EKSISTENSI LOW COST CARRIER DITINJAU DARI
HUKUM PERSAINGAN USAHA
TESIS
OLEH:
FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA
087005005 / ILMU HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
EKSISTENSI LOW COST CARRIER DITINJAU DARI
HUKUM PERSAINGAN USAHA
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA
087005005 / ILMU HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
NAMA : FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA
NIM : 087005005
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
JUDUL TESIS : EKSISTENSI LOW COST CARRIER DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA
MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI Ketua
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum
Telah diuji pada
Tanggal,
PANITIA PENGUJI
Ketua
: Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI
Anggota
: 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
ABSTRAK
Dalam industri penerbangan nasional saat ini, terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan pola penerbangan berbiaya murah yang disebut dengan Low Cost
Carrier. Kondisi tersebut mengakibatkan persoalan hukum karena melanggar Pasal
20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dimana perusahaan penerbangan tertentu telah melakukan penjualan tiket penumpang udara di bawah harga pokok dan diduga sebagai pelaku untuk mematikan pesaing. Jika diteliti dari sudut pandang penumpang/konsumen bahwa, dengan adanya harga jual yang lebih rendah tentunya akan sangat menguntungkan dan tidak peduli dengan persaingan di antara perusahaan penerbangan. Hal ini terjadi mengingat kondisi perekonomian di Indonesia saat ini yang masih belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif yang semakin sensitif terhadap perubahan harga suatu produk dan tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik terhadap suatu produk tertentu.
Permasalahan di dalam penulisan ini adalah bagaimanakah persaingan dunia penerbangan pada Low Cost Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha? dan bagaimanakah penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost
Carrier dalam industri penerbangan?
Penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Nasional, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Kesimpulan dari penulisan ini menunjukkan bahwa, Pertama, perusahaan penerbangan tertentu yang menjual harga tiket di bawah harga referensi, dan telah diaudit oleh Tim Departemen Perhubungan Udara kemudian laporannya diberikan kepada KPPU, maka KPPU tidak secara otomatis dapat menerapkan Pasal 20 UU Persaingan Usaha kepada maskapai penerbangan tersebut. Karena ketentuan Pasal 20 UU Persaingan Usaha tersebut tidak bisa diberlakukan mengenai Per Se Illegal dan
Rule of Reason, melainkan KPPU harus dapat membuktikan terlebih dahulu sejauh
mana penjualan harga tiket tersebut dilakukan secara sistematis dalam waktu yang cukup lama, eksistensi perusahaan penerbangan di pangsa pasar yang kuat, kemampuan keuangan yang kuat, sehingga dapat mematikan pelaku usaha lain atau menyingkirkan pesaingnya dari pasar yang bersangkutan dan menimbulkan barrier to
entry. Kedua, penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost Carrier dalam industri penerbangan, bukan disebabkan predatory pricing yang
Untuk itu, Departemen Perhubungan tidak perlu menetapkan tarif batas atas dan batas bawah, ataupun tarif referensi seiring semakin kompetitifnya tarif angkutan udara saat ini, karena tarif tersebut terbentuk melalui mekanisme pasar yang wajar. Penetapan tarif referensi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 36 Tahun 2005 dalam hal ini tidak melanggar UU Persaingan Usaha hal tersebut didasarkan pada Pasal 5 Ayat (2b). Namun, demikian penetapan tarif referensi tidak sejalan dengan tujuan Hukum Persaingan Usaha dan tujuan dibentuknya UU Persaingan Usaha yaitu untuk melindungi proses persaingan. Karena itu, pemberlakuan tarif referensi bukanlah solusi.
Saran dalam penulisan ini adalah pertama, baik KPPU maupun Departemen Perhubungan diharapkan agar semakin meningkatkan fungsi pengawasannya terhadap persaingan usaha industri penerbangan domestik, dimana KPPU mengawasi dalam hal persaingan usaha karena suatu saat dimungkinkan untuk terjadinya
predatory pricing ataupun praktek persaingan usaha tidak sehat lainnya dan
Departemen Perhubungan hendaknya mengawasi ketaatan perusahaan penerbangan terhadap peraturan-peraturan mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan serta memperketat pemberian Surat Izin Usaha Penerbangan, Air Operator Certificate dan izin terbang. Kedua, tarif penerbangan domestik sebaiknya diserahkan kembali kepada mekanisme pasar karena penetapan tarif referensi tidak akan langsung menjamin persaingan antar perusahaan penerbangan.
Kata Kunci: Low Cost Carrier atau LCC, Industri Pesawat Terbang, Perusahaan Penerbangan, Maskapai Penerbangan, UU Persaingan Usaha, Pelaku Usaha, Pesaing, Monopoli, Per Se
ABSTRACT
In the current national airline industry, there are several airline companies which apply the Low Cost Carrier system. The application of this system has resulted in a legal problem because it violates Article 20 of the Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition and Unhealthy Business Competition. In this case, a certain airline company has sold an airline ticket under the standard price and it is assumed to have intention to kill its competitors. Seen from the consumers point of view, the lower selling ticket price is surely beneficial and they do not care about the competition among the airline companies. This occurs because the current economic condition in Indonesia is still not recovered that it makes the consumers change their consumptive pattern which becomes more sensitive to a change of the price of a product and the consumers are no longer fanatic toward a specific product.
The research questions to be answered in this study were how business competition in airline companies applying the Low Cost Carrier system is looked at from the law of business competition point of view and how the law of business competition is imposed in the implementation of Low Cost Carrier system in the airline industry.
This study employed a normative legal research method with qualitative approach which refers to the legal values and norms stated in the regulation of legislation. The primary legal materials for this study were Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition an Unhealthy Business Competition, Law No.8/1999 on National Consumer Protection, and Law No.1/2009 on Aviation.
referential tariff in line with the current competitiveness of air transportation tariff because the tariff is formed through a natural market mechanism. The establishment of referential tariff in the Decree of Minister of Transportation No. KM.36/2005, in this case, does not violate Law on Business Competition based on Article 5 (2b). Yet, the establishment of referential tariff is not in line with the objectives of Law on Business Competition which is to protect the process of competition. Therefore, the implementation of referential tariff is not a solution.
KPPU or the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) is suggested, First, to keep monitoring and controlling the practice of business competition in the domestic airline industry. KPPU should monitor and control the business competition practice because predatory pricing or the other unhealthy business competition practices may occur, and the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) should monitor and control the obedience of airline companies to the regulations concerning flight security and safety and firmly regulate the issuance of the license of Airline Business, Air Operator Certificate and Flying certificate. Second, domestic airline tariff should be returned to the market mechanism because the establishment of referential tariff will not directly guarantee the competition between the airline companies.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala berkat, karunia dan kasihNya yang berkelimpahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, menyelesaikan tugas akhir berupa tesis yang berjudul: ”Eksistensi
Low Cost Carrier Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha”, dan telah dinyatakan
lulus diseminarkan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini bukanlah semata-mata atas
kemampuan diri penulis sendiri, melainkan atas bantuan, dukungan, bimbingan dan
saran dari semua pihak yang telah ikut mengambil peran dan partisipasi yang
signifikan dalam memberikan kontribusi. Untuk itu pada kesempatan ini penulis juga
ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan, dukungan, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis
dalam penyelesaian tesis ini.
1. Kepada Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada
program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
2. Kepada Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih telah menerima penulis menjadi
mahasiswa program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan juga selaku dosen yang telah memberikan pengetahuan yang
berguna bagi penulis.
3. Kepada Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Program
Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen
dan sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembimbing, terima kasih atas segala
perhatian dan ilmu pengetahuan yang diajarkan selama penulis menjadi
mahasiswa, memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, ide, motivasi dan saran
serta kritik yang konstruktif untuk memperoleh hasil yang terbaik dalam
penulisan tesis ini.
4. Terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya
penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H, M.LI, selaku Ketua
Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, saran
serta kritik yang sangat mendukung dalam penulisan tesis ini, demikian juga
kepada Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus
sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
5. Kepada Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., dan Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo,
S.H., M.H., selaku dosen penguji terima kasih atas masukan dan arahan kepada
Akademika Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan membantu didalam
perkuliahan hingga dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya, penulis juga
mengucapkan terima kasih.
6. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis , Papi tercinta St. Prof. (Emer) dr.
Hamonangan Hutapea, Sp.OG (K) yang selalu mendoakan, mendorong dan
memotivasi untuk terus belajar dan melanjutkan pendidikan, memberikan
dukungan moril dan materil, dan kepada Mami tercinta dr. Paulina Sidabutar yang
paling baik dan sabar serta tiada henti mendoakan, mencurahkan kasih sayang,
nasehat, dan perhatiannya kepada penulis. Terima kasih Tuhan atas limpahan
berkat Mu kepada hamba, terima kasih atas orang tua yang sangat bijaksana,
penuh kasih dan sayang, yang sungguh dapat dijadikan sebagai teladan, yang
Tuhan telah berikan kepada hamba. Bapak mertua saya M. Situmorang dan Ibu
Mertua saya M. Marpaung, kakak saya Kel. Luhut Hutagalung, S.E., M.M., / dr.
Prima Yosephine B.T. Hutapea, M.K.M., adik saya dr. Manuel Hotasi P Hutapea
Sp.OG & kel., abang dan kakak ipar saya Robert Situmorang & kel., Kel. dr.
Djuni K.P. Simatupang Sp.T.H.T., / Netty Situmorang, Drs. Ryckson Dayan
Situmorang & kel., penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan moral dan
spriritual selama ini.
7. Khusus kepada isteri saya tercinta drg. Evelyn Natali Irma Situmorang, penulis
mengucapkan terima kasih atas kesetiaan dan kesabaran yang selalu diberikan,
dalam mengikuti Program Studi Ilmu Hukum dan dalam penyelesaian penulisan
tesis ini. Demikian juga kepada kedua putra tersayang penulis: Jeremy Gokasi
Hasudungan Hutapea dan Jovan Takasi Amadeo Hutapea.
8. Rekan-rekan seangkatan kelas Hukum Ekonomi: Amakhoita Hia, Aswin
Tampubolon, Edy Siong, Elfi Haris, Gidion Arif Setyawan, Harianto, Irfan
Hakim, Jukiman Situmorang, Mercy Monika, Pirmawan Sitorus, Tambok
Nainggolan, Tommy Adhyaksa, Wawan Irawan, yang telah melalui 3 semester
perkuliahan bersama-sama sarat dengan kenangan indah, terima kasih atas
kebersamaan selama ini dan semoga persahabatan ini abadi selamanya.
9. Kepada seluruh unsur pimpinan PT. Garuda Indonesia (Persero) Kantor Cabang
Medan, berawal dari Bapak Yona Mardiona yang telah memberikan izin kepada
penulis untuk dapat mengikuti perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, demikian juga pimpinan
selanjutnya yaitu: Bapak Muchwendi Harahap beserta Bapak Moch. Yunus,
Bapak Anang Widodo, Bapak Hendro Warsito dan seluruh rekan kerja , terima
kasih atas dukungan, motivasi dan pengertian yang baik selama penulis mengikuti
perkuliahan, melakukan penulisan, sampai dengan berakhirnya penulisan tesis ini.
10.Kepada seluruh staf sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara: Fika, Juli, Fitri, Bu Niar, Bu Ganti, Udin,
Hendra, dan Herman terima kasih atas pelayanan dengan senyum dan keikhlasan,
Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, namun harapan
penulis kiranya tesis ini dapat menjadi setitik air dalam samudera ilmu pengetahuan,
menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi
pembacanya. Akhir kata, mohon maaf atas segala kelemahan yang ada dalam
penulisan ini, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk
penulisan selanjutnya.
Medan, Februari 2010
Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 05 November 1969
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Perumahan Bumi Asri Blok G-231
Jl. Asrama, Helvetia Medan
Pekerjaan : Pegawai BUMN: PT. Garuda Indonesia (Persero)
Kantor Cabang Medan
Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar: SD Kristen Immanuel I Medan
(Lulus Tahun 1981);
- Sekolah Menengah Pertama: SMP Kristen
Immanuel Medan (Lulus Tahun 1984);
- Sekolah Menengah Atas: SMA Negeri I Medan
(Lulus Tahun 1987);
- S-1: Fakultas Ekonomi Universitas Medan Area/
UMA Medan (Lulus Tahun 1995);
- S-2: Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR ISTILAH ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 2
C. Tujuan Penulisan... 3
D. Manfaat Penulisan... 3
E. Keaslian Penulisan ... 4
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 4
1. Kerangka Teori... 4
2. Landasan Konsepsional... 5
G. Metode Penulisan ... 6
1. Jenis dan Sifat Penulisan... 6
2. Sumber Data... 7
3. Teknik Pengumpulan Data... 8
4. Analisis Data ... 9
BAB II : TINJAUAN TENTANG LOW COST CARRIER DAN EKSISTENSINYA DALAM DUNIA PENERBANGAN ... 10
A. Penerapan Low Cost Carrier Bagi Industri Penerbangan ... 10
B. Maskapai Penerbangan Murah dan Terbesar di Eropa dan Dunia. 11 C. Pengabaian PP No. 3 Tahun 2001 Berdampak pada Low Cost Carrier Dan Eksistensi Maskapai Penerbangan Indonesia... 11
1. Dampak Pengabaian Regulasi Keamanan dan Keselamatan Penerbangan ... 11
D. Eksistensi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat .. 14
BAB III : PERSAINGAN DALAM DUNIA PENERBANGAN PADA LOW COST CARRIER DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA... 16
A. Larangan Jual Rugi (Predatory Pricing) Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ... 16
1. Konsep Predatory Pricing ... 16
2. Per Se Illegal dan Rule of Reason... 17
3. Pembuktian Predatory Pricing ... 18
B. Efisiensi Dalam Perusahaan Jasa Penerbangan Domestik ... 19
1. Efisiensi Teknis Produksi... 20
2. Efisiensi Alokatif ... 21
C. Dampak Negatif Dalam Industri Jasa Penerbangan... 21
1. Mematikan Pesaing ... 21
2. Adanya Barrier to Entry ... 22
3. Kecelakaan Pesawat ... 22
D. Hubungan Antara Jual Rugi (Predatory Pricing) Dengan Efisiensi... 23
BAB IV : PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PELAKSANAAN LOW COST CARRIER DALAM INDUSTRI PENERBANGAN... 25
A. Pengaturan Harga Tiket oleh Departemen Perhubungan ... 25
B. Tugas dan Wewenang KPPU ... 26
C. Keberatan KPPU atas Pengaturan Harga Tiket... 27
1. Keberatan atas Kewenangan Departemen Perhubungan... 28
2. Keberatan di Dalam Hukum Persaingan Usaha ... 29
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 30
A. Kesimpulan ... 30
B. Saran... 31
DAFTAR ISTILAH
NO DESKRIPSI ARTI
1 Affordability Menghasilkan
2 Akuisisi Pengambil-alihan perusahaan oleh
perusahaan lain melalui pembelian saham 3 Alternatif Pilihan (antara dua hal), alternatip, jalan lain
4 Availability Adanya, tersedianya, terdapatnya
5 Average cost Biaya rata-rata
6 Bandara Lapangan terbang
7 Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
8 Batavia Air (7P) Batavia Air memiliki kode penerbangan 7P
9 Business Class Kelas bisnis
10 Cabin crew Awak kabin
11 Check-in
Prosedur formal yang diberlakukan oleh perusahaan penerbangan dalam mendaftar penumpang untuk berangkat dalam satu penerbangan
12 Competition policy Kebijakan persaingan
13 Consumer behaviour Perilaku konsumen
14 Doctrinal research Penulisan doktrinal / berkenaan dengan
doktrin atau asas
15 Economy Class Kelas ekonomi
16 Event Acara, peristiwa, kejadian, hasil, perlombaan
17 Flexibilitas Kelenturan, keluwesan
18 Free seating Duduk bebas, tidak ada penentuan tempat
duduk
19 Full service carrier Alat pengangkut dengan jasa layanan
lengkap
20 Garuda Indonesia (GA) Garuda Indonesia memiliki kode penerbangan GA
21 Globalisasi Globalisasi
22 Golden route Rute emas
23 Variable cost Biaya variabel, biaya tidak tetap
24 Indonesia Air Asia (QZ) Indonesia Air Asia memiliki kode penerbangan QZ
25 Inflight entertainment Hiburan / pertunjukan selama dalam
penerbangan
26 Inflight service Pelayanan selama dalam penerbangan
27 International Air Transport
28 Investor Penanam modal
29 Irrasional Tidak rasional, tidak masuk akal, tidak logis
30 Joint venture Patungan, usaha patungan
31 Kategori Kelompok, golongan, jenis
32 Kompetitif Yang bersaing
33 Kualitas Mutu, kecakapan, macam, jenis
34 Lion Air (JT) Lion Air memiliki kode penerbangan JT
35 Load factor Faktor muatan / isian, tingkat isian
36 Low Cost Carrier Alat pengangkut bertarif rendah
37 Low season Saat dimana tingkat permintaan / demand
atas suatu barang / jasa sedikit
38 Mandala (RI) Mandala Airline memiliki kode penerbangan
RI
39 Market behaviour Perilaku pasar
40 Market share Penguasaan pasar
41 Maskapai Perusahaan / company / enterprise,
perusahaan penerbangan
42 Monopoli Hak menguasai
43 Predatory price
Penerapan harga temporari yang jauh dibawah harga pasar dengan maksud untuk membunuh atau mematikan pesaing
44 Reasonable Bijaksana, adil, logis, masuk akal
45 Rule of reason Alasan aturan
46 Rute Jalan / trayek yang dilalui
47 Stakeholders
Perorangan / group / organisasi / seluruh unit yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan suatu organisasi atau
perusahaan karena dapat menerima dampak dari aksi / tujuan / kebijakan yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan tersebut
48 Minimize reservasition Persediaan dikurangi/pengurangan
persediaan
49 Total cost Biaya total
50 Ground handling Berada di tanah atau pesawat sedang
berhenti di darat.
ABSTRAK
Dalam industri penerbangan nasional saat ini, terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan pola penerbangan berbiaya murah yang disebut dengan Low Cost
Carrier. Kondisi tersebut mengakibatkan persoalan hukum karena melanggar Pasal
20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dimana perusahaan penerbangan tertentu telah melakukan penjualan tiket penumpang udara di bawah harga pokok dan diduga sebagai pelaku untuk mematikan pesaing. Jika diteliti dari sudut pandang penumpang/konsumen bahwa, dengan adanya harga jual yang lebih rendah tentunya akan sangat menguntungkan dan tidak peduli dengan persaingan di antara perusahaan penerbangan. Hal ini terjadi mengingat kondisi perekonomian di Indonesia saat ini yang masih belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif yang semakin sensitif terhadap perubahan harga suatu produk dan tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik terhadap suatu produk tertentu.
Permasalahan di dalam penulisan ini adalah bagaimanakah persaingan dunia penerbangan pada Low Cost Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha? dan bagaimanakah penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost
Carrier dalam industri penerbangan?
Penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Nasional, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Kesimpulan dari penulisan ini menunjukkan bahwa, Pertama, perusahaan penerbangan tertentu yang menjual harga tiket di bawah harga referensi, dan telah diaudit oleh Tim Departemen Perhubungan Udara kemudian laporannya diberikan kepada KPPU, maka KPPU tidak secara otomatis dapat menerapkan Pasal 20 UU Persaingan Usaha kepada maskapai penerbangan tersebut. Karena ketentuan Pasal 20 UU Persaingan Usaha tersebut tidak bisa diberlakukan mengenai Per Se Illegal dan
Rule of Reason, melainkan KPPU harus dapat membuktikan terlebih dahulu sejauh
mana penjualan harga tiket tersebut dilakukan secara sistematis dalam waktu yang cukup lama, eksistensi perusahaan penerbangan di pangsa pasar yang kuat, kemampuan keuangan yang kuat, sehingga dapat mematikan pelaku usaha lain atau menyingkirkan pesaingnya dari pasar yang bersangkutan dan menimbulkan barrier to
entry. Kedua, penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost Carrier dalam industri penerbangan, bukan disebabkan predatory pricing yang
Untuk itu, Departemen Perhubungan tidak perlu menetapkan tarif batas atas dan batas bawah, ataupun tarif referensi seiring semakin kompetitifnya tarif angkutan udara saat ini, karena tarif tersebut terbentuk melalui mekanisme pasar yang wajar. Penetapan tarif referensi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 36 Tahun 2005 dalam hal ini tidak melanggar UU Persaingan Usaha hal tersebut didasarkan pada Pasal 5 Ayat (2b). Namun, demikian penetapan tarif referensi tidak sejalan dengan tujuan Hukum Persaingan Usaha dan tujuan dibentuknya UU Persaingan Usaha yaitu untuk melindungi proses persaingan. Karena itu, pemberlakuan tarif referensi bukanlah solusi.
Saran dalam penulisan ini adalah pertama, baik KPPU maupun Departemen Perhubungan diharapkan agar semakin meningkatkan fungsi pengawasannya terhadap persaingan usaha industri penerbangan domestik, dimana KPPU mengawasi dalam hal persaingan usaha karena suatu saat dimungkinkan untuk terjadinya
predatory pricing ataupun praktek persaingan usaha tidak sehat lainnya dan
Departemen Perhubungan hendaknya mengawasi ketaatan perusahaan penerbangan terhadap peraturan-peraturan mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan serta memperketat pemberian Surat Izin Usaha Penerbangan, Air Operator Certificate dan izin terbang. Kedua, tarif penerbangan domestik sebaiknya diserahkan kembali kepada mekanisme pasar karena penetapan tarif referensi tidak akan langsung menjamin persaingan antar perusahaan penerbangan.
Kata Kunci: Low Cost Carrier atau LCC, Industri Pesawat Terbang, Perusahaan Penerbangan, Maskapai Penerbangan, UU Persaingan Usaha, Pelaku Usaha, Pesaing, Monopoli, Per Se
ABSTRACT
In the current national airline industry, there are several airline companies which apply the Low Cost Carrier system. The application of this system has resulted in a legal problem because it violates Article 20 of the Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition and Unhealthy Business Competition. In this case, a certain airline company has sold an airline ticket under the standard price and it is assumed to have intention to kill its competitors. Seen from the consumers point of view, the lower selling ticket price is surely beneficial and they do not care about the competition among the airline companies. This occurs because the current economic condition in Indonesia is still not recovered that it makes the consumers change their consumptive pattern which becomes more sensitive to a change of the price of a product and the consumers are no longer fanatic toward a specific product.
The research questions to be answered in this study were how business competition in airline companies applying the Low Cost Carrier system is looked at from the law of business competition point of view and how the law of business competition is imposed in the implementation of Low Cost Carrier system in the airline industry.
This study employed a normative legal research method with qualitative approach which refers to the legal values and norms stated in the regulation of legislation. The primary legal materials for this study were Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition an Unhealthy Business Competition, Law No.8/1999 on National Consumer Protection, and Law No.1/2009 on Aviation.
referential tariff in line with the current competitiveness of air transportation tariff because the tariff is formed through a natural market mechanism. The establishment of referential tariff in the Decree of Minister of Transportation No. KM.36/2005, in this case, does not violate Law on Business Competition based on Article 5 (2b). Yet, the establishment of referential tariff is not in line with the objectives of Law on Business Competition which is to protect the process of competition. Therefore, the implementation of referential tariff is not a solution.
KPPU or the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) is suggested, First, to keep monitoring and controlling the practice of business competition in the domestic airline industry. KPPU should monitor and control the business competition practice because predatory pricing or the other unhealthy business competition practices may occur, and the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) should monitor and control the obedience of airline companies to the regulations concerning flight security and safety and firmly regulate the issuance of the license of Airline Business, Air Operator Certificate and Flying certificate. Second, domestic airline tariff should be returned to the market mechanism because the establishment of referential tariff will not directly guarantee the competition between the airline companies.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Industri jasa penerbangan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang
sangat pesat dari tahun ke tahun, sebagaimana yang juga dialami dibeberapa belahan
dunia lainnya, yang lebih disebabkan oleh lahirnya konsep baru di dunia penerbangan
yaitu “Low Cost Carrier”. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan merupakan salah satu tonggak deregulasi bisnis penerbangan di
Indonesia. Dengan adanya undang-undang ini, maka jumlah perusahaan jasa
penerbangan meningkat tajam. Sebelum adanya undang-undang ini perusahaan jasa
penerbangan di Indonesia hanya beberapa perusahaan, khususnya yang tergabung
dalam International Air Transport Association (IATA).
Banyaknya pemain dalam industri jasa penerbangan ini antara lain disebabkan
karena relatif tingginya potensi keuntungan yang dapat diraih. Sebagaimana diketahui
dalam jangka pendek, meskipun pada kondisi merugi, keuntungan dari penjualan tiket
pesawat masih mampu untuk membayar variable cost.1 Apalagi dalam kondisi
perusahaan memperoleh untung, kondisi harga tiket masih lebih tinggi dari average
cost2, keuntungan yang diperoleh perusahaan jasa penerbangan akan berada di atas
1
EC. Winardi, Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia, (Bandung: Alumni, 1974), hal. 304, Variable Cost adalah pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan sebuah perusahaan atau industri, yang berubah dengan jumlah benda-benda yang dihasilkan. Contoh: biaya-biaya untuk bahan mentah dan tenaga kerja.
2
keuntungan normal. Kondisi ini merupakan daya tarik bagi investor atau pelaku usaha
untuk masuk dalam bisnis jasa penerbangan.
Dengan semakin banyaknya pemain dalam industri penerbangan ini maka
tingkat persaingan antar operator transportasi udara menjadi semakin tinggi,
akibatnya industri jasa penerbangan harus melakukan penyesuaian harga jual
tiketnya.3 Kondisi ini memaksa perusahaan jasa penerbangan harus melakukan
upaya-upaya untuk efisiensi biaya setinggi mungkin dan melakukan langkah-langkah
inovatif dalam hal strategi bisnis agar perusahaan tidak mengalami kerugian
terus-menerus dan dapat menghadapi kompetisi.
Dengan adanya persaingan antar pelaku usaha, sebenarnya konsumen
merupakan pihak yang paling diuntungkan, yaitu berupa penawaran harga yang lebih
murah dan semakin banyaknya alternatif pilihan barang atau jasa yang ditawarkan.
Alternatif pilihan ini memberikan kesempatan kepada konsumen untuk dapat memilih
barang atau jasa sejenis yang mempunyai kualitas lebih baik namun memiliki harga
yang relatif lebih murah dibandingkan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
Pelaku usaha, baik produsen maupun distributor harus dapat melakukan
efisiensi untuk dapat menekan biaya produksi atau distribusi, tentunya dengan tanpa
mengurangi kualitas dari produk yang ditawarkannya, sehingga pada akhirnya pelaku
usaha tersebut dapat menawarkan produk dengan harga yang lebih kompetitif tanpa
mengurangi kualitasnya.
tidak berubah dengan bertambahnya produksi (sampai titik tertentu), dibagi dengan jumlah kesatuan yang dihasilkan pada titik yang sedang dipersoalkan, Ibid. hal. 21.
3
Dalam melihat sejauhmana pengaruh competition policy terhadap
perlindungan konsumen di Indonesia, maka perlu dilihat faktor-faktor apa saja yang
pada dasarnya berpengaruh terhadap tingkah laku konsumen (consumer behaviour),
yaitu:4
1. Utility maximisation;
2. Stable preferences; dan
3. Optimal information.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa industri jasa penerbangan di
Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang demikian pesatnya, kondisi tersebut
secara langsung sangat berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada. Dari data yang
ada pada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan Republik
Indonesia, tercatat bahwa pada tahun 2004 jumlah perusahaan penerbangan niaga
tidak berjadwal sebanyak 26 perusahaan.
Pertumbuhan penumpang angkutan udara dalam negeri sudah terjadi beberapa
kali lipat, dimana terjadi lonjakan konsumen yang memilih tarnsportasi udara ini
karena adanya tiket pesawat murah. Tetapi peluang tersebut tumbuh menjadi suatu
kekhawatiran karena diindikasikan adanya persaingan usaha tidak sehat dalam
4
industri penerbangan nasional.5 Persaingan usaha tidak sehat yang terjadi pada
maskapai penerbangan nasional saat ini dapat berujung pada faktor keselamatan
penerbangan. Penyebab utamanya adalah terlalu banyaknya maskapai penerbangan
berjadwal, dalam data Departemen Perhubungan terdapat 34 maskapai penerbangan
berjadwal di Indonesia. Banyaknya maskapai penerbangan ini berkaitan dengan
dibukanya keran izin usaha penerbangan sejak akhir tahun 1990.6 Dimana maskapai
penerbangan asing dengan modal kuat masuk ke Indonesia dan ikut berebut
konsumen dengan maskapai penerbangan nasional sehingga
penerbangan-penerbangan asing yang murah dapat langsung menembus kota-kota medium di
Indonesia.7 Tetapi hal ini sebenarnya juga berimplikasi baik pada industri
penerbangan karena pelaku usaha baru baru dapat masuk dengan cukup bebas dalam
persaingan yang lebih sehat sehingga semakin banyak maskapai penerbangan
menawarkan jasa pada penumpang dengan harga dan kualitas yang baik dan
kompetitif sehingga penumpang (konsumen) dapat diuntungkan karena lebih leluasa
untuk memilih maskapai yang akan ditumpanginya.
Dari 34 jasa perusahaan penerbangan nasional yang ada, terdapat beberapa
perusahaan jasa penerbangan yang menawarkan berbagai layanan murah termasuk
tiket murah. Perusahaan jasa penerbangan ini menerapkan Low Cost Carrier
(selanjutnya disebut LCC). Beberapa perusahaan jasa penerbangan yang menerapkan
5
“Low Cost Air Line Antara Kekhawatiran dan Peluang”, Angkasa, Nomor 8 Tahun XIV, Mei 2004, hal. 12-13.
6
Chappy Hakim, “Mengapa Persaingan Nasional Airlines Tidak Sehat”, Seputar Indonesia, Nomor 267, Tanggal 27 Maret 2006, hal. 9.
7
LCC ini di antaranya Air Asia, Lion Air, Batavia Air, dan lain-lain. Perusahaan jasa
penerbangan yang menerapkan LCC dalam beberapa tahun terakhir, mengalami
pertumbuhan yang sangat pesat dalam hal jumlah penumpang, frekuensi
penerbangan, dan rute penerbangan, karena dengan murahnya harga tiket yang
disediakan semakin dapat dijangkau konsumen lapisan bawah.
Berkembangnya perusahaan jasa penerbangan yang menerapkan LCC
bukannya tanpa kekhawatiran, kekhawatiran yang mucul adalah penerapan bagi
perusahaan jasa penerbangan untuk memenangkan persaingan dalam merebut
penumpang. Pelaku-pelaku usaha pengangkutan udara tertentu telah melakukan
penjualan tiket penumpang udara dalam negeri (domestik) di bawah harga pokok dan
diduga sebagai pelaku untuk mematikan pesaing (predatory pricing).8
Predatory pricing itu sendiri adalah mematikan pesaingnya dengan
mengorbankan keuntungan bertujuan untuk mengurangi persaingan dan sesudahnya
berusaha untuk mendapatkan keuntungan monopoli dengan menetapkan harga di atas
harga pesaingnya (monopoly price) untuk suatu jangka waktu tertentu sesudah
pesaing tersingkir dari pasar.9 Predatory pricing dapat juga dilaksanakan dengan
tindakan pemotongan harga yang mengakibatkan persaingan terganggu,10 meskipun
konsumen diuntungkan manakala pelaku usaha yang menjual produk dengan harga
yang lebih rendah kepada konsumen, namun apabila pesaing telah tersingkir dan
8
Setya Yudha Indraswara., “Habis Terang Terbitlah Tarif”, www.kompas.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009.
9
Ningrum Natasya Sirait., “Predatory Pricing Dalam Hukum Persaingan dan Pengaturannya Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23, No. 1, YPBH, Jakarta, 2004, hal. 72.
10
pelaku usaha yang tadinya melakukan pemotongan harga justru kini mendongkrak
harga, maka konsumen dirugikan karena harus membeli produk dengan harga jauh di
atas harga equilibrium. Sehingga pelaku-pelaku usaha tersebut melanggar
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat11 (selanjutnya dalam penelitian ini disebut UU Persaingan Usaha)
terutama Pasal 20 yang merumuskan pengaturan tentang predatory pricing dengan
redaksi ”pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan produk dengan cara jual rugi
atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau
mematikan usaha pesaingnya”.12
Ditengarainya praktek predatory pricing yang dikeluarkan perusahaan jasa
penerbangan yang menerapkan LCC ini dilakukan dengan menjual harga tiket
penerbangan domestik di bawah biaya produksi yang dikeluarkan sehingga
perusahaan jasa penerbangan tersebut mengalami kerugian untuk jangka waktu
tertentu tetapi setelah dapat menguasai pasar jasa penerbangan domestik serta tidak
memiliki pesaing lagi maka perusahaan jasa penerbangan tersebut menaikkan harga
tiket penerbangan secara perlahan-lahan sampai mendapatkan keuntungan yang besar
juga bisa digunakan untuk menutupi kerugian pada awal-awal menjual tiket dengan
harga murah, kemudian dapat menimbulkan monopoly power sehingga pada
11
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha), sebagaimana diumumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia No. 33 Tahun 1999 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3817.
12
gilirannya perusahaan jasa penerbangan tersebut dapat mengatur harga tiket
penerbangan domestik di Indonesia.
Dari catatan yang dikeluarkan Indonesia National Air Carriers Association
(INACA),13 tercatat ada lima maskapai penerbangan nasional yang resmi berhenti
beroperasi saat ini yakni Adam Air, Bayu Air, Bouraq Air, Bali Air, dan Star Air.14
Tetapi apakah berhenti beroperasi kelima maskapai penerbangan nasional tersebut
diakibatkan karena adanya penerapan LCC pada beberapa perusahaan jasa
penerbangan domestik yang lain, hal tersebut harus dapat dibuktikan terlebih dahulu.
Untuk kategori perusahaan penerbangan niaga berjadwal dari tahun 2004 terus
mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2008, yaitu dari sebanyak 17
perusahaan menjadi sebanyak 22 perusahaan, sebagaimana yang dapat dilihat pada
Diagram 1 sebagai berikut:
Diagram 1
Perkembangan Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri15
Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Dephub, dan telah diolah kembali
0 terakhir tanggal 27 Desember 2009.
14
Gatot Widakdo., “Harus Ada Etika Bisnisnya”, Kompas, Tanggal 18 April 2006, hal. 7.
15
Pertumbuhan jumlah perusahaan penerbangan yang menyediakan jasa
penerbangan domestik dilihat dari perspektif konsumen, memberikan dampak yang
positif. Masyarakat memperoleh keuntungan dengan semakin banyaknya pilihan jasa
penerbangan yang menawarkan berbagai kemudahan, seperti pemberian pelayanan
yang semakin baik dan harga tiket yang sangat bersaing. Pertanyaan yang paling
mendasar selanjutnya adalah apakah kondisi tersebut akan secara otomatis
berpengaruh terhadap tingkah laku konsumen (consumer behaviour).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap konsumen untuk memilih salah satu
maskapai penerbangan tertentu, misalnya harga murah merupakan satu-satunya
alasan konsumen untuk memilih salah satu maskapai penerbangan tertentu,
pandangan konsumen terhadap tingkat keamanan dan kenyamanan yang ditawarkan
oleh suatu maskapai penerbangan, penawaran pelayanan dalam bentuk fasilitas check
in, ketepatan jadwal, pilihan waktu, dan lain-lain.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) pada tahun 2003 terhadap rute penerbangan Jakarta-Medan,
Jakarta-Surabaya, Jakarta-Yogyakarta dan Jakarta-Solo, alasan yang paling sering
dipakai oleh responden untuk memilih salah satu operator angkutan udara adalah
harga tiket yang murah. Alasan tersebut sangat masuk akal karena naluri konsumen
dalam mengkonsumsi suatu produk secara alamiah adalah berusaha untuk
mungkin, hal ini sesuai dengan prinsip utility maximisation.16 Tabel 1 di bawah ini
menunjukkan beberapa alasan yang dipakai oleh responden dalam memilih salah satu
maskapai penerbangan udara. Survey ini dilakukan terhadap 619 orang responden
penumpang pesawat udara di bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta, Polonia
Medan, Adi Sucipto Yogyakarta, Hang Nadim Batam dan Sultan Syarif Kasim II
Pekanbaru.
Tabel 1
Alasan Pemilihan Maskapai Penerbangan Udara17
Data: YLKI, www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses 01 September 2009
No. Alasan Jumlah %
1 Harga murah 168 28.00
2 Pelayanan baik 108 18.00
3 Tepat waktu 42 7.00
4 Keamanan/keselamatan 37 6.17
5 Jadwal/ jaringan banyak 36 6.00
6 Kenyamanan 34 5.67
7 Dipesankan kantor 28 4.67
8 Kebiasaan 19 3.17
9 Kepercayaan/pengalaman 14 2.33
10 Fasilitas 13 2.17
11 Makanannya enak 4 0.67
12 Lainnya 116 19.33
Jumlah Keseluruhan 619 100
16
Prinsip Utility Maximisation adalah prinsip dimana untuk memenuhi suatu kebutuhan diusahakan hanya dengan mengeluarkan biaya serendah mungkin, lihat di www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 01 September 2009).
17
Selanjutnya dari responden tersebut sebanyak 32,8% berpendapat bahwa
persaingan harga tiket pesawat terbang seharusnya dibiarkan karena konsumen dapat
diuntungkan dari adanya persaingan tersebut.18 Sebanyak 41,3% responden kurang
setuju bahwa persaingan harga tiket antar maskapai penerbangan akan merugikan
maskapai penerbangan lainnya.19 Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
persaingan antara operator angkutan udara memberikan keuntungan kepada
konsumen karena konsumen dapat memperoleh kemudahan dalam memilih operator
angkutan udara yang memberikan penawaran harga tiket terendah. Meskipun
demikian sebanyak 35,8% orang responden setuju apabila pemerintah tetap perlu
untuk membuat aturan yang ketat tentang harga tiket pesawat terbang.20
Kemampuan masyarakat konsumen untuk mendapatkan informasi yang terkait
dengan suatu jenis produk akan sangat berpengaruh pada waktu proses pengambilan
keputusan untuk menggunakan produk barang atau jasa yang bersangkutan. Kualitas
maupun kuantitas suatu informasi yang diterima oleh konsumen akan mempengaruhi
persepsi konsumen terhadap suatu produk tertentu, hal ini sesuai dengan prinsip
optimal information. Kondisi ini tentunya juga sangat dipengaruhi oleh tingkat
kemudahan masyarakat untuk mengakses informasi yang benar mengenai produk
tersebut.
Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen apakah iklan mengenai jasa
penerbangan di Indonesia merupakan salah satu sumber informasi penting bagi
18
Ibid.
19
Ibid.
20
konsumen dalam memilih suatu maskapai penerbangan. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah iklan yang ditampilkan tersebut dapat mewakili kondisi sebenarnya
dari tingkat pelayanan yang diberikan oleh maskapai penerbangan tersebut.
Informasi yang salah akan dapat menyebabkan konsumen melakukan pilihan-pilihan
yang irrasional atau tidak tepat.
Namun demikian dalam Pasal 20 UU Persaingan Usaha, terdapat isu yang
dianggap sebagai upaya untuk melakukan kecurangan dalam persaingan usaha yaitu
adanya praktek jual rugi (predatory price). Dalam hal ini produsen atau distributor
menjual produk dengan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan produk
sejenis yang merupakan pesaingnya, dengan maksud untuk memaksa pesaingnya
keluar dari pasar yang bersangkutan.
Untuk melihat seorang pelaku usaha melakukan predatory price ini, harus
dilakukan penelitian dengan sangat hati-hati. Secara umum predatory price terjadi
dalam hal harga produk dibawah harga normal dari produk sejenisnya. Selanjutnya
apabila suatu produk ditawarkan untuk jangka waktu tertentu dengan harga di bawah
rata-rata total cost untuk menghasilkan produk tersebut, bisa dikategorikan sebagai
predatory price. Total cost di sini adalah jumlah dari biaya tetap (fixed cost) dan
biaya variabel (variable cost) ditambah lagi dengan biaya penjualan dan biaya
administrasi serta biaya lain-lain.21
Adanya penekanan pada jangka waktu tertentu untuk penawaran suatu produk
juga cukup penting untuk menentukan apakah ada indikasi praktek predatory price,
21
karena seringkali pelaku usaha melakukan penjualan dengan harga lebih rendah dari
harga tertentu untuk event atau periode tertentu misalnya diskon atau sale pada masa
liburan sekolah, hari raya, atau event khusus lainnya.
Dari sudut pandang UU Persaingan Usaha, adanya praktek predatory price
dapat dianggap sebagai salah satu praktek persaingan usaha tidak sehat karena dengan
adanya penawaran harga suatu produk di bawah harga rata-rata pasar untuk jangka
waktu yang lama akan menyebabkan produk sejenisnya tidak laku dan pada akhirnya
dapat menyebabkan produsen dari produk tersebut akan mati. Setelah pesaing keluar
dari pasar tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktek predatory price ini
akan menjadi satu-satunya pelaku usaha dipasar tersebut sehingga maskapai ini dapat
menentukan harga tiket dengan sewenang-wenang. Akan tetapi terhadap teori ini
terdapat argumen yang menyatakan bahwa pada saat pelaku usaha tersebut
menaikkan harga produk untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,
maka pada saat yang sama akan muncul pelaku-pelaku usaha lain yang menggantikan
posisi pelaku usaha sebelumnya yang telah mati, sehingga pada akhirnya tetap
terdapat keseimbangan harga pasar yang wajar.
Dari sudut pandang konsumen adanya harga jual yang lebih rendah tentunya
akan sangat menguntungkan. Konsumen tidak terlalu peduli dengan adanya perang
tarif yang dilakukan pelaku usaha. Apalagi dengan adanya kondisi perekonomian
Indonesia yang masih belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif
perubahan harga suatu produk dan tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik
terhadap suatu produk tertentu.
Persaingan antar maskapai penerbangan udara dapat terlihat dari persaingan
antar perusahaan pada rute penerbangan yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara, dapat dilihat bahwa jumlah rute dan kota yang dilayani
oleh angkutan udara dalam negeri yang fluktuatif mulai dari tahun 2004 sampai
dengan tahun 2008. Pada tahun 2004 jumlah rute penerbangan ada sebanyak 106 rute
selanjutnya mengalami peningkatan pada tahun 2005 menjadi sebanyak 114 rute,
mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi sebanyak 102 rute, kemudian
mengalami peningkatan sedikit demi sedikit pada tahun berikutnya, sebagaimana
yang dapat dilihat pada Diagram 2 sebagai berikut:
Diagram 2
Jumlah Rute dan Kota yang Dilayani Oleh Angkutan Udara Dalam Negeri22 Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Departemen Perhubungan RI
0
Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh adanya krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Kondisi perekonomian tersebut selain berpengaruh terhadap industri
jasa penerbangan juga berpengaruh terhadap kemampuan daya beli konsumen
pemakai jasa penerbangan, sehingga sebagaimana yang dialami pada bidang lainnya,
adanya krisis tersebut memukul sektor industri jasa penerbangan. Industri jasa
penerbangan dituntut untuk melakukan efisiensi dimana salah satunya adalah
mengurangi jumlah rute yang dilayani. Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam
jasa penerbangan tersebut lebih memfokuskan pada rute penerbangan yang
menjanjikan keuntungan besar yang disebut dengan rute emas (golden route).
Apabila kita membandingkan kembali Diagram 2 dengan Diagram 1 yang
menggambarkan kondisi jumlah perusahaan penerbangan domestik yang beroperasi,
terlihat bahwa sampai dengan tahun 2008 jumlah maskapai penerbangan terus
mengalami peningkatan sementara jumlah rute yang dilayani memiliki trend yang
menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat persaingan pada rute-rute penerbangan
tertentu akan semakin tinggi, karena jumlah perusahaan penerbangan yang beroperasi
semakin banyak pada rute-rute tersebut.
Salah satu contoh yang cukup menarik untuk diteliti sejauh mana
kemungkinan praktek curang persaingan usaha di antara para pelaku usaha adalah
perang tarif penerbangan domestik di Indonesia, misalnya pada rute Medan-Jakarta
yang merupakan salah satu rute emas (golden route). Saat ini rute penerbangan
(GA), Lion Air (JT), Batavia Air (7P), Sriwijaya Air (SJ), Mandala (RI), dan Air Asia
(QZ).
Adanya perang tarif dapat dilihat pada masa low season, dimana
masing-masing perusahaan penerbangan terkesan berlomba secara cepat melepaskan
harga-harga tiket yang murah di pasar dalam upaya optimalisasi tingkat isian tempat duduk
di pesawat (Seat Load Factor/SLF), dan harga tersebut biasanya memiliki
konsekuensi keterbatasan-keterbatasan pada tiket yang dijual, misalnya tidak
diperbolehkan refund, tidak diperbolehkan pindah nomor penerbangan, dan lain
sebagainya.
Pada saat low season, harga tiket untuk rute Medan-Jakarta bisa turun kurang
lebih sampai sekitar Rp. 300.000,- yang bila dibandingkan dengan kondisi normal
harga tiket untuk sektor tersebut berkisar harga rata-rata sampai Rp. 600.000,-.
Tingkat flexibilitas harga ini biasanya lebih tinggi pada perusahaan penerbangan
berkonsep LCC, hal tersebut disebabkan karena biasanya spesifikasi tingkat
pelayanan (service level) yang diberikan kepada konsumen sangat terbatas, misalnya
tidak ada tersedia pelayanan selama penerbangan (inflight service) seperti makanan
dan minuman secara komplimen, hiburan (inflight entertainment), bahan bacaan
misalnya koran atau majalah, sistem free seating yang tidak memberlakukan
penomoran tempat duduk, sangat minimnya jumlah cabin crew, dan lain
sebagainya.23
23
Di sisi lain perusahaan penerbangan berkonsep ”Full Service Carrier” atau
FSC memiliki standar level of service yaitu pelayanan selama penerbangan (inflight
service) seperti makanan dan minuman secara komplimen, hiburan (inflight
entertainment), bahan bacaan misalnya ada beberapa jenis koran atau majalah, ada
tersedianya pilihan Business Class atau Economy Class dengan tempat duduk
bernomor, jumlah cabin crew yang memadai, dan lain sebagainya.24
Adanya perang tarif pada industri penerbangan ini antara lain juga disebabkan
karena adanya kebijakan dari Menteri Perhubungan pada tanggal 1 Februari 2002
melalui SK Nomor KM 8/2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi
Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas
Ekonomi dan SK Nomor KM 9/2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara
Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi.
Adapun kedua Surat Keputusan tersebut mendasarkan pada koridor batas atas
dan batas bawah yang harus dipatuhi semua operator penerbangan dalam penentuan
tarif. Kebijakan inilah yang langsung menciptakan ”perang terbuka” dalam
menetapkan tarif angkutan udara serendah mungkin. Sebelum adanya dua Surat
Keputusan tersebut pemberlakuan tarif penerbangan diatur oleh INACA (Indonesian
National Carriers Association), dimana besaran tarif INACA itu dipatok dalam kurs
dolar AS yaitu 11 sen per seat per kilometer.
Menanggapi kondisi tersebut, pihak maskapai penerbangan Garuda Indonesia
menyampaikan bahwa penggunaan harga yang lebih murah diberlakukan pada jumlah
24
yang sangat terbatas untuk 5 sampai 10 kursi saja dan sangat dipengaruhi oleh tingkat
permintaan yang ada. Hal itu sebenarnya adalah penerapan atau pemberlakuan sistem
sub classes pada kelas ekonomi. Apabila dilihat dari biaya yang diperlukan untuk
menerbangkan pesawat sekali jalan untuk rute Jakarta-Surabaya misalnya sekitar
Rp.40 juta, sementara itu apabila load factor dinaikkan menjadi 70% tiket bisa dijual
dengan harga Rp.339 ribu, artinya agar tidak rugi operator yang menjual tiket murah
harus sungguh-sungguh berusaha meningkatkan load factor-nya.25
Dengan diberlakukannya UU Persaingan Usaha merupakan salah satu tonggak
penting dalam sistem perekonomian di Indonesia, yang menjadi salah satu instrumen
untuk memberlakukan sistem ekonomi pasar. Lebih dari 30 tahun dibawah rezim
Orde Baru, Indonesia telah melakukan pembangunan di segala bidang khususnya
pembangunan ekonomi. Hasil-hasil pembangunan tersebut dapat terlihat baik dari
sudut pandang indikator makro ekonomi seperti tingkat inflasi dan pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, serta secara mikro dapat terlihat dari sektor bisnis
mengalami kemajuan pesat seperti sektor properti dan perbankan.
Namun demikian kondisi kemajuan ini tidak diimbangi dengan perangkat
perundang-undangan yang mengatur persaingan di antara pelaku usaha, sehingga
akibatnya banyak pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya mengandalkan
cara-cara yang tidak baik seperti menggunakan pengaruh kekuatan politik atau birokrasi
untuk memenangkan persaingan usaha. Di samping itu tidak sedikit kalangan pejabat
atau elit politik yang juga terjun ke dunia bisnis sehingga seringkali dalam
25
menjalankan kebijakan publiknya mendasarkan pada keuntungan pribadi atau
kelompoknya.
Dengan adanya hukum, kompetisi di Indonesia tentunya diharapkan hal-hal
tersebut tidak terjadi lagi. Namun demikian efektifitas dari undang-undang ini dalam
mencegah adanya praktek-praktek bisnis yang curang juga masih perlu dikaji dan
masih menjadi bahan perdebatan. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap
bahwa keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia dalam konteks globalisasi
perdagangan merupakan salah satu cara bagi perusahaan-perusahaan yang berasal
dari negara-negara maju untuk melakukan penetrasi pasar ke negara-negara
berkembang. Tentunya pendapat ini masih merupakan bahan yang dapat
diperdebatkan kebenarannya.
Belum lengkapnya peraturan pelaksana dari undang-undang anti monopoli
juga merupakan salah satu penyebab terhambatnya KPPU (Komisi Pengawas
Persaingan Usaha) dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Misalnya sampai saat ini
belum ada aturan main yang mengatur mengenai merger, akuisisi dan joint venture,
padahal hal tersebut sangat penting bagi KPPU dalam melihat posisi dominan
(pemusatan kekuatan ekonomi) dari satu pelaku usaha di samping itu juga untuk
melihat sejauh mana adanya perjanjian yang mengandung unsur persaingan curang.
Mengenai praktek persaingan tarif angkutan pesawat udara antara beberapa
maskapai penerbangan, ketentuan dalam UU Persaingan Usaha mengatur hal tersebut
rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dan Pasal 21 mengenai larangan
melakukan kecurangan dalam menentukan biaya produksi.26
Meskipun Pasal 20 UU Persaingan Usaha menyatakan larangan untuk menjual
rugi, namun dalam pelaksanaannya akan mengalami kesulitan dalam menerapkan
kedua peraturan tersebut. Sesuai dengan ketentuan tersebut ada tiga unsur dari jual
rugi yaitu:
1. Dilarang melakukan jual rugi atau menerapkan harga yang sangat rendah;
2. Dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan pesaingnya; dan
3. Menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
Sebagaimana penjelasan di atas, untuk menentukan adanya praktek jual rugi
sangat terkait dengan perbandingan antara harga jual barang/jasa dengan biaya
produksi barang/jasa tersebut. Permasalahan yang timbul dalam prakteknya sulit
untuk menentukan apakah harga jual suatu produk sangat rendah ataukah masih
dalam batas kewajaran. Harga yang sangat rendah tersebut apakah merupakan
cerminan dari efisiensi biaya termasuk di dalamnya strategi bisnis ataukah merupakan
strategi mematikan pesaingnya. Termasuk dalam kategori strategi bisnis yang sah
adalah pemberian diskon atau potongan harga jual. Unsur lain yang perlu
diperhatikan juga adalah dalam penentuan biaya produksi apakah ada unsur subsidi
silang dari usaha lain atau jalur penerbangan lain. Garuda Indonesia sebagai salah
26
satu maskapai penerbangan milik negara dalam kondisi tertentu juga harus melayani
jalur penerbangan lain yang secara komersial kurang menguntungkan, sebagai salah
satu bentuk pelayanan umum.
Sebagai akibatnya pada rute penerbangan yang menguntungkan (golden
route), Garuda Indonesia harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk
menutup biaya produksi secara keseluruhan. Namun demikian salah satu cara yang
sering dipakai untuk menilai apakah harga jual suatu produk sangat rendah atau tidak
adalah dengan melihat dan membandingkan dengan harga rata-rata yang ditawarkan
pada pasar yang sejenis. Di samping itu, juga tetap harus memperhatikan unsur
besarnya biaya produksi yang telah dikeluarkan.
Untuk menentukan apakah penentuan suatu harga yang sangat rendah tersebut
merupakan tindakan untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya perlu
dilihat dari jangka waktunya. Perlu dilihat apakah rentang waktu penawaran
penjualan tiket dengan harga spesial tersebut merupakan bulan promosi yang
merupakan salah satu strategi bisnis ataukah penawaran tarif spesial tersebut
benar-benar ditujukan untuk mematikan kompetitor pada pasar yang sama. Semakin lama
hal ini terjadi, semakin besar adanya indikasi bahwa penjualan tiket pesawat dengan
harga murah tersebut merupakan strategi untuk mematikan kompetitornya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana bagian pasar (market
share) dari Garuda Indonesia dibandingkan dengan pesaing lain. Dalam melihat hal
ini apakah akan melihat pasar secara sempit yaitu hanya jalur penerbangan
Dalam melihat apakah Garuda Indonesia mempunyai kedudukan monopoli atau
memiliki posisi dominan dapat dilihat pada parameter yang dipenuhi yaitu ada
tidaknya pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan, atau mempunyai posisi
yang tertinggi dalam kaitannya dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses
pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan.27
Meskipun pelaku usaha memiliki posisi pasar yang kuat tidak dengan
sendirinya melanggar ketentuan ini karena harus ada pembuktian bahwa pemusatan
kekuatan pasar tersebut mengakibatkan dikuasainya produksi atau pemasaran
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.28
Untuk menentukan sejauh mana kepentingan umum dirugikan, maka
undang-undang ini tidak mengatur sehingga penafsirannya diserahkan kepada otoritas yang
berwenang yaitu KPPU. Dalam kaitannya dengan hal ini, meskipun semua unsur
terpenuhi maka tetap dibuka kemungkinan pengecualian (de minimis) dimana ada 2
macam, yaitu:29
1. Karena adanya ketentuan undang-undang;
2. Pelaksanaan dari rule of reason;
27
Article 1.4. “Dominant position is a situation where an entrepreneur does not have any significant competitiors in the relevant market with regard to the market share being controlled, or the entrepreneur is in a high position among its competitors in the relevant market with regard to its financial capability, the ability to have access to the suppliers or sales, and the ability to adapt to the suppley and demand of certain goods or services.”Ibid, hal. 26.
28
Article 1.3.”Monopolistic practices is the centralization of economic power by one or more entrpreneurs causing the control of production and/or marketing of certain goods and/or services resulting in an unfair business competition and can cause damage to the public interest.” Ibid, hal. 28.
29
Rule of reason menurut Cheeseman merupakan kebalikan dari kriteria per se
illegal yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan
undang-undang, namun jika ada alasan obyektif (biasanya alasan ekonomi) yang dapat
membenarkan (reasonable) perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan
suatu pelanggaran.30
Sebagai contoh adanya ketentuan undang-undang misalnya peraturan
perundang-undangan menyatakan suatu sektor usaha menjadi monopoli negara
karena dimaksudkan dalam penyediaan pelayanan umum. Sementara pelaksanaan
rule of reason misalnya dalam hal pelanggaran oleh perusahaan dengan omset kecil
sehingga pelanggaran yang ada tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan.
Oleh karenanya, dalam melihat ada atau tidaknya kerugian, perlu dilihat secara
menyeluruh dengan memperhatikan kepentingan semua stakeholders (pemangku
keentingan) yang ada termasuk kepentingan konsumen. Dalam hal ini KPPU harus
mampu menerjemahkan hal ini baik melalui keputusan-keputusan individual terhadap
suatu kasus maupun melalui regulasi-regulasi yang akan dikeluarkan sebagai
peraturan pelaksanaan dari UU Persaingan Usaha.
Diagram 3 dan tabel 2 di bawah ini, memberikan sedikit gambaran posisi dari
maskapai penerbangan Garuda Indonesia dibandingkan dengan maskapai
penerbangan yang lain. Sebagai pemain lama tentunya Garuda Indonesia memiliki
keunggulan-keunggulan tertentu jika dibandingkan dengan maskapai lainnya. Sebagai
30
contoh apabila dilihat dari jumlah armada pesawat terbangnya, pada tahun 2004
armada pesawat Garuda Indonesia yang terbanyak (lihat Diagram 3) berikut ini:
Tabel 2
Perbandingan Kemampuan Produksi PT. Garuda Indonesia Dengan Total Produksi Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal Nasional (Penerbangan Domestik)31
Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Departemen Perhubungan RI
P R O D U K S I
NASIONAL 245,350 255,008 289,723 268,333
GARUDA JAM TERBANG
(AIRCRAFT-HOURS)
Number
116,104 27% 108,248 24% 108,408 21% 115,315 25%
NASIONAL 435,251 460,204 510,144 466,745
6,987,870 24% 6,956,437 20% 7,371,046 19% 7,665,390 21% NASIONAL 28,992,019 34,015,981 39,162,430 37,350,688
8,470,754 23% 7,920,808 17% 8,158,271 14% 8,677,675 16% NASIONAL 37,060,773 46,541,982 56,764,846 55,574,400
Diagram 3
Jumlah Pesawat Terbang Angkutan Udara Berjadwal Dalam Negeri32 Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Departemen Perhubungan RI
0
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang muncul dan menjadi inti
pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah persaingan dunia penerbangan pada Low Cost Carrier ditinjau dari
hukum persaingan usaha?
2. Bagaimanakah penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low
Cost Carrier dalam industri penerbangan?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan arah dan maksud dari penelitian ini, ada beberapa tujuan
yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui dan mendalami persaingan dunia penerbangan pada Low Cost
Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha;
32
2. Untuk mengetahui dan mendalami penegakan hukum persaingan usaha terhadap
pelaksanaan Low Cost Carrier dalam industri penerbangan.
D. Manfaat Penelitian
Terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta
tercapainya tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam
tatanan akademisi maupun dalam tatanan praktisi, sehingga diharapkan penelitian ini
bermanfaat baik dari sisi teoritis maupun praktis:
1. Dari sisi teoritis, maka diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk
penyempurnaan Hukum Persaingan Usaha khususnya yang berkaitan dengan
”Low Cost Carrier” dalam persaingan usaha dunia penerbangan; dan
2. Dari sisi praktis, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan
kepada para praktisi dunia penerbangan dalam melakukan kegiatan khususnya
terkait ”Low Cost Carrier” dengan baik dan benar.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran di perpustakaan pusat Universitas Sumatera Utara
dan di perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah dilakukan dengan tujuan untuk menghindari persamaan
substansi penelitian terhadap masalah yang sama serta dengan cara melakukan
di dalam penelitian ini, belum pernah dilakukan peneliti terdahulu dengan judul dan
permasalahan substansi yang sama dalam penelitian ini.
Oleh karena itu, penelitian dengan judul, ”EKSISTENSI LOW COST
CARRIER DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA dapat dikatakan
”asli”, dan jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yaitu
kejujuran, rasional, objektif dan terbuka, sehingga kebenaran dalam penelitian ini
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Banyak sarjana yang mengemukakan pandangannya tentang hukum dan
tujuan pemberlakuannya di masyarakat. Hubungan hukum dan masyarakat tidak
pernah dapat dipisahkan karena berinterdependensi satu sama lain. Untuk
menganalisis data yang dikumpulkan guna menjawab permasalahan sebagaimana
tersebut di atas, maka penelitian ini menggunakan teori Economic Analysis of Law
yang dikembangkan oleh Richard Posner. Paling tidak ada tiga keuntungan
menggunakan teori Economic Analysis of Law, yaitu: 33
1. Ilmu ekonomi membantu para sarjana hukum dalam memperoleh suatu perspektif dari luar disiplin ilmu mereka.
2. Pada tingkat normatif, ilmu ekonomi membantu menjelaskan konflik-konflik nilai dengan menunjukkan berapa banyak satu nilai, khususnya efisiensi, harus dikorbankan untuk mencapai nilai yang lain.
33