• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)"

Copied!
296
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN INDUSTRI TEPUNG DAN

BISKUIT IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)

SKRIPSI

AMANDA CAESSARA

F34070073

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

THE FEASIBILITY STUDY OF AN AFRICAN CATFISH (

Clarias gariepinus

)

FLOUR AND BISCUIT INDUSTRY

Amanda Caessara

1

, Aji Hermawan

2

, Clara M. Kusharto

3

1

University Student of Technology of Agroindustry Department, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University

2

Lecturer of Technology of Agroindustry Department, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University

3

Lecturer of Community Nutrition Department, Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural University

ABSTRACT

African catfish (Clarias gariepinus) is one of the popular fishes that cultivated in Indonesia. It contributes to the fulfilment of people nutrition need. African catfish can be processed into flour which can be further processed in to a variety of foods, including biscuits. The fish biscuits can be used as an alternative food to improve nutrition for the poor in Indonesia. The purpose of the study is to analyze the feasibility of an African catfish (Clarias gariepinus) flour and biscuit industry. The scope of the research includes a feasibility on the aspects of market and marketing, technology, management and organization, environment, legal, and finance.

The potential markets of the fish biscuits are infants and toddlers having nutritional problems and disaster victim children. The targeted market of the fish biscuit requires is 8.653 children per year. The products can be delivered in two form: biscuits and mixed flour. This is equivalent to 3.115.080 biscuit chips per year and the mixed flour of 7.200 kg per year. The factory is located in Bogor and the production capacity is 3.120.000 pieces of biscuits per year and 7.800 kg of mixed flour.

The total investment needed is Rp 884.335.000, including investment in fixed assets (Rp 687.775.000), and working capital (Rp 196.650.000). The NPV of this business is Rp 2.176.702.231. The IRR value is 61%. The net B/C ratio is 3. The payback period is 2 years and 1 month. These results shows that the catfish biscuit industry is feasible. The sensitivity analysis shows that business is still feasible under the condition of 30% price increase of raw materials and utilities and of 20% sales price decrease.

(3)

Amanda Caessara F34070073. Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Di bawah bimbingan Aji Hermawan dan Clara M. Kusharto 2011.

RINGKASAN

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang dibudidayakan di Indonesia dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat karena mengandung 17,7% protein di dalamnya dan harganya yang terjangkau. Salah satu olahan dari ikan lele dumbo adalah tepung ikan lele dumbo yang dapat diolah menjadi berbagai makanan, salah satunya adalah biskuit. Biskuit ikan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai alternatif pangan untuk meningkatkan gizi kurang di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Ruang lingkup penelitian meliputi studi kelayakan pada aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, serta finansial.

Potensi pasar biskuit ikan meliputi balita berstatus gizi kurang dan balita rawan bencana. Diperkirakan pangsa pasar dari jumlah balita bergizi kurang dan buruk adalah sebesar 0,28% (8.153 jiwa ) dan pangsa pasar biskuit ikan untuk balita korban bencana adalah sebesar 1% (500 jiwa). Oleh karena itu, dapat diperkirakan nilai dari pangsa pasar total biskuit ikan adalah seluruh volume kebutuhan biskuit ikan sejumlah 8.653 jiwa balita. Produk yang dihasilkan dari industri biskuit ikan lele dumbo terdiri dari dua macam, yaitu tepung mix sebagai bahan dasar pembuatan biskuit ikan yang merupakan pencampuran antara tepung ikan lele dumbo dengan isolat protein kedelai serta biskuit ikan. Dari hasil perhitungan didapat kebutuhan biskuit ikan untuk memenuhi seluruh pangsa pasar adalah sebesar 3.115.080 keping per tahun dan tepung mix sebesar 7.200 kg per tahun.

Industri biskuit ikan lele dumbo direncanakan didirikan di Bogor dengan pertimbangan kondisi infrastuktur yang mendukung, ketersediaan sumber daya manusia, serta kemudahan akses dengan pasar dan sarana penunjang produksi. Kapasitas produksi pabrik sebesar 3.120.000 keping biskuit per tahun dan 7.800 kg tepung mix. Bahan baku ikan lele dumbo yang digunakan merupakan ikan lele dumbo segar yang berasal dari Kabupaten Bogor dengan pertimbangan ketersediaan bahan baku yang stabil dan melimpah. Industri ini dijalankan oleh 28 orang tenaga kerja dengan deskripsi kerja masing-masing. Industri biskuit ikan lele dumbo menghasilkan limbah dalam bentuk padat, cair, dan gas, namun jumlahnya relatif sedikit dan memenuhi standar baku mutu, sehingga masih aman bagi lingkungan.

(4)

STUDI KELAYAKAN PENDIRIAN INDUSTRI TEPUNG DAN BISKUIT

IKAN LELE DUMBO (

Clarias gariepinus

)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

AMANDACAESSARA

F34070073

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)” adalah karya asli saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bagian daftar pustaka.

Bogor, Juli 2010

Yang membuat pernyataan,

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama, putri dari pasangan Bapak Drs. Amir Hamzah (Alm.) dan Ibu I. Rosiana. Pada tahun 1995, penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Kasih Ananda X Jakarta Utara yang dilanjutkan dengan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2001 di SD Kasih Ananda I Jakarta Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP 30 Jakarta pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 4 Kota Bekasi dan lulus pada tahun 2007. Setelah lulus sekolah menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa kuliah penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Rempah-rempah, dan Fitofarmaka (2011). Penulis juga aktif di sejumlah organisasi dan kepanitiaan, salah satunya adalah Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri IPB (Himalogin IPB).

(7)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah AWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan akhir yang berjudul Studi Kelayakan Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Mami, I. Rosiana, yang selalu memberikan dukungan, bantuan, nasihat, dan doa, serta Alm. Papi, Amir Hamzah, yang selalu menginginkan yang terbaik untuk penulis.

2. Dr. Ir. Aji Hermawan, M. M. dan Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Muslich, M. Si. sebagai dosen penguji dalam sidang skripsi.

4. Dosen-dosen dan karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah memberikan ilmu dan pelajaran yang berguna bagi penulis.

5. Mbak Nunung dan Mbak Risty yang selalu bersedia menjawab semua pertanyaan penulis demi kelancaran penyusunan skripsi.

6. Keluarga besar Alm. Adang Priyatna sebagai pemebri dukungan dan doa.

7. Andika Caessara dan A. Arviandito Caessara sebagai adik yang selalu mendukung dan mendoakan.

8. Eko Apriyanto yang selalu menemani, memberi semangat, mendoakan, dan menjadi tempat keluh kesah penulis.

9. Ditta Nirmala, Kartika Sari, dan Fatta Qurota A’yun sebagai teman seperjuangan atas segala bantuan dan dukungan selama penelitian ini.

10. Seluruh teman-teman TIN 44, adik-adik dan kakak-kakak di TIN yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikannya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak manapun yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2011

(8)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. Pendahuluan A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 2

C. Ruang Lingkup ... 2

II. Tinjauan Pustaka A. Lele Dumbo (Clarias gariepinus) ... 4

B. Tepung Ikan ... 5

C. Kedelai dan Isolat Protein Kedelai... 6

D. Biskuit ... 8

1. Bahan Baku Biskuit ... 9

2. Proses Pembuatan Biskuit ... 10

E. Studi Kelayakan ... 13

1. Aspek Pasar dan Pemasaran ... 13

2. Aspek Teknik dan Teknologi ... 14

3. Aspek Manajemen dan Organisasi ... 16

4. Aspek Legalitas ... 16

5. Aspek Lingkungan ... 17

(9)

iii

Halaman III. Metodologi

A. Kerangka Pemikiran ... 21

B. Pendekatan Studi Kelayakan ... 21

C. Metode Penelitian ... 23

IV. Analisis Pasar dan Pemasaran A. Potensi Pasar ... 31

B. Analisis Persaingan ... 39

C. Strategi Pemasaran ... 41

1. Segmentasi ... 41

2. Penetapan Target ... 43

3. Positioning ... 44

4. Bauran Pemasaran ... 45

V. Analisis Teknik dan Teknologi A. Bahan Baku ... 52

1. Spesifikasi Bahan Baku ... 52

2. Ketersediaan Bahan Baku ... 55

B. Perencanaan Kapasitas Produksi ... 57

C. Teknologi Proses Produksi ... 58

1. Proses Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo ... 58

2. Mesin dan Peralatan Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo... 62

3. Proses Produksi Biskuit Ikan... 66

4. Mesin dan Peralatan Produksi Biskuit Ikan ... 69

D. Penentuan Lokasi Pabrik ... 72

E. Desain Tata Letak dan Kebutuhan Ruang Pabrik ... 73

VI. Analisis Manajemen dan Organisasi A. Kebutuhan Tenaga Kerja ... 78

(10)

iv

Halaman

C. Deskripsi Pekerjaan ... 81

VII. Analisis Lingkungan dan Legalitas A. Aspek Lingkungan ... 84

B. Aspek Legalitas ... 85

1. Badan Usaha ... 85

2. Perizinan ... 86

C. Pajak ... 89

VIII. Analisis Finansial A. Asumsi Perhitungan Finansial ... 90

B. Biaya Investasi ... 91

C. Perhitungan Depresiasi ... 92

D. Prakiraan Harga dan Penerimaan ... 92

E. Proyeksi Laba Rugi ... 93

F. Proyeksi Arus Kas ... 94

G. Kriteria Kelayakan Investasi ... 95

1. Net Present Value (NPV) ... 95

2. Internal Rate of Return (IRR) ... 95

3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) ... 96

4. Payback Period (PBP) ... 96

5. Break Even Point (BEP) ... 96

H. Analisis Sensitivitas ... 96

IX. Simpulan dan Saran A. Simpulan ... 97

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99

(11)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Bagian-Bagian Tubuh Ikan dan Manfaatnya ... 4

Tabel 2.2 Komposisi Gizi Ikan lele ... 5

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kedelai ... 7

Tabel 2.4 Syarat Mutu Biskuit ... 8

Tabel 2.5 Jenis-Jenis Penyimpangan yang dapat terjadi dan Penyebabnya pada Pembuatan Biskuit ... 9

Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang Diperlukan ... 23

Tabel 4.1 Status Gizi Balita Pada Tahun 2007 dan 2010 ... 32

Tabel 4.2 Prevalensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk (BB/U) Menurut Provinsi Tahun 2010 ... 34

Tabel 4.3 Kandungan Zat Gizi dan Energi per Takaran Penyajian (50 gram) .. 38

Tabel 4.4 Perkiraan Perhitungan Kebutuhan Biskuit Ikan dan Tepung Mix .... 38

Tabel 4.5 Biskuit Balita dan Detail Keterangannya ... 39

Tabel 4.6 Syarat Mutu Biskuit Bayi dan Balita (SNI 01-4445-1998) Tahun 1998 ... 45

Tabel 4.7 Kandungan Mutu Biskuit Ikan ... 46

Tabel 4.8 Kandungan Gizi Tepung Ikan Lele ... 48

Tabel 5.1 Tujuh Propinsi Sentra Budidaya Ikan Lele dan Jumlah Produksi Pada Tahun 2009 ... 55

Tabel 5.2 Data Produksi Ikan lele di Kabupaten Bogor ... 56

Tabel 5.3 Kebutuhan, Kapasitas, dan Dimensi Mesin pada Pembuatan Tepung Ikan Lele Dumbo... 62

Tabel 5.4 Formulasi Biskuit Ikan dengan Pelengkap Tepung Ikan dan Isolat Protein Kedelai ... 66

(12)

vi

Halaman

Tabel 5.6 Lembar Kerja untuk Diagram Keterkaitan Antar Aktivitas ... 75

Tabel 5.7 Perhitungan TCR (Total Closeness Rating) ... 76

Tabel 5.8 Kebutuhan Luas Ruang Produksi Tepung Ikan dan Biskuit Ikan ... 77

Tabel 6.1 Penentuan Jumlah Tenaga Kerja yang Dibutuhkan ... 79

Tabel 6.2 Kebutuhan dan Kualifikasi Tenaga Kerja yang Dibutuhkan pada

Industri Tepung dan Biskuit Ikan ... 80

Tabel 8.1 Komponen Biaya Investasi Tetap yang Dibutuhkan dalam

Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan ... 92

Tabel 8.2 Prakiraan Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan ... 93

Tabel 8.3 Proyeksi Laba Rugi Penjualan Biskuit Ikan dan Tepung Mix dalam

10 Tahun Produksi ... 94

(13)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Proses Pembuatan Biskuit ... 11

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 22

Gambar 3.2 Alir Proses Analisis Pasar dan Pemasaran ... 25

Gambar 3.3 Alir Proses Analisis Aspek Teknik dan Teknologi ... 26

Gambar 3.4 Alir Analisis Manajemen dan Organisasi ... 30

Gambar 4.1 Pravelensi Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk Menurut Indikator BB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 ... 32

Gambar 4.2 Pravelensi Balita Gizi Pendek dan Sangat Pendek Menurut Indikator TB/U di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 ... 34

Gambar 4.3 Pravelensi Balita Gizi Kurus dan Sangat Kurus Menurut Indikator BB/TB di Daerah Desa dan Kota, di Indonesia, Tahun 2007 dan 2010 ... 36

Gambar 4.4 Biskuit Ikan ... 47

Gambar 4.5 Kemasan Primer Biskuit Ikan ... 47

Gambar 4.6 Kemasan Sekunder Biskuit Ikan ... 47

Gambar 4.7 Tepung Daging Ikan Lele Dumbo ... 49

Gambar 4.8 Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo ... 49

Gambar 5.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan dan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo ... 60

Gambar 5.2 Neraca Massa Pembuatan Tepung Badan dan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo ... 61

Gambar 5.3 Timbangan Dacin ... 62

Gambar 5.4 Retort Chamber ... 63

(14)

viii

Halaman

Gambar 5.6 Drum Dryer ... 64

Gambar 5.7 Boiler ... 64

Gambar 5.8 Mesin Penggiling Basah ... 65

Gambar 5.9 Mesin Penggiling Kering ... 65

Gambar 5.10 Freezer ... 65

Gambar 5.11 Impulse Sealer ... 66

Gambar 5.12 Diagram Alir Pembuatan Biskuit Balita dengan Penambahan Tepung Ikan dan Isolat Protein Kedelai ... 67

Gambar 5.13 Neraca Massa Pembuatan Biskuit Ikan (Basis Bahan Baku 1000 gr) ... 68

Gambar 5.14 Timbangan Digital ... 69

Gambar 5.15 Jenis Pengaduk ... 70

Gambar 5.16 Mixer ... 70

Gambar 5.17 Dough Sheeter ... 70

Gambar 5.18 Lemari Pendingin ... 71

Gambar 5.19 Gas Baking Oven ... 71

Gambar 5.20 Bagan Keterkaitan Antar Aktivitas pada Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan ... 74

Gambar 5.21 Tata Letak dan Hubungan Antar Ruang Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan ... 76

(15)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuisioner Pembobotan Lokasi Menggunakan Metode

Pembanding Eksponensial ... 104

Lampiran 2. Dokumentasi Calon Lokasi Pendirian Pabrik Tepung dan Biskuit Ikan ... 109

Lampiran 3. Denah Ruangan Pabrik Industri Tepung dan Biskuit ikan ... 110

Lampiran 4. Layout Ruang Produksi Tepung Ikan Lele Dumbo ... 111

Lampiran 5. Layout Ruang Produksi Biskuit Ikan ... 112

Lampiran 6. Asumsi – Asumsi untuk Analisis Finansial Industri Tepung dan Biskuit Ikan ... 113

Lampiran 7. Perincian Kebutuhan Investasi Pendirian Industri Tepung dan Biskuit Ikan ... 114

Lampiran 8. Perhitungan Biaya Penyusutan, Pemeliharaan, dan PBB ... 115

Lampiran 9. Komposisi Biaya Tetap dan Biaya Variabel Industri Tepung dan Biskuit Ikan ... 119

Lampiran 10. Kebutuhan Biaya Operasional Industri Tepung dan Biskuit Ikan 123 Lampiran 11. Rekapitulasi Produksi dan Proyeksi Penerimaan Industri Tepung dan Biskuit Ikan ... 124

Lampiran 12. Proyeksi Laba Rugi Industri Tepung dan Biskuit Ikan ... 125

Lampiran 13. Proyeksi Arus Kas Industri Tepung dan Biskuit Ikan ... 127

Lampiran 14. Kriteria Kelayakan Investasi ... 128

Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Biaya Bahan Baku dan Bahan Utilitas Naik 30% ... 129

(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan gizi yang mendominasi perhatian para pakar gizi selama ini adalah masalah kekurangan energi dan protein (KEP) yang disebabkan akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta gangguan kesehatan. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah miskin. Namun, pada anak-anak khususnya di bawah usia lima tahun (balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan (Soekirman, 2000).

Salah satu sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat adalah pangan hewani. Pangan hewani memiliki keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber protein lainnya, diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi dalam tubuh ikan yang tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia.

Ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang paling banyak diminati, serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang popular di masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki berbagai kelebihan sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat. Kelebihan tersebut adalah pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Anonymous, 2006).

Selain keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan lele dumbo juga mempunyai kekurangan, yaitu tingginya kandungan air dan pH, serta kandungan asam lemak tak jenuh yang dagingnya mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat menghambat penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu, diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk, maupun daya awetnya (Adawyah, 2007).

Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil sampingan ikan. Usaha pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar dengan harga murah karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto, 1992).

Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup lama dibandingkan ikan segar, bentuknya yang berupa tepung diharapkan menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya. Penggunaan tepung ikan sebagai bahan pelengkap tepung terigu pada pembuatan biskuit merupakan salah satu alternatif pengunaan yang menjanjikan, terutama dari segi kualitas yang dihasilkan.

(17)

2 dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Berbagai jenis biskuit telah dikembangkan untuk menghasilkan biskuit yang tidak saja enak tapi juga menyehatkan. Dengan menambahkan bahan pangan tertentu, seperti tepung ikan lele ke dalam proses pembuatan biskuit, dapat dihasilkan biskuit dengan nilai tambah yang baik untuk kesehatan (Manley, 2000).

Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan biskuit yang tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai juga biasa digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai adalah isolat protein. Fungsi utama isolat protein kedelai dalam bahan pangan adalah untuk memperbaiki kandungan gizi produk makanan yang diproduksi (Manley, 2000).

Adanya kebutuhan akan alternatif pangan bergizi dengan harga terjangkau membuka peluang untuk memproduksi biskuit dari tepung ikan lele dumbo. Pasar produk biskuit lele ini masih terbuka lebar dan persaingan belum ketat. Selain itu, teknologi pembuatan biskuit lele tidaklah terlalu rumit dan dapat menggunakan peralatan yang sederhana, serta ketersediaan bahan baku untuk pembuatan biskuit ini cukup melimpah.

Untuk melakukan pendirian industri tepung dan biskuit dari tepung ikan lele dumbo diperlukan adanya studi kelayakan. Studi kelayakan merupakan suatu analisis perencanaan yang sistematis dan mendalam atas setiap faktor yang memiliki pengaruh terhadap kemungkinan proyek untuk mencapai sukses. Semua data, fakta dan berbagai pendapat yang dikemukakan dalam studi kelayakan tersebut akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan apakah proyek yang bersangkutan akan direalisasikan, dibatalkan, atau dikaji ulang. Beberapa aspek studi kelayakan yang diperlukan dalam pendirian industri ini, antara lain: aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, dan analisis finansial.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelayakan pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dari aspek pasar dan pemasaran, teknik dan teknologi, manajemen dan organisasi, lingkungan dan legalitas, serta finansial.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi aspek-aspek yang mempengaruhi pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo di lokasi terpilih yakni sebagai berikut.

1. Analisis aspek pasar dan pemasaran, meliputi analisis pasar dan rencana pemasaran, serta strategi bauran pemasaran.

(18)

3 3. Analisis aspek manajemen dan organisasi, meliputi penentuan struktur organisasi, kebutuhan tenaga manajerial dan operasional yang mendukung keberhasilan usaha, serta deskripsi dan spesifikasi kerja masing-masing.

4. Analisis aspek lingkungan dan legalitas, meliputi analisis dampak lingkungan akibat pendirian industri tepung dan biskuit ikan lele dumbo, dan peraturan pemerintah terkait pendirian industri, serta perizinan yang harus dipenuhi.

(19)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lele Dumbo (

Clarias gariepinus)

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan yang dibudidayakan di Indonesia. Ikan lele memiliki bentuk tubuh yang memanjang dan berkulit licin (tidak bersisik). Sesuai dengan familinya, yaitu Claridae, lele dumbo memiliki bentuk kepala pipih dengan tulang keras sebagai batok kepala. Di sekitar mulut terdapat empat pasang sungut. Pada sirip dada terdapat patil atau duri keras yang berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri. Ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang terletak di bagian depan rongga insang yang memungkinkan ikan untuk mengambil oksigen dari udara. Oleh karena itu, ikan lele dapat hidup dalam kondisi perairan yang sedikit mengandung kadar oksigen (Suyanto, 2007).

Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran konsumsi secara nasional mengalami kenaikan. Seperti pada tahun 2009, kenaikan tersebut terjadi mencapai 200 ribu ton. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus sp). Sementara itu, ikan lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan karena pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo. Secara umum lele dumbo mirip dengan lele lokal, hanya saja ukuran lele dumbo lebih besar dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung lebih panjang dan lebih gemuk dibandingkan lele lokal (Mahyuddin, 2007).

Lele dumbo termasuk ke dalam: filum Chordata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluroidea, dan genus Clarias. Salah satu dari beberapa literatur menyebutkan bahwa lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar, sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu unggulan lele dumbo adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupkan hasil rekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan telah dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No. KEP.26/MEN/2004 (Mahyuddin, 2007).

Khusus pada ikan, bagian yang dapat dimakan kira-kira hanya sebesar 70%. Kepala, ekor, sirip, dan isi perutnya merupakan limbah ikan yang kebanyakan tidak dapat digunakan sebagai makanan. Bagian-bagian tubuh ikan dan manfaatnya disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Bagian-Bagian Tubuh Ikan dan Manfaatnya

Bagian Tubuh Komponen Utama Manfaat

Daging ikan Protein, Lemak Berbagai macam makanan

Kepala ikan Protein, Lemak, Garam Ca, Tepung Ikan dan Fosfat

Tulang, Sirip Garam Ca, Fosfat, dan Tepung Tulang Senyawa Nitrogen

Kulit Kolagen Lem, Kulit Olahan

Sisik Kolagen, Quanin Lem

(20)

5 Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi ikan lele disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Komposisi Gizi Ikan lele

Zat Gizi (%) Kandungan

Protein 17,7

Lemak 4.8

Mineral 1,2

Air 76

Karbohidrat 0,3

Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008

B. Tepung Ikan

Tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan mekanis (Ilyas, 1993).

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada daging ikan. Kadar air pada daging ikan adalah hal yang menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses pembusukan dapat dihambat. Bila proses pengeringannya berjalan terus-menerus, maka proses pembentukannya akan berhenti. Selain menggunakan metode pengeringan, dalam pembuatan tepung ikan dapat didahului dengan pemanasan suhu tinggi. Hal ini digunakan untuk menghentikan proses pembusukan baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup (Moeljanto, 1982b).

Menurut Departemen Perdagangan (1982) tepung ikan memiliki nilai gizi yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu, tepung ikan juga kaya akan vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung ikan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan fosfor (P). Tepung ikan juga mengandung trace element, seperti: seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn), dan kobalt (Co) (Moeljanto, 1982a).

Usaha pembentukan tepung ikan menggunakan limbah ikan karena relatif murah dan mudah didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana (LIPI, 1999). Sebagian produksi tepung ikan dunia digunakan untuk makanan ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara yang telah maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai. Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiran-butirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan, dan benda-benda asing lainnya.

(21)

6 berubah, terutama akibat terjadinya penurunan kadar minyak, kadar air, dan kerusakan (perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermo processing). Komposisi kimia tepung ikan juga ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahan (Moeljanto, 1982a).

Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi sebagai berikut.

- air (moisture) 6% - 10%

- lemak 5% - 12%

- protein 60% -75%

- abu 10% - 20%

Menurut Moeljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6% sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada air tepung ikan.

Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tepung kepala dan tulang ikan. Kadar mineral tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat. Tepung ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan Co (Moeljanto, 1982).

Menurut Ilyas (1993), tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5% - 10% dan protein 60% - 65%.

C. Kedelai dan Isolat Protein Kedelai

Kedelai (Glycine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili Leguminosae, sub family

Papilionaceae dan genus Glycine L. Secara umum, biji kedelai terdiri dari kulit biji (hull) dan dua keping biji (cotyledons). Keping biji merupakan bagian utama biji dan dibagian inilah minyak dan protein kedelai tersimpan. Kulit biji menyatukan kedua keping biji dan sekaligus memberikan perlindungan. Selanjutnya kulit biji dapat dipisahkan dari biji dengan menggunakan prinsip aspirasi (Matthews, 1989).

(22)

7 Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kedelai

Komponen Komposisi

Kalori (Kal) 331.0

Air (%) 7.5

Protein (%) 34.9

Lemak (%) 18.1

Karbohidrat (%) 34.8

Kalsium (mg/ 100 g) 227.0

Fosfor (mg/ 100 g) 585.0

Besi (mg/ 100 g) 8.0

Vitamin A (SI/ 100 g) 110.0

Vitamin B (SI/ 100 g) 1.07

Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1972 dalam Koswara 1995

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Isolat protein baik sekali digunakan dalam formulasi makanan, karena dapat berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi. Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavor produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti, dan biskuit (Koswara, 1995).

Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air dan bila emulsi ini telah terbentuk, protein kedelai akan menstabilkannya. Stabilitas emulsi penting, karena emulsifier yang baik tergantung kemampuannya memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemanasan atau pemasakan. Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada sosis, produk bakery, dan sup (Koswara, 1995).

Isolat protein kedelai mempunyai kemampuan dalam menyerap lemak atau minyak. Kemampuan ini digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari karena pemasakan dan menjaga stabilitas dimensinya. Kedua adalah untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Hal ini disebabkan karena isolat protein kedelai dapat terdenaturasi oleh panas membentuk semacam lapisan (coating) pada permukaan bahan sehingga menghalangi penetrasi lemak (Koswara, 1995).

(23)

8

E. Biskuit

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening, serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi dan Faubion, 1990).

Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01-2973-1992 seperti yang terlihat pada Tabel 2.4. Selain itu biskuit umumnya berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah dan ringan, serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz, 1978).

Tabel 2.4 Syarat Mutu Biskuit

Komponen Syarat Mutu

Air Maksimum 5%

Protein Minimum 9%

Lemak Minimum 9,5%

Karbohidrat Minimum 70%

Abu Maksimum 1,5%

Logam berbahaya Negatif

Serat kasar Maksimum 0,5%

Kalori (per 100 gr) Minimum 400

Jenis tepung Terigu

Bau dan rasa Normal, tidak tengik

Warna Normal

Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992

Menurut Manley (1998), biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat, yaitu tekstur dan kekerasan, perubahan bentuk akibat pemanggangan, ekstensibilitas adonan, dan pembentukan produk. Biskuit digolongkan juga menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening

efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran (Sunaryo, 1985).

Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25% - 40% dan kadar lemak 15%, contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit jahe, biskuit buah, dan biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, pengembang, dan disperse lemak ke seluruh bagian adonan. Mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12% - 15%, contohnya adalah biskuit marie. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25% - 30%, contohnya adalah biskuit krekers (Sunaryo, 1985).

(24)

9 pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk adonan yang kompak, sedangkan bahan perapuh terdiri dari gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978).

Menurut Vail et al. (1978), mutu biskuit tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat. Untuk lebih jelasnya jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit dapat di lihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Jenis-Jenis Penyimpangan yang dapat terjadi dan Penyebabnya pada Pembuatan Biskuit

Jenis Penyimpangan Penyebab

Keras Kurang lemak

Kurang air

Warna pucat Proporsi bahan kurang tepat

Pemanggang kurang panas Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata

Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata

Hambar Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang

Keras dan poros Pencampuran tidak tepat Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal

Penanganan terlalu lama Sumber: Vail et al. 1987

1. Bahan Baku Biskuit

a. Tepung

Menurut Sultan (1983), tepung merupakan komponen pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit, juga memegang peran penting dalam citarasa. Selain itu, menurut Matz dan Matz (1978), tepung terigu juga berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata. Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak (Vail et al., 1987). b. Telur

Fungsi telur dalam penyelenggaraan gizi kuliner adalah sebagai pengental, perekat atau pengikat. Telur juga berfungsi sebagai pelembut atau pengempuk dan pengembang suatu masakan disamping sebagai penambah aroma dan zat gizi (Tarwotjo,1998). Dalam pembuatan biskuit, fungsi utama telur adalah sebagai pengemulsi untuk mempertahankan kestabilan adonan. Selain itu, telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavor, warna, dan kelembutan biskuit (Matz dan Matz, 1978). Menurut Winarno (1995), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan cephalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida.

c. Gula

(25)

10 menjadi lengket dan menempel pada cetakan, biskuit menjadi keras, dan rasanya akan terlalu manis. Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz, 1978).

d. Lemak

Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit karena berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Lemak juga berperan dalam pembentukan citarasa khas biskuit. Lemak alami yang banyak digunakan dalam pembuatan biskuit, antara lain adalah lard, butter, lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Selain penggunaan lemak alami, lemak yang telah dimodifikasi, seperti hidrogenasi minyak dan interesterifikasi minyak juga bisa digunakan sebagai pengemulsi dalam pembuatan biskuit (Matz dan Matz, 1978).

e. Susu

Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna, flavor, bahan pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih banyak digunakan karena lebih mudah penanganannya dan mempunyai daya simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz, 1978).

f. Bahan pengembang

Menurut Manley (1998), fungsi bahan pengembang (leavening agent) adalah untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan soda kue (sodium bikarbonat). Menurut Wheat Associates (1981) dalam Rieuwpassa (2005) fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartrat, fosfat, dan sulfat. Menurut Manley (2000), penggunaan ammonium bikarbonat (baking powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0.47% dan dengan rentang antara 0.04% sampai dengan 1.77%, sedangkan sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam 96% resep biskuit dan rata-rata digunakan antara 0.18% sampai dengan 1.92%.

g. Air

Dalam pembuatan roti dan kue, air mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk mengontrol kepadatan dan suhu adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan bukan tepung secara seragam, membasahi dan mengembangkan pati serta menjadikannya dapat dicerna, dan memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Anonim, 1981). Pedoman pembuatan roti dan kue. Djambatan, Jakarta.

2. Proses Pembuatan Biskuit

(26)

11 krim dan pencampurannya dilakukan secara singkat. Pada tahap akhir, tepung dan sisa air ditambahkan kemudian dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk, sedangkan pada metode all- in semua bahan dicampur secara bersamaan. Metode ini lebih cepat namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras daripada adonan pada metode krim (Whiteley, 1971).

Bahan baku biskuit yang digunakan dalam persiapan bahan harus bebas dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, dan tikus. Setelah bahan siap, dilakukan pencampuran dilanjutkan dengan pengadukan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pencampuran adalah jumlah adonan, lama pencampuran, dan kecepatan pengadukan. Pengadukan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas, sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit saat pemanggangan. Sebaliknya, jika waktu pengadukan kurang, maka adonan akan kurang menyerap air sehingga adonan kurang elastis (Sunaryo, 1985).

Proses pembuatan biskuit dilakukan dengan cara mencampurkan bahan sehingga membentuk adonan, kemudian dicetak dan dipanggang dalam oven, sehingga menghasilkan biskuit. Skema pembuatan biskuit dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1 Proses Pembuatan Biskuit (Sunaryo, 1985)

a. Persiapan Bahan

Masing-masing bahan dalam tahap ini ditimbang atau diukur volumenya berdasarkan komposisi adonan. Bahan baku yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: bebas dari kotoran, batu, komponen mikroba, serangga, tikus, dan standar mutu yang ditetapkan (Sunaryo, 1985).

b. Pencampuran atau Pengadukan

Tujuan pencampuran atau pengadukan adalah untuk memperoleh adonan yang homogen dan menghasilkan pengembangan gluten yang diinginkan. Proses pencampuran dilakukan dengan alat

mixing.

Persiapan bahan

Pencampuran/ pengadukan

Pembentukan lembaran adonan

Pencetakan

Pemanggangan

Pendinginan

(27)

12 Untuk mendapatkan adonan yang baik perlu memperhatikan waktu pengadukan sehingga tercapai pengembangan gluten yang optimal. Pengadukan yang berlebihan akan merusak susunan gluten dan akan membuat adonan menjadi panas sehingga merusak tekstur biskuit serta menyebabkan retak pada permukaan biskuit pada saat pemanggangan. Jika waktu pengadukan kurang, maka adonan akan kurang menyerap air, sehingga adonan kurang elastis dan lembaran adonan menjadi lebih mudah patah (Sunaryo, 1985).

Sunaryo (1985) membagi beberapa jenis adonan sesuai dengan jenis produk yang dikehendakinya, yaitu:

1. Adonan Pendek

Adonan ini digunakan untuk membuat cookies. Pada adonan ini gluten tidak mengembang akibat shortening effect dari lemak, efek pelunakan gula, dan rendahnya kadar air sekitar 3%. Adonan ini memiliki kadar gula tinggi sekitar 25% - 40% dan kadar lemak maksimal 15%.

2. Adonan Keras

Adonan keras digunakan untuk pembuatan biskuit. Pada adonan ini gluten mengembang sampai batas tertentu, karena kadar air yang ditambahkan tidak sebanyak pada adonan fermentasi. Selain terjadi pengembangan gluten, juga terjadi ikatan antara protein dan pati, larutnya gula, garam, pengembang, dan disperse lemak ke seluruh bagian adonan. Kandungan lemak pada adonan ini 15% dan gula 20%.

Proses pencampuran pada kedua adonan di atas adalah sebagai berikut: semua bahan kecuali tepung diaduk dengan mixer sampai tercampur halus, baru kemudian tepung dimasukkan untuk kemudian diaduk lagi bersama-sama.

3. Adonan Fermentasi

Adonan fermentasi digunakan untuk pembuatan biskuit crackers. Pada adonan ini gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan terjadi pengembangan tersebut sebesar 30%. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk akhir, penyusutan panjang setelah pencetakan dan pemanggangan. Biasanya produk akhir mempunyai sifat cryspinnes tertentu. Kadar gula adonan sangat rendah dengan kadar lemak 25% - 30%.

Segera setelah proses pencampuran adonan selesai, adonan harus digunakan maksimal 30 menit kemudian. Apabila adonan dibiarkan terlalu lama, adonan dapat menyerap air dari lingkungan, sehingga mempengaruhi pengembangan gluten, atau adonan menjadi keras karena terjadi penguapan air.

c. Pembuatan Lembaran Adonan

(28)

13 d. Pencetakan

Proses pencetakan bertujuan untuk memberi bentuk biskuit. Pada industri tepung dan biskuit, proses ini dapat dilakukan dengan alat reciprocating cutter atau wire cutter, tergantung dari jenis adonan biskuit (Sunaryo, 1985).

e. Pemanggangan

Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven. Suhu dan waktu pemanggangan berlangsung antara 2,5 – 30 menit, tergantung suhu, jenis oven, dan biskuit yang dihasilkan. Perubahan yang terjadi selama pemanggangan biskuit adalah perubahan struktur, pengurangan kadar air, dan perubahan warna (Sunaryo, 1985).

f. Pendinginan dan Pengemasan

Pendinginan biskuit segera setelah keluar dari oven mutlak diperlukan, dengan tujuan untuk menurunkan suhu dengan segera dari suhu pemanggangan ke suhu ruang untuk mencegah penyerapan uap air, mencegah kontaminasi kotoran dari atmosfir, dan untuk pengerasan tekstur biskuit. Begitu keluar dari oven, tekstur biskuit agak lunak dan elastis karena gula dan lemak masih berbentuk cair. Jika telah didinginkan gula dan lemak kembali padat sehingga tekstur mengeras (Sunaryo, 1985).

Biskuit termasuk produk yang cepat menyerap air dan oksigen, oleh karena itu pengeras harus kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap sinar, dan mampu melindungi biskuit dari kerusakan mekanis (Sunaryo, 1985).

F. Studi Kelayakan

Sutojo (1983) dan Kadariah et al. (1999) menyebutkan bahwa kajian terhadap keadaan dan prospek suatu pabrik dilakukan atas aspek-aspek tertentu, yaitu aspek teknis, aspek manajerial dan administratif, aspek organisasi, aspek pemasaran, aspek finansial, dan aspek ekonomi. Umar (2005) menambahkan bahwa kajian terhadap keadaan dan prospek suatu pabrik juga memerlukan analisis terhadap aspek lingkungan, aspek legalitas, dan aspek sosial dan ekonomi. Aspek-aspek tersebut biasanya dianalisis dengan teknik-teknik tertentu dengan mempertimbangkan manfaat bagi industri tersebut.

1. Aspek Pasar dan Pemasaran

Studi pasar dan pemasaran dapat dikatakan merupakan “darah daging” setiap studi

kelayakan. Bagi suatu proyek baru, pengetahuan dan analisis pasar bersifat menentukan karena banyak keputusan tentang investasi tergantung dari hasil analisis pasar (Simarmata, 1992).

(29)

14 Sutojo (1983) menyebutkan bahwa dalam mengkaji aspek pasar dan pemasaran, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

 Bagaimana produk tersebut dalam pasar dewasa ini.

 Berapa permintaan produk di masa lampau dan sekarang, bagaimana komposisi permintaan tiap segmen pasar serta bagaimana kecenderungan perkembangan permintaan.

 Bagaimana proyeksi permintaan produk pada masa mendatang serta berapa persen dari permintaan dapat diambil.

 Bagaimana kemungkinan adanya persaingan.

Kegunaan dari analisis pasar adalah menentukan besar, sifat, dan pertumbuhan permintaan total akan produk yang bersangkutan, deskripsi tentang produk dan harga jual, situasi pasar dan adanya persaingan, berbagai faktor yang ada pengaruhnya terhadap pemasaran produk, dan program pemasaran yang sesuai untuk produk (Edris, 1993).

2. Aspek Teknik dan Teknologi

Aspek teknik dan teknologi merupakan salah satu aspek penting bagi proyek karena merupakan jawaban dari pertanyaan dapat tidaknya produk tersebut dibuat. Hal ini sangat dirasakan jika bidang usaha yang digunakan bersifat manufacturing atau poros intinya adalah teknologi (Simarmata, 1992).

Berdasarkan analisis aspek teknik dan teknologi dapat diketahui rancangan awal penaksiran biaya investasi. Analisis teknik berhubungan dengan input proyek berupa barang dan jasa dan menguji hubungan-hubungan teknik yang memungkinkan dalam suatu proyek yang diusulkan serta mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam informasi selama perencanaan dan tahap pelaksanaan. Analisis teknik secara spesifik mencakup analisis terhadap ketersediaan bahan baku, proses produksi, mesin dan peralatan, perancangan aliran bahan, analisis keterkaitan antar aktivitas, jumlah mesin dan peralatan, keperluan tenaga kerja, penentuan luas pabrik, dan perancangan tata letak pabrik (Husnan dan Muhammad, 2000).

Sutojo (1983) menyebutkan bahwa evaluasi aspek teknis dan teknologi meliputi hal-hal berikut.

 Penentuan lokasi proyek, yaitu lokasi dimana suatu proyek akan didirikan, baik untuk pertimbangan lokasi maupun lahan proyek. Peubah-peubah yang perlu diperhatikan, antara lain: iklim dan keadaan tanah, fasilitas transportasi, ketersediaan tenaga kerja, tenaga listrik dan air, keadaan dan sikap masyarakat, dan rencana masa depan perusahaan untuk perluasan. Hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu letak konsumen potensial atau pasar sasaran, letak bahan baku, dan peraturan pemerintah.

(30)

15 diraih, kemungkinan pengadaan bahan baku, bahan pembantu dan tenaga kerja, serta tersedianya mesin dan peralatan di pasar sesuai dengan teknologi yang diterapkan.

 Pemilihan teknologi yang tepat yang dipengaruhi oleh kemungkinan pengadaan tenaga ahli, bahan baku dan bahan pembantu, kondisi alam dan lainnya tergantung proyek yang didirikan.

 Penentuan proses produksi yang dilakukan dan tata letak pabrik yang dipilih, termasuk tata letak bangunan dan fasilitas lain. Tata letak pabrik merupakan alat efektif untuk menekan biaya produksi dengan cara menghilangkan atau mengurangi sebesar mungkin semua aktivitas yang tidak produktif.

Lokasi merupakan hal yang penting bagi pendirian suatu perusahaan karena akan mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan menentukan kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Perusahaan yang didirikan tanpa pertimbangan lokasi yang ekonomis, akan mengalami kesulitan dalam menjamin kelangsungan hidupnya. Penentuan lokasi yang kurang tepat merupakan salah satu penyebab perusahaan beroperasi secara tidak efisien dan efektif, sehingga biaya produksi menjadi tinggi. Oleh karena itu, dalam penentuan lokasi suatu industri diperlukan suatu pengkajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dari industri tersebut. Lokasi suatu industri sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, letak sumber bahan baku, daerah pemasaran, serta faktor lingkungan.

Menurut Assauri (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi analisis lokasi suatu industri dapat digolongkan menjadi faktor-faktor utama dan faktor-faktor tambahan. Faktor-faktor utama akan berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan-kegiatan produksi dan distribusi dari industri yang akan didirikan. Faktor-faktor utama tersebut meliputi letak dari pasar, letak dari sumber bahan baku, tingkat biaya dan ketersediaan fasilitas pengangkutan, biaya ketersediaan tenaga kerja, dan adanya pembangkit listrik.

Pola aliran bahan merupakan salah satu langkah yang penting dalam perencanaan fasilitas. Pola aliran dapat dikelompokkan menjadi pola aliran di dalam tempat kerja, pola aliran dalam fasilitas, dan aliran antar fasilitas. Menurut Birchfield (1988), terdapat tiga bentuk umum tata letak ruang kerja, yaitu garis lurus, bentuk U, dan bentuk L dimana setiap bentuk memiliki peruntukkannya sendiri. Bentuk garis lurus sering digunakan untuk mengefisiensikan waktu dan pergerakan. Bentuk U akan memberikan area yang cukup, namun jumlah waktu yang terbuang lebih banyak karena pergerakan pekerja untuk masuk dan keluar ruangan. Analisa aliran bahan sangat diperlukan dalam merancang suatu tata letak industri atau pabrik. Penentuan aliran bagi manajemen, material, aliran bahan, distribusi fisik dan logistik merupakan salah satu langkah dalam perencanaan fasilitas yang sangat penting terutama penentuan pola aliran bahan.

(31)

16 antar kegiatan, yang secara sistematis telah menunjukkan bagaimana kedudukan (letak atau lokasi) suatu kegiatan (ruang) tertentu dikaitkan dengan kegiatan (ruang) yang kain (Apple, 1990).

3. Aspek Manajemen dan Organisasi

Hal yang perlu dipelajari dalam aspek manajemen adalah manajemen selama masa pembangunan proyek yang meliputi pelaksanaan proyek tersebut, jadwal penyelesaian proyek, aktor yang melakukan studi setiap aspek manajemen dalam operasi. Manajemen dalam operasi meliputi bentuk organisasi atau badan usaha yang dipilih, struktur organisasi, deskripsi jabatan, jumlah tenaga kerja yang akan dipergunakan dan anggota direksi serta tenaga-tenaga terinci.

Aspek manajemen dan organisasi dapat digolongkan menjadi dua, seperti dijelaskan di bawah ini:

a. Manajemen proyek, yaitu pengelolaan kegiatan yang terkait dengan mewujudkan gagasan sampai menjadi hasil proyek berbentuk fisik.

b. Manajemen operasi, yaitu menangani kegiatan operasi dan produksi fasilitas hasil proyek (Soeharto,2000).

Aspek manajemen dan organisasi dapat dikelompokkan menjadi manajemen proyek, yaitu pengelolaan kegiatan yang berkaitan dengan mewujudkan gagasan sampai menjadi hasil proyek berbentuk fisik, manajemen operasi atau produksi fasilitas hasil proyek. Lingkup manajemen organisasi meliputi pengelolaan kegiatan yang langsung berhubungan dengan kegiatan memproduksi barang atau memberikan pelayanan. Mulai dari usaha mendapatkan sumber daya, mengkonversikan masukan menjasi produk atau pelayanan yang diinginkan. Masukan tersebut dapat terdiri dari bahan mentah, tenaga kerja, material, energi, dan waktu.

Ariyoto (1990) menyatakan bahwa manajemen merupakan cara mencapai tujuan dari sumber-sumber yang ada. Sumber-sumber ini adalah uang (modal), mesin dan peralatan, personil (tenaga kerja), dan material. Umar (2005) menyatakan bahwa tujuan kajian aspek manajemen adalah mengetahui apakah pembangunan dan implementasi bisnis dapat direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan sehingga rencana bisnis dapat dinyatakan layak atau sebaliknya.

Aspek manajemen operasional adalah suatu fungsi atau kegiatan manajemen yang meliputi perencanaan organisasi, staffing, koordinasi, pengarahan, dan pengawasan terhadap operasi perusahaan (Umar, 2005). Penelitian aspek manajemen dan organisasi mencakup dua hal, yaitu struktur organisasi dan manajemen tenaga kerja yang mencakup kebutuhan tenaga kerja, kualifikasi tenaga kerja, dan pembagian tugas kerja (Behrens dan Hawranek, 1991).

4. Aspek Legalitas

Aspek legalitas penting karena menyangkut hukum yang mengatur tingkah laku badan usaha. Untuk menampung aspirasi dalam mencapai tujuan usaha diperlukan suatu wadah untuk menampung kegiatan. Dalam evaluasi yuridis, salah satu pokok pengamatan yang merupakan kekuatan yang menunjang usaha adalah tentang izin-izin yang dimiliki karena dapat dikatakan bahwa izin usaha merupakan syarat legalisasi usaha (Ariyoto, 1990).

(32)

17 sertifikat, serta izin yang diperlukan. Aspek legalitas atau yuridis berguna untuk kelangsungan hidup proyek dalam rangka meyakinkan kreditor dan investor bahwa proyek yang akan dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku (Umar, 2005).

5. Aspek Lingkungan

Pembangunan suatu industri hendaknya tetap memperhatikan kepentingan manusia dan lingkungannya. Pembangunan industri yang baik adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan tersebut dapat terwujud apabila semua komponen dalam perusahaan mengerti pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan dalam setiap tahapan proses produksinya. Kajian aspek lingkungan hidup bertujuan untuk menentukan dapat dilaksanakannya industri secara layak atau tidak dari segi lingkungan hidup. Hal-hal yang berkaitan dengan aspek lingkungan, antara lain: peraturan dan perundang-undangan AMDAL dan kegunaan dalam kajian pendirian industri dan pelaksanaan proses pengelolaan dampak lingkungan (Umar, 2005).

6. Aspek Finansial

Evaluasi aspek finansial dilakukan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan. Selain itu, juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana yang menguntungkan (Djamin, 1984).

Aspek finansial dilakukan setelah selesai evaluasi aspek lain dalam rencana investasi proyek selesai dilaksanakan. Analisis finansial adalah perbandingan antara pengeluaran dengan pemasukan suatu proyek dengan melihat dari sudut badan atau orang yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut memberikan sumbangan atau rencana yang positif dalam pembangunan ekonomi nasional (Jadariah et al,. 1978).

Dari aspek finansial dapat diperoleh gambaran tentang struktur permodalan bagi perusahaan yang mencakup seluruh kebutuhan modal untuk dapat melaksanakan aktivitas mulai dari perencanaan sampai pabrik beroperasi. Secara umum, biaya dikelompokkan menjadi biaya investasi dan biaya modal kerja. Biaya investasi meliputi pembiayaan kegiatan prainvestasi, pengadaan tanah, bangunan, mesin dan peralatan, berbagai aset tetap, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pembangunan proyek. Biaya kerja meliputi biaya produksi (bahan baku, tenaga kerja, overhead pabrik, dan lain-lain), biaya administrasi, biaya pemasaran, dan penyusutan. Kemudian dilakukan penilaian aliran dana yang diperlukan dan kapan dana tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jumlah waktu yang ditetapkan, serta apakah proyek tersebut menguntungkan atau tidak (Edris, 1993).

Modal investasi dalam analisis finansial dibagi menjadi dua, yaitu modal tetap dan modal kerja. Modal tetap dipergunakan antara lain untuk pembiayaan kegiatan prainvestasi, pengadaan tanah, bangunan, mesin dan peralatan, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pembangunan proyek, serta pengadaan dana modal tetap itu sendiri (Sutojo, 1996).

Untuk menghindari salah perhitungan karena timbulnya hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya, maka ditambahkan biaya lain-lain atau biaya yang biasa disebut dengan biaya kontingensi. Nilai yang lazim digunakan dalam menghitung biaya kontingensi adalah sebesar 10% (Sutojo, 1996).

(33)

18 yaitu metode garis lurus dimana perhitungan penyusutan didasarkan pada asumsi bahwa penurunan nilai peralatan atau bangunan berlangsung secara konstan selama umur pemakaian. Rumus untuk menghitung penyusutan berdasarkan metode garis lurus adalah sebagai berikut:

Dimana: D = Biaya penyusutan tiap tahun

P = Harga awal (Rp)

S = Harga akhir (Rp)

L = Perkiraan umur ekonomis (tahun)

Menurut Gray et al. (1993) dalam rangka mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerima atau penolakan atas pengurutan suatu proyek, telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Kriteria investasi yang digunakan adalah Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Payback Period (PBP), dan analisis sensitivitas. Selain itu, diperlukan perhitungan biaya investasi dan kebutuhan modal kerja (Behrens dan Hawranek, 1991).

1. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dan nilai sekarang penerimaan kas bersih (operasional maupun terminal cash flow) di masa yang akan datang pada tingkat bunga tertentu (Husnan dan Muhammad, 2000). Menurut Gray et al. (1993), formula yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut.

∑ [ ]

Dengan Bt = keuntungan pada tahun ke-t

Ct = biaya pada tahun ke-t

i = tingkat suku bunga (%)

t = periode investasi (t = 0,1,2,3,…,n)

n = umur ekonomis proyek

Proyek dianggap layak dan dapat dilaksanakan apabila NPV > 0. Jika NPV < 0, maka proyek tidak layak dan tidak perlu dijalankan. Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar opportunity cost faktor produksi modal.

2. Internal Rate of Return (IRR)

(34)

19 menghasilkan jumlah kas yang sama dengan investasi proyek. Tujuan perhitungan IRR adalah mengetahui persentase keuntungan dari suatu proyek tiap tahunnya. Menurut Kadariah et al. (1999), rumus IRR adalah sebagai berikut.

dengan = NPV bernilai positif

- = NPV bernilai negatif

= discount factor yang membuat NPV positif

- = discount factor yang membuat NPV negatif

Proyek layak dijalankan bila nilai IRR besar atau sama dengan dari nilai discount factor.

3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Perhitungan Net B/C dilakukan untuk melihat berapa kali lipat manfaat yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan (Gray et al., 1993).

Jika Net B/C bernilai lebih dari satu, berarti NPV > 0 dan proyek layak dijalankan, sedangkan jika Net B/C kurang dari satu, maka proyek sebaiknya tidak dijalankan (Kadariah et al., 1999).

4. Break Even Point (BEP)

Break Even Point atau titik impas merupakan titik dimana total biaya produksi sama dengan pendapatan. Titik impas menunjukkan bahwa tingkat produksi sama besarnya dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Menurut Kotler (1993) hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel dapat disajikan pada rumus berikut.

BEP = Total Fixed Cost / [1- (Variabel Cost/ Total Penerimaan)]

5. Pay Back Period (PBP)

Pay Back Period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan meliputi periode waktu yang diperlukan dalam melunasi seluruh pengeluaran investasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai PBP adalah sebagai berikut.

(35)

20 Dengan n = periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt-Ct negative yang terakhir (tahun)

m = nilai kumulatif Bt-Ct negative yang terakhir (Rp)

Bn = manfaat bruto pada tahun ke-n (Rp)

Cn = biaya bruto pada tahun ke-n (Rp)

6. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan parameter aspek finansial yang berpengaruh terhadap keputusan yang dipilih. Apabila nilai unsur tersebut berubah dengan variasi yang relatit besar tetapi tidak berakibat terhadap investasi, maka dapat dikatakan bahwa keputusan untuk berinvestasi pada suatu proyek tidak sensitive terhadap unsur yang dimaksud. Sebaliknya, bila terjadi perubahan yang kecil saja mengakibatkan perubahan keputusan investasi, maka dinamakan keputusan untuk berinvestasi tersebut sensitive terhadap unsur yang dimaksud. Analisis sensitivitas terhadap unsur-unsur yang terdapat di dalam aliran kas meliputi perubahan harga bahan baku, biaya produksi, berkurangnya pangsa pasar, turunnya harga jual produk per unit, ataupun tingkat bunga pinjaman (Soeharto, 2000).

(36)

21

III. METODOLOGI

A. Kerangka Pemikiran

Pengembangan industri tepung dan biskuit dari tepung kepala ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) harus mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu analisis pasar dan pemasaran, analisis ketersediaan bahan baku, analisis teknik dan teknologi, analisis manajemen operasi dan organisasi, analisis legalitas, analisis lingkungan, dan analisis finansial. Hasil dari analisis-analisis tersebut dapat memberikan gambaran mengenai permasalahan-permasalahan yang mungkin ada, sehingga dapat disusun rekomendasi pengembangannya.

Teknik yang dilakukan dalam melakukan studi kelayakan ini adalah dengan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, baik data primer maupun sekunder. Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dihitung perincian biaya investasinya. Sebelum perincian biaya, terlebih dahulu ditentukan asumsi-asumsi. Asumsi-asumsi finansial yang digunakan, antara lain: umur ekonomis proyek, biaya-biaya operasional, kapasitas produksi, jumlah produk yang terjual, dan sebagainya.

Secara konsep, penelitian ini dimulai dengan melakukan studi pustaka sekaligus mempelajari deskripsi produk dan industri tepung dan biskuit berbasis tepung lele. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data dan informasi. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder yang meliputi aspek pasar dan pemasaran, analisis teknik dan teknologi, analisis manajemen dan organisasi, analisis lingkungan dan legalitas, serta analisis finansial. Apabila data yang dikumpulkan belum cukup, maka kembali dilakukan pengumpulan data. Namun jika data dan informasi yang dibutuhkan sudah mencukupi kemudian dilakukan tabulasi data dan analisis pada tiap aspek. Setelah itu dilakukan analisis data dan informasi yang sudah dianalisis disusun alam bentuk laporan lengkap. Setelah disusun dalam bentuk laporan, penelitian selesai. Alir kerangka pemikiran sebagai langkah-langkah penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

B. Pendekatan Studi Kelayakan

(37)
[image:37.595.126.406.79.729.2]

22 Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Mulai

Studi Pustaka, mempelajari deskripsi produk dan industri

Pengumpulan data (primer dan sekunder)

Tabulasi data

Analisis pasar dan pemasaran  Potensi pasar dan persaingan

Segmenting, targeting, positioning, marketing mix

Analisis teknik dan teknologi  Spesifikasi bahan baku

 Ketersediaan bahan baku  Penentuan kapasitas produksi  Penentuan proses produksi

 Neraca massa

 Penentuan lokasi

 Perencanaan tata letak pabrik, bangunan, &fasilitas lain

Analisis manajemen dan organisasi  Struktur organisasi

 Deskripsi kerja  Kebutuhan tenaga kerja

Analisis lingkungan dan legalitas

 Penanganan limbah

 Perizinan pendirian usaha  Peraturan pemerintah  Peraturan izin gangguan

Analisis finansial  Penentuan asumsi

 Biaya investasi  Proyeksi aliran kas

 PBP, IRR, NPV, B/C Ratio, BEP  Analisis sensitivitas

Penyusunan laporan

(38)

23

C. Metode Penelitian

Tahapan yang harus dilakukan pada studi kelayakan ini adalah melakukan analisis masalah dan meneliti aspek-aspek yang berhubungan dengan perancangan kelayakan industri tersebut, yaitu aspek pasar dan pemasaran, aspek teknik dan teknologi, aspek manajemen operasi dan organisasi, aspek lingkungan dan legalitas, dan aspek finansial. Metode studi kelayakan ini terdiri dari pengumpulan data dan analisis data.

1. Pengumpulan Data

[image:38.595.99.543.342.751.2]

Data dan informasi dikumpulkan untuk keperluan analisis aspek-aspek yang berkaitan dengan proses perencanaan suatu analisis industri. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak terkait serta pakar bidang teknik dan teknologi yang sesuai serta gambaran mengenai berbagai aspek ketersediaan bahan baku dan pasar. Data sekunder diperoleh dari laporan, artikel, jurnal, data statistik dari instansi-instansi pemerintah, swasta, balai penelitian, dan sebagainya. Contoh data yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini.

Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang Diperlukan

Jenis Data Sumber Metode Pengumpulan Data

1. Pasar dan Pemasaran

a. Harga jual biskuit

b. Jumlah produksi biskuit

c. Jumlah permintaan biskuit

d. Jenis biskuit terlaris

e. Produk subtitusi biskuit

f. Daftar industri tepung dan biskuit pesaing

g. Jumlah balita KEP

h.Daerah rawan bencana di Indonesia

Pasar, swalayan

BPS

BPS

Swalayan, SPG, konsumen

Ahli gizi, konsumen

Kementerian Perindustrian

BPS, BKKBN

Mitigasi & bencana

Survei

Pengumpulan dokumen

Pengumpulan dokumen

Survei & wawancara

Wawancara

Pengumpulan dokumen

Pengumpulan dokumen

Pengumpulan dokumen

2. Teknik dan Teknologi

a.Daftar lokasi budidaya lele dumbo

b.Kapasitas produksi lele dumbo

c. Harga ikan lele dumbo/kg

d.Teknologi pembuatan tepung ikan lele dumbo

e.Mesin dan alat pembuat tepung ikan lele dumbo

Internet, BPS

Penghasil ikan lele dumbo

Penghasil ikan lele dumbo

Inventor & pakar tepung ikan

(39)
[image:39.595.106

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang Diperlukan
Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data yang Diperlukan (Lanjutan)
Gambar 3.3 Alir Proses Analisis Aspek Teknik dan Teknologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menambah wawasan dan pengetahuan tentang pengaruh substitusi tepung tulang ikan lele (Clarias batrachus) pada pembuatan biskuit terhadap kadar kalsium, tingkat kekerasan biskuit

Selain itu, tepung ikan lele dumbo mengandung sejumlah mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Li et al. Penambahan tepung ikan lele dumbo diharapkan dapat mening-

Uji daya terima biskuit substitusi tepung pisang awak dan ikan lele dumbo dilakukan terhadap 30 ibu balita dan balita di posyandu Perumnas Simalingkar Kecamatan Medan

Kandungan karbohidrat burger surimi ikan Lele Dumbo cenderung meningkat dengan semakin tingginya tepung terigu yang ditambahkan dan semakin berkurangnya surimi

Kandungan karbohidrat burger surimi ikan Lele Dumbo cenderung meningkat dengan semakin tingginya tepung terigu yang ditambahkan dan semakin berkurangnya surimi

Tepung kepala ikan lele dumbo yang digunakan dalam pembuatan crackers dengan tepung kepala ikan lele dumbo memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu 51,15% (bb) sehingga

Volume XLVI, No.l, Mei 2011, pp 14-20 Pengaruh Proporsi Tepung Terigu : Daging Lele Dumbo (Clar i as gariep in u s ) dan Penambahan Mentega Putih Terhadap Kualitas Biskuit

Selain itu, tepung ikan lele dumbo mengandung sejumlah mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Li et al. Penambahan tepung ikan lele dumbo diharapkan dapat mening-