• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCURIAN PIRING DALAM PERKARA KASASI OLEH JAKSA TERHADAP PUTUSAN BEBAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCURIAN PIRING DALAM PERKARA KASASI OLEH JAKSA TERHADAP PUTUSAN BEBAS"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Febri Trinata Maliki

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCURIAN PIRING DALAM PERKARA KASASI OLEH JAKSA

TERHADAP PUTUSAN BEBAS Oleh

Febri Trinata Maliki

Salah satu tindak pidana yang diatur dalam KUHP yaitu mengenai tindak pidana pencurian yang tercantum dalam Pasal 362 KUHP. Salah satu contoh kasus tindak pidana pencurian yaitu yang dilakukan oleh Rasmiah alias Rasminah binti Rawan yang terjadi di Tangerang pada bulan Februari tahun 2007. Pada tingkat Pengadilan Negeri Tangerang Rasminah dibebaskan karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Pada perkembangannya jaksa mengajukan kasasi dengan alasanjudex facti telah salah menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya dan putusan judex facti merupakan putusan bebas tidak murni. Mahkamah Agung kemudian menerima dan mengabulkan kasasi tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang dan mengadili Terdakwa dengan pidana penjara 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari. Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pencurian piring dalam perkara kasasi oleh jaksa? (2) Apakah dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memberikan Putusan Bersalah terhadap pelaku pencurian piring dalam perkara kasasi oleh jaksa?

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan responden sebanyak 3 (tiga) orang yaitu 1 Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, 1 Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 1 Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Metode pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Data selanjutnya dianalisis menggunakan analisis kualitatif dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan secara induktif.

(2)

Febri Trinata Maliki (sepuluh) hari sudah tepat. Dengan pertimbangan: a. Piring yang di ambil terdakwa bukan sekedar piring biasa, melainkan piring antik yang memiliki nilai historis dan materiil bagi korban dan korban merasa dirugikan. b. Pada saat melakukan tindak pidana pencurian terdakwa dalam keadaan sadar dan tidak terganggu jiwanya. c. Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP. d. Sedangkan unsur kesalahan yang harus dipenuhi terdakwa adalah kemampuan bertanggung jawab, unsur kesengajaan (dolus/opzet), serta unsur tidak ada alasan pemaaf. (2) Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memberikan Putusan Bersalah terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Pencurian Piring yaitu: a.Terdakwa memenuhi unsur-unsur yang didakwakan. b. Alasan-alasan pengajuan kasasi oleh jaksa dapat dibenarkan oleh karena judex facti telah salah menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya; c. Pemohon Kasasi / Jaksa berhasil membuktikan bahwa putusanjudex facti (Pengadilan Negeri) adalah putusan bebas tidak murni. c. Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 27 Februari 2012 hanya untuk tindak pidana ringan yang batasanya tidak lebih dari Rp 2.500.000.00, (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Ini berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan berdasarkan hukum dilaksanakan oleh setiap warga negara. Di setiap negara hukum, pelaku penyimpangan norma hukum diharuskan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena norma hukum dibuat untuk dipatuhi sehingga apabila dilanggar maka dikenakan sanksi, seperti halnya Negara Republik Indonesia yang dengan tegas menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara atas dasar hukum dan tidak berdasar kekuasaan belaka.

Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam penanggulangan tindak pidana atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umumnya dan korban pada khususnya. Penanggulangan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan).

(4)

melalui tahapan-tahapan tersebut pelaku tindak pidana harus dibuktikan terlebih dahulu apakah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut atau tidak. Hal tersebut adalah yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang terdakwa dapat mempertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Apabila ternyata tindakannya bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab maka dipidana.

Hukum pidana mengenal asas kesalahan yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld). Asas tersebut harus benar-benar diperhatikan oleh hakim sebelum memutuskan suatu perkara. Karena hal tersebut sangatlah penting demi terciptanya keadilan bagi semua pihak. Pidana hanya dapat dijatuhkan apabila kesalahan terdakwa benar-benar ada.

Keputusan hakim didapat dengan cara menafsirkan ketentuan-ketentuan yang berlaku berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim. Apabila terdakwa atau penuntut umum merasa tidak puas dengan keputusan hakim tersebut, dapat mengajukan upaya hukum dalam tenggat waktu yang ditentukan dalam ketentuan undang-undang.

Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan hakim, karena semua putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil memihak. Oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi dapat diperbaiki. Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat dilakukanoleh jaksa.

(5)

Permai Blok A6 No. 9 dan Jalan Mahoni Blok A7 No. 8 RT. 01/09 Kelurahan Sawah Lama Kecamatan Ciputat Tangerang Selatan, dimana terdakwa yang bernama Rasminah alias Rawan telah melakukan pencurian di rumah saksi HJ. Siti Aisiyah MR Soekarno Putri berupa beberapa piring yang termasuk barang antik. Akibat perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi HJ. Siti Aisiyah MR Soekarno Putri mengalami kerugian sekitar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) atau setidak-tidaknya lebih dari Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah). Dalam proses penyelesain kasus pencurian ini, terdakwa dibebaskan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.775/Pid.B/2010/ PN.TNG tanggal 22 Desember 2010.

Berdasarkan fakta-fakta yang ada, dalam perkembangannya pada tanggal 4 Januari 2011 Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tangerang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Tersebut karena Jaksa/Penuntut Umum menganggap judex facti telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya terhadap putusan Pengadilan Negeri Tangerang. Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tangerang karena pemohon Kasasi/Jaksa berhasil membuktikan bahwa putusan Judex facti (Pengadilan Negeri) adalah putusan bebas tidak murni, dan menghasilkan Putusan No. 653/K/Pid/2011, yang menyatakan terdakwa Rasmiah alias Rasminah binti Rawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian” yang diatur dalam pasal 362 KUHP dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari.

(6)

rumah tangga dan barang yang dicuri hanyalah 6 (enam) buah piring. Jaksa Agung Basrief Arief juga menyatakan prihatin dengan penanganan kasus-kasus kecil harus diselesaikan hingga ke meja hijau. (http./www.jaringnews.com/jaksa-agung-prihatin-kasus-rasminah-sampai-ke-pengadilan.htm).

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tindak pidana pencurian yang kemudian di tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pencurian Piring Dalam Perkara Kasasi Oleh Jaksa Terhadap Putusan Bebas (Studi Putusan No.653K/Pid/2011)”.

B. Rumusan Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan yaitu:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana pencurian piring dalam Perkara Kasasi? (Studi Putusan. No. 653/K/Pid/2011)?

(7)

2.Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat permasalahan tersebut memerlukan suatu pembatasan ruang lingkup , ruang lingkup dalam penulisan ini terbatas pada dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bersalah pada tingkat kasasi dan pandangan Mahkamah Agung mengenai perbuatan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “pencurian” Berdasarkan Studi Putusan

No.( 653/K/Pid/2011).

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam perkara pencurian piring yang

dilakukan Terdakwa (Studi Putusan. No. 653/K/Pid/2011).

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bersalah terhadap Terdakwa dalam tindak pidana pencurian piring (Studi Putusan. No. 653/K/Pid/2011).

2. Kegunaan Penelitian

Agar hasil penelitian dapat dicapai, maka setiap penelitian berusaha untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(8)

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dan sumbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal proses penyelesaian tindak pidana pada tingkat kasasi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan (Abdulkadir Muhammad, 2004:73).

Pengertian Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebabankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-suyarat tertentu itu.

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah di ancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

(Moeljatno, 1993: 1)

(9)

Mengenai subyek atau pelaku perbuatan pidana secara umum hukum hanya mengakui sebagai pelaku, sedangkan pertanggungjawaban pidana dianut asas kesalahan, yang berarti untuk dapat menjatuhkan pidana kepada pembuat delik disamping harus memenuhi unsur-unsur rumusan delik juga harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab. (Barda Nawawi Arief, 2002: 85).

Dengan adanya atau berlakunya asas kesalahan tersebut, tidak semua atau belum tentu semua pelaku tindak pidana dapat dipidana. Misalnya, orang gila telah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap seorang anak yang sedang bermain. Orang gila tersebut tidak dapat dipidana karena tidak memiliki kemampuan bertanggungjawab sebagai unsur dari kesalahan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Adapun unsur dari kesalahan itu sendiri selain kemampuan bertanggungjawab yaitu unsur kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian (culpa/alpa), serta unsur tidak ada alasan pemaaf.

Menurut Moeljatno (1993: 165), dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa untuka danya kemampuan bertanggungjawab harus ada:

(1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

(10)

Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang tidak.Yang ke dua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang di perbolehkan dan mana yang tidak. (Moeljatno, 1993: 165-166)

Pasal yang mengatur mengenai kemampuan bertanggungjawab ini adalah Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu berdasarkan undang-undang ada beberap ahal yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak mampu bertanggungjawab, misalnya masih di bawah umur, ingatannya terganggu oleh penyakit, dayapaksa, pembeban terpaksa yang melampaui batas. Apabila keadaan-keadaan tersebut melekat pada pelaku tindak pidana, maka undang-undang memaafkan pelaku sehingga ia terbebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Menurut Mackenzei (dalam Ahmad Rifai, 2010:106), ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut :

a. Teori keseimbangan.

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

b. Teori pendekatan seni dan intuisi.

(11)

umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

c. Teori pendekatan keilmuan.

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

d. Teori pendekatan pengalaman.

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori ratio decidendi.

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

(12)

Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian atau penulisan (Abdulkadir Muhammad, 2004:78). Ada beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan pengertian dasar mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi, yaitu sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa karangan, perbuatan dan sebagainya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya ( Kamus Besar Bahasa Indonesia 1999:20).

b. Pertanggungjawaban secara singkat dapat diartikan suatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yan telah dilakukan. Roeslan Saleh (1981: 80) menjelaskan pertanggungjawaban adalah suatu pernbuat yang tercela menurut masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Seseorang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat.

c. Kasasi adalah pembatalan atas keputusan pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

(13)

wewenang oleh undang undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang."

e. Tindak pidana pencurian dalam Pasal 362 KUHP adalah:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang

lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

f. Piring adalah wadah berbentuk bundar pipih dan sedikit cekung (ceper) terbuat dari porselen (seng/plastik) tempat meletakkan nasi yang hendak dimakan, tempat lauk pauk dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2000:34).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan yang baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan hukum terdiri dari lima bab, yaitu:

I. PENDAHULUAN

(14)

Merupakan bab yang membahas tentang tindak pidana, tindak pidana pencurian, pandangan Jaksa mengenai pengajuan Kasasi,dan putusan bersalah terhadap pelaku pencurian piring. III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang membahas tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai karakteristik responden, pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana pencurian piring dalam perkara Kasasi dandasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusan bersalah pada perkara Kasasi berdasarkan ( putusan No. 653 K/Pid/2011).

V. PENUTUP

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencurian

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yaknidelictum(Teguh Prasetyo, 2011:47). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang tindak pidana.”

Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni: 1. Suatu perbuatan manusia;

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; 3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. (Teguh Prasetyo, 2011:48)

Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pencurian menyebutkan, "Barangsiapa mengambil barang secara menyeluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

(16)

memiliki; dan perbuatan mengambil itu dilakukan secara melawan hukum. Dan apabila dirinci lebih jelas, rumusan itu terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif berikut ini :

a. Unsur-unsur objektif dalam pencurian

Perbuatan mengambil (wegnemen). Bahwa dengan adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian merupakan tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif atau perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau ke dalam kekuasaannya.

Sebagaimana dalam banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari-jari sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mangambil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil disini adalah harus terdapat perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut kedalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak.

(Kartanegara, 1:52 atau Lamintang, 1979:79-80).

(17)

Unsur keadaan yang menyertai atau melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Kemudian siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain? Orang lain ini harus diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap benda-benda milik suatu badan misalnya milik negara. Jadi benda yang dapat menjadi objek pencurian ini haruslah benda-benda yang ada pemiliknya, karena benda-benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.

b. Unsur - unsur subjektif yang terdapat dalam pencurian

Adanya maksud yang ditujukan untuk memiliki. Maksud untuk memiliki disini terdiri atas dua unsur, yakni unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Kedua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja.

(18)

(Satochid Kartanegara, 1:171)

Memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, si petindak sudah mengetahui dan sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan kedalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya. (Moeljatno, 1983:182).

Unsur maksud merupakan bagian dari kesengajaan. Sedangkan apa yang dimaksud dengan melawan hukum (wederrechtelijk) undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. Dilihat dari mana atau oleh sebab apa sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu, dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil, dan kedua melawan hukum materiil.

B. Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana

(19)

1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada

orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.(Moeljatno, 1993: 1)

Pengertian tersebut adalah salah satu pendapat ahli mengenai hukum pidana. Dari pengertian itu dapat diketahui bahwa hukum pidana mengatur mengenai tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pidana. Masalah pertanggungjawaban pidana tidak dapat dipisahkan dengan pelaku tindak pidana dan kesalahan (Mens Rea).

(20)

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Adapun unsur-unsur dari kesalahan itu sendiri selain kemampuan bertanggungjawab yaitu unsur kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian (culpa/alpa), serta unsur tidak ada alasan pemaaf. Unsur-unsur kesalahan tersebut dijelaskan satu persatu sebagai berikut:

1. Kemampuan Bertanggung Jawab

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur pertama dari kesalahan yang harus terpenuhi untuk memastikan bahwa pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau dapatdipidana. Kemampuan bertanggungjawab biasanya dikaitkan dengan keadaan jiwa pelaku tindak pidana, yaitu bahwa pelaku dalam keadaan sehat jiwanya atau tidak pada saat melakukan tindak pidana.

Menurut Moeljatno (1993: 165), dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

(21)

Pasal yang mengatur mengenai kemampuan bertanggung jawab ini adalah Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu berdasarkan undang-undang ada beberapa hal yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak mampu bertanggung jawab, misalnya masih di bawah umur, ingatannya terganggu oleh penyakit, daya paksa, pembeban terpaksa yang melampaui batas. Apabila keadaan-keadaan tersebut melekat pada pelaku tindak pidana, maka undang-undang memaafkan pelaku sehingga ia terbebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Ilmu kedokteran kejiwaan dikenal beberapa jenis penyakit jiwa yang membuat seseorang tidak mampu untuk bertanggung jawab untuk sebagian. Beberapa penyakit tersebut antara lain yaitu: a. Kleptomanieadalah penyakit jiwa yang berwujud dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk

mengambil barang orang lain, tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya di larang,

b. Pyromanie adalah penyakit jiwa berupa kesukaan untuk melakukan pembakaran tanpa alasan sama sekali.Seseorang yang menderita penyakittersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya yang berhubungan dengan penyakitnya. Namun jika ia melakukan perbuatan pidana yang tidak ada hubungannya dengan penyakitnya maka ia dapat dipidana. Sedangkan dalam hal lain yaitu seseorang kurang mampu bertanggung jawab atau memiliki kekurangan kemampuan untuk bertanggung jawab, faktor tersebut digunakan untuk memberikan keringanan dalam pemidanaan. Cara menentukan kekurangan kemampuan untuk bertanggung jawab ini dinyatakan oleh psikiater berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan.

2. Kesengajaan (Dolus/Opzet) dan Kealpaan (Culpa/Alpa)

(22)

dilakukan. Mengenai kesengajaan (dolus/opzet), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan pengertian. Namun pengertian kesengajaan (dolus/opzet) dapat diketahui dari MvT(Memorievan Toelichting), yang memberikan arti kesengajaan sebagai “menghendaki dan mengetahui”.

Hukum pidana mengenal beberapa teori yang berkaitan dengan kesengajaan (dolus/opzet) yaitu:

a. Teori Kehendak (Wilstheorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

b. Teori Pengetahuan atau Membayangkan (Voorstellingtheorie)

Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya.

(dalam Tri Andrisman, 2009: 102)

Kesengajaan (dolus/opzet)memiliki 3 (tiga) bentuk corak batin yaitu:

1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan (opzet alsoogmerk) atau dolus directus.

2) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zeker heid sbewustzijn).

(23)

“Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dipidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satutahun”.

Pasal lain yang mengatur hal yang sama antara lain Pasal 188, Pasal 360, dan Pasal 409 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun alasan pembentuk undang-undang mengancam pidana perbuatan yang mengandung unsur kealpaan dapat di ketahui dari MvT (Memorie van Toelichting), yaitu:

“ada keadaan yang sedemikian membahayakan keamanan orang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang sedemikian besarnya dan tidak dapat di perbaiki lagi, sehingga undang-undang juga bertindak terhadap kekurangan penghatian, sikap sembrono (teledor), pendek kata terhadap kealpaan yang menyebabkan keadaan tersebut”.

Menurut Van Hamel (dalam Moeljatno, 1993: 201), kealpaan mengandung dua syarat yaitu: 1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.

2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Keterangan resmi dari pembentuk KUHP mengenai persoalan mengapa culpa juga diancam dengan pidana, walaupun lebih ringan, adalah bahwa berbeda dengan kesengajaan atau dolus yang sifatnya “menentang larangan justru dengan melakukan perbuatan yang dilarang”.Dalam hal kealpaan atau culpa si pelaku “tidak begitu mengindahkan adanya larangan”. (Teguh Prasetyo, 2011: 106-107)

3. Tidak Ada Alasan Pemaaf

(24)

batin sebelum atau pada saat akan berbuat; dan (2) atas dasar pembenar (rechts vaarding ings gronden), yang bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si

pembuat. (Adami Chazawi, 2007: 18)

Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak di pidana, karena tidak ada kesalahan. (Tri Andrisman, 2009: 113)

Alasan pemaaf atau schulduits luitings grond ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility. Alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. (Teguh Prasetyo, 2011: 126-127)

Dalam kesalahan tidak ada alasan pemaaf. Alasan pemaaf terdapat dalam Pasal 44, Pasal 49 ayat (2), danPasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

C. Dasar-dasar Pertimbangan Hakim

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan kayakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

(25)

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Pasal 8 ayat (2) :

“Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang

baik dan jahat dari terdakwa”.

Kemudian dalam Pasal 53 ayat (2) menyatakan bahwa:

“Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud (dalam memeriksa dan memutus perkara) harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.

Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian. Pembuktian ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan atau pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan, serta mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan dalam sidang pengadilan. Berdasarkan pengertian diatas, maka pembuktian ialah cara atau proses hukum yang dilakukan guna mempertahankan dalil-dalil dengan alat bukti yang ada sesuai hukum acara yang berlaku. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting acara pidana.

Menurut Mackenzei (dalam Ahmad Rifai, 2010:106), ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut :

(26)

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

b. Teori pendekatan seni dan intuisi.

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

c. Teori pendekatan keilmuan.

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

d. Teori pendekatan pengalaman.

(27)

hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori ratio decidendi.

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Menurut Sudarto sebelum hakim menentukan perkara, terlebih dahulu ada serangkaian pertimbangan yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut:

a) Keputusan mengenai perkaranya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b) Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana. c) Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.

(Sudarto, 1986:74)

Menurut M.Rusli untuk menjatukan putusan terhadap pelaku tindak pidana hakim membuat pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu pertimbangan yang didasarkan pada fakator faktor yang terungkap didalam persidangan dan undang undang yang ditetapkan sebagai berikut:

a. Dakwaan jaksa penuntut umun b. Keterangan saksi

c. Keterangan terdakwa d. Barang barang bukti

e. Pasal pasal dalam Undang undang tindak pidana (Rusli Muhammad 2006:125)

(28)

dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan sertifikat tanah orang lain yang melakukan perbuatan yang merugikan banyak pihak perlu mendapat perhatian khusus, sebab akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Putusan hakim tersebut harus adil dan sesuai dengan akibat yang ditimbulkan.

Menurut Pasal 183 dan 184 ,hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang kurangya dua alat bukti yang sah memeperoleh kenyakinan bahwa tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya. Alat alat bukti yang sah adalah:

a) Keterangan saksi adalah alat bukti yang mendatangkan saksi di sidang pengadilan.

b) Keterangan ahli adalah seorang ahli yang dapat membuktikan atau menyatakan kebenaran perkara disidang pengadilan .

c) Surat adalah dokumen atau lainya dalam bentuk resmi yang memuat keterangan tentang kejadian keadaan yang didengar,dilihat atau yang dialami sendiri ,disertai alasan yang tegas dan jelas tentang keterangan tersebut.

d) Petunjuk adalah perbuatan ,kejadian atau keadaan,yang karena penyesuaianya,baik antara yang satu dengan yang lain ,maupun dengan tindak pidana itu sendiri,menandahkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(29)

D. Jenis-Jenis Upaya Hukum

1. Banding

Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Banding ini diajukan karena terdakwa atau penuntut umum merasa tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.

Tenggang waktu dalam mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Adapun cara untuk mengajukan banding adalah sebagai berikut:

a. Diajukan di Panitera PN dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.

b. Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh ybs maupun kuasanya.

c. Panitera PN akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.

d. Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.

(30)

tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi.

f. Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.

2. Kasasi

Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan.

Adapun pengajuan kasasi dalam perkara pidana tunduk pada ketentuan Pasal 54 UU No.3 Tahun 2009 yang menegaskan, dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana digunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Adapun prosedur pengajuan kasasi adalah sebagai berikut:

(31)

2. Apabila tenggang waktu 14 hari telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan tersebut. Apabila dalam tenggang waktu 14 hari, pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur.Atas anggapan menerima putusan atau terlambat mengajukan permohonan kasasi tersebut, maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.

3. Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi. Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan. Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya. Perlu diingat, berdasarkan Pasal 247 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.

(32)

sebagaimana mestinya, apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang,atau apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

5. Apabila dalam tenggang waktu 14 hari setelah menyatakan permohonan kasasi, pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.

Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi. Dalam tenggang waktu 14 hari, panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.

Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu 14 hari. Tambahan memori/ kontra kasasi diserahkan kepada panitera pengadilan. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah tenggang waktu permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera disampaikan kepada Mahkamah Agung.

(33)

Untuk mengetahui permohonan kasasi pemohon sudah diputus atau belum oleh Mahkamah Agung akan diberitahu tentang hal tersebut melalui Pengadilan Negeri, Pengadilan Tingkat Pertama, dalam hal ini Jurusita pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut akan memberitahukan putusan kasasi itu kepada kedua belah pihak yang berperkara.

D. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung

1. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung

Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) menentukan bahwa kekuasaan kehakiman itu dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ketentuan mengenai Mahkamah Agung terdapat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2009. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia yang merupakan Lembaga Tinggi Negara dan sekaligus juga Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan.

Susunan Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan (Ketua, seorang Wakil Ketua dan beberapa orang Ketua Muda), hakim anggota, panitera dan sekretaris jendral Mahkamah Agung. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah pejabat negara. Sekretaris Jendral Mahkamah Agung dirangkap oleh Panitera Mahkamah Agung.

(34)

Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengkaji secara meteriil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dan berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian maka undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan tingkat kasasi, sedangkan pencabutan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Di samping itu Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara dan memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi. Selanjutnya Mahkamah Agung mempunyai wewenang pengawasan meliputi jalannya peradilan, pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para hakim di semua lingkungan peradilan, pekerjaan penasehat hukum dan notaris sepanjang yang menyangkut peradilan dan pemberian peringatan, tegoran dan petunjuk yang diperlukan.

(35)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian adalah suatu metode ilmiah yang dilakukan melalui penyelidikan dengan seksama dan lengkap, terhadap semua bukti-bukti yang dapat diperoleh mengenai suatu permasalahan tertentu sehingga dapat diperoleh suatu pemecahan bagi permasalahan itu. Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah,yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum, dengan jalan menganalisa.

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan oleh penulis yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan tersebut akan dijelaskan masing-masing yaitu sebagai berikut:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Penelitian yang menggunakan pendekatan normatif adalah penelitian dengan data sekunder yang dilakukan dengan mencari data atau sumber yang bersifat teori yang berguna untuk memecahkan masalah melalui studi kepustakaan yang meliputi buku-buku, peraturan-peraturan, surat-surat keputusan dan dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

(36)

observasi dan wawancara dengan responden atau narasumber yang berhubungan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan ini.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dari bahan kepustakaan yang terdiri dari. a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari:

a) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

b) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. c) KUHP dan KUHAP.

b. Bahan hukum sekunder,yaitu bahan-bahan yang erat hubunganya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahamibahan hukum primer, seperti literatur dan jurnal hukum primer yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

(37)

Populasi atau universe adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama (Soerjono Soekanto,1986: 172). Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.

Menurut Masri Sigarimbun dan Sofian Efendi (1987: 152) sampel adalah sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi.Adapun responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 (satu) orang

2. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang : 1 (satu) orang 3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 (satu) orang

Jumlah : 3 (tiga) orang

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data (Ridwan, 2002:4). Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan dalam penulisan ini menggunakan prosedur studi kepustakaan dan wawancara.

(38)

Studi kepustakaan itu pengumpulan data yang dilakukan terhadap data skunder melalui serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat, mengutip buku-buku, menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. b. Wawancara

Yaitu pengumpulan data yang dilakukan sebagai penunjang agar data valid, maka peneliti juga menggunakan teknik wawancara sebagai penunjang data untuk mendapatkan hasil yang belum terungkap. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara dengan pedoaman wawancara.

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data, diproses melalui pengolahan data, menyajikan data dengan memeriksa dan meneliti kembali data yang diperoleh mengenai kelengkapan untuk selanjutnya dianalisis. Pengolahan data ini akan dilakukan dengan cara: 1. Editing, yaitu memeriksa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan, yang untuk selanjutnya jika ada akan dilakukan pembetulan terhadap,data yang keliru, menambah data yang kurang dan melengkapi data yang kurang lengkap.

2. Klasifikasi data,yaitu pengolahan atau pengelompokan data menurut pokok bahsan yang telah ditentukan.

3. Sistematisasi data, yaitu penempatan data pada tiap tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga dapat dikpersiapkan untuk dianlisis.

(39)

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kulitatif dengan cara menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari analisis data tersebut dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta- fakta yang bersifat umum kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus, selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

(40)

Berikut identitas para responden tersebut:

1. Nama : Anyk,K, S.H.

Jenis Kelamin : Wanita

Jabatan : Jaksa Fungsional

Instansi : Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

2. Nama : Sri Suharini, S.H. Jenis Kelamin : Wanita

Jabatan : Hakim

Instansi : Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang

3. Nama : Tri Andarisman, S.H., M.H. Jenis Kelamin : Pria

Jabatan : Dosen Hukum Pidana

Instansi : Fakultas Hukum Universitas Lampung

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perkara Pencurian Piring Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung. (Studi Putusan No. 653 K/Pid/2011)

(41)

Terdakwa pada waktu yang tidak dapat diingat lagi dengan pasti atau pada bulan Februari tahun 2007 atau pada waktu-waktu lain dalam tahun 2007 bertempat di Perumahan Graha Permai Blok A6 No. 9 dan Jalan Mahoni Blok A7 No. 8 RT. 01/09 Kelurahan Sawah Lama Kecamatan Ciputat Tangerang Selatan atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk daerah hukum Pengadilan Tangerang. Pada awalnya Terdakwa sebagai pembantu rumah tangga di rumah saksi HJ. Siti Aisyah MR Soekarno Putri dan telah bekerja selama 10 tahun namun sempat berhenti pada tahun ke 6 dan kemudian masuk bekerja lagi, kemudian waktu terjadi banjir sekitar 2007 Terdakwa mengambil barang-barang secara satu persatu dari dari rumah saksi HJ. Siti Aisyah MR Soekarno Putri tanpa seizin pemiliknya yaitu saksi HJ. Siti Aisyah MR Soekarno Putri berupa 1 (satu) buah piring keramik merek Anchor Hocking, 1 (satu) buah piring Geshen Kartikel, 2 (dua) buah piring merek Royal Province, 1 (satu) buah piring merek Taichi Cina dan 3 (tiga) buah piring kecil, setelah masing-masing barang-barang tersebut telah berhasil diambil oleh Terdakwa dan selanjutnya oleh Terdakwa barang–barang tersebut disimpan dirumah Terdakwa dan selanjutnya barang-barang dipergunakan untuk kepantingan pribadi Terdakwa.

Akibat perbuatan Terdakwa mengakibatkan saksi HJ. Siti Aisyah MR Soekarno Putri mengalami kerugian sekitar Rp.5.000.000. (lima juta rupiah) atau setidak-tidaknya lebih dari Rp.250.- ( dua ratus lima puluh rupiah). Perbuatan Terdakwa diancam pidana 5 (bulan) kurungan sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP. Dalam kasus pencurian ini, terdakwa dibebaskan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.775/Pid.B/2010/Pn.TNG tanggal 22 Desember 2010 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

• Menyatakan Terdakwa Rasmiah alias Rasminah binti Rawan tidak terbukti secara sah

(42)

• Membebaskan oleh karena itu terhadap Terdakwa Rasmiah alias Rasminah binti Rawan

tersebut di atas dari dakwaan tersebut;

• Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan,harkat serta martabatnya ; • Memerintahkan terhadap barang bukti dikembalikankepada Terdakwa Rasminah alias

Rasminah binti Rawan serta 1 (satu) buah mangkok dan 3 (tiga) buah piring kecil dikembalikan kepada saksi Samirah melalui terda;

• Membebankan biaya perkara kepada Negara;

Berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam perkembanganya pada tanggal 4 Januari 2011 Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tangerang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusa Pengadilan Negeri Tersebut.

2. Alasan Jaksa mengajukan kasasi

Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/jaksa/Penuntut Umum, pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwajudex factitelah keliru dan salah menerapkan hukum Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP.Bahwa judex facti (Pengadilan Negeri) dalam pertimbangan tersebut hanya berdasarkan keterangan Terdakwa, sedangkan fakta persidangan yanglain tidak dipertimbangkan seperti keterangan saksi korban HJ.Siti Aisyah MR Soekarno Putri. Selain itu, Pasal 164 ayat (1) KUHAP menyatakan “Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada terdakwa sebagaimana pendapatnya

(43)

dalam putusanya. Oleh karena itu dengan tidak mempertimbangkan segalasesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan disidang secara keseluruhan maka mejelis hakim (judex facti) telah melakukan kelalaian dalam beracara (vormverzuim).

2. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 14 februari 1983 No. 211 K/Pid/ 1982 memuat kaidah telah terjadi kesalahan penerapan hukum pembuktian karena Pengadilan Tinggi tidak dengan “seksama secara keseluruhan menilai alat bukti yang telah diperoleh

dalam persidangan” dan juga sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Tanggal

23 november 1974 Nomor: M.A. / Pemb./1154/74 ( Vide Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung ( PERMA) Republik Indonesia Tahun 1951- 2009 halaman 230), maka putusan judex facti (Pengadilan Negeri) harus dibatalkan.

(44)

4. Bahwa judex facti telah keliru dan salah mempertimbangkan unsur-unsur “mengambil

sesuatu barang” dengan pertimbangan “tiadanya unsur melawan hukum”.Mengenai alsan -alasan ke-1 sampai dengan ke- 3, bahwa -alasan--alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex facti(Pengadilan Negeri) telah salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. Bahwa pemohon Kasasi/Jaksa/ Penuntut Umum berhasil membuktikan bahwa putusan judex facti (Pengadilan Negeri) adalah putusan bebas tidak murni.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka permohonan kasasi yang yang diajukan dalam tenggang waktu dan menurut cara yang ditentukan Undang-Undang formil dapat diterima.

Setiap perbuatan atau pelaksanaan pasti akan melahirkan pertanggungjawaban bagi pelaksana atau pelaku, meskipun pelaksanaan peranan itu berjalan baik atau sebagaimana mestinya. Dalam hal ini apakah pertanggungjawaban itu diminta atau tidak tergantung pada kebijaksanaan untuk memutuskan apakah dirasa perlu atau tidak perlu untuk menuntut pertanggungjawaban tersebut melalui proses peradilan sebagaimana mestinya.

(45)

Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tedakwa dapat mempertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Apabila ternyata tindakannya bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab maka dipidana. Kemampuan bertanggungjawab tersebut memperlihatkan kesalahan dari pelaku berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Selanjutnya apakah tindakan terdakwa ada alasan pembenar atau pemaafannya atau tidak.

Berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana, selama ini di Indonesia menganut asas kesalahan, artinya dapat memidana pelaku delik, selain diperhatikan unsur perbuatan pidana juga pelaku harus ada unsur kesalahan. Ini adalah suatu hal wajar karena tidak adil apabila menjatuhkan pidana terhadap orang yang tidak mempunyai kesalahan. Sesuai dengan asas pertanggungjawaban pidana yang berbunyi: tiada pidana tanpa kesalahan. Adapun kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kealpaan.

Untuk dapat menentukan pemidanaan kepada pelaku tindak pidana haruslah dibuktikan unsur sebagai berikut:

a. Subyek hukum harus sesuai dengan perumusan undang-undang. b. Terdapat kesalahan pada pelaku.

c. Tindakannya bersifat melawan hukum.

d. Tindakan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

(46)

Pertanggungjawaban pidana tersebut berlaku pada setiap bentuk kejahatan atau tindak pidana. Seseorang dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur-unsur dari pertanggungjawaban pidana tersebut.

Menurut Anyk K, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, tindak pidana pencurian piring yang dilakukan oleh Rasminah merupakan suatu tindak pidana yang telah diatur di dalam KUHP. Ia berpendapat bahwa putusan empat bulan 10 hari penjara oleh kasasi Mahkamah Agung terhadap Rasminah, dalam kasus pencurian enam buah piring, dinilai sudah tepat karena suatu tindak pidana tidak dapat dilihat hanya dari segi besar kecil kasus tersebut. Keadilan tidak mengenal berapa besar ancaman hukuman suatu kasus.Menyikapi perbedaan pendapat oleh Hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara kasasi tersebut, Anyk K menilai tidak perlu diperdebatkan. Pasalnya, hal itu bagian sistem dalam peradilan hukum di Indonesia.

Sri Suharini, Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang, memiliki pendapat yang hampir sama, tetapi ia menolak untuk mengomentari terhadap putusan Mahkamah Agung No. 653K/Pid/2011 dengan alasan hakim tidak boleh berpendapat dan mengkritisi tentang putusan tersebut karena tidak etis berdasarkan kode etik.

Sri Suharini berpendapat mengenai dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa. Dakwaan adalah kronologi perbuatan yang dilakukan terdakwa yang dikemas sedemikian rupa, kemudian dakwaan itu mengandung unsur-unsur yang terdapat dalam pasal yang sesuai dalam KUHP. Pasal tersebut yang kemudian didakwakan dan dibuktikan di persidangan.

(47)

hanya berupa beberapa piring atau barang yang tidak berharga. Apabila barang tersebut mempunyai nilai ekonomis yang sesuai dengan KUHAP, tindak pidana tersebut bisa dituntut dan didakwa. Segala sesuatu harus sesuai dengan aturan hukum supaya ada penegakan hukum dan kepastian hukum.

Apabila kepastian hukum tersebut sudah terpenuhi, berat ringannya hukuman akan dipertimbangkan berdasarkan alasan pelaku dalam melakukan tindak pidana.

Menurut analisa penulis, besar kecilnya suatu kasus tidak bisa kita jadikan perbedaan begitu dalam mencari keadilan. Kasus (yang dikatakan) kecil bagi sebagian orang sehingga korban merasa terusik keadilannya. Jika tidak diajukan ke pengadilan, penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, kehakiman dikatakan tidak memberi keadilan. Keadilan masyarakat bukan hanya terhadap tersangka atau terdakwa saja melainkan juga bagi korban, persoalan hati nurani publik yang sulit menerima dakwaan atau putusan pengadilan dalam kasus tertentu perlu dijernihkan.

Dunia hukum mengenal istilah "lex dura sed tamen scripta". Hukum itu harus kaku, keras, dan juga kejam. Hukum harus diterapkan apa adanya dan tidak boleh diskriminatif, agar bisa memberikan penjeraan serta membuat semua orang takut untuk melanggar hukum. Jadi, karena korban ingin melihat keadilan, Jaksa bertindak atas nama keadilan. Apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melakukan kesalahan, maka ia dipidana.

Untuk kesalahan seseorang sehingga dapat tidaknya ia dipidana harus memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:

(48)

2. hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatan berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culva)

3. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau alasan pemaaf. (Sudarto (1990: 91). Alasan pemaaf adalah suatu alasan khusus yang meniadakan pidana dari perbuatan tersebut, misalnya pelaku pencurian sedang terganggu jiwanya, pelaku pencurian melakukan tindakan tersebut dalam keadaan terpaksa atau tidak ada pilihan lain, misalnya ia mencuri karena kelaparan.

Menurut analisa penulis berdasarkan putusan Mahkamah Agung No. 653 K/Pid/2011, perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan mengambil barang-barang milik saksi korban satu persatu tanpa seizin pemiliknya, Hj. Siti Aisyah MR Soekarno Putri, sehingga mengalami kerugian sekitar Rp. 5.000.000,- atau setidak-tidaknya lebih dari Rp. 250,-. Selain itu, hukuman 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari sudah tepat karena piring yang di ambil terdakwa bukan sekedar piring biasa, melainkan piring antik yang memiliki nilai historis dan materiil bagi korban dan korban merasa dirugikan. Selain itu pada saat melakukan tindak pidana pencurian terdakwa melakukannya dalam keadaan sadar dan tidak terganggu jiwanya. Sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya berdasarkan hukum pidana. Oleh karena itu pula, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf bagi narapidana tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu unsur dari kesalahan yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dikenai pidana.

(49)

putusan tersebut. Ia mengatakan seharusnya terdakwa dibebaskan atau dijatuhi hukuman percobaan seperti menjalani hukuman di luar penjara atau pidana bersyarat.

Menurut Tri Andrisman, penyelesaian kasus seperti ini sebaiknya diselesaikan dengan cara seperti mediasi, damai, ganti rugi atau pengembalian barang yang dicuri atau dengan pidana selain hukuman penjara seperti bekerja di lembaga yang bersifat sosial, panti asuhan dan sebagainya. Menurutnya pelaku tindak pidana ringan boleh dipidana tapi menjalani hukuman diluar penjara, oleh karena itu KUHP yang baru harus segera diberlakukan agar tindak pidana diberikan alternatif hukuman yang lebih baik.

Menurut Tri Andrisman terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 27 Februari 2012 merupakan suatu langkah positif perkembangan hukum pidana Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung ini mencoba untuk merespon kebutuhan masyarakat akan suatu pengaturan tindak pidana ringan, khususnya di tindak pidana terhadap harta kekayaan.

D. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam Memberikan Putusan Bersalah terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Pencurian Piring

(50)

dan menangani masalah hukum. Melalui instrument hukum, di upayakan perilaku melanggar hukum ditanggulangi secara preventif dan represif. Mengajukan ke sidang pengadilan bagi pelaku tindak pidana dan menjatuhkan pidana baginya merupakan tugas dari aparat penegak hukum. Dalam ha lini hakim sangat berpengaruh dalam menjatuhakan vonis atau hukuman bagi pelaku tindak pidana.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Hukum pidana mengenal asas kesalahan yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld). Asas tersebut harus benar-benar diperhatikan oleh hakim sebelum memutuskan suatu perkara. Karena hal tersebut sangat lah penting demi terciptanya keadilan bagi semua pihak. Pidana hanya dapat dijatuhkan apabila kesalahan terdakwa benar-benar ada. Kesalahan terdakwa tersebut tentunya sebagaimana termaktub dalam dakwaan Penuntut Umum.

Pasal 193 KUHAP menyatakan bahwa:

“(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

(51)

(2) Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.

Menyatakan seorang terdakwa bersalah dan dijatuhi pidana tidak dapat dilakukan begitu saja, tetapi harus didukung oleh alat bukti minimum yang sah. hakim akan kesalahan terdakwa. Kemudian barulah pidana dapat dijatuhkan kepada terdakwa. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa teradakwalah yang bersalah melakukannya.”

Ketentuan tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Adapun alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan adalah yang terdapat

dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa”.

Hakim yang menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi, bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan atau pun bersifat formalitas.

(52)

umumnya di indonesia hanya Mahkamah Agung yang berperan secara eksklusif sebagai judex yuris karena Mahkamah Agung tidak menentukan fakta-fakta. Tujuan utama Mahkamah Agung adalah untuk menilai apakah penerapan hukum dalam suatu kasus sudah tepat dan memiliki dasar hukum yang kuat.

Menurut Sri Suharini, Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang, masyarakat kadang salah membuat opini yang tidak benar tentang keputusan yang diambil oleh hakim. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, selama ini di Indonesia menganut asas kesalahan, artinya dapat memidana pelaku delik, selain diperhatikan unsur perbuatan pidana juga pelaku harus ada unsur kesalahan. Apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana dan unsur-unsur tindak pidana tersebut telah terpenuhi dan terbukti, maka ia wajib dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. Hakim dapat mengakomodir tuntutan masyarakat asal sesuai dengan asas keadilan, sesuai dengan kepastian hukum dan sesuai dengan keadilan di masyarakat pada umumnya.

Menurut Sri Suharini, setiap pelaku tindak pidana yang terbukti bersalah harus dinyatakan bersalah. Adapun bentuk hukuman yang diberikan berdasarkan faktor masyarakat, misalnya faktor sosiologi, faktor edukatif, dapat memberikan contoh untuk masyarakat bahwa sekecil apapun pencurian tetap tidak benar di mata hukum juga dapat memberikan pelajaran bagi pelaku atau terdakwa.

(53)

Menyikapi tindak pidana pencurian piring yang dilakukan oleh Rasminah, Anyk K berpendapat bahwa selama perbuatan itu telah memenuhi syarat sebagai suatu perbuatan pidana seperti yang diatur dalam KUHP, maka perbuatan pidana itu harus diproses melalui hukum yang berlaku karena Indonesia adalah negara hukum, hal ini dilakukan tanpa melihat berat ringannya pada tindak pidana tersebut.

Menurut penulis, pelaku dari golongan miskin seharusnya tidak menjadikan ke tidak mampuan mereka sebagai alasan untuk melakukan suatu tindak pidana dan sebagai alat pembenaran bagi kejahatan yang dilakukan. Apabila terus diberi toleransi maka akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi masyarakat.

Menurut Mackenzei (dalam Ahmad Rifai, 2010:106), ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a.Teori keseimbangan.

b.Teori pendekatan seni dan intuisi.

c.Teori pendekatan keilmuan.

d.Teori pendekatan pengalaman.

(54)

Menurut Sudarto sebelum hakim menentukan perkara, terlebih dahulu ada serangkaian pertimbangan yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut:

a) Keputusan mengenai perkaranya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b) Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana.

c) Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidan

Referensi

Dokumen terkait

ノ Tokumaru,Yosihiko(2000)五'aspectmelodiquedelamusiquedesyamisen ,Selaf378,Paris:Editions Peeters..

Bahan film plastik biodegradable dengan kandungan tepung biji durian dan kitosan den- gan gliserol sebagai bahan pemlastis memiliki gugus fungsi yang merupakan gabungan dari gu-

Menurut Mardalis (2004:58) teknik purposive yaitu pengambilan sampel pada pertimbangan dan tujuan tertentu yang dilakukan dengan sengaja Adapun pihak yang diwawancara

Setelah penyidik menerima laporan tentang dugaan terjadinya tindak pidana kerusakan hutan yang disebabkan oleh pembalakan liar atau illegal logging baik

Zdravi : > nivo kortizola inhibira oslobađanje ACTH iz adenohipofize, < nivo kortizola i drugih adrenalnih steroida.. Patološka supresija kortizola - pacijenti sa

Mengingat pentingnya peran dari seorang caregiver dalam program pendampingan psikososial, dimana pendampingan psikososial juga memiliki peran penting dalam memperbaiki

Minggu sadarion, Tanggal 14 Maret 2021, Kebaktian Sekolah Minggu dipatupa secara online dohot teknis pelaksanaan gabe 2 horong/ (kelas), i ma :..  Kebaktian Online Sekolah

Melalui permainan konstruktif anak dapat berimajinasi, memecahkan masalah yang dihadapi, mengajukan pertanyaan, menebak-nebak yang kemudian menemukan jawaban (