KEWENANGAN KREDITUR DALAM PERMOHONAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
(STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA
No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. NIAGA – MEDAN)
TESIS
Oleh
SOPHIA 097005084/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KEWENANGAN KREDITUR DALAM PERMOHONAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
(STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA
No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. NIAGA – MEDAN)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
SOPHIA 097005084/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : KEWENANGAN KREDITUR DALAM
PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG MENURUT UU NO. 37
TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEW PUTUSAN AJIBAN
PEMBAYARAN UTANG (STUDI TERHADAP
PENGADILAN NIAGA No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. NIAGA – MEDAN)
Nama Mahasiswa : Sophia
Nomor Pokok : 097005084
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi D e k a n
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 11 Juli 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan Hukum Kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian
utang piutang mereka. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Sursence
van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap Debitur yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Bab III, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294, dapat diajukan oleh Debitur atau oleh Kreditur. Permasalahan dalam penelitian tesis ini mengenai latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004, mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU, dan menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.
Penelitian dalam Tesis ini bersifat Deskriptif Analitis, menguraikan atau memaparkan, sekaligus menganalisa sejauhmana kewenangan Kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diberikan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dengan studi terhadap Putusan Perkara PKPU No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan, metode penulisan dengan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder dengan alat penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam perkara-perkara kepailitan. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan wewenang kepada kreditur untuk memohonkan PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan (3), didasarkan pada pertimbangan dimana para Kreditur memberikan kesempatan kepada Debiturnya untuk merestrukturisasikan utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga ada kemungkinan dibayarkan piutangnya dari Debiturnya secara penuh. Rencana Perdamaian agar
dibuat oleh debitur, untuk hal ini perlu dibuat insolvency test untuk membuktikan
bahwa debitur benar-benar dalam keadaan insolvent dari sisi finansial atau
benar-benar tidak mampu membayar utangnya, sehingga pailitnya debitur akan sesuai dengan filosofi Hukum Kepailitan. Pertimbangan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara No. 05/ PKPU/2010/ PN. Niaga - Medan adalah tidak sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004, karena dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) menurut UU No. 37 Tahun 2004, tidak memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Kata Kunci: kreditur,Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
ABSTRACT
Along with the development of trade in large and global scale, the problem of debt and credit of a company or an individual becomes more complicated so that it needs effective legal provisions. The development of global economy needs bankrupty law which can fulfill the need of law for businessmen in handling their debt and credit in which the globalization of law is in accordance with the global economy. There fore, the old bankrupty law is considered out of date so that it cannot fulfill the need of law for businessmen who want the process of bankrupty to run speedily, transparently, effectively, equitably, and be able to quarantee legal certainty. Therefore, the government made the policy to revise faillisement verordening by enacting perpu (Government Regulation) No.1/1998 which was then ratified to law No.4/1998. on october18, 2004 it was revamped to law No.37/2004 on bankruptcy and postponement of the obligation of paying off debt (henceforth PKPU).
PKPU in law No.37/2004 is regulated in capter III, from article 222 to article 294, which can be filed by debitor or by creditor. A good debitor has the right to file the PKPU to his creditor. But in law No.37/2004, a creditor can also file the PKPU to his debitor when he is sure enough that the debitors can pay up their matured debt and it can be pay able, according to the agreed PKPU.
The research was descriptive analytic which described and analyzed to what extent the creditors authority in filing the PKPU as it was stipulated in law No.37/2004 on bankruptcy and PKPU by studying the verdict on PKPU case No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan. The type of the research was the written method with judical normative approach, ie, a research which was referred to judical norms found in the legal provisions with a normative base witch came from general premise and came to a specific conculation. The data were collected by using library research in order to obtain theoretical concept or doctrine, conceptual ideas, and preliminary research which were related to the subject matter of the research such as legal provisions and other scientific works.
K A T A P E N G A N T A R
Segala puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karuniaNya, sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis dengan
judul: “Kewenangan Kreditur dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/
PN. Niaga – Medan).”
Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Peneliti menyadari sepenuhnya, Tesis ini tidak akan tersusun dengan baik dan
selesai pada waktunya tanpa bantuan dari berbagai pihak pendukung. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, perkenankanlah Peneliti menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, CTM
(K), Sp.A (K),
2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas pemberian
kesempatan menjadi mahasiswi di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan,
3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., yang juga sebagai Penguji,
telah memberikan petunjuk serta saran yang bermanfaat dan sangat mendukung
dalam penyelesaian Tesis ini,
4. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Ketua Komisi Pembimbing yang telah
memberikan motivasi, bimbingan, petunjuk dan saran yang sangat bermanfaat
5. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, Pembimbing II yang telah meluangkan waktu
dan telah banyak memberikan bantuan berupa motivasi, bimbingan, petunjuk,
saran dan arahan, dalam menyelesaikan penelitian Tesis ini,
6. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, Komisi Pembimbing III Tesis yang telah
meluangkan waktu dan pemikiran untuk mengoreksi isi dan juga cara penulisan,
serta memberikan sumbang saran, arahan dan petunjuk, dalam penelitian Tesis
ini,
7. Dr. Deddi Harianto, S.H., M.Hum, Panitia Penguji Tesis yang telah memberikan
petunjuk dan saran dalam menyelesaikan Tesis ini,
8. Bapak/ Ibu dosen pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa menyumbangkan Ilmunya yang
sangat berarti bagi masa depan saya,
9. Staf Administrasi Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan bantuan dalam informasi
mengenai perkuliahan,
10.Dalam kesempatan ini, dengan penuh sukacita, Peneliti mengucapkan terima
kasih kepada Orangtua tercinta ayahanda D. Eddy dan Ibunda Linda, atas segala
jerih payah dan pengorbanannya yang tiada terhingga dalam mengasuh, mendidik,
membimbing Peneliti sejak lahir, serta senantiasa mengiringi Penulis dan
keluarga dengan doa yang tiada putus. Dan kepada saudara-saudara terkasih,
adik-adik tersayang, atas segala dukungan moril yang diberikan, Peneliti
mengucapkan terima kasih,
11.Teristimewa kepada: Suami tercinta Prof. Dr. dr. Hadyanto Lim, M.Kes., Sp. FK.,
FESC, FIBA, yang dengan penuh cinta kasih, kesabaran, dalam memberikan
segala dukungan yang sangat berarti, dorongan semangat belajar dan
pengorbanan yang tiada terhingga, demikian juga anak-anak saya, sehingga
menjadi motor penggerak tersendiri untuk keberhasilan studi Peneliti.
Dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih yang
namanya satu persatu, dan juga semua pihak yang telah turut membantu dalam proses
penyelesaian Tesis ini.
Peneliti menyadari pula, bahwa substansi Tesis ini tidak luput dari
berbagai kekhilafan, kekurangan dan kesalahan, dan tidak akan sempurna tanpa
bantuan, nasehat, bimbingan, arahan, kritikan. Oleh karenanya, apapun yang
disampaikan dalam rangka penyempurnaan Tesis ini, penuh sukacita Peneliti terima
dengan tangan terbuka.
Semoga Tesis ini dapat memenuhi maksud penelitiannya, dan dapat
bermanfaat bagi semua pihak, sehingga Ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan
untuk kepentingan bangsa.
Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati dan melindungi, serta memberikan
anugerahnya bagi kita semua, mahkluk hidup yang disayangiNya. Amin.
Medan, Mei 2011.
RIWAYAT HIDUP
Nama : Sophia
Tempat/Tanggal Lahir : Tebing Tinggi Deli, 12 Oktober 1971
Jenis Kelamin : Wanita
Agama : Kristen Protestan
Jabatan/ Pekerjaan : Advokat
Alamat : Jl Ibus Raya, No. 110, Medan.
Pendidikan : SD Methodist II, Tebing Tinggi Deli, Lulus Tahun
1979,
SMP Methodist II, Tebing Tinggi Deli, Lulus Tahun 1982,
SMA Negeri 1, Tebing Tinggi Deli, Lulus Tahun 1985,
Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, Lulus Tahun 2009,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Keaslian Penelitian ... 8
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10
1. Kerangka Teori ... 10
2. Kerangka konsepsi ... 19
G. Metode Penelitian ... 23
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 23
2. Sumber Bahan Hukum ... 25
3. Tehnik Pengumpulan Data ... 26
BAB II KEWENANGAN KREDITUR DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG (PKPU) BERDASARKAN UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 29
A. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Surseance
vanBetaling, Suspension of Payment) ... 29
B. Permohonan PKPU Dalam Hukum Kepailitan Sebelum Keluarnya
UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang ... 33
C. Permohonan PKPU Dalam Hukum Kepailitan Setelah Keluarnya
UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang ... 38
D. Alasan Kewenangan Kreditur mengajukan PKPU Berdasarkan UU
No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang ... 42
1. Filosofi Kewenangan Kreditur Dalam Mengajukan PKPU ... 48
2. Pengertian dan latar belakang dilakukannya restrukturisasi
Utang ... 51
3. Pihak-Pihak yang mengajukan PKPU Berdasarkan
UU No. 37 Tahun 2004 berdasarkan pasal 222 s/d 294 uu No.37
BAB III MEKANISME RENCANA PERDAMAIAN DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BERDASARKAN
UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 62
A. Maksud Dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.... 63
B. Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Utang ... 65
C. Perdamaian (accord) Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... . 71
D. Status Hukum Debitur Selama Berlangsungnya PKPU ... . 84
E. Akibat Hukum Perdamaian Dan Pembatalan Perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... . 86
BAB IV PENERAPAN HUKUM KEPAILITAN DALAM PERMOHONAN PKPU OLEH KREDITUR PADA PUTUSAN PERKARA NO. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 90
A. Kronologis Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 90
C. Putusan Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 90
D. Analisa Kasus Dalam Putusan Pengadilan Niaga Medan No. 05/ PKPU/2010/ PN. Niaga – Medan ... 100
1. Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan Tidak Tepat Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 ... 100
2. Majelis Hakim Tidak Berwenang Untuk Membatalkan PKPU .... 107
3. Majelis Hakim Menggunakan Pertimbangan Syarat-Syarat Kepailitan... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 110
A. Kesimpulan ... ... 110
B. Saran ... .. 112
Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan Hukum Kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian
utang piutang mereka. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Sursence
van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap Debitur yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Bab III, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294, dapat diajukan oleh Debitur atau oleh Kreditur. Permasalahan dalam penelitian tesis ini mengenai latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004, mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU, dan menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.
Penelitian dalam Tesis ini bersifat Deskriptif Analitis, menguraikan atau memaparkan, sekaligus menganalisa sejauhmana kewenangan Kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diberikan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dengan studi terhadap Putusan Perkara PKPU No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan, metode penulisan dengan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder dengan alat penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam perkara-perkara kepailitan. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan wewenang kepada kreditur untuk memohonkan PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan (3), didasarkan pada pertimbangan dimana para Kreditur memberikan kesempatan kepada Debiturnya untuk merestrukturisasikan utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga ada kemungkinan dibayarkan piutangnya dari Debiturnya secara penuh. Rencana Perdamaian agar
dibuat oleh debitur, untuk hal ini perlu dibuat insolvency test untuk membuktikan
bahwa debitur benar-benar dalam keadaan insolvent dari sisi finansial atau
benar-benar tidak mampu membayar utangnya, sehingga pailitnya debitur akan sesuai dengan filosofi Hukum Kepailitan. Pertimbangan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara No. 05/ PKPU/2010/ PN. Niaga - Medan adalah tidak sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004, karena dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) menurut UU No. 37 Tahun 2004, tidak memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Kata Kunci: kreditur,Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
ABSTRACT
Along with the development of trade in large and global scale, the problem of debt and credit of a company or an individual becomes more complicated so that it needs effective legal provisions. The development of global economy needs bankrupty law which can fulfill the need of law for businessmen in handling their debt and credit in which the globalization of law is in accordance with the global economy. There fore, the old bankrupty law is considered out of date so that it cannot fulfill the need of law for businessmen who want the process of bankrupty to run speedily, transparently, effectively, equitably, and be able to quarantee legal certainty. Therefore, the government made the policy to revise faillisement verordening by enacting perpu (Government Regulation) No.1/1998 which was then ratified to law No.4/1998. on october18, 2004 it was revamped to law No.37/2004 on bankruptcy and postponement of the obligation of paying off debt (henceforth PKPU).
PKPU in law No.37/2004 is regulated in capter III, from article 222 to article 294, which can be filed by debitor or by creditor. A good debitor has the right to file the PKPU to his creditor. But in law No.37/2004, a creditor can also file the PKPU to his debitor when he is sure enough that the debitors can pay up their matured debt and it can be pay able, according to the agreed PKPU.
The research was descriptive analytic which described and analyzed to what extent the creditors authority in filing the PKPU as it was stipulated in law No.37/2004 on bankruptcy and PKPU by studying the verdict on PKPU case No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan. The type of the research was the written method with judical normative approach, ie, a research which was referred to judical norms found in the legal provisions with a normative base witch came from general premise and came to a specific conculation. The data were collected by using library research in order to obtain theoretical concept or doctrine, conceptual ideas, and preliminary research which were related to the subject matter of the research such as legal provisions and other scientific works.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat dengan PKPU,
Sursence van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam
Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap debitur yang
mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik. Melalui
pengajuan PKPU, debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta
kekayaannya dalam hal debitur berada dalam keadaan insolven.1
PKPU sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan terhadap debitur yang
masih beritikad baik untuk membayar hutang-hutangnya kepada seluruh krediturnya.
PKPU diatur dalam Pasal 222 s/d Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Pasal 222 ayat (1)
disebutkan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini dapat diajukan oleh:
1. Debitur.
Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur yang tidak dapat, atau
memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar
utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU, dengan
1
maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian, yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada kreditur.2
2. Kreditur:
Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tersebut tidak dapat melanjutkan
membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon
ke Pengadilan Niaga, agar kepada debitur diberi Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, untuk memungkinkan si debitur mengajukan Rencana
Perdamaiannya kepada mereka, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utangnya kepada kreditur-krediturnya.3
3. Pengecualian, terhadap debitur Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik4, maka:
a. Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang oleh kreditur terhadap bank tersebut, atau permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur bank ini sendiri, hanya
b. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring
dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang debitur ini atau oleh krediturnya,
hanya dapat diajukan oleh atau melalui Badan Pengawas Pasar Modal6
c. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang oleh debitur ini atau oleh para krediturnya, hanya dapat diajukan oleh
atau melalui Menteri Keuangan.7
Pada dasarnya, maksud dari pemberian Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang kepada debitur adalah agar si debitur yang berada dalam keadaan insolven
(insolvency), mempunyai kesempatan untuk mengajukan suatu Rencana Perdamaian,
baik berupa tawaran untuk pembayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian
atas utangnya, Oleh karena itu, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan
kesempatan bagi si debitur untuk melunasi atau melaksanakan kewajibannya atas
utang-utang tersebut, sehingga si debitur tersebut tidak sampai dinyatakan pailit. 8
Dalam melaksanakan PKPU melalui restrukturisasi utang, diperlukan syarat
paling utama, yaitu adanya kemauan dan itikad baik dan juga kooperatif, serta
bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam restrukturisasi, antara lain:
melakukan penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali
(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring), sehingga diperoleh jalan
keluar bagi penyelesaian pembayaran utang macet tersebut tanpa menimbulkan
banyak kerugian bagi pihak kreditur dan pihak debitur.9
Dalam hal kreditur tersebut merupakan kreditur separatis, apabila
restrukturisasi utang telah dilakukan, dan telah disetujui oleh kreditur separatis, tetapi
debitur gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut atau tidak beritikad baik, maka
pihak kreditur dapat melakukan pengambilan jaminan kredit yang diberikan oleh
debitur kepada krediturnya, atau si kreditur dapat mengajukan gugatan perdata atau
permohonan pailit terhadap utang-utang debiturnya ke Pengadilan.10
Terkait dengan pengajuan permohonan PKPU, terdapat perkembangan yang
cukup menarik dalam pengajuan permohonan PKPU. Apabila dalam Faillissement
verordening dan dalam UU No. 4 Tahun 1998, permohonan PKPU hanya dapat
diajukan oleh debitur maka dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan PKPU dapat
diajukan oleh debitur dan kreditur. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk
mengetahui mengapa pihak kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan
permohonan PKPU padahal yang mengetahui kondisi kesehatan suatu perusahaan
hanyalah debitur itu sendiri.
Pemberian kewenangan kepada si kreditur agar dapat memohonkan PKPU bagi
debiturnya, membawa arti bahwa utang si debitur itu dapat terbayarkan kepada
kreditur dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi si debitur saat itu, dan
bila si debitur dan krediturnya beritikad baik, maka harapan kedua pihak itu adalah
tercapainya Rencana Perdamaian yang dapat mengcover kewajiban debitur dan hak
kreditur, yang kemudian dapat disetujui secara bersama dalam rapat perdamaian dan
dilakukan pengesahan perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga (homologasi).11
Dari sudut pandangan hukum, Undang-Undang Kepailitan ini bertujuan untuk
melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk
menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar oleh debitur, dan Undang-Undang
Kepailitan juga bertujuan melindungi debitur dengan memberikan cara baginya untuk
menyelesaikan utangnya tanpa membayar sekaligus secara penuh, sehingga usahanya
dapat bangkit kembali tanpa beban utang.12
Meskipun ada beberapa alternatif yang ditawarkan untuk penyelesaian utang
piutang antara debitur dan kreditur namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya
niat yang sungguh-sungguh dari para debitur untuk melunasi utang-utangnya.13
Dalam hal ini, hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan
kepastian hukum bagi kreditur, yang pada akhirnya hukum dapat mendorong
pemulihan ekonomi, dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktabilitas dan
keadilan dalam hukum negara.14
Diberikannya kesempatan bagi kreditur untuk mengajukan permohonan PKPU
dalam UU No. 37 Tahun 2004 sebagai bentuk pemberian keadilan dan kepastian
hukum bagi kreditur dan debitur telah dilakukan dalam berbagai perkara kepailitan
dan PKPU, termasuk diantaranya adalah putusan No. 05/ PKPU/ PN. Niaga – Medan,
yang diajukan oleh kreditur perusahaaan dan debitur perseorangan.
Putusan ini menarik untuk dikaji dengan alasan sampai saat ini putusan ini
merupakan satu-satunya permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditur di
Pengadilan Niaga Medan, yang dimana putusan hakim atas perkara tersebut tidak
sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004. Atas dasar hal di atas maka penelitan ini
penting untuk dilakukan.
B. Permasalahan
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan dalam
penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Mengapa kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan Permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat PKPU) terhadap
debitur dalam UU No. 37 Tahun 2004?
14
2. Bagaimana mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU?
3. Bagaimana penerapan Hukum Kepailitan dalam perkara No. 05/ PKPU/ 2010/
PN. Niaga - Medan menurut UU No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur
untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dalam UU No. 37 Tahun 2004.
2. Untuk mengetahui mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU.
3. Untuk menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/
PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
D. Manfaat Penelitian
Dari sudut penerapannya dalam Ilmu Pengetahuan, penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang Hukum Kepailitan di Indonesia
pada umumnya, dan khususnya tentang Permohonan Penundaan Kewajiban
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai kalangan, yakni:
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan kajian bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan,
b. Memperkaya khasanah kepustakaan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukkan bagi Pemerintah, khususnya untuk lebih
menegaskan indikasi dan standar kepentingan umum dalam peraturan
perundang-undangan terhadap Permohonan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang diajukan oleh para Kreditur, sehingga akan lebih
menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum.
b. Sebagai bahan masukkan bagi masyarakat umum yang mencari keadilan yang
hak-haknya telah dirugikan oleh perorangan atau persoon maupun badan
hukum, sehingga masyarakat mendapatkan kepastian dan perlindungan
hukum terhadap pihak-pihak yang telah merugikan mereka tersebut.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan, khususnya pada
lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa
penelitian tentang Permohonan PKPU dengan judul “Kewenangan Kreditur Dalam
Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun
Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)
sudah pernah dilakukan, antara lain:
1. Tesis dengan judul “Analisis Mengenai Keadaan Tidak Membayar Utang Yang
Telah Jatuh Waktu Dan Dapat Ditagih Menurut Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. UU
No. 4 Tahun 1998 Dan Dalam Prakteknya Di Peradilan Niaga”, oleh Fahren pada
tahun 2003.
2. Tesis dengan judul “Suatu Analisis Pengertian Utang Di Dalam Undang-Undang
No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan (Studi Kasus Pengadilan Niaga Medan)”,
oleh Chairuni Nasution pada tahun 2003.
Keduanya memiliki rumusan permasalahan dan kajian yang berbeda.
Penelitian lanjutan ini, mengkaji mengenai kewenangan kreditur, khususnya dalam
Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mekanisme Rencana
Perdamaian sesuai dengan Hukum Acara Perdata dalam Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, dan penerapannya dalam perkara No. 05/ PKPU/
2010/ PN. Niaga. Penelitian ini juga menjunjung kode etik penulisan karya ilmiah,
oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya, baik dilihat dari materi,
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Sistim hukum Indonesia pada awalnya menganut sistim hukum Eropah
Kontinental yang diadopsi dari Belanda. Namun, pada perkembangan selanjutnya
pengaruh unsur-unsur hukum dalam sistim hukum Anglo Saxon banyak mewarnai
perkembangan hukum di Indonesia khususnya hukum bisnis, yang salah satu
diantaranya adalah Hukum Kepailitan di Indonesia. Pada UU No. 4 Tahun 1998
maupun UU No. 37 Tahun 2004 sudah dipengaruhi oleh sistem hukum Anglo Saxon,
diantaranya adalah pembentukan Pengadilan Niaga, adanya kurator pemerintah, dan
kurator swasta, serta pemberian kewenangan mengajukan permohonan PKPU oleh
kreditur dalam UU No. 37 Tahun 2004.
Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini,
digunakan teori yang dikemukakan oleh Aristoteles dan John Rawls, yakni teori
keadilan. Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat, bukan
merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan
aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian
menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Aristoteles
mendefinisikan keadilan sebagai berikut:15
“Justice is a political virtue, by the rules of it, the state is regulated and these
rules the criterion of what is right.”
15
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke V buku
Nicomachean Ethics.16 Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus
dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2)
apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim, apakah keadilan itu terletak.17
Menurut Aristoteles, arti keadilan ada 2 (dua), yakni:18
1. Keadilan Dalam Arti Umum
Keadilan sering diartikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter
yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah
keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap
ketidakadilan adalah ketidakadilan.
Secara umum, dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak
patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka
orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair.
Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan
pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil.
Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan
masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Dengan demikian, keadilan
16
Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen.html, diakses pada tanggal 20 Juni 2011.
17
Ibid., hal. 2. 18
bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya
mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain.
2. Keadilan Dalam Arti Khusus
Keadilan dalam arti khusus, terkait dengan beberapa pengertian berikut ini,
yaitu:
a. Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau
hal lainnya, kepada mereka yang memiliki bagian haknya. Keadilan ini
adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu tindakan
bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara
“yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah
titik tengah atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice). Dasar
persamaan antara anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem
yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem demokrasi,
landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan
manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki,
dasar persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat
kelahiran, sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya
adalah keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut
menjadikan keadilan lebih pada makna persamaan sebagai proporsi.
Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah
b. Perbaikan suatu bagian dalam transaksi
Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan (rectification).
Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang
yang dilakukan secara sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah
keadilan apabila masing-masing memperoleh bagian sampai titik
tengah (intermediate), atau suatu persamaan berdasarkan prinsip
timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan, serta
ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu
orang memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang
dibuat secara sederajat.
Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21
lebih menekankan pada keadilan sosial.19 Hal ini terkait dengan munculnya
pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. John
Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup
manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.20
John Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah
struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan,
kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi; dimana kategori
struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk menilai apakah institusi-institusi sosial
yang ada telah adil, atau tidak melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.
19
Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: Internasional Law Book Review, 1994), hal. 278.
20
Menurut John Rawls, dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang
digunakan adalah:21
1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua
pihak;
2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling
lemah.
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang
adil atas kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari
keadilan, yaitu:22
1. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioritas,
2. Perbedaan,
3. persamaan yang adil atas kesempatan.
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai
kepentingannya terlebih dahulu, baru kemudian kepentingan umum, dimana hasrat ini
adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian
keadilan, maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun,
realitas masyarakat menunjukkan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud
karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat, sehingga perbedaan ini menjadi
dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada
persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk
21
Ibid., hal. 138. 22
memenuhi kepentingannya, walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu
masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.23
Teori Keadilan dari John Rawls menyatakan bahwa cara yang adil untuk
mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan
kepentingan-kepentingan tersebut, tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap
kepentingan itu sendiri. Tegasnya, prinsip-prinsip dimana orang yang rasional akan
memilih jika ia belum tahu kedudukannya dalam masyarakat; prinsip keadilan inilah
yang kita pilih, karena orang-orang akan selalu bertindak menurut kepentingannya
sendiri, maka kita tidak dapat membiarkan seseorang dengan
kepentingan-kepentingannya memutuskan persoalannya atau kasusnya sendiri, jadi satu-satunya
cara yang dapat kita putuskan mengenai keadilan itu adalah dengan membayangkan
keadaan dimana kita tidak atau belum mempunyai kepentingan-kepentingan. Dalam
keadaan ini, tidak ada pilihan lain, kecuali memutuskan dengan jujur.24
John Rawls juga membahas isu tentang kondisi-kondisi untuk memilih
asas-asas keadilan yang dapat dibuat melalui penggambaran tentang apa yang
dinamakannya “original position”25; Menurut Rawls, dengan cara yang sama tentang
keadilan, orang yang rasional akan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan secara
bagian mana yang akan diterimanya sendiri. Orang yang rasional, dan belum
mengetahui bagian mana yang akan diterimanya, tentu akan memotong kue secara
sama; Rawls mengatakan bahwa seseorang yang rasional, tanpa mengetahui bagian
mana yang akan diterimanya dari masyarakat, akan memilih prinsip-prinsip keadilan
yang fair (netral, jujur, dan adil); teori Rawls ini sering disebut justice as fairness
(keadilan sebagai kelayakan). Jadi, yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang
paling fair, itulah yang harus dipedomani.26
Kreditur memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan
maksud agar Debiturnya mengajukan suatu Rencana Perdamaian yang dapat
mengcover kewajiban Debitur dan hak Kreditur, yang kemudian disetujui bersama
dalam suatu rapat perdamaian, dimana langkah hukum ini merupakan jalan yang pasti
untuk menyelesaikan permasalahan utang Debitur terhadap Krediturnya. Oleh karena
itu, dengan pendekatan teori keadilan ini, diharapkan suatu gambaran (deskripsi)
yang utuh tentang berbagai aspek yang dirumuskan dalam permasalahan.27
Dengan demikian, beberapa alasan menggunakan teori keadilan dari
Aristoteles dan John Rawls untuk menjawab permasalahan utama berupa kewenangan
Kreditur untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Debitur
dengan studi terhadap putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan:
26
Achmad Ali, Op Cit., hal. 280 27
Syarat pengajuan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yakni adanya 2 Kreditur atau lebih, dan utang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
telah menunjukkan adanya unsur keadilan yang dibangun di dalamnya. Para Kreditur
konkuren maupun kreditur lain yang haknya didahulukan, memberikan kesempatan
kepada Debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih sesuai dengan situasi dan kondisi Debitur saat itu, dengan syarat utama
dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah adanya kemauan, itikad baik
dan kooperatif Debitur, dan para Kreditur akan mendapatkan pembayaran utang
sesuai dengan proporsi piutangnya (prinsip pari passu prorate parte).28 Dalam hal
merestrukturisasi utang, Kreditur ada memberi kesempatan kepada Debitur yang
meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya, ini sesuai dengan teori
Keadilan menurut John Rawls, dalam menciptakan keadilan seperti yang disebutkan
di atas.
Unsur-unsur keadilan bekerja secara integral satu dengan yang lainnya agar
tujuan dari hukum dapat tercapai, yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum. Tercapainya tujuan hukum, akan dapat meningkatkan kepercayaan para
pelaku bisnis nasional maupun internasional.
Selanjutnya teori Keadilan ini dipergunakan sebagai teori umum, yang
diperkuat oleh sejumlah teori-teori yang dipergunakan untuk menjawab hal-hal yang
28
lebih bersifat aplikasi/terapan. Teori yang dimaksud digali dari teori-teori di bidang
disiplin ilmu Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Aristoteles dan John Rawls menegaskan mengenai keadilan, yang sama halnya
dengan suatu konsep hukum yang abstrak, maka demikian pula konsep tentang
keadilan merupakan konsep abstrak yang bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut
oleh masing-masing individu dan masyarakat. 29 Namun, seyogianyalah jika keadilan
bersama-sama dengan kemanfaatan dan kepastian hukum, dijadikan tujuan hukum
secara prioritas.
John Rawls mengatakan bahwa seseorang yang rasional, akan memilih
prinsip-prinsip keadilan yang fair (netral, jujur, dan adil), yang dalam permasalahan
tesis ini, pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/
PN. Niaga – Medan, seharusnya mempedomi prinsip keadilan.
Penelitian tesis ini akan lebih difokuskan pada aspek keadilan hukum dalam
penegakan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, khususnya mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam konteks ini ingin disampaikan bahwa terdapat ketidakadilan Majelis Hakim
Pengadilan Niaga dalam putusannya. Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaarn
Utang yang diajukan Kreditur, tidak mencerminkan keadilan bagi para kreditur yang
mengharapkan pengembalian piutangnya sesuai dengan keadaan, situasi dan kondisi
Debitur saat itu.
29
Dengan melihat pada yang telah diuraikan di atas, Pengadilan Niaga sebagai
lembaga Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus adil dalam
menyikapi hak dan kewajiban masing-masing pihak Kreditur dan Debitur dalam
penyelesaian masalah utang piutang mereka, sehingga tercapai keadilan, kemanfaatan
dan kepastian hukum.
2. Kerangka Konsepsi
Dalam melakukan penelitian tesis ini, perlu dijelaskan beberapa istilah di
bawah ini yang sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang digunakan,
yakni:
1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ialah penawaran rencana perdamaian
oleh debitur yang merupakan pemberian kesempatan kepada debitur untuk
melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang meliputi pembayaran seluruh atau
sebagian utang kepada kreditur konkuren.30
2. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur untuk
kepentingan seluruh krediturnya bersama-sama, yang pada waktu si debitur
dinyatakan pailit mempunyai utang dan untuk jumlah piutang yang
masing-masing kreditur miliki pada saat itu.31
30
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta : PT. Sofmedia, Cet - 1, 2010), hal. 200. 31
3. Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan
menyerahkan, menjanjikan, atau menahan sesuatu barang, mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung, atau mencegah timbulnya suatu perkara.32
4. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul
karena perjanjian atau Undang-Undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitur,
yang bila tidak dipenuhinya maka memberi hak kepada kreditur untuk mendapat
pemenuhan dari harta kekayaan debitur.33
5. Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena
percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan
sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan
pengadilan.34
6. Rencana Perdamaian dalam PKPU adalah pemberian kesempatan oleh
kreditur-kreditur kepada debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya, yang dapat
meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada krediturnya.35
32
Pasal 1851 KUHPerdata. 33
Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004. 34
Setiawan, “Komentar Atas Putusan Pengadilan Niaga No. 13 Tahun 2004 Jo. Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2004”, (Jakarta: Atmajaya, 2005), hal. 95.
35
7. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan.36
8. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
Undang-Undang, yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan.37
9. Kreditur Separatis adalah kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan
seolah-olah tidak ada kepailitan.38
10.Kreditur Preferen atau Kreditur Istimewa adalah kreditur yang mempunyai hak
pelunasan dahulu/ istimewa, sesuai dengan Pasal 1133, 1134, 1139, 1149
KUHPerdata.39
11.Kreditur Konkuren adalah kreditur yang pelunasan piutang-piutangnya
dicukupkan dari sisa penjualan atau pelelangan harta pailit setelah diambil
bagiannya oleh kreditur separatis dan kreditur preferen atau kreditur istimewa.40
12.Debitur Pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan Putusan
Pengadilan.41
13.Concursus creditorium adalah keharusan adanya dua atau lebih kreditur.42
14.Insolventie adalah keadaan berhenti membayar dimana debitur tidak membayar
utangnya yang disebabkan karena ketidakmampuan debitur untuk melakukan
36
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004. 37
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2004. 38
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta: PT. Alumni, 2006), hal. 35.
39
Kartini Muljadi, “Kreditur Preferen dan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan”, Dalam:
Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian
Hukum), hal. 174 - 175. 40
H. Man S. Sastrawidjaja, Op.Cit., hal. 35. 41
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 UU No. 37 Tahun 2004. 42
pembayaran maupun debitur yang tidak mau melakukan pembayaran atas
utang-utangnya.43
15.Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau
lebih kreditur, dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar,
sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh Pemohon Pailit
atau Pemohon PKPU tidak menghalangi dijatuhkannya Putusan Pernyataan
Pailit.44
16.Prinsip debt forgiveness adalah pranata hukum sebagai alat untuk memperingan
beban yang harus ditanggung oleh debitur, karena sebagai akibat kesulitan
keuangannya, sehingga ia tidak mampu membayar utang-utangnya sesuai dengan
agreement semula, bahkan keringanannya itu sampai pada pengampunan atas
utang-utangnya, bahkan sampai pada utang-utangnya hapus semua.45
17. Kepastian hukum adalah landasan hukum yang kukuh, dimana setiap pihak,
baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib untuk menghormati dan
menegakkan substansi hukum yang berlaku dengan tujuan untuk menjamin dan
meningkatkan kepercayaan pemodal terhadap industri efek nasional.46
43
Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. 44
Ricardo Simanjuntak, “Kepailitan Dan Likuidasi (Studi Kasus: BPPN vs PT. Muara Alas Prima)”, Dalam Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan Dan Pengadilan Niaga, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia, 2005), hal. 315.
45
Emmy Yuassarie, “Pemikiran Hukum Kepailitan Indonesia” Dalam Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. xix.
46
18. Homologasi adalah Pengesahan rencana perdamaian oleh Pengadilan.47
G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan juridis normatif. Dengan demikian, objek penelitian adalah norma hukum
yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh
pemerintah dan sejumlah peraturan perundang-undangan. Sebagai suatu penelitian
ilmiah, maka rangkaian kegiatan dalam penelitian ini mengikuti metode-metode
penelitian hukum, sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian
hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan
(statue approach) dalam melakukan pengkajian kewenangan kreditur dalam
Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pemilihan metode ini untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum,
guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, pilihan metode penelitian
untuk tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang berkaitan dengan
prinsip-prinsip dan norma/pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia serta praktik penerapan
Hukum Kepailitan di Pengadilan Indonesia.
Menurut Johnny Ibrahim, bahwa penelitian hukum normatif ini adalah untuk
menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan
norma-norma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai
47
bahan hukum maupun yang dicari sebagai bahan kajian guna memecahkan problema
hukum faktual yang dihadapi oleh masyarakat, maka tidak ada jalan lain hanya
berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu hukum praktis normologis dan
mengandalkan penelitian hukum normatif.48 Sedangkan dari sudut penerapannya,
penelitian ini adalah penelitian terapan (applied research). Tujuan utamanya yakni
diharapkan penelitian ini nantinya akan diterapkan dan dimanfaatkan dengan baik
oleh praktisi hukum di Indonesia.49
Spesifikasi penelitian Tesis ini termasuk deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori
hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di
atas.
Sifat dari penelitian ini adalah Deskriptif Analitis, yang bertujuan untuk
membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan
tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan mengacu pada hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep,
teori-teori, dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari Peneliti pendahulu,
baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
48
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media Publishing, Cet. Ke - 2, 2006), hal. 73.
49
Sehubungan dengan Tipe Penelitian yang digunakan, yakni yuridis normatif, maka
penelitian ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yakni:
1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach)
Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua
Undang-Undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang
ditangani.50
2. Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan kasus ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap
putusan Pengadilan atas kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan Penundaan
Kewajban Pembayaran Utang dan Kepailitan. Yang menjadi kajian pokok di
dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu
pertimbangan Pengadilan untuk sampai pada satu putusan.51
3. Pendekatan Konsep (conceptual approach)
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep dari
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan dalam Hukum
Kepailitan.
2. Sumber Bahan Hukum
Sumber data kepustakaan dalam penelitian Tesis ini diperoleh dari:
50
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Hal. 93. 51
a. Bahan hukum primer, yaitu: Peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dan putusan Hakim dalam Permohonan PKPU No. 05/PKPU/2010/PN.
Niaga-Medan.
b. Bahan hukum sekunder, seperti: hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,
artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah
lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau Bahan Hukum Penunjang, yang mencakup bahan
yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
Hukum Primer dan Sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, serta
bahan-bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum yang relevan
dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam
penelitian ini.52 Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan Tesis ini
sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, seluruh bahan dikumpulkan dengan menggunakan
tehnik studi kepustakaan (library research), dengan mempelajari berbagai dokumen
dari sumber yang dipandang relevan, yaitu meneliti sumber bacaan yang
berhubungan dengan topik dalam Tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah
52
hukum, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan Pengadilan yang berkaitan
dengan penelitian, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan penunjang lainnya.
Perpustakaan yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan
Perpustakaan cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penelitian ini sepenuhnya mempergunakan data sekunder dengan alat
penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam
perkara-perkara kepailitan.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses pengorganisasian dan mengurutkan data
pada suatu pola kategori dan satuan. Data-data yang diperoleh melalui studi pustaka
yang dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan
satuan uraian dasar.53 Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari,
menganalisis, dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data, sehingga diperoleh
data yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan, selanjutnya akan
ditelaah dan dianalisa. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan
Pasal-Pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang beserta konsekwensi hukumnya, kemudian membuat
53
sistematika dari Pasal-Pasal tersebut, sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu,
sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian tesis ini.
Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti
dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yang diselaraskan dengan hasil dari data
pendukung, sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh
pokok permasalahan dalam penelitian ini. Dilihat dari tujuan analisis, maka ada dua
hal yang ingin dicapai dalam analisis kualitatif, yaitu: 1) Menganalisis proses
berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas
terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi,
data, dan proses suatu fenomena.54
54
BAB II
KEWENANGAN KREDITUR DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
A. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Surseance van Betaling, Suspension of Payment).
1. Pengertian
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam Bab Ketiga
yaitu dalam Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dilakukan dengan
maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur. Pasal 222 UUK dan
PKPU menentukan bahwa:
1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitur yang
mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditur atau oleh Kreditur,
2) Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian
atau seluruh utang kepada Kreditur,
3) Kreditur yang memperkirakan bahwa Debitur tidak dapat melanjutkan membayar
utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada
Debitur diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan
Debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran
sebagian atau seluruh utang kepada Krediturnya.
Dari ketentuan Pasal 222 UUK dan PKPU ini dapat diartikan, yang dimaksud
dengan penundaan kewajiban pembayaran utang pada umumnya adalah untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau
sebagian utang kepada kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur
konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk memungkinkan seorang debitur
meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari
kepailitan.55
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disebut juga moratorium,
harus dibedakan dengan gagal bayar, karena gagal bayar secara esensial berarti
bahwa seorang debitur tidak melakukan pembayaran utangnya. Gagal bayar terjadi
apabila si peminjam tidak mampu untuk melaksanakan pembayaran sesuai dengan
jadwal pembayaran yang disepakati baik atas bunga maupun atas utang pokok.
55
Debitur yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya dalam kesulitan
sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utangnya, dapat memilih beberapa
langkah dalam menyelesaikan utangnya tersebut. Beberapa upaya dimaksud antara
lain, sebagai berikut:56
1. Mengadakan perdamaian di luar Pengadilan dengan para Krediturnya,
2. Mengadakan perdamaian di dalam Pengadilan apabila debitur tersebut digugat
secara Perdata,
3. Mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
4. Mengajukan perdamaian dalam PKPU,
5. Mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit oleh Pengadilan,
6. Mengajukan perdamaian dalam Kepailitan.
Berkaitan dengan alternatif pilihan yang tersebut di atas, Debitur seyogianya
memilih alternatif yang terbaik, salah satu pilihan adalah mengajukan permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Permohonan PKPU ini harus
diajukan oleh Debitur sebelum adanya putusan Pernyataan Pailit; apabila putusan
Pernyataan Pailit sudah diucapkan oleh Hakim terhadap Debitur tersebut, maka
Debitur tersebut tidak dapat lagi mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU). Sebaliknya, Debitur dapat mengajukan permohonan
56
Kepailitan bagi dirinya bersama-sama dengan permohonan PKPU.57 Dalam keadaan
demikian, Hakim akan mendahulukan memeriksa PKPU,58 dan apabila permohonan
Pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, maka PKPU harus
diputuskan terlebih dahulu.59
Dikaji dari perspektif pandangan doktrina, maka Jerry Hoff lebih detail
menyebutkan bahwa tujuan PKPU adalah:
The purpose of suspension of payment is to prevent the bankruptcy of debtor
who is unable to pay but who maybe to pay in the near future. The debtor merely
facestemporary liquidity problem. In such cases, a bankruptcy would inevitavly lead
to erosion of capital value. This is clearly not in the interest of creditors. Suspension
of payment gives the debtor temporary relief (or a breathing space) against pressing
creditors in order to reorganize and continue in business, and ultimately to satisfy
creditors claims. If the reorganization of the business is not successful of payment
can be easily converted into bankruptcy.60
Konklusi dari konteks di atas mendeskripsikan bahwa Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang hanya dapat diajukan oleh Debitur sebelum Debitur tersebut
dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Secara tegas dinyatakan bahwa bila Debitur yang
telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan, tidak dimungkinkan untuk mengajukan
PKPU. Dalam praktik, terhadap pengajuan PKPU tersebut dapat diajukan secara
57
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hal. 50.
58
H. Man S Sastrawidjaja, Op. Cit., hal. 202. 59
Pasal 229 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004. 60