• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kepatuhan Konsumsi Biskuit yang Diperkaya Protein Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Status Gizi dan Morbiditas Balita di Warungkiara, Bantargadung, Kabupaten Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kepatuhan Konsumsi Biskuit yang Diperkaya Protein Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Status Gizi dan Morbiditas Balita di Warungkiara, Bantargadung, Kabupaten Sukabumi"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

BAIQ SEPTIANA HIDAYATI. Corelation compliance toward consumption of African catfish (Clarias gariepinus) enriched biscuits with nutritional status and morbidity among children under five in sub distric of Warungkiara and Bantargadung, Sukabumi. Guided by CLARA M KUSHARTO and DRAJAT MARTIANTO.

The general objective of this study was to analyze corelation compliance toward consumption of African catfish (Clarias gariepinus) enriched biscuits with nutritional status and morbidity among children under five in sub distric of Warungkiara and Bantargadung, Sukabumi. The design of this study using quasy experiments conducted from March - June 2011. The number of samples used was 42 samples are based on the results of anthropometric measurements fall into malnutrition with Z score ≥ -3.0 s/d < -2.0 and get PMT biscuits from District Health Office Sukabumi.

There was significan correlation between compliance in consuming biscuits catfish with morbidity and nutritional status among children under five shown by the results of statistikal tests (p<0.05). Infant morbidity associated highly significant with nutritional status among children under five (p<0.05). There was significant correlation between the way of care from the parent’s with nutritional status among children under five (p<0.05). Parenting is a factor that can affect nutritional status indirectly, while that directly affect the consumption and infection. Food intake of energi and protein samples both significantly associated with nutritional status (p<0.05), which means that if they consumption both of energi and protein better, the nutritional status of children will be better.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak dasar bagi setiap manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Sasaran terpenting pembangunan sumber daya manusia adalah pembangunan bagi anak yang dimulai saat ini. Menurut Khomsan (2004), pertambahan umur anak Indonesia sampai usia balita beresiko besar untuk terpuruk menjadi gizi kurang. Hingga saat ini status gizi anak balita di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Secara Nasional berdasarkan laporan Riskesdas 2010, terdapat sekitar 13% balita menderita gizi kurang. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi 2010 prevalensi gizi kurang di Kabupaten Sukabumi 8,55%. Kecamatan Bantargadung dan Warungkiara merupakan wilayah dengan prevalensi gizi kurang di atas prevalensi gizi kurang Kabupaten Sukabumi yaitu berturut – turut 16.76% dan 8.60%. Jumlah tersebut akan terus bertambah jika tidak segera dilakukan penanggulangan lebih lanjut.

Terdapat hubungan yang erat antara status gizi dengan perkembangan mental anak terutama pada anak usia dini. Kekurangan gizi diantaranya dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan gangguan perkembangan mental anak. Anak-anak yang menderita gizi kurang sebagian besar akan menjadi generasi dengan potensi intelektual dan produktivitas rendah sehingga tidak mampu bersaing dalam era globalisasi (Soekirman,2000).

Disisi lain, Riskesdas (Depkes 2008) melaporkan bahwa di Indonesia penyakit ISPA (> 35%), campak (3.4%) dan diare (16.7%) tertinggi terdapat pada usia balita, demikian juga penyebab kematian balita adalah diare dan pneumonia. Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Sukabumi (2009) juga menunjukkan masih tingginya kejadian sakit balita akibat berbagai jenis penyakit infeksi, antaranya ISPA (15,81%), diare (11,74%), influenza (10.3%) dan dermatitis (7.8%). Masalah gizi kurang (malnutrisi) merupakan faktor penyebab utama tingginya penyakit infeksi dan menurut WHO dan UNICEF hampir 60 % kematian anak diasosiasikan dengan masalah gizi kurang.

Sebagaimana yang dikaji dan diperkenalkan oleh UNICEF (1998) terdapat berbagai penyebab timbulnya masalah gizi pada balita yaitu : pertama, sebagai penyebab langsung yaitu konsumsi dan penyakit infeksi, dan kedua, penyebab tidak langsung yaitu pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan, kesehatan lingkungan dan ketahanan pangan keluarga. Peranan keluarga

(3)

terutama ibu dalam mengasuh anak sangat menentukan tumbuh kembang anak. Pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin tumbuh kembang yang optimal. Pengasuhan anak dalam hal perilaku yang dipraktikkan pengasuh (ibu, bapak, nenek, atau orang lain) dalam hal pemberian makan, pemeliharaan kesehatan, dan stimulasi mental serta dukungan emosional dan kasih sayang akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan intelektual anak.

Menurut Soekirman (2000), untuk menanggulangi masalah gizi kurang diperlukan upaya penanggulangan yang menggunakan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi dengan cara memperbaiki aspek lingkungan hidup anak seperti pola asuh, pendidikan ibu, kesehatan lingkungan , mutu pelayanan kesehatan serta perbaikan pola konsumsi. Salah satu bentuk perbaikan konsumsi adalah melalui pemberian makanan tambahan (PMT). Hasil evaluasiWorld Food ProgramWFP (WFP dan FKM UNAIR 2008) dan Widayani (2007) menunjukkan bahwa PMT dalam bentuk biskuit memiliki daya terima yang baik pada balita. Biskuit yang digunakan sebagai makanan tambahan kenyataannya masih berupa makanan pabrikan yang berbasis tepung terigu dan belum banyak diperkaya dengan pangan lokal yang kaya akan gizi seperti produk perikanan. Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah yang memiliki lebih dari 40% wilayah berupa laut, pantai, dan pesisir. Sungai yang mengalir di Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi penghasil produk perikanan ikan tawar dan ikan laut.

Optimalisasi penanganan masalah gizi pada balita melalui diversifikasi pengembangan formula makanan tambahan merupakan salah satu solusi dalam menurunkan prevalensi gizi kurang. Namun, pengoptimalan program PMT masih kurang, seringkali PMT tidak efektif karena rendahnya kepatuhan dan atau kualitas produk yang tidak sesuai dengan preferensi konsumen.

(4)

Tujuan

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kepatuhan konsumsi biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan status gizi dan morbiditas balita gizi kurang di Kecamatan Warungkiara dan Bantargadung, Kabupaten Sukabumi.

Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi karakteristik balita dan keluarga balita penerima PMT biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

2. Mempelajari pola asuh Ibu (pola asuh makan, pelayanan kesehatan dasar dan pola asuh hidup bersih) balita penerima PMT biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

3. Mempelajari kondisi lingkungan tempat tinggal balita penerima PMT biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

4. Mengetahui konsumsi energi dan protein balita penerima PMT biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

5. Mengevaluasi tingkat kepatuhan balita dalam mengkonsumsi PMT biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

6. Menganalisis hubungan kepatuhan konsumsi biskuit lele, pola asuh, konsumsi energi dan protein dengan status gizi dan morbiditas balita penerima PMT biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Hipotesis

Ho : Tidak ada hubungan kepatuhan konsumsi biskuit lele,pola asuh, konsumsi energi dan protein dengan morbiditas dan status gizi balita penerima PMT biskuit diperkaya tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

(5)

Kegunaan penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti serta sebagai pengembangan ilmu khususnya mengenai keistimewaan biskuit yang diperkaya tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang tidak hanya dapat meningkatkan protein biskuit namun juga mengandung asam amino yang cukup lengkap dengan daya cerna yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan status gizi balita.

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Gizi Kurang pada Balita

Status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat-zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara yaitu melalui penilaian klinis, biokimia dan antropometri (Riyadi, 1995). Menurut Almatsier (2003) status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan umurnya. Anak yang berusia 1-3 tahun (batita) merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Sedangkan anak usia 3-5 tahun (prasekolah) merupakan konsumen aktif, yang berarti bahwa anak-anak sudah dapat memilih makanan sendiri. Anak-anak pada usia pra sekolah menurut Khomsan (2004) sering dianggap sedang memasuki fase Jonny won’t eat(anak sering tidak mau makan)

Usia balita merupakan periode paling kritis dalam kehidupan manusia. Bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim disebut balita, dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan yang rawan terhadap kekurangan gizi. Gizi kurang pada balita diakibatkan konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein dan atau karena gangguan kesehatan. Sejak sebelum merdeka hingga sekarang pada anak-anak khususnya balita masih merupakan masalah yang memprihatinkan (Soekirman 2000).

Pada umumnya balita adalah periode usia yang juga banyak menderita penyakit dan infeksi, dengan angka kematian yang relatif paling tinggi dibandingkan periode umur lainnya (Hastuti 2008). Oleh karena itu kebutuhan gizi merupakan kebutuhan yang penting dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan balita. Hidayat (2004) menyebutkan bahwa manfaat gizi dalam tubuh adalah dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak, serta mencegah terjadinya berbagai penyakit akibat kurang gizi dalam tubuh seperti kekurangan energi dan protein yang dapat menghambat tumbuh kembang anak.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gizi Kurang pada Balita

Kurang gizi dianggap sebagai masalah ekologi karena merupakan hasil akhir dari berbagai pengaruh faktor-faktor yang saling berinteraksi di dalam ekologi (lingkungan) fisik, biologi dan budaya masyarakat. Pada umumnya kurang gizi terjadi karena kemiskinan, keterbatasan ketersediaan pangan,

(7)

pengetahuan gizi rendah, kebiasaan makan dan faktor lainnya (Suhardjo 1989). Namun ada fakta yang menunjukkan bahwa gizi kurang tidak selalu terjadi pada keluarga-keluarga miskin atau tinggal di lingkungan yang kumuh. Dengan kata lain, anak-anak yang mengalami gizi kurang dapat ditemukan pada keluarga-keluarga mampu (tidak miskin) yang hidup di lingkungan masyarakat yang cukup baik.

Menurut (Engel, Manon dan Haddad,1997) anak balita yang mengalami gizi kurang salah satunya disebabkan oleh kurangnya kepedulian ibu dalam mengasuh anak terutama dalam pemberian makanan misalnya ibu membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum makan. Lebih rinci faktor-faktor yang menyebabkan gizi kurang pada balita akan dijelaskan sebagai berikut.

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumahtangga) pada waktu tertentu. Konsumsi merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2003).

Frekuensi makan dapat menunjukkan tingkat kecukupan konsumsi gizi. Semakin tinggi frekuensi makan, maka semakin besar kemungkinan terpenuhinya kecukupan gizi. Frekuensi makan pada seseorang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang dengan kondisi ekonomi yang lemah memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak dapat mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang cukup. Ketiadaan pangan dapat mengakibatkan berkurangnya asupan seseorang (Arisman 2009).

(8)

bahwa telaah tentang konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi.

Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan untuk melakukan aktivitas (internal dan eksternal), dan mempertahankan daya tahan tubuh. Kebutuhan gizi merupakan sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan. Kekurangan atau kelebihan konsumsi zat gizi dari kebutuhan normal jika berlangsung dalam jangka waktu lama dapat membahayakan kesehatan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Kesehatan (Infeksi)

Sebagaimana Negara berkembang lainnya masalah kesehatan anak di Indonesia masih berupa : (1) penyakit infeksi, pada umumnya infeksi saluran nafas dan penyakit-penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi ; (2) penyakit diare ; dan (3) masalah gizi khususnya malnutrisi. Keadaan status gizi anak merupakan akibat interaksi berbagai faktor, yang paling utama adalah dua faktor yaitu konsumsi dan infeksi (Soekirman 2000). Penyakit infeksi dan status gizi seorang anak masih sering dianggap sebagai dua hal yang terpisah. Sebenarnya antara dua faktor yang sama-sama menentukan kesehatan anak ini terdapat hubungan yang timbal balik yang sangat erat dan saling mempengaruhi.

Penyakit infeksi seperti diare, campak, dan infeksi saluran nafas bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu mempengaruhi nafsu makan, dapat menyebabkan kehilangan makanan karena diare/muntah-muntah, atau mempengaruhi metabolisme makanan. Secara umum defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan defisiensi sistem kekebalan tubuh. Selain infeksi oleh kuman dan virus, infeksi dapat berupa masuknya parasit ke dalam tubuh yaitu cacing / kecacingan (Arisman 2009).

(9)

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Umur orang tua. Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan usia muda cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada anak dan keluarga (Hurlock 1993).

Pendidikan Orang Tua. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, (Sukandar 2007). Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila pendidikan dan pengetahuan dalam berbagai bidang gizi yang dimiliki orang tua baik, maka keadaan gizi anak juga baik (Riyadi 2006). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga lebih banyak informasi yang diperoleh. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi. Latar belakang pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk konsumsi pangan sehari-hari (Engle et al. 1997). Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik (Madanijah 2003).

Pekerjaan Orang Tua. Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Besar pendapatan yang diterima individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan (Suhardjo 1989). Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Engelet al. 1994). Bila mereka bekerja maka akan diupah lebih tinggi dibanding dengan orang yang berpendidikan rendah. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan individu akan berpengaruh terhadap besar pendapatan yang akan diterimanya. Kemampuan individu menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup dipengaruhi oleh pendapatan dan daya beli yang cukup.

(10)

anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan dalam hubungannya dengan pengeluaran pangan rumah tangga. Besar kecilnya anggota keluarga dapat mempengaruhi kebutuhan keluarga, semakin besar anggota keluarga maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan keluarga akan tinggi ( Lumeta 1987).

Peningkatan jumlah keluarga menurunkan konsumsi pangan hewani dan pangan sumber karbohidrat diganti dengan yang lebih murah atau dalam porsi yang lebih kecil (Hartog et al. 1995). Menurut BKKBN (1998), jumlah anggota keluarga dapat diklasifikasikan sebagai besar keluarga dalam tiga kategori, yaitu kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (> 7 orang). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara besar keluarga dengan kurang gizi pada masing-masing keluarga.

Pendapatan Keluarga. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan lebih dominan daripada kebutuhan non pangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan akan pangan sudah terpenuhi (Husainiet al. 2000).

(11)

Pola Asuh

Pola pengasuhan merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, dan memberi kasih sayang. Oleh karena itu menurut Hastuti (2008) pola pengasuhan mencakup pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat, pengasuhan akademik, pengasuhan sosial ekonomi, serta pengasuhan moral dan disiplin. Pola pengasuhan tersebut berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum,pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran keluarga dalam masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat dari ibu atau pengasuh (Soekirman 2000). Dalam penelitian Diana (2004) di Sumatera Barat, pola asuh anak yang kurang akan mempunyai resiko anak balita KEP 1,5 kali dibandingkan dengan anak balita yang dengan pola asuh cukup. Selain itu Diana (2004) juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh adalah pendidikan ibu,pekerjaan ibu,umur,dan tingkat pengetahuan ibu.

Pola Asuh Makan. Pola asuh makan merupakan praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makan (Karyadi 1985). Pemberian makanan bergizi mutlak dianjurkan untuk anak melalui peran ibu atau pengasuhnya. Menurut Hastuti (2008) pola asuh makan mengacu pada apa dan bagaimana anak makan, serta situasi pada saat anak makan. Makanan dan minuman bergizi harus dapat disediakan orang tua bahkan sejak masa prenatal (sebelum kelahiran) hingga masa post natal (setelah kelahiran), periode usia bayi, balita, usia prasekolah,usia sekolah hingga periode usia dewasa. Anak telah memiliki kemampuan motorik halus ketika berusia dua tahun, olah karena itu pada usia ini anak dapat dibiasakan untuk memegang sendok makan dan gelas minumnya sendiri, belajar memasukkan makanan ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan baik.

(12)

seperti memberikan rasa nyaman, (5) kuantitas dan kualitas makanan serta (6) cara penyajian dan pemberian makan yang benar (Engel dkk 1997). Apabila praktik pengasuhan yang diterapkan oleh keluarga khususnya ibu yang berkaitan dengan cara dan situasi makan dapat memberikan suasana yang menyenangkan bagi anak, maka ibu tidak akan mengalami kesulitan dalam hal pemberian makan kepada anak. Pada usia anak di bawah lima tahun merupakan masa yang tergolong rawan. Pada umumnya anak mulai susah makan atau suka pada makanan jajanan yang rendah energi dan tidak bergizi. Oleh karena itu perhatian terhadap makanan dan kesehatan bagi anak pada usia ini sangat diperlukan (Hardinsyah & Martianto 1992).

Pola Asuh Hidup Bersih

Kebersihan adalah faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan, Hal ini terlihat dari banyaknya orang yang mendapat penyakit karena tidak memperhatikan faktor kebersihan (Depkes RI 1995). Beberapa penyakit tertentu misalnya penyakit kulit bakteria dan jamur berhubungan erat dengan kebersihan perorangan (personal hygene) (Notoadmojo 2007)

Hygene diri sangat penting diketahui dan dipraktikkan oleh setiap orang untuk kesehatan dirinya maupun kesehatan masyarakat. Hygene diri adalah pengetahuan yang sifatnya individualistis, artinya sangat tergantung dari diri sendiri, yang praktiknya harus diketahui, dimengerti dan dilaksanakan oleh setiap individu (Suklan 2000). Mengingat balita adalah individu pasif, maka penjagaan kesehatannya merupakan tanggung jawab individu dewasa di sekitarnya, terutama oleh orang tuanya (Depkes 1995)

Ruang lingkup kebersihan pribadi meliputi kebersihan kulit, rambut, mata, kuku, hidung, telinga, mulut dan gigi. tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan sesudah buang air besar dan buang air kecil. Anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini seperti memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi sehari dua kali, mandi dengan sabun sehari dua kali, mencuci anggota badan sebelum tidur, menggunakan pakaian bersih dan sebagainya. Selain menjaga kebersihan diri, terpenuhinya pelayanan kesehatan balita juga sangat penting agar status kesehatan balita tetap terjaga. (Depkes 1995)

Pola Asuh Kesehatan (Akses terhadap pelayanan kesehatan dasar)

(13)

serta dapat beraktifitas rutin selayaknya individu normal. Hastuti (2008) menyebutkan bahwa ada dua usaha yang dapat dilakukan orang tua untuk melakukan pola asuh hidup sehat yaitu preventif dan kuratif. Upaya preventif adalah dengan membiasakan pola hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur seperti mandi, keramas rambut,gosok gigi,guting kuku, dan cuci tangan sebelum makan. Upaya tersebut perlu ditanamkan sejak usia dini. Upaya kuratif yang dapat dilakukan meliputi upaya orang tua untuk memberikan pengobatan dan perawatan agar anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit infeksi, dan penyakit lain yang umum terjadi pada anak. Menurut Azwar (1990) pelayanan kesehatan yang baik harus memenuhi minimal tiga persyaratan pokok yakni sesuai dengan kebutuhan pemakaian jasa pelayanan, terjangkau oleh pemakai jasa pelayanan serta terjaminnya mutu. Untuk memenuhi syarat sesuai kebutuhan masyarakat dan keterjaminan mutu, maka pelayanan kesehatan tersebut akan menjadi mahal sehingga tidak dapat dijangkau oleh masyarakat. Salah satu jenis pelayanan kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU). Kartu Menuju Sehat (KMS) yang diperoleh dari posyandu berguna untuk memonitor berat badan anak setiap bulannya.

Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah alat yang memungkinkan dilakukannya pengamatan terhadap pertumbuhan anak dengan cara sederhana yang berfungsi sebagai alat pemantauan gerak pertumbuhan (Arisman 2009). Imunisasi dan vitamin A berguna untuk mencegah timbulnya penyakit tertentu pada balita. Penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi ialah TBC, dipteria, pertunis, tetanus, polio dan campak melalui kegiatan vaksinasi DPT. Pada dasarnya, status gizi anak balita dan perawatan kesehatan dikatakan baik bila berat badannya setiap bulan meningkat (Hardinsyah & Martianto, 1992).

Kondisi Lingkungan

(14)

Sanitasi Lingkungan Perumahan

Keadaan perumahan merupakan salah satu faktor yang menentukan keadaan hygene dan sanitasi lingkungan. Rumah merupakan tempat manusia berlindung dari panas, terik matahari, hujan dan lain-lain yang dapat mengganggu kesehatan, keamanan, dan kenyamanan manusia. Menurut Latfiah et al (2002) rumah dikatakan sehat jika memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Lantai rumah harus mudah dibersihkan misalnya lantai yang terbuat dari keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bambu. Lantai tanah tidak memenuhi syarat kesehatan karena dapat menjadi sumber penyakit seperti cacing dan bakteri penyebab sakit perut.

2. Atap rumah harus kuat dan tidak mudah bocor misalnya genteng, asbes, gelombang, seng, sirap, dan nipah

3. Dinding rumah yang baik adalah tembok yang dapat dicat dan dibersihkan dengan mudah. Menurut Depkes (2008) penggunaan jenis dinding dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteran masyarakat.

4. Ventilasi udara biasanya berupa jendela yang dilengkapi dengan lubang angin.Fungsi ventilasi udara adalah untuk pertukaran udara agar di dalam rumah tetap bersih dan segar. Sebaiknya setiap ruangan mempunyai sedikitnya satu buah jendela yang bisa dibuka dan ditutup sehingga udara dapat mengalir lancar.

5. Rumah harus memiliki sumber air bersih dan sehat. Syarat lokalisasi bertujuan agar sumber air minum terhindar dari kotoran, sehingga perlu diperhatikan jarak sumber air minum dengan cubluk (kakus) lubang galian sampah, lubang galian untuk air limbah dan sumber-sumber pengotor lainnya. Menurt Widyati dan Yuliarsih (2002) jarak sumur dengan WC minimum 10 meter

6. Jumlah kamar mandi sebaiknya disesuaikan dengan jumlah annggota keluarga. Jika anggota keluarga ada empat orang maka paling sedikit harus ada satu kamar mandi. Setiap kamar mandi biasanya dilengkapi dengan jamban atau WC

(15)

digunakan oleh manusia untuk aktivitas sehari-hari akan dibuang lagi dalam bentuk yang sudah kotor dan tercemar. Pembuangan limbah manusia yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Oleh karena itu menurut Sukandar (2007), pembuangan kotoran manusia harus dapat dibuat dengan baik agar tidak mencemari lingkungan sekitar karena di dalam kotoran manusia, banyak sekali terdapat bibit-bibit penyakit yang mampu menyebabkan dan menularkan berbagai penyakit. Selain itu juga menimbulkan bau yang tidak sedap

8. Kandang ternak harus terpisah cukup jauh dari rumah agar rumah terjaga kebersihan dan kesehatannya. Selain itu kandang ternak harus memiliki tempat pembuangan kotoran

Status Gizi dan Morbiditas

Morbiditas dan status gizi merupakan variabel yang mencerminkan status kesehatan. Morbiditas ini meliputi prevalensi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, umur harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (morbiditas). Kesehatan merupakan masalah yang kompleks hingga tidak mungkin diukur semua faktor yang mempengaruhinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena itu diperlukan suatu alat yang dapat memberi indikasi untuk menggambarkan keadaan kesehatan. Indikator kesehatan dapat digunakan untuk mengukur status kesehatan, memonitor kemajuan keadaan kesehatan dan merupakan alat bantu dalam mengadakan evaluasi program kesehatan Depkes (2008).

Faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah penyebab penyakit, manusia, dan lingkungan. Gangguan keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut menimbulkan gangguan kesehatan yang menyebabkan penurunan derajat kesehatan seseorang. Penyebab penyakit dapat berasal dari dalam maupun luar tubuh. Daya tahan tubuh manusia akan mempengaruhi kemudahan terkena penyakit. Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia dan dapat mempengaruhi kehidupannya (Supariasa dkk 2001).

(16)

serta pelayanan kesehatan di daerah tersebut. Sedangkan angka kematian lebih banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi kedokteran sehingga kurang mencerminkan keadaan kesehatan yang sesungguhnya.

Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme. Infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit infeksi (Suhardjo 1989).

Keadaan kesehatan atau adanya infeksi akan berpengaruh terhadap status gizi. Penurunan keadaan gizi dan pertumbuhan akibat adanya kejadian sakit (morbiditas), mekanismenya mencakup penurunan asupan makanan, gangguan penyerapan, gangguan peningkatan kebutuhan gizi, serta peningkatan kerusakan jaringan (Latham 1997). Ada hubungan yang sinergistik antara kejadian sakit dengan status gizi. Infeksi bersama-sama penurunan asupan makanan merupakan sebab utama kurang gizi

Makanan Tambahan serta Peranannya dalam Mengatasi Gizi Kurang

Makanan tambahan adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi yang diberikan pada bayi atau anak di atas 6 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizinya selain dari ASI (Depkes RI, 2000). Tujuan pemberian makanan tambahan pada bayi atau anak diantaranya untuk melengkapi zat-zat gizi yang kurang karena kebutuhan zat gizi akan semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia bayi atau anak. Pemberian Makanan Tambahan merupakan salah satu komponen penting dalam Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan program yang dirancang oleh pemerintah. PMT sebagai sarana pemulihan gizi dalam arti kuratif, rehabilitatif dan sebagai sarana untuk penyuluhan merupakan salah satu bentuk kegiatan pemberian gizi berupa makanan dari luar keluarga.

(17)

mengesampingkan sumber zat gizi lain seperti: padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, ikan, sayuran hijau, kelapa dan hasil olahannya.

Prasyarat pemberian makanan tambahan pada anak adalah nilai gizi harus berkisar 200 – 300 kalori dan protein 5 – 8 gram, mempergunakan bahan makanan setempat dan diperkaya protein nabati/hewani, mempergunakan resep daerah atau dimodifikasi, serta dipersiapkan, dimasak, dan dikemas dengan baik, aman memenuhi syarat kebersihan serta kesehatan. Pemberian makanan tambahan (PMT) diberikan dengan frekuensi minimal 3 kali seminggu selama 100 – 160 hari. PMT yang diberikan dapat berupa makanan selingan seperti biskuit atau makanan lengkap (porsi) kecil.

Program intervensi yang dikhususkan untuk balita yang menderita masalah gizi kurang dikenal dengan sebutan PMT. Jumlah makanan untuk PMT diperkirakan 300-400 kalori dan 15-20 gram protein per 100 gram bahan yang diberikan selama 180 hari makan anak untuk balita dengan status gizi buruk dan 90 hari makan anak untuk balita dengan status gizi kurang

Makanan Tambahan Biskuit ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Standar Nasional Indonesia , biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan percetakan. Dalam prosesnya, biskuit juga dapat ditambahkan dengan bahan tambahan pangan yang diijinkan. Menurut Booberet al (2006) bahwa biskuit konvensional yang tinggi lemak dan gula yang diasosiasikan dengan diet tidak sehat oleh konsumen dapat dimodikasi. Salah satu modifikasi biskuit yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu biskuit dengan subsitusi tepung ikan lele dumbo dan isolate protein kedelai oleh Kusharto et al 2009.

(18)

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang potensial karena kandungan protein yang tinggi yaitu 40%. Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Isolat protein kedelai selain sebagai pengikat dan pengemulsi, juga dapat berfungsi sebagai sebagai additive untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, serta flavour produk (Koswara 1995).

Biskuit dengan subsitusi tepung ikan lele dumbo dan isolate protein kedelai yang dikembangkan oleh Kusharto et al 2009 merupakan biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dan isolat protein kedelai. Komposisi dari PMT biskuit terdiri dari : tepung ikan lele (tepung daging dan tepung kepala), tepung terigu, isolat protein kedelai, telur ayam, gula bubuk, margarin, mentega, dan susu. Dengan komposisi demikian memberikan sumbangan zat gizi yang cukup tinggi. Berikut formulasi biskuit dengan tambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Tabel 1 Formulasi biskuit dengan tambahan tepung ikan dan isolat protein kedelai

Komponen %

Tepung ikan lele 3.5

Tepung kepala ikan lele 1.5

Isolat protein kedelai 10.0

Tepung terigu 25.0

Gula bubuk 18.0

Telur 18.0

Margarin 9.0

Mentega 9.0

Tepung susu 6.0

Total 100.0

Baking powder 8.0

Soda kue 4.0

Sumber : Kushartoet all2009

(19)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kesehatan pada masa anak-anak sangat penting artinya, karena kesehatan pada masa anak-anak menentukan keadaan kesehatannya di masa dewasa. Usia balita adalah usia yang tergolong rawan mengalami gizi kurang. Sebagaimana yang dikaji dan diperkenalkan oleh UNICEF (1998) terdapat berbagai penyebab timbulnya masalah gizi pada balita yaitu : pertama, sebagai penyebab langsung yaitu makanan/konsumsi dan morbiditas (penyakit dan infeksi)

Pemberian makanan tambahan (PMT) biskuit bergizi merupakan salah satu cara untuk meningkatan konsumsi zat gizi pada balita yang mengalami gizi kurang. Makanan tambahan (PMT) biskuit bergizi adalah biskuit yang diperkaya dengan tepung protein ikan lele dumbo yang mengandung zat gizi energi dan protein. Kandungan energi dan protein dari biskuit bergizi tersebut akan dapat mempercepat penambahan kuantitas dan kualitas asupan gizi balita gizi kurang, namun besarnya tambahan asupan gizi yang diperoleh, juga tergantung seberapa besar tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi makanan tambahan.

Kecukupan konsumsi gizi balita selain dipengaruhi biskuit bergizi, juga ditentukan oleh jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari (konsumsi harian). Konsumsi makanan harian balita, selain dipengaruhi langsung oleh ketersediaan pangan keluarga dan pola pengasuhan yang meliputi pola pemberian makan, dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga. Adapun karakteristik keluarga meliputi umur orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar pendapatan dan pengeluaran orang tua , jumlah anggota keluarga diduga mempengaruhi pola asuh kesehatan dan pola asuh makan balita. Semakin sedikit jumlah anggota dalam keluarga, usia orang tua yang masih produktif, pendapatan tinggi serta tingkat pendidikan yang tinggi, diduga penerapan pola pengasuhan menjadi lebih baik dan status gizi balita akan lebih baik. Sedangkan tingkat morbiditas balita secara langsung dapat dipengaruhi oleh pola asuh hidup sehat yang diterapkan ibu, pola pelayanan kesehatan dasar, dan kondisi lingkungan.

(20)

Keterangan :

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pikir hubungan antara tingkat kepatuhan konsumsi biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo dengan status gizi dan morbiditas balita

Konsumsi / intake makanan

Morbiditas (penyakit dan

infeksi) Status Gizi

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

 Umur orang tua

 Pendidikan orang tua

 Pekerjaan Orang tua

 Besar keluarga

 Pendapatan keluarga

Pola Asuh

 Pemberian Makan

 Hidup Sehat

Tingkat Kepatuhan Konsumsi biskuit bergizi

Karakteristik Contoh

 Umur

 Jenis Kelamin

 Urutan

Pelayanan Kesehatan

Kondisi Lingkungan Daya terima

(21)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan waktu

Penelitian mengenai hubungan antara kepatuhan konsumsi biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan status gizi dan morbiditas balita gizi kurang merupakan penelitian pra eksperimental dengan desain one group pretest-postest design. Rancangan penelitian ini tidak menggunakan kelompok kontrol, namun demikian dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan untuk menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya program. Kekurangan dari rancangan penelitian ini yaitu tidak ada jaminan bahwa perubahan yang terjadi pada variabel dependen adalah karena intervensi program, namun demikian hal ini bisa diminimalkan karena pada penelitian ini sampel yang digunakan merupakan sampel dengan homogenitas yang cukup tinggi sehingga pengaruh variabel pengganggu bisa diminimalkan. Penelitian dilakukan selama 88 hari, mulai dari maret hingga juni 2011.

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung mengenai program intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang diperkaya tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang di beberapa puskesmas di Kabupaten Sukabumi. Terdapat 10 puskesmas dari 10 kecamatan yang dijadikan lokasi penelitian payung ini.

Jumlah dan Cara penarikan Contoh

Sampel dalam penelitian ini adalah balita (12-60 bulan) yang berdasarkan hasil pengukuran antropometri (pengukuran berat badan) tergolong dalam gizi kurang dengan Z score ≥ -3.0 s/d < -2.0 dan mendapatkan PMT biskuit bergizi di Kecamatan Warungkiara dan Bantargadung, Kabupaten Sukabumi. Penarikan contoh dilakukan secarapurposivedengan kriteria inklusi sebagai berikut

1. Balita yang berusia 12-60 bulan dengan hasil penimbangan berat badan dan pengukuran status gizi termasuk kategori gizi kurang dengan Z score ≥ -3.0 s/d < -2.0 dan menerima program pemberian PMT biskuit

2. Balita gizi kurang yang tinggal di daerah dataran sedang di Kabupaten Sukabumi

3. Balita tinggal bersama ibu kandung dan Ibu bersedia untuk mengikuti penelitian ini selama 3 bulan dan bersedia untuk diwawancarai

(22)

Jumlah sampel minimal dalam penelitian ini yaitu 38 orang berdasarkan perhitungan dengan rumus yang diacu dari Notoadmojo (2005)

n = N 1 + N (d2) n = 42

1 + 42 (0.052)

= 42 1,105 = 38 orang

Dimana n = besar sampel minimum N = populasi

d = tingkat kepercayaan , dipakai (0.05)

Balita penerima program pemberian makanan tambahan biskuit bergizi di kedua kecamatan tersebut berjumlah 42 balita, dan semuannya telah memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan

Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekuder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara secara langsung dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik keluarga (umur orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga, dan pendapatan keluarga), karakteristik balita (umur balita, jenis kelamin, berta badan dan tinggi badan balita), pola asuh balita, intake makanan balita, morbiditas,tingkat kepatuhan konsumsi biskuit serta status gizi balita. Pola asuh dalam penelitian ini meliputi pola asuh makan dan pola asuh hidup bersih dan pola akses pelayanan dasar

Kabupaten Sukabumi

Kecamatan Warungkiara Kecamatan bantargadung

Peserta program pemberian makanan biskuit bergizi

21 balita 21 balita

(23)

Pola asuh makan yang diteliti terbatas pada apa dan bagaimana balita makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan, meliputi pemberian ASI, kolostrum, pemberian makanan pertama selain ASI dan frekuensi pemberian makan. Pola akses pelayanan dasar yang diteliti meliputi imunisasi dasar dan vitamin A. Imunisasi dasar terbatas pada imunisasi BCG, DPT, dan campak, sedangkan vitamin A merupakan vitamin A dosis tinggi yang diberikan setiap 6 bulan sekali. Pola asuh hidup kebersihan yang diteliti meliputi mencuci tangan ketika menyuapi dan setelah buang air besar, kebiasaan mandi dan menggosok gigi serta pemakaian alas kaki/sandal. Data morbiditas (status kesehatan) yang dievaluasi meliputi : jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit dengan metode wawancara dengan alat bantu form kuesioner.

Data tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi biskuit selama intervensi diperoleh menggunakan form pemantauan yang berisi banyaknya biskuit yang dibagikan kepada balita , biskuit yang dikonsumsi balita per hari dan sisa yang tidak dikonsumsi, siapa yang mengkonsumsi biskuit selain balita dan alasan balita tidak mengkonsumsi biskuit. Observasi dilakukan dengan bantuan petugas gizi puskesmas, bidan desa serta kader setempat yang dilakukan setiap hari dengan melakukan kunjungan langsung ke rumah balita contoh. Pemantauan dilakukan peneliti melalui media komunikasi seperti handphone kepada petugas gizi puskesmas dan melakukan survey lapang langsung setiap bulan hingga akhir intervensi.

Adapun data status gizi diperoleh dengan cara antropometri yaitu mengukur berat badan dan tinggi badan balita. Data sekunder meliputi lokasi demografi wilayah dan penduduk yang diperoleh dari Kantor Kepala Desa setempat.

Tabel 2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

No Variabel Data Cara Pengumpulan

2 Karakteristik balita Nama, umur, jenis kelamin

 Berat dan Tinggi badan

Wawancara langsung dengan kuesioner Pengukuran dan penimbangan langsung 3 Tingkat Kepatuhan Jumlah biskuit yang habis

(24)

No Variabel Data Cara Pengumpulan dengan alat bantu form Recall 2 x 24 jam

6 Status gizi balita Berat dan tinggi badan dan umur

Pengukuran dan penimbangan langsung 7 Status

kesehatan(morbiditas)

jenis penyakit, frekuensi sakit, dan lama sakit

Wawancara langsung dengan kuesioner

8 Kondisi Lingkungan Kepemilikan WC, sumber air minum, kepemilikan tempat

9 Lokasi penelitian Demografi dan penduduk Data sekunder

Pengolahan dan Analisis data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan Microsoft Exel 2007 dan SPSS versi 16,0 for windows. Proses pengolahan data meliputi coding, entry,dan editing data yang dilakukan secara manual dengan menggunakan program komputerMicrosoft Excel. Semua data yang diperoleh dikumpulkan, dikelompokkan kemudian ditabulasi dan dianalisis secara statistik analitik dan deskriptif. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi, persentase, nilai rata-rata dan standar deviasi. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis chi square dan uji t dengan menggunakan Paired Samples T test. Ujichi squaredigunakan untuk menguji hubungan antara tingkat kepatuhan balita mengkonsumsi biskuit dengan status gizi dan morbiditas balita serta menguji hubungan antara morbiditas, pola asuh, dan kondisi lingkungan dengan status gizi balita contoh. Uji t dengan menggunakan Paired Samples T test digunakan untuk mengetahui perbedaan konsumsi, status gizi dan morbiditas balita contoh sebelum dan setelah intervensi.

(25)

Umur orang tua. Data umur orang tua yang diperoleh dikelompokkan menjadi empat kelompok menurut Papalia dan Old (1986) yaitu remaja (< 20 tahun), dewasa awal (20-40 tahun), dewasa tengah (41-65 tahun), dan dewasa akhir (> 65 tahun).

Pendidikan orang tua. Data tingkat pendidikan orang tua diolah dengan mengelompokkannya menjadi enam kategori yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SLTA/sederajat, tamat Perguruan Tinggi.

Pendapatan perkapita. Data pendapatan perkapita perbulan merupakan hasil dari pembagian jumlah pendapatan orang tua dan anggota keluarga lain terhadap jumlah anggota rumahtangga tiap bulannya. Hasil yang diperoleh kemudian diklasifikasikan berdasarkan rata-rata dan standar deviasi

Besar keluarga. Data besar keluarga diketahui dengan menanyakan kepada responden jumlah anggota keluarga. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan menurut kriteria BKKBN (1998), yang diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥ 8 orang)

Pekerjaan orang tua. Data jenis pekerjaan orang tua dibedakan antara ibu dan ayah, untuk pekerjaan ayah di dikategorikan menjadi tidak bekerja, petani punya lahan, buruh tani,buruh non tani, nelayan, pedagang, PNS, pegawai swasta, buruh, jasa (sopir/ojek) , sedangkan pekerjaan ibu dikategorikan menjadi ibu rumah tangga, petani punya lahan,buruh tani pedagang, buruh non tani, jasa.

Karakteristik contoh. Data karakteristik contoh meliputi data umur dan jenis kelamin. Umur contoh dikategorikan menjadi 12-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-60 bulan. Data jenis kelamin contoh terdiri dari 2 kategori yaitu laki-laki dan perempuan (Depkes 2008)

(26)

Kondisi Lingkungan. Data kondisi lingkungan disajikan dalam bentuk pertanyaan tertutup mengenai kondisi fisik rumah, sumber air minum, dan sarana pembuangan limbah, pembuangan sampah dan penanganannya. Penilaian jawaban pertanyaan dengan rentang 0 sampai 3, dengan nilai 3 sebagai skor paling baik. Total skor yang diperoleh diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu kurang (< 60%), sedang (60-80%) dan baik (> 80%).

Konsumsi balita. Data intake/konsumsi pangan balita digali dengan metode recall24 jam .Recall 2 x 24 jam dilakukan secara berulang yakni 2 kali pada awal dan akhir intervensi. Data konsumsi harian balita dikonversi kedalam zat gizi menggunakan Nutri Survey 2005. Setiap asupan gizi balita contoh dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (2004) setelah dilakukan koreksi berat badan dan kemudian dipresentasikan. Penggolongan tingkat konsumsi dilakukan berdasarkan Depkes (1996), tingkat konsumsi dibagi menjadi lima yaitu : defisit tingkat berat (<70% AKG; 2) defisit tingkat sedang (70-79% AKG;3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); 4) normal (90-119% AKG;5) kelebihan (>120% AKG)

Tingkat kepatuhan. Data tingkat kepatuhan dihitung dengan cara menjumlahkan semua biskuit yang dikonsumsi balita selama 88 hari makan anak (HMA) dibagi dengan jumlah biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh balita selama 88 HMA yaitu 352 keping (4 keping/hari x 88 hari) dikalikan 100%. Penggolongan tingkat kepatuhan konsumsi biskuit dikategorikan berdasarkan kriteria yang ditetapkan Adi tahun 2010 menjadi tiga yaitu rendah jika kepatuhan < 50% ; sedang, jika kepatuhan 50- 70%;dan tinggi jika kepatuhan ≥ 70%.

Status gizi. Pengolahan data status gizi dilakukan dengan menggunakan Microsoft Exel 2007 yang diklasifikasikan berdasarkan standard baku WHO-NCHS 2006yaitu :

Kategori Gizi buruk Z-skor < -3.0

Kategori Gizi Kurang Z-skor ≥ -3.0 s/d Z-skor < -2.0 Kategori Gizi Baik Z-skor ≥ -2.0 s/d Z-skor ≤ 2.0 Kategori Gizi lebih Z-skor > 2.0

Morbiditas. Data morbiditas dihitung berdasarkan kejadian sakit (frekuensi dan lama sakit) selama intervensi kemudian digolongkan menjadi rendah apabila <4, sedang 4-7, dan tinggi ≥ 7

(27)

engan menggunakan chi square. Analisis inferensia yaitu menggunakan uji paired sample t test untuk mengetahui perbedaan konsumsi, status gizi serta morbiditas balita sebelum dengan setelah intervensi dilakukan.

Tabel 3 Cara pengkategorian variabel 4. Dewasa akhir (> 65 tahun)

Pendidikan orang tua Ordinal :

1. keluarga kecil (≤ 4 orang) 1. keluarga sedang (5-7 orang) 2. Keluarga besar (> 7 orang)

(28)

No Variabel Kategori Pengukuran

5 Kondisi lingkungan Ordinal

1. Rendah (< 60%) 2. Sedang (60-80%) 3. Baik (> 80%) 6 Konsumsi / intake makan balita Ordinal

1. Defisit berat (< 70% AKG) 2. Defisit sedang (70-79% AKG) 3. Defisit ringan (80-89% AKG) 4. Normal (90-119% AKG) 5. Lebih (≥120 AKG)

7 Status gizi contoh Indikator BB/U

Ordinal

Gizi buruk Z-skor < -3.0

Gizi Kurang Z-skor ≥ -3.0 s/d < -2.0 Gizi Baik Z-skor ≥ -2.0 s/d Z-skor ≤ 2.0 Gizi lebih Z-skor ≥ 2.0

8 Morbiditas Rasio, frekuensi sakit (kali), lama (hari)

Ordinal

1. Rendah (< 4) 2. Sedang (4-7) 3. Tinggi (≥ 8 )

Definisi Operasional

Intake makanan/konsumsi contohadalah semua makanan dan minuman yang dimakan/dikonsumsi oleh contoh baik yang dari membeli atau dibuat di rumah yang diukur dengan metode food recall 2 x 24 jam pada hari berbeda

Karakteristik keluarga adalah keadaan keluarga berdasarkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan,dan besar keluarga. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang ditamatkan orang tua/pengasuh balita. Pekerjaan adalah jenis kegiatan produktif yang dilakukan orang tua/pengasuh untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pendapatan adalah jumlah penghasilan (nilai uang) keluarga yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga dalam satu bulan terakhir. Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu atap

MorbiditasSuatu kejadian sakit (ISPA, demam, diare,bronchitis, cacar, campak) yang dilihat dari frekuensi dan lama sakit yang pernah diderita oleh contoh selama penelitian berlangsung.

(29)

dalam penelitian ini dibedakan menjadi pola asuh makan dan pola asuh hidup bersih dan pola asuh kesehatan

Pola asuh makan adalah praktik-praktik pengasuhan makan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang meliputi bagaimana balita makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan, meliputi pemberian ASI, kolostrum, pemberian makanan pertama selain ASI dan frekuensi pemberian makan

Pola asuh kebersihan adalah adalah praktik-praktik pengasuhan kesehatan yang diterapkan, pola hygiene sanitasi (mencuci tangan, kebiasaan mandi dan menggosok gigi serta pemakaian alas kaki/sandal)

Pola asuh akses pelayanan dasar adalah praktik-praktik pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang meliputi pola akses pelayanan dasar (posyandu, imunisasi dan vitamin A)

Status gizi balita adalah tingkat keadaan gizi balita yang ditentukan berdasarkan indikator berat badan menurut umur (BB/U) sebagai gambaran perbandingan berat badan dan umur terhadap baku antropometri WHO-NCHS 2006

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Sukabumi merupakan Kabupaten dengan wilayah terluas di Jawa Barat. Posisi geografis Kabupaten Sukabumi terletak di antara 1060 49’

-107000’ Bujur Timur dan 6057’ – 7025 Lintang Selatan (LS) dengan luas wilayah 4128 km2 (412.799,54 Ha). Wilayah Kabupaten Sukabumi berada pada ketinggian berkisar antara 0 – 2960 meter, dengan bentuk topografis wilayah pada umumnya meliputi permukaan yang bergelombang di daerah selatan dan bergunung di daerah bagian utara dan tengah.

Penduduk Kabupaten Sukabumi berdasarkan hasil survey Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) terus meningkat hingga pada tahun 2008 meningkat menjadi 2,376,620 jiwa . Menurut data BPS tahun 2008, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sukabumi mencapai 606.072 jiwa atau 28% dari jumlah penduduk. Sektor atau lapangan usaha yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB adalah pertanian, rata-rata sebesar 38.7%. Fasilitas kesehatan di Sukabumi meliputi 3 unit rumahsakit, 57 unit Puskesmas Inpres, 3044 Posyandu, 73 unit Puskesmas Keliling, dan 94 unit Puskesmas pembantu

Secara tipologi Kabupaten Sukabumi dibagi menjadi 3 wilayah yaitu wilayah dataran rendah, dataran sedang, dan dataran tinggi. Warungkiara dan Bantargadung merupakan 2 Kecamatan yang termasuk dalam kategori dataran sedang karena berada pada ketinggian 300-1000 meter. Sarana transportasi yang biasanya digunakan penduduk di kedua Kecamatan tersebut dari satu Desa ke desa lain yaitu kendaraan umum seperti angkot dan ojek. Kondisi jalan di kedua Kecamatan tersebut masih didominasi dengan kondisi jalan tanah berbatu, jalan yang di aspal hanya jalan utama jalur transportasi menuju wilayah / kecamatan lain. Matapencaharian penduduk Warungkiara dan Bantargadung didominasi oleh buruh, baik sebagai buruh tani maupun buruh non tani, dengan komoditas utama yaitu perkebunan karet dan hasil pertanian seperti ubi kayu.

Prevalensi gizi kurang di Warungkiara dan Bantargadung cukup tinggi apabila dibandingkan dengan prevalensi gizi kurang Kabupaten Sukabumi, berturut- turut 8.60% dan 16.76%. Fasilitas kesehatan di Warungkiara dan Bantargadung masing-masing terdapat 1 unit Puskesmas, 83 unit Posyandu dan 4 unit Puskesmas pembantu di Kecamatan Warungkiara dan terdapat 1 unit Puskesmas, 83 unit Posyandu dan 3 unit Puskesmas pembantu di Kecamatan Bantargadung.

(31)

Karakteristik Balita

Karakteristik balita dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin dan umur . Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan umurnya. Anak yang berusia 1-3 tahun (batita) merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Sedangkan anak usia 3-5 tahun (prasekolah) merupakan konsumen aktif, yang berarti bahwa anak-anak sudah dapat memilih makanan sendiri. Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan umur

Karakteristik Balita n %

Jenis kelamin

Laki-laki 16 38.1

Perempuan 26 61.9

Total 42 100.0

Umur (Bulan)

12-35 24 57.1

36-47 15 35.9

48-60 3 7.0

Total 42 100.0

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh contoh (61.9%) berjenis kelamin perempuan dan sisanya laki-laki. Data yang diperoleh dari BPS Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa jumlah balita perempuan lebih banyak dibandingkan balita laki-laki, sehingga kemungkinan balita yang mengalami gizi kurang adalah balita perempuan.

(32)

Karakteristik Keluarga

Umur Orang tua

Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan usia muda (remaja) cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada anak dan keluarga (Hurlock 1993). Sebaran contoh berdasarkan umur orang tua disajikan pada Tabel 5

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan umur orang tua

Umur (tahun) Ayah Ibu

n % n %

Remaja - - 1 2.4

Dewasa awal 32 76.2 38 90.5

Dewasa Tengah 9 21.4 3 7.1

Dewasa akhir 1 2.4 -

-Total 42 100.0 42 100.0

Tabel 5 menunjukkan bahwa proporsi umur orang tua contoh terbesar terdapat pada usia dewasa awal dengan kisaran umur 20-40 tahun baik ayah (76.2%) maupun Ibu (90.5%), hanya ada 1 Ibu contoh yang tergolong usia remaja. Usia yang tergolong dewasa awal merupakan usia yang cukup matang dalam hal pengasuhan anak.

Pendidikan Orang tua

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak, konsumsi pangan dan status gizi Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga lebih banyak informasi yang diperoleh. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi (Sukandar 2007). Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua disajikan pada Tabel 6

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua

Tingkat Pendidikan Ayah Ibu

n % n %

Tidak Sekolah - - -

-Tidak tamat SD - - -

-Tamat SD/sederajat 21 50.0 30 71.4

Tamat SLTP/ sederajat 12 28.6 9 21.4

Tamat SLTA / sederajat 9 21.4 3 7.1

(33)

Tabel 6 menunjukkan bahwa proporsi terbesar pendidikan orang tua contoh yaitu tamat SD / sederajat baik ayah (50%) maupun ibu (71.4%). Berdasarkan Tabel 6 tidak ada orang tua contoh yang tamat Perguruan Tinggi, dan hanya sedikit yang pendidikannya hingga SLTA baik ayah maupun ibu. Dengan demikian secara keseluruhan tingkat pendidikan baik ayah maupun Ibu masih tergolong rendah, karena sebagian besar hanya berpendidikan SD/sederajat. Menurut Soekirman (2000), pendidikan umum berhubungan dengan ketahanan pangan keluarga dan pola pengasuhan anak. Pendidikan rendah yang dimiliki orang tua berdampak pada status gizi balitanya karena berhubungan dengan pola asuh kepada balitanya. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila pendidikan dan pengetahuan dalam berbagai bidang gizi yang dimiliki orang tua baik, maka keadaan gizi anak juga baik (Riyadi 2006). Pekerjaan Orang tua

Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Besar pendapatan yang diterima individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan (Suhardjo 1989). Sebaran jenis pekerjaan orang tua contoh disajikan pada Tabel 7

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua

Jenis Pekerjaan Ayah Ibu

Tabel 7 menunjukkan bahwa Pekerjaan orang tua (ayah) contoh sebagian besar adalah buruh, baik buruh tani (33.3%) maupun buruh non tani meliputi buruh pabrik maupun buruh bangunan (33.3%), sedangkan Ibu contoh sebagian besar (90.4%) tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, hanya sebagian kecil yang bekerja sebgai pedagang (4.8%) dan buruh tani (4.8%).

(34)

tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar. Pekerjaan merupakan sumber pendapatan keluarga, dengan adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga, maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatannya setiap bulan.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Pendapatan perkapita keluarga contoh perbulan adalah Rp 23.077,00 sampai Rp 625.00,00 dengan rata-rata Rp 150.736,00 ± 107.222. Sebaran contoh berdasarkan kategori pendapatan perkapita contoh disajikan pada Tabel 8

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan perkapita

Pendapatan perkapita n %

< Rp 43.513 2 4.8

Rp 43.513- Rp257.958 37 88.1

>Rp 257.958 3 7.1

Total 42 100.0

Tabel 8 menunjukkan sebaran pendapatan orang tua contoh berdasarkan perhitungan dengan standar deviasi. Sebagian besar contoh berasal dari keluarga dengan pendapatan perkapita Rp 43.513- Rp257.958 (88.1%). Hanya (5 %) contoh yang pendapatan keluarganya < Rp 43.513dan (7%)> Rp 257.958. Menurut BPS (2009), standar Garis Kemiskinan untuk Kabupaten Sukabumi, kategori miskin ada pada pendapatan per kapita <Rp 155.478.00 dan tidak miskin > Rp 155.478.00. Berdasarkan standar garis kemiskinan tersebut sebanyak (62%) keluraga contoh termasuk dalam kategori keluarga miskin dan (38 %) keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga tidak miskin sehingga disimpulkan bahwa sebagian besar keluarga contoh termasuk dalam kategori miskin.

(35)

Besar Keluarga

Menurut BKKBN (1998), jumlah anggota keluarga dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu kecil (<4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (>7 orang). Besar anggota keluarga akan berpengaruh terhadap kebutuhan akan pangan dan non pangan yang akan meningkat. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga disajikan pada Tabel 9

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga n %

Kecil 19 45.2

Sedang 21 50.0

Besar 2 4.8

Total 42 100.0

Berdasarkan kategori besar keluarga tersebut sebagian besar keluarga contoh termasuk dalam kategori besar keluarga sedang (5-7) anggota keluarga yaitu sebanyak 50%, dan yang tergolong keluarga besar hanya 4.8 %. Menurut hasil penelitian Lumeta (1987) semakin besar anggota keluarga maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi semakin meningkat, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan keluarga akan tinggi. Jumlah keluarga yang besar akan mempersulit dalam memenuhi kebutuhan pangan, terutama balita yang memerlukan perhatian khusus karena belum bisa mengurus keperluan sendiri serta dalam masa pertumbuhan.

Pola Pengasuhan

Pola pengasuhan merupakan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat kebersihan, dan memberi kasih sayang. Pola asuh yang dibahas dalam penelitian ini adalah pola asuh makan, pola asuh hidup bersih dan akses terhadap pelayanan kesehatan dasar.

Pola Asuh Makan

Menurut Hastuti (2008) pola asuh makan mengacu pada apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi pada saat makan. Pemberian makanan bergizi mutlak dianjurkan untuk anak melalui peran ibu atau pengasuhnya. Pada penelitian ini pola asuh makan yang diteliti meliputi riwayat pemberian ASI, cara memperkenalkan makanan, cara memberikan makanan, dan tugas menyiapkan makan.

(36)

hingga anak berusia 6 bulan, hal ini artinya bahwa ASI saja sudah dapat mencukupi zat gizi yang dibutuhkan bayi sampai usia enam bulan. Berikut sebaran contoh berdasarkan riwayat pemberian ASI

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pemberian ASI

Riwayat pemberian ASI Ya Tidak

n % n %

Anak diberi ASI ekslusif hingga 6 bulan 23 54.8 19 45.2

Anak diberi kolostrum 26 61.9 16 38.1

Anak diberikan ASI hingga 2 tahun 35 83.3 7 16.7

Anak mulai diberi MP ASI segera setelah usia 6 bulan 23 54.8 19 45.2

Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar Ibu (54.8%) memberikan ASI ekslusif kepada anaknya dan mulai memberikan makanan selain ASI (MP ASI) setelah usia 6 bulan (54.8%) namun demikian masih ada ibu yang tidak memberikan ASI ekslusif kepada anaknya (45.2%) karena sebelum usia 6 bulan anak sudah diberikan makanan lain misalnya bubur, sari buah, dan lain-lain. Muchtadi (2002), menyatakan bahwa bagaimanapun harus diusahakan agar makanan tambahan diberikan setelah bayi berusia 6 bulan. Pemberian makanan tambahan pada anak umur kurang dari 6 bulan memiliki kontaminasi yang sangat tinggi. Terdapat bahaya gastroenteritis yang merupakan penyakit yang serius pada anak. Tujuan pemberian MP ASI setelah usia 6 bulan adalah untuk meningkatkan nilai zat gizi yang diperlukan bayi karena ASI saja tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus menerus (Krisnatuti & Yenrina 2000)

(37)

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan cara pemberian makan

Cara memberikan makan Ya Tidak

n % n %

Ibu memberikan anak makan 3 kali sehari 21 50.0 21 50.0

Ibu menyediakan menu lengkap untuk anak 11 26.2 31 73.8

Ibu membujuk anak apabila tidak mau makan 30 71.4 12 28.6

Ibu mengajari anak untuk makan sendiri 31 73.8 11 26.2

Ibu menyiapkan sendiri makanan untuk anak 38 90.5 4 9.5

Tabel 11 menunjukkan bahwa persentase Ibu yang memberikan makan anaknya sebanyak 3 x sehari dengan Ibu yang tidak memberikan makan 3x sama (50%). Alasan Ibu tidak memberikan makan 3x sehari untuk anaknya karena anak memang setiap harinya tidak mau makan. Hanya sebagian kecil (26.2%) responden / ibu yang menyediakan menu makanan lengkap untuk anaknya. Berdasarkan hasil wawancara dan recall ,Ibu hanya menyediakan makanan dengan komposisi nasi + lauk saja (tempe tahu) tanpa sayur, nasi + telur saja + kecap, dan bahkan hanya nasi + sayur, dengan alasan mahalnya harga pangan seperti daging ayam maupun daging sapi dan juga tergantung dari kesukaan anak. Berdasarkan uraian mengenai pola asuh makan diatas yang kemudian dikategorikan. Sebaran contoh berdasarkan kategori pola asuh makan disajikan pada Tabel 12

Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh makan

Pola Asuh Makan n %

Rendah 23 54.8

Sedang 13 31.0

Baik 6 14.3

Total 42 100.0

Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar (54.8%) responden memiliki pola asuh makan yang rendah, sebanyak (31.0%) sedang dan hanya (14.3 %) Responden yang menerapkan pola asuh makan yang baik kepada anaknya. Pola asuh makan merupakan faktor yang sangat menentukan status gizi anak.

Pola Asuh Kebersihan

(38)

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh perawatan kebersihan

Perawatan kebersihan Ya Tidak

n % n %

Memandikan anak ≥ 2x sehari 42 100.0 0

-Menggosok gigi anak setelah anak makan 12 28.6 30 71.4

Menggosok gigi anak sebelum anak tidur 11 26.2 31 73.8

Menggunting kuku anak minimal 1x/minggu 41 97.6 1 2.4

Mencuci rambut anak minimal 3x/minggu 39 92.9 3 7.1

Mencuci tangan anak sebelum dan setelah makan 19 45.2 23 54.8

Mencuci tangan setelah BAK maupun BAB 41 97.6 1 2.4

Membersihkan mainan anak yang kotor 12 28.6 30 71.4

Melarang anak bermain disekitar sumber pencemaran 22 52.4 20 47.6 Tidak membiarkan anak bermain di tanah tanpa alas kaki 16 38.1 26 61.9

Mencuci tangan dan kaki anak sebelum tidur 2 4.8 40 95.2

Menyuruh anak memakai alas kaki ketika keluar rumah 26 61.9 16 38.1 Menyediakan alas kaki untuk anak ketika kelura rumah 29 69.0 13 31.0

Tabel 13 menunjukkan pola asuh ibu terhadap kebersihan anaknya baik dalam hal memandikan anak, menggunting kuku, mencuci rambut anak serta mencuci tangan setelah BAK dan BAB dengan persentase mencapai (100.0%). Sedangkan untuk perawatan kebersihan lain seperti menggosok gigi anak setelah makan, menggosok gigi anak sebelum tidur, membersihkan mainan anak yang kotor, mencuci tangan dan kaki anak sebelum tidur persentasi Ibu yang menyatakan ya tidak mencapai 50%. Persentase terendah perawatan kebersihan ibu terhadap anaknya yaitu dalam hal mencuci tangan dan kaki anak sebelum tidur dengan presentasi hanya (4.8%). Ibu yang menyatakan tidak mencuci tangan dan kaki anak sebelum tidur dengan alasan tangan dan kaki anaknya tidak kotor. Kebiasaan mencuci tangan harus diawali sejak dini mulai dari rumah. Mencuci tangan merupakan langkah yang cukup penting untuk mencegah penyebaran penyakit.

(39)

Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan kategori perawatan kebersihan

Perawatan kebersihan n %

Rendah 18 42.9

Sedang 20 47.6

Baik 4 9.5

Total 42 100.0

Tabel 14 menunjukkan sebaran responden berdasarkan kategori pola asuh (perawatan kebersihan). Berdasarkan uraian mengenai pola asuh perawatan kebersihan ibu terhadap anaknya diketahui bahwa sebagian besar responden dalam hal perawatan kebersihan anak tergolong sedang yaitu sebesar (47.6 %). Pengasuhan pola hidup sehat / perawatan kebersihan pada anak balita merupakan usaha yang dilakukan orang tua untuk mengajarkan anak berperilaku bersih dan sehat, menjalankan kebiasaan hidup sehat sehingga dapat menjamin kesehatannya dan dapat terhindar dari penyakit (Hastui 2008) Pola Akses Pelayanan Dasar

Pola asuh hidup sehat tidak hanya dapat dilakukan secara preventif tetapi juga secara kuratif. Menurut Hastuti (2008), upaya kuratif yang dapat dilakukan meliputi upaya orang tua untuk memberikan pengobatan dan perawatan agar anak selalu berada dalam kondisi terbebas dari penyakit infeksi, dan penyakit lain yang umum terjadi pada anak.

Pola pengasuhan kesehatan yang dilakukan pengasuh dalam mengakses pelayanan kesehatan dasar yang diteliti meliputi keaktifan Ibu membawa anak ke dokter/bidan/puskesmas ketika sakit, mengikuti posyandu, imunisasi dasar, dan vitamin A dosis tinggi yang diperoleh balita sebagai upaya memberikan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit infeksi. Sebaran responden berdasarkan pola akses pelayan dasar disajikan pada Tabel 15.

(40)

yang terisi penuh dengan alasan KMS hilang dan tidak membawa saat posyandu.

Vitamin A dosis tinggi yang diberikan kepada balita sangat penting sebagai upaya memberikan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit infeksi serta untuk menjaga kesehatan mata anak sejak dini. Berdasarkan data hasil penelitian diketahui bahwa seluruh ibu memperoleh vitamin A selama satu tahun terakhir. Walaupun masih ada Ibu yang tidak menghadiri Posyandu, namun distribusi vitamin A baik karena kesadaran petugas kesehatan maupun KADER posyandu yang mengunjungi rumah-rumah yang balitanya tidak datang saat peberian vitamin A.

Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan pola akses pelayan dasar

Akses Yankes Ya Tidak

n % n %

Mengajak ke posyandu tiap bulan (6 bulan terakhir) 35 83.3 7 16.7

KMS dan KIA terisi penuh 28 66.7 14 33.3

Anak mendapatkan vitamin A (1 tahun terakhir) 42 100.0 -

-IMUNISASI imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit pada anak. Program imunisasi untuk penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi pada anak mencakup satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT, empat kali imunisasi polio, satu kali imunisasi campak, dan tiga kali imunisasi hepatitis B (Depkes 2008). Tabel 15 menunjukkan sebagian besar contoh diberikan semua jenis imunisasi dengan persentase (88.1%-95.2%). Responden yang menyatakan anaknya tidak mendapatkan imunisasi karena menurut keterangan mereka setelah imunisasi anak menjadi sakit sehingga timbul kekhawatiran pada Ibu untuk kembali membawa anak mereka untuk mendapatkan imunisasi.

Gambar

Tabel 1  Formulasi  biskuit  dengan  tambahan  tepung  ikan  dan  isolat  protein kedelai
Gambar  1 Kerangka  pikir hubungan antara tingkat  kepatuhan  konsumsi biskuit yang diperkaya protein tepung ikan lele dumbo dengan status gizi dan morbiditas balitaKonsumsi /intake makanan Morbiditas (penyakit daninfeksi)Status Gizi
Tabel 2 Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembuatan garam farmasi pada pabrik ini menggunakan proses vacuum pan yang biasanya digunakan saturated brine atau leburan garam kasar yang berasal dari

Adapun uraian proses pembuatan kitosan dari kitin dengan proses deasetilasi adalah sebagai berikut : Pertama-tama kitin dalam bentuk serbuk 100 mesh dari supplier ditampung pada

Hasil penelitian menunjukkan bahwa independensi auditor berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, sementara

Aktivitas Antioksidan Formula Ekstrak Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk), Jambu Biji (Psidium guajava Linn) dan Salam (Eugenia polyanta Wight).. Program Studi

Sebuah cara sederhana dengan memanaskan secara kilat ( flash-heating ) air susu ibu (ASI) yang terinfeksi HIV berhasil membunuh virus yang mengambang bebas di ASI,

untuk usaha pembudidaya di kolam terjadi peningkatan volume produksi karena tidak terpengaruh oleh kebijakan Menteri tentang moratorium tersebut, demikian halnya dengan budi daya

Adapun skripsi yang akan penulis ajukan ini adalah sebagai lanjutan dan pengembangan dari penelitian yang telah ditulis oleh para peneliti sebelumnya,

Menyatakan Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor