BAB III : PERSAINGAN DALAM DUNIA PENERBANGAN PADA LOW
D. Hubungan Antara Jual Rugi (Predatory Pricing) Dengan
Jika dilihat strategi predatory pricing ini hanya bisa berlaku jika perusahaan pesaing baru, sulit muncul dan pesaing yang sudah mati sulit bangkit lagi dalam industri tersebut. Jika tidak, ini adalah strategi bunuh diri. Kalau pesaing baru mudah muncul, atau pesaing lama mudah bangkit lagi, sang predator perlu terus menerapkan
harga jual-rugi. Semakin lama jual-rugi dilakukan, maka akan semakin dekatlah perusahaan pada kebangkrutan.
Pada hal ini, konsep LCC yang diterapkan merupakan hasil efisiensi tingkat tinggi yang dilakukan maskapai penerbangan. Konsep LCC lebih mengedepankan pendekatan volume penumpang ketimbang harga. Contoh pendekatan volume penumpang ketimbang harga sebagai berikut:183
Kondisi 1:
Harga tiket penerbangan untuk Jakarta-Surabaya sesuai tarif referensi pemerintah (Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 36 Tahun 2005) adalah Rp.303.000, dengan harga tersebut tingkat reservasi/pemesanan tiket satu kali rute penerbangan adalah 50% jadi ada 75 penumpang (misalnya jumlah kursi dalam pesawat ada 150 kursi), maka pemasukan yang dipeloreh adalah Rp.303.000,- x 75 = Rp.22.725.000,-
Kondisi 2 :
Harga tiket penerbangan untuk Jakarta-Surabaya dijual oleh Airlines yang menerapkan LCC sebesar Rp.250.000,- dengan harga yang lebih murah tersebut menyebabkan tingkat reservasi/pemesanan tiket menjadi 80% atau 120 penumpang, maka pemasukan yang dipeloreh adalah Rp.250.000,- x 120 = Rp.30.000.000,-
Dengan melihat hal di atas, dengan biaya produksi yang sama, yang harus dikeluarkan untuk menerbangkan satu rute pesawat tersebut, maka terlihat jelas
183
bahwa konsep LCC lebih menguntungkan dan tidak perlu melakukan predatory
pricing, karena mengedepankan pendekatan volume itulah maskapai penerbangan
yang menerapkan LCC memiliki kunci sukses untuk menggaet lebih banyak penumpang, antara lain184:
1. Menyediakan sarana transportasi. Bukan kenyamanan, makanan, atau hal lain yang tidak penting.
2. Mengurus sendiri bagasi penumpang. Tidak melibatkan perusahaan jasa. 3. Tersedia akses darat yang baik di bandara. Baik itu akses jalan raya maupun
kereta api.
4. Memiliki rute penerbangan ke kota utama berpopulasi padat. 5. Menggunakan satu tipe pesawat.
6. Keselamatan tetap menjadi prioritas utama. 7. Murah senyum, murah tiket.
8. Menyajikan jadwal penerbangan yang tetap dengan perilaku bisnis. 9. Menghindari transit atau penumpang menginap.
10.Punya frekuensi penerbangan yang tinggi.
Kesepuluh hal tersebut dilakukan secara terus-menerus dan tersistematis sehingga meskipun tidak memberikan pelayanan full service tetapi penumpang merasa puas sehingga nantinya semakin banyak penumpang yang digaet. Indikasi adanya penurun harga tidak selamanya merupakan predatory pricing tetapi merupakan strategi pelaku usaha. Misalnya dengan meningkatkan jumlah produksi dan menurun biaya produksi (yang berarti efisiensi dalam produksi), sebuah perusahaan dapat meyakinkan pesaing-pesaingnya bahwa perusahaan tersebut mampu mempunyai biaya produksi yang lebih rendah, sehingga menyebabkan perusahaan- perusahaan tersebut untuk meninggalkan pasar karena sangtlah tidak menguntungkan bagi mereka untuk terus bersaing, fenomena ini disebut sebagai isyarat biaya
184
“Low-Cost Airline Antara Kekhawatiran dan Peluang”, Angkasa, No. 8 Mei Tahun XIV, hal. 13.
murah.185 Dengan menetapkan harga secara agresif, perusahaan tersebut dapat mengusir pesaing dan pesaing yang tidak efisien akan mati sendiri. Perusahaan yang telah ada mendapat reputasi sebagai perusahaan yang kuat serta memiliki brand
image yang kuat di mata konsumen, hal ini bisa mencegah perusahaan lain untuk
masuk pasar.
Selain karena pelaksanaan efisiensi yang ketat, seperti yang talah dijelaskan penulis sebelumnya, maka terdapat beberapa alasan yang mendasari murahnya tiket angkutan udara, antara lain:186
1. Biaya sumber daya manusia. Semakin besar ukuran suatu maskapai penerbangan, semakin besar biaya yang harus ditanggung perusahaan. Sehingga perlu pemisahan antara kegiatan utama (core business) dan tambahan (non core business). Kegiatan non core business dapat langsung dialihkan menjadi lembaga profit centre;
2. Terjadi ketidakseimbangan mengenai alat produksi antara maskapai lama yang biasanya terdiri dari perusahaan besar (seperti Garuda dan Merpati) dengan maskapai baru. Maskapai penerbangan yang lama memasukkan pesawat pada unsur investasi, sedangkan operator baru memasukkan pembiayaan pesawat jauh labih murah, karena setelah tragedi WTC (World
Trade Center) harga sewa pesawat turun mencapai hanya 30% dari harga
normal. Misalnya harga pesawat Boeing 737-200 dalam kondisi normal mencapai US$ 50.000 per bulan; dan
3. Berkaitan dengan biaya pemeliharaan (maintenance), yang sangat dipengaruhi oleh tipe pesawat. Faktor ketiga ini haruslah distandarisasikan untuk menhitung harga pokok.
Di samping itu, pengaruh harga bahan bakar pesawat (avtur) juga mendukung penurunan tarif pesawat. Perbedaan harga avtur saat sebelum dan sesudah perang di Irak cukup besar, yakni mencapai 25%, sehingga perusahaan penerbangan dapat lebih efisien.
185
“Predatory Pricing”, www.wikipedia.org.id, diakses terakhir tanggal 16 November 2009.
186
Jadi, menjual harga yang rendah belum tentu predatory pricing, hal tersebut bisa saja merupakan harga perkenalan dari suatu produk baru yang dijual di pasar, harga perkenalan tersebut hanya untuk sementara sampai ke saat dimana pelaku usaha yang bersangkutan menetap di level tertentu atau hal mana tidak jarang terjadi dipaksa keluar lagi dari pasar yang bersangkutan. Atau berhubungan dengan penjualan mendesak barang yang tidak tahan lama187.
Jika melihat pasar angkutan udara niaga domestik di Indonesia, maka pasar angkutan udara niaga domestik merupakan pasar yang kompetitif, karena memenuhi karakteristik pasar yang kompetitif dimana karakteristik pasar yang kompetitif tersebut adalah sebagai beikut188 :
1) Terdapat banyak pembeli dan penjual;
2) Tidak satupun perusahaan sangat besar sehingga tindak tanduk dari hanya suatu perusahaan tersebut dapat mempengaruhi harga di pasar;
3) Produk di pasar cukup homogen, dimana setiap produk sanggup menjadi substitusi bagi yang lain;
4) Tidak terdapat penghalangan untuk memasuki pasar (barrier to entry); 5) Kemampuan untuk meningkatkan produksi tidak ada rintangan;
6) Produsen dan konsumen mempunyai informasi yang lengkap mengenai faktor-faktor yang relevan tentang pasar;
7) Keputusan yang diambil oleh produsen dan konsumen bersifat individual dan tidak terkoordinasi antar sesama produsen maupun konsumen.
Dengan melihat penjelasan tersebut di atas maka terlihat jelas bahwa sampai saat ini tidak ada kegiatan predatory pricing dalam industri jasa penerbangan domestik di Indonesia. Penurunan tarif yang luar biasa tersebut juga talah membuka tabir atas pemberlakuan tarif selama ini. Tarif yang menggambarkan begitu besarnya
187
Knud Hansen et al., Op. cit., hal. 306.
188
perolehan keuntungan pemain lama, ternyata secara tidak langsung juga menyiratkan inefisiensi dari operasionalisasi maskapai tersebut. Dengan demikian, kehadiran persaingan telah memaksa setiap maskapai untuk beroperasi secara lebih efisien agar dapat bertahan, sehingga konsumen dapat menikmati ketersediaan berbagai alternatif jasa penerbangan di pasar transportasi udara.
Persaingan adalah arena adu strategi pelaku usaha, dimana tarif merupakan salah satu variabelnya. Pasarlah yang menentukan siapa yang terbaik di antara pelaku usaha. Di sinilah proses seleksi berlangsung, dimana efisiensi merupakan faktor penentu berhasil tidaknya pelaku usaha dalam seleksi tersebut. Kalau pelaku usaha tidak mampu bersaing melalui tarif yang rendah, maka sebaiknya beralih ke strategi lain seperti difrensiasi produk.189 Sekarang kompetisi telah menjadi model yang ampuh untuk mengikis efisiensi. Karena tarif merupakan bagian dari strategi bersaing pelaku usaha dalam meraih pasar maka tarif murah adalah cermin keberhasilan efisiensi pelaku usaha yang dapat menjadi keunggulan bersaing (competitive
advantage).190
Persaingan usaha yang terjadi dalam angkutan udara adalah sebuah manfaaf nyata mekanisme yang diserahkan kepada pasar. Efisiensi pada angkutan udara akhirnya akan menjadi pemicu angkutan lain untuk terus membenahi diri, serta meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan kepada publik. Justru penerapan tarif
189
Taufik Ahmad, “Batas Minimum Tarif dalam Persaingan Usaha”, Kompetisi, September 2005, hal. 5.
190
referensi malah akan menghentikan upaya pembenahan pasar di sub-sub sektor angkutan lainnya.191
Dengan melakukan efisensi di berbagai bidang dan menggunakan strategi pendekatan jumlah penumpang bukan harga serta meningkatkan mutu pelayanan maka maskapai penerbangan yang menggunakan LCC tetap bertahan dalam industri penerbangan di Indonesia tanpa melakukan predatory pricing meskipun menjual tiket di bawah tarif referensi yang ditetapkan Departemen Perhubungan.
191