• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Low Cost Carrier Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Eksistensi Low Cost Carrier Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI LOW COST CARRIER DITINJAU DARI

HUKUM PERSAINGAN USAHA

TESIS

OLEH:

FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA

087005005 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

EKSISTENSI LOW COST CARRIER DITINJAU DARI

HUKUM PERSAINGAN USAHA

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA

087005005 / ILMU HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

NAMA : FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA

NIM : 087005005

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

JUDUL TESIS : EKSISTENSI LOW COST CARRIER DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI Ketua

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum

(4)

Telah diuji pada

Tanggal,

PANITIA PENGUJI

Ketua

: Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, SH, MLI

Anggota

: 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Dalam industri penerbangan nasional saat ini, terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan pola penerbangan berbiaya murah yang disebut dengan Low Cost

Carrier. Kondisi tersebut mengakibatkan persoalan hukum karena melanggar Pasal

20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dimana perusahaan penerbangan tertentu telah melakukan penjualan tiket penumpang udara di bawah harga pokok dan diduga sebagai pelaku untuk mematikan pesaing. Jika diteliti dari sudut pandang penumpang/konsumen bahwa, dengan adanya harga jual yang lebih rendah tentunya akan sangat menguntungkan dan tidak peduli dengan persaingan di antara perusahaan penerbangan. Hal ini terjadi mengingat kondisi perekonomian di Indonesia saat ini yang masih belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif yang semakin sensitif terhadap perubahan harga suatu produk dan tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik terhadap suatu produk tertentu.

Permasalahan di dalam penulisan ini adalah bagaimanakah persaingan dunia penerbangan pada Low Cost Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha? dan bagaimanakah penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost

Carrier dalam industri penerbangan?

Penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Nasional, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Kesimpulan dari penulisan ini menunjukkan bahwa, Pertama, perusahaan penerbangan tertentu yang menjual harga tiket di bawah harga referensi, dan telah diaudit oleh Tim Departemen Perhubungan Udara kemudian laporannya diberikan kepada KPPU, maka KPPU tidak secara otomatis dapat menerapkan Pasal 20 UU Persaingan Usaha kepada maskapai penerbangan tersebut. Karena ketentuan Pasal 20 UU Persaingan Usaha tersebut tidak bisa diberlakukan mengenai Per Se Illegal dan

Rule of Reason, melainkan KPPU harus dapat membuktikan terlebih dahulu sejauh

mana penjualan harga tiket tersebut dilakukan secara sistematis dalam waktu yang cukup lama, eksistensi perusahaan penerbangan di pangsa pasar yang kuat, kemampuan keuangan yang kuat, sehingga dapat mematikan pelaku usaha lain atau menyingkirkan pesaingnya dari pasar yang bersangkutan dan menimbulkan barrier to

entry. Kedua, penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost Carrier dalam industri penerbangan, bukan disebabkan predatory pricing yang

(6)

Untuk itu, Departemen Perhubungan tidak perlu menetapkan tarif batas atas dan batas bawah, ataupun tarif referensi seiring semakin kompetitifnya tarif angkutan udara saat ini, karena tarif tersebut terbentuk melalui mekanisme pasar yang wajar. Penetapan tarif referensi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 36 Tahun 2005 dalam hal ini tidak melanggar UU Persaingan Usaha hal tersebut didasarkan pada Pasal 5 Ayat (2b). Namun, demikian penetapan tarif referensi tidak sejalan dengan tujuan Hukum Persaingan Usaha dan tujuan dibentuknya UU Persaingan Usaha yaitu untuk melindungi proses persaingan. Karena itu, pemberlakuan tarif referensi bukanlah solusi.

Saran dalam penulisan ini adalah pertama, baik KPPU maupun Departemen Perhubungan diharapkan agar semakin meningkatkan fungsi pengawasannya terhadap persaingan usaha industri penerbangan domestik, dimana KPPU mengawasi dalam hal persaingan usaha karena suatu saat dimungkinkan untuk terjadinya

predatory pricing ataupun praktek persaingan usaha tidak sehat lainnya dan

Departemen Perhubungan hendaknya mengawasi ketaatan perusahaan penerbangan terhadap peraturan-peraturan mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan serta memperketat pemberian Surat Izin Usaha Penerbangan, Air Operator Certificate dan izin terbang. Kedua, tarif penerbangan domestik sebaiknya diserahkan kembali kepada mekanisme pasar karena penetapan tarif referensi tidak akan langsung menjamin persaingan antar perusahaan penerbangan.

Kata Kunci: Low Cost Carrier atau LCC, Industri Pesawat Terbang, Perusahaan Penerbangan, Maskapai Penerbangan, UU Persaingan Usaha, Pelaku Usaha, Pesaing, Monopoli, Per Se

(7)

ABSTRACT

In the current national airline industry, there are several airline companies which apply the Low Cost Carrier system. The application of this system has resulted in a legal problem because it violates Article 20 of the Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition and Unhealthy Business Competition. In this case, a certain airline company has sold an airline ticket under the standard price and it is assumed to have intention to kill its competitors. Seen from the consumers point of view, the lower selling ticket price is surely beneficial and they do not care about the competition among the airline companies. This occurs because the current economic condition in Indonesia is still not recovered that it makes the consumers change their consumptive pattern which becomes more sensitive to a change of the price of a product and the consumers are no longer fanatic toward a specific product.

The research questions to be answered in this study were how business competition in airline companies applying the Low Cost Carrier system is looked at from the law of business competition point of view and how the law of business competition is imposed in the implementation of Low Cost Carrier system in the airline industry.

This study employed a normative legal research method with qualitative approach which refers to the legal values and norms stated in the regulation of legislation. The primary legal materials for this study were Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition an Unhealthy Business Competition, Law No.8/1999 on National Consumer Protection, and Law No.1/2009 on Aviation.

(8)

referential tariff in line with the current competitiveness of air transportation tariff because the tariff is formed through a natural market mechanism. The establishment of referential tariff in the Decree of Minister of Transportation No. KM.36/2005, in this case, does not violate Law on Business Competition based on Article 5 (2b). Yet, the establishment of referential tariff is not in line with the objectives of Law on Business Competition which is to protect the process of competition. Therefore, the implementation of referential tariff is not a solution.

KPPU or the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) is suggested, First, to keep monitoring and controlling the practice of business competition in the domestic airline industry. KPPU should monitor and control the business competition practice because predatory pricing or the other unhealthy business competition practices may occur, and the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) should monitor and control the obedience of airline companies to the regulations concerning flight security and safety and firmly regulate the issuance of the license of Airline Business, Air Operator Certificate and Flying certificate. Second, domestic airline tariff should be returned to the market mechanism because the establishment of referential tariff will not directly guarantee the competition between the airline companies.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala berkat, karunia dan kasihNya yang berkelimpahan sehingga penulis dapat

menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, menyelesaikan tugas akhir berupa tesis yang berjudul: ”Eksistensi

Low Cost Carrier Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha”, dan telah dinyatakan

lulus diseminarkan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar

Magister Humaniora pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini bukanlah semata-mata atas

kemampuan diri penulis sendiri, melainkan atas bantuan, dukungan, bimbingan dan

saran dari semua pihak yang telah ikut mengambil peran dan partisipasi yang

signifikan dalam memberikan kontribusi. Untuk itu pada kesempatan ini penulis juga

ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberikan bantuan, dukungan, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis

dalam penyelesaian tesis ini.

1. Kepada Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada

program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

(10)

2. Kepada Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih telah menerima penulis menjadi

mahasiswa program studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara dan juga selaku dosen yang telah memberikan pengetahuan yang

berguna bagi penulis.

3. Kepada Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Ketua Program

Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen

dan sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembimbing, terima kasih atas segala

perhatian dan ilmu pengetahuan yang diajarkan selama penulis menjadi

mahasiswa, memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, ide, motivasi dan saran

serta kritik yang konstruktif untuk memperoleh hasil yang terbaik dalam

penulisan tesis ini.

4. Terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya

penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H, M.LI, selaku Ketua

Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, saran

serta kritik yang sangat mendukung dalam penulisan tesis ini, demikian juga

kepada Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus

sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

5. Kepada Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., dan Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo,

S.H., M.H., selaku dosen penguji terima kasih atas masukan dan arahan kepada

(11)

Akademika Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan membantu didalam

perkuliahan hingga dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya, penulis juga

mengucapkan terima kasih.

6. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis , Papi tercinta St. Prof. (Emer) dr.

Hamonangan Hutapea, Sp.OG (K) yang selalu mendoakan, mendorong dan

memotivasi untuk terus belajar dan melanjutkan pendidikan, memberikan

dukungan moril dan materil, dan kepada Mami tercinta dr. Paulina Sidabutar yang

paling baik dan sabar serta tiada henti mendoakan, mencurahkan kasih sayang,

nasehat, dan perhatiannya kepada penulis. Terima kasih Tuhan atas limpahan

berkat Mu kepada hamba, terima kasih atas orang tua yang sangat bijaksana,

penuh kasih dan sayang, yang sungguh dapat dijadikan sebagai teladan, yang

Tuhan telah berikan kepada hamba. Bapak mertua saya M. Situmorang dan Ibu

Mertua saya M. Marpaung, kakak saya Kel. Luhut Hutagalung, S.E., M.M., / dr.

Prima Yosephine B.T. Hutapea, M.K.M., adik saya dr. Manuel Hotasi P Hutapea

Sp.OG & kel., abang dan kakak ipar saya Robert Situmorang & kel., Kel. dr.

Djuni K.P. Simatupang Sp.T.H.T., / Netty Situmorang, Drs. Ryckson Dayan

Situmorang & kel., penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan moral dan

spriritual selama ini.

7. Khusus kepada isteri saya tercinta drg. Evelyn Natali Irma Situmorang, penulis

mengucapkan terima kasih atas kesetiaan dan kesabaran yang selalu diberikan,

(12)

dalam mengikuti Program Studi Ilmu Hukum dan dalam penyelesaian penulisan

tesis ini. Demikian juga kepada kedua putra tersayang penulis: Jeremy Gokasi

Hasudungan Hutapea dan Jovan Takasi Amadeo Hutapea.

8. Rekan-rekan seangkatan kelas Hukum Ekonomi: Amakhoita Hia, Aswin

Tampubolon, Edy Siong, Elfi Haris, Gidion Arif Setyawan, Harianto, Irfan

Hakim, Jukiman Situmorang, Mercy Monika, Pirmawan Sitorus, Tambok

Nainggolan, Tommy Adhyaksa, Wawan Irawan, yang telah melalui 3 semester

perkuliahan bersama-sama sarat dengan kenangan indah, terima kasih atas

kebersamaan selama ini dan semoga persahabatan ini abadi selamanya.

9. Kepada seluruh unsur pimpinan PT. Garuda Indonesia (Persero) Kantor Cabang

Medan, berawal dari Bapak Yona Mardiona yang telah memberikan izin kepada

penulis untuk dapat mengikuti perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, demikian juga pimpinan

selanjutnya yaitu: Bapak Muchwendi Harahap beserta Bapak Moch. Yunus,

Bapak Anang Widodo, Bapak Hendro Warsito dan seluruh rekan kerja , terima

kasih atas dukungan, motivasi dan pengertian yang baik selama penulis mengikuti

perkuliahan, melakukan penulisan, sampai dengan berakhirnya penulisan tesis ini.

10.Kepada seluruh staf sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara: Fika, Juli, Fitri, Bu Niar, Bu Ganti, Udin,

Hendra, dan Herman terima kasih atas pelayanan dengan senyum dan keikhlasan,

(13)

Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, namun harapan

penulis kiranya tesis ini dapat menjadi setitik air dalam samudera ilmu pengetahuan,

menjadi sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan bagi

pembacanya. Akhir kata, mohon maaf atas segala kelemahan yang ada dalam

penulisan ini, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk

penulisan selanjutnya.

Medan, Februari 2010

Penulis,

(14)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : FRITZ PARTOGI P. HUTAPEA

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 05 November 1969

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Perumahan Bumi Asri Blok G-231

Jl. Asrama, Helvetia Medan

Pekerjaan : Pegawai BUMN: PT. Garuda Indonesia (Persero)

Kantor Cabang Medan

Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar: SD Kristen Immanuel I Medan

(Lulus Tahun 1981);

- Sekolah Menengah Pertama: SMP Kristen

Immanuel Medan (Lulus Tahun 1984);

- Sekolah Menengah Atas: SMA Negeri I Medan

(Lulus Tahun 1987);

- S-1: Fakultas Ekonomi Universitas Medan Area/

UMA Medan (Lulus Tahun 1995);

- S-2: Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan

(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR ISTILAH ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penulisan... 3

D. Manfaat Penulisan... 3

E. Keaslian Penulisan ... 4

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 4

1. Kerangka Teori... 4

2. Landasan Konsepsional... 5

G. Metode Penulisan ... 6

1. Jenis dan Sifat Penulisan... 6

2. Sumber Data... 7

3. Teknik Pengumpulan Data... 8

4. Analisis Data ... 9

BAB II : TINJAUAN TENTANG LOW COST CARRIER DAN EKSISTENSINYA DALAM DUNIA PENERBANGAN ... 10

A. Penerapan Low Cost Carrier Bagi Industri Penerbangan ... 10

B. Maskapai Penerbangan Murah dan Terbesar di Eropa dan Dunia. 11 C. Pengabaian PP No. 3 Tahun 2001 Berdampak pada Low Cost Carrier Dan Eksistensi Maskapai Penerbangan Indonesia... 11

1. Dampak Pengabaian Regulasi Keamanan dan Keselamatan Penerbangan ... 11

(16)

D. Eksistensi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat .. 14

BAB III : PERSAINGAN DALAM DUNIA PENERBANGAN PADA LOW COST CARRIER DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA... 16

A. Larangan Jual Rugi (Predatory Pricing) Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ... 16

1. Konsep Predatory Pricing ... 16

2. Per Se Illegal dan Rule of Reason... 17

3. Pembuktian Predatory Pricing ... 18

B. Efisiensi Dalam Perusahaan Jasa Penerbangan Domestik ... 19

1. Efisiensi Teknis Produksi... 20

2. Efisiensi Alokatif ... 21

C. Dampak Negatif Dalam Industri Jasa Penerbangan... 21

1. Mematikan Pesaing ... 21

2. Adanya Barrier to Entry ... 22

3. Kecelakaan Pesawat ... 22

D. Hubungan Antara Jual Rugi (Predatory Pricing) Dengan Efisiensi... 23

BAB IV : PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA TERHADAP PELAKSANAAN LOW COST CARRIER DALAM INDUSTRI PENERBANGAN... 25

A. Pengaturan Harga Tiket oleh Departemen Perhubungan ... 25

B. Tugas dan Wewenang KPPU ... 26

C. Keberatan KPPU atas Pengaturan Harga Tiket... 27

1. Keberatan atas Kewenangan Departemen Perhubungan... 28

2. Keberatan di Dalam Hukum Persaingan Usaha ... 29

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

A. Kesimpulan ... 30

B. Saran... 31

(17)

DAFTAR ISTILAH

NO DESKRIPSI ARTI

1 Affordability Menghasilkan

2 Akuisisi Pengambil-alihan perusahaan oleh

perusahaan lain melalui pembelian saham 3 Alternatif Pilihan (antara dua hal), alternatip, jalan lain

4 Availability Adanya, tersedianya, terdapatnya

5 Average cost Biaya rata-rata

6 Bandara Lapangan terbang

7 Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

8 Batavia Air (7P) Batavia Air memiliki kode penerbangan 7P

9 Business Class Kelas bisnis

10 Cabin crew Awak kabin

11 Check-in

Prosedur formal yang diberlakukan oleh perusahaan penerbangan dalam mendaftar penumpang untuk berangkat dalam satu penerbangan

12 Competition policy Kebijakan persaingan

13 Consumer behaviour Perilaku konsumen

14 Doctrinal research Penulisan doktrinal / berkenaan dengan

doktrin atau asas

15 Economy Class Kelas ekonomi

16 Event Acara, peristiwa, kejadian, hasil, perlombaan

17 Flexibilitas Kelenturan, keluwesan

18 Free seating Duduk bebas, tidak ada penentuan tempat

duduk

19 Full service carrier Alat pengangkut dengan jasa layanan

lengkap

20 Garuda Indonesia (GA) Garuda Indonesia memiliki kode penerbangan GA

21 Globalisasi Globalisasi

22 Golden route Rute emas

23 Variable cost Biaya variabel, biaya tidak tetap

24 Indonesia Air Asia (QZ) Indonesia Air Asia memiliki kode penerbangan QZ

25 Inflight entertainment Hiburan / pertunjukan selama dalam

penerbangan

26 Inflight service Pelayanan selama dalam penerbangan

27 International Air Transport

(18)

28 Investor Penanam modal

29 Irrasional Tidak rasional, tidak masuk akal, tidak logis

30 Joint venture Patungan, usaha patungan

31 Kategori Kelompok, golongan, jenis

32 Kompetitif Yang bersaing

33 Kualitas Mutu, kecakapan, macam, jenis

34 Lion Air (JT) Lion Air memiliki kode penerbangan JT

35 Load factor Faktor muatan / isian, tingkat isian

36 Low Cost Carrier Alat pengangkut bertarif rendah

37 Low season Saat dimana tingkat permintaan / demand

atas suatu barang / jasa sedikit

38 Mandala (RI) Mandala Airline memiliki kode penerbangan

RI

39 Market behaviour Perilaku pasar

40 Market share Penguasaan pasar

41 Maskapai Perusahaan / company / enterprise,

perusahaan penerbangan

42 Monopoli Hak menguasai

43 Predatory price

Penerapan harga temporari yang jauh dibawah harga pasar dengan maksud untuk membunuh atau mematikan pesaing

44 Reasonable Bijaksana, adil, logis, masuk akal

45 Rule of reason Alasan aturan

46 Rute Jalan / trayek yang dilalui

47 Stakeholders

Perorangan / group / organisasi / seluruh unit yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan suatu organisasi atau

perusahaan karena dapat menerima dampak dari aksi / tujuan / kebijakan yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan tersebut

48 Minimize reservasition Persediaan dikurangi/pengurangan

persediaan

49 Total cost Biaya total

50 Ground handling Berada di tanah atau pesawat sedang

berhenti di darat.

(19)

ABSTRAK

Dalam industri penerbangan nasional saat ini, terdapat beberapa perusahaan yang menerapkan pola penerbangan berbiaya murah yang disebut dengan Low Cost

Carrier. Kondisi tersebut mengakibatkan persoalan hukum karena melanggar Pasal

20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dimana perusahaan penerbangan tertentu telah melakukan penjualan tiket penumpang udara di bawah harga pokok dan diduga sebagai pelaku untuk mematikan pesaing. Jika diteliti dari sudut pandang penumpang/konsumen bahwa, dengan adanya harga jual yang lebih rendah tentunya akan sangat menguntungkan dan tidak peduli dengan persaingan di antara perusahaan penerbangan. Hal ini terjadi mengingat kondisi perekonomian di Indonesia saat ini yang masih belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif yang semakin sensitif terhadap perubahan harga suatu produk dan tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik terhadap suatu produk tertentu.

Permasalahan di dalam penulisan ini adalah bagaimanakah persaingan dunia penerbangan pada Low Cost Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha? dan bagaimanakah penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost

Carrier dalam industri penerbangan?

Penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif, yakni mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai bahan hukum primer digunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Nasional, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Kesimpulan dari penulisan ini menunjukkan bahwa, Pertama, perusahaan penerbangan tertentu yang menjual harga tiket di bawah harga referensi, dan telah diaudit oleh Tim Departemen Perhubungan Udara kemudian laporannya diberikan kepada KPPU, maka KPPU tidak secara otomatis dapat menerapkan Pasal 20 UU Persaingan Usaha kepada maskapai penerbangan tersebut. Karena ketentuan Pasal 20 UU Persaingan Usaha tersebut tidak bisa diberlakukan mengenai Per Se Illegal dan

Rule of Reason, melainkan KPPU harus dapat membuktikan terlebih dahulu sejauh

mana penjualan harga tiket tersebut dilakukan secara sistematis dalam waktu yang cukup lama, eksistensi perusahaan penerbangan di pangsa pasar yang kuat, kemampuan keuangan yang kuat, sehingga dapat mematikan pelaku usaha lain atau menyingkirkan pesaingnya dari pasar yang bersangkutan dan menimbulkan barrier to

entry. Kedua, penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low Cost Carrier dalam industri penerbangan, bukan disebabkan predatory pricing yang

(20)

Untuk itu, Departemen Perhubungan tidak perlu menetapkan tarif batas atas dan batas bawah, ataupun tarif referensi seiring semakin kompetitifnya tarif angkutan udara saat ini, karena tarif tersebut terbentuk melalui mekanisme pasar yang wajar. Penetapan tarif referensi dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 36 Tahun 2005 dalam hal ini tidak melanggar UU Persaingan Usaha hal tersebut didasarkan pada Pasal 5 Ayat (2b). Namun, demikian penetapan tarif referensi tidak sejalan dengan tujuan Hukum Persaingan Usaha dan tujuan dibentuknya UU Persaingan Usaha yaitu untuk melindungi proses persaingan. Karena itu, pemberlakuan tarif referensi bukanlah solusi.

Saran dalam penulisan ini adalah pertama, baik KPPU maupun Departemen Perhubungan diharapkan agar semakin meningkatkan fungsi pengawasannya terhadap persaingan usaha industri penerbangan domestik, dimana KPPU mengawasi dalam hal persaingan usaha karena suatu saat dimungkinkan untuk terjadinya

predatory pricing ataupun praktek persaingan usaha tidak sehat lainnya dan

Departemen Perhubungan hendaknya mengawasi ketaatan perusahaan penerbangan terhadap peraturan-peraturan mengenai keamanan dan keselamatan penerbangan serta memperketat pemberian Surat Izin Usaha Penerbangan, Air Operator Certificate dan izin terbang. Kedua, tarif penerbangan domestik sebaiknya diserahkan kembali kepada mekanisme pasar karena penetapan tarif referensi tidak akan langsung menjamin persaingan antar perusahaan penerbangan.

Kata Kunci: Low Cost Carrier atau LCC, Industri Pesawat Terbang, Perusahaan Penerbangan, Maskapai Penerbangan, UU Persaingan Usaha, Pelaku Usaha, Pesaing, Monopoli, Per Se

(21)

ABSTRACT

In the current national airline industry, there are several airline companies which apply the Low Cost Carrier system. The application of this system has resulted in a legal problem because it violates Article 20 of the Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition and Unhealthy Business Competition. In this case, a certain airline company has sold an airline ticket under the standard price and it is assumed to have intention to kill its competitors. Seen from the consumers point of view, the lower selling ticket price is surely beneficial and they do not care about the competition among the airline companies. This occurs because the current economic condition in Indonesia is still not recovered that it makes the consumers change their consumptive pattern which becomes more sensitive to a change of the price of a product and the consumers are no longer fanatic toward a specific product.

The research questions to be answered in this study were how business competition in airline companies applying the Low Cost Carrier system is looked at from the law of business competition point of view and how the law of business competition is imposed in the implementation of Low Cost Carrier system in the airline industry.

This study employed a normative legal research method with qualitative approach which refers to the legal values and norms stated in the regulation of legislation. The primary legal materials for this study were Law No.5/1999 on Monopoly Practice Prohibition an Unhealthy Business Competition, Law No.8/1999 on National Consumer Protection, and Law No.1/2009 on Aviation.

(22)

referential tariff in line with the current competitiveness of air transportation tariff because the tariff is formed through a natural market mechanism. The establishment of referential tariff in the Decree of Minister of Transportation No. KM.36/2005, in this case, does not violate Law on Business Competition based on Article 5 (2b). Yet, the establishment of referential tariff is not in line with the objectives of Law on Business Competition which is to protect the process of competition. Therefore, the implementation of referential tariff is not a solution.

KPPU or the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) is suggested, First, to keep monitoring and controlling the practice of business competition in the domestic airline industry. KPPU should monitor and control the business competition practice because predatory pricing or the other unhealthy business competition practices may occur, and the Department of Transportation (Departemen Perhubungan) should monitor and control the obedience of airline companies to the regulations concerning flight security and safety and firmly regulate the issuance of the license of Airline Business, Air Operator Certificate and Flying certificate. Second, domestic airline tariff should be returned to the market mechanism because the establishment of referential tariff will not directly guarantee the competition between the airline companies.

(23)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Industri jasa penerbangan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang

sangat pesat dari tahun ke tahun, sebagaimana yang juga dialami dibeberapa belahan

dunia lainnya, yang lebih disebabkan oleh lahirnya konsep baru di dunia penerbangan

yaitu “Low Cost Carrier”. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Penerbangan merupakan salah satu tonggak deregulasi bisnis penerbangan di

Indonesia. Dengan adanya undang-undang ini, maka jumlah perusahaan jasa

penerbangan meningkat tajam. Sebelum adanya undang-undang ini perusahaan jasa

penerbangan di Indonesia hanya beberapa perusahaan, khususnya yang tergabung

dalam International Air Transport Association (IATA).

Banyaknya pemain dalam industri jasa penerbangan ini antara lain disebabkan

karena relatif tingginya potensi keuntungan yang dapat diraih. Sebagaimana diketahui

dalam jangka pendek, meskipun pada kondisi merugi, keuntungan dari penjualan tiket

pesawat masih mampu untuk membayar variable cost.1 Apalagi dalam kondisi

perusahaan memperoleh untung, kondisi harga tiket masih lebih tinggi dari average

cost2, keuntungan yang diperoleh perusahaan jasa penerbangan akan berada di atas

1

EC. Winardi, Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia, (Bandung: Alumni, 1974), hal. 304, Variable Cost adalah pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan sebuah perusahaan atau industri, yang berubah dengan jumlah benda-benda yang dihasilkan. Contoh: biaya-biaya untuk bahan mentah dan tenaga kerja.

2

(24)

keuntungan normal. Kondisi ini merupakan daya tarik bagi investor atau pelaku usaha

untuk masuk dalam bisnis jasa penerbangan.

Dengan semakin banyaknya pemain dalam industri penerbangan ini maka

tingkat persaingan antar operator transportasi udara menjadi semakin tinggi,

akibatnya industri jasa penerbangan harus melakukan penyesuaian harga jual

tiketnya.3 Kondisi ini memaksa perusahaan jasa penerbangan harus melakukan

upaya-upaya untuk efisiensi biaya setinggi mungkin dan melakukan langkah-langkah

inovatif dalam hal strategi bisnis agar perusahaan tidak mengalami kerugian

terus-menerus dan dapat menghadapi kompetisi.

Dengan adanya persaingan antar pelaku usaha, sebenarnya konsumen

merupakan pihak yang paling diuntungkan, yaitu berupa penawaran harga yang lebih

murah dan semakin banyaknya alternatif pilihan barang atau jasa yang ditawarkan.

Alternatif pilihan ini memberikan kesempatan kepada konsumen untuk dapat memilih

barang atau jasa sejenis yang mempunyai kualitas lebih baik namun memiliki harga

yang relatif lebih murah dibandingkan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.

Pelaku usaha, baik produsen maupun distributor harus dapat melakukan

efisiensi untuk dapat menekan biaya produksi atau distribusi, tentunya dengan tanpa

mengurangi kualitas dari produk yang ditawarkannya, sehingga pada akhirnya pelaku

usaha tersebut dapat menawarkan produk dengan harga yang lebih kompetitif tanpa

mengurangi kualitasnya.

tidak berubah dengan bertambahnya produksi (sampai titik tertentu), dibagi dengan jumlah kesatuan yang dihasilkan pada titik yang sedang dipersoalkan, Ibid. hal. 21.

3

(25)

Dalam melihat sejauhmana pengaruh competition policy terhadap

perlindungan konsumen di Indonesia, maka perlu dilihat faktor-faktor apa saja yang

pada dasarnya berpengaruh terhadap tingkah laku konsumen (consumer behaviour),

yaitu:4

1. Utility maximisation;

2. Stable preferences; dan

3. Optimal information.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa industri jasa penerbangan di

Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang demikian pesatnya, kondisi tersebut

secara langsung sangat berpengaruh terhadap struktur pasar yang ada. Dari data yang

ada pada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan Republik

Indonesia, tercatat bahwa pada tahun 2004 jumlah perusahaan penerbangan niaga

tidak berjadwal sebanyak 26 perusahaan.

Pertumbuhan penumpang angkutan udara dalam negeri sudah terjadi beberapa

kali lipat, dimana terjadi lonjakan konsumen yang memilih tarnsportasi udara ini

karena adanya tiket pesawat murah. Tetapi peluang tersebut tumbuh menjadi suatu

kekhawatiran karena diindikasikan adanya persaingan usaha tidak sehat dalam

4

(26)

industri penerbangan nasional.5 Persaingan usaha tidak sehat yang terjadi pada

maskapai penerbangan nasional saat ini dapat berujung pada faktor keselamatan

penerbangan. Penyebab utamanya adalah terlalu banyaknya maskapai penerbangan

berjadwal, dalam data Departemen Perhubungan terdapat 34 maskapai penerbangan

berjadwal di Indonesia. Banyaknya maskapai penerbangan ini berkaitan dengan

dibukanya keran izin usaha penerbangan sejak akhir tahun 1990.6 Dimana maskapai

penerbangan asing dengan modal kuat masuk ke Indonesia dan ikut berebut

konsumen dengan maskapai penerbangan nasional sehingga

penerbangan-penerbangan asing yang murah dapat langsung menembus kota-kota medium di

Indonesia.7 Tetapi hal ini sebenarnya juga berimplikasi baik pada industri

penerbangan karena pelaku usaha baru baru dapat masuk dengan cukup bebas dalam

persaingan yang lebih sehat sehingga semakin banyak maskapai penerbangan

menawarkan jasa pada penumpang dengan harga dan kualitas yang baik dan

kompetitif sehingga penumpang (konsumen) dapat diuntungkan karena lebih leluasa

untuk memilih maskapai yang akan ditumpanginya.

Dari 34 jasa perusahaan penerbangan nasional yang ada, terdapat beberapa

perusahaan jasa penerbangan yang menawarkan berbagai layanan murah termasuk

tiket murah. Perusahaan jasa penerbangan ini menerapkan Low Cost Carrier

(selanjutnya disebut LCC). Beberapa perusahaan jasa penerbangan yang menerapkan

5

“Low Cost Air Line Antara Kekhawatiran dan Peluang”, Angkasa, Nomor 8 Tahun XIV, Mei 2004, hal. 12-13.

6

Chappy Hakim, “Mengapa Persaingan Nasional Airlines Tidak Sehat”, Seputar Indonesia, Nomor 267, Tanggal 27 Maret 2006, hal. 9.

7

(27)

LCC ini di antaranya Air Asia, Lion Air, Batavia Air, dan lain-lain. Perusahaan jasa

penerbangan yang menerapkan LCC dalam beberapa tahun terakhir, mengalami

pertumbuhan yang sangat pesat dalam hal jumlah penumpang, frekuensi

penerbangan, dan rute penerbangan, karena dengan murahnya harga tiket yang

disediakan semakin dapat dijangkau konsumen lapisan bawah.

Berkembangnya perusahaan jasa penerbangan yang menerapkan LCC

bukannya tanpa kekhawatiran, kekhawatiran yang mucul adalah penerapan bagi

perusahaan jasa penerbangan untuk memenangkan persaingan dalam merebut

penumpang. Pelaku-pelaku usaha pengangkutan udara tertentu telah melakukan

penjualan tiket penumpang udara dalam negeri (domestik) di bawah harga pokok dan

diduga sebagai pelaku untuk mematikan pesaing (predatory pricing).8

Predatory pricing itu sendiri adalah mematikan pesaingnya dengan

mengorbankan keuntungan bertujuan untuk mengurangi persaingan dan sesudahnya

berusaha untuk mendapatkan keuntungan monopoli dengan menetapkan harga di atas

harga pesaingnya (monopoly price) untuk suatu jangka waktu tertentu sesudah

pesaing tersingkir dari pasar.9 Predatory pricing dapat juga dilaksanakan dengan

tindakan pemotongan harga yang mengakibatkan persaingan terganggu,10 meskipun

konsumen diuntungkan manakala pelaku usaha yang menjual produk dengan harga

yang lebih rendah kepada konsumen, namun apabila pesaing telah tersingkir dan

8

Setya Yudha Indraswara., “Habis Terang Terbitlah Tarif”, www.kompas.com, diakses terakhir tanggal 27 November 2009.

9

Ningrum Natasya Sirait., “Predatory Pricing Dalam Hukum Persaingan dan Pengaturannya Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23, No. 1, YPBH, Jakarta, 2004, hal. 72.

10

(28)

pelaku usaha yang tadinya melakukan pemotongan harga justru kini mendongkrak

harga, maka konsumen dirugikan karena harus membeli produk dengan harga jauh di

atas harga equilibrium. Sehingga pelaku-pelaku usaha tersebut melanggar

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat11 (selanjutnya dalam penelitian ini disebut UU Persaingan Usaha)

terutama Pasal 20 yang merumuskan pengaturan tentang predatory pricing dengan

redaksi ”pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan produk dengan cara jual rugi

atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau

mematikan usaha pesaingnya”.12

Ditengarainya praktek predatory pricing yang dikeluarkan perusahaan jasa

penerbangan yang menerapkan LCC ini dilakukan dengan menjual harga tiket

penerbangan domestik di bawah biaya produksi yang dikeluarkan sehingga

perusahaan jasa penerbangan tersebut mengalami kerugian untuk jangka waktu

tertentu tetapi setelah dapat menguasai pasar jasa penerbangan domestik serta tidak

memiliki pesaing lagi maka perusahaan jasa penerbangan tersebut menaikkan harga

tiket penerbangan secara perlahan-lahan sampai mendapatkan keuntungan yang besar

juga bisa digunakan untuk menutupi kerugian pada awal-awal menjual tiket dengan

harga murah, kemudian dapat menimbulkan monopoly power sehingga pada

11

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha), sebagaimana diumumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia No. 33 Tahun 1999 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3817.

12

(29)

gilirannya perusahaan jasa penerbangan tersebut dapat mengatur harga tiket

penerbangan domestik di Indonesia.

Dari catatan yang dikeluarkan Indonesia National Air Carriers Association

(INACA),13 tercatat ada lima maskapai penerbangan nasional yang resmi berhenti

beroperasi saat ini yakni Adam Air, Bayu Air, Bouraq Air, Bali Air, dan Star Air.14

Tetapi apakah berhenti beroperasi kelima maskapai penerbangan nasional tersebut

diakibatkan karena adanya penerapan LCC pada beberapa perusahaan jasa

penerbangan domestik yang lain, hal tersebut harus dapat dibuktikan terlebih dahulu.

Untuk kategori perusahaan penerbangan niaga berjadwal dari tahun 2004 terus

mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2008, yaitu dari sebanyak 17

perusahaan menjadi sebanyak 22 perusahaan, sebagaimana yang dapat dilihat pada

Diagram 1 sebagai berikut:

Diagram 1

Perkembangan Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri15

Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Dephub, dan telah diolah kembali

0 terakhir tanggal 27 Desember 2009.

14

Gatot Widakdo., “Harus Ada Etika Bisnisnya”, Kompas, Tanggal 18 April 2006, hal. 7.

15

(30)

Pertumbuhan jumlah perusahaan penerbangan yang menyediakan jasa

penerbangan domestik dilihat dari perspektif konsumen, memberikan dampak yang

positif. Masyarakat memperoleh keuntungan dengan semakin banyaknya pilihan jasa

penerbangan yang menawarkan berbagai kemudahan, seperti pemberian pelayanan

yang semakin baik dan harga tiket yang sangat bersaing. Pertanyaan yang paling

mendasar selanjutnya adalah apakah kondisi tersebut akan secara otomatis

berpengaruh terhadap tingkah laku konsumen (consumer behaviour).

Banyak faktor yang berpengaruh terhadap konsumen untuk memilih salah satu

maskapai penerbangan tertentu, misalnya harga murah merupakan satu-satunya

alasan konsumen untuk memilih salah satu maskapai penerbangan tertentu,

pandangan konsumen terhadap tingkat keamanan dan kenyamanan yang ditawarkan

oleh suatu maskapai penerbangan, penawaran pelayanan dalam bentuk fasilitas check

in, ketepatan jadwal, pilihan waktu, dan lain-lain.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) pada tahun 2003 terhadap rute penerbangan Jakarta-Medan,

Jakarta-Surabaya, Jakarta-Yogyakarta dan Jakarta-Solo, alasan yang paling sering

dipakai oleh responden untuk memilih salah satu operator angkutan udara adalah

harga tiket yang murah. Alasan tersebut sangat masuk akal karena naluri konsumen

dalam mengkonsumsi suatu produk secara alamiah adalah berusaha untuk

(31)

mungkin, hal ini sesuai dengan prinsip utility maximisation.16 Tabel 1 di bawah ini

menunjukkan beberapa alasan yang dipakai oleh responden dalam memilih salah satu

maskapai penerbangan udara. Survey ini dilakukan terhadap 619 orang responden

penumpang pesawat udara di bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta, Polonia

Medan, Adi Sucipto Yogyakarta, Hang Nadim Batam dan Sultan Syarif Kasim II

Pekanbaru.

Tabel 1

Alasan Pemilihan Maskapai Penerbangan Udara17

Data: YLKI, www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses 01 September 2009

No. Alasan Jumlah %

1 Harga murah 168 28.00

2 Pelayanan baik 108 18.00

3 Tepat waktu 42 7.00

4 Keamanan/keselamatan 37 6.17

5 Jadwal/ jaringan banyak 36 6.00

6 Kenyamanan 34 5.67

7 Dipesankan kantor 28 4.67

8 Kebiasaan 19 3.17

9 Kepercayaan/pengalaman 14 2.33

10 Fasilitas 13 2.17

11 Makanannya enak 4 0.67

12 Lainnya 116 19.33

Jumlah Keseluruhan 619 100

16

Prinsip Utility Maximisation adalah prinsip dimana untuk memenuhi suatu kebutuhan diusahakan hanya dengan mengeluarkan biaya serendah mungkin, lihat di www.bappenas.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 01 September 2009).

17

(32)

Selanjutnya dari responden tersebut sebanyak 32,8% berpendapat bahwa

persaingan harga tiket pesawat terbang seharusnya dibiarkan karena konsumen dapat

diuntungkan dari adanya persaingan tersebut.18 Sebanyak 41,3% responden kurang

setuju bahwa persaingan harga tiket antar maskapai penerbangan akan merugikan

maskapai penerbangan lainnya.19 Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa

persaingan antara operator angkutan udara memberikan keuntungan kepada

konsumen karena konsumen dapat memperoleh kemudahan dalam memilih operator

angkutan udara yang memberikan penawaran harga tiket terendah. Meskipun

demikian sebanyak 35,8% orang responden setuju apabila pemerintah tetap perlu

untuk membuat aturan yang ketat tentang harga tiket pesawat terbang.20

Kemampuan masyarakat konsumen untuk mendapatkan informasi yang terkait

dengan suatu jenis produk akan sangat berpengaruh pada waktu proses pengambilan

keputusan untuk menggunakan produk barang atau jasa yang bersangkutan. Kualitas

maupun kuantitas suatu informasi yang diterima oleh konsumen akan mempengaruhi

persepsi konsumen terhadap suatu produk tertentu, hal ini sesuai dengan prinsip

optimal information. Kondisi ini tentunya juga sangat dipengaruhi oleh tingkat

kemudahan masyarakat untuk mengakses informasi yang benar mengenai produk

tersebut.

Dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen apakah iklan mengenai jasa

penerbangan di Indonesia merupakan salah satu sumber informasi penting bagi

18

Ibid.

19

Ibid.

20

(33)

konsumen dalam memilih suatu maskapai penerbangan. Pertanyaan selanjutnya

adalah apakah iklan yang ditampilkan tersebut dapat mewakili kondisi sebenarnya

dari tingkat pelayanan yang diberikan oleh maskapai penerbangan tersebut.

Informasi yang salah akan dapat menyebabkan konsumen melakukan pilihan-pilihan

yang irrasional atau tidak tepat.

Namun demikian dalam Pasal 20 UU Persaingan Usaha, terdapat isu yang

dianggap sebagai upaya untuk melakukan kecurangan dalam persaingan usaha yaitu

adanya praktek jual rugi (predatory price). Dalam hal ini produsen atau distributor

menjual produk dengan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan produk

sejenis yang merupakan pesaingnya, dengan maksud untuk memaksa pesaingnya

keluar dari pasar yang bersangkutan.

Untuk melihat seorang pelaku usaha melakukan predatory price ini, harus

dilakukan penelitian dengan sangat hati-hati. Secara umum predatory price terjadi

dalam hal harga produk dibawah harga normal dari produk sejenisnya. Selanjutnya

apabila suatu produk ditawarkan untuk jangka waktu tertentu dengan harga di bawah

rata-rata total cost untuk menghasilkan produk tersebut, bisa dikategorikan sebagai

predatory price. Total cost di sini adalah jumlah dari biaya tetap (fixed cost) dan

biaya variabel (variable cost) ditambah lagi dengan biaya penjualan dan biaya

administrasi serta biaya lain-lain.21

Adanya penekanan pada jangka waktu tertentu untuk penawaran suatu produk

juga cukup penting untuk menentukan apakah ada indikasi praktek predatory price,

21

(34)

karena seringkali pelaku usaha melakukan penjualan dengan harga lebih rendah dari

harga tertentu untuk event atau periode tertentu misalnya diskon atau sale pada masa

liburan sekolah, hari raya, atau event khusus lainnya.

Dari sudut pandang UU Persaingan Usaha, adanya praktek predatory price

dapat dianggap sebagai salah satu praktek persaingan usaha tidak sehat karena dengan

adanya penawaran harga suatu produk di bawah harga rata-rata pasar untuk jangka

waktu yang lama akan menyebabkan produk sejenisnya tidak laku dan pada akhirnya

dapat menyebabkan produsen dari produk tersebut akan mati. Setelah pesaing keluar

dari pasar tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktek predatory price ini

akan menjadi satu-satunya pelaku usaha dipasar tersebut sehingga maskapai ini dapat

menentukan harga tiket dengan sewenang-wenang. Akan tetapi terhadap teori ini

terdapat argumen yang menyatakan bahwa pada saat pelaku usaha tersebut

menaikkan harga produk untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,

maka pada saat yang sama akan muncul pelaku-pelaku usaha lain yang menggantikan

posisi pelaku usaha sebelumnya yang telah mati, sehingga pada akhirnya tetap

terdapat keseimbangan harga pasar yang wajar.

Dari sudut pandang konsumen adanya harga jual yang lebih rendah tentunya

akan sangat menguntungkan. Konsumen tidak terlalu peduli dengan adanya perang

tarif yang dilakukan pelaku usaha. Apalagi dengan adanya kondisi perekonomian

Indonesia yang masih belum pulih, sehingga terjadi perubahan pada pola konsumtif

(35)

perubahan harga suatu produk dan tidak lagi menjadi konsumen yang fanatik

terhadap suatu produk tertentu.

Persaingan antar maskapai penerbangan udara dapat terlihat dari persaingan

antar perusahaan pada rute penerbangan yang ada. Dari data yang ada pada Direktorat

Jenderal Perhubungan Udara, dapat dilihat bahwa jumlah rute dan kota yang dilayani

oleh angkutan udara dalam negeri yang fluktuatif mulai dari tahun 2004 sampai

dengan tahun 2008. Pada tahun 2004 jumlah rute penerbangan ada sebanyak 106 rute

selanjutnya mengalami peningkatan pada tahun 2005 menjadi sebanyak 114 rute,

mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi sebanyak 102 rute, kemudian

mengalami peningkatan sedikit demi sedikit pada tahun berikutnya, sebagaimana

yang dapat dilihat pada Diagram 2 sebagai berikut:

Diagram 2

Jumlah Rute dan Kota yang Dilayani Oleh Angkutan Udara Dalam Negeri22 Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Departemen Perhubungan RI

0

(36)

Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh adanya krisis ekonomi yang

berkepanjangan. Kondisi perekonomian tersebut selain berpengaruh terhadap industri

jasa penerbangan juga berpengaruh terhadap kemampuan daya beli konsumen

pemakai jasa penerbangan, sehingga sebagaimana yang dialami pada bidang lainnya,

adanya krisis tersebut memukul sektor industri jasa penerbangan. Industri jasa

penerbangan dituntut untuk melakukan efisiensi dimana salah satunya adalah

mengurangi jumlah rute yang dilayani. Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam

jasa penerbangan tersebut lebih memfokuskan pada rute penerbangan yang

menjanjikan keuntungan besar yang disebut dengan rute emas (golden route).

Apabila kita membandingkan kembali Diagram 2 dengan Diagram 1 yang

menggambarkan kondisi jumlah perusahaan penerbangan domestik yang beroperasi,

terlihat bahwa sampai dengan tahun 2008 jumlah maskapai penerbangan terus

mengalami peningkatan sementara jumlah rute yang dilayani memiliki trend yang

menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat persaingan pada rute-rute penerbangan

tertentu akan semakin tinggi, karena jumlah perusahaan penerbangan yang beroperasi

semakin banyak pada rute-rute tersebut.

Salah satu contoh yang cukup menarik untuk diteliti sejauh mana

kemungkinan praktek curang persaingan usaha di antara para pelaku usaha adalah

perang tarif penerbangan domestik di Indonesia, misalnya pada rute Medan-Jakarta

yang merupakan salah satu rute emas (golden route). Saat ini rute penerbangan

(37)

(GA), Lion Air (JT), Batavia Air (7P), Sriwijaya Air (SJ), Mandala (RI), dan Air Asia

(QZ).

Adanya perang tarif dapat dilihat pada masa low season, dimana

masing-masing perusahaan penerbangan terkesan berlomba secara cepat melepaskan

harga-harga tiket yang murah di pasar dalam upaya optimalisasi tingkat isian tempat duduk

di pesawat (Seat Load Factor/SLF), dan harga tersebut biasanya memiliki

konsekuensi keterbatasan-keterbatasan pada tiket yang dijual, misalnya tidak

diperbolehkan refund, tidak diperbolehkan pindah nomor penerbangan, dan lain

sebagainya.

Pada saat low season, harga tiket untuk rute Medan-Jakarta bisa turun kurang

lebih sampai sekitar Rp. 300.000,- yang bila dibandingkan dengan kondisi normal

harga tiket untuk sektor tersebut berkisar harga rata-rata sampai Rp. 600.000,-.

Tingkat flexibilitas harga ini biasanya lebih tinggi pada perusahaan penerbangan

berkonsep LCC, hal tersebut disebabkan karena biasanya spesifikasi tingkat

pelayanan (service level) yang diberikan kepada konsumen sangat terbatas, misalnya

tidak ada tersedia pelayanan selama penerbangan (inflight service) seperti makanan

dan minuman secara komplimen, hiburan (inflight entertainment), bahan bacaan

misalnya koran atau majalah, sistem free seating yang tidak memberlakukan

penomoran tempat duduk, sangat minimnya jumlah cabin crew, dan lain

sebagainya.23

23

(38)

Di sisi lain perusahaan penerbangan berkonsep ”Full Service Carrier” atau

FSC memiliki standar level of service yaitu pelayanan selama penerbangan (inflight

service) seperti makanan dan minuman secara komplimen, hiburan (inflight

entertainment), bahan bacaan misalnya ada beberapa jenis koran atau majalah, ada

tersedianya pilihan Business Class atau Economy Class dengan tempat duduk

bernomor, jumlah cabin crew yang memadai, dan lain sebagainya.24

Adanya perang tarif pada industri penerbangan ini antara lain juga disebabkan

karena adanya kebijakan dari Menteri Perhubungan pada tanggal 1 Februari 2002

melalui SK Nomor KM 8/2002 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi

Perhitungan Tarif Penumpang Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas

Ekonomi dan SK Nomor KM 9/2002 tentang Tarif Penumpang Angkutan Udara

Niaga Berjadwal Dalam Negeri Kelas Ekonomi.

Adapun kedua Surat Keputusan tersebut mendasarkan pada koridor batas atas

dan batas bawah yang harus dipatuhi semua operator penerbangan dalam penentuan

tarif. Kebijakan inilah yang langsung menciptakan ”perang terbuka” dalam

menetapkan tarif angkutan udara serendah mungkin. Sebelum adanya dua Surat

Keputusan tersebut pemberlakuan tarif penerbangan diatur oleh INACA (Indonesian

National Carriers Association), dimana besaran tarif INACA itu dipatok dalam kurs

dolar AS yaitu 11 sen per seat per kilometer.

Menanggapi kondisi tersebut, pihak maskapai penerbangan Garuda Indonesia

menyampaikan bahwa penggunaan harga yang lebih murah diberlakukan pada jumlah

24

(39)

yang sangat terbatas untuk 5 sampai 10 kursi saja dan sangat dipengaruhi oleh tingkat

permintaan yang ada. Hal itu sebenarnya adalah penerapan atau pemberlakuan sistem

sub classes pada kelas ekonomi. Apabila dilihat dari biaya yang diperlukan untuk

menerbangkan pesawat sekali jalan untuk rute Jakarta-Surabaya misalnya sekitar

Rp.40 juta, sementara itu apabila load factor dinaikkan menjadi 70% tiket bisa dijual

dengan harga Rp.339 ribu, artinya agar tidak rugi operator yang menjual tiket murah

harus sungguh-sungguh berusaha meningkatkan load factor-nya.25

Dengan diberlakukannya UU Persaingan Usaha merupakan salah satu tonggak

penting dalam sistem perekonomian di Indonesia, yang menjadi salah satu instrumen

untuk memberlakukan sistem ekonomi pasar. Lebih dari 30 tahun dibawah rezim

Orde Baru, Indonesia telah melakukan pembangunan di segala bidang khususnya

pembangunan ekonomi. Hasil-hasil pembangunan tersebut dapat terlihat baik dari

sudut pandang indikator makro ekonomi seperti tingkat inflasi dan pertumbuhan

ekonomi yang cukup tinggi, serta secara mikro dapat terlihat dari sektor bisnis

mengalami kemajuan pesat seperti sektor properti dan perbankan.

Namun demikian kondisi kemajuan ini tidak diimbangi dengan perangkat

perundang-undangan yang mengatur persaingan di antara pelaku usaha, sehingga

akibatnya banyak pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya mengandalkan

cara-cara yang tidak baik seperti menggunakan pengaruh kekuatan politik atau birokrasi

untuk memenangkan persaingan usaha. Di samping itu tidak sedikit kalangan pejabat

atau elit politik yang juga terjun ke dunia bisnis sehingga seringkali dalam

25

(40)

menjalankan kebijakan publiknya mendasarkan pada keuntungan pribadi atau

kelompoknya.

Dengan adanya hukum, kompetisi di Indonesia tentunya diharapkan hal-hal

tersebut tidak terjadi lagi. Namun demikian efektifitas dari undang-undang ini dalam

mencegah adanya praktek-praktek bisnis yang curang juga masih perlu dikaji dan

masih menjadi bahan perdebatan. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap

bahwa keberadaan hukum persaingan usaha di Indonesia dalam konteks globalisasi

perdagangan merupakan salah satu cara bagi perusahaan-perusahaan yang berasal

dari negara-negara maju untuk melakukan penetrasi pasar ke negara-negara

berkembang. Tentunya pendapat ini masih merupakan bahan yang dapat

diperdebatkan kebenarannya.

Belum lengkapnya peraturan pelaksana dari undang-undang anti monopoli

juga merupakan salah satu penyebab terhambatnya KPPU (Komisi Pengawas

Persaingan Usaha) dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Misalnya sampai saat ini

belum ada aturan main yang mengatur mengenai merger, akuisisi dan joint venture,

padahal hal tersebut sangat penting bagi KPPU dalam melihat posisi dominan

(pemusatan kekuatan ekonomi) dari satu pelaku usaha di samping itu juga untuk

melihat sejauh mana adanya perjanjian yang mengandung unsur persaingan curang.

Mengenai praktek persaingan tarif angkutan pesawat udara antara beberapa

maskapai penerbangan, ketentuan dalam UU Persaingan Usaha mengatur hal tersebut

(41)

rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dan Pasal 21 mengenai larangan

melakukan kecurangan dalam menentukan biaya produksi.26

Meskipun Pasal 20 UU Persaingan Usaha menyatakan larangan untuk menjual

rugi, namun dalam pelaksanaannya akan mengalami kesulitan dalam menerapkan

kedua peraturan tersebut. Sesuai dengan ketentuan tersebut ada tiga unsur dari jual

rugi yaitu:

1. Dilarang melakukan jual rugi atau menerapkan harga yang sangat rendah;

2. Dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan pesaingnya; dan

3. Menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

Sebagaimana penjelasan di atas, untuk menentukan adanya praktek jual rugi

sangat terkait dengan perbandingan antara harga jual barang/jasa dengan biaya

produksi barang/jasa tersebut. Permasalahan yang timbul dalam prakteknya sulit

untuk menentukan apakah harga jual suatu produk sangat rendah ataukah masih

dalam batas kewajaran. Harga yang sangat rendah tersebut apakah merupakan

cerminan dari efisiensi biaya termasuk di dalamnya strategi bisnis ataukah merupakan

strategi mematikan pesaingnya. Termasuk dalam kategori strategi bisnis yang sah

adalah pemberian diskon atau potongan harga jual. Unsur lain yang perlu

diperhatikan juga adalah dalam penentuan biaya produksi apakah ada unsur subsidi

silang dari usaha lain atau jalur penerbangan lain. Garuda Indonesia sebagai salah

26

(42)

satu maskapai penerbangan milik negara dalam kondisi tertentu juga harus melayani

jalur penerbangan lain yang secara komersial kurang menguntungkan, sebagai salah

satu bentuk pelayanan umum.

Sebagai akibatnya pada rute penerbangan yang menguntungkan (golden

route), Garuda Indonesia harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk

menutup biaya produksi secara keseluruhan. Namun demikian salah satu cara yang

sering dipakai untuk menilai apakah harga jual suatu produk sangat rendah atau tidak

adalah dengan melihat dan membandingkan dengan harga rata-rata yang ditawarkan

pada pasar yang sejenis. Di samping itu, juga tetap harus memperhatikan unsur

besarnya biaya produksi yang telah dikeluarkan.

Untuk menentukan apakah penentuan suatu harga yang sangat rendah tersebut

merupakan tindakan untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya perlu

dilihat dari jangka waktunya. Perlu dilihat apakah rentang waktu penawaran

penjualan tiket dengan harga spesial tersebut merupakan bulan promosi yang

merupakan salah satu strategi bisnis ataukah penawaran tarif spesial tersebut

benar-benar ditujukan untuk mematikan kompetitor pada pasar yang sama. Semakin lama

hal ini terjadi, semakin besar adanya indikasi bahwa penjualan tiket pesawat dengan

harga murah tersebut merupakan strategi untuk mematikan kompetitornya.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana bagian pasar (market

share) dari Garuda Indonesia dibandingkan dengan pesaing lain. Dalam melihat hal

ini apakah akan melihat pasar secara sempit yaitu hanya jalur penerbangan

(43)

Dalam melihat apakah Garuda Indonesia mempunyai kedudukan monopoli atau

memiliki posisi dominan dapat dilihat pada parameter yang dipenuhi yaitu ada

tidaknya pesaing yang berarti di pasar yang bersangkutan, atau mempunyai posisi

yang tertinggi dalam kaitannya dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses

pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan.27

Meskipun pelaku usaha memiliki posisi pasar yang kuat tidak dengan

sendirinya melanggar ketentuan ini karena harus ada pembuktian bahwa pemusatan

kekuatan pasar tersebut mengakibatkan dikuasainya produksi atau pemasaran

sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan

kepentingan umum.28

Untuk menentukan sejauh mana kepentingan umum dirugikan, maka

undang-undang ini tidak mengatur sehingga penafsirannya diserahkan kepada otoritas yang

berwenang yaitu KPPU. Dalam kaitannya dengan hal ini, meskipun semua unsur

terpenuhi maka tetap dibuka kemungkinan pengecualian (de minimis) dimana ada 2

macam, yaitu:29

1. Karena adanya ketentuan undang-undang;

2. Pelaksanaan dari rule of reason;

27

Article 1.4. “Dominant position is a situation where an entrepreneur does not have any significant competitiors in the relevant market with regard to the market share being controlled, or the entrepreneur is in a high position among its competitors in the relevant market with regard to its financial capability, the ability to have access to the suppliers or sales, and the ability to adapt to the suppley and demand of certain goods or services.”Ibid, hal. 26.

28

Article 1.3.”Monopolistic practices is the centralization of economic power by one or more entrpreneurs causing the control of production and/or marketing of certain goods and/or services resulting in an unfair business competition and can cause damage to the public interest.” Ibid, hal. 28.

29

(44)

Rule of reason menurut Cheeseman merupakan kebalikan dari kriteria per se

illegal yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan

undang-undang, namun jika ada alasan obyektif (biasanya alasan ekonomi) yang dapat

membenarkan (reasonable) perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan

suatu pelanggaran.30

Sebagai contoh adanya ketentuan undang-undang misalnya peraturan

perundang-undangan menyatakan suatu sektor usaha menjadi monopoli negara

karena dimaksudkan dalam penyediaan pelayanan umum. Sementara pelaksanaan

rule of reason misalnya dalam hal pelanggaran oleh perusahaan dengan omset kecil

sehingga pelanggaran yang ada tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan.

Oleh karenanya, dalam melihat ada atau tidaknya kerugian, perlu dilihat secara

menyeluruh dengan memperhatikan kepentingan semua stakeholders (pemangku

keentingan) yang ada termasuk kepentingan konsumen. Dalam hal ini KPPU harus

mampu menerjemahkan hal ini baik melalui keputusan-keputusan individual terhadap

suatu kasus maupun melalui regulasi-regulasi yang akan dikeluarkan sebagai

peraturan pelaksanaan dari UU Persaingan Usaha.

Diagram 3 dan tabel 2 di bawah ini, memberikan sedikit gambaran posisi dari

maskapai penerbangan Garuda Indonesia dibandingkan dengan maskapai

penerbangan yang lain. Sebagai pemain lama tentunya Garuda Indonesia memiliki

keunggulan-keunggulan tertentu jika dibandingkan dengan maskapai lainnya. Sebagai

30

(45)

contoh apabila dilihat dari jumlah armada pesawat terbangnya, pada tahun 2004

armada pesawat Garuda Indonesia yang terbanyak (lihat Diagram 3) berikut ini:

Tabel 2

Perbandingan Kemampuan Produksi PT. Garuda Indonesia Dengan Total Produksi Perusahaan Angkutan Udara Niaga Berjadwal Nasional (Penerbangan Domestik)31

Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Departemen Perhubungan RI

P R O D U K S I

NASIONAL 245,350 255,008 289,723 268,333

GARUDA JAM TERBANG

(AIRCRAFT-HOURS)

Number

116,104 27% 108,248 24% 108,408 21% 115,315 25%

NASIONAL 435,251 460,204 510,144 466,745

6,987,870 24% 6,956,437 20% 7,371,046 19% 7,665,390 21% NASIONAL 28,992,019 34,015,981 39,162,430 37,350,688

8,470,754 23% 7,920,808 17% 8,158,271 14% 8,677,675 16% NASIONAL 37,060,773 46,541,982 56,764,846 55,574,400

(46)

Diagram 3

Jumlah Pesawat Terbang Angkutan Udara Berjadwal Dalam Negeri32 Data: Statistik Perhubungan Buku I Tahun 2008 Departemen Perhubungan RI

0

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang muncul dan menjadi inti

pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah persaingan dunia penerbangan pada Low Cost Carrier ditinjau dari

hukum persaingan usaha?

2. Bagaimanakah penegakan hukum persaingan usaha terhadap pelaksanaan Low

Cost Carrier dalam industri penerbangan?

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan arah dan maksud dari penelitian ini, ada beberapa tujuan

yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui dan mendalami persaingan dunia penerbangan pada Low Cost

Carrier ditinjau dari hukum persaingan usaha;

32

(47)

2. Untuk mengetahui dan mendalami penegakan hukum persaingan usaha terhadap

pelaksanaan Low Cost Carrier dalam industri penerbangan.

D. Manfaat Penelitian

Terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta

tercapainya tujuan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik dalam

tatanan akademisi maupun dalam tatanan praktisi, sehingga diharapkan penelitian ini

bermanfaat baik dari sisi teoritis maupun praktis:

1. Dari sisi teoritis, maka diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk

penyempurnaan Hukum Persaingan Usaha khususnya yang berkaitan dengan

”Low Cost Carrier” dalam persaingan usaha dunia penerbangan; dan

2. Dari sisi praktis, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan

kepada para praktisi dunia penerbangan dalam melakukan kegiatan khususnya

terkait ”Low Cost Carrier” dengan baik dan benar.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran di perpustakaan pusat Universitas Sumatera Utara

dan di perpustakaan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah dilakukan dengan tujuan untuk menghindari persamaan

substansi penelitian terhadap masalah yang sama serta dengan cara melakukan

(48)

di dalam penelitian ini, belum pernah dilakukan peneliti terdahulu dengan judul dan

permasalahan substansi yang sama dalam penelitian ini.

Oleh karena itu, penelitian dengan judul, ”EKSISTENSI LOW COST

CARRIER DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA dapat dikatakan

”asli”, dan jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yaitu

kejujuran, rasional, objektif dan terbuka, sehingga kebenaran dalam penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Banyak sarjana yang mengemukakan pandangannya tentang hukum dan

tujuan pemberlakuannya di masyarakat. Hubungan hukum dan masyarakat tidak

pernah dapat dipisahkan karena berinterdependensi satu sama lain. Untuk

menganalisis data yang dikumpulkan guna menjawab permasalahan sebagaimana

tersebut di atas, maka penelitian ini menggunakan teori Economic Analysis of Law

yang dikembangkan oleh Richard Posner. Paling tidak ada tiga keuntungan

menggunakan teori Economic Analysis of Law, yaitu: 33

1. Ilmu ekonomi membantu para sarjana hukum dalam memperoleh suatu perspektif dari luar disiplin ilmu mereka.

2. Pada tingkat normatif, ilmu ekonomi membantu menjelaskan konflik-konflik nilai dengan menunjukkan berapa banyak satu nilai, khususnya efisiensi, harus dikorbankan untuk mencapai nilai yang lain.

33

Gambar

Tabel 1 Alasan Pemilihan Maskapai Penerbangan Udara
Tabel 2 Perbandingan Kemampuan Produksi PT. Garuda Indonesia Dengan Total Produksi Perusahaan

Referensi

Dokumen terkait

Setelah aktuasi AFW secara otomatis pada pembangkit uap yang utuh dan yang bocor dijalankan, dilakukan isolasi AFW pada pembangkit uap yang bocor dimana pada PWR standar

A.1.02.02.1.02 Kegiatan : Penyediaan Layanan Kesehatan untuk UKP Rujukan, UKM dan UKM Rujukan Tingkat Daerah Provinsi Indikator Kegiatan : Persentase Unit Pelayanan yang

Mengkaji lahan yang sesuai untuk pengembangan permukiman maka akan ditinjau dari aspek-aspek fisik yaitu kelerengan, kawasan lindung, arahan RTRW rencana pola ruang

Terangkan tahap-tahap yang terlibat bagi kes sebuah rumah yang terbakar dengan sebab yang bersesuaian..

Sesuai fungsi, tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk masa bakti 2009-2014 mempunyai Visi Misi : Mengacu kepada Arah kebijakan pembangunan daerah ditujukan

Manajemen kesiswaan (murid) adalah seluruh proses ke- giatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja serta pembinaan secara kontinyu terhadap seluruh peserta didik

Pada tahap ini mencari bobot setiap atribut yang dihasilkan oleh algoritma Support Vector Machine dan seleksi fitur menggunakan Backward Elimination, pada tahap

Setelah mengamati gambar, siswa dapat mengurutkan bilangan dari kelompok benda yang banyaknya 41 sampai dengan 99 dari terkecil atau terbesar, angka dari bilangan terkecil