• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Mellitus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Diabetes Mellitus"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.6 Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dL. Kadar glukosa serum puasa normal adalah 70 sampai 110 mg/dL. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus dan hampir semuanya difiltrasi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dL.14

(2)

2.2. Klasifikasi Diabetes Mellitus

American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh WHO dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi Diabetes Mellitus: Diabetes Mellitus tipe 1, Diabetes Mellitus tipe 2, Diabetes Mellitus Gestasional (Diabetes kehamilan), dan Diabetes Mellitus tipe khusus lain.16

Dikenal 2 jenis utama Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus tipe 1 dan Diabetes Mellitus tipe 2. Kedua jenis DM ini dibagi dengan melihat faktor etiologisnya.17

2.2.1. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan kondisi autoimun sel-sel beta pulau Langerhans sehingga timbul defisiensi insulin. Individu yang memiliki kecenderungan penyakit ini tampaknya menerima faktor pemicu dari lingkungan. Sebagai contoh faktor pencetus yang mungkin antara lain infeksi virus seperti gondongan (mumps), rubella, dan sitomegalovirus (CMV) kronis. Pajanan terhadap obat atau toksin tertentu juga diduga dapat memicu serangan autoimun ini. Karena proses penyakit DM tipe 1 terjadi dalam beberapa tahun, sering kali tidak ada faktor pencetus yang pasti. Pada saat diagnosis DM tipe 1 ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans pada sebagian besar pasien.18

(3)

mekanisme yang kemungkinan adalah bahwa terdapat agen lingkungan yang secara antigenis mengubah sel-sel prankreas sehingga menstimulasi pembentukan autoantibodi. Kemungkinan lain bahwa para individu yang mengidap DM tipe 1 memiliki kesamaan antigen antara sel-sel beta prankreas mereka dengan mikroorganisme atau obat tertentu. Sewaktu berespons terhadap virus atau obat, sistem imun mungkin gagal mengenali sel prankreas. Pada saat diagnosis DM tipe 1 ditegakkan lebih dari 80% sel beta telah dihancurkan. 18

Sebelumnya DM tipe 1 disebut sebagai Diabetes Mellitus dependen insulin atau IDDM (insulin dependent diabetes mellitus), karena individu pengidap penyakit ini harus mendapat insulin pengganti. DM tipe 1 dulu juga dikenal sebagai tipe

juvenile-onset. Akan tetapi, DM tipe 1 dapat muncul pada sembarang usia . Insidens DM tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya.18

2.2.2. Diabetes Mellitus Tipe 2

DM tipe 2 merupakan tipe DM yang paling sering terjadi, mencakup sekitar 85% pasien DM. Keadaan ini ditandai dengan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif. 17 Individu yang mengidap DM tipe 2 tetap menghasilkan insulin. Akan tetapi sering terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang dilepaskan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan pertambahan usia pasien18

(4)

pada pasien berusia di atas 40 tahun. Namun, dengan menigkatnya insidensi obesitas di negara barat dan onsetnya yang semakin dini, saat ini terjadi peningkatan frekuensi DM tipe 2 pada orang dewasa muda dan anak-anak.17

Insidens DM tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Sekitar 80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan DM tipe 2.14

2.3. Gejala-Gejala Diabetes Mellitus

Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat itu, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengkibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungin akan timbul sebagai akibat kekurangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.14

(5)

melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut mungkin menderita polidipsi, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif.14

2.4. Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan gluko meter.6

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

a. Jika keluhan klasik ditemukan (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

(6)

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.6

Pemeriksaan kadar HbA1c (≥ 6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.6 Kadar HbA1C normal pada bukan penyandang DM antara 4% sampai dengan 6%. Pemeriksaan hemoglobin terglikasi (HbA1C), disebut juga glycohemoglobin atau disingkat sebagai A1C, merupakan salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi pengendalian gula darah.19 HbA1c adalah zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin (bagian dari sel darah merah).20

(7)

2.5. Epidemiologi Diabetes Mellitus 2.5.1. Distribusi dan Frekuensi a. Menurut Orang

Umumnya penderita DM di negara berkembang berada pada kelompok umur 45-64 tahun, sedangkan di negara maju penderita DM berada pada usia di atas 64 tahun. Secara global, prevalensi Diabetes Mellitus lebih tinggi pada laki-laki.7 Menurut WHO (2008) prevalensi DM pada laki-laki 9,8% dan pada perempuan 9,2%.21

Dalam sebuah penelitian dengan desain cross sectional, prevalensi diabetes pada laki-laki 7,2% dan pada perempuan 5,8%. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa faktor yang terkait dengan diabetes pada laki-laki dan perempuan berusia 40 tahun ke atas adalah pendapatan yang rendah, obesitas, dan riwayat keluarga menderita diabetes.22

Berdasarkan penelitian Tarigan (2011) di RS Herna Medan tahun 2009-2010 proporsi penderita DM berusia < 40 tahun yaitu yang menderita komplikasi akut 5,0% dan yang menderita komplikasi kronik 4,4% sedangkan proporsi penderita DM berusia ≥40 tahun yaitu yang menderita komplikasi akut 95,0% dan komplikasi kronik 95,6%. Proporsi laki-laki menderita DM dengan komplikasi akut 55,0% dan yang mengalami komplikasi kronik 37,7% sedangkan proporsi perempuan yang mengalami komplikasi akut 45,0% dan komplikasi kronik 62,3%.13

b. Menurut tempat

(8)

prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang DM di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.6

Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada rentang tahun 1980-2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh, pada penelitian di Jakarta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8% pada tahun 2001.6

c. Menurut Waktu

(9)

2.5.2. Determinan a. Genetik

Pada pasien DM tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeksnya untuk DM tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya DM tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY, maturity-onset diabetes of the young), yaitu subtipe penyakit DM yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orangtua menderita DM tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) DM tipe 2.14

b. Usia

DM dapat terjadi pada semua kelompok umur. DM tipe 1 biasanya terjadi pada usia muda ataupun juga pada orang yang berusia ≤ 40 tahun sedangkan DM tipe 2 biasanya disebut DM yang terjadi pada usia dewasa. Kebanyakan kasus DM tipe 2 terjadi sesudah umur 40 tahun. Pada usia ini umumnya manusia mengalami penurunan fungsi fisiologis dengan cepat, sehingga terjadi defisiensi sekresi insulin karena gangguan pada sel beta prankreas dan resistensi insulin.25 Sedangkan menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) salah satu faktor risiko DM adalah orang yang berumur > 45 tahun.6

(10)

jumlah kasusnya pada umur di atas 40 tahun, dan jumlah kasus paling banyak terjadi pada umur 61 sampai 70 tahun (48%).27

c. Obesitas (Kegemukan)

DM tipe 2 sering terjadi pada individu dengan berat badan lebih dan obes (gemuk). Obesitas merupakan pemicu terpenting penyebab DM tipe 2. Menurut definisi, obesitas berarti berat badan berlebih sebanyak 20% dari berat badan ideal atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2.28

Dari berbagai penelitian didapatkan adanya keterkaitan erat antara IMT dan risiko terjadinya DM tipe 2. Risiko Relatif meningkat lebih dari 10 kali lipat di antara perempuan dari hasil penelitian the Nurses’ Health Study (2001) dengan IMT yang melebihi 29 kg/m2 dan diantara laki-laki dari hasil penelitian the Health Professional Followup Study (2001) dengan IMT yang melebihi 31 kg/m2 jika dibandingkan dengan mereka dalam kategori IMT yang lebih rendah. WHO memperhitungkan bahwa sekitar 64% DM tipe 2 yang diderita laki-laki Amerika dan 74% yang diderita perempuan Amerika seharusnya dapat dihindari jika IMT mereka dipertahankan pada atau di bawah 25 kg/m2.29

d. Pola Makan (Diet)

(11)

resistensi insulin, sekalipun belum terjadi kenaikan berat badan yang signifikan. Diet tinggi kalori, tinggi lemak dan rendah karbohidrat berkaitan dengan DM tipe 2. Diet yang kaya energi dan rendah serat akan meningkatkan kenaikan berat badan dan resistensi insulin kendati pada populasi yang berisiko rendah seperti orang-orang Eropa.29

e. Kurangnya Aktivitas Fisik

Olahraga juga berperan dalam kontrol kadar gula darah. Otot yang berkontraksi atau aktif tidak atau kurang memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa ke dalam sel, karena otot yang aktif lebih sensitif terhadap insulin, sehingga kadar glukosa darah jadi turun.28

(12)

2.6. Komplikasi Diabetes Mellitus 2.6.1. Komplikasi Akut

Komplikasi metabolik Diabetes Mellitus disebabkan oleh perubahan relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma.14

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang DM harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.6

Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah serangan berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau bahkan kematian.14

b. Hiperglikemia

(13)

hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas.30

Krisis hiperglikemia pada DM tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain infeksi penyakit vaskular akut, trauma, heat stroke, kelainan gastrointestinal dan obat-obatan. Pada DM tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang bersangkutan menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat.30

b.1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Pada ketoasidosis diabetik, kadar glukosa darah meningkat dengan cepat akibat glukoneogenesis (300-600 mg/dL), dan peningkatan penguraian lemak yang progresif. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ mL). Terjadi poliuria dan dehidrasi. Kadar keton juga meningkat (ketosis) akibat penggunaan asam lemak yang hampir total untuk menghasilkan ATP. Keton keluar melalui urine menyebabkan bau napas seperti buah. Pada ketosis, pH turun di bawah 7,3 yang menyebabkan asidosis metabolik.17

Individu dengan KAD sering mengalami mual dan nyeri abdomen. Dapat terjadi muntah yang memperparah dehidrasi ekstrasel dan intrasel. Kadar kalium turun total tubuh tubuh turun akibat poliuria dan muntah berkepanjangan.17

Kejadian tahunan dari KAD berdasarkan suatu penelitian population-based

(14)

sebanyak di negara Barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, dan terutama pada pasien DM tipe 2.32

Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antara 9-10%, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat mencapai 25-50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode 5 bulan (Januari-Mei 2005) terdapat 39 kasus KAD dengan angka kematian 15%.32

b.2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)

SHH adalah komplikasi akut yang dijumpai pada pengidap DM tipe 2. SHH adalah manifestasi awal DM pada 7-17% pasien DM.33 Walaupun tidak rentan mengalami ketosis, pengidap DM tipe 2 dapat mengalami hiperglikemia berat peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL). Kadar hiperglikemia ini menyebabkan osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL). Situasi ini menyebabkan pengeluaran berliter-liter urine, rasa haus yang hebat, defisit kalium yang parah dan sekitar 15-20 menit dapat terjadi koma dan kematian.17

(15)

Data di Amerika menunjukkan bahwa insiden SHH sebesar 17,5 per 100.000 penduduk. SHH lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Angka mortalitas pada kasus SHH cukup tinggi , sekitar 10-20%.35

2.6.2. Komplikasi Kronik

Terdapat banyak komplikasi jangka panjang pada DM. Sebagian besar disebabkan langsung oleh tingginya konsentrasi glukosa darah. Komplikasi DM tersebut hampir mengenai semua organ tubuh.18 Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu: komplikasi mikrovaskular dan komplikasi makrovaskular.18

a. Komplikasi Mikrovaskular

a.1. Retinopati Diabetik (Kerusakan Mata)

(16)

saraf yang tersisa sehingga terjadi kebutaan. DM juga berkaitan dengan peningkatan katarak dan glaukoma.18

Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.30

Retinopati diabetik terjadi pada penderita DM tipe 1 maupun tipe 2. Retinopati diabetik berkembang hampir pada semua penderita DM tipe 1 dan juga pada 77% lebih penderita DM tipe 2 yang bertahan hidup lebih dari 20 tahun. WHO menyatakan bahwa pada tahun 2002 retinopati diabetik bertanggung jawab atas 4,8% dari 37 juta kasus kebutaan di seluruh dunia.38 DM adalah penyebab nomor satu kebutaan di Amerika Serikat.Retinopati dabetik juga bertanggung jawab atas sekitar 10.000 kasus kebutaan setiap tahunnya di Amerika Serikat.18

a.2. Nefropati Diabetik (Kerusakan Ginjal)

(17)

(protein dalam urin >0,5 g/24 jam), GFR menurun secara progresif dan terjadi gagal ginjal.30

Telah diperkirakan bahwa sekitar 35% hingga 45% pasien DM tipe 1 akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15 hingga 25 tahun setelah awitan DM. Individu dengan DM tipe 2 lebih sedikit yang berkembang menjadi gagal ginjal kronik (sekitar 10% hingga 20%) dengan insidensi mendekati 50%.14 Nefropati diabetik adalah penyebab nomor satu gagal ginjal di Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya.18

a.3. Neuropati Diabetik (Kerusakan Saraf)

Diabetes Mellitus merusak sistem saraf perifer, termasuk komponen sensorik dan motorik divisi somatik otonom. Penyakit saraf yang disebabkan DM disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis serta efek hiperglikemia, termasuk hiperglikosilasi protein yang melibatkan fungsi sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, terutama sel Schwann mulai menggunakan metode alternatif untuk mengatasi beban peningkatan glukosa kronis, yang akhirnya mengakibatkan demielinisasi segmental saraf perifer.18

(18)

Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki karena kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi biasanya melibatkan banyak mikroorganisme, yang sering terlibat adalah stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob.6

Neuropati otonom dapat menyebabkan disfungsi ereksi (impotensi seksual) pada 25% pasien pria dan disfungsi gastrointestinal serta infeksi saluran kemih.36 Prevalensi disfungsi ereksi pada penyandang DM tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup tinggi dan merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati dan masalah psikis. Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal mungkin dan memperbaiki faktor risiko disfungsi ereksi lain seperti dislipidemia, merokok, obesitas dan hipertensi.6

b. Komplikasi Makrovaskular

(19)

fibrosis. Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan dinding arteri menyebabkan hipertensi, yang semakin merusak lapisan endotel arteri karena menimbulkan gaya yang merobek-robek sel-sel endotel.17

Komplikasi makrovaskular akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermitten dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardiun.14

Pada penderita DM, risiko penyakit serebrovaskular meningkat dua kali lipat, penyakit jantung koroner meningkat tiga sampai lima kali lipat, dan penyakit pembuluh darah perifer meningkat 40 kali.25 Risiko relatif penyakit kardiovaskular adalah dua sampai empat kali lipat lebih tinggi pada pria dan tiga sampai empat kali lebih tinggi pada wanita DM dari pada kelompok kontrol berusia sama. Makrovaskular merupakan penyebab utama kematian pada pasien DM tipe 2, mancakup 50% kematian pada kelompok ini.16

2.7. Upaya Pencegahan Diabetes Mellitus

(20)

cepat atau lambat akan mengalami komplikasi kronik DM yang kadang-kadang menyebabkan dokter, perawat dan pasien putus asa. Atas dasar fakta di atas, saat ini terjadi perubahan paradigma berpikir dan para ahli DM, pencegahan komplikasi DM seyogianya dimulai dengan pencegahan primer DM.28

2.7.1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer berarti mencegah terjadinya Diabetes Mellitus. Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.

Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi antara lain:

a. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai risiko DM dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.

(21)

c. Latihan jasmani, latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. Latihan jasmani yang dianjurkan, dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobik berat (mencapai denyut jantung >70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 kali aktivitas/minggu

d. Menghentikan merokok.

Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meskipun merokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intoleransi glukosa, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe 2.6

2.7.2. Pencegahan Sekunder

(22)

a. Penyuluhan

Berbagai penelitian menunjukkan kepatuhan pada pengobatan penyakit yang bersifat kronik, pada umumnya rendah. Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut, penyuluhan atau edukasi bagi penyandang DM beserta keluarganya diperlukan. Penyuluhan diperlukan karena penyakit DM adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup.2

(23)

b. Pengobatan

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.6

b.1. Obat Hipoglikemik Oral

Berdasarkan cara kerjanya obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan:

1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid.

Golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Sedangkan golongan glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.

2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion

Golongan tiazolidindion ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.

3. Penghambat glukoneogenesis: metformin

(24)

4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

5. DPP-IV inhibitor

DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.6

b.2. Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM tipe 1, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM tipe 1 harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal.40 Terapi insulin pada pasien DM tipe 2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (HbA1C > 7,5% atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.41

2.7.3. Pencegahan Tersier

(25)

Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

Referensi

Dokumen terkait

Penekanan analisis kasus ini adalah apakah dampak yang terjadi pada model pembangunan di Korea Selatan setelah adanya kerjasama perdagangan bilateral KORUS FTA

Penjelasan dari hasil yang dilakukan pemrosesan pemecahan setiap tahapan optimalitas yang dilakukan dengan menggunakan teknik dynamic programming menggunakan

Tujuannya, untuk mengetahui kualitas air sumur penduduk yang berdekatan dengan lahan pertanian ditinjau dari keberadaan residu pestisida sesuai dengan golongannya atau bahan aktif

[r]

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah-Nya serta memberikan kekuatan, ketabahan, kemudahan dan kedamaian

Saran yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini adalah adanya upaya peningkatan profesionalisme serta bimbingan dan konseling pasien, serta pengembangan

Hasil analisis strategi untuk meningkatkan mutu pelayanan menunjukkan sebagian besar indikator atribut pelayanan belum terdapat kesesuaian atau masih terdapat

Boyer dan Pegell (2000) mengemukakan bahwa efektifitas Strategi operasi perusahaan dapat diukur dengan menilai keterkaitan atau konsistensi antara prioritas