajib, yaitu kepolisian negara.
Dalam hal yang dilaporkan merupakan tindak pidana umum. Pada pengaduan,
pemberitahuan tersebut merupakan hak atau kewajiban oleh seorang tertentu yang
disampaikan kepada yang berwajib dengan permintaan agar yang berwajib
melakukan tindakan, hal yang diadukan merupakan tindak pidana umum. Dari
perbedaan tersebut yang terpenting adalah bagaimana sikap dan kewajiban
penyidik dalam menghadapi laporan atau pengaduan untuk menjawab persoalan
ini, Pasal 102 sampai dengan Pasal 105 sebagai berikut:
Pasal 102 KUHAP
(1) Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik daerah hukum.
Pasal 103 KUHAP
(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu.
Pasal 104 KUHAP
Dalam hal melaksanakan tugas penyidikan, penyelidik wajib menunjukan tanda
pengenalnya.
Pasal 105 KUHAP
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan
diberi petunjuk oleh penyelidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Berdasarkan jawaban tersebut di atas maka perlu diperhatikan beberapa faktor
yang sangat menentukan sikap penyelidik dalam tugas menerima laporan dan
pengaduan. Bahwa laporan dapat diajukan sembarang waktu, tetapi pengaduan
dibatasi oleh undang-undang dalam arti bahwa pengaduan tidak dapat diajukan
sembarang waktu, yaitu waktu-waktu tertentu. Bahwa laporan dapat dilakukan
oleh setiap orang sedang pengaduan hanya boleh orang tertentu saja. Bahwa
pengaduan berisikan bukan saja laporan akan tetapi juga diikuti, permintaan
pengaduan agar orang yang diadukan dituntut menurut hukum. Dengan demikian
jelaslah kiranya faktor-faktor tersebut pada gilirannya menentukan pula kegiatan
penyelidik dalam hal mencari keterangan dan barang bukti. Dalam hal ini
keterangan apa dan barang bukti apa yang menjadi kewajiban penyelidik untuk
diselidiki, tentu tidak sembarangan.
Kewajiban penyelidik yang terdiri dari :
1) Mengenai laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti
sebenarnya adalah masalah pembuktian apakah ada bukti-bukti yang dapat
2) Menyuruh seorang yang dicurigai berhenti dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri.
Kewenangan tersebut bila ditelaah serta dihubungkan dengan maksud dan tujuan
penyelidikan berdasar ketentuan undang-undang, perlulah kita menarik pelajaran
dari praktik yaitu :
a) Pelaksanaan wewenang, sebagai kelanjutan hal menerima laporan dan
pengaduan.
b) Memergoki atau keadaan tertangkap tangan.
Penyidik apabila menerima laporan mengenai terjadinya peristiwa pidana yang
serius. Sebagai contoh peristiwa pembunuhan sedang pelakunya telah siap untuk
melarikan diri bila keadaan menghendaki, maka penyelidik memiliki kewenangan
untuk bertindak memeriksa dan menanyakan identitas tersangka. Seseorang yang
tertangkap tangan karena melakukan kejahatan memerlukan perhatian tertentu
untuk kasus-kasus tertentu. Karena tertangkap tangan atau kepergok pada satu
pihak merupakan peristiwa yang memperkuat pembuktian tentang siapa yang
menjadi pelaku kejahatan.
Kedua situasi di atas bila dibandingkan dengan dinamika masyarakat adalah
sedemikian rupa, sehingga polri tidak saja harus berhadapan dengan peristiwa
pidana tapi juga menjalankan tugas pencegahan dan penertiban keamanan
masyarakat. Disamping wewenang tersebut diatas, penyelidik dapat mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Maksudnya adalah
tindakan dari penyelidik harus memenuhi syarat-syarat seperti, tidak bertentangan
layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati, hak asasi manusia.
Selanjutnya akan dikemukakan kewajiban dan wewenang penyelidik dalam
melakukan penyelidikan. Adapun kewajiban wewenang penyelidik diatur dalam
Pasal 7 KUHAP yaitu :
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
karena kewajiban mempunyai wewenang :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penagkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka.
h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukum
koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Hubungannya antara kewajiban dan wewenang penyidik, terdapat pada Pasal 8
ayat (1), (2), (3) dan Pasal 75 ayat (1), (2), (3) KUHAP. Didalam praktek berbagai
variasi dapat terjadi. Tentu pelapor atau pengadu tidak selalu dapat langsung
menemui pejabat polri yang berwenang melakukan penyidikan. Ada langsung
menghadap kepada Kepala Satuan Reserse atau kepada anggota pemeriksa.
Pejabat-pejabat itulah yang menentukan atau memberi instruksi mengenai
kelanjutan penyelidikan atau penyidikan.
D. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang
dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan
delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam kamus hukum
pembatasan delik tercantum sebagai berikut:
“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).”29
29
Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga
suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan
sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa,
pelanggaran dan perbuatan. Pengertian tindak pidana dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam
kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan
pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan
istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.30
Pengertian strafbaarfeit menurut beberapa pakar antara lain:
Strafbaarfeit dirumuskan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya
Lamintang, sebagai:
“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya
tertib hukum.”31
Simons mengartikan sebagaimana dikutip dalam buku Leden Marpaung
strafbaarfeit sebagai berikut.
“strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut
30
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm. 20.
31
dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai
suatu tindakan yang dapat dihukum.”32
Jonkers merumuskan bahwa
“Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatan
yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan
atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”33
Van Hamel merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai berikut:
“Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum,
yang patut dipididana dan dilakukan dengan kesalahan.”34
S.R. Sianturi merumuskan tindak pidana sebagai berikut:35
“Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan
tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh
seseorang (yang bertanggungjawab).”36
Moeljatno menyebut tindak pidana sebagai perbuatan pidana yang diartikan
sebagai berikut:
32