• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992,

FUSI PDI: MASALAH YANG DIHADAPI

SERTA KEBERHASILANNYA DALAM PEMILU 1987 DAN 1992

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA : JHON RIVEL PURBA

NIM : 040706029

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

FUSI PDI: MASALAH YANG DIHADAPI

SERTA KEBERHASILANNYA DALAM PEMILU 1987 DAN 1992

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA : JHON RIVEL PURBA

NIM : 040706029

Pembimbing

Drs. Bebas Surbakti

NIP 195705161986011002

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

FUSI PDI: MASALAH YANG DIHADAPI

SERTA KEBERHASILANNYA DALAM PEMILU 1987 DAN 1992

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA : JHON RIVEL PURBA

NIM : 040706029

Pembimbing

Drs. Bebas Surbakti

NIP 195705161986011002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk

melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

FUSI PDI: MASALAH YANG DIHADAPI

SERTA KEBERHASILANNYA DALAM PEMILU 1987 DAN 1992

Yang diajukan oleh:

Nama: Jhon Rivel Purba

NIM: 040706029

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing

Drs. Bebas Surbakti tanggl……….

NIP 195705161986011002

Ketua Departemen Sejarah

Dra. Fitriaty Harahap, S.U tanggal……….

NIP 195406031983032001

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(5)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen

Dra. Fitriaty Harahap, S.U

NIP 195406031983032001

(6)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra USU

Dekan

Prof. Syaifuddin, M.A Ph.D

NIP 196509091994031004

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1 Drs. Bebas Surbakti ( )

2 Dra. Fitriaty Harahap, S.U ( )

3 Dra. Nurhabsyah M.Si ( )

4 Drs. Samsul Tarigan ( )

(7)

ABSTRAK

Proses penyederhanaan partai politik yang digulirkan oleh pemerintah

Orde Baru menimbulkan persoalan baru dalam iklim demokrasi di Indonesia. Hal

ini karena proses fusi partai politik bukan berdasarkan keinginan partai politik itu

sendiri, melainkan karena “paksaan” rezim yang berkuasa. Kondisi inilah yang

dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari lima

partai politik, yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Ikatan

Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, dan Partai Kristen

Indonesia (Parkindo).

Konsekuensi yang dialami PDI pasca fusi adalah persoalan identitas partai,

konflik intern, peraturan yang mengebiri partai politik, dan tekanan dari pihak

yang berkuasa. Latar belakang, ideologi, dan basis massa tiap-tiap unsur partai

yang berbeda-beda, merupakan salah satu hal mempersulit konsolidasi partai.

Selain itu konflik yang berkepanjangan di dalam tubuh PDI, baik konflik warisan,

antar unsur, maupun kepentingan pribadi, semakin menyesakkan nafas kehidupan

partai ini. Kondisi ini diperparah dengan produk perundang-undangan yang

membatasi ruang gerak partai melaksanakan fungsi-fungsinya. Sehingga bisa

dikatakan PDI hanya sebagai partai “pelengkap” demokrasi yang jauh dari massa.

Satu hal yang menarik, di tengah-tengah konflik intern yang

berkepanjangan, PDI berhasil dalam meraih dukungan rakyat khususnya generasi

muda dalam Pemilu 1987 dan Pemilu 1992. Hal ini ditandai dengan peningkatan

jumlah suara yang signifikan pada periode tersebut. Tentu banyak faktor yang

menyebabkan keberhasilan tersebut seperti faktor kepemimpinan partai, faktor

Bung Karno, dan media massa. Permasalahan PDI pasca fusi dan keberhasilannya

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam mengerjakan skripsi ini, begitu besar gelombang tantangan yang

penulis hadapi. Api semangat penulis sudah hampir padam dalam menyelesaikan

tugas akhir ini. Di saat teman-teman satu angkatan penulis sudah sibuk

mengerjakan tugas akhir dan bahkan sudah menyelesaikannya, penulis masih

terus bertanya-tanya di persimpangan jalan. Apakah melalui jalan karya dan

pengabdian, atau penyelesaian studi dari kampus untuk kemudian berkarya dan

mengabdi bagi rakyat. Selama hampir satu tahun penulis memilih jalan yang

pertama, melalui keaktifan menulis di media, penelitian dan berorganisasi.

Namun, berkat dukungan banyak pihak, penulis menyadari bahwa sudah saatnya

menyelesaikan skripsi agar lebih maksimal berkarya ketika menjadi alumni.

Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada

mereka:

1. Bapakku (Rusdiaman Purba) dan mamaku (Resniada Sinaga). Terima

kasih bapa dan mama, atas dukungan, didikan, nasehat, doa-doa, dan

segala kebaikan yang telah diberikan kepadaku. Skripsi ini

kupersembahkan untuk bapa dan mama. Kiranya Tuhan memberkati

segala mimpi-mimpi dan harapan kita.

2. Terima kasih kepada adik-adikku (Cahriady, Marwan, Jhon Canri, dan

Maria Kristina) atas dukungan kalian kepadaku. Semoga kalian lebih baik

dari aku dan tetaplah kibarkan bendera semangat kalian untuk meraih

cita-cita.

3. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra USU

Medan.

4. Ibu Dra. Fitriaty Harahap S.U, dan Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si selaku

Ketua dan Sekretaris Departemen Sejarah yang telah memberikan saran

kepada penulis.

5. Ibu Dra. Dewi Murni M.A selaku dosen wali penulis.

6. Bapak Drs. Bebas Surbakti, yang telah membimbing penulis dalam

(9)

7. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen di Departemen Sejarah yang

telah mendidik penulis selama mahasiswa. Terima kasih juga kepada Bang

Ampera yang telah memberikan pelayanan administrasi di Departemen

Sejarah.

8. Kepada UKM KMK USU yang telah membina penulis agar senantiasa

menjadi garam dan terang dunia kapan pun dan di mana pun berada.

9. Terima kasih buat kelompok kecil (KK) Rajawali (Era, Tongam, Roganda,

dan Randi) yang telah menemani penulis mengepakkan sayap terbang di

angkasa perjuangan dan dalam menyalakan obor pikiran.

10.Terima kasih kepada adik-adik kelompokku: KK Aurora (Derni, Erliana,

Friyanti, dan Sancani), KK Sejarah 08 (Cahaya, Frider, Glorika, dan Jan

Sarman), dan KK Bahasa Inggris Nomensen 07 (Bintang, Devhi, Dewi,

dan Masnita). Semoga kalian tetap bersinar.

11.Kepada kawan-kawan yang pernah mahasiswa Ilmu Sejarah khususnya

angkatan 2004. Terima kasih buat waktu yang pernah kita lalui bersama.

12.Kepada adik-adik mahasiswa sejarah, kiranya kalian tetap membudayakan

baca buku, diskusi, menulis, main bola, dan demonstrasi.

13.Terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan KDAS (Kelompok Diskusi

dan Aksi Sosial). Bagiku, KDAS adalah tempat belajar dan di sinilah

penulis menemukan roh perjuangan membebaskan kaum-kaum tertindas.

Vor Veritas.

14.Terima kasih kepada organisasi Pro-Demokrasi yang selalu membela

rakyat. Perjuangan kita tak pernah berhenti demi perubahan yang kita

cita-citakan.

15.Kepada kaum marginal (buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin).

Tetaplah teriakkan lagu pembebasan.

16.Terima kasih kepada bidadari merahku, Helen Asrona, yang selalu setia

mendukung penulis dalam mengerjakan skripsi ini dan selalu

menyegarkan jiwa penulis dalam melewati jalan-jalan berliku penuh duri.

17.Kepada para informan (Zakaria Bangun, Samsul Hilal, Sofyan Piliang,

Noerwahid, dan R. Buttu Hutapea). Terima kasih atas kepingan-kepingan

(10)

18.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua, khususnya bagi pihak yang tertarik

pada sejarah kajian politik.

Medan, 23 Oktober 2009

Penulis

(11)

KATA PENGANTAR

Sudah selayaknya dengan segenap hati dan jiwa, penulis mengucapkan

rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat-Nya, penulis bisa

menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini. Skripsi ini

dikerjakan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan perkuliahan

penulis di Departemen Sejarah Fakultas Sastra USU.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi

Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992”. Tulisan ini menguraikan

proses penyederhanaan partai politik dan fusi PDI pada tahun 1973. Ada lima

partai politik yang berfusi dalam PDI yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI),

Partai Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik,

dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Proses fusi PDI diuraikan dalam Bab II.

Pasca fusi PDI, banyak masalah yang dihadapi PDI baik dari dalam

maupun dari luar. Konflik intern, persoalan identitas partai, dan tekanan dari

penguasa merupakan masalah mendasar yang dihadapi partai banteng ini.

Masalah-masalah tersebut diuraikan dalam Bab III.

Selain itu, tulisan ini juga menganalisis keberhasilan PDI dalam Pemilu

tahun 1987 dan tahun 1992, di mana PDI memperoleh peningkatan suara yang

signifikan. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari faktor kepemimpinan DPP

PDI, pemanfaatan nama besar Bung Karno, antusiasme generasi muda, sikap

ABRI, media massa, dan faktor pendukung lainnya. Hal ini diuraikan dalam Bab

IV.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dalam

tulisan ini. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik yang kritis-konstruktif dari

pembaca demi perbaikan tulisan sederhana ini. Akhir kata, semoga tulisan ini

bermanfaat bagi pembaca. Selamat membaca dan hidup demokrasi.

Penulis

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Hasil Pemilihan Umum 1971

Tabel 2 Daerah Basis PNI Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

Tabel 3 Daerah Basis Parkindo Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

Tabel 4 Daerah Basis Partai Katolik Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

Tabel 5 Struktur DPP PDI hasil Kongres II

Tabel 6 Susunan DPP PDI 1986-1991

Tabel 7 Hasil Perolehan Kursi dan Suara Pemilu 1977

Tabel 8 Hasil Perolehan Kursi dan Suara Pemilu 1982

Tabel 9 Hasil Perolehan Kursi dan Suara Pemilu 1987

Tabel 10 Perolehan Kursi PDI untuk DPR-RI

Tabel 11 Persentase Perolehan Suara PDI

Tabel 12 Hasil Perolehan Kursi dan Suara Pemilu 1992

(13)

DAFTAR SINGKATAN

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AD/ART : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga

BP : Badan Pekerja

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

DPC : Dewan Pimpinan Cabang

DPD : Dewan Pimpinan Daerah

DPP : Dewan Pimpinan Pusat

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

F-ABRI : Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

F-KP : Fraksi Karya Pembangunan

F-PDI : Fraksi Partai Demokrasi Indonesia G 30 S : Gerakan 30 September

Golkar : Golongan Karya

IPKI : Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia KOSGORO : Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong KOTI : Komando Operasi Tertinggi

LPU : Lembaga Pemilihan Umum

MKGR : Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

NU : Nahdlatul Ulama

OPP : Organisasi Peserta Pemilu

Parkindo : Partai Kristen Indonesia Parpol : Partai Politik

PDI : Partai Demokrasi Indonesia

PKI : Partai Komunis Indonesia

PNI : Partai Nasional Indonesia

Pemilu : Pemilihan Umum

PPP : Partai Persatuan Pembangunan

RRI : Radio Republik Indonesia

SI : Sarikat Islam

SK : Surat Keputusan

SOKSI : Serikat Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia

TPS : Tempat Pemungutan Suara

TVRI : Televisi Republik Indonesia

UU : Undang-Undang

UUD : Undang-Undang Dasar

(14)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.4 Tinjauan Pustaka... 12

1.5 Metode Penelitian ... 14

BAB II PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN FUSI PDI ... 15

2.1 Latar Belakang dan Proses Fusi Partai Politik ... 15

2.2 Sejarah Singkat Lima Partai Politik yang Berfusi ke dalam PDI .... 19

2.2.1 Partai Nasional Indonesia (PNI) ... 20

2.2.2 Partai IPKI ... 21

2.2.3 Partai Murba ... 21

2.2.4 Parkindo ... 22

2.2.5 Partai Katolik ... 23

2.3 Struktur Organisasi dan Rekrutmen PDI ... 24

2.4 Hubungan PDI dengan Massa Pendukung Setelah Fusi ... 28

BAB III MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI PDI PASCA FUSI... 32

3.1 Konflik Intern ... 33

3.2 Persoalan Identitas Partai ... 45

3.3 Perundang-undangan Yang Mengebiri Partai Politik ... 48

BAB IV KEBERHASILAN PDI DALAM PEMILU 1987 DAN 1992 ... 51

4.1 Pemilu Sebelum 1987 ... 51

4.2 Pemilu 1987 ... 54

(15)

4.2.2 Faktor Bung Karno ... 57

4.2.3 Kepemimpinan PDI, Sikap NU, ABRI, dan Media Massa ... 59

4.2.4 Pemungutan dan Penghitungan Suara ... 61

4.2.5 Masalah Dalam Pemilu 1987 ... 64

4.3 Pemilu 1992 ... 64

4.3.1 Metode Kampanye ... 65

4.3.2 Faktor Bung Karno ... 66

4.3.3 Kepemimpinan PDI, Sikap NU, ABRI, dan Media Massa ... 67

4.3.4 Pemungutan dan Penghitungan Suara ... 69

4.3.5 Masalah Dalam Pemilu 1992 ... 70

BAB V KESIMPULAN... 72

DAFTAR PUSTAKA ...

DAFTAR INFORMAN ...

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang

anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita kekuasaan.1

Pergerakan nasional berkembang pesat sejak berdirinya Budi Utomo pada

20 Mei 1908 di Jakarta. Pada perkembangan selanjutnya menjadi partai-partai

politik yang didukung massa buruh-tani. Dalam konteks pergerakan nasional, Tujuan

kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasan politik dan merebut kedudukan

politik dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan

mereka. Partai politik juga merupakan salah satu pilar negara demokrasi. Di

Indonesia, partai politik telah memainkan peranan yang cukup penting dan berarti

bagi perjuangan kemerdekaan, pengisian kemerdekaan dan bagi pelaksanaan

prinsip-prinsip demokrasi.

Munculnya partai politik di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan politik

etis yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke-20.

Salah satu isi dari politik etis tersebut adalah edukasi (pendidikan), yang diberikan

kepada penduduk pribumi. Namun, kebijakan ini justru menjadi bumerang bagi

pihak penjajah (Belanda) karena pendidikan telah membentuk kesadaran kritis

kaum-kaum terpelajar melihat penderitaan yang dialami rakyat. Budi Utomo

merupakan organisasi pergerakan nasional pertama yang pendiriannya

dipengaruhi oleh kemelaratan dan kebodohan rakyat.

1

(17)

partai-partai politik berdiri untuk mempermudah penyebaran, pengorganisasian,

dan pencapaian cita-cita.2

Kehadiran partai politik di Indonesia secara garis besar adalah sebagai

aktualisasi dari tiga aliran yaitu Islam, Nasionalisme, dan Marxisme/Sosialisme.

Aktualisasi aliran Islam muncul pertama kali dalam Sarikat Islam (SI), sebagai

partai politik pertama di Indonesia yang bercorak nasional. Sarikat Islam menjadi

lebih menampakkan diri sebagai partai politik sejak 1912, di bawah pimpinan

H.O.S Tjokroaminoto. Pada saat inilah mulai tersusun program dasar partai dan

program kerja partai. Partai ini pada periode awal mampu mengidentitaskan

dirinya untuk perjuangan kemerdekaan.

Kehadiran organisasi nasional lainnya seperti Sarikat

Islam dan Indische Partij semakin mengancam Budi Utomo. Dua organisasi yang

terakhir ini dapat disebut sebagai partai politik pertama di Indonesia. Unsur-unsur

yang tidak puas dalam Budi Utomo berpindah ke dalam dua organisasi itu.

3

PKI yang lahir pada 1920 dalam waktu singkat berkembang dengan pesat,

baik dalam bidang organisasi maupun dalam usaha memasyarakatkan

Marxisme/Komunisme. PKI berhasil memikat kaum intelektual Indonesia,

terutama dengan memperkenalkan analisa Lenin dan Bucharin tentang Wibawa SI sebagai partai pelopor, pada 1920-an disaingi dan dikalahkan

oleh PKI dan PNI. Hal ini karena terjadi perpecahan di tubuh SI yang ditandai

dengan lahirnya tiga golongan yaitu: golongan berhaluan komunis merah,

berhaluan Islam radikal fanatik, dan berhaluan nasional. Lahirnya tiga golongan

dalam SI tentu mempengaruhi masa depan partai politik pertama ini.

2

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005, hlm. 131.

3

(18)

imperialisme sebagai tingkat terakhir dari kapitalisme. Setelah pemberontakan

PKI 1926/1927 yang persiapannya tidak matang, aktivitas politiknya menghilang

dari peredaran politik dan aktif kembali setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah PKI menghilang, kedudukannya sebagai partai radikal

revolusioner digantikan oleh PNI yang didirikan oleh Ir. Soekarno dan

kawan-kawannya pada 1927. PNI adalah aktualisasi dari ideologi nasionalisme sekuler

dalam pegerakan politik Indonesia. Soekarno banyak belajar dari

pengalaman-pengalaman dan kesalahan SI dan PKI. Soekarno menemukan strategi perjuangan

bahwa ketiga ideologi politik, Islam, marxisme, dan nasionalisme harus bersatu.

Hanya dengan persatuan inilah perjuangan untuk mencapai kemerdekaan akan

berhasil.4

Sesudah kemerdekaan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat

(BPKNIP) yang berfungsi sebagi parlemen mendesak pemerintah agar diberikan

kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya mendirikan partai-partai politik. Hal ini

dipenuhi pemerintah dengan adanya Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945

yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.

PNI adalah partai non-kooperatif yang tujuannya kemerdekaan. Akhir

1929 Soekarno dan beberapa tokoh PNI lainnya ditangkap dan dihukum. Dengan

dipelopori Mr. Sartono, PNI dibubarkan pada 1931. Pada pokoknya sesudah PNI

dibubarkan sampai kedatangan Jepang pada 1942, tidak ada satu ideologi yang

dominan dalam pergerakan politik Indonesia. Sedangkan pada masa pendudukan

Jepang (1942-1945) seluruh kegiatan partai politik dihentikan.

5

4

Ibid., hlm. viii-ix.

5

Ibid., hlm. 64.

Maklumat tersebut

(19)

maklumat pemerintah inilah kemudian berdiri berbagai partai politik baik yang

meneruskan partai politik yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan

zaman pendudukan Jepang maupun yang baru berdiri sama sekali. Akhirnya,

partai politik bermunculan, baik partai politik nasional maupun lokal dengan latar

belakang ideologi yang beragam.

Adapun partai politik di Indonesia sejak dikeluarkannya Maklumat

Pemerintah tersebut adalah: Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),

Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo),

Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia Raya (PIR),

Partai Indonesia Raya (PARINDRA), Partai Rakyat Indonesia, Partai Benteng

Republik Indonesia, Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Wanita Rakyat, Partai

Kebangsaan Indonesia (PARKI), Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Serikat

Kerakyatan Indonesia (SKI), Partai Ikatan Nasional Indonesia (PINI), Partai

Rakyat Jelata (PRJ), Partai Tani Indonesia (PTI), Perkumpulan Wanita Demokrat

Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai

Murba, Partai Buruh, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI), Partai

Demokrat Tionghoa, Partai Indo Nasional, Nahdlatul Ulama (NU), dan Ikatan

Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).6

Pada tahun 1950 lahir negara kesatuan di bawah naungan UUDS 1950, di

mana demokrasi liberal atau demokrasi parlementer dijalankan secara penuh. Pada

periode ini, perpecahan politik dalam kubu ideologi Islam dan Nasionalisme

semakin kambuh. Sejak tahun 1952 pendukung utama Masyumi tinggal

Muhammadiyah sedangkan NU menjadi partai politik. Periode ini ideologi politik

6

(20)

Islam diwakili empat partai yaitu: Masyumi, NU, PSSI (memisah dari Masyumi

pada tahun 1947), PERTI dan PPTI (Partai Persatuan Tarikat Indonesia). Dari

kubu Nasionalisme ada PNI, PIR (Partai Indonesia Raya), PRN (Partai Rakyat

Nasional) dan lain-lain. Dari Komunisme ada PKI dan Acoma (Angkatan

Komunis Muda). Perpecahan di kalangan Komunisme ternyata lebih kecil.

Pada masa demokrasi liberal, kepentingan golongan sering lebih

diutamakan dari kepentingan negara. Masyumi dan PNI mengakhiri masa-masa

kerjasamanya sejak tahun 1953. PNI mulai didekati PKI. Dampaknya, Indonesia

selalu diancam oleh pergantian kabinet yang umumnya berumur pendek. Tetapi

demokrasi liberal mencatat suatu peristiwa pelaksanaan demokrasi yang penting

yaitu penyelenggaraan pemilu pertama pada tanggal 25 Nopember 1955. Pada

pemilu ini, jumlah partai mencapai 36 partai politik. Pemilu tersebut tidak

sanggup menurunkan jumlah partai. Sebanyak 27 partai masih mempunyai hak

hidup, artinya mempunyai kursi dalam parlemen.7

Ada 37.875.299 orang yang memberikan hak suaranya dari 43.104.464

penduduk yang mempunyai hak pilih. Artinya sebanyak 87,65% pemilih

berpartisipasi dalam pemilu dengan memberikan hak suaranya. PNI, Masyumi,

NU, dan PKI adalah empat partai besar hasil pemilu tersebut yang memperoleh

78% dari suara yang sah.8

7

Manuel Kaisiepo, “Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia”, Prisma, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1991, hlm. 222.

8

Rusli Karim, Op.cit., hlm. 121.

Pemilu ini membentuk dua badan legislatif yaitu

parlemen dan majelis konstituante yang bertugas menyusun UUD yang permanen

menggantikan UUDS 1950. Banyak pihak yang mengatakan bahwa pemilu yang

(21)

Kemacetan dalam masalah dasar negara, akhirnya majelis ini dibubarkan

oleh kekuatan ekstra parlementer lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan

dukungan tentara. Setelah itu ditetapkanlah Demokrasi Terpimpin (1959-1965),

Presiden Soekarno menjadi pusat seluruh kekuasaan. Sehingga parpol kehilangan

kebebasannya. Pada awal 1960 parlemen dibubarkan dan digantikan dengan

DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang anggotanya dipilih

sendiri. Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dikucilkan dari semua

jabatan politik.

Pada masa ini terjalin kerjasama antara Soekarno dan tentara, dan antara

Soekarno dan PKI. Kerjasama ini berakhir dengan meletusnya G 30 S pada 1965.

Situasi ini membawa lahirnya Orde Baru dengan Demokrasi Pancasilanya.

Namun, dalam pelaksanaannya, tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Karena

pemegang kekuasan sesudah hancurnya Soekarno dan PKI dimonopoli oleh elit

militer.

Orde baru membawa warna baru bagi politik Indonesia dengan empat

strategi politik, yaitu penghancuran PKI, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian

Pancasila dan UUD 1945, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan

nasional, dan mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan

(ekonomi).

Salah satu tantangan politik nasional pada awal kebangkitan Orde Baru

adalah penataan infra struktur politik. Oleh karena itu, pembangunan politik

diarahkan pada strukturisasi lembaga-lembaga politik. Sehingga pemilihan umum

menjadi fokus utama, mengingat wakil-wakil rakyat yang menduduki lembaga

(22)

pengangkatan oleh presiden. Akhirnya pemilihan umum ini bisa dilaksanakan

pada tanggal 3 Juli 1971.

Pemilihan umum yang kedua di Indonesia ini diikuti oleh sepuluh

kekuatan politik. Kesepuluh kendaraan politik itu adalah: Partai Katolik, Partai

Syarikat Islam Indonesia (PSSI), Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin

Indonesia (Parmusi), Golongan Karya (Golkar), Partai Kristen Indonesia

(Parkindo), Murba, Partai Nasional Indonesia (PNI), Pergerakan Tabiyah

Islamiyah (Perti), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).9

Golongan Karya merupakan pendatang baru yang mendapat dukungan dari

pemerintah dan ABRI. Golkar adalah realisasi dari upaya yang telah dirintis sejak

zaman Demokrasi Terpimpin. Wadah baru yang lahir tanggal 20 Oktober 1964 ini

menghimpun hampir 300 buah organisasi fungsional non-politis yang berorientasi

kepada karya dan kekaryaan, yang dulunya tidak berorientasi kepada politik

dengan tiga organisasi sebagai tulang punggungnya, yaitu SOKSI, MKGR dan

KOSGORO.10

9

Ibid., hlm. 167.

10

Ibid., hlm. 160.

Dalam pemilihan umum ini Golongan Karya dengan tema sentral “politik

no, pembangunan yes” dan dengan dukungan ABRI tampak lebih mengena

kampanyenya di mata rakyat sambil mengungkit-ungkit kegagalan dan kelemahan

partai politik pada masa lalu. Hal ini untuk menarik massa politik dan sekaligus

dalam rangka melumpuhkan partai politik. Ditambah dengan kejelian dalam

membaca situasi serta memanfaatkan fasilitas yang dimiliki pemerintah, sehingga

kampanyenya jauh lebih meriah dibandingkan dengan partai-partai politik yang

(23)

Adapun hasil akhir dari Pemilihan Umum tahun 1971, dapat dilihat dari

tabel di bawah ini:

Tabel 1: Hasil Pemilihan Umum Tahun 1971

Partai Jumlah Suara Kursi Persentase

Golkar 34.348.673 227 62,8

Sumber: Daniel Dhakidae, Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Pasang Surut Partai Politik, Prisma, No. 9, September 1981 dan Adriana Elisabeth Sukamto dkk, PDI dan Prospek Pembangunan Politik (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1991), hlm. 80.

Kemenangan Golongan Karya sebagai pendatang baru menimbulkan tanda tanya

besar. Ada orang yang berpendapat, kemenangan tersebut disebabkan oleh

kecurangan, paksaan, dan menggunakan kekuasaan ABRI. Sementara Ali

Murtopo sebagai orang yang berkepentingan dengan Golongan Karya menilainya

dari sudut pandang lain. Dia mengatakan, pemilihan umum tahun 1971

menunjukkan bahwa harapan rakyat ditumpahkan kepada Golongan Karya.

Kemenangan ini membuat Golkar leluasa membuat keputusan tanpa

mempedulikan suara pihak partai politik lain, karena jumlah seluruh suara yang

dapat diperoleh partai lain tidak dapat menyamai suara yang diperoleh Golkar.11

11

Manuel Kaisiepo, Op.cit., hlm. 215.

Kehadiran Golongan Karya pada masa Orde Baru ini dapat dipandang

sebagai realisasi dari keinginan para elit politik, yang dalam kurun pertama Orde

Baru ini digantikan oleh ABRI ditambah teknokrat sebagai pengganti kaum sipil

(24)

Salah satu hal yang menonjol di dalam periode perjalanan partai politik

pada masa Orde Baru adalah adanya penciutan jumlah partai politik. Usaha

penyederhanaan partai ini sudah mulai dipikirkan pemerintah orde baru sejak

tahun 1966. Kemudian pada awal tahun 1970, di hadapan sembilan partai politik

dan Golkar yang ikut dalam pemilu tahun 1971, Presiden Soeharto mengutarakan

maksud pemerintah untuk melakukan pengelompokan partai-partai politik.

Pengelompokan tersebut terdiri dari tiga golongan, yaitu Golongan Nasional,

Golongan Spiritual, dan Golongan Karya.12

Usulan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Partai yang mendukung

adalah PNI dan IPKI, kemudian diikuti oleh Parmusi dan NU. Sedangkan

golongan yang menolak pengelompokan partai adalah Parkindo dan Partai

Katolik.13

Pengelompokan parpol tersebut merepotkan pembagian fraksi DPR hasil

Pemilu tahun 1971. Hasil Pemilu tahun 1971 yang menyingkirkan Murba dan

IPKI sebagai partai yang tidak memiliki wakil dalam DPR menimbulkan

persoalan mengenai keberadaan kedua partai itu. Selain itu, MPR hasil Pemilu

tahun 1971 memutuskan hanya akan ada tiga organisasi peserta pada Pemilu tahun

1977.

Akhirnya pada tanggal 4 Maret 1970, terbentuklah Golongan

Nasionalis yang terdiri dari PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan Parkindo.

Golongan Spiritual terbentuk pada tanggal 14 Maret 1970 yang terdiri dari NU,

Parmusi, PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), dan Perti (Persatuan Tarbiyah

Islamiyah).

12

Arif Zulkifli, PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafiti, 1996, hlm. 56.

13

(25)

Golongan Spiritual berubah menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

pada tanggal 5 Januari 1973. Partai berlambang Ka’bah ini menampung NU,

Parmusi, Perti, dan PSSI. Kemudian pada tanggal 10 Januari 1973 Golongan

Nasionalis resmi menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Persetujuan pembentukan

PDI ditandatangani oleh wakil-wakil setiap unsur. Mereka adalah, Achmad

Sukarmadidjaja dan Mh. Sadri (IPKI), Ben Mang Reng Say dan F.S.

Wignjosoemarsono (Partai Katolik), A. Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo), S.

Mubantoko dan Djon Pakan (Murba), serta Mh. Isnaeni dan Abdul Madjid

(PNI).14

Bagi PDI, pemfusian partai menimbulkan konflik intern yang

berkepanjangan di dalam tubuh PDI. Konflik intern disebabkan oleh persaingan

antar unsur dan antar individu. Mereka yang sering berkonflik adalah mereka

yang berasal dari unsur PNI.

Pemfusian partai ini membawa konsekuaensi buruk bagi partai politik.

Pertama, posisi partai menjadi begitu tergantung kepada tendensi politik nasional

yang sebenarnya tidak mengakar pada rakyat banyak. Kedua, fusi menjadikan

partai politik sulit menjelaskan esensi kehadirannya di hadapan tata politik

nasional yang ada. Karena proses fusi ini adalah kehendak dari penguasa Orde

Baru, bukan kehendak dari partai politik itu sendiri.

15

14

Ibid., hlm. 58.

15

Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, PDI Dan Prospek Pembangunan Politik, Jakarta: Penerbit Grasindo, 1991, hlm. 54-55.

Selain itu, PDI kehilangan identitas sebagai partai

yang bersatu. Latar belakang ideologis yang berbeda di antara partai yang berfusi

menjadikan PDI kehilangan simbol dirinya. Hal ini berakibat langsung kepada

(26)

Islam, maka PDI tidak punya pilihan ideologis. Selain itu, kondisi PDI juga

banyak dipengaruhi faktor eksternal yang tidak menguntungkan.16

Dengan melihat gambaran singkat di atas, maka masalah yang dihadapi

PDI pasca fusi serta keberhasilannya dalam Pemilu tahun 1987 dan tahun 1992,

sangat menarik untuk dikaji, apalagi belum banyak sejarawan yang mengkajinya

di Sumatera Utara. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mencoba

menguraikan masalah yang dihadapi PDI sejak pemfusian partai (1973) hingga

Pemilu tahun 1992. Pemilihan topik ini tentunya berdasarkan kedekatan

emosional dan intelektual penulis.17

1. Bagaimana proses penyederhanaan partai politik dan fusi PDI

Meskipun demikian, penulis tetap bersikap

kritis dalam melakukan penelitian agar hasilnya obyektif. Dalam hal ini penulis

bebas dari tarik ulur kepentingan apapun kecuali kepentingan akademis.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji tiga permasalahan penting dari

perjalanan politik PDI. Adapun permasalahan yang dikaji yaitu:

2. Apa masalah yang dihadapi PDI pasca fusi

3. Mengapa PDI berhasil dalam Pemilu tahun 1987 dan tahun 1992

Seperti yang telah di singgung sebelumnya, pembatasan periode tahun

1973-1992 dikarenakan pada tahun 1973 merupakan fusi PDI. Tentunya banyak

persoalan-persoalan timbul khususnya yang dialami oleh PDI dalam perjalanan

politiknya. Tulisan ini dibatasi sampai tahun 1992, di mana pada Pemilu tahun

1992 ini, PDI memperoleh peningkatan jumlah suara yang meningkat drastis dari

16

Arif Zulkifli, Op.cit., hlm. 59.

17

(27)

pemilu sebelumnya meski terjadi konflik internal yang berkepanjangan di dalam

tubuh partai ini.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan

1. Menguraikan proses penyederhanaan partai politik dan fusi PDI

2. Menjelaskan masalah yang dihadapi PDI pasca fusi

3. Menganalisis keberhasilan PDI dalam Pemilu tahun 1987 dan tahun 1992

1.3.2 Manfaat

1. Menambah wawasan pembaca mengenai perjalanan politik PDI dalam

peta politik nasional

2. Menambah literatur dalam penulisan sejarah guna membuka ruang

penulisan sejarah yang berikutnya

3. Memberikan pelajaran bagi pembaca khususnya partai politik agar

menjadi cermin dalam berdemokrasi

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam pemilihan topik, penulis menggunakan pendekatan emosional

seperti yang dikatakan oleh Kuntowijoyo. Namun, penulis tidak melepaskan

begitu saja refrensi untuk melakukan penelitian. Penulis menggunakan refrensi

yang berkaitan dengan topik penulisan. Buku pertama yang penulis gunakan yaitu

“Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut”18

18

Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut, Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1983.

yang

ditulis oleh Rusli Karim. Buku ini menjelaskan perjalanan partai politik di

(28)

mempunyai kaitan dengan topik yang akan dikaji penulis, terutama dalam

menguraikan proses penyederhanaan partai politik dan pelaksanaan pemilihan

umum.

Buku kedua yaitu berjudul “PDI Di Mata Golongan Menengah

Indonesia” 19

Buku yang ketiga berjudul “Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia” yang ditulis oleh Arif Zulkifli. Buku ini mengkaji perjalanan PDI

dalam konteks politik pada masa orde baru, mulai dari latar belakang fusi PDI,

konflik, hingga persoalan-persoalan yang dialami oleh PDI sebagai partai

nasionalis. Buku ini membantu penulis membongkar masalah-masalah yang di

hadapai oleh PDI pasca fusi. Secara umum, masalah yang dihadapi PDI pasca fusi

yaitu: konflik intern, persoalan identitas, dan peraturan-peraturan yang merugikan

partai politik khususnya PDI.

20

Sedangkan buku keempat yang penulis gunakan berjudul “PDI Dan

Prospek Pembangunan Politik”

menjelaskan mengenai partai dan sistem kepartaian di Indonesia. Buku ini

membahas tentang tipe konflik yang terjadi di tubuh PDI. Konflik di dalam tubuh

PDI secara umum dibagi dalam tiga tipe, yaitu: konflik di tingkat pusat, konflik

yang terjadi antar unsur, dan konflik antara pimpinan partai dengan

anggota-anggotanya di DPR. Meski hanya secara umum, namun buku ini cukup

membantu dalam penulisan.

21

19

Arif Zulkifli, PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafiti, 1996.

20

Manuel Kaisiepo, Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1991.

21

Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, PDI Dan Prospek Pembangunan Politik, Jakarta: Penerbit Grasindo, 1991.

yang ditulis oleh Adriana Elisabeth Sukamto,

(29)

pada tahun 1987, dimana PDI berhasil menarik simpati masyarakat yang ditandai

dengan perolehan suara yang melonjak tajam dibandingkan dengan perolehan

suara yang diperoleh pada Pemilu sebelumnya. Selain itu, buku ini juga mengkaji

konflik intern yang dialami PDI, upaya penyelesaian konflik, serta

masalah-masalah PDI yang lain, seperti identitas partai, kemandirian, dan kaderisasi.

Tulisan ini berhubungan dengan topik tulisan yang dikaji penulis, terutama dalam

melihat gambaran umum konflik intern PDI serta strategi PDI dalam menghadapi

pemilu.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan lima tahap, yaitu: pemilihan

topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.22

22

Kuntowijoyo, Op.cit., hlm. 90.

Seperti

yang telah diuraikan sebelumnya, penulis menggunakan kedekatan emosional

dalam pemilihan topik. Pada tahap pengumpulan sumber (heuristik), penulis

melakukan studi pustaka dengan mempergunakan buku-buku dan dokumen

seperti arsip maupun kliping koran yang berhubungan dengan topik penulisan.

Selain itu, penulis juga melengkapinya dengan melakukan studi lapangan

dengan metode wawancara. Wawancara dilakukan kepada tokoh-tokoh PDI

sesuai dengan periode kajian penulis. Kemudian setelah data terkumpul memadai,

penulis akan mengadakan kritik sumber (verifikasi), secara intern (kredibilitas)

maupun ekstern (original). Setelah dilakukan kritik maka langkah selanjutnya

adalah interpretasi berdasarkan data-data yang telah diperoleh. Sebagai langkah

akhir, penulis akan merangkai peristiwa sejarah secara kronologis maupun

(30)

BAB II

PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN FUSI PDI

2.1 Latar Belakang dan Proses Fusi Partai Politik

PDI terbentuk sebagai perwujudan dari keinginan mengadakan

pembaharuan struktur politik yang timbul sejak awal tumbuhnya pemerintahan

Orde Baru tahun 1966. Ketika itu, ada keinginan dari pemerintah dan masyarakat

umum bahwa pembaharuan struktur politik harus dilakukan dengan cara

menyederhanakan sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaharuan struktur

politik meningkat seiring dengan kritik terhadap partai-partai politik yang

dianggap telah memperlihatkan perangai buruk dalam sistem politik yang berlaku

sebelumnya.23

Penyederhanaan tersebut dilatarbelakangi oleh terjadinya berbagai gejolak

politik pada sistem kepartaian lama, yang mengakibatkan terhambatnya

pelaksanaan pembangunan (ekonomi) nasional. Gejolak politik tersebut tercermin

dari jatuh-bangunnya kabinet dan terjadinya aksi-aksi protes melalui demonstrasi.

Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip Arbi Sanit, mencatat bahwa selama periode

tahun 1945-1965 tidak kurang dari 25 buah kabinet yang jatuh bangun. Dari

jumlah tersebut hanya tujuh kabinet yang berhasil memerintah selama 12 sampai

23 bulan. Terdapat 12 kabinet yang berumur antara 6 sampai 11 bulan, dan 6 buah

kabinet hanya dapat bertahan antara 1 sampai 4 bulan. Selain itu terdapat 45 buah Yang dimaksud dengan fusi partai politik adalah pengelompokan

organisasi sosial politik yang pada Pemilihan Umum 1971 berjumlah 10

organisasi sosial politik.

23

(31)

protes melalui demonstrasi, 83 hura-hura dan 615.000 orang tewas yang

disebabkan oleh kekerasan politik selama periode 1948-1967.24

Ketidakstabilan politik pada masa Orde Lama disebabkan oleh kelemahan

elit untuk bekerja sama satu sama lain dan belum melembaganya struktur dan

prosedur politik yang mampu memberi tempat kepada masyarakat luas untuk

mengambil bagian dalam proses politik.25 Ketidakstabilan politik melahirkan

kondisi ekonomi yang memprihatinkan bagi pembangunan nasional. Keadaan

ekonomi nasional merosot, hutang luar negeri semakin bertambah, dan laju inflasi

meningkat drastis. Dalam tahun 1966, hutang luar negeri Indonesia sebesar US $

2.447.000.000 dan laju inflasi naik dengan cepat dari 109 persen pada Desember

1963 menjadi 1.320 persen pada akhir Juni 1966.26

Dengan lahirnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966, maka generasi

muda pendukungnya, terutama sekali dari mahasiswa dan kaum intelektual

mengharapkan perubahan-perubahan drastis dalam sistem politik. Nazaruddin

Syamsuddin menyatakan bahwa karena generasi muda memahami Orde Baru

sebagai lawan dari Orde Lama, maka mereka mengharapkan Orde Baru

menjungkirbalikkan situasi politik. Mereka mendambakan suatu keadaan di mana Sebaliknya perkembangan

lembaga-lembaga politik berjalan dengan cepat. Lahirnya partai-partai politik

serta lembaga-lembaga politik seperti Front Nasional, KOTI dan lain-lain dalam

tahun 1960-an ternyata lebih memberi tempat kepada partisipasi dan mobilisasi

massa secara politik. Dengan demikian tidak terjadi keseimbangan antara

partisipasi politik dan kemajuan ekonomi.

24

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta: C.V. Rajawali, 1987, hlm. 1.

25

Ibid.,

26

(32)

Orde Baru dapat menghilangkan kontrol politik yang diterapkan rezim demokrasi

terpimpin, dan menggantikannya dengan sistem lain berdasarkan demokrasi

parlementer.27

Penyederhanaan sistem kepartaian diawali pada tahun 1970 dengan

pendekatan pemerintah kepada ke-9 partai politik untuk mengelompokkan partai

menjadi dua. Partai yang dianjurkan bergabung dalam kelompok spritual adalah

partai-partai politik yang berdasarkan agama, yaitu: Nahdatul Ulama (NU), Partai

Muslimin Indonesia (Parmusi), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai

Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia

(Parkindo). Sedangkan ke dalam kelompok nasionalis dianjurkan partai-partai

politik yang berhaluan nasionalis, yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai

Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Murba.

Hal ini bisa dipahami karena peran pemuda/mahasiswa cukup

besar sebagai agen-agen perubahan (agent of change).

Usaha pertama yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk memenuhi

harapan masyarakat, khususnya generasi muda adalah menciptakan stabilitas

politik sebagai landasan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Upaya itu

dilaksanakan dengan menganjurkan kepada kesembilan partai politik untuk

mengelompokkan diri menjadi dua kelompok, yaitu kelompok nasionalis dan

kelompok spritual. Pengelompokan tersebut diharapkan terciptanya partai politik

yang lebih efektif untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

28

Pengelompokan demikian tidak bisa diterima oleh Partai Katolik dan

Parkindo. Kedua partai tersebut tidak bersedia bergabung dengan partai-partai

27

Nazaruddin Syamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1989, hlm. 150.

28

(33)

yang berlandaskan agama dan lebih setuju bergabung dengan kelompok

Nasionalis.

Perdebatan-perdebatan mengenai pengelompokan partai politik menjadi

issu yang hangat menjelang pemilihan umum pertama pada masa Orde Baru, yang

diselenggarakan pada 1971. Bisa dikatakan bahwa hasil yang nyata mengenai

penyederhanaan sistem kepartaian sampai pada pelaksanaan pemilihan umum

tersebut belum kelihatan. Satu-satunya hasil yang menunjukkan tanggapan dari

partai-partai politik terhadap usul pemerintah adalah munculnya kelompok

Nasionalis pada tanggal 9 Maret 1970, yang merupakan wadah kerja sama bagi

partai-partai yang beraliran nasionalis.29

Kemenangan Golongan Karya pada Pemilihan Umum 1971 memberikan

legitimasi konstitusional sebagai kekuatan politik yang dominan. Kemenangan itu

juga memberi pengesahan yang lebih kuat akan kehadiran pemerintah Orde Baru

di tengah masyarakat Indonesia. Pengesahan ini menurut Fachry Ali memberikan

kekuatan lebih untuk semakin mengkonsentrasikan kekuasaan pemerintah atas

realitas sistem politik yang kemudian diwujudkan dalam penyederhanaan jumlah

partai politik. Kemenangan mutlak Golongan Karya menjadikannya sebagai aktor

tunggal dalam panggung politik nasional sejak tahun 1971.

Sementara itu, usaha pengelompokan

partai-partai politik yang berlandaskan agama masih dalam tahap pendekatan

antar partai, sehingga sampai Pemilihan Umum 1971, kontestan masih tetap

berjumlah sepuluh organisasi, yang terdiri dari sembilan partai politik dan satu

Golongan Karya.

(34)

didukung oleh Golkar dan ABRI telah menyalahgunakan kekuasaan dalam

periode berikutnya.

Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika pemerintah yang

didominasi Golongan Karya berhasil memaksakan jumlah partai politik dalam

sistem kepartaian nasional. Untuk tugas ini, pemerintah menunjuk ketua Operasi

Khusus (Opsus), Brigjen Ali Murtopo, Asisten Pribadi Presiden, Brigjen Sudjono

Hamardani, Kepala Bakin Sutopo Yuwono dan Brigjen Tjokropranolo sebagai

penghubung pemerintah dengan partai-partai politik.31

Partai-partai politik yang berfusi dalam PDI memiliki latar belakang,

ideologi dan basis massa yang berbeda-beda. Lima partai politik tersebut

mewakili lima paham atau ideologi yang berbeda, yaitu: marhaenisme,

nasionalisme, sosialisme, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik.

Akhirnya, usaha penyederhanaan tersebut berjalan. Pada tahun 1973 fusi

partai-partai politik dilaksanakan secara resmi. Kelompok Demokrasi

Pembangunan atau Kelompok Nasionalis menjelma secara resmi menjadi Partai

Demokrasi Indonesia (PDI) pada tanggal 10 Januari 1973. Demikian juga

kelompok-kelompok spritual atau Kelompok Persatuan melebur menjadi Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973. Kedua partai hasil

fusi inilah yang bertarung kembali dengan Golongan Karya pada Pemilihan

Umum selanjutnya.

2.2 Sejarah Singkat Lima Partai Politik yang Berfusi ke dalam PDI

32

31

Ibid., hlm. 194.

32

Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, Op.cit., hlm. 1.

Lima paham

(35)

2.2.1 Partai Nasional Indonesia (PNI)

PNI yang didirikan Soekarno dan kawan-kawan seperjuangan pada tanggal

4 Juli 1927, menganut paham Marhaenisme ajaran Soekarno. Menurut rumusan

Soekarno sendiri, marhaen adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia

yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain. Sedangkan,

marhaenisme adalah asas dan cara perjuangan menuju kepada hilangnya

kapitalissme, imperialime, dan kolonialisme. Dan Marhaenis adalah tiap-tiap

orang bangsa Indonesia, yang menjalankan marhaenisme.33 Memperhatikan

makna ajaran-ajaran Soekarno itu memang tidak terelakkan kesan yang juga

diakui oleh Soekarno sendiri bahwa Marhaenisme adalah Marxime yang

disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.34

Hal yang menarik untuk ditelaah, apakah dukungan yang luas kepada PNI

itu semata-mata disebabkan oleh asas Marhaenisme ataukah oleh figur Soekarno

sebagai seorang pemimpin kharismatis yang sangat berpengaruh, baik pada masa

sebelum dan sesudah kemerdekaan. Bagi PNI, Soekarno barangkali dianggap

bukan saja sebagai pendiri atau pencetus ajaran Marhaenisme yang menjadi asas

partai, tetapi lebih dari itu telah menjadi kunci dalam mengikat hubungan dengan

massa pendukungnya.

Marhaenisme telah menjadi

ideologi yang berakar dan mendapat dukungan luas dari masyarakat

pendukungnya, sekaligus menjadi identitas PNI. Dukungan yang luas terhadap

partai ini menjadikannya partai pemenang Pemilu 1955.

35

33

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hlm. 23

34

Roeslan Abdulgani, Sosialisme Indonesia, Jakarta: Yayasan Prapantja, 1964, hlm. 36.

35

Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, Jakarta: Rajawali Pers, 1984, hlm. 10.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Soekarno telah

(36)

massa pendukungnya di seluruh Indonesia.36

IPKI didirikan pada tanggal 20 Mei 1954. Bertujuan untuk mengakhiri dan

melenyapkan seluruh penderitaan rakyat lahir bathin, dan memberikan hikmat

rohaniah dan jasmaniah kepada seluruh rakyat, dengan menjamin keselamatan,

ketentraman, dan kemakmurannya dengan menciptakan tata masyarakat Indonesia

yang adil makmur sebagai penjelmaan Pancasila dan jiwa proklamasi dan UUD

1945.

Simbol-simbol PNI inilah yang

mendominasi warna di dalam tubuh PDI pasca fusi, termasuk penonjolan gambar

Bung Karno.

2.2.2 Partai IPKI

37

Partai yang didirikan pada tanggal 3 Oktober 1948 oleh Tan Malaka,

berazaskan anti fasisme, anti imperialisme, dan anti kapitalisme. Tujuannya

adalah mempertahankan dan memperkokoh tegaknya kemerdekaan 100% bagi Partai ini merupakan wadah kegiatan politik bagi para pejuang

kemerdekaan, karena itu partai ini kuat pada paham nasionalisme. Partai ini

merupakan unsur minoritas dalam PDI dan sejak terbentuknya tidak pernah

mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam percaturan politik nasional.

Dalam Pemilihan Umum 1971, partai hanya memperoleh 338.403 suara (0,62

persen) dan tidak memperoleh kursi di legislatif.

2.2.3 Partai Murba

36 Ibid. 37

(37)

republik dan rakyat sesuai dengan dasar dan tujuan Proklamasi 17 Agustus 1945,

menuju masyarakat sosialis.38

Partai ini merupakan gabungan dari tiga partai yaitu Partai Rakyat, Partai

Rakyat Djelata dan Partai Indonesia Buruh. Dalam pemilihan umum 1971, partai

Murba hanya memperoleh suara di bawah 400.000 sehingga seharusnya tidak

mendapat tempat di parlemen. Suara terbanyak yang diperolehnya dalam

pemilihan umum itu adalah di Jawa Barat, berjumlah 10.042 suara.

39

Parkindo lahir pada tanggal 10 November 1945 sebagai peleburan dari

beberapa partai Kristen yang pada mulanya berdiri sendiri-sendiri di wilayah

Indonesia. Partai-partai itu antara lain Partai Kristen Indonesia (Parki) yang

didirikan oleh Melanthon Siregar di Medan pada bulan September 1946, Partai

Kristen Nasional (PKN) di Jakarta, Partai Politik Masehi (PPM) di Pematang

Siantar, Persatuan Masehi Indonesia (PMI) yang didirikan oleh Ratulangi dan dua

kelompok politik minoritas di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Perserikatan

Kristen dan Perserikatan Christen Djawa. 2.2.4 Parkindo

40

Dilihat dari namanya, jelas partai ini memakai basis agama sebagai sumber

legitimasinya sekaligus menunjukkan identitasnya. Basis massa partai ini

terutama di daerah-daerah dimana penduduknya beragama Kristen, seperti

Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Maluku. Dalam

Pemilu 1971, partai ini meraih 745.359 suara (1,34 persen) dan mendapatkan

tujuh kursi di legislatif.

38

Ibid., hlm. 97.

39

Manuel Kaisiepo, Op.cit., hlm. 319.

40

(38)

2.2.5 Partai Katolik

Partai ini didirikan pada tanggal 8 Desember 1945 dengan nama Partai

Katolik Republik Indonesia (PKRI), sebagai kelanjutan dari Perkumpulan Politik

Katolik Indonesia yang ada sebelum Perang Dunia II. Dalam Kongres 17

Desember 1949, PKRI diganti menjadi Partai Katholik. Partai ini bertujuan

bekerja dengan sekuat-kuatnya untuk kemajuan Republik Indonesia dan

kesejahteraan rakyatnya.41

41

Rusli Karim, Op.cit., hlm. 79.

Hampir sama dengan Parkindo, Partai Katolik juga memakai basis agama sebagai

sumber legitimasinya dan sekaligus sebagai identitasnya. Basis massanya juga

berada di daerah-daerah dimana penduduknya menganut agama Katolik, seperti

Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Sumatera

Utara. Dalam Pemilu 1971, perolehan suaranya tidak jauh beda dengan Parkindo,

yaitu meraih 605.740 suara (1,11 persen) tapi hanya meraih tiga kursi di legislatif.

Gambaran singkat di atas menunjukkan keanekaragaman latar belakang

sejarah pembentukan, basis massa, dan ideologi yang menjadi identitas dari

kelima partai yang berfusi dalam PDI. Secara yuridis-formal, PDI sebagai hasil

peleburan merumuskan identitasnya sebagaimana dirumuskan dalam Anggaran

Dasarnya, yaitu berwatak serta bercirikan Demokrasi Indonesia, Kebangsaan

Indonesia, dan Keadilan Sosial yang perjuangannya berdasarkan Pancasila, tetapi

ini nampaknya belum cukup teruji keampuhannya sebagai sumber legitimasi dan

(39)

2.3 Struktur Organisasi dan Rekrutmen PDI

Struktur dari setiap organisasi dapat diketahui dari Anggaran Dasar atau

Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dari organisasi tersebut. Di dalam Anggaran

Dasarnya, struktur organisasi PDI secara keseluruhan adalah sebagai berikut.

Kongres merupakan lembaga tertinggi dan pemegang kekuasaan tertinggi

dalam partai, yang diadakan empat tahun sekali. Pemegang kekuasaan partai

adalah Majelis Permusyawaratan Partai (MPP), sedangkan Dewan Pimpinan Pusat

(DPP) merupakan pimpinan partai tertinggi dalam melaksanakan tugas eksekutif

sehari-hari. Terdapat juga Dewan Pertimbangan Partai baik di tingkat pusat,

daerah maupun di tingkat cabang.

Majelis Permusyawaratan Kongres

Dewan Pimpinan Pusat

Dewan Pimpinan Cabang Dewan Pertimbangan

Daerah

Dewan Pimpinan Daerah

Dewan Pertimbangan Cabang

Dewan Pertimbangan Pusat

Komisaris Kecamatan

(40)

Dewan Pimpinan Pusat sebagai lembaga eksekutif partai, terdiri dari

seorang Ketua Umum, beberapa orang Ketua, seorang Sekretaris Jenderal, dan

beberapa orang Sekretaris Jenderal, yang komposisinya mencerminkan

masing-masing unsur dalam PDI.

Jabatan Ketua Umum selalu menjadi jatah PNI sebagai unsur terbesar

dalam PDI di tingkatan pusat, sedangkan jabatan ketua yang terdiri dari enam

orang dibagi antara kelima unsur. Di tingkat daerah maupun cabang,

komposisinya disusun berdasarkan perkiraan besarnya massa pendukung

masing-masing unsur yang bisa diketahui dari hasil pemilihan umum tahun 1955 dan

1971. Daerah yang mayoritas massanya adalah PNI (Bali, Jawa Barat, Jawa

Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta), maka ketua DPD atau DPC-nya berasal dari

unsur PNI. Sementara, basis Parkindo dan Partai Katolik (Sulawesi Utara, Nusa

Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya), maka jabatan ketuanya dipegang oleh

kedua unsur tersebut.

Tabel 2: Daerah Basis PNI Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

No. Propinsi Jumlah

(41)

Tabel 3: Daerah Basis Parkindo Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

No. Propinsi Jumlah Suara

PDI 1971*

* Penggabungan suara PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI.

Tabel 4: Daerah Basis Partai Katolik Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

No. Propinsi Jumlah Suara

PDI 1971*

* Penggabungan suara PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI.

Susunan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia

(42)

22.Wakil Sekjen : Djon Pakan

28.Bendahara : Mustafa Supangat

29.Bendahara : Drs. Zakaria Raib

Sumber: Buku Kongres Pertama PDI (Partai Demokrasi Indonesia), halaman 124.

Adapun Struktur DPP PDI hasil Kongres II adalah sebagai berikut.

Tabel 5: Struktur DPP PDI hasil Kongres II

Jabatan Personel Unsur

Ketua Umum Prof. Dr. Soenawar Soekawati SH PNI

Ketua

Drs. Hardjantho Soemodisastro PNI

A. Wenas Parkindo

A. Sukarmadidjaja IPKI

H. Muhidin Nasution MURBA

F. S. Wignjosumarsono Partai Katolik

Mh. Isnaeni PNI

Sekretaris Jenderal Sabam Sirait Parkindo

Wakil Sekjen

Drs. Jusuf Merukh PNI

V. B. da Costa SH Partai Katolik

Andi Parenrengi IPKI

Djon Pakan MURBA

Bendahara Umum M. B. Samosir Partai Katolik

Bendahara Notosukardjo MURBA

J. H. D. Tahamata IPKI

Mustafa Soepangat IPKI

Indra Bhakti PNI

Sumber: Buku Partai Demokrasi Indonesia

Dengan komposisi yang disusun berdasarkan perwakilan proporsional

kelima unsur tersebut, maka timbul akibat yang membawa kelemahan dalam

penyesuaian struktural. Muncullah figur-figur yang seadanya tanpa melalui pola

rekrutmen yang selektif, karena hanya untuk memenuhi porsi perwakilan

(43)

Hal ini menunjukkan bahwa PDI belum mampu mencetak kader-kadernya sendiri

yang siap direkrut ke tingkat pimpinan.

2.4 Hubungan PDI dengan Massa Pendukung Setelah Fusi

Sebagaimana dikemukakan di atas, fusi telah mengaburkan basis

legitimasi masing-masing unsur yang berfusi dalam PDI. Faktor-faktor yang

selama ini mengikat partai dengan massa pendukungnya menjadi terputus. Dalam

keadaan demikian hubungan antara partai dengan massa pendukungnya berada

dalam kondisi yang longgar. Tambahan lagi, terdapat kecenderungan

kepemimpinan partai berorientasi ke atas (penguasa), sehingga partai semakin

asing terhadap masyarakat yang berada di lapisan bawah.42

Perbedaan basis legitimasi dan identitas antara berbagai unsur yang

bergabung di dalamnya, jelas akan menyulitkan partai ini dalam mencapai

perumusan tentang siapa dirinya terhadap massa. Apa yang dinyatakan dalam Dengan diundangkannya UU No. 3/1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya, maka partai politik kembali dituntun dalam suasana politik yang

kurang menguntungkan. Sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat 1 undang-undang

tersebut, struktur kepengurusan partai politik dan Golongan Karya yang bersifat

otonom hanya di ibu kota kabupaten/kotamadya. Di kota kecamatan dan desa,

struktur kepengurusannya hanyalah merupakan komisaris pembantu atau sebagai

pelaksana Pengurus Daerah Tingkat II. Kondisi seperti ini mengakibatkan

terputusnya hubungan organisatoris antara partai dengan massa di daerah

pedesaan.

42

(44)

Anggaran Dasarnya bahwa PDI berwatak dan bercirikan Demokrasi Indonesia,

Kebangsaan Indonesia, dan Keadilan Sosial, sesungguhnya adalah upaya

menjelaskan ideologi atau identitasnya. Namun penjelasan itu tampaknya masih

abstrak dan kabur atau dengan kata lain belum cukup kuat untuk menjadi suatu

penegasan tentang identitas yang dicari. Karena ketidakmampuannya

merumuskan identitas partai secara kongkrit, maka PDI kurang menumbuhkan

proses identifikasi dirinya dengan masyarakat.

Hubungan antara massa pendukung dengan PDI pada awal proses fusi

memperlihatkan ciri sebagai hubungan antara massa pendukung dengan sebuah

partai massa. Artinya, bahwa kekuatan partai ditentukan jumlah massa

pendukung. Dalam kondisi seperti itu, kualitas atau kemampuan kader-kader

partai menjadi pertimbangan nomor dua. Dalam kerangka perkembangan partai,

kondisi tersebut tidak menguntungkan karena dalam pola hubungan itu,

perekrutan kader-kader partai tidak akan berjalan dengan baik.

Memang, berbagai faktor perlu diperhatikan untuk memahami pola

hubungan partai-massa dalam PDI. Faktor-faktor itu antara lain fusi dan segala

konsekuensinya, diundangkannya UU No. 3/1975 dan tindakan depolitisasi

masyarakat yang lahir sebagai tindak lanjut UU No. 3/1975.

Sebagaimana telah diuraikan, setelah Deklerasi Fusi tahun 1973, eksistensi

unsur-unsur partai yang bergabung dalam PDI secara formal telah berakhir.

Dengan demikian ideologi atau ciri dari masing-masing unsur tersebut pada

dasarnya juga turut berakhir. PDI sebagai wadah baru bagi kegiatan politik kelima

partai yang bergabung dihadapkan pada suatu kondisi dimana identitas partai

(45)

Kebijakan fusi pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai pemutusan

hubungan ideologis antara partai dengan massa pendukung. Dengan demikian

maka sejak terbentuknya PDI melalui fusi, massa pendukung partai ini berada

dalam kondisi yang dilematis. Banyak di antara pendukung salah satu unsur, baik

PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba dan IPKI, tetap menyatakan diri sebagai

pendukung unsur tersebut, tetapi tidak sebagai anggota PDI. Hal ini menunjukkan

bahwa PDI sebagai wadah kegiatan politik masih asing di hadapan sebagian

pendukung kelima unsur yang bergabung di dalamnya.

Perombakan infrastruktur politik sebagai konsekuensi penetapan UU No.

3/1975 adalah juga merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan untuk

melihat hubungan antara partai dengan massa. Terbatasnya struktur kepengurusan

otonom partai sampai di tingkat kabupaten (DPC) menyebabkan terputusnya

hubungan organisatoris antara partai dengan massa. Hal ini menyebabkan

longgarnya ikatan antara kedua pihak, yang pada gilirannya melemahkan

kedudukan partai di tengah masyarakat.

Proses depolitisasi masyarakat yang lahir sebagai konsekuensi

undang-undang tersebut menciptakan kondisi massa mengambang. Masyarakat direkayasa

sedemikian rupa sehingga tidak begitu jauh terlibat dalam masalah-masalah

politik. Dengan kata lain, partisipasi politik sebagai salah satu tonggak sistem

demokrasi, dikebiri dalam rangka pembangunan nasional.

Kebijakan ini ditinjau dalam rangka penciptaan stabilitas politik yang

mantap, memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini terlihat dalam kondisi politik

nasional yang secara keseluruhan dapat dikatakan cukup stabil. Namun dilihat

(46)

pembangunan politik, penciptaan kondisi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai

demokrasi. PDI yang pada masa awal fusi merupakan partai massa dengan basis

di daerah pedesaan sangat terpukul dengan pembatasan tersebut, dan hal ini sangat

berpengaruh terhadap proses konsolidasi intern dan ekstern partai ini dalam peta

(47)

BAB III

MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI PDI PASCA FUSI

Bagi partai politik khususnya PDI, pemfusian partai membawa sejumlah

konsekuensi yang memperlambat perputaran roda politiknya. Konsekuensi

pertama, timbulnya konflik intern yang berkepanjangan dalam tubuh PDI. Sejak

kongres pertama hingga tahun 90-an, konflik intern tidak pernah tuntas. Konflik

intern disebabkan oleh dua hal: persaingan antar unsur dan vest interst antar

individu. Bagi sebagian pengamat, justru konflik antar individu yang dilandasi

kepentingan pribadilah yang banyak mewarnai konflik dalam tubuh PDI. Mereka

yang sering berkonflik adalah mereka yang berasal dari unsur PNI.43

Konsekuensi kedua, hilangnya identitas PDI sebagai partai yang bersatu.

Latar belakang ideologis yang berbeda di antara partai yang berfusi menjadikan

PDI kehilangan simbol dirinya. Ini berakibat langsung terhadap perfoma PDI di

depan massa pemilihnya. Tidak seperti PPP yang mengidentikkan dirinya dengan

Islam, maka PDI tidak punya pilihan ideologis.44

43

Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, Op.cit., hlm. 54-55.

44

Arif Zulkifli, Op.cit., hlm. 59.

Selain itu, kondisi PDI pasca fusi juga banyak dipengaruhi faktor

eksternal, yakni disahkannya UU organisasi sosial poilitik dan UU pemilu yang

tidak menguntungkan partai politik, termasuk PDI. Kebijakan massa mengambang

yang melarang parpol memiliki satuan di tingkat kecamatan dan desa menjadikan

PDI kehilangan basis massa pendukung. Padahal, partai yang berfusi dalam PDI,

(48)

3.1 Konflik Intern

Konflik dalam tubuh PDI muncul segera setelah Kongres I PDI berakhir

(1977). Konflik terjadi antara Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranawidjaja (ketua

umum dan ketua Dewan Pimpinan Pusat hasil Kongres I) melawan Achmad

Sukarmadidjaja dan Muhidin Nasution (keduanya juga ketua DPP hasil Kongres

I). Pertentangan kemudian memunculkan kubu-kubu di antara anggota yang lain.

Konflik berawal dari perbedaan pendapat mengenai pencalonan unsur PDI

untuk duduk dalam jabatan pemimpin MPR/DPR. Ketika itu Isnaeni terpilih

menjadi wakil ketua MPR/DPR dengan dukungan F-KP dan F-ABRI. Namun, hal

itu ditentang lawan-lawan politiknya dalam tubuh PDI. Perbedaan pendapat ini

kemudian melebar dengan digantinya Ketua Umum Sanusi Hardjadinata dan Usep

Ranawidjaja. Mereka digantikan secara sepihak oleh Mh. Isnaeni sebagai ketua

umum dan Soenawar Soekawati sebagai ketua DPP dengan cara membentuk DPP

tandingan. Pembentukan DPP tandingan ini dilakukan atas prakarsa Achmad

Sukarmadidjaja. Hal ini tentu saja ditolak oleh Sanusi/Usep dan dianggap

inkonstitusional.45

45

Manuel Kaisiepo, Op.cit., hlm. 79.

Kemelut yang melibatkan sebagian besar tokoh dari PNI ini

kemudian memecah pengurus PDI lainnya menjadi dua kubu. Pengurus dari unsur

IPKI dan Murba mendukung DPP Peralihan, sedangkan Partai Katolik dan

Parkindo menentangnya.

Setelah konflik berlarut-larut, maka pada tanggal 16 Januari 1978

tercapailah kesatuan kembali di antara pihak-pihak yang bersengketa. Namun,

“rujuk” di antara dua kubu tersebut tidak lepas dari peran pemerintah, dalam hal

(49)

“Rujuk” tersebut kemudian melahirkan DPP baru, yakni Sanusi

Hardjadinata (ketua umum); Isnaeni, Soenawar Soekawati, Hardjantho, Usep

Ranawidjaja, dan Abdul Madjid (ketua); Aberson M. Sihaloho, Adipranoto (wakil

sekjen), dan Notosukardjo (bendahara). Sedang komposisi wakil-wakil dan bekas

unsur politik lain tidak mengalami perubahan.

Namun, penyelesaian oleh pemerintah ternyata lebih merupakan

penyelesaian politis dan bukan organisatoris yang dapat diterima oleh kedua belah

pihak. Ini terbukti beberapa waktu berselang Sanusi Hardjadinata

membebastugaskan Isnaeni dan Soenawar Soekawati melalui Keputusan Ketua

Umum No. 003/XI/1978 tanggal 24 November 1978. Tidak ada alasan yang jelas

dari pembebastugasan ini. Isnaeni/Soenawar pun, dengan mengatasnamakan wakil

DPP PDI, melakukan serangan balasan dengan menarik Sanusi Hardjadinata dari

kursi ketua umum. Situasi kemudian tidak menentu. Sampai akhirnya, pada

tanggal 16 Oktober 1980, Sanusi mengundurkan diri dari jabatan ketua umum

PDI.

Konflik kemudian memanas kembali menjelang Kongres II, Januari 1981.

Ketika itu terjadi perbedaan pendapat antara Soenaar/Isnaeni dengan mereka yang

menamakan dirinya “Kelompok Empat” mengenai pelaksanaan Kongres II.

Soenawar dan Isnaeni mendukung pelaksanaan kongres, sedangkan Kelompok

Empat yang terdiri dari Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandaouw,

dan Zakaria, menolaknya. Menurut Kelompok Empat, penyelenggaraan Kongres

II tidak sesuai dengan UU No. 3/1975, AD/ART Partai, dan Keputusan Kongres I.

Keberatan mereka adalah karena kongres akan dilangsungkan tanpa didahului

Gambar

Tabel 1: Hasil Pemilihan Umum Tahun 1971
Tabel 2: Daerah Basis PNI Berdasarkan Hasil Pemilu 1971
Tabel 4: Daerah Basis Partai Katolik Berdasarkan Hasil Pemilu 1971
Tabel 5: Struktur DPP PDI hasil Kongres II
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan buku saku pada kelas eksperimen memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran dengan

Kanker leher rahim atau lebih dikenal dengan nama kanker serviks, menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian pada perempuan di

Identifikasi Dan Aplikasi Strain Azolla Asal Bondowoso Dalam Meningkatkan Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah ( Oryza sativa L ) Fakultas Pertanian: Universitas Muhammadiyah

Pandangan MUI NTB yang tidak menyalahkan intervensi Pemerintah provinsi NTB melalui SE Gubernur yang mengatur tentang batas usia minimal menjadi 21 tahun syarat usia menikah

Seorang wanita usia 30 tahun datang ke poli penyakit dalam dengan keluhan sesak napas, kemudian dilakukan pemeriksaan foto thorax PA diinstalasi radiologi.. Pada foto

Sumber ide-ide inovasi tersebut dapat berasal dari pemimpin, pegawai maupun masyarakat, untuk mengurangi pungutan liar dan percaloaan dalam layanan perizinan usaha di

terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan, standar asuhan keperawatan dan standar pelayanan

Seperti halnya model Kemp, model lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan produk terkait dengan pembelajaran adalah model Pengembangan Dick &