• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Etiologi Gangguan Pendengaran Di RSUP. H. Adam Malik, Medan Dari Periode 1 Januari - 31 Desember 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Etiologi Gangguan Pendengaran Di RSUP. H. Adam Malik, Medan Dari Periode 1 Januari - 31 Desember 2009"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN ETIOLOGI GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP. H. ADAM MALIK, MEDAN

DARI PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2009

Oleh :

SUGUMAR YATHAVAN 070100321

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

GAMBARAN ETIOLOGI GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP. H. ADAM MALIK, MEDAN

DARI PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2009

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

SUGUMAR YATHAVAN 070 100 321

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Medan, 14 Desember 2010

Dekan

Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

---

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH)

NIP : 19540220 198011 1 001

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

: GAMBARAN ETIOLOGI GANGGUAN

PENDENGARAN DI RSUP. H. ADAM MALIK,

MEDAN DARI PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER

2009

Nama

: SUGUMAR YATHAVAN

NIM

: 070 100 321

Pembimbing

Penguji

(4)

ABSTRAK

Latar belakang : Gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara. Menurut World Health Organization (WHO, 2010), gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran (hearing impairment) berarti kehilangan sebagian dari kemampuan untuk mendengar dari salah satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti kehilangan mutlak kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga. Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia dijumpai sebanyak 4,6%, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran sebanyak 9,6 juta orang (WHO, 2001).

Tujuan : Untuk mengetahui gambaran etiologi gangguan pendengaran di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009.

Metode penelitian : Jenis penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dari catatan rekam medis medis dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009. Sampel penelitian adalah semua semua pasien dengan keluhan gangguan pendengaran yang berobat ke Poliklinik Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009. Pengambilan sampel ditetapkan secara non probability sampling berupa consecutive sampling, dan harus memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan. Pengolahan data telah dilakukan dengan menggunakan komputer dengan perisian SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 17,0, kemudian dianalisa dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi.

Hasil : Jumlah kasus gangguan pendengaran di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009 adalah sebanyak 171 kasus. Proporsi tertinggi pasien berdasarkan : etiologi infeksi (54,4%); derajat penurunan pendengaran no impairment (44,4%); jenis gangguan pendengaran konduktif (81,5%); lokasi telinga tengah (55,6%). Proporsi berdasarkan faktor sosiodemografi tertinggi: umur 0 - 14 tahun (12,9%); jenis kelamin perempuan (53,8%); pekerjaaan pelajar sekolah (25,1%).

Kesimpulan dan saran : Infeksi merupakan etiologi tertinggi gangguan pendengaran di di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009. Pihak Rumah Sakit diharapkan melakukan promosi kesehatan, yaitu melakukan penyuluhan berulang kali untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kepedulian akan kepentingan menjaga kesehatan pendengaran.

(5)

ABSTRACT

Introduction : Hearing impairment is defined as a reduction in the ability of distinguishing the sound by a person. According to World Health Organization (WHO, 2010), hearing impairment is different from deafness. Hearing impairment refers to both complete and partial loss of the ability to hear. Deafness refers to the complete loss of hearing ability in one or two ears. The prevalence of hearing impairment cases in Indonesia is as mush as 4,6% with an estimation of 9,6 million patients (WHO, 2001).

Purpose : In order to know the etiology of hearing impairment in RSUP. H. Adam Malik, Medan from 1st January - 31st December 2009.

Methods : A descriptive study was done retrospectively by analyzing medical records from 1st January - 31st December 2009. The sample of the study was all patients with hearing impairment who underwent treatment in the Ear, Nose and Throat (ENT) Polyclinic of RSUP. H. Adam Malik, Medan from 1st January - 31st December 2009. Samples were taken by measure of consecutive sampling which is a non-probability sampling technique and has to meet the inclusive and exclusive criterias. The datas were later processed by using the computer with Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) software version 17,0 and the results would be shown in the form of distribution tables after being analyzed.

Results : There were 171 hearing impairment cases in RSUP. H. Adam Malik, Medan from the period of 1st January - 31st December 2009. The highest proportion of patients based on : etiology was infection (54,4%); degree of hearing loss was no impairment (44,4%); type of hearing impairment was conductive (81,5%); location was the middle ear (55,6%). The highest proportion of patients based on sociodemographical factors : age group was 0 - 4 years old; sex was female (53,8%); occupation was school students (25,1%).

Conclusions and suggestions : Infection was the highest etiology of hearing impairment cases in RSUP. H. Adam Malik, Medan from from 1st January - 31st December 2009. The hospital is being expected to promote health awareness by conducting regular counsellings to empower the community and to increase their interest regarding the importance of taking care of their hearing.

(6)

KATA PENGANTAR

Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya yang telah memelihara dan memampukan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Banyak sekali hambatan dan tantangan yang dialami penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Dengan dorongan, bimbingan, dan arahan dari beberapa pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Ucapan jutaan terima kasih ini penulis tujukan kepada kedua orang tua penulis yaitu Bapak Yathavan Etti dan Ibu Nagooramah Narayanan yang telah memberikan dorongan dan doa restu, baik moral maupun material selama penulis menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD. KGEH atas izin penelitian yang telah diberikan.

2. dr. Andrina Rambe, Sp. THT selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. Direktur RSUP. H. Adam Malik, Medan atas izin penelitian yang diberikan untuk melakukan penelitian di RSUP. H. Adam Malik.

4. Staf-Staf Bagian Rekam Medis RSUP. H. Adam Malik yang telah membantu penulis dalam mendapatkan infromasi rekam medis yang dibutuhkan.

(7)

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Skripsi ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik demi perbaikan. Kepada peneliti lain mungkin masih bisa mengembangkan hasil penelitian ini pada ruang lingkup yang lebih luas dan analisis yang lebih tajam. Akhirnya semoga skripsi ini ada manfaatnya. Demikian dan terima kasih.

November 2010,

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1. Untuk Rumah Sakit ... 3

1.4.2. Untuk Peneliti Lain... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Definisi Gangguan Pendengaran... 4

2.2. Epidemiologi... 4

2.2.1. Prevalensi ... 4

2.2.2. Faktor Sosiodemografi... 5

2.3. Klasifikasi Gangguan Pendengaran ... 6

2.4. Anatomi Telinga ... 8

(9)

2.4.2. Telinga Tengah ... 8

2.4.2. Telinga Dalam ...10

2.5. Fisiologi Telinga ...10

2.5.1. Fisiologi Pendengaran ...10

2.5.2. Gangguan Fisiologi Pendengaran ...11

2.6. Patofisiologi berdasarkan Etiologi ...12

2.6.1. Telinga Luar ...12

2.6.2. Telinga Tengah ...15

2.6.3. Telinga Dalam...19

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ...22

3.1. Kerangka Konsep Penelitian...22

3.2. Definisi Operasional...23

BAB 4 METODE PENELITIAN ...28

4.1. Rancangan Penelitian ...28

4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ...28

4.3. Populasi dan Sampel ...28

4.3.1. Populasi ...28

4.3.2. Sampel ...29

4.4. Jenis dan Sumber Data ...29

4.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ...29

4.6. Instrumen Penelitian...29

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...30

5.1. Hasil Penelitian ...30

(10)

5.1.2. Etiologi Gangguan Pendengaran ...31

5.1.3. Derajat Penurunan Pendengaran dan Jenis-jenis Gangguan Pendengaran Berdasarkan Etiologi Gangguan Pendengaran (Berdasarkan Pemeriksaan Audiogram) ...31

5.1.4. Gangguan Pendengaran Berdasarkan Lokasi Kelainan ...33

5.1.5. Gangguan Pendengaran Berdasarkan Faktor Sosiodemografi ...34

5.2. Pembahasan ...37

5.2.1. Etiologi Gangguan Pendengaran ...37

5.2.2. Derajat Penurunan Pendengaran dan Jenis-jenis Gangguan Pendengaran Berdasarkan Etiologi Gangguan Pendengaran ...38

5.2.3. Gangguan Pendengaran Berdasarkan Lokasi Kelainan ...39

5.2.4. Gangguan Pendengaran Berdasarkan Faktor Sosiodemografi ...39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...42

6.1. Kesimpulan ...42

6.2. Saran ...42

DAFTAR PUSTAKA ...44

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

5.1

Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Etiologi Gangguan Pendengaran di RSUP. H. Adam Malik dari Periode 1 Januari - 31 Desember 2009

31

5.2

Distribusi Frekuensi Derajat Penurunan Pendengaran dan Jenis-jenis Gangguan Pendengaran Berdasarkan Etiologi Gangguan Pendengaran di RSUP. H. Adam Malik Tahun dari Periode 1 Januari - 31 Desember 2009

32

5.3

Distribusi Frekuensi Pasien Gangguan Pendengaran Berdasarkan Lokasi Kelainan di RSUP. H. Adam Malik Dari Periode I Januari - 31 Desember 2009

34

5.4

Distribusi Frekuensi Pasien Gangguan Pendengaran Berdasarkan Faktor Sosiodemografi di RSUP. H. Adam Malik Dari Periode I Januari - 31 Desember 2009

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner

Lampiran 2 Ethical Clearance

Lampiran 4 Surat Permohonan Izin Penelitian dari MEU

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian dari LITBANG

Lampiran 5 Data Induk

Lampiran 6 Hasil Output SPSS

(13)

ABSTRAK

Latar belakang : Gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara. Menurut World Health Organization (WHO, 2010), gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran (hearing impairment) berarti kehilangan sebagian dari kemampuan untuk mendengar dari salah satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti kehilangan mutlak kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga. Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia dijumpai sebanyak 4,6%, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran sebanyak 9,6 juta orang (WHO, 2001).

Tujuan : Untuk mengetahui gambaran etiologi gangguan pendengaran di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009.

Metode penelitian : Jenis penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara retrospektif dari catatan rekam medis medis dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009. Sampel penelitian adalah semua semua pasien dengan keluhan gangguan pendengaran yang berobat ke Poliklinik Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009. Pengambilan sampel ditetapkan secara non probability sampling berupa consecutive sampling, dan harus memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan. Pengolahan data telah dilakukan dengan menggunakan komputer dengan perisian SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 17,0, kemudian dianalisa dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi.

Hasil : Jumlah kasus gangguan pendengaran di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009 adalah sebanyak 171 kasus. Proporsi tertinggi pasien berdasarkan : etiologi infeksi (54,4%); derajat penurunan pendengaran no impairment (44,4%); jenis gangguan pendengaran konduktif (81,5%); lokasi telinga tengah (55,6%). Proporsi berdasarkan faktor sosiodemografi tertinggi: umur 0 - 14 tahun (12,9%); jenis kelamin perempuan (53,8%); pekerjaaan pelajar sekolah (25,1%).

Kesimpulan dan saran : Infeksi merupakan etiologi tertinggi gangguan pendengaran di di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009. Pihak Rumah Sakit diharapkan melakukan promosi kesehatan, yaitu melakukan penyuluhan berulang kali untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kepedulian akan kepentingan menjaga kesehatan pendengaran.

(14)

ABSTRACT

Introduction : Hearing impairment is defined as a reduction in the ability of distinguishing the sound by a person. According to World Health Organization (WHO, 2010), hearing impairment is different from deafness. Hearing impairment refers to both complete and partial loss of the ability to hear. Deafness refers to the complete loss of hearing ability in one or two ears. The prevalence of hearing impairment cases in Indonesia is as mush as 4,6% with an estimation of 9,6 million patients (WHO, 2001).

Purpose : In order to know the etiology of hearing impairment in RSUP. H. Adam Malik, Medan from 1st January - 31st December 2009.

Methods : A descriptive study was done retrospectively by analyzing medical records from 1st January - 31st December 2009. The sample of the study was all patients with hearing impairment who underwent treatment in the Ear, Nose and Throat (ENT) Polyclinic of RSUP. H. Adam Malik, Medan from 1st January - 31st December 2009. Samples were taken by measure of consecutive sampling which is a non-probability sampling technique and has to meet the inclusive and exclusive criterias. The datas were later processed by using the computer with Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) software version 17,0 and the results would be shown in the form of distribution tables after being analyzed.

Results : There were 171 hearing impairment cases in RSUP. H. Adam Malik, Medan from the period of 1st January - 31st December 2009. The highest proportion of patients based on : etiology was infection (54,4%); degree of hearing loss was no impairment (44,4%); type of hearing impairment was conductive (81,5%); location was the middle ear (55,6%). The highest proportion of patients based on sociodemographical factors : age group was 0 - 4 years old; sex was female (53,8%); occupation was school students (25,1%).

Conclusions and suggestions : Infection was the highest etiology of hearing impairment cases in RSUP. H. Adam Malik, Medan from from 1st January - 31st December 2009. The hospital is being expected to promote health awareness by conducting regular counsellings to empower the community and to increase their interest regarding the importance of taking care of their hearing.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan pendengaran merupakan masalah yang umum dialami setiap orang dari waktu ke waktu (Weber et al. 2009). Menurut World Health Organization (WHO, 2010) gangguan pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara. Gangguan pendengaran sering terjadi ketika menaiki pesawat terbang atau mendaki gunung. Pendengaran juga mungkin berkurang selama terjadi infeksi telinga di mana gangguan ini bersifat sementara. Gangguan pendengaran yang bersifat permanen mungkin menimbulkan masalah psikososial dan kesehatan yang pada akhirnya menyebabkan seseorang kehilangan pekerjaan, depresi, dan terisolasi dari kehidupan sosial (Weber et al. 2009).

Di dunia, menurut perkiraan WHO, 80% orang yang mengalami masalah gangguan pendengaran tinggal di negara berkembang. Pada tahun 1995 terdapat 120 juta penderita gangguan pendengaran di seluruh dunia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang sangat bermakna pada tahun 2001 menjadi 250 juta orang. Pada tahun 2005, WHO memperkirakan terdapat 278 juta orang menderita gangguan pendengaran, 75 - 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara (WHO, 2010). Jumlah orang di seluruh dunia dengan semua tingkat gangguan pendengaran meningkat terutama disebabkan meningkatnya populasi global dan usia harapan hidup. Persentase prevalensi gangguan pendengaran pada populasi penduduk secara umum bervariasi dari minimal 4,2% di Indonesia hingga 9% di Sri Lanka, 13,3% di Thailand dan 16,6% di Nepal. Berdasarkan angka-angka diatas, terdapat lebih daripada 100 juta orang yang menderita masalah ketulian dan gangguan pendengaran di kawasan Asia Timur (WHO, 2007).

(16)

memiliki angka gangguan pendengaran dan ketulian. Berdasarkan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran dengan sampel sebesar 19.375 di 7 provinsi ( Sumbar, Sumsel, Jateng, Jatim, NTB, Sulsel dan Sulut) dari tahun 1994 - 1996, prevalensi ketulian sekitar 0,4% dan gangguan pendengaran sekitar 16,8%. Penyebabnya, akibat infeksi telinga tengah 3,1%, presbikusis 2,6%, tuli akibat obat (ototoksik) 0,3%, tuli sejak lahir (kongenital) dan tuli akibat paparan bising sekitar 0,1%. Bila saat ini jumlah penduduk Indonesia adalah 214,1 juta berarti diperkirakan terdapat 36 juta orang yang mengalami gangguan pendengaran dan 850.000 orang penderita ketulian. (Suwento, 2007).

Mengingat pentingnya masalah gangguan pendengaran, beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, menyepakati tanggal 3 Maret sebagai peringatan Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran (HKTP). Tahun 2010 merupakan tahun pertama Indonesia memperingati HKTP dengan tema “Telinga Sehat Pendengaran Baik” (DEPKOMINFO, 2010).

Dari data di atas dapat dilihat bahwa gangguan pendengaran merupakan suatu masalah yang serius di Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin melakukan penelitian untuk mengetahui gambaran etiologi gangguan pendengaran di RSUP H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari 2009 - 31 Desember 2009.

1.2. Perumusan Masalah

Gambaran etiologi gangguan pendengaran di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran etiologi gangguan pendengaran di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009.

1.3.2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui derajat dan jenis kasus gangguan pendengaran

berdasarkan rekam medis dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009.

(17)

b. Untuk mengetahui etiologi gangguan pendengaran berdasarkan bagian

telinga (telinga luar, tengah dan dalam) di RSUP. H. Adam Malik, Medan

dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009.

c. Untuk mengetahui distribusi etiologi gangguan pendengaran

berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin dan pekerjaan di RSUP. H.

Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Untuk Rumah Sakit

Dapat dipakai sebagai informasi atau masukan dalam meningkatkan pelayanannya terutama dalam menangani masalah gangguan pendengaran.

1.4.2. Untuk Peneliti Lain

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Pendengaran

Menurut World Health Organization (WHO), gangguan pendengaran adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga (WHO, 2010).

Menurut Weber et al. (2009) gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara.

Gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran (hearing impairment) berarti kehilangan sebagian dari kemampuan untuk mendengar dari salah satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti kehilangan mutlak kemampuan mendengar dari salah satu atau kedua telinga (WHO, 2010).

2.2. Epidemiologi 2.2.1. Prevalensi

Menurut laporan Global Burden of Disease (GBD), estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di dunia pada tahun 2004 berjumlah 360,8 juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di dunia dianggarkan sebanyak 275,7 juta orang.

Daerah Asia Tenggara mempunyai distribusi tertinggi penderita gangguan pendengaran dengan estimasi penderita sebanyak 178,3 juta orang, diikuti daerah Pasifik Barat (159,2 juta orang), Eropa (120,3 juta orang), Amerika (76,7 juta orang), Afrika (56,2 juta orang), dan Mediterranean Timur (56,2 juta orang).

Estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di Asia Tenggara pada tahun 2004 berjumlah 88,5 juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di Asia Tenggara dianggarkan sebanyak 89,8 juta orang. (GBD, 2004).

(19)

2.2.2. Faktor Sosio Demografi a. Faktor Umur

Menurut estimasi WHO, prevalensi permulaan (onset) gangguan pendengaran pada orang dewasa di Indonesia adalah lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan prevalensi permulaan gangguan pendengaran pada anak-anak, yaitu 7,1% untuk orang dewasa dibandingkan 0,80% untuk anak-anak (WHO, 2001).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin dilaporkan tidak berperan secara signifikan dalam kasus gangguan pendengaran. Secara global, lelaki dikatakan lebih sering mengalami masalah gangguan pendengaran daripada wanita. Hal yang sama terjadi di daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia dengan perbandingan lelaki kepada wanita adalah 1 : 2 (WHO, 2001).

c. Faktor Lingkungan Hidup

Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran (1994 - 1996) mendapati bahwa prevalensi gangguan pendengaran lebih besar di daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan di Indonesia, yaitu 16,9% kasus di daerah pedesaan dibandingkan 16,3% kasus di daerah perkotaan (Suwento, 2007).

d. Faktor lingkungan pekerjaan

Gangguan pendengaran yang terjadi dalam industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa (Soetjipto, 2007).

Pada tahun 1990, sekitar 30 juta orang di Amerika Serikat terpapar pada tingkat kebisingan di atas 85 dB setiap hari kerja, dibandingkan dengan lebih 9 juta orang pada tahun 1981 (Hashim, 2001).

(20)

2.3. Klasifikasi Gangguan Pendengaran

Menurut Weber et al (2009), gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu :

- konduktif - sensorineural - campuran

Pada gangguan jenis konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.

Pada gangguan jenis sensorineural terdapat kelainan pada koklea, nervus vestibulocochlearis (VIII) atau di pusat pendengaran, sedangkan gangguan campuran disebabkan oleh kombinasi gangguan konduktif dan sensorineural.

Gangguan campuran dapat merupakan akibat suatu penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (sensorineural) dengan radang telinga tengah (konduktif) (Soetirto et al. 2007).

Nilai dari gangguan pendengaran menurut WHO oleh Dhingra (2008) :

Derajat penurunan

Ambang pendengaran di telinga yang sehat

(Rata-rata 500, 1000, 2000, 4000 Hz) Deskripsi penurunan

(21)

suara normal pada jarak 1 meter.

2 pada jarak 1 meter.

3

81 atau lebih besar

Tidak dapat

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.

Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 - 3 cm.

Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat) dan rambut (Soetirto et al. 2007).

2.4.2. Telinga Tengah

(22)

- batas luar : membran timpani - batas depan : tuba Eustachius

- batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)

- batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis - batas atas : tegmen timpani (meningen / otak)

- batas dalam : kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium.

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkular pada bagian dalam.

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani kanan. Terdapat dua macam serabut di membran timpani, sirkular dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu.

Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus dan stapes.

Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian.

(23)

Tuba Eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah (Soetirto et al. 2007).

2.4.3. Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis). Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti.

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidahyang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti (Soetirto et al. 2007).

2.5. Fisiologi Telinga

2.5.1. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.

(24)

Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.

Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis (Soetirto et al. 2007).

2.5.2. Gangguan Fisiologi Pendengaran

Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan gangguan konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan gangguan sensorineural, yang terbagi atas gangguan koklea dan gangguan retrokoklea.

Sumbatan tuba Eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan terdapat gangguan konduktif. Gangguan pada vena jugularis berupa aneurisma akan menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung.

Antara inkus dan maleus berjalan cabang nervus facialis yang disebut korda timpani. Bila terdapat radang di telinga tengah atau trauma mungkin korda timpani terjepit, sehingga timbul gangguan pengecapan.

Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat pendengaran. Obat-obat dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran rusak, dan terjadi gangguan sensorineural. Setelah pemakaian obat ototoksik seperti streptomisin, akan terdapat gejala gangguan sensorineural dan gangguan keseimbangan (Soetirto et al. 2007).

2.6. Patofisiologi berdasarkan Etiologi 2.6.1. Telinga Luar

a. Kongenital

Kanalis auditori eksterna berkembang dari minggu 8 sampai minggu ke 28 kehamilan; masalah dapat terjadi kapan saja selama fase perkembangan.

(25)

Atresia atau stenosis signifikan kanalis auditori eksterna menyebabkan gangguan pendengaran konduktif sedang sampai berat (Weber et al. 2009).

b. Trauma

Pinna dapat mengalami trauma, baik dari benturan langsung atau suhu yang ekstrem. Benturan keras pada telinga dapat menyebabkan perdarahan antara tulang rawan dan membran di atasnya, menghasilkan apa yang dikenal sebagai cauliflower ear. Pinna juga dapat terjejas akibat radang dingin (frostbite) (Alberti, 1999).

Trauma penetrasi ke kanalis auditori eksterna atau meatus disebabkan luka tembak, luka tusuk atau fraktur dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif ringan sampai berat, tergantung pada tingkat oklusi kanalis auditori eksterna (Weber et al. 2009).

c. Infeksi

Kulit adalah halus, mudah terkelupas sehingga mudah meradang. Hal ini bisa terjadi ketika berada di tempat yang panas, kondisi lembab terutama ketika berenang dalam air yang terinfeksi yang menghasilkan swimmer’s ear.

Penggunaan sarung bulu atau muffs pada telinga terutama dalam cuaca panas dapat menghasilkan kondisi yang sangat panas dan lembab di dalam saluran telinga sehingga daerah ini rentan terhadap infeksi, insersi dan pengeluaran penyumbat telinga atau ear plug bisa menghasilkan peradangan (Alberti, 1999).

Spektrum infeksi mencakup bentuk-bentuk akut atau kronis. Dalam hal infeksi perlu dipertimbangkan agen bakteri, jamur dan virus (Boies, 1997).

d. Serumen

(26)

serumen terdapat di sepertiga luar liang telinga karena kelenjar tersebut hanya ditemukan di daerah ini.

Serumen dapat keluar sendiri dari liang telinga akibat migrasi epitel kulit yang bergerak dari arah membran timpani menuju ke luar serta dibantu oleh gerakan rahang sewaktu mengunyah.

Gumpalan serumen yang menumpuk di dalam liang telinga akan menimbulkan gangguan pendengaran konduktif terutama bila telinga dimasuki air (sewaktu mandi, berenang), serumen mengembang sehingga menimbulkan rasa tertekan dan gangguan pendengaran semakin dirasakan sangat mengganggu (Sosialisman et al. 2007).

e. Pertumbuhan tulang jinak  Exostosis

Exostosis atau pertumbuhan tulang jinak pada kanalis auditori eksterna paling sering terjadi pada orang yang memiliki pemaparan ulang terkena air dingin (Weber et al. 2009).

Exostosis kadang-kadang terlihat seperti mutiara putih dan sering dikelirukan sebagai kista, mungkin mengobstruksi membran timpani (Alberti, 1999).

 Osteoma

Osteoma adalah pertumbuhan tulang tunggal yang paling sering terikat dengan garis sutura timpani skuamosa. Osteoma biasanya lebih sering ditemukan lebih ke arah meatus dibandingkan dengan exostosis yang biasanya lebih ke arah medial dan medekati membran timpani (Weber et al. 2009).

f. Tumor

(27)

g. Polip jinak

Polip jinak dapat terjadi akibat kondisi otologik lain, seperti infeksi telinga kronis atau kolesteatoma.

Kadang-kadang, polip jinak dapat tumbuh cukup besar untuk mengaburkan lumen kanalis auditori eksterna (Weber et al. 2009).

h. Penyakit sistemik

Diabetes mellitus dan kondisi-kondisi lain yang dapat mengakibatkan kompromi sistem imun dapat menjadi faktor predisposisi berkembangnya otitis eksterna nekrotikans yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran akibat oklusi kanalis auditori eksterna (Weber et al. 2009).

i. Dermatologi

Penyakit kulit tertentu seperti psoriasis dapat menyebabkan lesi pada kanalis auditori eksterna dan meatus (Weber et al. 2009).

Lesi tersebut dicirikan oleh kemerahan, rasa gatal, pembengkakan, dan stadium eksudat cair yang diikuti oleh pembentukan krusta (Boies, 1997).

Insersi dan pengeluaran penyumbat telinga atau ear plug dengan tangan yang kotor dapat menyebabkan dermatitis kontak pada liang telinga (Alberti, 1999).

2.6.2. Telinga Tengah a. Kongenital

Atresia atau malformasi rantai osikular dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif. Abnormalitas osikular yang paling umum adalah hilangnya atau dislokasi (malalignment) cura tulang stapes. Namun demikian, gangguan pendengaran konduktif sering disebabkan oleh abnormalitas inkus atau sendi malleoinkuidal (Weber et al. 2009).

b. Trauma

(28)

Benturan keras pada sisi kepala dapat menyebabkan perforasi membran timpani, yang biasanya sembuh secara spontan. Benturan berat pada kepala dapat menyebabkan fraktur tulang temporal dan fraktur atau dislokasi rantai osikular.

Hal ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif yang signifikan, dan biasanya disertai gangguan pendengaran sensorineural.

 Benda asing

Membran timpani dapat megalami perforasi langsung akibat tusukan benda tajam di dalam telinga atau dengan ledakan (Alberti, 1999).

 Barotrauma (Aerotitis)

Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu di dalam pesawat terbang atau menyelam, yang menyebabkan tuba Eustachius gagal untuk membuka. Apabila perbedaan tekanan melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadi tekanan negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari pembuluh darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di telinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah (Djaafar et al. 2007).

Penyelam akan mengalami penyumbatan atau perdarahan telinga tengah jika mereka tidak dapat membersihkan telinga ketika sedang naik atau turun. Aktivitas menyelam dalam air yang dingin dapat menganggu fungsi tuba Eustachius, dengan demikian menurunkan kemampuan untuk menyamakan tekanan telinga tengah (Alberti, 1999).

(29)

 Tuba terbuka abnormal

Tuba terbuka abnormal ialah tuba yang terus menerus terbuka, sehingga udara masuk ke dalam telinga tengah sewaktu respirasi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh hilangnya jaringan lemak di sekitar mulut tuba sebagai akibat penurunan berat badan yang hebat, penyakit kronis tertentu seperti rinitis atrofi dan faringitis, gangguan fungsi otot seperti miastenia gravis, penggunaan obat anti hamil pada wanita dan penggunaan estrogen pada lelaki.

 Obstruksi tuba

Obstruksi tuba dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti peradangan di nasofaring, peradangan adenoid atau tumor nasofaring (Djaafar et al. 2007).

d. Infeksi

Penyebab paling umum penyakit telinga tengah adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyebabkan otitis media akut atau otitis media kronis. Telinga tengah yang menjadi bagian dari saluran pernafasan adalah rentan pada infeksi yang sama dengan hidung dan sinus (Alberti, 1999).

Pada gangguan ini biasanya terjadi disfungsi tuba Eustachius seperti obstruksi yang diakibatkan oleh infeksi saluran nafas atas, sehingga timbul tekanan negatif di telinga tengah.

Sebaliknya, terdapat gangguan drainase cairan telinga tengah dan kemungkinan refluks sekresi esofagus ke daerah ini yang secara normal bersifat steril.

Cara masuk bakteri pada kebanyakan pasien kemungkinan melalui tuba Eustachius akibat kontaminasi sekret dalam nasofaring. Bakteri juga dapat masuk telinga tengah bila ada perforasi membran timpani. Eksudat purulen biasanya ada dalam telinga tengah dan mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif (Djaafar et al. 2007).

e. Tumor

(30)

Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi jaringan epitel dalam ruang telinga tengah.

Kolesteatoma kongenital terjadi karena perkembangan dari proses inklusi pada embrional atau dari sel-sel epitel embrional. Karena itu kolesteatoma ditemui di belakang dari membran timpani yang intak, tanpa berlanjut ke saluran telinga luar dengan tidak adanya faktor-faktor yang lain seperti perforasi dari membran timpani, atau adanya riwayat infeksi pada telinga (Weber et al. 2009).

Jika terjadi disfungsi tuba Eustachius, maka terjadilah keadaan vakum pada telinga tengah. Sehingga pars flaksida membran timpani tertarik dan membentuk kantong retraksi (retraction pocket). Jika kantong retraksi ini terbentuk maka terjadi perubahan abnormal pola migrasi epitel timpani, menyebabkan akumulasi keratin pada kantong tersebut. Akumulasi ini semakin lama semakin banyak dan kantong retraksi bertambah besar ke arah medial. Destruksi tulang-tulang pendengaran sering terjadi. Pembesaran dapat berjalan semakin ke posterior mencapai aditus ad antrum menyebar ke tulang mastoid, erosi tegmen mastoid ke durameter dan atau ke lateral kanalis semisirkularis yang dapat menyebabkan ketulian dan vertigo (Djaafar et al. 2007).

 Otosklerosis

Otosklerosis adalah pertumbuhan tulang lunak pada footplate stapes. Apabila tulang lunak tersebut berkembang, stapes tidak dapat lagi berfungsi sebagai piston, melainkan bolak-balik dan akhirnya benar-benar terfiksasi. Konduksi semakin memburuk secara bertahap sampai gangguan pendengaran konduktif maksimal 60 dB tercapai (Weber et al. 2009).

2.6.3. Telinga Dalam a. Kongenital

(31)

atau non herediter. Gangguan pendengaran sensorineural dapat diwarisi dalam pola autosomal yang dominan atau resesif, 90 % adalah autosomal resesif di mana anak-anak mempunyai orang tua dengan pendengaran normal.

Malformasi kongenital juga bisa terjadi di telinga dalam, ini termasuk apa-apa dari atresia lengkap ke rongga pada koklea (Weber et al. 2009).

b. Presbikusis

Presbikusis adalah gangguan pendengaran sensorineural yang berhubungan dengan penuaan. Beberapa faktor mempengaruhi kecepatan terjadinya gangguan pendengaran termasuk paparan terhadap kebisingan seumur hidup, genetika, obat-obatan, dan infeksi. Gangguan pendengaran biasanya menjadi lebih signifikan dalam dekade keenam dan biasanya simetris, dimulai pada batas frekuensi tinggi (Weber et al. 2009).

c. Infeksi

Infeksi telinga dalam yang paling umum pada orang dewasa adalah viral cochleitis, dan meningitis pada anak-anak (Weber et al. 2009). Meningitis umumnya mempengaruhi telinga dalam karena cairan perilimfa mempunyai kontinuitas langsung dengan cairan serebro spinal. Meningitis mengakibatkan respon inflamatori akut pada meninges dan juga pada koklea yang sama sekali menghancurkan koklea (Alberti, 1999).

d. Penyakit Meniere

Penyakit Meniere adalah gangguan pendengaran akibat pembengkakan rongga endolimfa (Levine, 1997).

Penderita penyakit Meniere mempunyai keluhan seperti serangan episodik vertigo, tinnitus, dan gangguan pendengaran sensorineural (Weber et al. 2009).

(32)

Paparan yang terus menerus terhadap suara yang keras dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural frekuensi tinggi. Mekanisme di mana kebisingan yang berlebihan menyebabkan gangguan pendengaran termasuk kerusakan mekanik langsung struktur koklea dan metabolisme berlebihan akibat overstimulasi.

Beberapa efek metabolik yang berpotensi adalah pelepasan berlebihan nitrat oksida yang dapat merusak sel-sel rambut, pembentukan radikal bebas oksigen yang menjadi toksik di membran, dan konsentrasi rendah magnesium yang melemahkan sel-sel rambut dengan cara mengurangi konsentrasi kalsium intraseluler (Weber et al. 2009).

f. Trauma

Barotrauma telinga dalam dapat terjadi apabila terdapat perbedaan tekanan antara telinga tengah dan telinga dalam yang menyebabkan ruptur tingkap bundar dan lonjong.

Trauma penetrasi dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural atau campuran. Kecederaan ini biasanya disebabkan oleh luka tembak yang dapat mengakibatkan fraktur tulang temporal (Weber et al. 2009).

g. Tumor

Tumor yang paling umum menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural adalah neuroma akustik, yang berasal dari bagian vestibular saraf kranialis yang kedelapan (Weber et al. 2009).

h. Endokrin / sistemik / metabolik

Berbagai kelainan metabolik telah diketahui menjadi penyebab atau dikaitkan dengan gangguan pendengaran sensorineural (Weber et al. 2009).

i. Gangguan pendengaran autoimun

(33)

rheumatoid arthritis, dan sistemik lupus eritematosus (Weber et al. 2009).

j. Obat-obatan ototoksik

(34)

BAB 3

KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan kajian teoritas yang telah dikemukan di atas, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian seperti gambar dibawah ini :

Etiologi gangguan pendengaran

(Diagnosis)

1. Derajat dan jenis penurunan pendengaran

3. Sosiodemografi a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Lingkungan pekerjaan 2. Bagian telinga yang mengalami

(35)

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Semua gangguan pendengaran yang berhubungan dengan telinga luar adalah gangguan pendengaran konduktif. Artinya, konduksi suara terganggu tetapi dapat diperbaiki. Hal ini menyebabkan penurunan suara tetapi umumnya tidak menghasilkan distorsi.

Seperti telinga luar, semua gangguan pendengaran yang berkaitan dengan telinga tengah adalah gangguan pendengaran konduktif.

Gangguan pendengaran pada telinga dalam biasanya disebabkan oleh kehilangan pendengaran sensorineural.

Etiologi gangguan pendengaran telinga :

• Kongenital atau bawaan

• Infeksi

• Trauma akibat benda asing

• Tumor telinga

• Pertumbuhan tulang jinak

• Polip jinak

• Penyakit dermatologi

• Serumen

• Perforasi membran timpani

• Presbikusis

• Penyakit Meniere

• Paparan terhadap bunyi bising

• Obat-obatan ototoksik

• Gangguan neural

(36)

3.2.2. Derajat penurunan pendengaran berdasarkan WHO :

Derajat penurunan

Ambang pendengaran di telinga yang sehat

(Rata-rata 500, 1000, 2000, 4000 Hz) Deskripsi penurunan

0 pada jarak 1 meter.

2 pada jarak 1 meter.

3

81 atau lebih besar

(37)

3.2.3. Jenis-jenis gangguan pendengaran :

• Gangguan pendengaran konduktif

Gangguan pendengaran konduktif disebabkan oleh masalah yang terjadi pada telinga luar atau tengah dan berkaitan dengan masalah penghantaran suara.

• Gangguan pendengaran sensorineural

Gangguan pendengaran sensorineural adalah istilah untuk menggambarkan adanya masalah pada telinga dalam, baik di koklea, saraf pendengaran atau sistem pendengaran pusat.

• Gangguan pendengaran campuran

Gangguan pendengaran campuran adalah kondisi dimana gangguan pendengaran mempunyai unsur konduktif dan sensorineural.

3.2.4. Gangguan pendengaran berdasarkan lokasi kelainan :

• Telinga luar

• Telinga tengah

• Telinga dalam

3.2.5. Gangguan pendengaran berdasarkan umur :

(38)

• 45 - 49 tahun

3.2.6. Gangguan pendengaran berdasarkan jenis kelamin :

• Lelaki

• Perempuan

3.2.7. Gangguan pendengaran berdasarkan lingkungan pekerjaan :

Klasifikasi pekerjaan menurut Departemen Pertanian Republik Indonesia (DEPTAN, 2010) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (DEPNAKERTRANS, 2003) :

• Petani / nelayan

• Usaha industri

• Usaha / pekerja bangunan

• Pedagang / pekerja penjualan

• Wiraswasta

• Bidang pengamanan

• Bidang pelayanan jasa kesehatan

• Bidang pelayanan jasa transportasi

• Bidang usaha pariwisata

• Bidang media masa

• Bidang jasa pos dan telekomunikasi

• Bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi

• Profesional tatalaksana administrasi

• Mahasiswa

• Masih sekolah

(39)

• Menganggur

• Pensiunan / tidak bekerja lagi

(40)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitan

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Data penelitian diambil secara retrospektif (sekunder) dari catatan medis selama 1 tahun dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009.

4.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di RSUP. H. Adam Malik Medan. Pemilihan lokasi penelitian ini atas pertimbangan :

a. Rumah sakit ini adalah salah satu rumah sakit pusat yang mempunyai peralatan dan fasilitas untuk mendeteksi gangguan pendengaran.

b. Rumah sakit ini mempunyai data yang lengkap tentang gangguan pendengaran di bagian rekam medis.

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Agustus - November 2010.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua pasien dengan keluhan gangguan pendengaran.

4.3.2. Sampel a. Sampel

Sampel adalah semua semua pasien dengan keluhan gangguan pendengaran yang berobat ke Poliklinik THT di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009.

(41)

Pengambilan sampel ditetapkan secara non probability sampling berupa consecutive sampling, dan harus memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang telah ditetapkan.

Kriteria inklusi :

- mempunyai keluhan gangguan pendengaran. Kriteria eksklusi :

- data-data rekam medis tidak lengkap.

4.4. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari rekam medik pasien dengan keluhan gangguan pendengaran yang berobat ke Poliklinik THT di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009.

4.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data telah dilakukan dengan menggunakan komputer dengan perisian SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 17,0, kemudian dianalisa secara deskriptif dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi.

4.6. Instrumen Penelitian

(42)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit milik pemerintah. Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Prov. Sumatera Utara. Rumah Sakit ini terletak di lahan yang luas di pinggiran kota Medan Indonesia. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan Rumah Sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes no. 547/Menkes/SK/VII/1998 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991.

5.1.2. Etiologi Gangguan Pendengaran

Pada tabel 5.1 dapat diketahui distribusi etiologi gangguan pendengaran di Departemen THT RSUP. H. Adam Malik dari periode I Januari - 31 Desember 2009.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Etiologi Gangguan Pendengaran di RSUP. H. Adam Malik dari Periode 1 Januari - 31

(43)

dan yang terendah adalah paparan terhadap bunyi bising dan obat-obatan ototoksik yaitu masing-masing satu orang (0,6%).

5.1.3. Derajat Penurunan Pendengaran dan Jenis-jenis Gangguan Pendengaran Berdasarkan Etiologi Gangguan Pendengaran (Berdasarkan Pemeriksaan Audiogram)

Pada tabel 5.2 dapat diketahui distribusi derajat penurunan pendengaran dan jenis-jenis gangguan pendengaran berdasarkan pemeriksaan audiogram di RSUP. H. Adam Malik dari periode I Januari - 31 Desember 2009. Hanya 54 orang daripada 171 orang pasien dengan keluhan gangguan pendengaran telah menjalani pemeriksaan tersebut dari periode I Januari - 31 Desember 2009.

(44)

Dari tabel 5.2. dapat dilihat distribusi derajat penurunan pendengaran dan jenis-jenis gangguan pendengaran berdasarkan etiologi. Dari total 54 pasien diketahui bahwa derajat penurunan pendengaran yang tertinggi adalah no impairment, sebanyak 24 orang (44,4%), yaitu akibat infeksi (23 orang) dan presbikusis (1 orang). Profound impairment (including deafness) adalah derajat penurunan pendengaran yang terendah, sebanyak 2 orang (3,7%), yaitu masing-masing satu orang akibat infeksi dan paparan terhadap bunyi bising. Dari total 54 pasien diketahui bahwa jenis gangguan pendengaran yang tertinggi adalah gangguan pendengaran konduktif, sebanyak 44 orang (81,5%), dimana semuanya akibat infeksi. Gangguan pendengaran sensorineural adalah jenis gangguan pendengaran yang terendah, sebanyak 2 orang (3,7%), yaitu masing-masing satu orang akibat presbikusis dan paparan terhadap bunyi bising.

5.1.4. Gangguan Pendengaran Berdasarkan Lokasi Kelainan

Pada tabel 5.3 dapat diketahui distribusi pasien gangguan pendengaran berdasarkan lokasi kelainan yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam di RSUP. H. Adam Malik dari periode I Januari - 31 Desember 2009.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pasien Gangguan Pendengaran Berdasarkan Lokasi Kelainan di RSUP. H. Adam Malik dari Periode 1 Januari - 31 Desember 2009

No Gangguan Pendengaran Berdasarkan Lokasi

(45)

Dari tabel 5.3. dapat dilihat distribusi gangguan pendengaran berdasarkan lokasi kelainan. Dari total 171 pasien diketahui bahwa 95 orang pasien (55,6%) mengalami gangguan pendengaran di telinga tengah. Sebanyak 6 orang pasien (3,5%) mengalami gangguan pendengaran di telinga dalam.

5.1.5 Gangguan Pendengaran Berdasarkan Faktor Sosiodemografi

Pada tabel 5.4 dapat diketahui distribusi pasien gangguan pendengaran berdasarkan faktor sosiodemografi yaitu umur, jenis kelamin dan lingkungan pekerjaan di RSUP. H. Adam Malik dari periode I Januari - 31 Desember 2009.

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Pasien Gangguan Pendengaran Berdasarkan Faktor Sosiodemografi di RSUP. H. Adam Malik dari Periode 1 Januari - 31 Desember 2009

No Faktor Sosiodemografi Frekuensi %

(46)

3. Lingkungan Pekerjaan

Petani / nelayan 7 4,1

Profesional tatalaksana administrasi 26 15,2

Mahasiswa 5 2,9

Masih sekolah 43 25,1

Mengurus rumahtangga 29 17,0

Menganggur 17 9,9

Pensiunan / tidak bekerja lagi 6 3,5

Belum sekolah (termasuk balita) 10 5,8

Usaha / pekerja bangunan 1 0,6

Wiraswasta 26 15,2

Bidang pengamanan 1 0,6

Total 171 100

Dari tabel 5.4. dapat dilihat bahwa kelompok umur yang terbanyak yang mengalami gangguan pendengaran adalah 10 - 14 tahun yaitu sebanyak 22 orang (12,9%) diikuti dengan kelompok umur 20 - 24 tahun yaitu sebanyak 20 orang (11,7%) dan yang terkecil adalah kelompok umur 65 - 69 tahun yaitu sebanyak 3 orang (1,8%).

Berdasarkan jenis kelamin, yang terbanyak mengalami gangguan pendengaran adalah perempuan yaitu sebanyak 92 orang (53,8%) diikuti oleh lelaki sebanyak 79 orang (46,2%).

Berdasarkan lingkungan hidup, yang terbanyak mengalami gangguan pendengaran adalah di perkotaan yaitu sebanyak 102 orang (59,6%) diikuti oleh 69 orang (40,4%) yang tinggal di pedesaan.

(47)

5.2. Pembahasan

5.2.1. Etiologi Gangguan Pendengaran

Dari tabel 5.1 dapat diketahui bahwa jumlah kasus gangguan pendengaran di RSUP. H. Adam Malik dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009 berjumlah 171 kasus. Etiologi tertinggi penyebab gangguan pendengaran adalah infeksi yaitu sebanyak 93 orang (54,4%) diikuti oleh serumen yaitu sebanyak 54 orang (31,6%), trauma sebanyak 12 orang (7,0%), tumor sebanyak 6 orang (3,5%), presbikusis sebanyak 4 orang (2,3%), dan yang terendah adalah paparan terhadap bunyi bising dan obat-obatan ototoksik yaitu masing-masing mempunyai satu orang (0,6%).

Serumen dan otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan etiologi paling umum yang mengakibatkan gangguan pendengaran di Asia Tenggara. Berdasarkan beberapa penelitian didapati etiologi paparan terhadap bunyi bising dan obat-obatan ototoksik menyumbang hampir 15% kasus gangguan pendengaran di Asia Tenggara (WHO, 2001).

Menurut WHO (2001), etiologi gangguan pendengaran di Indonesia adalah serumen (13,2%), OMSK (3,6%), otitis media serosa (0,3%), perforasi membran timpani (2,6%), kongenital (0,1%), faktor lain-lain (1,2%), dan faktor idiopatik (2,8%).

Pada pertemuan konsultasi WHO-SEARO (South East Asia Regional Office) di Colombo, Sri Lanka pada tahun 2002, disimpulkan bahwa pada 9 negara dibawah koordinasi WHO-SEARO (Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand) penyebab gangguan pendengaran adalah OMSK, kongenital, presbikusis, pemakaian obat ototoksik, pemaparan bising (noise induced hearing loss) dan serumen. Sedangkan secara khusus Indonesia ditugaskan untuk lebih banyak memusatkan perhatian pada penanggulangan OMSK, kongenital, pemaparan bising dan presbikusis (Suwento, 2007).

5.2.2. Derajat Penurunan Pendengaran dan Jenis-jenis Gangguan Pendengaran Berdasarkan Etiologi Gangguan Pendengaran

(48)

Dari tabel 5.2 dapat diketahui bahwa derajat penurunan pendengaran yang tertinggi adalah no impairment, sebanyak 24 orang (44,4%), yaitu akibat infeksi (23 orang) dan presbikusis (satu orang). Sebanyak 11 orang (20,4%) mengalami moderate impairment akibat infeksi. Sebanyak 10 orang (18,5%) mengalami mild impairment akibat infeksi. Sebanyak 7 orang (13%) mengalami severe impairment akibat infeksi (6 orang) dan tumor (satu orang). Sebanyak 2 orang (3,7%) mengalami profound impairment (including deafness), yaitu masing-masing satu orang akibat infeksi dan paparan terhadap bunyi bising.

Pasien dengan derajat penurunan pendengaran profound impairment (including deafness) biasanya mempunyai kemampuan berbicara yang sangat buruk. (Suwento, 2007).

Jenis gangguan pendengaran yang tertinggi adalah gangguan pendengaran konduktif, yaitu sebanyak 44 orang (81,5%) akibat infeksi. Sebanyak 8 orang (14,8%) mengalami gangguan pendengaran campuran, yaitu akibat infeksi (7 orang) dan tumor (satu orang). Sebanyak 2 orang (3,7%) mengalami gangguan pendengaran sensorineural, yaitu masing-masing satu orang akibat presbikusis dan paparan terhadap bunyi bising.

Berdasarkan penelitian gangguan pendengaran yang dilakukan di Mesir oleh Abdel-Hamid et al (2007), didapati 64,1% dari total subjek penelitian tersebut mengalami gangguan pendengaran konduktif, 33,5% mengalami gangguan pendengaran sensorineural, dan 2,4% mengalami gangguan pendengaran campuran.

5.2.3. Gangguan Pendengaran Berdasarkan Lokasi Kelainan

Dari tabel 5.3 dapat diketahui bahwa gangguan pendengaran berdasarkan lokasi kelainan yang tertinggi adalah telinga tengah yaitu sebanyak 95 orang (55,6%) diikuti oleh telinga luar sebanyak 70 orang (40,9%) dan yang terendah adalah telinga dalam yaitu sebanyak 6 orang (3,4%).

(49)

5.2.4. Gangguan Pendengaran Berdasarkan Faktor Sosiodemografi 5.2.4.1 Umur

Dari tabel 5.4 dapat diketahui bahwa kelompok umur tertinggi yang mengalami gangguan pendengaran adalah kelompok 10 - 14 tahun yaitu sebanyak 22 orang (12,9%) diikuti oleh kelompok 20 - 14 tahun sebanyak 20 orang (11,7%), kelompok 30 - 34 tahun sebanyak 18 orang (10,5%), kelompok 15 - 19 tahun sebanyak 16 orang (9,4%), kelompok 25 - 29 tahun sebanyak 15 orang (8,8%), kelompok 40 - 44 tahun sebanyak 11 orang (6,4%), dan kelompok 50 - 54 tahun sebanyak 10 orang (5,8%). Kelompok umur 0 - 4 tahun, 35 - 39 tahun, dan 60 - 64 tahun masing-masing mempunyai 8 orang (4,7%). Kelompok umur 45 - 49 tahun dan 55 - 59 tahun masing-masing mempunyai 7 orang (4,1%). Kelompok umur 70 - 74 tahun dan > 75 tahun masing-masing mempunyai 4 orang (2,3%). Kelompok umur terendah adalah 65 - 69 tahun yaitu sebanyak 3 orang (1,8%).

Menurut hasil survei National Academy on an Aging Society (NASS, 1999) yang dilakukan di Amerika Serikat, 43% orang yang mengalami gangguan pendengaran termasuk dalam kelompok umur 65 tahun dan ke atas, diikuti kelompok umur 45 - 64 tahun (29%), kelompok umur 18 - 44 tahun (23%), dan kelompok umur 0 - 17 tahun (7%).

Berdasarkan penelitian gangguan pendengaran yang dilakukan di Mesir oleh Abdel-Hamid et al (2007), didapati kelompok umur 0 - 4 tahun mempunyai frekuensi tertinggi mengalami gangguan pendengaran, yaitu 22,4%. Prevalensi gangguan pendengaran pada kelompok umur 6 - 12 tahun adalah 10%.

5.2.4.2 Jenis Kelamin

Dari tabel 5.4 dapat diketahui bahwa perempuan lebih banyak mengalami gangguan pendengaran, yaitu 92 orang (53,8%), diikuti oleh lelaki, yaitu sebanyak 79 orang (46,2%).

Menurut Abdel-Hamid et al (2007), jenis kelamin tidak berperan dalam terjadinya gangguan pendengaran.

Menurut hasil survei National Academy on an Aging Society (NASS, 1999) yang dilakukan di Amerika Serikat, 61% orang yang mengalami gangguan pendengaran adalah lelaki, manakala 31% adalah perempuan.

(50)

sering mengalami masalah gangguan pendengaran daripada wanita. Hal yang sama terjadi di daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia dengan perbandingan lelaki kepada wanita adalah 1 : 2.

5.2.4.3 Lingkungan Pekerjaan

Dari tabel 5.4 dapat diketahui bahwa pelajar sekolah merupakan kelompok yang terbanyak mengalami gangguan pendengaran, yaitu sebanyak 43 orang (25,1%), diikuti ibu rumahtangga sebanyak 29 orang (17,0%). Kelompok profesional tatalaksana administrasi dan wiraswasta masing-masing mempunyai 26 orang (15,2%), diikuti oleh kelompok pengangguran, yaitu sebanyak 17 orang (9,9%). Kelompok belum sekolah (termasuk balita) sebanyak 10 orang (5,8%), diikuti kelompok petani atau nelayan, sebanyak 7 orang (4,1%), kelompok pensiunan atau tidak bekerja lagi, yaitu sebanyak 6 orang (3,5%), dan kelompok mahasiswa sebanyak 5 orang (2,95). Kelompok pekerja bangunan dan bidang pengamanan masing-masing sebanyak satu orang (0,6%).

Menurut Concha-Barrientos (2004), pekerjaan yang berisiko tinggi untuk gangguan pendengaran adalah sektor pembangunan, transportasi, pertambangan, pertanian dan militer.

Menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. SE-01/MEN/1978, Nilai Ambang Batas Kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Waktu maksimum bekerja adalah 16 jam per hari (82 dB), 8 jam per hari (85 dB), 4 jam per hari (88 dB), 2 jam per hari (91 dB), 1 jam per hari (97 dB), dan ¼ jam per hari (100 dB) (Buchari, 2007).

(51)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

6.1.1. Jumlah kasus gangguan pendengaran di di RSUP. H. Adam Malik dari periode 1 Januari - 31 Desember 2009 berjumlah 171 kasus.

6.1.2. Proporsi terbanyak etiologi gangguan pendengaran adalah infeksi yaitu 54,4%.

6.1.3. Proporsi terbanyak derajat penurunan pendengaran berdasarkan hasil pemeriksaan audiogram adalah no impairment yaitu 44,4%.

6.1.4. Proporsi terbanyak jenis-jenis gangguan pendengaran adalah gangguan pendengaran konduktif yaitu 81,5%.

6.1.5. Proporsi terbanyak gangguan pendengaran berdasarkan lokasi kelainan adalah telinga tengah yaitu 55,6%.

6.1.6. Proporsi terbanyak pasien gangguan pendengaran berdasarkan sosiodemografi menurut umur 10 - 14 tahun (12,9%), jenis kelamin perempuan (53,8%), pekerjaan pelajar sekolah (25,1%).

6.2. Saran

6.2.1 Perlunya pihak rumah sakit melakukan promosi kesehatan, yaitu melakukan penyuluhan berulang kali untuk menambah pengetahuan masyarakat dan meningkatkan kepedulian akan kepentingan menjaga kesehatan pendengaran.

(52)

6.2.3. Dokter spesialis THT di rumah sakit perlu membina dan mengembangkan keterampilan dokter dan perawat di puskesmas tentang kesehatan pendengaran.

6.2.4. Pihak rumah sakit disarankan agar pencatatan status pasien pada rekam medis dilakukan dengan lebih teratur dan lengkap untuk memudahkan peneliti yang akan melakukan penelitian berdasarkan rekam medis.

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Hamid, O., Khatib, O.M.N., Aly, A., Morad, M., and Kamel, S., 2007.

Prevalance and Patterns of Hearing Impairment in Egypt : A ational Household

Survey. Available from :

[Accessed 23

October 2010].

Alberti, P.W., 1999. The Pathophysiology of the Ear. Available from : 15 April 2010].

Buchari, 2007. Kebisingan. Available from :

[Accessed

23 October 2010].

Boeis Jr, L.R., 1997. Penyakit Telinga Luar. In: Effendi, H., Santoso, R.A.K., ed. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta : EGC, 75-86.

Concha-Barrientos, M., Campbell-Lendrum, D., Steenland, K., 2004. Occupational

Noise. Available from :

http://www.who.int/quantifying_ehimpacts/publications/en / ebd9. pdf. [Accessed 26 April 2010].

Dhingra, P.L., 2008. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4th ed. New Delhi : Elsevier, 30-40.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. In: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, S., Restuti, R.D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-77.

(54)

Available from : [Accessed 16 April 2010].

Hashim, C.W, 2001. WHO-Fact Sheets : Occupational and Community Noise. Available from :

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005.

Available from :

http://www.depkes.go.id/downloads/profil/Profil%20Kesehatan%20Indonesia%2 02005.pdf. [Accessed 17 April 2010].

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2010. 30-50 Persen Anak Usia Sekolah Kurang Menjaga Kebersihan Telinga. Available from : sekolah- kurang - menjaga - kebersihan - telinga/. [Accessed 16 March 2010].

Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2010. Kode Pekerjaan. Available from :

[Accessed 27 April 2010].

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2003. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep. 223 /Men / 2003 Tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Available from :

[Accessed 27 April 2010].

Levine, S.C., 1997. Penyakit Telinga Dalam. In: Effendi, H., Santoso, R.A.K., ed. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta : EGC, 119-138.

(55)

That Affects Quality of Life. Available from :

[Accessed 23

October 2010].

Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan

Kelainan Telinga. In: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, S., Restuti, R.D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 10-22.

Soetjipto, D 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising / GPAB. Available from :

[Accessed 26

April 2010].

Sosialisman, Hafil, A.F., Helmi, 2007. Kelainan Telinga Luar. In: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, S., Restuti, R.D., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 57-62.

Suwento, R 2007. Standar Pelayanan Kesehatan Indera Pendengaran di Puskesmas. Available from : [Accessed 16 March 2010].

Weber, P.C., Deschler, G.D., and Sokol, H.N., 2009. Etiology of Hearing Loss in

Adults. Available from :

World Health Organization, 2001. State of Hearing and Ear care in the South-East

Asia Region. Available from :

(56)

Hearing Loss and Intervention Programmes : Proposed Plans of Action for Prevention and Alleviation of Hearing Impairment in Countries of the South-East

Asia Region. Available from :

March 2010].

World Health Organization, 2010. Deafness and Hearing Impairment. Available from

[Accessed 16

(57)

LAMPIRAN

GAMBARAN ETIOLOGI GANGGUAN PENDENGARAN DATA DASAR

DI RSUP. H. ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2009

1. Jenis kelamin :

4. Lingkungan pekerjaan :

(58)

• Bidang pelayanan jasa transportasi ( )

• Bidang usaha pariwisata ( )

• Bidang media masa ( )

• Bidang jasa pos dan telekomunikasi ( )

• Bidang penyediaan tenaga listrik, ( ) jaringan pelayanan air bersih (PAM), dan

penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi

• Profesional tatalaksana administrasi ( )

• Mahasiswa ( )

5. Etiologi berdasarkan diagnosis :

• Kongenital atau bawaan ( )

6. Gangguan pendengaran berdasarkan lokasi :

• Telinga luar ( )

• Telinga tengah ( )

(59)

7. Derajat penurunan pendengaran berdasarkan WHO :

No impairment (0) ( )

Slight impairment (1) ( )

Moderate impairment (2) ( )

Severe impairment (3) ( )

Profound impairment ( )

(including deafness) (4)

8. Jenis-jenis gangguan pendengaran :

• Gangguan pendengaran konduktif ( )

• Gangguan pendengaran sensorineural ( )

(60)
(61)
(62)
(63)
(64)

SPSS Output Frequency Table

ETIOLOGI GANGGUAN PENDENGARAN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

PRESBIKUSIS 4 2.3 2.3 2.3

PAPARAN TERHADAP

BUNYI BISING 1 .6 .6 2.9

OBAT-OBATAN

OTOTOKSIK 1 .6 .6 3.5

INFEKSI 93 54.4 54.4 57.9

TRAUMA 12 7.0 7.0 64.9

TUMOR 6 3.5 3.5 68.4

SERUMEN 54 31.6 31.6 100.0

Total 171 100.0 100.0

DERAJAT PENURUNAN PENDENGARAN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

NO IMPAIRMENT 24 44.4 44.4 44.4

MILD IMPAIRMENT 10 18.5 18.5 63.0

MODERATE IMPAIRMENT 11 20.4 20.4 83.3

SEVERE IMPAIRMENT 7 13.0 13.0 96.3

PROFOUND IMPAIRMENT

(INCLUDING DEAFNESS) 2 3.7 3.7 100.0

Gambar

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Etiologi Gangguan
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Derajat Penurunan Pendengaran dan Jenis-jenis
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pasien Gangguan Pendengaran Berdasarkan
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Pasien Gangguan Pendengaran Berdasarkan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan tentang Tata Cara Tetap Pelaksanaan Pengamatan dan Pengelolaan

Sebuah proses kreatif penciptaan musik tari dapat dilaksanakan oleh seorang composer atau penata musik dalam mewujudkan ekspresi suasana dalam garap tarinya, dengan cara

keesokan harinya dihari kedua adalah kegiatan utama pengujungi Tempat wisata benteng alla yang jaraknya tidak jauh dari tempat kami istirahat sebelum kami

Berdasarkan perhitungan amortisasi dapat disimpulkan bahwa dengan penyajian Intellectual Capital yang diungkapkan dalam laporan keuangan tahunan PT PLN (Persero) Distribusi Jawa

Lagu “Sidang atau Berdamai" ini sendiri menceritakan tentang pengalaman seorang pemuda yang mengalami kesialan karena harus berurusan dengan polisi di jalan karena melanggar

Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan

diperlukan dalam administrasi publik, etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan