BAB III : PERSAINGAN DALAM DUNIA PENERBANGAN PADA LOW
A. Larangan Jual Rugi (Predatory Pricing) Menurut Undang-
2. Per Se Illegal dan Rule of Reason
Selama ini dikenal ada 2 (dua) macam prinsip hukum (pendekatan hukum) yang dapat digunakan sebagai dasar pengaturan anti monopoli dan persaingan usaha
108
Munir Fuady., “Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 13.
109
Elyta Ras Ginting., Hukum Anti Monopoli Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2001), hal. 21.
yakni, Pertama, adalah per se illegal (per se illegal approach), dan yang Kedua, adalah rule of reason (rule of reason approach). Kedua macam prinsip hukum dalam persaingan usaha ini dapat diterapkan untuk menghukum pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan di dalam undang-undang anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.110
Menurut Yahya Harahap bahwa per se illegal, sejak semula pada awalnya tidak sah, oleh karenanya perbuatan tersebut akhirnya merupakan suatu Perbuatan Melanggar Hukum (PMH). Suatu perbuatan dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang sudah diatur, jika perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan di dalam undang-undang persaingan usaha tanpa ada suatu pembuktian, dan itulah yang disebut sebagai per se illegal.111 Dengan kata lain, prinsip per se illegal beranggapan bahwa hambatan perdagangan merupakan suatu pelanggaran ketentuan aturan yang ada dalam anti trust serta hanya dapat diterapkan kepada jenis hambatan tertentu saja, yang secara ekonomi, tanpa merubah nilai serta substansial merugikan dan bahkan meniadakan persaingan sehat.112
Manfaat menggunakan metode per se illegal adalah kemudahan dan kejelasannya dalam proses administratif, selain memiliki kekuatan mengikat (self
110
L. Budi Kagramanto, “Prinsip Per Se Illegal dan Rule of Reason Dalam Hukum Persaingan Usaha”, Yuridika, Vol. 19 No. 2, Maret-April 2004, hal. 105.
111
Ibid, hal. 108.
112
enforcing) dari pada larangan-larangan yang masih tergantung evaluasi dari pengaruh
pasar yang rumit.113
Kriteria rule of reason merupakan kebalikan dari kriteria per se illegal. Pada prinsipnya rule of reason ini dapat diterapkan pada suatu perbuatan yang telah memenuhi rumusan dalam ketentuan undang-undang. Namun, apabila ternyata ada alasan obyektif (alasan ekonomi) yang dapat membenarkan (reasonable) perbuatan tersebut, maka perbuatan tersebut bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum. Jadi, penerapan hukumnya bergantung pada akibat yang ditimbulkan, apakah perbuatan si pelaku usaha tersebut telah menimbulkan praktek monopoli atau tidak. Prinsip ini cenderung berorientasi pada prinsip efisiensi.114 Hal tersebut berdasarkan doktrin bahwa bila terdapat suatu pengaturan yang tampaknya secara tidak nyata mematikan persaingan, namun berdampak merugikan persaingan, maka harus dilakukan suatu analsis untuk mengukur tujuan dan akibat dari pengaturan tersebut.115
Keuntungan rule of reason adalah menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi terhadap persaingan usaha yang sehat atau tidak.116
Contoh dari rule of reason ini dapat diterapkan pada monopoli alamiah (natural monopoly) yang terjadi karena satu pelaku usaha menjadi besar usahanya dan telah berhasil menguasai pangsa pasar untuk produk barang dan jasa tertentu. Di
113
A.M. Tri Anggraini (I), Loc. cit, hal. 5.
114
L. Budi Kagramanto, Op. cit, hal. 111.
115
A.M. Tri Anggraini (II), Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Per Se Illegal atau Rule of Reason, Cet. I, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 86.
116
samping itu, pada monopoli alamiah pelaku usaha juga memiliki keunggulan komperatif obyektif jika dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya dan si pelaku usaha tersebut dengan keunggulannya pada akhirnya berhasil menguasai pasar produk tertentu secara sehat, jujur, dan terbuka. Terhadap jenis monopoli alamiah seperti ini, tidak dapat dikatakan bahwa pelaku usaha telah melanggar undang-undang anti monopoli sekalipun perbutan itu telah memenuhi rumusan ketentuan di dalam undang-undang.
Lebih jauh dikatakan, bahwa prinsip rule of reason lebih menekankan kepada akibat negatif dari perbuatan yang tidak dapat dilihat secara mudah, apakah perbuatan tersebut legal atau tidak tanpa menganalisis akibat perbuatan tersebut terhadap kondisi persaingan usaha. Oleh karena itu, dalam prinsip rule of reason ini pengadilan diharuskan untuk mempertimbangkan berbagai alasan yang ada, seperti latar belakang dilakukannya perbuatan tersebut, alasan bisnis yang mendasari perbuatan serta posisi pelaku usaha dalam industri tertentu. Setelah mempertimbangkan berbagai alasan tersebut, barulah dapat ditentukan apakah perbuatan yang dilakukan si pelaku usaha legal atau illegal.117
Mengenai batasan kapan suatu perbuatan monopoli dianggap telah mampu mengendalikan perdagangan (trade restraint) menurut Yahya Harahap didasarkan pada patokan ”unreasonable trade restraint”, yaitu dievaluasi kasus per kasus (case
by case) dan menentukan landasan evaluasinya, apakah monopoli itu menimbulkan
efek terhadap jalannya persaingan bebas, monopoli yang demikian dianggap masih
117
reasonable. Oleh karena sifatnya yang dapat dievaluasi berdasarkan kriteria terentu
tersebut, setiap perbuatan usaha yang dilarang dengan kriteria rule of reason ini sebaiknya harus selalu mendapat autorisasi (pengesahan) operasional dan pengawasan yang berkelanjutan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), sebab perbuatan itu sebenarnya cenderung potensial menimbulkan monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.118
Namun, pendekatan rule of reason juga memiliki kelemahan antara lain adalah bahwa rule of reason menyaratkan pengaturan tentang teori ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks dimana tidak setiap orang memiliki kemampuan analisis ekonomi tersebut. Di samping itu, tidak mudah untuk membuktikan kekuatan pasar tergugat, penggugat harus menyediakan saksi ahli di bidang ekonomi dan bukti dokumenter yang ekstensif dari para pesaing lainnya. Padahal biasanya penggugat hanya memiliki kemungkinan yang kecil untuk memenangkan perkara, sehingga sering kali pendekatan rule of reason dipandang sebagai a rule of per se legalty.119
Perbedaan antara pendekatan per se dan rule of reason bisa dilihat secara jelas dalam ilustrasi berikut:120
Per Se Approach ILLEGAL TERBUKTI TINDAKAN 118
Elyta Ras Ginting, Op. cit, hal. 29.
119
A.M. Tri Anggraini (I), Op. cit.
120
Rule of Reason Approach LEGAL REASONABLE ILLEGAL UNREASONALBE FAKTOR- FAKTOR LAIN TERBUKTI TINDAKAN
Dengan demikian prinsip rule of reason ini dapat diterapkan pada perbuatan- perbuatan yang berpotensi membawa akibat negatif dalam persaingan usaha. Prinsip
rue of reason ini juga dipergunakan untuk mengakamodir perbuatan-perbuatan yang
sebetulnya masuk atau berada dalam wilayah abu-abu (grey area) antara legalitas dan illegalitas artinya bahwa dengan analisis prinsip rule of reason ini, berbagai perbuatan yang sebetulnya masuk grey area karena berpengaruh positif dan signifikan terhadap persaingan usaha dan mendukung serta membangun kegiatan perekonomian agar lebih kuat dan stabil, maka perbuatan tersebut berpeluang untuk untuk diperbolehkan (legal).121 Pendekatan rule of reason ini seakan-akan menjadi jaminan bagi para pelaku usaha untuk secara luas mengambil langkah bisnis yang mereka kehendaki, sepanjang langkah itu reasonable.122
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah melanggar Pasal 20 UU Persaingan Usaha, perlu dipuji apakah perbuatan menjual rugi bertujuan untuk menyingkirkan atau mematikan pesaing dan harus dievaluasi terlebih dahulu untuk melihat akibat yang ditimbulkannya terhadap persaingan dengan membuktikan apakah telah terjadi praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Tes ini
121
L. Budi Kagramanto, Op, cit.
122
tidaklah mudah untuk dilakukan sebab dalam praktek perdagangan sehari-hari dikenal juga tindakan price war atau perang harga yang lazim terjadi dalam satu persaingan.123