• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pest Risk Analysis (PRA) for Leptocybe invasa (Hymenoptera: Eulophidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pest Risk Analysis (PRA) for Leptocybe invasa (Hymenoptera: Eulophidae)"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RISIKO ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN

UNTUK Leptocybe invasa (Hymenoptera: Eulophidae)

DWI WAHIDATI OKTARIMA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan (AROPT) untuk Leptocybe invasa

(Hymenoptera: Eulophidae) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Jakarta, 20 April 2012

Dwi Wahidati Oktarima

(3)

ABSTRACT

DWI WAHIDATI OKTARIMA. Pest Risk Analysis (PRA) for Leptocybe invasa

(Hymenoptera: Eulophidae). Supervised by NINA MARYANA and AUNU RAUF.

Any measures against the introduction and spread of new pests must be justified by a science-based pest risk analysis (WTO 2011). PRAs are an essential component of plant health policy, allowing trade to flow as freely as possible, while minimizing to a reasonable and justifiable extent the risk of introduciton of plant pests. Leptocybe invasa is currently becoming threat to eucalyptus plantation in the world. The insect forms bump-shaped galls on the leaf midribs, petioles and stems of new growth of several Eucalyptus species (Mendel et al. 2004). L. invasa can cause death in seedlings and young plants and cause significant economic losses in many countries. First objective of this research was to identify and evaluate risk of introduction, established and spread of L. invasa into and within Indonesia, the second was to identify the pest risk management. The PRA preparation based on semi-quantitative method. There were three stages of PRA process, initiation, risk assessment and risk management. The risk assessment results indicated that L. invasa categorized into a high risk potential to entry to Indonesian territory through eucalyptus plants and seedlings. On the other hand, eucalyptus seeds, plant tissue culture and woods have a moderate risk potential to entry to Indonesian territory. L. invasa

was also have a high risk potential to established, spread and cause economic consequences in Indonesia. The overall risk assessment indicated that L. invasa

have a high risk potential to entry, established, spread and cause economic consequences into Indonesia territory through seeds, plant tissue culture, seedlings, woods and eucalyptus plants importation. At the end of risk management process, general and technical requirements were determined due to the importation of Eucalyptus spp.

(4)

DWI WAHIDATI OKTARIMA. Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan (AROPT) untuk Leptocybe invasa (Hymenoptera: Eulophidae). Dibimbing oleh NINA MARYANA dan AUNU RAUF.

Peningkatan lalu lintas material tanaman tergambar melalui makin maraknya blok perdagangan antar negara di dunia, hal tersebut membawa konsekuensi peningkatan risiko introduksi OPT/OPTK melalui media pembawa yang diperdagangkan. Menurut International Plant Protection Convention (IPPC) dan World Trade Organisation Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (perjanjian SPS-WTO), setiap tindakan yang menyangkut introduksi dan penyebaran hama baru harus melalui proses analisis risiko OPT (AROPT) yang didasarkan dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan (WTO 2011). AROPT merupakan komponen penting dalam pengambilan kebijakan di bidang kesehatan tanaman yang memungkinkan perdagangan mengalir sebebas mungkin dan memperkecil risiko introduksi hama sampai batas yang wajar dan dapat dibenarkan.

Salah satu hama baru yang memiliki potensi masuk ke wilayah Indonesia adalah Leptocybe invasa (Hymenoptera: Eulophidae). L. invasa diketahui hanya menyerang tanaman dari genus eucalyptus. Saat ini L. invasa tengah menjadi ancaman bagi tanaman eucalyptus di lebih dari 30 negara di dunia. Serangga merusak dengan membentuk puru pada tulang daun, petiol, batang maupun tunas pada beberapa spesies eucalyptus (Mendel et al. 2004). Serangan L. invasa mampu menyebabkan kematian pada bibit dan tanaman eucalyptus muda. Serangan semakin menurun dengan bertambahnya umur tanaman. Kerugian ekonomi akibat kematian bibit dan tanaman eucalyptus muda juga cukup signifikan di beberapa negara. Frekuensi dan volume importasi bibit dan hasil tanaman Eucalyptus spp. yang cukup besar selama dua tahun terakhir membawa risiko masuk, menetap, menyebar serta menimbulkan dampak ekonomi di wilayah Republik Indonesia. Atas dasar alasan tersebut maka L. invasa dipilih sebagai serangga model dalam penelitian ini.

Tujuan penelitian ini antara lain untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko masuk, menetap dan tersebarnya L. invasa ke dalam dan di dalam wilayah Indonesia, serta mengidentifikasi pengelolaan risiko OPT. Penyusunan AROPT pada penelitian ini dilakukan berdasarkan metode semi kuantitatif. Proses AROPT dilakukan melalui tiga tahap yaitu inisiasi, penilaian risiko dan pengelolaan risiko OPT. Hasil penilaian potensi menunjukkan bahwa L. invasa

masuk ke dalam kategori potensi risiko tinggi untuk masuk melalui media pembawa dalam bentuk bibit dan tanaman eucalyptus hidup. Sedangkan untuk media pembawa dalam bentuk benih (biji), kultur jaringan dan hasil tanaman eucalyptus mati mempunyai potensi risiko sedang. Potensi risiko menetap dan menyebar L. invasa di wilayah RI tergolong tinggi. Penilaian konsekuensi masuk

L. invasa ke wilayah RI juga tergolong tinggi. Pada akhir penilaian risiko dihasilkan bahwa terhadap pemasukan media pembawa eucalyptus dalam bentuk benih (biji), kultur jaringan, bibit, tanaman hidup dan hasil tanaman mati mempunyai risiko tinggi untuk masuk, menetap, menyebar dan menimbulkan dampak di wilayah RI. Pada tahap pengelolaan risiko selain ditentukan persyaratan umum karantina tumbuhan, juga kewajiban tambahan untuk direkomendasikan dalam kegiatan importasi Eucalyptus spp.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

ANALISIS RISIKO ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN

UNTUK Leptocybe invasa (Hymenoptera: Eulophidae)

DWI WAHIDATI OKTARIMA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

(AROPT) untuk Leptocybe invasa (Hymenoptera: Eulophidae)

Nama Mahasiswa : Dwi Wahidati Oktarima

Nomor Pokok : A352100204

Program Studi : Entomologi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si.

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc.

Diketahui

Ketua Program Studi Entomologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan untuk Leptocybe invasa

(Hymenoptera: Eulophidae) ini dilaksanakan dengan tujuan mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko masuk, menetap dan tersebarnya L. invasa ke dalam wilayah Indonesia; mengidentifikasi kerugian ekonomi yang ditimbulkan serta mengidentifikasi manajemen risiko untuk mencegah masuknya L. invasa melalui importasi media pembawanya yaitu Eucalyptus spp.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran yang positif. Kepada Bapak Hermawan, SP. M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan koreksi tesis, serta teman-teman program kelas khusus angkatan ke-dua Ratih, Erna, Aulia, Aprida, Yuli, Arif, Nurul, Selamet, Catur, Riri, Joni, Fitri, Rahma dan Lulu yang telah banyak memberi saran dan masukan untuk tesis ini penulis ucapkan terima kasih. Selain itu, penghargaan disampaikan untuk Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi melalui beasiswa yang bekerjasama dengan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada bapak, ibu, suami tercinta Dwi Adi Maryandi, anak-anakku tersayang Daresh Athaya Nafiandi dan Danendra Alby Naya atas segala doa, dukungan serta kasih sayang yang dicurahkan sehingga semua dapat dilalui dengan baik.

Semoga bermanfaat.

Bogor, 20 April 2012

(10)

RIWAYAT HIDUP

Dwi Wahidati Oktarima dilahirkan di Purbalingga pada tanggal 27 Oktober 1983 sebagai anak sulung dari pasangan bapak Basiran dan ibu Adis Nani. Penulis menikah dengan Dwi Adi Maryandi dan dikaruniai dua orang anak laki-laki bernama Daresh Athaya Nafiandi dan Danendra Alby Naya.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 47 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun 2005.

(11)

xv

Bentuk Media Pembawa dan Tujuan Pemasukan Media Pembawa ... 26

Frekuensi dan Volume Pemasukan Media Pembawa .. 27

Kemungkinan OPT Bertahan Hidup Selama Trans- portasi dan Lolos dari Deteksi di Tempat Pemasukan .. 28

Kemampuan Invasi ... 29

Penyebaran OPT ... 30

Cara Hidup dan Kemampuan Bertahan ... 30

Penilaian Potensi Menetap ... 31

Tipe Reproduksi dan Jumlah Individu Awal untuk Perkembangbiakan populasi ... 31

(12)

Kesesuaian Lingkungan ... 32

Penilaian Potensi Menyebar ... 32

Kemampuan Menyebar Segera Setelah Menetap ... 32

Ketersediaan Musuh Alami ... 33

Kesulitan Dilakukan Eradikasi ... 34

Penilaian Potensi Menimbulkan Masalah Ekonomi, Sosial dan Lingkungan ... 34

Potensi Kerugian yang Ditimbulkan ... 34

Potensi Menimbulkan Kehilangan Pasar ... 35

Potensi OPT sebagai Vektor Penyakit Tanaman ... 36

Potensi Menimbulkan Biaya Tambahan Akibat Pengendalian ... 36

Potensi Menimbulkan Kerusakan Lingkungan ... 36

Potensi Menimbulkan Masalah Sosial di Masyarakat ... 37

Pengelolaan Risiko ... 39

PEMBAHASAN UMUM ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Daerah sebar eucalyptus yang menjadi tanaman inang L. invasa di

Indonesia ... 20

2 Volume dan frekuensi pemasukan bibit dan hasil

tanaman Eucalyptus sp. selama dua tahun ... 27 3 Persebaran L. invasa di dunia ... 30 4 Musuh alami L. invasa dan persebaranya ... 33 5 Hasil penilaian potensi risiko masuk L. invasa terhadap bentuk

pemasukan eucalyptus yang berbeda ... 38

6 Hasil penilaian potensi risiko menetap dan menyebar L. invasa di

Indonesia ... 38

7 Hasil penilaian potensi L. invasa dalam menimbulkan dampak

ekonomi, sosial dan lingkungan ... 39

8 Ringkasan hasil penilaian potensi risiko L. invasa masuk, menetap, menyebar dan menimbulkan kerugian ekonomi di Indonesia

(14)

Halaman

1 L. invasa ... 10

2 Lima tahap perkembangan puru akibat serangan L. invasa pada tanaman Eucalyptus sp. ... 12

3 Parasitoid L. invasa ... 15

4 Parasitoid larva L. invasa asal Australia ... 16

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Penilaian potensi risiko OPT ... 54 2 Parameter penilaian potensi risiko OPT ... 55 3 Perkiraan kerugian yang ditimbulkan akibat serangan L. invasa ... 60 4 Perkiraan tambahan biaya pengendalian kimiawi akibat serangan

(16)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Peningkatan lalu lintas material tanaman tergambar melalui makin

maraknya blok perdagangan antar negara di dunia, hal tersebut membawa

konsekuensi peningkatan risiko introduksi OPT/OPTK melalui media pembawa

yang diperdagangkan. Menurut International Plant Protection Convention (IPPC) dan World Trade Organisation Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (perjanjian SPS-WTO), setiap tindakan yang menyangkut introduksi dan penyebaran hama baru harus melalui proses analisis

risiko OPT (AROPT) yang didasarkan dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan

(Deptan 2006, Deptan 2009, WTO 2011).

Perdagangan komoditas pertanian antar negara membawa risiko terhadap

berpindahnya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) maupun organisme

pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) dari suatu negara ke negara lain.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina

Tumbuhan, yang dimaksud dengan Organisme Pengganggu Tumbuhan adalah

semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau

menyebabkan kematian tumbuhan, sedangkan Organisme Pengganggu

Tumbuhan Karantina (OPTK) adalah semua organisme pengganggu tumbuhan

yang ditetapkan oleh menteri untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya

di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

OPTK dibagi atas dua kategori yaitu: (1) OPTK A1, adalah Organisme

Pengganggu Tumbuhan Karantina yang belum ada di wilayah Negara Republik

Indonesia; (2) OPTK A2, adalah Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina

yang keberadaannya sudah ada di beberapa area di wilayah Negara Republik

Indonesia, yang penyebarannya dicegah ke area lainnya di wilayah Negara

Republik Indonesia (Deptan 2002).

Menghadapi era perdagangan bebas terdapat kecenderungan bahwa dari

waktu ke waktu volume dan frekuensi perdagangan komoditas pertanian antar

negara semakin meningkat. Hal tersebut memacu setiap negara untuk

meningkatkan kualitas baik dari segi kesehatan maupun estetika komoditas yang

diperdagangkan. Laju importasi komoditas pertanian mengalami peningkatan

(17)

2

maupun produk pertanian beberapa tahun terakhir. Dengan demikian risiko

masuk dan tersebarnya OPT/OPTK melalui importasi semakin besar.

Berkaitan dengan risiko berpindahnya OPT dari suatu tempat ke tempat

lain menyebabkan banyak negara memberlakukan persyaratan atau ketentuan

importasi agar komoditas pertanian bebas dari infestasi OPT yang tidak

dikehendaki oleh negara bersangkutan. Secara umum pencegahan masuknya

OPT dilakukan dengan menerapkan persyaratan-persyaratan admisitratif

maupun teknis terhadap importasi suatu komoditas pertanian. Persyaratan yang

dikenakan merupakan hasil penilaian secara menyeluruh suatu OPT yang

kemungkinan dapat berasosiasi dengan komoditas yang akan diimpor melalui

proses yang dikenal sebagai Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan,

selanjutnya disingkat AROPT (Barantan 2008). Berkaitan dengan penyusunan

AROPT, pada tahun 2002 Badan Karantina Pertanian (Barantan) telah

menerbitkan pedoman penyusunan AROPT yang kemudian telah dilakukan dua

kali revisi yaitu pada tahun 2008 dan 2011 menjadi Pedoman Teknis

Penyusunan Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan.

Penyelenggaraan AROPT tidak hanya dapat dilakukan berdasarkan media

pembawa namun juga dapat dilakukan berdasarkan OPT/OPTK.

Beberapa contoh OPTK yang awalnya belum ditemukan di Indonesia dan

saat ini telah masuk, menetap dan menyebar di wilayah Republik Indonesia

antara lain Liriomyza huidobrensis (1994), L. sativae (1996), L. chinensis

(Diptera: Agromyzidae) (2000), Paracoccus marginatus (Hemiptera:

Pseudococcidae) (2008) dan Phenacoccus manihoti (Hemiptera:

Pseudococcidae) (2010) yang diduga masuk ke Indonesia melalui importasi

tanaman hias maupun komoditas pertanian lain. Sebagian OPTK tersebut masih

terbatas penyebarannya (OPTK A2) dan sebagian lagi sudah bersifat kosmopolit.

International Plant Protection Convention telah menerbitkan International Standard for Phytosanitary Measures (ISPM) yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan AROPT. Beberapa standar yang digunakan dalam penyusunan

AROPT antara lain Guidelines on Pest Risk Analysis (ISPM No.2), Pest Risk Analysis for Quarantine Pests, including analysis of environtmental risks and living modified organisms (ISPM No. 11 Rev 1) dan Pest Risk Analysis for Regulated Non-quarantine Pests (ISPM No. 21). Dalam menyusun AROPT diperlukan informasi penting terkait dengan status komoditas yang akan diimpor

(18)

besarnya kerusakan dan kerugian secara ekonomi yang ditimbulkan, daerah

sebar dan biologi OPT bersangkutan. Data tersebut dapat diperoleh dari

berbagai sumber, antara lain lembaga yang diberi otoritas atau melalui

Organisasi Perlindungan Tanaman negara bersangkutan atau National Plant Protection Organization (NPPO). Untuk memenuhi kebutuhan Indonesia, informasi suatu OPT dapat secara langsung diminta kepada NPPO calon negara

pengekspor, atau mengacu pada daftar OPTK pada Peraturan Menteri Pertanian

Nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Jenis Organisme Pengganggu

Tumbuhan Karantina.

Serangga yang dipilih sebagai model pada penelitian ini adalah Leptocybe invasa Fisher & La Salle (Hymenoptera: Eulophidae). Beberapa alasan L. invasa

dipilih sebagai model antara lain karena serangga ini merupakan genus dan

spesies baru dan hama ini tengah menjadi ancaman bagi tanaman eucalyptus di

dunia. Serangga pembuat puru yang diduga berasal dari Australia ini sudah

tersebar luas di beberapa negara di benua Afrika, Amerika, Eropa, Oceania dan

Asia, namun belum dilaporkan ditemukan di Indonesia. Hama ini merusak

dengan membentuk benjolan berbetuk khas yang disebut puru pada tulang daun,

petiol, batang dan pucuk tanaman eucalyptus. Serangan hama ini dapat

menyebabkan kerusakan bahkan kematian pada tanaman eucalyptus pada

pembibitan dan tanaman eucalyptus muda.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko masuk,

menetap dan tersebarnya L. invasa ke dalam dan di dalam wilayah Indonesia; mengidentifikasi kemungkinan dampak ekonomi yang ditimbulkan jika masuk ke

wilayah Indonesia dan mengidentifikasi manajemen risiko untuk mencegah

masuk dan tersebarnya L. invasa.

Manfaat

Hasil analisis risiko organisme pengganggu tumbuhan diharapkan dapat

dijadikan model untuk penyusunan AROPT berdasarkan Organisme Pengganggu

(19)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan

Analisis Risiko Organisme Pengganggu Tumbuhan (AROPT) adalah

metode ilmiah dalam penentuan status suatu OPT dan mengidentifikasi

persyaratan serta tindakan karantina tumbuhan yang harus dilakukan terhadap

komoditas pertanian jika memiliki risiko atau berpotensi membawa OPTK

(Barantan 2011). Metode ini dilakukan dalam rangka penentuan status suatu

OPT dan identifikasi persyaratan serta tindakan karantina tumbuhan yang harus

dilakukan terhadap komoditas pertanian jika memiliki risiko atau berpotensi

membawa OPTK. Risiko masuknya OPT/OPTK salah satunya melalui lalu lintas

komoditas, barang kiriman dan organisme itu sendiri. Metode AROPT yang

digunakan dalam penelitian ini mengacu pada ISPM No.11, petunjuk teknis

penyusunan AROPT dari Badan Karantina Pertanian Tahun 2011, PRA dari

APHIS versi 5.02 (2000), PRA dari Department of Agriculture, Fisheries and

Forestry – Australia (2003) dan PRA untuk South American Leaf Blight (SALB) dari Asia and Pacific Plant Protection Commission (APPPC) (FAO 2011). Penyusunan AROPT dilakukan menggunakan metode penilaian semi-kuantitatif

melalui tiga tahap yaitu inisiasi, penilaian risiko dan manajemen risiko.

Informasi-informasi dan dokumentasi yang diperoleh selanjutnya dikaji secara menyeluruh

dan mendalam.

Inisiasi

Inisiasi merupakan tahap awal dalam penyusunan AROPT. Tujuan tahap

inisiasi adalah untuk mengidentifikasi OPT dan media pembawa yang menjadi

perhatian bagi karantina dan dipertimbangkan untuk dilakukan analisis risiko

dalam kaitanya dengan area PRA yang diidentifikasi (FAO 2009). Tahap inisiasi

bisa dilakukan terhadap tiga titik identifikasi yang selanjutnya disebut titik inisiasi.

Titik inisiasi tersebut meliputi identifikasi berdasarkan media pembawa,

identifikasi berdasarkan OPT dan identifikasi berdasarkan kebijakan karantina

tumbuhan.

Berdasarkan ketentuan internasional yang diterbitkan IPPC yaitu ISPM No.

(20)

a. Adanya intersepsi OPT baru pada komoditi impor di tempat pemasukan;

b. Ditemukan infestasi atau ledakan populasi OPT baru di negara asal atau

di Indonesia;

c. Permohonan impor terhadap suatu organisme untuk keperluan industri,

penelitian, pengendalian hayati atau tujuan lain yang berpotensi menjadi

OPT di Indonesia;

d. Suatu organisme yang dilaporkan sebagai hal yang baru bagi dunia ilmu

pengetahuan dan baru sedikit informasi yang tersedia;

e. Suatu OPT terintroduksi ke suatu negara dari negara pengekspor;

f. Suatu OPT dilaporkan menjadi lebih merusak di suatu area diluar daerah

asalnya;

g. OPT tertentu sering ditemukan pada suatu komoditi;

h. Suatu organisme teridentifikasi sebagai vektor dari OPT lain, yang tidak

diketahui sebelumnya;

i. Organisme Hasil Rekayasa Genetik (OHRG) atau Genetic Modified Organism (GMO) yang berpotensi menjadi OPT.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses AROPT berdasarkan OPT yang

mungkin terbawa oleh media pembawa atau OPT/GMO/OHRG itu sendiri

meliputi informasi mengenai jenis dan bentuk media pembawa yang akan

dimasukkan, nama ilmiah dan nama umum, kondisi lokasi pertanaman di negara

asal dihubungkan dengan kondisi di Indonesia serta aspek biologi dan ekologi

OPT (Barantan 2011). Sebelum masuk pada tahap selanjutnya perlu diperiksa

kembali AROPT sebelumnya. Jika sudah pernah dilakukan proses AROPT

terhadap OPT yang sama maka perlu dikaji kembali apakah AROPT masih

sesuai terhadap kondisi saat ini, jika ya maka proses AROPT dihentikan pada

tahap ini. Sebaliknya jika AROPT yang ada dinilai tidak lagi memenuhi kriteria

dan tidak sesuai maka proses AROPT dilanjutkan pada tahap penilaian risiko.

Pada akhir tahap inisiasi, titik inisiasi dan area PRA telah teridentifikasi,

informasi-informasi yang relevan sudah dikumpulkan dan OPT berpeluang/

berpotensi untuk terbawa oleh media pembawa (Barantan 2011).

Penilaian Risiko

Secara garis besar tahap penilaian risiko dibagi menjadi langkah antara

lain kategorisasi OPT, penilaian potensi masuk, menetap, menyebar, dan

(21)

7

lingkungan dan sosial). Umumnya tahap penilaian risiko tidak selalu mengikuti

langkah-langkah tersebut, namun peniliaian dilakukan melalui proses kajian

teknis dan ilmiah disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara masing-masing

(FAO 2009). AROPT yang disusun harus memenuhi prinsip-prinsip necessity,

minimal impact, transparency, equivalence, risk analysis, managed risk and non-discrimination seperti tercantum dalam ISPM No.1 tentang Principles of Plant Quarantine as related to international Trade (FAO 1995).

Kategorisasi OPT dilakukan melalui proses pengujian terhadap semua

infromasi OPT yang telah dihimpun berdasarkan kriteria untuk dapat ditentukan

sebagai OPTK sesuai dengan definisinya (Barantan 2008). Dalam ISPM No.11

(FAO 2009) dijelaskan beberapa elemen kategorisasi OPT untuk dapat

ditentukan sebagai OPTK, di antaranya identitas OPT, keberadaan atau

ketidakberadaan OPT di area PRA, peraturan yang mengatur OPT, potensi

menetap dan tersebarnya OPT di area PRA, dan potensi OPT untuk

menimbulkan dampak ekonomi termasuk kerusakan lingkungan di area PRA.

Apabila OPT tidak berpotensi sebagai OPTK maka proses AROPT terhadap OPT

tersebut dihentikan, namun sebaliknya jika OPT dapat ditentukan berpotensi

sebagai OPTK maka proses AROPT dilanjutkan.

Tindak lanjut dari kategorisasi OPT adalah penilaian risiko yang dilakukan

terhadap individu OPT apakah memenuhi kriteria sebagai OPTK. Untuk

mengetahui hal tersebut maka beberapa aspek dari individu OPT harus dikaji

satu persatu. Untuk memenuhi keperluan tersebut dibutuhkan sejumlah

informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal ilmiah, publikasi nasional dan

internasional, dan komunikasi dengan para pakar. Penilaian risiko dilakukan

berdasarkan penilaian potensi masuk, menyebar, dan menetap suatu OPT di

area PRA serta penilaian potensi OPT untuk merugikan secara ekonomi (FAO

2001, Barantan 2008). Apabila berdasarkan hasil tahap akhir penilaian OPT

tidak memenuhi kriteria sebagai OPTK maka proses AROPT dihentikan, namun

apabila suatu OPT telah memenuhi kriteria sebagai OPTK, memiliki potensi

untuk masuk, menetap dan menyebar maka perlu dilanjutkan ke tahap

pengelolaan risiko (FAO 2001).

Pengelolaan Risiko

Pengelolaan risiko adalah proses identifikasi dan evaluasi efektivitas cara

(22)

aman yang diperlukan. Tindakan ini dilakukan terhadap media pembawa yang

merupakan inang dari OPTK di negara asalnya dan di negara tujuan. Tindakan

yang akan dilakukan terhadap media pembawa agar tepat dan efektif, sehingga

tidak berpotensi menjadi penghambat perdagangan atau tidak sejalan dengan

prinsip-prinsip yang berlaku dalam perdagangan bebas.

Pengelolaan risiko merupakan proses identifikasi ketentuan fitosanitari bagi

media pembawa yang akan dimasukkan. Ketentuan fitosanitari yang diterapkan

berupa persyaratan dan/atau kewajiban tambahan sebagai upaya memperkecil

peluang masuknya OPTK melalui importasi media pembawa. Sesuai dengan

Permentan No: 52 Tahun 2006 dan Permentan No: 9 Tahun 2009 bahwa

terhadap pemasukan media pembawa dari luar negeri ke dalam wilayah negara

Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan karantina tumbuhan dan

berdasarkan hasil AROPT media pembawa yang dinilai berpotensi besar

mengakibatkan terjadinya penyebaran organisme pengganggu tumbuhan

dikenakan kewajiban tambahan.

Tahap akhir dari penyusunan pengelolaan risiko adalah suatu kesimpulan

yang menjelaskan tentang persyaratan karantina tumbuhan dan/atau kewajiban

tambahan. Kewajiban tambahan yang dikenakan terhadap media pembawa

akan berbeda untuk tingkat risiko yang berbeda berdasarkan hasil penilaian

risiko. Hasil akhir pengelolaan risiko kemudian akan direkomendasikan untuk

dilaksanakan dalam kegiatan importasi media pembawa.

Leptocybe invasa

Sejak tahun 2000 perkebunan eucalyptus di dunia mulai mengalami

gangguan dari spesies hama baru yang bersifat invasif. Hama ini pada awalnya

dilaporkan mulai dari Timur Tengah, Afrika Utara dan Timur, negara-negara

Mediterania, kemudian semakin menyebar ke lebih dari tiga puluh negara di

dunia. Hama yang diduga berasal dari Queensland, Australia ini kemudian

diidentifikasi sebagai Leptocybe invasa Fisher & La Salle (Hymenoptera: Eulophidae). Hama ini membentuk benjolan berbentuk khas yang disebut puru

pada pelepah daun, petiol, batang, maupun tunas pada beberapa species

eucalyptus (Mendel et al. 2004). Serangga ini diketahui dapat merusak bibit dan tanaman muda (Dhahri et al. 2010). Serangga ini dapat menghasilkan dua atau tiga generasi tiap tahunnya di Israel. Lama hidup serangga dewasa yang diberi

(23)

9

(2008) dan Kavitha Kumari et al. (2010) mencatat bahwa pernah ditemukan serangga jantan di India.

Taksonomi dan Informasi Umum L. invasa

Secara harfiah Leptocybe berasal dari bahasa yunani, leptos berarti halus, tipis, lemah dan kybe berarti kepala; yang apabila digabungkan artinya menjadi area yang lemah di sekitar segitiga ocelli di kepala (Mendel et al. 2004). L. invasa termasuk ke dalam Subfamili Tetrastichinae. Serangga yang dikenal dengan nama umum blue gum chalcid ini pertama kali dilaporkan ditemukan di luar daerah asalnya di Timur Tengah pada tahun 2000, saat ini L. invasa telah menyebar ke banyak negara dan menyebabkan kerusakan pada pembibitan dan

tanaman eucalyptus. Puru yang dibentuk bersifat merusak titik tumbuh dan daun

eucalyptus, sehingga menyebabkan gugur daun dan mati pucuk (IFGTB 2007).

Biologi L. invasa

Imago betina memiliki panjang tubuh 1.1 – 1.4 mm (Gambar 1). Kepala

dan tubuh berwarna coklat dengan sedikit warna biru hingga hijau metalik.

Koksa tungkai depan berwarna kuning, sedangkan koksa tungkai tengah dan

belakang memiliki warna yang sama dengan warna tubuhnya, tungkai dan tarsus

berwarna kuning, dengan satu ruas berwarna coklat pada ujung tarsus terakhir.

Mendel et al. (2004) yang mendeskripsikan spesies ini, menyatakan bahwa waktu perkembangan yang dibutuhkan sejak oviposisi sampai muncul individu

baru adalah 132.6 hari pada suhu ruang dan imago dapat bertahan hidup

berturut-turut selama 6.5 hari jika diberi makan dengan madu dan air dan 3 hari

tanpa makan.

Larva berukuran relatif kecil, tanpa tungkai dan berkembang di dalam puru

(Gambar 1) yang terbentuk di tulang daun, petiol, batang tanaman eucalyptus

muda, dan pada tanaman di pembibitan. Kerusakan pada tanaman inang terjadi

karena aktivitas makan larva dan dilepaskannya zat kimia yaitu asam oksalat.

Asam oksalat menyebabkan kanker pada bagian tanaman terserang yang

kemudian berkembang menjadi puru (Mendel et al. 2004). Menurut Doganlar (2005) di Turki larva di dalam puru dapat mencapai 4 bulan sejak telur diletakkan,

sehingga larva tahan terhadap aplikasi pestisida.

Pupa terbentuk di dalam puru (Gambar 1), pada fase ini tidak terjadi

(24)

memakan madu pada bunga tanaman inangnya. Ukuran imago yang sangat

kecil menyebabkan OPT ini sulit dilihat dengan mata biasa (Mendel et al. 2004). Hesami et al. (2006) melaporkan perkembangan L. invasa di Iran berturut-turut 126.2 hari pada kondisi laboratorium dan 138.3 hari di lapangan. Keduanya

menjelaskan bahwa serangga pembuat puru ini memiliki tipe reproduksi telitoki

dan mampu menghasilkan keturunan dua hingga tiga generasi (multivoltinous) yang tumpang tindih setiap tahunnya, sehingga sangat menunjang kecepatan

penyebaran spesies ini. Tipe reproduksi telitoki yaitu suatu bentuk reproduksi

aseksual yang ditemukan pada serangga betina, dimana pertumbuhan dan

perkembangan embrio terjadi tanpa dibuahi oleh serangga jantan dan serangga

betina dihasilkan dari telur yang tidak dibuahi. Imago betina yang muncul

Gambar 1 L. invasa (a) imago betina; (Kavitha Kumari 2009); (b) imago betina yang muncul dari dalam puru; (c) larva di dalam sayatan puru; (d) pupa di dalam sayatan puru (Dhahri et al. 2010)

kemudian siap untuk meletakkan telur kembali. Imago meletakkan telur pada

bagian tanaman yang masih muda seperti tulang daun, petiol, dan tunas (Kavitha

Kumari et al. 2010). Betina dapat meletakkan 80 – 100 telur di bawah jaringan epidermis tanaman. Telur bulat, putih, semi transparan dan tumpul pada salah

satu ujungnya (Mutitu et al. 2008). Ukuran telur sangat kecil sehingga sulit

c d

(25)

11

dideteksi sebelum terbentuk puru pada bagian tanaman terserang. Berdasarkan

informasi ICFR (2011), waktu perkembangan yang dibutuhkan oleh L. invasa di Afrika Selatan sejak peletakan telur hingga serangga dewasa keluar dari puru

paling sedikit 72 hari. Berdasarkan studi biologi yang dilakukan oleh Kavitha

Kumari et al. (2010) di India waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan hingga muncul imago pada inang eucalyptus berkisar antara 54 – 65 hari dan imago

dapat bertahan hidup tanpa makan selama 4.50 ± 0.4 hari. Doganlar (2005)

melaporkan bahwa secara keseluruhan bentuk imago jantan mirip dengan imago

betina kecuali pada jantan kepala dan mesosoma berwarna coklat dengan sedikit

warna biru dan hijau metalik, metasoma berwarna coklat metalik, tungkai kuning

pucat, kecuali pada koksa bagian tengah dan belakang yang sedikit metalik dan

antena yang berwarna kuning. Larva terlindung di dalam puru.

Gejala dan Kerusakan pada Tanaman Eucalyptus

Klasifikasi perkembangan puru menurut Mendel et al. (2004) dibagi menjadi lima tahap. Tahap pertama (1 – 2 minggu setelah oviposisi) ditandai

dengan munculnya gejala pada jaringan gabus tempat telur disisipkan. Pada

tahap ini terjadi sedikit perubahan morfologi pada jaringan yang diserang. Bekas

luka pada jaringan gabus membesar dan bagian tulang daun tempat terdapatnya

telur seringkali berubah warna dari hijau menjadi merah muda. Menjelang akhir

tahap ini puru semakin mudah dikenali melalui bentuknya yang bulat, warna yang

hijau mengkilap, masing-masing puru terpisah satu sama lain. Tahap ke-dua

ditandai dengan perkembangan bentuk seperti benjolan dan puru mencapai

ukuran yang maksimum pada tahap ini (lebar 2.7 ± 0.5 mm). Tahap ke-tiga

dicirikan dengan memudarnya warna hijau pada bagian permukaan dan

cenderung berubah menjadi merah muda dan tetap berkilau. Tahap ke-empat

ditandai dengan hilangnya kilau pada permukaan puru, dengan perubahan warna

menjadi lebih terang atau lebih gelap. Tahap ke-lima dapat dikenali segera

setelah lubang tempat munculnya imago tampak. Lubang berwarna coklat pada

daun dan merah kecoklatan pada batang. Di Israel waktu yang dibutuhkan mulai

oviposisi hingga muncul individu baru sekitar 4.5 bulan dan waktu antara tahap

empat dengan munculnya imago sekitar 4 minggu. Hasil dokumentasi Kavitha

Kumari et al. (2010) tentang tahap perkembangan puru pada tanaman

(26)

Bibit yang dihasilkan dari tempat pembibitan yang terinfestasi L. invasa

dapat menjadi sumber bagi kehancuran bibit di tempat lain di lokasi tersebut

(Mendel et al. 2004). Hama ini menyerang tunas dalam 1 – 2 minggu dan dapat berkembang pada ketinggian 32.7 m di atas permukaan laut. Serangga ini

mampu membentuk 50 puru pada satu daun (Aytar 2006). Hasil pengamatan

Kavitha Kumari et al. (2010) menunjukkan bahwa meskipun L. invasa dewasa aktif sepanjang hari, namun aktifitas lebih intensif selama hari cerah setelah

pukul 9.30 pagi dan setelah 14.30 sore. Kerusakan parah terjadi pada bibit di

pembibitan (60.18 puru per 10 cm tunas) dan pada tanaman dewasa (15,67 puru

per 10 cm tunas). Banyaknya jumlah telur akibat adanya oviposisi yang

berulang-ulang pada daun yang sama menyebabkan terhambatnya pertumbuhan

daun.

Gambar 2 Lima tahap perkembangan puru akibat serangan L. invasa pada tanaman Eucalyptus sp. (a) ooze yang muncul setelah oviposisi; (b) tahap I; (c) tahap II; (d) tahap III; (e) tahap IV; (f) lubang keluar imago L. invasa (Kavitha Kumari et al. 2010)

Pada serangan yang cukup parah ujung bibit dan tunas mengering. Puru

terutama terbentuk pada batang atau percabangan dan jarang ditemukan pada e

b

c d

(27)

13

daun, sedangkan pada tanaman dewasa puru lebih sulit ditemukan (La Salle et al. 2008). Serangan L. invasa mampu menyebabkan daun keriput, daun gugur, hilangnya vigor tanaman, pertumbuhan tanaman kerdil, mati pucuk hingga

kematian pada tanaman eucalyptus (Mendel et al. 2004). Thu et al. (2009) menambahkan bahwa puru yang terbentuk pada daun eucalyptus dapat

menyebabkan deformasi pada tunas dan ujung daun. Daun menjadi lebih cepat

kering dan gugur. Infestasi yang berat menyebabkan retardasi pada klon dan

bibit eucalyptus. Dampak kerusakan serangan hama ini mulai berkurang pada

tanaman berumur lebih dari dua tahun.

Kerusakan yang disebabkan pembentukan puru pada tanaman eucalyptus

sudah tampak pada beberapa tahun terakhir. Sri Lanka mengindikasikan adanya

infestasi serangga ini pada tanaman E. grandis, E. robusta dan E. microcorys.

Pada tahun 2010 dilaporkan bahwa sebanyak 97% tanaman eucalyptus yang

tersebar di Sri Lanka terancam serangan L. invasa (Karutnaratne et al. 2010).

Kerusakan parah tercatat pada bibit dan tanaman muda E. camaldulensis dan E. urophylla di Vietnam bagian utara, tengah dan tenggara, dan saat ini semakin sulit untuk menemukan bibit tanaman sehat pada perkebunan baru. Serangga ini

juga menjadi masalah bagi bibit dan tanaman E. camaldulensis di Thailand dan Cina (Thu et al. 2009). Hasil penelitian di Queensland menunjukkan bahwa puru lebih sering ditemukan pada tanaman E. tereticornis berumur 3 sampai 4 tahun (La Salle et al. 2008). Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh serangan hama ini di Kenya mencapai 4% pada tanaman di bawah 5 tahun dan 20% pada bibit

(KEFRI 2007).

Iklim

Mendel et al. (2004) melaporkan tahap oviposisi dan perkembangan hama terjadi selama musim panas (April sampai Oktober). Perkembangan pada musim

dingin berjalan lebih lambat. Tahap 3 dan 4 perkembangan puru di musim dingin

mulai muncul pada bulan April hingga Mei. Pada awal musim dingin, larva telah

memasuki tahap akhir atau bahkan telah berpupa sehingga dapat melanjutkan

perkembangannya pada musim semi berikutnya. Tanaman pada awal musim

semi (Maret) dapat terhindar dari serangan L. invasa, karena aktivitas hama ini terjadi setelah periode musim dingin ketika suhu rata-rata maksimum meningkat

(28)

kejadian dan keparahan serangan hama antara area yang berbeda di Uganda.

Pada ketinggian yang lebih rendah, tingkat kerusakan lebih rendah dibandingkan

dengan area yang lebih tinggi. Nyeko et al. (2009) menyatakan kejadian dan keparahan serangan hama lebih tinggi pada area agroekologi yang lebih panas

dan kering dibandingkan dengan area yang dingin dan basah. Penulis juga

melaporkan terdapat hubungan negatif antara ketinggian tempat dan infestasi L. invasa pada tanaman eucalyptus. Hama ini tidak ditemukan pada ketinggian lebih dari 1 938 m di atas permukaan air laut.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Roux dan Slippers (2007),

daerah yang lebih panas dan kering cenderung lebih rentan terhadap serangan

L. invasa dibandingkan dengan daerah yang dingin. Mendel et al. (2004) melaporkan keberadaan hama ini di Lembah Bet Shean dan Golan Selatan di

Israel yang diketahui memiliki musim panas dan dingin dengan suhu yang

ekstrim. Hal ini menunjukkan bahwa populasi hama ini dapat berkembang baik

pada kisaran suhu yang cukup luas. ICFR (2011) juga menyatakan bahwa L. invasa memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi iklim yang beragam. Oviposisi dan perkembangan setiap fase L. invasa di Israel terjadi pada musim panas, namun perkembangan serangga ini dapat ditekan dan lebih lambat terjadi

pada musim dingin. Sri Lanka, negara yang memiliki iklim panas sepanjang

tahun baik pada area kering maupun sedang diketahui dapat memberikan kondisi

yang optimal bagi perkembangan serangga ini (Karutnaratne et al. 2010).

Musuh Alami L. invasa

Pengendalian biologi merupakan cara yang baik untuk mengelola suatu

spesies asing invasif di area yang luas. Di Australia, parasitoid memegang

peranan penting dalam mengendalikan populasi L. invasa (Kim et al. 2008). Karantina Israel melakukan pengujian terhadap agens pengendali biologi L. invasa. India akan memasukkan parasitoid tersebut untuk dikembangkan sebagai salah satu upaya pengendalian biologi (Kavitha Kumari 2009). Kim et al.

(2008) mencatat bahwa Megastigmus spp. (Hymenoptera: Torymidae) dan

(29)

15

Gambar 3 Parasitoid L. invasa: (a) Megastigmus sp. (♀); (b) Megastigmus sp. (♂); (c) Aprostocetus gala; (d) Aprostocetus sp. (a – d parasitoid larva-pupa); (e) Parallelaptera sp.; (f) Telenomus sp. (Kavitha Kumari 2009)

Dua spesies dari Subfamili Tetrastichinae (Hymenoptera: Eulophidae) asal

Australia yang diketahui dapat menjadi parasitoid pada L. invasa yaitu

Quadrastichus mendeli Kim & La Salle dan Selitrichodes kryceri Kim & La Salle (Gambar 4). Menurut La Salle et al (2008) kedua parasitoid ini berukuran panjang ± 1 mm, soliter dan merupakan serangga ektoparasitik, S. kryceri

biparental sedangkan Q. mendeli adalah uniparental. Keduanya mampu memarasit masing-masing 2.2 dan 2.5 puru per hari, dan berkembang pada larva

f e

d c

(30)

awal maupun larva akhir dari L. invasa. Kedua parasitoid ini berhasil digunakan di Israel sebagai bagian dalam program pengendalian biologi pada tanaman

eucalyptus yang terserang L. invasa.

Gambar 5 Parasitoid larva L. invasa asal Australia (a) Quadrastichus mendeli

(♀); (b) Selitrichodes kryceri (♀) (Kim et al. 2008)

Keberadaan Aprostocetus spp. di India dilaporkan oleh Noyes (2007), pada saat ini parasitoid tersebut dapat menjadi agens pengendali hayati bagi L. invasa.

Gupta dan Poorani (2009) melaporkan lima spesies parasitoid L. invasa di India antara lain Aprostocetus gala dan Aprostocetus sp., Megastigmus sp.,

Parallelaptera sp. (Hymenoptera: Mymaridae) and Telenomus sp. (Hymenoptera: Scelionidae). Dari kelima spesies di atas Megastigmus sp. merupakan spesies yang paling melimpah di Italia, Turki dan Israel (Protasov et al. 2008).

Hasil penelitian Kulkarni et al. (2010) menunjukkan bahwa tingkat parasitisasi parasitoid Megastigmus dan A. gala berturut-turut mencapai 28.33% dan 16.45% pada kondisi rumah kaca. Menurut Kavitha Kumari (2009), tingkat

parasitisasi A. gala berada pada kisaran 9.09 sampai 38.38%.

(31)

17

Persebaran L. invasa

L. invasa diduga berasal dari Queensland, Australia. Pertama kali tercatat ditemukan di Timur Tengah pada tahun 2000, namun saat ini telah dilaporkan

ditemukan tersebar di Afrika, Asia, Eropa, Oceania dan Amerika (Gambar 5).

Gambar 5 Peta persebaran L. invasa di dunia (Sumber: http://silverlight2.blogspot. com; Aytar 2003, 2006; Mutitu 2003; Mendel et al. 2004; Branco et al. 2005; Kumar et al. 2007; Nyeko et al. 2007; Wiley 2008; Gaskill et al. 2009; Thu et al. 2009,Dhahri et al.

2010, Karutnaratne et al. 2010.)

Kisaran Inang L. invasa

E. botryoides. E. bridgesiana, E. camaldulensis, E. globulus, E. gunii, E. grandis, E. robusta, E. saligna, E. tereticornis, E. cineria, E. nicholoi, E. pulverulenta, dan E. viminalis merupakan inang bagi L. invasa. Di antara beberapa spesies tersebut E. camaldulensis merupakan spesies yang paling rentan terhadap serangan L. invasa. Hal ini disebabkan E. camaldulensis

menghasilkan generasi baru sepanjang musim panas (April – Oktober) secara

paralel sehingga makanan selalu tersedia dan proses reproduksi hama terus

berlangsung (Mendel et al. 2004). Sebanyak sepuluh dari 36 spesies Eucalyptus

yang diujikan di Israel rentan terhadap serangan L. invasa. E. torquata, E. woodwordii dan turunannya bukan merupakan inang bagi L. invasa, begitu pula

E. gompocephala, dan E. occidentalis tidak diserang oleh L. invasa. L. invasa

(32)

yang tidak berbeda nyata antara genotip spesies yang tahan dan rentan, namun

hal tersebut dapat dibedakan melalui analisis kimia.

Mutitu et al. (2008) melaporkan kejadian dan keparahan serangan L. invasa dari tingkat yang tinggi ke rendah berturut-turut terjadi pada E. camaldulensis diikuti E. grandis, E. saligna dan E. robusta. Thu et al. (2009) mengevaluasi kerentanan beberapa eucalyptus terhadap serangan L. invasa di lokasi pembibitan dan tanaman eucalyptus muda di Vietnam. Corymbia henryi, C. citriodora, dan C. tesselaris bukan merupakan inang bagi L. invasa, begitu pula E. cloeziana yang resisten terhadap serangan L. invasa. Tingkat kerusakan menengah terjadi pada E. pellita, E. microcorys, E. pilularis, E. robusta, E, coolabahs, E, globulus, E. smithii, E. moluccana dan C. polycarpa, sementara E. grandis, E. camaldulensis dan E. tereticornis sangat rentan terhadap L. invasa. Menurut APF ISN (2011) beberapa spesies eucalyptus yang diketahui dapat

menjadi inang bagi L. invasa antara lain E. saligna, E. grandis, E. deanei, E. globulus s.sp globulus, E. nitens, E. botryoides, E. camaldulensis, E. gunnii, E. robusta, E. bridgesiana, E. viminalis dan E. tereticornis. Nyeko et al. (2009) melaporkan bahwa tingkat serangan L. invasa lebih tinggi pada persilangan antara tanaman E. grandis dan E. camaldulensis daripada E. grandis dan E. urophylla.

Penyebaran L. invasa

Salah satu cara penyebaran yang paling memungkinkan bagi L. invasa

adalah melalui lalu lintas media pembawa, angin dan melalui alat transportasi.

Imago dapat menyebar cepat dengan bantuan angin maupun transportasi udara.

Selain itu juga dapat berpindah ke area baru melalui pemasukan bibit dan lalu

lintas komoditas. Ukuran tubuh imago yang relatif kecil tidak memungkinkan

hama ini aktif terbang dalam jarak yang jauh (APF ISN 2011). Mendel et al.

(2004) melaporkan bahwa penyebaran dan perkembangan populasi yang cepat

mungkin disebabkan oleh tipe reproduksi telitoki dan perkembangan multivoltin

serta tidak adanya musuh alami utama (Mendel et al. 2004).

Sampai saat ini belum diketahui berapa cepat L. invasa mampu memencar secara alami. Namun, spesies ini diketahui telah tersebar dari utara ke selatan

Afrika dalam waktu kurang dari satu dekade. Cara penyebaran yang paling

memungkinkan adalah dengan bantuan manusia, yaitu melalui material tanaman

(33)

19

perpindahan material tanaman dari area terinfestasi ke area bebas. Sebelum

bibit dipindahkan ke area lain sebaiknya dilakukan pemeriksaan terlebih dulu

(ICFR 2011). L. invasa yang masuk ke India diduga berasal dari Ausralia. Introduksi serangga ini ke India kemungkinan terjadi melalui pertukaran material

vegetatif tanaman eucalyptus (Ananthakrishnan dan Jesudasan 2009).

Eucalyptus di Indonesia

Pinus dan eucalyptus merupakan genus tanaman yang paling banyak

ditanam di daerah tropis dan subtropis. Data yang diterbitkan oleh FAO (1995)

menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1.4 juta ha perkebunan eucalyptus di

wilayah Asia Tenggara. Perkiraan luas areal penanaman eucalyptus di

Indonesia pada tahun 1995 adalah sebesar 80 000 ha, dan saat ini telah

bertambah menjadi 200 000 ha. Sejak tahun 1995 sejumlah negara seperti Cina,

Laos, Thailand dan Vietnam meningkatkan program penanaman eucalyptus,

sehingga perkebunan eucalyptus di kawasan Asia Tenggara saat ini telah

melampaui 2 juta ha (Old et al. 2003).

Pertumbuhan industri kayu khususnya dari jenis eucalyptus untuk

menghasilkan produk akhir berupa kertas, bubur kertas dan rayon makin

meningkat. Eucalyptus ditanam dilahan marjinal/kritis khususnya pada sistem

agroforestri di pulau Jawa dan spesies yang ditanam telah dilakukan uji coba dan

studi kelayakan terlebih dahulu. Spesies eucalyptus asli Indonesia tersebar di

wilayah timur antara lain E. deglupta (asal Sulawesi), E. urophylla dan E. alba

(asal Nusa Tenggara Timur), dan E. pellita (asal Papua Barat). E. globulus

pertama kali dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1800-an untuk ditanam

disepanjang jalan di Pasuruan. Penanaman eucalyptus pada saat itu dilakukan

dalam rangka mendukung program penghijauan kembali khususnya di area

pegunungan di Jawa Tengah seperti Dieng, Gunung Sumbing dan Gunung

Sundoro, selain itu eucalyptus juga ditanam di Gunung Lawu dan Ngawi (Jawa

Timur) pada tahun 1911. Delapan spesies eucalyptus yang diketahui dapat

berperan menjadi inang bagi L. invasa di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Penanaman eucalyptus masih terbatas di pulau Sumatera, Jawa dan

Kalimantan. Inti Indorayon Utama, salah satu perusahaan yang bergerak di

bidang kehutanan telah mengembangkan eucalyptus sejak tahun 1987.

Perusahaan ini telah menanam ± 30 ribu ha eucalyptus di Sumatera Utara yang

(34)

Indorayon Utama mampu meningkatkan kapasitas produksinya hingga 165 ribu

ton per tahun (Pramono dan Pudjiharta 1996).

Tabel 1 Daerah sebar eucalyptus yang dapat menjadi tanaman inang L. invasa

di Indonesia

Nama spesies Daerah sebar

Eucalyptus camaldulensis Kalimantan (CABI 2007)

E. globulus Jawa (Pramono dan Pudjiharta 1996)

E. grandis Kalimantan, Sumatera (Pramono dan Pudjiharta 1996, CABI 2007)

Jawa, Papua (Pramono et al. 1996)

E. robusta Indonesia (CABI 2007)

E. saligna Indonesia (CABI 2007), Sumatera (Pramono dan Pudjiharta 1996)

E. tereticornis Indonesia (CABI 2007)

E. pellita Papua (CABI 2007)

E. urophylla Nusa Tenggara Timur, Sumatera (Pramono dan Pudjiharta 1996), Sulawesi (CABI 2007)

PT Toba Pulp Lestari, Tbk merupakan perusahaan yang bergerak di

bidang industri bubur kertas dengan tanaman pokok eucalyptus menghasilkan

240 ribu ton bubur kertas per tahun. Penjualan bersih rata-rata PT Toba Pulp

Lestari, Tbk sejak 2003 hingga 2010 mencapai 6.648 triliun rupiah (Anonim

2011). PT Riau Andalan Pulp and Paper memiliki kapasitas produksi yang jauh

(35)

21

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Pusat Karantina Tumbuhan, Badan Karantina

Pertanian dan Institut Pertanian Bogor mulai bulan November 2011 sampai

dengan April 2012.

Inisiasi

Inisiasi merupakan proses identifikasi organisme untuk menilai risiko dan

menentukan area yang akan dilakukan AROPT. Proses inisiasi dilakukan melalui

beberapa tahapan kegiatan berikut.

1. Identifikasi alasan dilakukan AROPT berdasarkan OPT

a. Adanya intersepsi OPT baru pada komoditas impor di tempat

pemasukan.

b. Ditemukan infestasi atau outbreak/ledakan populasi OPT baru di negara asal atau di Indonesia.

c. Permohonan impor terhadap suatu organisme untuk keperluan industri,

penelitian, pengendalian hayati atau tujuan lain yang berpotensi

menjadi OPT di Indonesia.

d. Suatu organisme yang dilaporkan sebagai spesies baru dan baru

sedikit informasi yang tersedia.

e. Suatu OPT terintroduksi ke suatu negara dari negara pengekspor.

f. Suatu OPT dilaporkan lebih merusak di suatu area diluar daerah

asalnya.

g. OPT tertentu sering ditemukan pada suatu komoditas.

h. Suatu organisme teridentifikasi sebagai vektor dari OPT lain, yang

tidak diketahui sebelumnya.

i. Organisme Hasil Rekayasa Genetik (OHRG) atau Genetic Modified Organism (GMO) yang berpotensi menjadi OPT.

2. Menentukan area PRA yang akan dilakukan AROPT

Area PRA merupakan wilayah di Republik Indonesia yang bebas dari

OPT tertentu.

3. Mengevaluasi hasil AROPT sebelumnya.

Sebelum memulai proses AROPT, perlu diperiksa kembali dokumen

mengenai hasil AROPT sebelumnya. Apabila telah dilakukan AROPT

(36)

namun jika hasil AROPT terdahulu dianggap sudah tidak relevan lagi,

maka bisa dilakukan pengkajian kembali AROPT terhadap OPT yang

sama.

Informasi berkaitan dengan data OPT dapat diperoleh dari lembaga perlindungan

tanaman (NPPO) negara asal, melalui pustaka/literatur terkini dan melalui

wawancara atau komunikasi dengan para pakar.

Pada tahap akhir proses inisiasi dibuat suatu kesimpulan yang menerangkan

hasil evaluasi awal terhadap OPT yang akan dianalisis. Apabila OPT tersebut

memiliki peluang untuk terbawa oleh media pembawa maka proses AROPT

dilanjutkan, sebaliknya jika OPT tidak berpeluang terbawa media pembawa maka

AROPT tidak perlu dilanjutkan.

Penilaian Risiko

Penilaian risiko dilakukan melalui dua tahap yaitu kategorisasi OPT dan

penilaian OPT sebagai OPTK.

Kategorisasi OPT

Kategorisasi OPT merupakan proses penentuan apakah suatu OPT

memiliki karakteristik sebagai OPTK. Proses kategorisasi OPT sebagai OPTK

meliputi elemen-elemen sebagai berikut:

• Identitas OPT

Identitas OPT harus terdefinisi dengan jelas untuk memastikan bahwa

penilaian dilakukan terhadap organisme yang berbeda, dan

informasi-informasi yang digunakan dalam penilaian relevan dengan organisme yang

bersangkutan. Tingkat taksonomi yang digunakan dalam kategorisasi OPT

umumnya sampai ke tingkat spesies, untuk tingkat taksonomi yang lebih

tinggi atau lebih rendah harus didukung oleh informasi yang berbasis ilmiah.

Tingkat taksonomi di bawah spesies harus mencakup bukti ilmiah yang

menunjukkan faktor-faktor perbedaan dalam virulensi, kisaran inang maupun

kaitannya sebagai vektor.

• Keberadaan OPT di area PRA

OPT yang bersangkutan harus tidak ditemukan pada area PRA maupun

(37)

23

• Status OPT

Apabila OPT ditemukan namun keberadaannya terbatas di area PRA, OPT

tersebut harus berada di bawah pengawasan atau sedang dalam

pengawasan resmi.

Penilaian OPT sebagai OPTK

Penilaian bertujuan untuk mengetahui apakah suatu OPT memenuhi kriteria

sebagai OPTK. Beberapa aspek dari setiap individu OPT harus dikaji satu

persatu (Lampiran 1 dan 2). Dibutuhkan sejumlah informasi termasuk saran atau

masukan dari para pakar. Jika informasi suatu OPT sulit diperoleh maka

penilaian dapat dilakukan dengan membandingkan pada kasus serupa atau

menggunakan informasi ilmiah lainnya. Jika suatu OPT tidak memenuhi kriteria

OPTK maka proses AROPT tidak perlu dilanjutkan dan proses penilaian

dihentikan. Tahap penilaian potensi masuk, menetap dan menyebar yang

digunakan merupakan kombinasi dari ISPM 11, petunjuk teknis penyusunan

AROPT dari Badan Karantina Pertanian Tahun 2011, PRA dari APHIS versi 5.02

(2000), PRA dari Department of Agriculture, Fisheries and Forestry – Australia

(2003) dan PRA untuk South American Leaf Blight (SALB) dari Asia and Pacific Plant Protection Commission (APPPC) (FAO 2011).

Penyusunan AROPT dilakukan menggunakan metode penilaian

semi-kuantitatif. Penilaian dibagi menjadi empat penilaian potensi yang berdiri sendiri

yaitu penilaian potensi masuk, penilaian potensi menetap, penilaian potensi

menyebar dan penilaian konsekuensi masuk (Lampiran 1). Tiap-tiap penilaian

potensi memiliki parameter penilaian yang nilainya ditentukan berdasarkan

kriteria risiko rendah (skor 1), sedang (skor 2) dan tinggi (skor 3) (Lampiran 2).

Penilaian potensi masuk dilakukan terhadap bentuk yang berbeda untuk setiap

jenis media pembawa yang dimasukkan dan berpotensi untuk dimasukkan ke

dalam wilayah Indonesia. Setiap parameter dinilai satu persatu untuk

mendapatkan nilai akhir potensi masuk. Hasil penilaian potensi masuk akan

berbeda untuk setiap bentuk pemasukan yang berbeda. Hal yang sama juga

dilakukan untuk penilaian potensi menetap dan menyebar. Penilaian

konsekuensi masuk didapatkan dari total penilaian potensi menimbulkan

kerugian ekonomi, lingkungan dan sosial. Pada tahap akhir, masing-masing

(38)

digabungkan untuk dinilai kembali. Hasil akhir penilaian potensi akan berbeda

untuk bentuk media pembawa yang berbeda.

Pengelolaan Risiko OPT

Pada tahap pengelolaan risiko, ketentuan fitosanitari bagi pemasukan

media pembawa akan diidentifikasi. Persyaratan dan/atau kewajiban tambahan

yang akan diterapkan merupakan upaya untuk memperkecil peluang masuknya

OPTK melalui importasi media pembawa bersangkutan. Pengelolaan risiko

diarahkan pada pencapaian tingkat keamanan yang memadai mengacu pada

alasan-alasan teknis dan ilmiah. Pada proses pengelolaan risiko akan

diidentifikasi sejumlah opsi untuk selanjutnya dipilih untuk mengurangi risiko

dengan telah mempertimbangkan ketersediaan sumber daya yang ada.

Penilaian potensi risiko dapat menghasilkan tingkat risiko yang berbeda

untuk bentuk media pembawa yang berbeda. Dengan perbedaan tingkat risiko

tersebut, persyaratan dan tindakan karantina tumbuhan yang diperlukan untuk

setiap jenis OPTK akan berbeda-beda. Untuk menghindari terjadinya tumpang

tindih penerapan persyaratan pemasukan media pembawa, usulan kewajiban

tambahan terhadap pemasukan media pembawa, baik yang akan dikenakan di

negara asal atau setelah dimasukkan ke wilayah RI hendaknya memperhatikan

ketentuan-ketentuan yang masih berlaku. Selain berdasarkan hasil penilaian

OPT, dengan pertimbangan khusus terhadap suatu media pembawa (khususnya

benih atau bibit tanaman) dapat dikenakan tindakan karantina tumbuhan di

instalasi karantina tumbuhan pada suatu negara selama kurun waktu tertentu

(intermediate quarantine). Hal tersebut dimaksudkan agar benih atau bibit tanaman yang akan dimasukkan diyakini bebas dari infeksi/infestasi/kontaminasi

OPTK.

Pada bagian akhir dari tahap pengelolaan risiko dibuat suatu kesimpulan

yang menjelaskan persyaratan karantina tumbuhan dan/atau kewajiban

tambahan yang harus dipenuhi bagi pemasukan suatu media pembawa. Jika

hasil penilaian terhadap rencana pemasukan media pembawa ditemukan adanya

tingkat risiko yang berbeda-beda disebabkan oleh perbedaan jenis dan bentuk

media pembawa, maka penentuan pengelolaan risiko yang diambil harus

mengacu pada jenis dan bentuk media pembawa yang menunjukkan tingkat

risiko paling tinggi namun tetap memperhatikan sifat-sifat khusus media

(39)

25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Inisiasi

L. invasa merupakan suatu genus dan spesies baru dari Ordo Hymenoptera, Famili Eulophidae dan Subfamili Tetastichinae (Mendel et al.

2004) dan masih sedikit informasi yang tersedia mengenai spesies pembuat

puru ini. Hama yang diduga berasal dari Queensland, Australia ini telah banyak

dilaporkan menyerang dan merusak tanaman eucalyptus di beberapa negara di

Timur Tengah, Israel, Sri Lanka, Kenya dan Vietnam. Selain itu hama ini

diketahui mempunyai tingkat serangan sebesar 30 – 100% dan dilaporkan telah

menyebabkan outbreak/ledakan populasi di Gujarat, India. Lalu lintas media pembawa baik dalam bentuk bibit maupun hasil tanaman eucalyptus berpotensi

terhadap masuknya L. invasa ke Indonesia. Sejak tahun 2000 spesies ini tercatat bersifat invasif pada tanaman eucalyptus di dunia. L. invasa pertama kali tercatat ditemukan di Timur Tengah pada tahun 2000. Dalam kurun waktu

sepuluh tahun terakhir persebarannya telah meluas ke lebih dari tiga puluh

negara di dunia, namun sampai saat ini belum dilaporkan ditemukan di

Indonesia. Area PRA ditentukan di wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan

pemeriksaan dokumen hasil AROPT milik Badan Karantina Pertanian, belum

pernah dilakukan AROPT terhadap L. invasa di Indonesia.

Berdasarkan informasi di atas dapat disimpulkan bahwa L. invasa

merupakan hama yang dapat menjadi ancaman bagi pertanaman eucalyptus di

dunia. Persebarannya di lebih dari tiga puluh negara di dunia dalam waktu

kurang dari satu dekade berpotensi untuk masuk, menyebar dan menetap di

wilayah Indonesia. Importasi bibit dan hasil tanaman eucalyptus dari negara

yang tidak bebas L. invasa berpotensi menyebabkan introduksi L. invasa ke dalam wilayah Indinesia. Mengingat saat ini tanaman eucalyptus tersebar hampir

di seluruh wilayah Indonesia, serangan dan tingkat kerusakan L. invasa yang mencapai 100% berpotensi menyebabkan kerusakan pada tanaman eucalyptus

di Indonesia.

Penilaian Risiko Kategorisasi OPT

(40)

Famili Eulophidae dan Subfamili Tetrastichinae. Bagian tanaman yang terserang

L. invasa antara lain tulang daun, petiol, pucuk, ranting dan batang tanaman eucalyptus muda dan sangat jarang ditemukan menyerang pada batang tanaman

eucalyptus dewasa. Sampai saat ini belum dilaporkan adanya intersepsi L. invasa di wilayah Indonesia (e-plaq system Barantan), dan belum terdaftar dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93/Permentan/OT.140/12/2011 tentang

Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina.

Penilaian Potensi Masuk

Bentuk Media Pembawa dan Tujuan Pemasukan Media Pembawa.

L. invasa diketahui hanya menyerang tanaman dari genus Eucalyptus (Mendel et al. 2004, Mutitu et al. 2008, Thu et al. 2009, APF ISN 2011). Di antara beberapa jenis tanaman inang dari genus Eucalyptus, E. grandis merupakan media pembawa L. invasa yang seringkali dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Bentuk media pembawa yang dimasukkan dapat berupa bibit dan hasil tanaman

baik untuk keperluan penanaman maupun sebagai bahan baku industri (Tabel 2).

E.grandis diketahui mempunyai tingkat kerentanan tertinggi ke-dua setelah

E. camaldulensis (Mutitu et al. 2008). Kerusakan parah akibat serangan L. invasa terjadi pada bibit dan tanaman muda, dan tingkat serangan semakin menurun dengan bertambahnya umur tanaman (Mendel et al. 2004, Thu et al.

2009). Pada bibit dan tanaman muda serangan umumnya terjadi hampir pada

semua bagian tanaman seperti ranting, tunas, batang, percabangan, petiol, daun

dan tulang daun. Sedangkan pada tanaman dewasa L. invasa puru lebih sulit ditemukan (La Salle et al. 2008).

Data statistik Badan Karantina Pertanian selama 2 tahun terakhir (Tabel 2)

menunjukkan bahwa Eucalyptus spp. yang dilalulintaskan umumnya dalam bentuk hasil tanaman mati yang belum diolah, media pembawa ada yang berasal

dari negara tidak bebas L. invasa yaitu Australia, Uruguay, Perancis, Israel, Italia dan Cina. Pemasukan dalam bentuk bibit (tanaman hidup dan kultur jaringan)

dilaporkan terjadi sebanyak dua kali pada tahun 2010. Bibit eucalyptus yang

dimasukkan berasal dari Jepang dan Australia. Bentuk tanaman eucalyptus

yang berbeda memiliki potensi risiko yang berbeda terhadap masuknya L. invasa

ke wilayah RI. Pemasukan dalam bentuk bibit dan tanaman hidup memiliki

(41)

27

(biji) dan bibit eucalyptus dalam bentuk kultur jaringan tidak memungkinkan untuk

membawa L. invasa sehingga potensi risiko masuknya rendah (1). Sedangkan untuk pemasukan dalam bentuk hasil tanaman mati baik kayu eucalyptus

gelondongan maupun kayu olahan, kecil kemungkinan membawa L. invasa. Hal tersebut disebabkan L. invasa jarang sekali menyerang pada tanaman dewasa dan terhadap kayu olahan yang diimpor telah diberi perlakuan pemanasan (kiln dry) terlebih dahulu sehingga potensi risiko terbawa menjadi rendah (skor 1).

Frekuensi dan Volume Pemasukan Media Pembawa. Volume dan

frekuensi pemasukan eucalyptus dalam bentuk hasil tanaman mati pada tahun

Tabel 2 Volume dan frekuensi pemasukan bibit dan hasil tanaman Eucalyptus

spp. selama dua tahun

Komoditas Negara

(42)

2010 adalah sebesar 16 359.79 m3 untuk 111 kali pemasukan, dan 10 735.16 m3

Pemasukan dalam bentuk bibit dilaporkan berasal dari Australia dan

Jepang masing-masing hanya terjadi sebanyak satu kali pada tahun 2010.

Volume bibit asal Australia sebesar 1.13 kg dan dari Jepang sebesar 5.3 kg.

Bibit dan tanaman muda eucalyptus berpotensi lebih besar membawa L. invasa

dibanding pemasukan dalam bentuk benih, kultur jaringan dan hasil tanaman

mati. Pemasukan bibit eucalyptus ke Indonesia dari negara yang tidak bebas L. invasa (Australia) hanya terjadi satu kali dengan volume yang terbatas, maka potensi masuk L. invasa masuk ke dalam kategori rendah (skor 1). Benih, bibit dalam bentuk kultur jaringan dan hasil tanaman mati juga memiliki potensi masuk

yang rendah meskipun volume dan frekuensi pemasukan tinggi, karena L. invasa

tidak diketahui dapat menyerang bagian tersebut (skor 1). dalam 109 kali pada tahun 2011 (Tabel 2).

Kemungkinan OPT Bertahan Hidup Selama Transportasi dan Lolos

dari Deteksi di Tempat Pemasukan. Menurut Mendel et al. (2004) waktu

perkembangan yang dibutuhkan oleh L. invasa sejak telur diletakkan sampai muncul individu baru dari dalam puru adalah 132.6 hari pada suhu ruang di

Israel, 126.2 dan 138.3 hari berturut-turut pada kondisi laboratorium dan

lapangan di Iran (Hesami et al. 2006), 72 hari (ICFR 2011) dan 54 – 65 hari di India (Kavitha Kumari et al. 2010). Fase telur, larva dan pupa L. invasa dilalui di dalam jaringan tanaman, sehingga sangat memungkinkan untuk terbawa dan

bertahan selama transportasi melalui jalur darat, laut dan udara melalui media

pembawa berbentuk bibit maupun material vegetatif tanaman ataupun hasil

tanaman hidup yang dipindahkan.

Kemungkinan serangga dewasa dapat bertahan selama transportasi lebih

kecil dibandingkan fase lainnya. Masa hidup imago yang terhitung singkat yaitu

6.5 hari jika diberi makan dengan madu dan air dan 3 hari tanpa makan (Mendel

et al. 2004), dan ukuran tubuh yang relatif kecil menyebabkan L. invasa tidak memungkinkan aktif terbang dalam jarak jauh (APF ISN 2011). Serangga

dewasa L. invasa tidak bersifat merusak, karena aktivitas betina dewasa hanya memakan nektar pada bunga tanaman inangnya dan meletakkan telur kembali.

Ukuran telur sangat kecil, berbentuk bulat, putih dan semi transparan dan sulit

dideteksi dengan mata telanjang karena disisipkan di bawah jaringan tanaman

(43)

29

kecil, tanpa tungkai dan berkembang di dalam puru pada bagian tanaman yang

terserang seperti tulang daun, petiol, batang dan ranting tanaman euclayptus

muda, serta tanaman eucalyptus di pembibitan. Larva merupakan fase yang

merusak karena aktivitas makannya pada jaringan tanaman terserang (Mendel et al. 2004). Larva aman terlindung di dalam puru dalam jangka waktu lebih kurang 4 bulan setelah telur diletakkan, sehingga larva tahan terhadap aplikasi pestisida

(Doganlar 2005). Pupa terbentuk di dalam puru, pada fase ini tidak terjadi

aktivitas makan sehingga tidak bersifat merusak.

Siklus hidup L. invasa lebih panjang dari lama perjalanan menggunakan pesawat yaitu mencapai 138 hari. Fase telur, larva dan pupa dilalui di dalam

jaringan tanaman memungkinkan OPT untuk bertahan selama transportasi.

Pemeriksaan secara visual masih memungkinkan dilakukan apabila bibit atau

tanaman yang dimasukkan dan terserang L. invasa telah memasuki

perkembangan puru tahap ke-dua sampai ke-lima karena puru telah jelas

terbentuk. Pada tahap awal perkembangan puru belum terbentuk, sehingga

pemeriksaan secara visual tidak efektif dilakukan. Berdasarkan hal tersebut

maka untuk pemasukan bibit atau tanaman eucalyptus hidup mempunyai risiko

tinggi untuk membawa L. invasa (skor 3). Benih dan kultur jaringan tidak dapat membawa L. invasa maka potensi risiko bertahan selama transportasi rendah (skor 1). Hasil tanaman mati berupa kayu eucalyptus gelondongan dan kayu

eucalyptus yang telah diberi perlakuan pemanasan umumnya diangkut

menggunakan kapal. Karena L. invasa diketahui tidak atau sangat jarang menyerang batang tanaman eucalyptus dewasa, maka faktor lamanya

perjalanan, suhu di dalam palka kapal dan kesulitan dalam mendeteksi L. invasa

dapat diabaikan, sehingga potensi risiko untuk masuk ke wilayah RI rendah (skor

1).

Kemampuan Invasi. Australia merupakan negara asal L. invasa yang

memiliki pertanaman eucalyptus sangat luas. Australia mengekspor bibit

maupun hasil tanaman eucalyptusnya ke Indonesia. Penyebaran L. invasa telah meluas ke beberapa negara di Asia seperti India, Vietnam, Iran, Thailand, Cina,

Gambar

Gambar 1  L. invasa (a) imago betina; (Kavitha Kumari 2009); (b) imago betina
Gambar 2  Lima tahap perkembangan puru akibat serangan  L. invasa pada
Gambar 3  Parasitoid L. invasa: (a) Megastigmus sp. (♀); (b) Megastigmus sp.
Gambar 5  Parasitoid larva L. invasa asal Australia (a) Quadrastichus mendeli
+7

Referensi

Dokumen terkait

6 rt 01/ rw 03 Rembang (Jawa Tengah) Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya berjudul : “PENERAPAN SANKSI TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING MENURUT UNDANG – UNDANG

Hal tersebut dapat melindungi pembuluh darah dari kerusakan aterosklerosis.pada penelitian ini menggunakan manusia sebagai subyek penelitiannya, dengan demikian perlu

Dari hasil wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa, pegawai di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Makassar memiliki inisiatif dalam bekerja sesuai dengan

Hasil : Masalah keperawatan yang ditemukan pada kasus ini adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, ansietas, kurang pengetahuan, dan resiko defisit

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pemanfaatan batu apung, pasir, tepung ketan, poliester dan thinner dalam pembuatan beton polimer, maka dapat

/DZUHQFH0)ULHGPDQ 7KH/HJDO6\VWHP$6RFLDO6FLHQFH3HUVSHFWLYH 1HZ<RUN5XVVHO6DJH)RXQGDWLRQ KOP/LKDWMXJD*XQWHU7HXEQHUHG 'LOHPDVRI/DZLQWKH:HOIDUH6WDWH

Penanda atas elemen visual tersebut bukan hanya memperlihatkan apa yang ada sebagai sebuah realitas hubungan antara tanda verbal dan visual sehingga

Dalam konteks pengembangan kota, RPKPP merupakan rencana terpadu bidang permukiman dan infrastuktur bidang Cipta Karya pada lingkup wilayah perencanaan berupa kawasan