Artikel
HISTORISME KHAIRINA NASUTION
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
16
Tindak Tutur dan Perangkat Tindak Tutur
dalam Bahasa Mandailing
Khairina Nasution
Staf Pengajar Jurusan Bahasa Arab Fakultas Sastra USU
1. Pendahuluan
Tindak tutur merupakan salah satu bidang kajian yang penting di dalam pragmatik. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi dan makna yag dikaji di dalamnya adalah makna yang terikat konteks. Sehubungan dengan itu bisa saja bentuk lahiriah tidak tutur itu sama tetapi menimbulkan makna yang berbeda. Adanya kenyataan bahwa wujud bahasa itu bisa juga berbeda-beda didasarkan pada faktor-faktor sosial yang tersangkut dalam situasi tutur, seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial, ekonomi penutur dan petutur.
Hal yang senada diungkapkan oleh Levinson (1983) bahwa di dalam memahami sebuah tuturan konteks pemakaian bahasa merupakan aspek yang sangat penting karena di dalam pragmatik konteks itu terkait dengan semua latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan petutur. Hal ini menunjukan bahwa faktor ekstralingual memegang peranan penting di dalam analisis pragmatik.
Misalnya kata jeges dalam bahasa Mandailing bermakna ‘baik’, tetapi secara eksternal bila kita lihat dari konteks kalimatnya, kata jeges itu tidak selalu bermakna ‘baik’. Contohnya sebagai berikut.
1. Angko rapormu jeges taon on. (Nilai
rapormu bagus tahun ini).
2. A: Ngon dia sajo de ho so mulak borngin tu. (Dari mana saja kamu pulang malam-malam begini).
B: Ngon bagas dongan. (Dari rumah
teman).
A: Jeges, ncongot nangkon ho
mulak-mulak be da. (Bagus, besok kamu tidak usah pulang lagi).
Kata jeges pada contoh (1) memiliki makna integral yaitu ‘tidak buruk’ karena kalimat itu dikatakan oleh seorang guru kepada muridnya, sedangkan kata jeges pada contoh (2) memiliki makna eksternal ‘tidak baik’ karena maknanya ‘menyindir’ yang dikatakan seorang ibu yang sedang marah pada anak perempuannya yang pulang larut malam.
Kajian tindak tutur diteliti pertama kali dalam bidang filsafat oleh (J. Austin 1962; H. Grice 1957, 1975; J. Habermas 1979; J. Searle 1969, 1975, 1983), kemudian dikembangkan oleh (Sadock 1974; D. Hymes 1974; J. Gumperz 1982; E. Ochs & B. Schieffin 1979). Semua kajian ini pada dasarnya sepakat terhadap asumsi bahwa pengertian tindak tutur sangat mendasar bagi komunikasi manusia. Dan Siregar (2000) mengatakan tindak tutur adalah melakukan tindak tertentu melalui kata, misalnya memohon sesuatu, menolak (tawaran permohonan), berterima kasih, memberi salam, memuji, dan meminta maaf. Dan dalam melakukan tindak tutur diperlukan perangkat tindak tutur antara lain situasi tutur, jenis tindak tutur, prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Austin (dalam Parera: 2004) membedakan makna tutur menjadi lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tuturan lokusi adalah tuturan yang mengandung makna makna referensial kognitif. Tuturan ilokusi adalah tindak bahasa yang dibatasi oleh konvensi sosial, dan tindak perlokusi adalah tindak tutur untuk menimbulkan atau menyebabakan konsekuensi tertentu pada pendengar. Selanjutnya Searle (1979) membagi ilokusi dengan berbagi kriteria menjadi (1) asertif, (2) direktif, (3) komisif, (4) ekspresif, (5) deklaratif. Dan jenis-jenis kalimatnya mencakup bentuk-bentuk deklaratif, imperatif, interogatif dan interjeksi.
Artikel
HISTORISME KHAIRINA NASUTION
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
17
Brown dan Levinson (1978) menyatakan bahwa penutur di dalam memperlakukan petutur sebagai lawan tuturnya menggunakan strategi yang berbeda-beda. Strategi itu ada yang terdiri dari strategi (1) kurang sopan, (2) agak sopan, (3) sopan, dan (4) paling sopan. Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan tiga parameter pragmatik seperti (a) jarak sosial antara penutur dan petutur yang ditentukan berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin dan latar belakang sosiokultural, (b) tingkat status sosial yang didasarkan atas kedudukan yang asimetris antara penutur dan petutur di dalam konteks pertuturan. Misalnya di ruang praktik dokter, seorang dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari seorang polisi. Akan tetapi di jalan raya polisi memiliki konteks sosial yang lebih tinggi.
Kajian tentang tindak tutur dan kesantunan telah pernah dikaji oleh Siregar (2000) dalam kaitannya dengan proses pemerolehan bahasa Jepang sebagai bahasa asing di Indonesia dan pemerolehan tindak tutur dan siasat kesantunan: suatu ancangan teoretis (tahun 2000). Kajian tentang tindak tutur memohon dalam bahasa Indonesia oleh pelajar dari Jepang dan implikasinya dalam pembelajaran BIPA telah pula diteliti oleh Kartika (2004). Namun penelitian yang membahas khusus tentang tindak tutur dan perangkat tindak tutur dalam bahasa Mandailing belum relatif banyak dilakukan. Tulisan ini membahas tindak tutur dan perangkat tindak tutur dalam bahasa Mandailing yang meliputi situasi tutur, tindak tutur, jeni-jenis tindak tutur, prisip kerja sama dan prinsip kesopanan.
Data bersumber dari data lisan dan tulisan. Data lisan bersumber dari seorang informan dan penulis sendiri sebagai penutur asli. Pengumpulan data menggunakan metode simak dan cakap dan analisis data menggunakan teknik ganti. Sedangkan pemaparan hasil analisis menggunakan metode informal (Mahsun: 2005).
2. Pembahasan
2.1 Situasi TuturSebuah tuturan tidak senantiasa merupakan representasi langsung dari elemen makna unsur-unsurnya karena timbulnya bermacam-macam maksud yang dikomunikasikan oleh penutur dalam bertindak tutur. Leech (1983) mengemukakan beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam bertindak tutur yaitu:
(1) Penutur dan petutur yang berkaitan dengan usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin dan tingkat keakraban dsb.
(2) Konteks tuturan yang berkaitan dengan aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. (3) Tujuan tuturan yaitu bentuk-bentuk
tuturan yang diutarakan oleh penutur dan dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu.
Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam itu dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama atau sebaliknya berbagi macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Contoh:
“Bagas nami songon andang ni itik ma ia. (Rumah kami seperti kandang bebek).
Kalimat pada contoh di atas ini bermaksud merendahkan diri agar terdengan sopan di telinga lawan tuturnya. Tuturan itu jauh lebih sopan bila dibandingkan dengan tuturan berikut ini.
“Ana jeges bagas nami. (Rumah kami bagus sekali)
(4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan
(5) Tuturan sebagai produk tindak verbal.