• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PEER EDUCATOR REMAJA DALAM PEMBERIAN INFORMASI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA (Studi Pada PKBI Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN PEER EDUCATOR REMAJA DALAM PEMBERIAN INFORMASI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA (Studi Pada PKBI Lampung)"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERAN PEER EDUCATOR REMAJA DALAM PEMBERIAN INFORMASI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

(Studi Pada PKBI Lampung)

Oleh

FREDI YANSYAH

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan peran peer educator remaja dalam pemberian informasi kesehatan reproduksi remaja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Informan ditentukan dengan purposive sampling yakni penentuan disesuaikan dengan kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan melalui wawancara dan menggunakan dokumentasi. Selanjutnya analisis data dilakukan dengan reduksi data, display atau penyajian data dan tahap kesimpulan (verifikasi). Lokasi penelitian di PKBI Lampung. Informan dalam penelitian ini adalah 5 orang, yang terdiri dari peer educator remaja yang pernah dan masih aktif dalam pemberian informasi kesehatan reproduksi remaja yaitu remaja sekolah menengah atas di Bandar Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja, peer educator remaja melakukannya dengan metode langsung (berdiskusi atau berbicara langsung secara personal) dan melalui media. Aktifitas dari peran peer educator remaja membawa dampak yang positif bagi remaja (teman sebayanya) karena remaja memperoleh pengetahuan yang lebih baik tentang kesehatan reproduksi. Selain memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja, peer educator juga membantu pemecahan masalah (problem solving) kesehatan reproduksi yang dialami remaja (teman sebayanya). Adapun kendala yang dihadapi oleh peer educator yaitu waktu yang dimiliki peer educator remaja terbatas, mobilitas teman sebaya (kelompok dampingan) tinggi, jumlah peer educator remaja tidak sebanding dengan jumlah teman sebaya (kelompok dampingan) serta peer educator remaja terkadang tidak dipercaya oleh teman sebayanya. Sifat kerja yang hanya sukarela dan tidak formal membuat peer educator remaja hanya menjalankan kewajibannya tanpa mendapatkan haknya.

(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Di sisi yang lain sesungguhnya masa remaja merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan identitas diri. Hal ini berarti bahwa keberhasilan dalam membentuk identitas diri pada masa remaja akan mempengaruhi keberhasilan yang dicapai pada masa-masa selanjutnya. Dengan situasi tersebut seringkali remaja merasa gelisah dan tertekan. Sebagian remaja dapat mengatasi kegelisahan dan tekanan ini dengan berbagai aktivitas yang menunjang pembentukan identitas diri yang positif. Namun ada pula remaja yang mengatasinya dengan berbagai aktivitas yang negatif, seperti seks bebas, penyalahgunaan Narkoba dan sebagainya.

(3)

Remaja merupakan penentu kelangsungan hidup masyarakat. Di tangan remaja inilah masa depan bangsa ditentukan. Perkembangan suatu bangsa sangat tergantung pada remaja yang ada saat ini, karena menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) periode 2000-2005 menyebutkan, 62 juta atau kurang lebih 28,64 persen dari jumlah penduduk Indonesia adalah remaja (Palu, 2008).

Namun, apakah remaja benar-benar dapat diharapkan sebagai pemimpin dan aktor pembangun bangsa yang baik, karena jika kita lihat saat ini, remaja telah terkontaminasi oleh perkembangan zaman dan budaya barat. Kekhawatiran ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa remaja sekarang sangat dekat dengan persoalan hidup yang sangat mengkhawatirkan. Persoalan itu antara lain adalah kekerasan, tawuran, mabuk-mabukan, seks bebas dan narkoba. Hal-hal tersebut tentu sangat mempengaruhi perkembangan mental, perilaku serta kepribadian remaja di masa yang akan datang.

(4)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh SMA Negeri 2 Denpasar kerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, World Population Foundation (WPF), lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang berkantor pusat di Belanda, dan Kita Sayang Remaja (Kisara) Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali pada April 2007 yang lalu, diperoleh informasi bahwa dari 766 responden terdapat 526 responden yang menyatakan mereka telah melakukan aktivitas seksual seperti pelukan, 458 responden sudah berciuman bibir, 202 responden sudah pernah mencium leher (necking), disusul 138 responden sudah menggesek-gesekkan alat kelamin tanpa berhubungan seks (petting), 103 responden sudah pernah hubungan seksual, dan 159 menyatakan aktivitas seksual lain selain yang disebutkan tadi (Soetjiningsih, 2008).

Data BNN menunjukkan remaja yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah bervariasi antara 9% sampai 75%. Sedangkan data hasil survey remaja di beberapa kota tentang pengakuan mereka yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah menunjukkan angka yang bervariasi yaitu 18%- 27% di Bali (W. Pangkahila, 1996), 75% di Lampung (PKBI, 1997), 9% - 27% di Medan (A. Situmorang, 2001), 51% di Jabotabek (DKT. Indonesia 2005), 54% di Surabaya (DKT. Indonesia 2005), 47% di Bandung (DKT. Indonesia 2005), dan 52% di Medan (DKT. Indonesia 2005) (Arixs, 2009).

(5)

seksual sejak usia 16 tahun untuk remaja perempuan dan 17 tahun untuk remaja laki-laki. Dari remaja yang telah aktif melakukan hubungan seksual, sebanyak 19,70% melakukannya dengan pelacur dan 79,30% dengan pacar. Sebagian besar (86,87%) dari mereka yang telah melakukan seksual aktif tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang kesehatan reproduksi, sedangkan selebihnya, pengetahuannya hanya sepotong-sepotong yang mereka peroleh dari teman atau melalui media (Saeroni, 2008).

Di Jakarta, hasil survei Boy dan kawan-kawan terhadap 1.400 siswi pada 1-30 Mei 2007 menyatakan, siswi SMU tahu informasi seks dari teman (69%), dari orangtua (14%) dari sekolah (13%) dan dari pacar (4%). Temuan lainnya dalam riset ini adalah tentang pemahaman siswi Jakarta mengenai keperawanan. Siswi SMU Jakarta menyatakan bahwa keperawanan masih penting. Sehingga dengan hilangnya keperawanan, berarti pula kehilangan masa depan (63%). Kemudian, akibat hilangnya keperawanan, menjadikan "hidup enggan mati tak mau" sebanyak 23%. Sebanyak 6% siswi mengatakan ikut tren. Hanya 6% saja yang menilai keperawanan hanya simbol semata, dan lainya sebesar 8% (Saputra, 2008).

(6)

Menurut hasil survei yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap sisiwi SLTP dan SMA se-Indonesia, para siswi yang disurvei mengaku tidak merasa bersalah dengan apa yang telah diperbuatnya. Bahkan mereka memahami seks sebagai hal yang biasa. Remaja yang melakukan seks bebas ternyata terinspirasi atau mencontoh dari gambar atau video mesum yang dilihatnya dari DVD/VCD, televisi dan internet. Kebanyakan mereka memperoleh dari teman sebaya, bisa teman sekolah atau teman bermain.

Pada servei itu ditemukan juga kasus-kasus pelacuran terselubung 22 siswi SMP Negeri di Tambora, Jakarta Barat yang menjual keperawanannya. Hal ini mereka lakukan hanya untuk memenuhi keinginan konsumtif misal, hang out ke mal-mal, makan enak, beli HP dan sebagainya (Prasasti dan Ririn Indriani, 2009).

(7)

Resiko perilaku seks bebas setelah KTD adalah aborsi tidak aman. Ketidaksiapan remaja menghadapi kehamilan serta rasa malu sering kali mendorong mereka melakukan aborsi tidak aman pada pihak yang tidak bertanggung jawab (contoh; dukun). Padahal resiko terjadinya kerusakan organ reproduksi sangat tinggi bahkan bisa menyebabkan kematian. Angka pasti remaja yang melakukan aborsi (pengguguran kandungan) sebagai akibat seks bebas memang belum terdata. Namun, seksolog Dr Boyke Dian Nugraha, memperkirakan angka aborsi di Indonesia berkisar antara 2,3 juta hingga 3 juta per tahunnya. Dari jumlah tersebut 50% dilakukan oleh remaja.

Meningkatnya kasus aborsi juga terlihat dari data BKKBN dan Perhimpunan Obsteri dan Ginekologi (POGI). Kedua institusi tersebut memaparkan saat ini setidaknya terdapat 2 juta aborsi setiap tahunnya, di mana 700 ribu di antaranya adalah pengguguran yang disengaja (induce). Sisanya setelah aborsi spontan (Wilopo, 2008).

Tak hanya itu, aktivitas seks pada usia dini, melahirkan pada usia di bawah 20 tahun dan aborsi tidak aman juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan reproduksi yang mengancam keselamatan jiwa remaja putri. Belum lagi ancaman Infeksi Menular Seksual (IMS) membuat remaja tidak bisa leluasa menjalani kehidupan dan melakukan lebih banyak hal bagi dirinya sendiri, serta orang-orang di sekitarnya.

(8)

mengatakan IMS terdiri dari sifilis, gonore (GO) dan servitis/uretris (infeksi saluran kencing). Penderita termuda yang ditemukan berusia 18 tahun dan yang paling tua berusia 37 tahun (Lampung Post, 2006).

Resiko selanjutnya dari seks bebas adalah terinfeksi HIV dan AIDS. Seks tidak aman dan berganti-ganti pasangan dapat meningkatkan resiko terinfeksinya HIV dan AIDS. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seks (heteroseksual dan homoseksual), transfusi darah, transmisi perinatal dan Pengguna jarum suntik (Narkoba).

Jumlah pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS di Indonesia secara kumulatif dari 1 Juli 1987 hingga 31 Desember 2008 adalah 6554 orang terinfeksi HIV, 16110 orang kasus AIDS dan 3362 meninggal dunia. Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor resiko di Indonesia disebabkan penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik sebanyak 6811, heteroseksual sebanyak 7730, homoseksual sebanyak 609, transfusi darah sebanyak 0, transmisi perinatal sebanyak 351, dan tidak diketahui sebanyak 609 (Ditjen PPM & PL Depkes RI).

(9)

Penyalahgunaan Narkoba juga menjadi masalah penting bagi remaja. Banyak anak muda yang menganggap narkoba sebagai jalan keluar terhadap masalah yang mereka hadapi. Jumlahnya pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Terlepas dari berbagai alasan yang melatarbelakangi mereka menggunakan narkoba serta manfaat narkoba bagi dunia kedokteran, penggunaan narkoba yang berlebihan dan terus menerus akan memiliki efek yang sangat merugikan. Risiko penggunaan narkoba bagi kesehatan, kehidupan, dan masa depan anak muda inilah yang menjadi keprihatinan banyak pihak.

Segala perilaku remaja dari aktivitas seksual beserta resikonya hingga penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh minimnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. Tabunya anggapan masyarakat tentang pendidikan kesehatan reproduksi membuat minimnya informasi yang bisa didapat, sehingga remaja cenderung mendapat informasi yang tidak utuh dari teman sebaya, internet dan pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dari pemaparan tersebut, terlihat jelas bahwa permasalahan seputar seksualitas remaja semakin memprihatinkan. Remaja seringkali merasa tidak nyaman atau tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Akan tetapi karena faktor keingintahuannya, mereka akan berusaha untuk mendapatkan informasi ini. Sering kali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa.

(10)

berfikir hal itu justru akan meningkatkan terjadinya hubungan seks di luar nikah. Padahal anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua atau sekolah cenderung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari orang lain (Hurlock, dalam Iskandar, 1997).

Kesehatan Reproduksi adalah termasuk salah satu dari sekian banyak problem remaja yang perlu mendapat perhatian bagi semua kalangan, baik orang tua, guru, maupun konselor sekolah. Mengingat belakangan ini perilaku dan pergaulan remaja dengan lawan jenisnya (pacaran) telah mengarah pada perilaku seks dan mengabaikan substansi dalam menjalin hubungan, yang pada dasarnya adalah sebagai ruang belajar dalam bersosialisasi, komunikasi, mengungkapkan emosi dan berkomitmen.

(11)

Dari hasil Need Assessment yang dilakukan oleh Skala PKBI Lampung bekerjasama dengan WPF tahun 2002 – 2005 menunjukkan beberapa hal yang menonjol antara lain:

1. Kebutuhan remaja akan pelayanan kesehatan reproduksi.

2. Keterbatasan pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi.

3. Keterbatasan pengetahuan guru dan guru Bimbingan Konseling (BK) tentang kesehatan reproduksi.

4. Belum ada materi dalam kurikulum sekolah yang khusus mengenai ASRH baik formal maupun informal (ekstrakulikuler) pendidikan seks.

5. Belum ada tempat (fisik dan non fisik) bagi remaja untuk tempat bertanya dan menyelesaikan persoalannya.

(Skala PKBI Lampung dan WPF, 2002 – 2005).

Perkembangan masa remaja pada era globalisasi ini menuntut adanya sebuah pendidikan mengenai kesehatan reproduksi remaja baik melalui pendidikan formal maupun informal. Ini penting dilakukan untuk mencegah biasnya informasi tentang kesehatan reproduksi remaja.

(12)

Untuk memecahkan masalah kesehatan reproduksi remaja, perlu adanya sebuah solusi yang melibatkan peran dari remaja itu sendiri. Salah satu solusi yang dapat memecahkan permasalahan tersebut dengan melibatkan peran dari remaja adalah melalui program Peer Educator (PE) Remaja.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka sangat menarik untuk mengetahui dan meneliti peran remaja dalam pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi remaja saat ini, terutama yang dilakukan oleh Peer Educator (PE) remaja sekolah yang ada di Bandar Lampung.

B. Perumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah adalah “Bagaimana peran peer educator (PE) remaja dalam pemberian informasi

kesehatan reproduksi remaja?”.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menjelaskan;

1. Peran Peer Educator (PE) remaja dalam pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi remaja,

(13)

D. Kegunaan Penelitian

Hasil Penelitian ini dapat berguna baik secara akademis maupun praktis :

1. Kegunaan akademis, penelitian ini dapat memberikan penjelasan dan pengetahuan seputar peran Peer Educator (PE) remaja dalam pemberian informasi yang berkaitan dengan permasalahan kesehatan reproduksi kepada remaja.

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Peran Peer Educator (PE) Remaja 1. Pengertian Peran

Menurut Soekanto (2002: 220), peran merupakan aspek yang dinamis dan kedudukan (status), jika seseorang melaksaakan hak dan kewajiban sesuai kedudukannya maka ia melaksanakan peran. Peran mencakup tiha hal;

a. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat. b. Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu

dalam masyarakat sebagai organisasi.

c. Peran juga diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktural sosial masyarakat.

(15)

berhubungan dengan orang lain. Ia dapat mempercayai dan terbuka pada orang lain dan membina hubungan interdependen.

Astrid S. Susanto (1979: 94) menyatakan bahwa peran adalah dinamisasi dari status ataupun penggunaan dari hak dan kewajiban atau disebut subyektif. Hasan Shadily (1984: 763) menyatakan bahwa peran adalah suatu tugas yang dilaksanakan oleh seseorang karena menduduki jabatan tertentu.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau memangku suatu posisi dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Dengan kata lain, peran adalah sesuatu yang penting dan diharapkan dari seseorang yang memiliki tugas utama dalam kegiatan.

2. Peer Educator (PE) Remaja

Peer Education atau pendidikan sebaya, merupakan sistem penyampaian sex education melalui pendidikan teman sebaya. Sedangkan peer educator (PE) atau pendidik sebaya adalah seseorang yang mewakili sekolah atau kelompoknya yang mempunyai komitmen dan telah mendapat pelatihan untuk memberikan informasi seputar Kesehatan Reproduksi, IMS, HIV dan AIDS kepada teman sebaya atau Kelompok Dampingan (KD) secara kontinyu dan bersifat sukarela untuk menanamkan sex education secara tepat (Skala PKBI Lampung).

(16)

dan bebas berbicara mengenai permasalahannya dengan teman-teman yang seusia. Metode ini secara sederhana menggunakan teman sebaya/seusia sebagai konselor/pendidik untuk membantu teman lainnya agar dapat mengambil keputusan sendiri atas permasalahan yang dihadapinya.

Alasan dikembangkannya PE :

1. Mempermudah penyampaian informasi,

2. Mempermudah penjangkauan dengan Kelompok Dampingan (KD),

3. Mempersiapkan Kelompok Dampingan (KD) untuk mandiri sebagai penerus program secara mandiri,

4. PE dari kelompok sendiri lebih dipercaya oleh kelompok tersebut,

5. Mempercepat penyampaian informasi karena mempunyai kesamaan bahasa, 6. Mempercepat sosialisasi dan penerimaan program,

7. Mempunyai waktu lebih banyak/fleksibilitas waktu dalam mendampingi Kelompok Dampingan (KD),

8. PE dapat menjadi panutan awal ke arah perubahan perilaku, 9. PE dapat menjaga media KIE yang di pasang,

10.Menjadi kepanjangan tangan, mata dan telinga Petugas Outreach.

Kelebihan adanya PE Remaja: 1. Akses untuk masuk lebih mudah, 2. Memperluas jangkauan intervensi,

3. Berasal dari kelompok sesama sehingga ikatan psikologisnya lebih besar, 4. Jangkauan penyebaran informasi lebih cepat dan luas,

(17)

6. Membantu PO di lapangan,

7. Kemampuan melihat permasalahan lebih dalam, 8. Ide mengembangkan program outreach lebih baik.

Tanggung jawab dan Tugas PE :

1. Membuat laporan PE setiap kali melaksanakan tugas ke-PE-an, 2. Melakukan outreach dan monitoring,

3. Mengikuti kegiatan peningkatan kemampuan SDM, 4. Mengikuti kegiatan-kegiatan di kantor Lembaga, 5. Sebagai pelaksana kegiatan kelompok

Keberhasilan PE, dilihat dari indikator : 1. Informasi cepat sampai,

2. Relatif mudah untuk menjangkau KD dalam penyampaian informasi, 3. Memberi masukan-masukan untuk program,

4. PE mampu melaksanakan perannya secara mandiri, 5. Pengetahuan dan sikap KD meningkat.

Evaluasi kegiatan PE :

1. Terbentuknya kelompok diskusi baru, 2. Meningkatnya frekuensi pertemuan KD,

3. FGD (fokus group discusion) pada KD yang sudah didampinggi oleh PE (pengetahuan, sikap dan keterampilan),

4. Pertemuan rutin bagi PE untuk melihat masalah-masalah PE dalam rutinitas, 5. Kegiatan yang dilakukan PE,

(18)

7. Dilihat keaktifan PE dalam kegiatan di organisasi yang inovatif dan produktif.

Tahapan pengembangan kegiatan PE : 1. Model 1

a. Berawal dari outreach, kemudian identifikasi dan perekrutan,

b. Menyeleksi calon melalui tingkat kemampuan baca tulis, pemahaman dan pengetahuan, mobilitas KD, hubungan calon PE dengan keluarga (tanggungan),

c. Pelatihan sehari (wildfire, epidemiologi, IMS, HIV dan AIDS, kondom, psikologi dasar),

d. Monitoring calon kuat,

e. Pelatihan PE selama 3 hari setelah itu monitoring dilihat kemungkinan untuk menjadi motor kelompok,

f. Pelibatan calon ke dalam kelompok kerja/lembaga.

2. Model 2

a. Observasi melalui outreach kemudian melihat calon dengan kriteria : baca tulis, peduli AIDS, disegani teman-teman, kreatif, bisa menyampaikan informasi, mudah ditemui, bisa bekerja sama/kerja tim,

b. Dilakukan pelatihan selama 3 hari, c. Monitoring,

d. Pembinaan selana sekali sebulan, dengan agenda kegiatan : 1. Berbagi pengalaman

(19)

Menurut Hurlock, remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Monks, dkk 1991). Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (Monks, dkk 1991) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.

Borring E.G. (dalam Hurlock, 1990) mengatakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode atau masa tumbuhnya seseorang dalam masa transisi dari anak-anak kemasa dewasa, yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Sedangkan Monks, dkk (dalam Hurlock, 1990) menyatakan bahwa masa remaja suatu masa disaat individu berkembang dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual, mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak menjadi dewasa, serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh pada keadaan yang mandiri. Neidahart (dalam Hurlock, 1990) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dan ketergantungan pada masa anak-anak ke masa dewasa, dan pada masa ini remaja dituntut untuk mandiri.

(20)

Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi tergolong dalam usia remaja, namun masih tergantung pada orang tua (non mandiri), maka masih dapat dimasukkan ke dalam kelompok remaja (Sudardjat, 2002).

Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10 – 19 tahun dan belum menikah. Sementara itu, menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan usia remaja adalah usia 10 – 12 tahun (http://hqweb01.bkkbn.go.id, diakses tanggal 9 Oktober 2008). IPPF (The International Planned Parenthood Federation) sebagai induk dari LSM PKBI membatasi usia remaja antara 10 – 24 tahun (www.pkbi.or.id).

Selanjutnya, WHO juga mendefinisikan remaja sebagai masa dimana :

a. Individu berkembang dari saat pertama ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh dengan keadaan yang relatif lebih mandiri.

(21)

Sarlito (Asfriyati, 2002) berpendapat bahwa mendefenisikan remaja untuk masyarakat Indonesia sama sulitnya dengan menetapkan defenisi remaja secara umum. Masalahnya adalah karena Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat, dan tingkat sosial ekonomi maupun pendidikan, namun secara umum batasan remaja Indonesia adalah 11-24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain :

1. Usia 11 tahun adalah usia di mana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik),

2. Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil baligh baik menurut adat maupun agama sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial),

3. Pada usia 21 tahun mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral (kriteria psikologik)

4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimum yaitu untuk memberikan peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi).

(22)

dan keluarga. Karena itu remaja dibatasi khusus untuk yang belum menikah (Sarlito dalam Asfriyati, 2002: 4-5).

Rentang Usia Perkembangan Manusia

 Pre Natal : Konsepsi – Lahir

 Bayi : 0 – 2 tahun

 Kanak-kanak : 3 – 5 tahun

 Masa Sekolah : 6 – 12 tahun

 Pubertas : 13 – 14 tahun

 Remaja Awal : 15 – 16 tahun

 Remaja Akhir : 17 – 21 tahun

 Dewasa Awal : 22 – 40 tahun

 Dewasa Akhir : 41 – 60 tahun

 Masa Tua : > 60 tahun

Masa remaja merupakan masa transisi dimana individu mengalami perubahan-perubahan fisik maupun psikologis. Sebelum sampai pada masa remaja maka seseorang akan memasuki masa pubertas yang disebabkan oleh hormon. Pada laki-laki hormon diproduksi oleh testis dan dinamakan testosteron sedangkan pada perempuan hormon diproduksi oleh indung telur dan dinamakan esterogen dan progesteron. Pubertas pada laki-laki ditandai dengan mimpi basah pertama (First Noctumal Emission) dan pada perempuan ditandai dengan mengalami menstruasi pertama (menarche).

(23)

dicapai. Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja : a. Perubahan fisik

1. Perempuan : menstruasi, tubuh menjadi mulai terbentuk, payudara membesar, tumbuh rambut di daerah tertentu, dan lain-lain.

2. Laki-laki : mimpi basah, tumbuh jakun, suara membesar, dada bidang, tumbuh rambut pada daerah tertentu, dan lain-lain.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik pada remaja adalah faktor internal (genetik) yang merupakan sifat jasmaniah yang diwariskan dari orang tua dan kematangan. Faktor kedua yaitu faktor eksternal yang terdiri dari kesehatan, makanan dan stimulasi lingkungan.

b. Perubahan psikologis

Perubahan psikologis yang terjadi pada remaja pada saat pubertas adalah sensitif, mudah tersinggung, mudah marah, irasional, stres, takut, ingin mandiri, ekspresif dan selalu ingin tahu.

(24)

dialami oleh remaja ini akan berpengaruh terhadap pilihannya dalam sistem pergaulannya sehari-hari. Di sini remaja dituntut untuk menentukan sikap atau keputusannya sendiri. Oleh karena itu, bimbingan dan pendidikan dari orang tua dan masyarakat sangat diperlukan untuk mengarahkan keputusan remaja agar terhindar dari prilaku yang menyimpang (Juvenile Deliquency).

Ciri-ciri masa remaja

Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja :

1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.

(25)

maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.

3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.

4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.

5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

(26)

Jadi, dalam penelitian ini peran remaja yang dimaksud adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau perilaku remaja dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai peer educator. Dengan kata lain, peran remaja di sini yaitu peran remaja dalam pemberian informasi kesehatan reproduksi kepada remaja (teman sebayanya).

B. Informasi Kesehatan Reproduksi 1. Pengertian Informasi

Menurut Fisher (Sobur, 2004: 23), Informasi adalah suatu yang menunjukkan fakta atau data yang dapat diperoleh selama tindak komunikasi. Informasi yang ada di dalam suatu media akan diterima sama oleh setiap orang yang menggunakannya.

Menurut Siagian (Sobur, 2004: 29) guna mengetahui nilai suatu informasi, biasanya orang mengaitkan dengan sifat-sifat berikut :

1. Mudah diperoleh. Suatu informasi makin bernilai jika ia dapat diperoleh dalam waktu yang cepat secara mudah.

2. Luas dan lengkapnya informasi. Hal ini menyangkut selain isi atau volume informasi juga kegunaan dalam mengambil keputusan.

3. Kecocokan. Mengaitkan informasi dengan masalah yang dihadapi. Artinya, jika informasi yang masuk dapat berguna dalam menyelesaikan masalah yang ada.

(27)

5. Keluwesan. Berkaitan dengan kegunaan informasi untuk berbagai pengambilan keputusan. Makin banyak keputusan yang diambil dari suatu informasi, makin luwes informasi tersebut.

6. Dapat dibuktikan. Berkaitan dengan tepat tidaknya informasi itu diuji kebenarannya oleh beberapa orang sehingga dapat memperoleh kesimpulan yang sama.

7. Bebas dari prasangka. Informasi semakin bernilai jika di dalamnya tidak dimasukkan unsur opini, sebab dengan memasukkan opini maka informasi bersifat bias.

Kemudian menurut Davis (Sobur, 2004: 26) informasi memiliki beberapa ciri, yaitu :

1. Benar atau salah. Ini dapat berhubungan dengan relitas atau tidak. Bila penetima informasi yang salah mempercayainya, akibatnya sama seperti yang benar.

2. Baru. Informasi dapat sama sekali baru dan segar bagi penerimanya. 3. Tambahan. Informasi dapat memperbaharui atau memberikan tambahan

baru pada informasi yang ada.

4. Korektif. Informasi dapat menjadi suatu koreksi dari informasi yang salah atau palsu sebelumnya.

5. Penegas. Informasi dapat mempertegas informasi yang telah ada.

(28)

ini selanjutnya akan sangat berguna bagi manajemen yang akan diberlakukan. Selain itu informasi juga dapat diartikan sebagai suatu kumpulan data dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian tersendiri yang nantinya akan terkait dengan suatu analisa dan proses yang akan menjadi suatu acuan dalam pengambilan keputusan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1980).

Jadi, informasi adalah rangkaian yang berisi pesan-pesan, kejadian yang telah berlangsung atau sedang berlangsung dan akan berlangsung yang disampaikan terhadap orang lain atau sasaran yang membutuhkan dan bertujuan untuk menyamakan kerangka pikir.

2. Kesehatan Reproduksi

Secara sederhana reproduksi berasal dari kata re = kembali dan produksi = membuat atau menghasilkan, jadi reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup. Kesehatan Reproduksi (kespro) adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi.

(29)

tetapi juga dapat bermasyarakat secara baik. Kesehatan reproduksi bukan hanya masalah seseorang saja, tetapi juga menjadi kepedulian keluarga dan masyarakat (Muzayyanah, 2008).

3. Kesehatan Reproduksi Remaja

Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat di sini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural.

Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang ada disekitarnya. Dengan informasi yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses reproduksi.

(30)

pemuda di Indonesia saat ini mulai cenderung memilih pasangannya sendiri daripada dipilihkan oleh orang tua mereka.

Lebih dari 40 persen remaja (15-24 tahun) mengatakan bahwa AIDS adalah penyakit yang berbahaya, namun pengetahuan mengenai proses penyakit tersebut, dan faktor risikonya sangat rendah. Masalah remaja mengenai penyalahgunaan narkoba juga semakin hari semakin memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik tentang penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Kondisi tersebut menggambarkan cukup banyak permasalahan kesehatan reproduksi yang timbul di antara remaja. Mengingat hal tersebut, timbullah suatu ide untuk mengembangkan model pusat informasi, dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja melalui pendidik/konselor sebaya. Model semacam ini merupakan suatu model dengan tujuan menumbuhkan/membangkitkan kesadaran/peran serta individu di tengah masyarakat/kelompok untuk berperan sebagai teman sebaya (peer) bagi anggota kelompok yang membutuhkan.

Alat Reproduksi merupakan bagian yang penting sensitif dalam menerima rangsangan seksual.

d. Lubang kemaluan (lubang vagina) terletak antara lubang kencing dan anus (dubur)

(31)

2. Bagian dalam (Ajen D, 2003):

a. Vagina (liang kemaluan/liang senggama), bersifat elastis dan dapat membesar serta memanjang sesuai kebutuhan fungsinya sebagai organ baik saat berhubungan seks, jalan keluarnya bayi saat melahirkan atau saluran keluarnya darah saat haid.

b. Mulut rahim (serviks), saat berhubungan seks, sperma yang dikeluarkan penis laki-laki di dalam vagina akan masuk ke dalam mulut rahim hingga bertemu sel telur perempuan.

c. Rahim (uterus) adalah tempat tumbuhnya janin hingga dilahirkan. Rahim dapat membesar dan mengecil sesuai kebutuhan (hamil dan setelah melahirkan).

d. Dua buah saluran telur (tuba fallopii) yang terletak disebelah kanan dan kiri rahim. Sel telur yang sudah matang atau yang sudah dibuahi akan disalurkan ke dalam rahim melalui saluran ini.

e. Dua buah indung telur (ovarium) kanak dan kiri. Ketika seorang perempuan lahir, ia sudah memiliki ovarium yang mempunyai sekitar setengah juta ova (cikal bakal telur). Tiap ova punya kemungkinan untuk berkembang menjadi telur matang. Dari sekian banyak ova, hanya sekitar 400 saja yang berhasil berkembang menjadi telur semasa usia produktif perempuan.

B. Alat Reproduksi Laki-laki (Ajen D, 2003)

1. Zakar atau penis. Berbentuk bulat memanjang dan memiliki ujung berbentuk seperti helm disebut glans. Ujung penis ini dipenuhi serabut syaraf yang peka. Penis tidak memiliki tulang, hanya daging yang dipenuhi dengan pembuluh darah. Penis dapat menegang yang disebut ereksi. Ereksi terjadi karena rangsanagn yang membuat darah dalam jumlah besar mengalir dan memenuhi pembuluh darah yang ada dalam penis, dan membuat penis menjadi besar, tegang dan keras.

2. Buah zakar atau testis jumlahnya dua berbentuk bulat lonjong dan menggantung pada pangkal penis. Testis inilah yang menghasilkan sel kelamin pria (sperma).

3. Saluran zakar atau uretra berfungsi untuk mengeluarkan air mani dan air seni.

4. Kantong selir atau scrotum, yaiu lapisan kulit agak berkerut mebentuk kantong yang menggelantung di belakang penis. Scrotum gunanya untuk mengontrol suhu dari testis, yaitu 60 C lebih rendah dari bagian suhu lainnya agar testis dapat berfungsi menghasilkan sperma.

5. Epididimis, yaitu tempat pematangan sperma sesudah dibentuk dalam testis.

6. Saluran sperma atau vas deferens. Saluran sperma dari testis menuju seminal vesicle.

(32)

8. Kelenjar prostat, yang menghasilkan cairan yang berisi zat makanan untuk menghidupi sperma.

9. Bladder (kandung kencing), tempat terkumpulnya air seni yang nantinya disalurkan ke uretra ketika buang air kecil.

Pengetahuan dasar apa yang perlu diberikan kepada remaja agar mereka mempunyai kesehatan reproduksi yang baik :

1. Pengenalan mengenai sistem, proses dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang remaja),

2. Mengapa remaja perlu mendewasakan usia kawin serta bagaimana merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginnannya dan pasanganya,

3. Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan reproduksi,

4. Bahaya Narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi, 5. Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual, 6. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya,

7. Mengambangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif, 8. Hak-hak reproduksi.

4. Permasalahan Seksualitas Remaja

(33)

para remaja yang sedang mengalami masa pencarian jatidiri dan rasa keingintahuan yang begitu besar mudah terpengaruh oleh berbagai informasi tersebut.

Aktivitas seks bebas yang dilakukan remaja pada usia dini bisa mengakibatkan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), Aborsi tidak aman juga dapat menimbulkan gangguan kesehatan reproduksi yang mengancam keselamatan jiwa remaja itu sendiri seperti IMS, HIV dan AIDS. Penyalahgunaan Narkoba juga tidak lepas dari permasalahan remaja saat ini dan ada kaitannya dengan penyebaran virus HIV.

Dari penelitian yang dilakukan oleh PKBI pada tahun 2005 di 9 kota dengan jumlah responden 37.685 orang didapatkan data bahwa 27% praktik aborsi dilakukan oleh klien yang belum menikah dan biasanya telah terlebih dahulu mengupayakan aborsi mandiri dengan cara meminum jamu khusus. Sementara 21,8% dilakukan oleh klien dengan kehamilan lanjut dan tidak dapat dilayani permintaan aborsinya.

(34)

Sebuah survey terhadap 8084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15 – 24 tahun di 20 kabupaten pada empat provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini sebagian besar diyakini oleh remaja laki-laki sebesar 49,7% dibandingkan pada remaja putri yang hanya 42,3% (LDFEUI & NFPCB, 1999: 92).

Selain itu berdasarkan kasus konsultasi yang diterima Skala PKBI Lampung (Januari – Juni 2005) menunjukkan bahwa permasalahan Pacaran dan Seksualitas yang dikonsultasikan remaja menduduki angka tertinggi yaitu 54%. Permasalahan tersebut mengalami peningkatan pada masalah hubungan seksual yang tidak aman yang dilakukan dengan pacar.

Kebutuhan akan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual remaja terlihat dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Skala PKBI Lampung mengenai kebutuhan akan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual dengan responden 226 orang remaja diketahui bahwa 97,8% responden menyatakan perlu memberikan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual bagi remaja, dan selebihnya menyatakan perlu untuk orang tua (Skala PKBI Lampung, 2002).

(35)

dan tidak dapat dipercaya, seperti buku-buku porno, situs porno, blue film dan lainnya.

Mengingat banyaknya permasalahan kesehatan reproduksi remaja saat ini, maka mengembangkan model pusat informasi dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja melalui pendidik sebaya menjadi sangat penting. Model semacam ini merupakan suatu model pemberdayaan remaja dengan tujuan menumbuhkan/membangkitkan kesadaran/peran serta individu (remaja) di tengah masyarakat/kelompok untuk berperan sebagai teman sebaya (peer) bagi anggota kelompok yang membutuhkan.

Belajar dari hasil penelitian yang ada dan bayangan perilaku seksual remaja yang tidak terdeteksi, diperlukan suatu konsep atau kertas kerja yang bisa digulirkan dan dipertanggungjawabkan. Perlu digagas adanya pendidikan kesehatan reproduksi sehat bagi remaja di sekolah dan keluarga. Pembongkaran dan penataan perilaku seks remaja tidak sehat menuju perilaku seks sehat dan bertanggungjawab harus segera dilakukan dan ditindaklanjuti dengan melibatkan banyak pihak seperti pendidik, petugas kesehatan, psikolog, agamawan, orang tua dan aktivis LSM yang konsen di bidang kesehatan reproduksi remaja.

(36)

C. Kerangka Pemikiran

Manusia adalah makhluk hidup yang terikat dengan manusia sekitarnya. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu melakukan interaksi dengan makhluk lainnya, karena manusia selalu tergantung dengan makhluk yang lain. Menurut Soerjono Soekanto (1990: 61) bahwa interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

Dalam kehidupan, interaksi yang dilakukan oleh manusia dikarenakan adanya komunikasi dan proses sosialisasi yang terjadi. Setiap manusia selalu melakukan proses sosialisasi dalam kehidupannya. Seperti halnya orang dewasa yang telah dulu melakukan interaksi dan sosialisasi dalam kehidupan mereka, remajapun melakukan hal yang sama.

Kesehatan reproduksi adalah termasuk salah satu dari sekian banyak problem remaja yang perlu mendapat perhatian bagi semua kalangan, baik orang tua, guru, dan maupun konselor sekolah. Beberapa permasalahan kesehatan reproduksi remaja yang ada yaitu peningkatan aktivitas seksual, pergaulan dan seks bebas, kehamilan tidak diinginkan (KTD), aborsi, IMS, HIV dan AIDS serta Narkoba.

(37)

mempunyai tanggung jawab untuk menghasilkan generasi penerus yang bekualitas.

Jika kita lihat dari permasalahan remaja serta hasil penelitian yang ada dan bayangan perilaku seksual remaja yang tidak terdeteksi, diperlukan suatu konsep pendidikan yang memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi secara benar. Pembongkaran dan penataan perilaku seks remaja tidak sehat menuju perilaku seks sehat dan bertanggungjawab harus segera dilakukan dan ditindaklanjuti dengan melibatkan banyak pihak seperti orang tua, pendidik, petugas kesehatan, psikolog, agamawan, dan aktivis LSM yang konsen di bidang kesehatan reproduksi remaja. Pendampingan-pendampingan akan sosialisasi informasi perilaku seks yang sehat dan benar bagi remaja sudah saatnya dilaksanakan secara terbuka dan metode belajar demokratis dari remaja, oleh remaja dan untuk remaja merupakan salah satu metode yang perlu diimplementasikan.

Pemberian informasi kesehatan reproduksi kepada remaja melalui Peer Educator remaja, dapat digunakan untuk menjawab solusi permasalahan remaja itu sendiri. Dengan adanya Peer Educator remaja, diharapkan informasi tentang kesehatan reproduksi yang ada dapat diterima oleh remaja dengan benar.

(38)

Lebih ideal bila setiap orang dapat memenuhi semua peran dalam serangkaian peran dengan kemudahan yang sama, tetapi hanya sedikit orang yang mampu berbuat sedemikian rupa. Desakan peran (role strain) mengacu pada kesulitan seseorang dalam menjalankan peran mereka. Sebagaimana yang dijelaskan, peer educator remaja juga mengalami apa yang dinamakan dengan desakan peran, mengingat bahwa remaja (peer educator) mempunyai peran yang cukup besar dari status mereka.

(39)

Bagan kerangka pemikiran

Desakan/Beban Peran (Role Strain)

Kesesuaian Kesenjangan

Permasalahan Kesehatan Reproduksi Remaja : 1. Peningkatan Aktivitas Seksual,

Pergaulan dan Seks Bebas

2. Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) 3. Aborsi

4. Narkoba

5. IMS, HIV dan AIDS

(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Metode penelitian adalah urutan kerja yang harus dilakukan dalam melaksanakan penelitian, termasuk alat-alat apa yang digunakan untuk mengukur maupun untuk mengumpulkan data serta bagaimana melakukan penelitian di lapangan (Nazir, 1988).

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Lexy J. Moleong, 2000: 3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tulisan atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode ini, diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh dan menyeluruh). Holistik didasarkan pada suatu premis bahwa tidak ada sesuatu gejala apapun yang dapat menjelaskan dirinya sendiri. Setiap gejala hanya dapat dipahami atau dijelaskan maknanya oleh gejala-gejala lainnya yang terkait dengan gejala tersebut, yang secara bersama-sama gajala-gejala tersebut merupakan unsur yang saling terkait satu sama lain secara menyeluruh.

Bikle (dalam Moleong, 2000) mengungkapkan bahwa penelitian kualitatif lebih banyak menekankan segi “proses” daripada “hasil”. Hal ini disebabkan oleh

(41)

Dari pemaparan di atas, menunjukkan bahwa penelitian kualitatif sangat mementingkan metode pemahaman (verstehen) dari penelitian untuk membimbingnya menemukan hal-hal yang tidak diduga sebelumnya dalam membangun sebuah teori (building theory). Selain menekankan pentingnya kedudukan penelitian sebagai instrumen penelitian yang melakukan pengamatan dengan sasaran penelitian yang dilihat secara holistik (utuh dan menyeluruh), penelitian kualitatif juga sangat mengutamakan proses penelitian daripada hasil.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu metode yang menggambarkan data yang ada secara utuh dan menyeluruh, yang pelaksanaanya tidak terbatas pada pengumpulan data dan penyusunan data saja, tetapi meliputi sebuah analisis dan sebuah interpretasi data. Dengan alasan tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengetahui dan menjelaskan peran Peer Educator (PE) remaja dalam pemberian informasi kesehatan reproduksi remaja. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, diharapkan penelitian ini dapat menjelaskan secara menyeluruh dan mendalam objek yang akan diteliti yaitu peer educator remaja dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi kepada remaja, khususnya remaja sekolah.

B. Fokus Penelitian

(42)

menurut Lexy J. Moleong (2000: 63) fokus penelitian dimaksudkan untuk membatasi studi kualitatif sekaligus membatasi penelitian guna memilih mana data yang relevan dan data yang tidak relevan, agar tidak dimasukkan ke dalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan, walaupun data itu menarik. Perumusan fokus atau masalah dalam penelitian kualitatif bersifat tentatif, artinya penyempurnaan rumusan fokus atau masalah itu masih tetap dilakukan sewaktu penelitian sudah berada di lapangan, bahkan sering kali disamakan dengan masalah yang akan dirumuskan dan menjadi acuan dalam penentuan fokus penelitian.

Lexy J. Moleong (2000) menjelaskan bahwa ada dua maksud yang ingin dicapai penelitian dalam merumuskan masalah dengan jalan memanfaatkan fokus. Pertama, penetapan fokus dapat membatasi studi. Kedua, penetapan fokus itu berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-inklusi atau kriteria masuk keluar suatu informasi yang baru diperoleh di lapangan. Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Peran Peer Educator (PE) remaja dalam pemberian informasi kesehatan reproduksi remaja,

a. Informasi kesehatan reproduksi remaja,

b. Metode atau cara yang digunakan dalam penyampaian informasi kesehatan reproduksi,

(43)

2. Peran Peer Educator (PE) remaja dalam melakukan penjangkauan kepada remaja (teman sebaya),

a. Masalah kesehatan reproduksi remaja,

b. Pemecahan masalah seputar kesehatan reproduksi remaja, c. Kendala Peer Educator (PE) remaja,

d. Strategi Peer Educator (PE) remaja.

C. Lokasi Penelitian

Dalam usaha mencari data yang diperlukan, maka dipilih lokasi penelitian. Pada awal penelitian, lokasi yang dipilih adalah SMA Utama 2. Namun karena ada suatu kendala dalam mengumpulkan informasi, yaitu informan yang telah ditentukan ternyata telah lulus dari sekolah dan tidak menetap lagi di wilayah propinsi Lampung sehingga sulit untuk dilakukan penelitian, maka lokasi penelitian diganti menjadi PKBI Lampung. Adapun dipilihnya lokasi penelitian tersebut atas pertimbanangan:

1. PKBI Lampung merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang aktif dalam memberdayakan remaja khususnya Peer Educator (PE) remaja dalam pemberian informasi kesehatan reproduksi,

(44)

D. Penentuan Informan

Penentuan informan pada penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling, dimana pemelihan informan dipilih secara sengaja berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Adapun kriteria-kriteria informan yang akan dipilih adalah:

1. Remaja yang sedang menjadi Peer Educator (PE) Remaja, 2. Remaja yang pernah aktif menjadi Peer Educator (PE) Remaja.

E. Tekhnik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dan informasi pada penelitian ini digunakan tekhnik pengumpulan data, yaitu:

1. Wawancara

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menggali informasi dengan mengajukan tanya jawab atau percakapan secara langsung dengan sumber data atau informan yang telah ditentukan, berdasarkan daftar panduan wawancara. Dengan menggunakan metode wawancara ini, diharapkan peneliti akan mendapatkan data primer yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Studi Kepustakaan

(45)

F. Teknik Analisis Data

Patton dalam Moleong (2000: 103) mendefinisikan analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar. Sedangkan Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2000: 103) mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menentukan tema dan rumusan hipotesis (ide), seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis itu.

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa analisis data adalah proses mengatur urutan data, kategori sehingga bisa dijadikan pola yang memiliki relevansi dengan teori-teori yang digunakan dalam penelitian, yang kemudian dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Dalam penelitian ini, digunakan metode analisis data kualitatif dan menggunakan tiga komponen analisis, yaitu :

1. Reduksi Data

(46)

2. Penyajian (Display) Data

Penyajian data ini dimaksudkan untuk memudahkan Peneliti melihat data secara keseluruhan dan bagian-bagian penting. Bentuk penyajian data yang digunakan pada data kualitatif adalah bentuk teks naratif, oleh karena itu informasi yang kompleks akan disederhanakan ke dalam bentuk tabulasi yang selektif dan mudah dipahami.

3. Menarik Kesimpulan

(47)

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian

Pada bab ini akan dipaparkan hasil wawancara terhadap para informan yang telah dilaksanakan dan datanya diolah secara sistematis sebagaimana yang ditetapkan dalam metode penelitian. Setelah diadakan penelitian terhadap informan yang menjadi peer educator remaja, berikut ini akan digambarkan bagaimana peran dari peer educator remaja dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi kepada remaja.

1. Informan 1

(48)

Peer educator remaja sifatnya adalah sukarela. Peer educator yang ia ikuti ini merupakan program dari PKBI Lampung. Peer educator mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja dan melakukan penjangkauan kepada teman sebaya.

Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang dimiliki remaja yang menyangkut sistem dan fungsi reproduksi. Tetapi sehat bukan hanya terlepas dari penyakit, namun juga secara mental dan jiwanya. Banyak yang didapat dari pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja, yaitu organ seksual manusia dan fungsinya, aktifitas seksual manusia, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, HIV/AIDS.

Menurut informan, informasi kesehatan reproduksi remaja sangat penting untuk diketahui. Banyak manfaat yang akan didapat dari informasi tersebut. Dengan mengetahui informasi kesehatan reproduksi remaja, kita dapat menentukan kehidupan seksual dan reproduksi kita. Selain itu, kita lebih tahu mana informasi kesehatan reproduksi remaja yang benar dan mana yang salah. Sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan untuk kehidupan kita. “Kespro remaja itu adalah kondisi sehat yang dimiliki remaja yang

menyangkut system dan fungsi reproduksi, tetapi bukan hanya tidak sakit saja, namum dari mental dan jiwanya juga. Yang bisa kita dapet dari info kespro itu banyak, diantaranya tentang organ/alat dan fungsi seksual, aktifitas seksual, KTD, HIV dan AIDS. Dengan tahu info kespro, kita dapet manfaatnya seperti kita dapat menentukan kehidupan seks dan reproduksi” (wawancara, 27 Oktober 2009).

(49)

dikarenakan adanya dampak negativ dari kemajuan di bidang tekhnologi dan informasi. Dengan adanya perkembangan dan kemajuan tersebut, informasi lebih sangat mudah didapatkan oleh para remaja saat ini. Mulai dari informasi yang dapat membuat remaja mempunyai pengetahuan yang bagus (positif) sampai informasi yang negativ.

“Info kesehatan reproduksi (kespro) harusnya udah diketahui oleh remaja sekarang. Kalo dah tau info kespro, remaja kan dah punya pengetahuan yang benar buat hidupnya, terutama kehidupan seksnya. Dengan adanya kemajuan dan perkembangan teknologi, remaja gampang dapet info apa aja. Apalagi sekarang dah ada internet” (wawancara, 27 Oktober 2009).

Sebelum menjadi peer educator remaja, ia tidak mengetahui informasi kesehatan reproduksi secara benar. Pertama kali ia mendapatkan informasi kesehatan reproduksi remaja dengan benar melalui pelatihan peer educator yang diadakan oleh PKBI Lampung. Dari sanalah ia mendapat banyak informasi tentang kesehatan reproduksi remaja. Selain itu, ia mendapatkan informasi kesehatan reproduksi remaja melalui Modul DAKU! (Dunia Remajaku Seru!) yang juga

(50)

akan mendapatkan informasi yang belum ia ketahui. Namun informasi yang ia dapat tidak langsung ia terima begitu saja, biasanya ia bertanya tentang kebenaran informasi tersebut kepada orang yang lebih tahu.

“Saya selalu mencari dan ingin tahu info kespro yang belum saya dapet. Biasanya saya nanya sama temen. Tapi kalo dah dapet info, saya nggak langsung percaya, saya tanya dulu sama yang lebih tau” (wawancara, 27 Oktober 2009).

Informasi kesehatan reproduksi remaja yang telah didapat oleh informan akan diberikan kepada teman sebaya atau orang yang belum mengetahui informasi kesehatan reproduksi remaja. Dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja, tidak ada waktu yang pasti dan tidak terjadwal. Kapan saja bila informasi kesehatan reproduksi itu akan diberikan, informan akan memberikannya pada teman sebaya dan orang yang membutuhkannya.

Dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja, informan mengaku tidak menggunakan media atau alat khusus. Ia hanya menggunakan leaflet dalam menyebarkan informasi. Selain itu ia mengakui bahwa biasanya untuk menyebarkan informasi, ia lebih senang dengan berbicara langsung atau dengan berdiskusi saja. Metode (cara) penyebaran informasi dengan berdiskusi menurutnya lebih efektif daripada dengan menyebarkan informasi menggunakan kertas atau selebaran-selebaran.

(51)

Ketika informan memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja, umumnya para remaja (teman sebaya) belum mempunyai pengetahuan yang baik tentang kesehatan reproduksi remaja. Hal itu dapat terlihat dari adanya antusias para remaja yang ingin mengetahui lebih banyak informasi kesehatan reproduksi. Selain itu ada juga remaja yang telah mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, namun yang mereka ketahui adalah pengetahuan yang tidak benar dan hanya berupa mitos-mitos yang berkaitan tentang kehidupan seks semata.

“Sebenarnya hanya sedikit sekali remaja yang udah punya pengetahuan tentang kespro. Saya bisa bilang begitu karena waktu saya sedang memberikan info kespro, teman-teman banyak yang tidak tahu. Paling yang mereka tahu hanya seputar mitos-mitos tentang seks. Contohnya tentang organ seks, hubungan seks (ciuman, petting, gaya senggama) kehamilan, pengguguran kandungan (aborsi)” (wawancara, 27 Oktober 2009).

Melihat permasalahan remaja sekarang, informan mengaku sangat perihatin sekali. Banyak perilaku-perilaku remaja yang menyimpang dari norma-norma yang ada. Terutama perilaku penyimpangan-penyimpangan seks yang dilakukan remaja saat ini. Anak yang baru menginjak usia remajapun sudah melakukan penyimpangan seks. Penyimpangan seks yang dilakukan remaja saat ini sangat beragam mulai dari berciuman, petting hingga menjual dirinya. Informan mengaku pernah mendapat permasalahan kesehatan reproduksi pada temannya. Salah satu masalah kesehatan reproduksi remaja yang pernah didapatkannya adalah penyimpangan seks, aborsi, dan narkoba.

(52)

Kekhawatiran yang lain lebih banyak akan timbul dari diri remaja itu sendiri. Kebanyakan dari mereka (remaja) cenderung cuek dan pura-pura tidak tahu tentang permaslahan remaja yang ada saat ini. Meskipun mereka tahu jika perilaku mereka salah, biasanya mereka tetap melakukan kesalahan dalam menjalani kehidupan reproduksinya. Mereka terlanjur terpengaruh oleh lingkungan mereka dan juga pengaruh dari kemajuan teknologi yang menyuguhkan informasi yang menyimpang dan tidak bertanggung jawab.

Ketika melihat permasalahan kesehatan reproduksi remaja, informan pernah memberikan bantuan dalam memecahkan permasalahan kesehatan reproduksi remaja tersebut. Ia mengaku walau tidak banyak yang bisa ia lakukan dalam membantu memecahkan masalah, tapi ia selalu ingin membantu. Pertolongan pertama yang pernah ia lakukan yaitu memposisikan dirinya sebagai tempat berbagi teman sebayanya yang punya masalah kesehatan reproduksi remaja. Setelah itu ia mulai memberikan informasi kesehatan reproduksi yang benar agar teman sebayanya lebih mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Dari mempunyai pengetahuan yang baik diharapkan remaja dapat menentukan kehidupan reproduksi lebih baik lagi.

“Kalo yang saya lihat remaja sekarang cuek dengan masalah kespro, walau nggak semua. Mereka dah terpengaruh lingkungan dan info dari teknologi yang gak bener, misalnya video porno dari internet. Saya pernah membantu temen yang pernah punya masalah kespro. Ternyata dia tidak punya pengetahuan kespro remaja yang benar. Makanya saya kasih info kespro yang bener. Walau saya tidak bisa langsung bantu memecahkan masalahnya, karena itu kan kehidupan pribadinya” (wawancara, 27 Oktober 2009).

(53)

memberikan informasi kesehatan reproduksi adalah seringkali peer educator tidak dipercaya oleh teman sebayanya atau orang yang diberi informasi. Bahkan yang lebih membuat peer educator kurang percaya diri ketika mereka memberikan informasi kepada teman sebayanya namun mereka tidak dianggap. Untuk mengatasi kendala tersebut, informan biasanya berusaha menjelaskan informasi secara kontinyu dengan menerangkan dan memberi contoh kasus permasalahan-permasalahan kesehatan reproduksi yang pernah dialami oleh remaja.

“Ketika saya memberikan info kespro biasanya saya punya kendala. Salah satunya saya sering gak dipercaya, apalagi kalau ngasih infonya ke orang yang lebih tua dari saya. Kalau dah gak dipercaya terkadang saya males lagi mw ngasih tahu, tapi saya rasa ini kewajiban saya, jadi saya berusaha menjelaskan terus-menerus aja sampe mereka bener-bener percaya” (wawancara, 27 Oktober 2009).

2. Informan 2

Kst, perempuan berumur 17 tahun. Ia masih duduk di kelas 3 salah satu SMA swasta di Bandar Lampung. Informan beragama Islam. Ia masih aktif dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja kepada teman sebayanya. Selain itu, dia juga menjadi ketua dari organisasi SKR (sanggar konsultasi remaja) di sekolahnya.

(54)

Menurut informan kesehatan reproduksi remaja adalah keadaan sehat pada sistem reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Ketika mempunyai pengetahuan reproduksi remaja, ada manfaat yang akan didapat, yaitu kita akan lebih mengerti tentang kehidupan seksual dan reproduksinya. Selain itu, kita akan dapat mengambil keputusan yang menyangkut tentang permasalahan kesehatan reprodusi remaja itu sendiri.

“Kespro remaja itu keadaan sehat sistem reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Kita akan mendapatkan manfaat dari info kespro yang telah didapat, diantaranya adalah kita akan lebih mengerti tentang kehidupan reproduksi dan permasalahannya” (wawancara, 30 Oktober 2009).

Informan mengaku bahwa belum lama ia mengetahui informasi tentang kesehatan reproduksi. Ia mengetahui tentang kesehatan reproduksi baru 2 tahun. Sebelum ia mengetahui informasi kesehatan reproduksi, ia selalu menganggap bahwa informasi tersebut tidak terlalu penting. Namun, ketika ia telah mengetahui informasi dan manfaat dari informasi tersebut, ia lebih mengerti tentang kesehatan reproduksi khususnya remaja. Bahkan ia lebih tertarik menjadi peer educator untuk menyebarkan informasi kesehatan reproduksi yang benar kepada teman sebayanya.

“Sebelum saya tahu apa itu kespro, saya selalu menyepelekan info tentang kespro. Tetapi ketika saya dah tahu info dan manfaatnya, saya tertarik untuk menjadi peer educator remaja. Saya ingin menyebarkan dan memberi pengetahuan kepada teman sebaya agar remaja indonesia (khususnya teman saya) mengerti tentang kesehatan reproduksi. Ketika mereka mengerti apa itu kespro, mereka akan lebih siap dalam mengambil keputusan tentang kehidupan seksnya” (wawancara, 30 Oktober 2009).

(55)

dapat dari pelatihan peer educator remaja di PKBI Lampung, dari guru, orang tua dan modul DAKU!. Biasanya ia selalu mencari informasi kesehatan reproduksi remaja yang belum ia ketahui ataupun yang kebenarannya masih ia ragukan. Banyak cara ia lakukan untuk mendapatkan informasi kesehatan reproduksi, salah satunya ia mencari di internet. Banyak informasi tersedia di sana, namun tak semua informasi ia ambil karena belum tentu informasi itu benar. Bertanya kepada orang yang lebih mengerti dan paham selalu ia lakukan untuk memastikan kebenaran informasi tentang kesehatan reproduksi.

“Saya dapet informasi kesehatan reproduksi juga dari peer educator yang waktu itu memberikan info kespro ke saya. Selain itu saya juga dapet info dari pelatihan peer educator di PKBI Lampung, dari guru, orang tua dan modul DAKU!. Biasanya saya nyari info di internet, tapi gak semuanya saya ambil, kan ada juga info yang salah dari orang yang gak bertanggung jawab” (wawancara, 30 Oktober 2009).

Informasi kesehatan reproduksi yang telah didapat oleh informan akan diberikan oleh teman sebayanya. Dalam memberikan informasi, ia lebih cenderung bercerita dan bersosialisasi dengan teman sebayanya. Menurutnya dengan metode seperti itu, remaja lebih merespon dan mempunyai antusias yang lebih besar. Namun memang tidak bisa merangkul atau mengumpulkan teman yang lebih banyak dalam satu waktu. Informan dalam melakukan diskusi untuk menyebarkan informasi hanya mengajak beberapa teman sebayanya saja.

(56)

Untuk menyebarkan informasi, informan juga memakai media atau alat bantu. Alat yang pernah informan gunakan dalam memberikan informasi adalah komputer, brosur dan selebaran-selebaran. Dalam memberikan informasi, pemanfaatan teknologi juga sangat membantu. Untuk membuat remaja tertarik pada suatu informasi, maka informasi itu juga harus dibuat lebih menarik. Tidak jarang remaja akan lebih tertarik pada informasi yang sedikit tetapi lebih bisa membuat mereka bertanya-tanya.

“Untuk memberikan info kespro terkadang saya juga pake media. Saya pake komputer jika ada info yang harus dibuka pake komputer. Selain itu saya juga saya pernah pake brosur dan slebaran itu juga kalo saya bisa buat atau dapet dari tempat yang ngasih info pake brosur” (wawancara, 30 Oktober 2009).

Pengetahuan tentang permasalahan kesehatan reproduksi remaja, informan mengaku tidak terlalu banyak tahu. Informan hanya mengetahui tentang perilakku seks remaja yang akhir-akhir ini sangat menyimpang dari aturan dan norma-norma yang ada. Selain itu, informan juga jarang mendapatkan permasalahan kesehatan reproduksi pada teman sebayanya. Walaupun pernah, ia mengaku hanya masalah kehidupan pribadi dari remaja, sehingga dia tidak terlalu bisa masuk ke dalam masalah itu untuk membantu remaja yang punya masalah kesehatan reproduksi. Umumnya ia mendapatkan permasalahan hanya seputar pacaran dan perilaku pacaran dari teman sebayanya. Untuk membantu teman sebaya yang mempunyai permasalahan kesehatan reproduksi, ia hanya memberikan pemahan yang benar dan motivasi bagi teman sebayanya saja.

(57)

Pemberian informasi kesehatan reproduksi kepada remaja tidak terlepas dari kendala yang selalu hadir dalam proses tersebut. Beberapa kendala yang dihadapi oleh peer educator (informan) adalah kurangnya pemahaman tentang permasalahan kesehatan reproduksi remaja. Selain itu, kendala yang dihadapi oleh informan adalah kurangnya kepercayaan teman sebayanya ketika ia memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja. Terkadang teman sebaya kurang mempercayai informasi yang diberikan oleh peer educator.

Kendala-kendala itu harus segera diatasi oleh peer educator remaja. Dalam menyikapi kendala, terkadang peer educator remaja kesulitan untuk menyelesaikannya. Informan punya cara yang hampir sama pada setiap peer educator remaja yang lain dalam menangani kendala yang ada dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja. Informan akan bertanya pada orang yang lebih tahu (ahlinya) tentang permasalah kesehatan reproduksi. Informan juga berusaha menjelaskan informasi yang diberikan kepada orang yang kurang mempercayainya.

(58)

3. Informan 3

DWA, seorang laki-laki berumur 17 tahun. Informan masih duduk di kelas 3 SMA swasta di Bandar Lampung. Ia memeluk agama Islam dan berdomisili di Bandar Lampung. Saat ini ia masih aktif menjadi peer educator bagi teman sebayanya di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Informan juga aktif di organisasi sekolahnya yakni SKR (Sanggar Konsultasi Remaja).

Dengan aktif di organisasi sekolah, informan mempunyai kesempatan mengenal lebih banyak teman-teman di sekolahnya. Dengan begitu, ia lebih leluasa untuk menyampaikan informasi kesehatan reproduksi remaja kepada teman dengan jumlah yang lebih banyak. Kesempatan inilah yang digunakan informan untuk selalu memberikan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi remaja.

Menurut informan, kesehatan reproduksi remaja adalah keadaan sehat pada diri remaja yang menyangkut sistem dan fungsi reproduksinya. Selain itu, sehat juga dilihat dari keadaan mental remaja itu sendiri, bukan hanya bebas dari penyakit saja. Manfaat dari pengetahuan kesehatan reproduksi yang dimiliki adalah kita akan lebih mengerti tentang fungsi-fungsi dan permasalahan reproduksi yang ada. “Kespro remaja itu artinya keadaan sehat yang ada pada remaja tentang system

dan fungsi alat reproduksinya. Tapi sehat bukan berarti hanya bebas dari penyakit, bisa dilihat dari mental remajanya juga. Jika sudah tahu tentang kespro remaja, kiata lebih mengerti tentang fungsi dan masalah kespro yang ada” (wawancara, 31 Oktober 2009).

Referensi

Dokumen terkait

PIK-KRR juga memiliki tujuan antara lain membantu remaja untuk lebih mandiri melalui pemberian kecakapan hidup (lifeskill), yang menurut WHO yang dimakud dengan

Hasil : Ada korelasi negatif dan signifikan antara pengetahuan kesehatan reproduksi dan persepsi peran keluarga dengan perilaku seksual remaja di kota Surakarta

Informasi yang benar dan tepat mengenai kesehatan reproduksi bagi remaja merupakan suatu hak yang diatur dan dilindungi oleh hukum, karena berkaitan erat

Tahap Pelaksanaan sebagai berikut: (1) pemberian materi/informasi tentang KIE kesehatan reproduksi pada kader remaja yang menjadi sasaran sehingga dapat meningkatkan pengetahuan

Posyandu remaja memiliki 4 manfaat, 8 manfaat pertama bagi remaja yakni memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang meliputi kesehatan reproduksi remaja, masalah

LSM PKBI DIY merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang memfokuskan tentang kesehatan reproduksi masyarakat pada berbagai elemen. Penelitian ini memfokuskan pada

a. Terdapat hubungan antara peran guru dalam pendidikan kesehatan reproduksi dengan sikap remaja dalam menghadapi pubertas di SMP N 2 Dukun Magelang tahun

Dapat menjadi acuan bagi Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK R) BKKBN untuk memberikan informasi, pengetahuan dan konseling tentang kesehatan reproduksi kepada remaja