• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ii

DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

(STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)

Oleh

Dayat Hadi Jaya

Sulitnya penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup disebabkan oleh banyaknya faktor yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran lingkungan dan lemahnya profesionalitas aparat penegak hukum, serta mahalnya biaya finansial. Permasalahan dalam tesis ini yaitu “Bagaimanakah pelaksanaan tugas dan kewenangan dan faktor apa saja yang menjadi kendala penyidik Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa

pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung?”

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua pendekatan, yaitu: Pendekatan Yuridis Normatif berupa studi kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan. Selanjutnya Pendekatan Yuridis Empiris adalah pendekatan dengan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan.

Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan tugas dan wewenang penyidik Polri dalam penyidikan tindak pidana lingkungan berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung berjalan berdasarkan sesuai ketentuan di dalam KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam pelaksanaannya Penyidik Polri dan PPNS-LH masih harus berkoordinasi untuk saksi ahli dengan instansi pemerintah lain sesuai dengan bidangnya sehingga membutuhkan waktu yang lama dan tidak efisien. Kendala dalam penyidikan tindak pencemaran limbah B3 adalah pengambilan sample limbah dari suatu industri tidak mudah, pembuktian materiil yang tidak sederhana, kurang memadainya pengetahuan dan keterampilan penyidik khususnya tentang lingkungan hidup terkait dengan pencemaran limbah B3, kurang memadainya sarana prasarana seperti laboratorium membuat petugas kesulitan dalam hal penggolongan pencemaran yang telah terjadi.

Hendaknya dibuat petunjuk teknis yang lebih jelas dan tegas terkait dengan tugas dan wewenang penyidikan khususnya terhadap tindak pidana lingkungan antara Penyidik Polri dengan PPNS-LH. Selanjutnya kepada Kepolisian Daerah Lampung hendaknya mengirimkan anggotanya atau penyidik untuk pelatihan dan pendidikan khususnya terkait dengan tindak pidana lingkungan

(3)

(STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)

Oleh

Dayat Hadi Jaya

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Studi Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PELAKSANAAN TUGAS DAN KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP

(STUDI PENCEMARAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DI PROVINSI LAMPUNG)

(TESIS)

Oleh

Dayat Hadi Jaya

NPM 1222011052

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 7

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyidikan, Penyidik, Tugas dan Kewenangannya secara Umum ... 16

B. Tugas dan Fungsi Kepolisian ... 26

C. Wewenang Penyidik Polri... 28

D. Tindak Pidana ... 35

E. Lingkungan Hidup ... 51

F. Tindak Pidana Lingkungan Hidup ... 56

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 62

B. Sumber dan Jenis Data ... 63

C. Penentuan Resonden ... 64

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 64

(6)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam Melakukan

Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Berupa Pencemaran

Limbah B3 Di Provinsi Lampung ... 66

B. Faktor yang menjadi Kendala Penyidikan yang dilakukan Penyidik Polri dalam melakukan Penyidikan Tindak Pidana Lingkungan Hidup berupa Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung ... 111

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 117

B. Saran ... 118

(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)

V

Kerusakan meluas di daratan dan lautan karena

perbuatan tangan manusia

Allah akan mengenakan sebagian siksa akibat dari

tindakan mereka, mestinya mereka sadar tidak

meneruskan dosanya kemudian bertobat

(13)

vi

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan untuk:

Ayahanda Hi. Diatma Oesman (Alm) dan Ibunda Hj. Rukmini (Alm).

Isteriku tercinta Drg. Imra Mastuti dan Anak-anakku yang

kubanggakan: Velia Putri Agustia, M. Fajar Ramadhan, dan Zerico

Rifki Ramadhan yang selalu menjadi pelipur hati dan pendorong

se a gatku serta do’a ya u tuk keberhasila ku.

(14)

vii

Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 2 September 1965 yang merupakan

anak ke-7 dari 8 bersaudara buah hati pasangan Hi. Diatma Oesman (Alm)

dan Hj. Rukmini (Alm).

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri Nambah rejo Punggur,

lulus tahun 1978. Sekolah Menengah Pertama Negeri Punggur, lulus tahun

1981. Sekolah Menengah Atas Negeri Kota Gajah, lulus tahun 1984. Pada

tahun 1996 penulis mendapat gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Saburai. Pada tahun 2012 penulis diterima sebagai Mahasiswa

pada Fakultas Hukum Program Studi Magister Hukum Universitas Lampung.

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan

pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut

dikembangkannya berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang

didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut

mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan

lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta

pendanaan. Keterkaitan dan keseluruhan aspek lingkungan telah memberi

konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak

dapat berdiri sendiri, akan tetapi berintegrasi dengan seluruh pelaksanaan

pembangunan.

Kegiatan pembangunan yang makin meningkat sebagai upaya peningkatan

kesejahteraan hidup yang bertumpu pada pembangunan industri yang diantaranya

memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radio aktif. Disamping menghasilkan

produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses,

antara lain dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), yang

apabila dibuang kedalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan

(16)

Berbagai jenis limbah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan merupakan

sumber pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari terjadinya

dampak akibat limbah B3 diperlukan suatu sistem pengelolaan yang terintegrasi

dan berkesinambungan. Upaya pengelolaan limbah B3 tersebut merupakan salah

satu usaha dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup.

Sistem manajemen pengelolaan yang baik perlu diterapkan agar usaha tersebut

dapat berjalan dengan baik pula, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat

berpotensi menghasilkan limbah B3 seperti sektor Industri, rumah sakit dan

pertambangan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan memberlakukan peraturan

perundang-undangan lingkungan hidup sebagai dasar dalam pelaksanaannya.

Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, maka hak, kewajiban dan

kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 oleh setiap orang/badan usaha maupun

organisasi kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh hukum.

Indonesia dengan wilayah negara yang luas tentu memiliki masalah lingkungan

yang kompleks dan perlu mendapat perhatian serius. Terjadinya kerusakan dan

pencemaran lingkungan di Indonesia akan membawa dampak terhadap kehidupan

rakyat Indonesia bahkan juga rakyat negara tetangga kita. Lihatlah bagaimana

Malaysia dan Singapura memprotes pemerintah Indonesia atas asap kebakaran

hutan Indonesia yang datang ke wilayah negara tersebut. Pepohonan di hutan

ditebang tanpa ada upaya menanam kembali, sumber daya mineral digali dan

(17)

beracun (B3) dibuang sesukanya, penangkapan ikan dengan cara meracuni atau

sistem peledakan, sampah-sampah dibuang didaerah aliran air dan sebagainya.

Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah

kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak

hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.

Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas.

Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan

bukanlah pekerjaan mudah. Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang

kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.

Masalah pencemaran sungai khususnya oleh industri di Provinsi Lampung

tampaknya merupakan masalah yang seakan tiada akhir. Dari waktu ke waktu,

tahun ke tahun telinga kita seringkali mendengar teriakan penduduk khususnya

yang bermukim disekitar daerah aliran sungai baik Way Seputih, Way

Tulangbawang, Way Pangubuan, dan lain-lain. tentang matinya ikan-ikan di

sungai, di kerambah, keluhan gatal-gatal pada kulit mereka setelah mandi di

sungai, rusaknya daerah pertanian/sawah, dan lain-lain. Konon kabarnya dari

dahulu masyarakat disana hampir tidak pernah mengalami hal seperti itu, namun

semenjak kehadiran beberapa pabrik/industri, baik industri singkong/tapioka,

gula, nanas, Crde Palm Oil (CPO), yang berarti minyak sawit mentah, seringkali

air sungai mereka menjadi keruh dan berbusa dengan warna coklat

kehitam-hitaman, belum lagi aroma bau tidak sedap yang terbawa angin yang biasanya

berasal dari pabrik singkong menerpa pemukiman mereka sudah menjadi santapan

(18)

sedikitnya telah terjadi 9 kali kasus pencemaran oleh industri khususnya yang

berada di Lampung Tengah, Tulang Bawang, Lampung Timur, Lampung Selatan

dan Lampung Utara. Jumlah itu barangkali baru yang terungkap dan di ekspose

oleh media, dibalik itu angkanya mungkin jauh lebih besar mengingat banyaknya

jumlah industri yang tersebar di wilayah ini. Menurut sumber Wahana

Lingkungan Hidup (WALHI) Lampung total jumlah industri di Provinsi Lampung

adalah sebanyak 193 buah yang umumnya adalah berupa Agroindustri, di mana

160 buah merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 33 buah

Penanaman Modal Asing (PMA), baik skala besar, menengah maupun kecil. Dari

jumlah itu sebagian besar merupakan industri singkong/tapioka (33 buah), gula (6

buah), nanas, sawit/CPO, karet, dan yang kesemuanya itu bila pengelolaan

lingkungannya dilakukan secara tidak hati-hati sangat berpotensi dan riskan sekali

menimbulkan pencemaran lingkungan.1

Tragisnya setiap kali terjadi kasus pencemaran selama itu pula yang selalu

menjadi korban adalah rakyat kecil/nelayan yang notabene hidupnya sangat

tergantung dari apa apa yang bisa diberikan oleh sungai. Tragisnya lagi selama itu

pula tidak ada satupun pihak yang merasa bersalah dan bertanggungjawab. Tidak

perusahaan, tidak pemerintah, lantas siapa? Salah satu contoh pencemaraan

lingkungan yang diduga akibat pembuangan limbah dari PT Sungai Mas Agung

Abadi di Kabupaten Tulang Bawang Barat.2

Problem lingkungan hingga kini terus menjadi isu yang selalu aktual dan belum

tertanggulangi, terlebih di era reformasi yang tak luput pula dari tuntutan

1

http://panisean.wordpress.com, diakses pada tanggal 26 Oktober 2013

2

(19)

demokratisasi dan transparansi. Dalam rangka mengantisipasi kian meluasnya

dampak kontraproduktif terhadap lingkungan khususnya akibat perkembangan

dunia industri yang pesat maka penegakan hukum di bidang lingkungan hidup

menjadi mutlak diperlukan. Segenap stakeholders harus mempunyai tekad untuk

memelihara lingkungan dari kemerosotan fungsi yang senantiasa mengancam

kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hukum lingkungan dengan demikian,

mempunyai peran yang sangat urgen dalam membantu mewujudkan

pembangunan berkelanjutan.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai institusi di luar Polri untuk

membantu tugas-tugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas

diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 94 ayat (1) mengatur bahwa:

Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.

Ketentuan pada Pasal 94 ayat (1) seharusnya memberi batasan secara jelas tentang

pihak yang berwenang untuk melakukan penyidikan sengketa lingkungan hidup,

sehingga tidak menimbulkan sengketa kewenangan diantara Polri dan PPNS. Hal

ini juga bisa dalam penjelasan ketentuan tersebut, dimana dalam penjelasannya di

katakan cukup jelas. Tetapi justru ketentuan yang ada dalam Pasal 94 ayat (1)

(20)

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk membahas

permasalahan Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup

yang diberjudul “Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Penyidik Polri dalam

Melakukan Penyidikan Tindak Pidana Pengelolaan Lingkungan Hidup (Studi

Pencemaran Limbah B3 di Provinsi Lampung)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, yang menjadi masalah dalam

penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik Polri dalam

melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran

limbah B3 di Provinsi Lampung?

b. Faktor apa sajakah yang menjadi kendala penyidikan yang dilakukan

penyidik polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup

berupa pencemaran limbah B3 di Provinsi Lampung?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum

Pidana terutama mengenai kajian-kajian yang berhubungan dengan pelaksanaan

tugas dan kewenangan penyidik Polri serta faktor yang menjadi kendala penyidik

Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa

pencemaran limbah B3. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Polda Lampung

(21)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk:

a. Menganalisis pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik Polri dalam

melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran

limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung.

b. Menganalisis faktor-faktor yang menjadi kendala penyidikan yang dilakukan

penyidik polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup

berupa pencemaran limbah B3 di wilayah hukum Polda Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya teori

hukum pidana mengenai penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa

pencemaran limbah B3.

b. Kegunaan praktis

1) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan

mengenai arti penting lingkungan yang sehat dan memberikan

pertimbangan agar tidak melakukan melakukan pencemaran lingkungan.

2) Bagi Polri, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai masukan dalam

penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berupa pencemaran limbah

(22)

3) Bagi peneliti lain yang meneliti topik sejenis, hasil penelitian ini dapat

dijadikan sebagai sumber informasi dan bahan pembanding yang dapat

melengkapi hasil penelitiannya .

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Landasan berpijak untuk menjawab permasalahan menggunakan teori-teori

berikut:

a. Teori Kewenangan

Literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan

istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan

begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan

istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering

disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan

dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang

diperintah” (the rule and the ruled).3

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak

berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh

Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”,4 sedangkan kekuasaan yang

berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional

atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami

3

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 35-36.

4

(23)

sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan

bahkan yang diperkuat oleh Negara.5 Dalam hukum publik, wewenang berkaitan

dengan kekuasaan.6 Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang

karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah

kekuasaan formal.

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam

keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah,

bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena

itu negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah

kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi

tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku

itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara.7 Agar kekuasaan

dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara itu

dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana

jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan

kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.8 Dengan demikian

kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum,

sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu

dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi

(inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan

jelas bersumber dari konstitusi.

5

A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 52.

(24)

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang

digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah

bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika

dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah

bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah

bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum

privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya

digunakan dalam konsep hukum publik.9

Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan

wewenang.10 Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)

dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang

disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan

oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel

(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat

wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup

tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi

wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang

dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi

wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara

9

Phillipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 20.

10

(25)

yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.11

b. Teori Penegakan Hukum Pidana

Teori Penegakan Hukum Pidana oleh Joseph Goldstein. Upaya penegakan hukum

pidana menurut Joseph Goldstein dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:12

1) Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)

Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area di mana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of no Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement.

2) Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)

Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap tidak mungkin dilaksanakan secara penuh, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan diskresi.

3) Actual Enforcement

Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat.

Bagi indonesia, pembangunan nasional yang diselenggarakan adalah mengikuti

pola pembangunan berkelanjutan yang diakomodasi dalam Undang-Undang Dasar

1945 Pasal 33 ayat (3). Ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi

11

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung: 1994, hlm. 65.

12

(26)

penyelenggaraan pengelolaan linkungan hidup yang bertujuan melestarikan

kemampuan lingkungan hidup agar dapat menunjang kesejahteraan dan mutu

hidup generasi mendatang.13 Namun tidah hanya diamantkan dari satu pasal saja

terdapat pasal lain diantaranya Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945

menjelaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dana sehat merupakan hak asasi

warga negara Indonesia. Berdasarkan Pasal Undang-Undang Nomor 32 tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

“Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang

timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan

hidup.”

Hukum pidana memainkan peranan dalam upaya penegakan hukum lingkungan,

walaupun beban yang ditimpakan pada hukum pidana tidak melebihi kapasitas

yang dimilikinya, karena dalam upaya penegakan hukum lingkungan sangat

tergantung pada berbagai faktor yang hampir tidak ada dipahami dalam

keseluruhanya.14 Dari keberadaan perkembangan pemikiran tentang teori-teori

hukum pidana, maka terdapat beberapa asas yang disepakati oleh para penulis

atau pakar hukum pidana, yaitu asas legalitas (The Principle of Legality) yang

bersifat preventif umum, asas kesamaan, asas proporsionalitas, asas publisitas dan

asas subsidaritas , serta asas baru dalam UUPPLH yaitu asas ultimum remedium.15

Konsep asas subsidaritas sangat tidak jelas dan kabur sekali untuk dipedomani

dalam tataran aplikatif dan juga dianggap sebagai kelemahan penerapan

13

Yayasan Bantuan Hukum Indeonesia dan AusAID 2006, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta, 2006, hlm 214.

14

Syahrul Machmud, Problematika Penerapan Delik Formil Dalam Perspektif Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia, Indonesia,Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm120.

15

(27)

penyelesaian sengketa pidana UUPPLH dalam melaksanakan fungsinya.

Penafsiran tersebut dapat dipertegas bahwa, pertama pendayagunaan hukum

pidana disandarkan pada tidak efektifnya hukum administrasi dan hukum perdata

dan alternatif penyelesaian sengketa. Pemaknaan kedua, hukum pidana dapat

langsung didayagunakan bila tingkat kesalahan pelaku relatif berat, dan/atau

akibat perbuatanya menimbulkan keresahan masyarakat.16

c. Teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana

merupakan teori berikutnya yang digunakan sebagai salah satu saran a

perlindungan masyarakat akan menjadi faktor penghambat bila tidak ada

atau tidak berfungsi dengan baik, faktor tersebut adalah:17

1) Faktor hukumnya sendiri.

2) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun yang menerapkan hukum.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa sang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Istilah yang digunakan dalam penulisan tesis ini dirumuskan dalam

pengertian-pengertian sebagai berikut:

a. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang

berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan

wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari

16

Syahrul Machmud, Ibid, hlm. 129.

17

(28)

kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe

voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup

wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat

keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka

pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang

utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.18

b. Penyidik adalah Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan. (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002)

c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang

terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 angka 2 KUHAP)

d. Polisi adalah merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan

perlindungan kepada masyarakat.19 Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun

2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1)

dijelaskan bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan

fungsi dan lembaga polisisesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Istilah kepolisian dalam undang-undang ini mengandung dua pengertian,

yakni fungsi polisi danlembaga polisi. Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian

sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

18

Ateng Syafrudin, Op.Cit, hlm. 23

19

(29)

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pelindung,

pengayom dan pelayan kepada masyarakat. Sedangkan lembaga kepolisian

adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga dan

diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan

perundang-undangan.20

e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu

bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.21

f. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan

kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. (Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup)

g. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat,

energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau

jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan

dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan

hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.

(Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009)

20

Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, Laks Bang Pressindo, Jogyakarta, 2008, hlm. 52-53.

21

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyidikan, Penyidik, Tugas dan Kewenangannya secara Umum

1. Pengertian Penyidikan

Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan

yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana

dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah

penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan

penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan”

suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan

pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta

mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang

ditemukan dan juga menentukan pelakunya. Pengertian penyidikan tercantum

dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum,

yaitu:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna

(31)

Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung

dalam pengertian penyidikan adalah:

a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-

tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan; b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;

c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut sebelum dilakukan penyidikan, telah

diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum

diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu

diketahui dari penyelidikannya.22

2. Pengertian Penyidik

Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara

Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. KUHAP

lebih jauh lagi mengatur tentang penyidik dalam Pasal 6, yang memberikan

batasan pejabat penyidik dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam

tahap penyidikan tersebut adalah pejabat penyidik POLRI dan Pejabat penyidik

negeri sipil.

Penyidik pembantu selain diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6

KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu

22

(32)

disamping penyidik.23 Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang

berhak sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan,

ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan

kepangkatan seorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6

KUHAP yang dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik antara

lain adalah:

a. Pejabat Penyidik Polri

Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka harus

memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat

(2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan

yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan

kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum.

Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan penyidik adalah

berupa PP Nomor 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat

penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:

1) Pejabat Penyidik Penuh

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus

memenuhi syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan,yaitu:

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;

b. Atau yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;

c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia

23

(33)

2) Penyidik Pembantu

Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat

Kepolisan Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian

Negara menurut syarat-syarat yang diatur denganperaturan pemerintah.24 Pejabat

polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur didalam Pasal 3

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 58

Tahun 2010. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat

sebagai pejabat penyidik pembantu:25

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;

b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan

syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a);

c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan

atau pimpinan kesatuan masing-masing.

b) Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP,

yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai

penyidik. Pada dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada

undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang

penyidikan pada salah satu pasal.26 Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh

pejabat pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan

tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai

dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP

24

Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan . Liberty, Yogyakarta, hlm. 19

25

M.Yahya Harahap. Op.Cit, hlm. 111-112

26

(34)

yang berbunyi: “Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud Pasal 6

ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang

menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya

berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”

3. Tugas dan Kewenangan penyidikan yang ditentukan di dalam KUHAP

Yang berwenang melakukan penyidikan dicantumkan dalam Pasal 6 KUHAP,

namun pada praktiknya, sekarang ini terhadap beberapa tindak pidana tertentu ada

penyidik-penyidik yang tidak disebutkan di dalam KUHAP. Untuk itu pada

subbab ini akan dipaparkan siapa sajakah penyidik yang disebutkan di dalam

KUHAP dan siapa saja yang juga yang merupakan peyidik namun tidak tercantum

di dalam KUHAP. Adapun tugas penyidik itu sendiri antara lain adalah: Pertama,

membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 75 KUHAP. (Pasal 8 ayat (1) KUHAP) Kedua, menyerakan ber kas perkara

kepada penuntut umum. (Pasal 8 ayat (2) KUHAP), Ketiga, penyidik yang

mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa

yang patut diduga merupakan tindak pidana korupsi wajib segera melakukan

penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP), Keempat, menyerahkan

tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum (Pasal 8

ayat (3) KUHAP), Kelima, dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan

suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal

tersebut kepada penuntut umum. (Pasal 109 ayat (1) KUHAP), Keenam, wajib

segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum, jika

(35)

hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik

wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari

penuntut umum (Pasal 110 ayat (3) KUHAP), Kedelapan, setelah menerima

penyerahan tersangka, penyidik wajib melakukan pemeriksaan dan tindakan lain

dalam rangka penyidikan (Pasal 112 ayat (2) KUHAP), Kesembilan, Sebelum

dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan kepada orang yang

disangka melakukan suatu tindak pidana korupsi, tentang haknya untuk

mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib

didampingi oleh penasihat hukum (Pasal 114 KUHAP), Kesepuluh, wajib

memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi tersangka (Pasal 116

ayat (4) KUHAP), Kesebelas , wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan

kata yang dipergunakan oleh tersangka (Pasal 117 ayat (2) KUHAP),

Keduabelas, wajib menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka dan atau

saksi, setelah mereka menyetuji isinya (Pasal 118 ayat (2) KUHAP), Ketigabelas,

dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan

dijalankan, penyidik harus mulai melakukan pemeriksaan (Pasal 122 KUHAP),

Keempatbelas, dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib terlebih

dahulu menjukkan tanda pengenalnya kepada ter sangka atau keluarganya (Pasal

125 KUHAP), Kelimabelas, membuat berita acara tentang jalannya dan hasil

penggeledahan rumah (Pasal 126 ayat (1) KUHAP), Keenambelas, membacakan

terlebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang

bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatanganinya, tersangka atau

keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi

(36)

pengenalnya terlebih dahulu dalam hal melakukan penyitaan (Pasal 128 KUHAP),

Kedelapanbelas, memperlihatkan benda yang akan disita kepada keluarganya dan

dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh

Kepala Desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (Pasal 129 ayat (1)

KUHAP), Kesembilanbelas, Penyidik membuat berita acara penyitaan (Pasal 129

ayat (2) KUHAP), Keduapuluh, menyampaikan turunan berita acara penyitaan

kepada atasannya, keluarganya dan Kepala Desa (Pasal 129 ayat (4) KUHAP),

Keduapuluh satu, menandatangani benda sitaan sesaat setelah dibungkus (Pasal

130 ayat (1) KUHAP), Sedangkan kewenangan dari penyidik antara lain adalah:

1. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang untuk

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi (Pasal 7

ayat (1) jo Pasal 112 ayat (1) KUHAP);

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

(37)

2. Dalam hal dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli atau orang

yang memiliki keahlian khusus (Pasal 120 KUHAP jo Pasal 133 ayat (1)

KUHAP).

3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga, atau penasihat

hukum tersangka atas penahanan tersangka (Pasal 123 ayat (2) KUHAP).

4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat atau rumah

yang digeledah demi keamanan dan ketertiban (Pasal 127 ayat (1) KUHAP).

5. Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidaknya

meninggalkan tempat terrsebut selama penggeledahan berlangsung (Pasal 127

ayat (2) KUHAP).

6. Dalam hal timbul dugaan kuat ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik

dengan izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta

kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia

mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipakai

sebagai bahan perbandingan (Pasal 132 ayat (2) KUHAP)

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum

yang berlaku. Untuk itu Penyidik membuat berita acara pelaksanaan tindakan

(Pasal 75 KUHAP) tentang:27

(38)

10.Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan; 11.Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP.

4. Proses Pemeriksaan Penyidikan yang Dilakukan Oleh Penyidik

Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik difokuskan sepanjang hal yang

menyangkut persoalan hukum. Titik pangkal pemeriksaan dihadapan penyidik

ialah tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan mengenai peristiwa pidana yang

sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak

pemeriksaan, terhadapnya harus diberlakukan asas akusatur. Tersangka harus

ditempatkan pada kedudukan menusia yang memiliki harkat martabat. Dia harus

dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Yang diperiksa bukan manusia

tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek

pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut ditujukan ke arah kesalahan tindak pidana

yang dilakukan oleh tersangka. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai

dengan prinsip hukum “praduga tak bersalah” (presumption of innocent ) sampai

diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.28

Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang harus

diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli. Demi untuk terang

dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Namun, kepada tersangka harus

ditegakkan perlindungan harkat martabat dan hak-hak asasi, kepada saksi dan ahli,

harus juga diperlakukan dengan cara yang berperikemanusiaan dan beradab.

Penyidik Polri tidak secara serta-merta dapat melakukan kegiatan penyidikan

dengan semaunya, melainkan ada juga batasan-batasan yang harus diikuti oleh

28

(39)

penyidik tersebut agar tidak melanggar hak asasi manusia mengingat kekuasaan

penyidik dalam melakukan rangkaian tindakan tersebut terlampau besar.

Batasan-batasan kegiatan penyidik tersebut terdapat pada Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip

Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisan

Republik Indonesia. Di dalam Pasal 13 ayat (1) Peraturan tersebut disebutkan,

dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas POLRI dilarang:

a. Melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan;

b. Menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan

kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang c. Memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;

d. Memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan

laporan hasil penyelidikan;

e. Merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau

memutarbalikkan kebenaran;

f. Melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara;

Mengenai batasan-batasan tentang tindakan pemeriksaan yang dilakukan Penyidik

dalam rangka proses penyidikan, juga terdapat batasan-batasan yang dituangkan

di dalam peraturan a quo tersebut. Batasan-batasan tersebut terdapat di dalam

Pasal 27 Ayat (2), yang menyebutkan: Dalam melakukan pemeriksaan terhadap

saksi, tersangka atau terperiksa, petugas dilarang:

a. Memeriksa saksi, tersangka atau terperiksa sebelum didampingi penasihat hukumnya, kecuali atas persetujuan yang diperiksa;

b. Menunda-nunda waktu pemeriksaan tanpa alasan yang sah, sehingga

merugikan pihak terperiksa;

c. Tidak menanyakan keadaan kesehatan dan kesiapan yang diperiksa pada awal pemeriksaan;

d. Tidak menjelaskan status keperluan terperiksa dan tujuan pemeriksaan; e. Mengajukan pertanyaan yang sulit dipahami terperiksa, atau dengan cara

membentak-bentak, menakuti atau mengancam terperiksa;

(40)

g. Melecehkan, merendahkan martabat dan/atau tidak menghargai hak terperiksa;

h. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang bersifat fisik atau psikis dengan maksud untuk mendapatkan keterangan, informasi atau pengakuan;

i. Memaksa saksi, tersangka/terperiksa untuk memberikan informasi

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rahasia jabatannya;

j. Membujuk, mempengaruhi atau memperdaya pihak yang diperiksa untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan hak-hak yang diperiksa;

k. Melakukan pemeriksaan pada malam hari tanpa didampingi oleh

penasehat hukum dan tanpa alasan yang sah;

l. Tidak memberikan kesempatan kepada terperiksa untuk istirahat,

melaksanakan ibadah, makan, dan keperluan pribadi lainnya tanpa alasan yang sah;

m. Memanipulasi hasil pemeriksaan dengan tidak mencatat sebagian

keterangan atau mengubah keterangan yang diberikan terperiksa yang menyimpang dari tujuan pemeriksaan;

n. Menolak saksi atau tersangka untuk mengajukan saksi yang meringankan untuk diperiksa;

o. Menghalang-halangi penasehat hukum untuk memberi bantuan hukum

kepada saksi/tersangka yang diperiksa;

p. Melakukan pemeriksaan ditempat yang melanggar ketentuan hukum;

q. Tidak membacakan kembali hasil pemeriksaan kepada yang diperiksa dengan bahasa yang dimengerti, sebelum pemeriksaan diakhiri; dan r. Melalaikan kewajiban tanda tangan pemeriksa, terperiksa dan/atau orang

yang menyelesaikan jalannya pemeriksaan.

B. Tugas dan Fungsi Kepolisian

Pengertian Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah

Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk

menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat. Dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut

untuk mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat

dan sekaligus mewujudkan ketentraman ditengah-tengah masyarakat.

Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, maka dapat diwujudkan apabila

(41)

bertanggungjawab, dengan memberikan pelayanan pada masyarakat secara

optimal. Sehubungan dengan itu, maka tugas yang diembang oleh institusi

Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar

semua tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif.

Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara dan untuk

mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah pembagian tugas agar

mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi, karena itulah di bentuk organisasi

polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk mengamankan dan memberikan

perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan, terutama mereka yang

melakukan suatu tindak pidana.

Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan didalamnya

yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, menyatakan sebagai

berikut :

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung

tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir

31 butir a menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama dibidang pembinaan keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun

(42)

Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas Polisi

Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa tugas

Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi mulai dari

Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil semua

membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat. Untuk

melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Polisi

Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha pekerjaan dan kegiatan

untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi sebagai pengayom

masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi

tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu

aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan

tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961

pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan

tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara

Republik Indonesia.

C. Wewenang Penyidik Polri

Pasal 1 butir 1 KUHAP memberikan batasan tentang penyidik.

“Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau

Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Penyidik dalam melakukan tugas, harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan

yang telah ditentukan. Syarat kepangkatan seorang penyidik dalam melakukan

(43)

Nomor 27 Tahun 1983. Adapun syarat-syarat tersebut dijelaskan dalam Pasal 2

yang menyatakan bahwa:

(1) Penyidik adalah :

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurang

berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi.

b. Pejabat pegawai negeri tertentu yang sekurang-kurangnya

berpangkat pengatur muda Tk. I (golongan II/b) atau yang

disamakan dengan itu.

(2) Dalam sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagai dimaksud

pada ayat (1) huruf a, maka komandan sektor kepolisian bintara

dibawah pembantu letnan dua polisi karena jabatannya adalah

penyidik.

(3) Penyidik Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, ditunjukan

oleh kepala kepolisian negara republik indonesia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Wewenang penunjukkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat

dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diangkat oleh

Menteri atas usul dari Departemen yang membawahi pegawai negeri

tersebut.

(6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat

(44)

Berdasarkan wewenang di atas dapatlah dikatakan bahwa penyidik adalah pejabat

kepolisian, baik karena ia diangkat oleh komandannya. Hal ini berarti bahwa

syarat kepangkatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) butir a PP.

Nomor 27 Tahun 1983 tidak mutlak diterapkan dalam praktek. Oleh karena

pelaksanaan penyidik dan penyelidikan dibutuhkan jumlah polisi (penyidik atau

penyidik pembantu) yang memadai.

KUHAP memberikan ketegasan dan membedakan antara penyelidikan dan

penyidikan. Pasal 4 dan Pasal 5 KUHAP mengatur tentang pejabat yang

menjalankan kewajiban-kewajiban penyelidikan. Sedangkan Pasal 6, 7, dan 8

KUHAP dijelaskan mengenai pejabat yang menjalankan kewajiban sebagai

penyidik. Tugas penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik merupakan monopoli

tunggal bagi Polri. Hal ini cukup beralasan untuk menyederhanakan dan memberi

kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak melakukan penyelidikan,

kemudian menghilangkan kesimpangsiuran penyelidik oleh aparat penegak

hukum sehingga, tidak lagi terjadi tumpang tindih, juga merupakan efisiensi

tindakan penyelidikan. Mengenai tugas dan wewenang penyelidik dapat dilihat

dalam Pasal 5 KUHAP, yang mengatur:

Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Karena kewajibannya

mempunyai wewenang :

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang.

2) Mencari keterangan dan barang bukti.

3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa

tanda pengenal diri.

(45)

Pasal ini membedakan antara laporan dan pengaduan padahal kedua-duanya

merupakan pemberitahuan kepada yang berwajib yakni polri tentang adanya

kejahatan atau pelanggaran yang sering terjadi atau telah selesai. Perbedaan dapat

peneliti kemukakan sebagai berikut:

Pada laporan pemberitahuan tersebut merupakan hak atau kewajiban yang harus

disampaikan oleh setiap orang kepada yang berwajib, yaitu kepolisian negara.

Dalam hal yang dilaporkan merupakan tindak pidana umum. Pada pengaduan,

pemberitahuan tersebut merupakan hak atau kewajiban oleh seorang tertentu yang

disampaikan kepada yang berwajib dengan permintaan agar yang berwajib

melakukan tindakan, hal yang diadukan merupakan tindak pidana umum. Dari

perbedaan tersebut yang terpenting adalah bagaimana sikap dan kewajiban

penyidik dalam menghadapi laporan atau pengaduan untuk menjawab persoalan

ini, Pasal 102 sampai dengan Pasal 105 sebagai berikut:

Pasal 102 KUHAP

(1) Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang

terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.

(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik daerah hukum.

Pasal 103 KUHAP

(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu.

(46)

Pasal 104 KUHAP

Dalam hal melaksanakan tugas penyidikan, penyelidik wajib menunjukan tanda

pengenalnya.

Pasal 105 KUHAP

Dalam melaksanakan tugas penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan

diberi petunjuk oleh penyelidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Berdasarkan jawaban tersebut di atas maka perlu diperhatikan beberapa faktor

yang sangat menentukan sikap penyelidik dalam tugas menerima laporan dan

pengaduan. Bahwa laporan dapat diajukan sembarang waktu, tetapi pengaduan

dibatasi oleh undang-undang dalam arti bahwa pengaduan tidak dapat diajukan

sembarang waktu, yaitu waktu-waktu tertentu. Bahwa laporan dapat dilakukan

oleh setiap orang sedang pengaduan hanya boleh orang tertentu saja. Bahwa

pengaduan berisikan bukan saja laporan akan tetapi juga diikuti, permintaan

pengaduan agar orang yang diadukan dituntut menurut hukum. Dengan demikian

jelaslah kiranya faktor-faktor tersebut pada gilirannya menentukan pula kegiatan

penyelidik dalam hal mencari keterangan dan barang bukti. Dalam hal ini

keterangan apa dan barang bukti apa yang menjadi kewajiban penyelidik untuk

diselidiki, tentu tidak sembarangan.

Kewajiban penyelidik yang terdiri dari :

1) Mengenai laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti

sebenarnya adalah masalah pembuktian apakah ada bukti-bukti yang dapat

(47)

2) Menyuruh seorang yang dicurigai berhenti dan menanyakan serta memeriksa

tanda pengenal diri.

Kewenangan tersebut bila ditelaah serta dihubungkan dengan maksud dan tujuan

penyelidikan berdasar ketentuan undang-undang, perlulah kita menarik pelajaran

dari praktik yaitu :

a) Pelaksanaan wewenang, sebagai kelanjutan hal menerima laporan dan

pengaduan.

b) Memergoki atau keadaan tertangkap tangan.

Penyidik apabila menerima laporan mengenai terjadinya peristiwa pidana yang

serius. Sebagai contoh peristiwa pembunuhan sedang pelakunya telah siap untuk

melarikan diri bila keadaan menghendaki, maka penyelidik memiliki kewenangan

untuk bertindak memeriksa dan menanyakan identitas tersangka. Seseorang yang

tertangkap tangan karena melakukan kejahatan memerlukan perhatian tertentu

untuk kasus-kasus tertentu. Karena tertangkap tangan atau kepergok pada satu

pihak merupakan peristiwa yang memperkuat pembuktian tentang siapa yang

menjadi pelaku kejahatan.

Kedua situasi di atas bila dibandingkan dengan dinamika masyarakat adalah

sedemikian rupa, sehingga polri tidak saja harus berhadapan dengan peristiwa

pidana tapi juga menjalankan tugas pencegahan dan penertiban keamanan

masyarakat. Disamping wewenang tersebut diatas, penyelidik dapat mengadakan

tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Maksudnya adalah

tindakan dari penyelidik harus memenuhi syarat-syarat seperti, tidak bertentangan

(48)

layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati, hak asasi manusia.

Selanjutnya akan dikemukakan kewajiban dan wewenang penyelidik dalam

melakukan penyelidikan. Adapun kewajiban wewenang penyelidik diatur dalam

Pasal 7 KUHAP yaitu :

(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a

karena kewajiban mempunyai wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian.

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka.

d. Melakukan penagkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan.

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau

tersangka.

h. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggungjawab.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b mempunyai

wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukum

(49)

koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1)

huruf a.

(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan

ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Hubungannya antara kewajiban dan wewenang penyidik, terdapat pada Pasal 8

ayat (1), (2), (3) dan Pasal 75 ayat (1), (2), (3) KUHAP. Didalam praktek berbagai

variasi dapat terjadi. Tentu pelapor atau pengadu tidak selalu dapat langsung

menemui pejabat polri yang berwenang melakukan penyidikan. Ada langsung

menghadap kepada Kepala Satuan Reserse atau kepada anggota pemeriksa.

Pejabat-pejabat itulah yang menentukan atau memberi instruksi mengenai

kelanjutan penyelidikan atau penyidikan.

D. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang

dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan

delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam kamus hukum

pembatasan delik tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).”29

29

(50)

Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga

suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan

sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa,

pelanggaran dan perbuatan. Pengertian tindak pidana dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam

kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik, sedangkan

pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan

istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan pidana.30

Pengertian strafbaarfeit menurut beberapa pakar antara lain:

Strafbaarfeit dirumuskan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya

Lamintang, sebagai:

“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan

sengaja ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana

penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya

tertib hukum.”31

Simons mengartikan sebagaimana dikutip dalam buku Leden Marpaung

strafbaarfeit sebagai berikut.

strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan

dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut

30

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm. 20.

31

(51)

dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai

suatu tindakan yang dapat dihukum.”32

Jonkers merumuskan bahwa

“Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatan

yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan

atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”33

Van Hamel merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai berikut:

“Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum,

yang patut dipididana dan dilakukan dengan kesalahan.”34

S.R. Sianturi merumuskan tindak pidana sebagai berikut:35

“Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan

tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh

undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh

seseorang (yang bertanggungjawab).”36

Moeljatno menyebut tindak pidana sebagai perbuatan pidana yang diartikan

sebagai berikut:

32

Referensi

Dokumen terkait

Dia adalah pengikut Stalin dan anggota dari Internasional Komunis di Moskwa Pada tahun 1925 beberapa orang pemimpin PKI membuat rencana untuk menghidupkan kembali

Hasil pengamatan isi lambung yang terdapat pada Gambar 1, Gam- bar 2, dan Gambar 3 meunjukkan bahwa ikan baung memiliki variasi makanan yang tidak cukup beragam

titik Q yang ada pada titik A, sehingga walaupun tidak ada sinyal input (atau.. ketika sinyal input = 0 Vac) transistor tetap bekerja pada daerah aktif dengan arus..

Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio kontak dengan penderita TB paru BTA positif ; mengetahui proporsi kontak yang memeriksakan dahak dalam rangka

Penelitian ini akan menfokuskan pada kondisi oseanografi pada Musim Timur (Juli 2017) dan Musim Barat (Januari 2018).Hasil analisis menunjukkan pasang-surut di

Berdasarkan uraian tersebut peneliti akan mengkaji lebih dalam mengenai interaksi komunikatif yang terjadi di pondok pesantren As Salam dengan menggunakan metode etnografi

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana menciptakan simulator suhu yang murah (kurang dari satu juta rupiah) untuk media pembelajaran keterampilan medik