• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN KREDITUR DALAM PERMOHONAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA

No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. NIAGA – MEDAN)

TESIS

Oleh

SOPHIA 097005084/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KEWENANGAN KREDITUR DALAM PERMOHONAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NIAGA

No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. NIAGA – MEDAN)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SOPHIA 097005084/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN KREDITUR DALAM

PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG MENURUT UU NO. 37

TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

PENUNDAAN KEW PUTUSAN AJIBAN

PEMBAYARAN UTANG (STUDI TERHADAP

PENGADILAN NIAGA No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. NIAGA – MEDAN)

Nama Mahasiswa : Sophia

Nomor Pokok : 097005084

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D e k a n

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 11 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan Hukum Kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian

utang piutang mereka. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Sursence

van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap Debitur yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Bab III, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294, dapat diajukan oleh Debitur atau oleh Kreditur. Permasalahan dalam penelitian tesis ini mengenai latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004, mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU, dan menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Penelitian dalam Tesis ini bersifat Deskriptif Analitis, menguraikan atau memaparkan, sekaligus menganalisa sejauhmana kewenangan Kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diberikan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dengan studi terhadap Putusan Perkara PKPU No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan, metode penulisan dengan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder dengan alat penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam perkara-perkara kepailitan. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan wewenang kepada kreditur untuk memohonkan PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan (3), didasarkan pada pertimbangan dimana para Kreditur memberikan kesempatan kepada Debiturnya untuk merestrukturisasikan utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga ada kemungkinan dibayarkan piutangnya dari Debiturnya secara penuh. Rencana Perdamaian agar

dibuat oleh debitur, untuk hal ini perlu dibuat insolvency test untuk membuktikan

bahwa debitur benar-benar dalam keadaan insolvent dari sisi finansial atau

benar-benar tidak mampu membayar utangnya, sehingga pailitnya debitur akan sesuai dengan filosofi Hukum Kepailitan. Pertimbangan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara No. 05/ PKPU/2010/ PN. Niaga - Medan adalah tidak sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004, karena dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) menurut UU No. 37 Tahun 2004, tidak memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Kata Kunci: kreditur,Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(6)

ABSTRACT

Along with the development of trade in large and global scale, the problem of debt and credit of a company or an individual becomes more complicated so that it needs effective legal provisions. The development of global economy needs bankrupty law which can fulfill the need of law for businessmen in handling their debt and credit in which the globalization of law is in accordance with the global economy. There fore, the old bankrupty law is considered out of date so that it cannot fulfill the need of law for businessmen who want the process of bankrupty to run speedily, transparently, effectively, equitably, and be able to quarantee legal certainty. Therefore, the government made the policy to revise faillisement verordening by enacting perpu (Government Regulation) No.1/1998 which was then ratified to law No.4/1998. on october18, 2004 it was revamped to law No.37/2004 on bankruptcy and postponement of the obligation of paying off debt (henceforth PKPU).

PKPU in law No.37/2004 is regulated in capter III, from article 222 to article 294, which can be filed by debitor or by creditor. A good debitor has the right to file the PKPU to his creditor. But in law No.37/2004, a creditor can also file the PKPU to his debitor when he is sure enough that the debitors can pay up their matured debt and it can be pay able, according to the agreed PKPU.

The research was descriptive analytic which described and analyzed to what extent the creditors authority in filing the PKPU as it was stipulated in law No.37/2004 on bankruptcy and PKPU by studying the verdict on PKPU case No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan. The type of the research was the written method with judical normative approach, ie, a research which was referred to judical norms found in the legal provisions with a normative base witch came from general premise and came to a specific conculation. The data were collected by using library research in order to obtain theoretical concept or doctrine, conceptual ideas, and preliminary research which were related to the subject matter of the research such as legal provisions and other scientific works.

(7)

K A T A P E N G A N T A R

Segala puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

segala rahmat dan karuniaNya, sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis dengan

judul: “Kewenangan Kreditur dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/

PN. Niaga – Medan).”

Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar

Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Peneliti menyadari sepenuhnya, Tesis ini tidak akan tersusun dengan baik dan

selesai pada waktunya tanpa bantuan dari berbagai pihak pendukung. Oleh karena itu,

pada kesempatan ini, perkenankanlah Peneliti menyampaikan ucapan terima kasih

dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, CTM

(K), Sp.A (K),

2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas pemberian

kesempatan menjadi mahasiswi di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan,

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum., yang juga sebagai Penguji,

telah memberikan petunjuk serta saran yang bermanfaat dan sangat mendukung

dalam penyelesaian Tesis ini,

4. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Ketua Komisi Pembimbing yang telah

memberikan motivasi, bimbingan, petunjuk dan saran yang sangat bermanfaat

(8)

5. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, Pembimbing II yang telah meluangkan waktu

dan telah banyak memberikan bantuan berupa motivasi, bimbingan, petunjuk,

saran dan arahan, dalam menyelesaikan penelitian Tesis ini,

6. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, Komisi Pembimbing III Tesis yang telah

meluangkan waktu dan pemikiran untuk mengoreksi isi dan juga cara penulisan,

serta memberikan sumbang saran, arahan dan petunjuk, dalam penelitian Tesis

ini,

7. Dr. Deddi Harianto, S.H., M.Hum, Panitia Penguji Tesis yang telah memberikan

petunjuk dan saran dalam menyelesaikan Tesis ini,

8. Bapak/ Ibu dosen pengajar pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa menyumbangkan Ilmunya yang

sangat berarti bagi masa depan saya,

9. Staf Administrasi Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan bantuan dalam informasi

mengenai perkuliahan,

10.Dalam kesempatan ini, dengan penuh sukacita, Peneliti mengucapkan terima

kasih kepada Orangtua tercinta ayahanda D. Eddy dan Ibunda Linda, atas segala

jerih payah dan pengorbanannya yang tiada terhingga dalam mengasuh, mendidik,

membimbing Peneliti sejak lahir, serta senantiasa mengiringi Penulis dan

keluarga dengan doa yang tiada putus. Dan kepada saudara-saudara terkasih,

adik-adik tersayang, atas segala dukungan moril yang diberikan, Peneliti

mengucapkan terima kasih,

11.Teristimewa kepada: Suami tercinta Prof. Dr. dr. Hadyanto Lim, M.Kes., Sp. FK.,

FESC, FIBA, yang dengan penuh cinta kasih, kesabaran, dalam memberikan

segala dukungan yang sangat berarti, dorongan semangat belajar dan

pengorbanan yang tiada terhingga, demikian juga anak-anak saya, sehingga

menjadi motor penggerak tersendiri untuk keberhasilan studi Peneliti.

Dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih yang

(9)

namanya satu persatu, dan juga semua pihak yang telah turut membantu dalam proses

penyelesaian Tesis ini.

Peneliti menyadari pula, bahwa substansi Tesis ini tidak luput dari

berbagai kekhilafan, kekurangan dan kesalahan, dan tidak akan sempurna tanpa

bantuan, nasehat, bimbingan, arahan, kritikan. Oleh karenanya, apapun yang

disampaikan dalam rangka penyempurnaan Tesis ini, penuh sukacita Peneliti terima

dengan tangan terbuka.

Semoga Tesis ini dapat memenuhi maksud penelitiannya, dan dapat

bermanfaat bagi semua pihak, sehingga Ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan

untuk kepentingan bangsa.

Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati dan melindungi, serta memberikan

anugerahnya bagi kita semua, mahkluk hidup yang disayangiNya. Amin.

Medan, Mei 2011.

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Sophia

Tempat/Tanggal Lahir : Tebing Tinggi Deli, 12 Oktober 1971

Jenis Kelamin : Wanita

Agama : Kristen Protestan

Jabatan/ Pekerjaan : Advokat

Alamat : Jl Ibus Raya, No. 110, Medan.

Pendidikan : SD Methodist II, Tebing Tinggi Deli, Lulus Tahun

1979,

SMP Methodist II, Tebing Tinggi Deli, Lulus Tahun 1982,

SMA Negeri 1, Tebing Tinggi Deli, Lulus Tahun 1985,

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Darma Agung, Lulus Tahun 2009,

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Kerangka konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 23

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 23

2. Sumber Bahan Hukum ... 25

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 26

(12)

BAB II KEWENANGAN KREDITUR DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG (PKPU) BERDASARKAN UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 29

A. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Surseance

vanBetaling, Suspension of Payment) ... 29

B. Permohonan PKPU Dalam Hukum Kepailitan Sebelum Keluarnya

UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang ... 33

C. Permohonan PKPU Dalam Hukum Kepailitan Setelah Keluarnya

UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang ... 38

D. Alasan Kewenangan Kreditur mengajukan PKPU Berdasarkan UU

No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang ... 42

1. Filosofi Kewenangan Kreditur Dalam Mengajukan PKPU ... 48

2. Pengertian dan latar belakang dilakukannya restrukturisasi

Utang ... 51

3. Pihak-Pihak yang mengajukan PKPU Berdasarkan

UU No. 37 Tahun 2004 berdasarkan pasal 222 s/d 294 uu No.37

(13)

BAB III MEKANISME RENCANA PERDAMAIAN DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG BERDASARKAN

UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG ... 62

A. Maksud Dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.... 63

B. Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Utang ... 65

C. Perdamaian (accord) Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... . 71

D. Status Hukum Debitur Selama Berlangsungnya PKPU ... . 84

E. Akibat Hukum Perdamaian Dan Pembatalan Perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... . 86

BAB IV PENERAPAN HUKUM KEPAILITAN DALAM PERMOHONAN PKPU OLEH KREDITUR PADA PUTUSAN PERKARA NO. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 90

A. Kronologis Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 90

(14)

C. Putusan Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan ... 90

D. Analisa Kasus Dalam Putusan Pengadilan Niaga Medan No. 05/ PKPU/2010/ PN. Niaga – Medan ... 100

1. Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan Tidak Tepat Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 ... 100

2. Majelis Hakim Tidak Berwenang Untuk Membatalkan PKPU .... 107

3. Majelis Hakim Menggunakan Pertimbangan Syarat-Syarat Kepailitan... 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 110

A. Kesimpulan ... ... 110

B. Saran ... .. 112

(15)

Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan Hukum Kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian

utang piutang mereka. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Sursence

van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap Debitur yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Bab III, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294, dapat diajukan oleh Debitur atau oleh Kreditur. Permasalahan dalam penelitian tesis ini mengenai latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004, mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU, dan menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Penelitian dalam Tesis ini bersifat Deskriptif Analitis, menguraikan atau memaparkan, sekaligus menganalisa sejauhmana kewenangan Kreditur untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diberikan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dengan studi terhadap Putusan Perkara PKPU No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan, metode penulisan dengan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder dengan alat penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam perkara-perkara kepailitan. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan wewenang kepada kreditur untuk memohonkan PKPU berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan (3), didasarkan pada pertimbangan dimana para Kreditur memberikan kesempatan kepada Debiturnya untuk merestrukturisasikan utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga ada kemungkinan dibayarkan piutangnya dari Debiturnya secara penuh. Rencana Perdamaian agar

dibuat oleh debitur, untuk hal ini perlu dibuat insolvency test untuk membuktikan

bahwa debitur benar-benar dalam keadaan insolvent dari sisi finansial atau

benar-benar tidak mampu membayar utangnya, sehingga pailitnya debitur akan sesuai dengan filosofi Hukum Kepailitan. Pertimbangan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa perkara No. 05/ PKPU/2010/ PN. Niaga - Medan adalah tidak sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004, karena dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara (PKPUS) menurut UU No. 37 Tahun 2004, tidak memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Kata Kunci: kreditur,Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(16)

ABSTRACT

Along with the development of trade in large and global scale, the problem of debt and credit of a company or an individual becomes more complicated so that it needs effective legal provisions. The development of global economy needs bankrupty law which can fulfill the need of law for businessmen in handling their debt and credit in which the globalization of law is in accordance with the global economy. There fore, the old bankrupty law is considered out of date so that it cannot fulfill the need of law for businessmen who want the process of bankrupty to run speedily, transparently, effectively, equitably, and be able to quarantee legal certainty. Therefore, the government made the policy to revise faillisement verordening by enacting perpu (Government Regulation) No.1/1998 which was then ratified to law No.4/1998. on october18, 2004 it was revamped to law No.37/2004 on bankruptcy and postponement of the obligation of paying off debt (henceforth PKPU).

PKPU in law No.37/2004 is regulated in capter III, from article 222 to article 294, which can be filed by debitor or by creditor. A good debitor has the right to file the PKPU to his creditor. But in law No.37/2004, a creditor can also file the PKPU to his debitor when he is sure enough that the debitors can pay up their matured debt and it can be pay able, according to the agreed PKPU.

The research was descriptive analytic which described and analyzed to what extent the creditors authority in filing the PKPU as it was stipulated in law No.37/2004 on bankruptcy and PKPU by studying the verdict on PKPU case No.05/PKPU/2010/PN.Niaga-Medan. The type of the research was the written method with judical normative approach, ie, a research which was referred to judical norms found in the legal provisions with a normative base witch came from general premise and came to a specific conculation. The data were collected by using library research in order to obtain theoretical concept or doctrine, conceptual ideas, and preliminary research which were related to the subject matter of the research such as legal provisions and other scientific works.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat dengan PKPU,

Sursence van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam

Hukum Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap debitur yang

mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik. Melalui

pengajuan PKPU, debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta

kekayaannya dalam hal debitur berada dalam keadaan insolven.1

PKPU sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan terhadap debitur yang

masih beritikad baik untuk membayar hutang-hutangnya kepada seluruh krediturnya.

PKPU diatur dalam Pasal 222 s/d Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Pasal 222 ayat (1)

disebutkan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini dapat diajukan oleh:

1. Debitur.

Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur yang tidak dapat, atau

memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar

utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan

permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU, dengan

1

(18)

maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian, yang meliputi tawaran

pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada kreditur.2

2. Kreditur:

Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tersebut tidak dapat melanjutkan

membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon

ke Pengadilan Niaga, agar kepada debitur diberi Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, untuk memungkinkan si debitur mengajukan Rencana

Perdamaiannya kepada mereka, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau

seluruh utangnya kepada kreditur-krediturnya.3

3. Pengecualian, terhadap debitur Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga

Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan

Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara

yang bergerak di bidang kepentingan publik4, maka:

a. Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang oleh kreditur terhadap bank tersebut, atau permohonan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur bank ini sendiri, hanya

(19)

b. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring

dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang debitur ini atau oleh krediturnya,

hanya dapat diajukan oleh atau melalui Badan Pengawas Pasar Modal6

c. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,

Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang

kepentingan publik, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang oleh debitur ini atau oleh para krediturnya, hanya dapat diajukan oleh

atau melalui Menteri Keuangan.7

Pada dasarnya, maksud dari pemberian Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang kepada debitur adalah agar si debitur yang berada dalam keadaan insolven

(insolvency), mempunyai kesempatan untuk mengajukan suatu Rencana Perdamaian,

baik berupa tawaran untuk pembayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian

atas utangnya, Oleh karena itu, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan

kesempatan bagi si debitur untuk melunasi atau melaksanakan kewajibannya atas

utang-utang tersebut, sehingga si debitur tersebut tidak sampai dinyatakan pailit. 8

Dalam melaksanakan PKPU melalui restrukturisasi utang, diperlukan syarat

paling utama, yaitu adanya kemauan dan itikad baik dan juga kooperatif, serta

bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam restrukturisasi, antara lain:

(20)

melakukan penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali

(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring), sehingga diperoleh jalan

keluar bagi penyelesaian pembayaran utang macet tersebut tanpa menimbulkan

banyak kerugian bagi pihak kreditur dan pihak debitur.9

Dalam hal kreditur tersebut merupakan kreditur separatis, apabila

restrukturisasi utang telah dilakukan, dan telah disetujui oleh kreditur separatis, tetapi

debitur gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut atau tidak beritikad baik, maka

pihak kreditur dapat melakukan pengambilan jaminan kredit yang diberikan oleh

debitur kepada krediturnya, atau si kreditur dapat mengajukan gugatan perdata atau

permohonan pailit terhadap utang-utang debiturnya ke Pengadilan.10

Terkait dengan pengajuan permohonan PKPU, terdapat perkembangan yang

cukup menarik dalam pengajuan permohonan PKPU. Apabila dalam Faillissement

verordening dan dalam UU No. 4 Tahun 1998, permohonan PKPU hanya dapat

diajukan oleh debitur maka dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan PKPU dapat

diajukan oleh debitur dan kreditur. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk

mengetahui mengapa pihak kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan

permohonan PKPU padahal yang mengetahui kondisi kesehatan suatu perusahaan

hanyalah debitur itu sendiri.

(21)

Pemberian kewenangan kepada si kreditur agar dapat memohonkan PKPU bagi

debiturnya, membawa arti bahwa utang si debitur itu dapat terbayarkan kepada

kreditur dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi si debitur saat itu, dan

bila si debitur dan krediturnya beritikad baik, maka harapan kedua pihak itu adalah

tercapainya Rencana Perdamaian yang dapat mengcover kewajiban debitur dan hak

kreditur, yang kemudian dapat disetujui secara bersama dalam rapat perdamaian dan

dilakukan pengesahan perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga (homologasi).11

Dari sudut pandangan hukum, Undang-Undang Kepailitan ini bertujuan untuk

melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk

menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar oleh debitur, dan Undang-Undang

Kepailitan juga bertujuan melindungi debitur dengan memberikan cara baginya untuk

menyelesaikan utangnya tanpa membayar sekaligus secara penuh, sehingga usahanya

dapat bangkit kembali tanpa beban utang.12

Meskipun ada beberapa alternatif yang ditawarkan untuk penyelesaian utang

piutang antara debitur dan kreditur namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya

niat yang sungguh-sungguh dari para debitur untuk melunasi utang-utangnya.13

Dalam hal ini, hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan

kepastian hukum bagi kreditur, yang pada akhirnya hukum dapat mendorong

(22)

pemulihan ekonomi, dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktabilitas dan

keadilan dalam hukum negara.14

Diberikannya kesempatan bagi kreditur untuk mengajukan permohonan PKPU

dalam UU No. 37 Tahun 2004 sebagai bentuk pemberian keadilan dan kepastian

hukum bagi kreditur dan debitur telah dilakukan dalam berbagai perkara kepailitan

dan PKPU, termasuk diantaranya adalah putusan No. 05/ PKPU/ PN. Niaga – Medan,

yang diajukan oleh kreditur perusahaaan dan debitur perseorangan.

Putusan ini menarik untuk dikaji dengan alasan sampai saat ini putusan ini

merupakan satu-satunya permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditur di

Pengadilan Niaga Medan, yang dimana putusan hakim atas perkara tersebut tidak

sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004. Atas dasar hal di atas maka penelitan ini

penting untuk dilakukan.

B. Permasalahan

Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan dalam

penelitian ini adalah, sebagai berikut:

1. Mengapa kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan Permohonan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat PKPU) terhadap

debitur dalam UU No. 37 Tahun 2004?

14

(23)

2. Bagaimana mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU?

3. Bagaimana penerapan Hukum Kepailitan dalam perkara No. 05/ PKPU/ 2010/

PN. Niaga - Medan menurut UU No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur

untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

dalam UU No. 37 Tahun 2004.

2. Untuk mengetahui mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU.

3. Untuk menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan

Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/

PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang.

D. Manfaat Penelitian

Dari sudut penerapannya dalam Ilmu Pengetahuan, penelitian ini diharapkan

dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang Hukum Kepailitan di Indonesia

pada umumnya, dan khususnya tentang Permohonan Penundaan Kewajiban

(24)

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai kalangan, yakni:

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan kajian bagi para akademisi maupun sebagai bahan

pertimbangan bagi penelitian lanjutan,

b. Memperkaya khasanah kepustakaan.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukkan bagi Pemerintah, khususnya untuk lebih

menegaskan indikasi dan standar kepentingan umum dalam peraturan

perundang-undangan terhadap Permohonan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang yang diajukan oleh para Kreditur, sehingga akan lebih

menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum.

b. Sebagai bahan masukkan bagi masyarakat umum yang mencari keadilan yang

hak-haknya telah dirugikan oleh perorangan atau persoon maupun badan

hukum, sehingga masyarakat mendapatkan kepastian dan perlindungan

hukum terhadap pihak-pihak yang telah merugikan mereka tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan, khususnya pada

lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa

penelitian tentang Permohonan PKPU dengan judul “Kewenangan Kreditur Dalam

Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun

(25)

Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

sudah pernah dilakukan, antara lain:

1. Tesis dengan judul “Analisis Mengenai Keadaan Tidak Membayar Utang Yang

Telah Jatuh Waktu Dan Dapat Ditagih Menurut Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. UU

No. 4 Tahun 1998 Dan Dalam Prakteknya Di Peradilan Niaga”, oleh Fahren pada

tahun 2003.

2. Tesis dengan judul “Suatu Analisis Pengertian Utang Di Dalam Undang-Undang

No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan (Studi Kasus Pengadilan Niaga Medan)”,

oleh Chairuni Nasution pada tahun 2003.

Keduanya memiliki rumusan permasalahan dan kajian yang berbeda.

Penelitian lanjutan ini, mengkaji mengenai kewenangan kreditur, khususnya dalam

Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mekanisme Rencana

Perdamaian sesuai dengan Hukum Acara Perdata dalam Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, dan penerapannya dalam perkara No. 05/ PKPU/

2010/ PN. Niaga. Penelitian ini juga menjunjung kode etik penulisan karya ilmiah,

oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya, baik dilihat dari materi,

(26)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Sistim hukum Indonesia pada awalnya menganut sistim hukum Eropah

Kontinental yang diadopsi dari Belanda. Namun, pada perkembangan selanjutnya

pengaruh unsur-unsur hukum dalam sistim hukum Anglo Saxon banyak mewarnai

perkembangan hukum di Indonesia khususnya hukum bisnis, yang salah satu

diantaranya adalah Hukum Kepailitan di Indonesia. Pada UU No. 4 Tahun 1998

maupun UU No. 37 Tahun 2004 sudah dipengaruhi oleh sistem hukum Anglo Saxon,

diantaranya adalah pembentukan Pengadilan Niaga, adanya kurator pemerintah, dan

kurator swasta, serta pemberian kewenangan mengajukan permohonan PKPU oleh

kreditur dalam UU No. 37 Tahun 2004.

Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini,

digunakan teori yang dikemukakan oleh Aristoteles dan John Rawls, yakni teori

keadilan. Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat, bukan

merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan

aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian

menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Aristoteles

mendefinisikan keadilan sebagai berikut:15

Justice is a political virtue, by the rules of it, the state is regulated and these

rules the criterion of what is right.”

15

(27)

Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke V buku

Nicomachean Ethics.16 Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus

dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2)

apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim, apakah keadilan itu terletak.17

Menurut Aristoteles, arti keadilan ada 2 (dua), yakni:18

1. Keadilan Dalam Arti Umum

Keadilan sering diartikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter

yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah

keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap

ketidakadilan adalah ketidakadilan.

Secara umum, dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak

patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka

orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair.

Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan

pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil.

Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan

masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan

mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Dengan demikian, keadilan

16

Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen.html, diakses pada tanggal 20 Juni 2011.

17

Ibid., hal. 2. 18

(28)

bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya

mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain.

2. Keadilan Dalam Arti Khusus

Keadilan dalam arti khusus, terkait dengan beberapa pengertian berikut ini,

yaitu:

a. Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau

hal lainnya, kepada mereka yang memiliki bagian haknya. Keadilan ini

adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu tindakan

bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara

“yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah

titik tengah atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice). Dasar

persamaan antara anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem

yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem demokrasi,

landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan

manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki,

dasar persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat

kelahiran, sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya

adalah keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut

menjadikan keadilan lebih pada makna persamaan sebagai proporsi.

Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah

(29)

b. Perbaikan suatu bagian dalam transaksi

Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan (rectification).

Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang

yang dilakukan secara sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah

keadilan apabila masing-masing memperoleh bagian sampai titik

tengah (intermediate), atau suatu persamaan berdasarkan prinsip

timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan, serta

ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu

orang memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang

dibuat secara sederajat.

Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21

lebih menekankan pada keadilan sosial.19 Hal ini terkait dengan munculnya

pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. John

Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup

manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.20

John Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah

struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan,

kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi; dimana kategori

struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk menilai apakah institusi-institusi sosial

yang ada telah adil, atau tidak melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.

19

Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: Internasional Law Book Review, 1994), hal. 278.

20

(30)

Menurut John Rawls, dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang

digunakan adalah:21

1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua

pihak;

2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling

lemah.

Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang

adil atas kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari

keadilan, yaitu:22

1. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioritas,

2. Perbedaan,

3. persamaan yang adil atas kesempatan.

Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai

kepentingannya terlebih dahulu, baru kemudian kepentingan umum, dimana hasrat ini

adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian

keadilan, maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun,

realitas masyarakat menunjukkan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud

karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat, sehingga perbedaan ini menjadi

dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada

persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk

21

Ibid., hal. 138. 22

(31)

memenuhi kepentingannya, walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu

masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.23

Teori Keadilan dari John Rawls menyatakan bahwa cara yang adil untuk

mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan

kepentingan-kepentingan tersebut, tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap

kepentingan itu sendiri. Tegasnya, prinsip-prinsip dimana orang yang rasional akan

memilih jika ia belum tahu kedudukannya dalam masyarakat; prinsip keadilan inilah

yang kita pilih, karena orang-orang akan selalu bertindak menurut kepentingannya

sendiri, maka kita tidak dapat membiarkan seseorang dengan

kepentingan-kepentingannya memutuskan persoalannya atau kasusnya sendiri, jadi satu-satunya

cara yang dapat kita putuskan mengenai keadilan itu adalah dengan membayangkan

keadaan dimana kita tidak atau belum mempunyai kepentingan-kepentingan. Dalam

keadaan ini, tidak ada pilihan lain, kecuali memutuskan dengan jujur.24

John Rawls juga membahas isu tentang kondisi-kondisi untuk memilih

asas-asas keadilan yang dapat dibuat melalui penggambaran tentang apa yang

dinamakannya “original position”25; Menurut Rawls, dengan cara yang sama tentang

keadilan, orang yang rasional akan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan secara

(32)

bagian mana yang akan diterimanya sendiri. Orang yang rasional, dan belum

mengetahui bagian mana yang akan diterimanya, tentu akan memotong kue secara

sama; Rawls mengatakan bahwa seseorang yang rasional, tanpa mengetahui bagian

mana yang akan diterimanya dari masyarakat, akan memilih prinsip-prinsip keadilan

yang fair (netral, jujur, dan adil); teori Rawls ini sering disebut justice as fairness

(keadilan sebagai kelayakan). Jadi, yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang

paling fair, itulah yang harus dipedomani.26

Kreditur memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan

maksud agar Debiturnya mengajukan suatu Rencana Perdamaian yang dapat

mengcover kewajiban Debitur dan hak Kreditur, yang kemudian disetujui bersama

dalam suatu rapat perdamaian, dimana langkah hukum ini merupakan jalan yang pasti

untuk menyelesaikan permasalahan utang Debitur terhadap Krediturnya. Oleh karena

itu, dengan pendekatan teori keadilan ini, diharapkan suatu gambaran (deskripsi)

yang utuh tentang berbagai aspek yang dirumuskan dalam permasalahan.27

Dengan demikian, beberapa alasan menggunakan teori keadilan dari

Aristoteles dan John Rawls untuk menjawab permasalahan utama berupa kewenangan

Kreditur untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Debitur

dengan studi terhadap putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan:

26

Achmad Ali, Op Cit., hal. 280 27

(33)

Syarat pengajuan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

yakni adanya 2 Kreditur atau lebih, dan utang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,

telah menunjukkan adanya unsur keadilan yang dibangun di dalamnya. Para Kreditur

konkuren maupun kreditur lain yang haknya didahulukan, memberikan kesempatan

kepada Debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan

dapat ditagih sesuai dengan situasi dan kondisi Debitur saat itu, dengan syarat utama

dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah adanya kemauan, itikad baik

dan kooperatif Debitur, dan para Kreditur akan mendapatkan pembayaran utang

sesuai dengan proporsi piutangnya (prinsip pari passu prorate parte).28 Dalam hal

merestrukturisasi utang, Kreditur ada memberi kesempatan kepada Debitur yang

meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya, ini sesuai dengan teori

Keadilan menurut John Rawls, dalam menciptakan keadilan seperti yang disebutkan

di atas.

Unsur-unsur keadilan bekerja secara integral satu dengan yang lainnya agar

tujuan dari hukum dapat tercapai, yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian

hukum. Tercapainya tujuan hukum, akan dapat meningkatkan kepercayaan para

pelaku bisnis nasional maupun internasional.

Selanjutnya teori Keadilan ini dipergunakan sebagai teori umum, yang

diperkuat oleh sejumlah teori-teori yang dipergunakan untuk menjawab hal-hal yang

28

(34)

lebih bersifat aplikasi/terapan. Teori yang dimaksud digali dari teori-teori di bidang

disiplin ilmu Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Aristoteles dan John Rawls menegaskan mengenai keadilan, yang sama halnya

dengan suatu konsep hukum yang abstrak, maka demikian pula konsep tentang

keadilan merupakan konsep abstrak yang bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut

oleh masing-masing individu dan masyarakat. 29 Namun, seyogianyalah jika keadilan

bersama-sama dengan kemanfaatan dan kepastian hukum, dijadikan tujuan hukum

secara prioritas.

John Rawls mengatakan bahwa seseorang yang rasional, akan memilih

prinsip-prinsip keadilan yang fair (netral, jujur, dan adil), yang dalam permasalahan

tesis ini, pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/

PN. Niaga – Medan, seharusnya mempedomi prinsip keadilan.

Penelitian tesis ini akan lebih difokuskan pada aspek keadilan hukum dalam

penegakan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, khususnya mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dalam konteks ini ingin disampaikan bahwa terdapat ketidakadilan Majelis Hakim

Pengadilan Niaga dalam putusannya. Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaarn

Utang yang diajukan Kreditur, tidak mencerminkan keadilan bagi para kreditur yang

mengharapkan pengembalian piutangnya sesuai dengan keadaan, situasi dan kondisi

Debitur saat itu.

29

(35)

Dengan melihat pada yang telah diuraikan di atas, Pengadilan Niaga sebagai

lembaga Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus adil dalam

menyikapi hak dan kewajiban masing-masing pihak Kreditur dan Debitur dalam

penyelesaian masalah utang piutang mereka, sehingga tercapai keadilan, kemanfaatan

dan kepastian hukum.

2. Kerangka Konsepsi

Dalam melakukan penelitian tesis ini, perlu dijelaskan beberapa istilah di

bawah ini yang sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang digunakan,

yakni:

1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ialah penawaran rencana perdamaian

oleh debitur yang merupakan pemberian kesempatan kepada debitur untuk

melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang meliputi pembayaran seluruh atau

sebagian utang kepada kreditur konkuren.30

2. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur untuk

kepentingan seluruh krediturnya bersama-sama, yang pada waktu si debitur

dinyatakan pailit mempunyai utang dan untuk jumlah piutang yang

masing-masing kreditur miliki pada saat itu.31

30

Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta : PT. Sofmedia, Cet - 1, 2010), hal. 200. 31

(36)

3. Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan

menyerahkan, menjanjikan, atau menahan sesuatu barang, mengakhiri suatu

perkara yang sedang bergantung, atau mencegah timbulnya suatu perkara.32

4. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah

uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara

langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul

karena perjanjian atau Undang-Undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitur,

yang bila tidak dipenuhinya maka memberi hak kepada kreditur untuk mendapat

pemenuhan dari harta kekayaan debitur.33

5. Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk

membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena

percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan

sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan

pengadilan.34

6. Rencana Perdamaian dalam PKPU adalah pemberian kesempatan oleh

kreditur-kreditur kepada debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya, yang dapat

meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada krediturnya.35

32

Pasal 1851 KUHPerdata. 33

Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004. 34

Setiawan, “Komentar Atas Putusan Pengadilan Niaga No. 13 Tahun 2004 Jo. Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2004”, (Jakarta: Atmajaya, 2005), hal. 95.

35

(37)

7. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

Undang-Undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan.36

8. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau

Undang-Undang, yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan.37

9. Kreditur Separatis adalah kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan

seolah-olah tidak ada kepailitan.38

10.Kreditur Preferen atau Kreditur Istimewa adalah kreditur yang mempunyai hak

pelunasan dahulu/ istimewa, sesuai dengan Pasal 1133, 1134, 1139, 1149

KUHPerdata.39

11.Kreditur Konkuren adalah kreditur yang pelunasan piutang-piutangnya

dicukupkan dari sisa penjualan atau pelelangan harta pailit setelah diambil

bagiannya oleh kreditur separatis dan kreditur preferen atau kreditur istimewa.40

12.Debitur Pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan Putusan

Pengadilan.41

13.Concursus creditorium adalah keharusan adanya dua atau lebih kreditur.42

14.Insolventie adalah keadaan berhenti membayar dimana debitur tidak membayar

utangnya yang disebabkan karena ketidakmampuan debitur untuk melakukan

36

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004. 37

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2004. 38

H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta: PT. Alumni, 2006), hal. 35.

39

Kartini Muljadi, “Kreditur Preferen dan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan”, Dalam:

Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian

Hukum), hal. 174 - 175. 40

H. Man S. Sastrawidjaja, Op.Cit., hal. 35. 41

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 UU No. 37 Tahun 2004. 42

(38)

pembayaran maupun debitur yang tidak mau melakukan pembayaran atas

utang-utangnya.43

15.Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau

lebih kreditur, dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar,

sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh Pemohon Pailit

atau Pemohon PKPU tidak menghalangi dijatuhkannya Putusan Pernyataan

Pailit.44

16.Prinsip debt forgiveness adalah pranata hukum sebagai alat untuk memperingan

beban yang harus ditanggung oleh debitur, karena sebagai akibat kesulitan

keuangannya, sehingga ia tidak mampu membayar utang-utangnya sesuai dengan

agreement semula, bahkan keringanannya itu sampai pada pengampunan atas

utang-utangnya, bahkan sampai pada utang-utangnya hapus semua.45

17. Kepastian hukum adalah landasan hukum yang kukuh, dimana setiap pihak,

baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib untuk menghormati dan

menegakkan substansi hukum yang berlaku dengan tujuan untuk menjamin dan

meningkatkan kepercayaan pemodal terhadap industri efek nasional.46

43

Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. 44

Ricardo Simanjuntak, “Kepailitan Dan Likuidasi (Studi Kasus: BPPN vs PT. Muara Alas Prima)”, Dalam Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan Dan Pengadilan Niaga, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia, 2005), hal. 315.

45

Emmy Yuassarie, “Pemikiran Hukum Kepailitan Indonesia” Dalam Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. xix.

46

(39)

18. Homologasi adalah Pengesahan rencana perdamaian oleh Pengadilan.47

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan

pendekatan juridis normatif. Dengan demikian, objek penelitian adalah norma hukum

yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh

pemerintah dan sejumlah peraturan perundang-undangan. Sebagai suatu penelitian

ilmiah, maka rangkaian kegiatan dalam penelitian ini mengikuti metode-metode

penelitian hukum, sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian

hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan

(statue approach) dalam melakukan pengkajian kewenangan kreditur dalam

Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pemilihan metode ini untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum,

guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, pilihan metode penelitian

untuk tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang berkaitan dengan

prinsip-prinsip dan norma/pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia serta praktik penerapan

Hukum Kepailitan di Pengadilan Indonesia.

Menurut Johnny Ibrahim, bahwa penelitian hukum normatif ini adalah untuk

menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan

norma-norma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai

47

(40)

bahan hukum maupun yang dicari sebagai bahan kajian guna memecahkan problema

hukum faktual yang dihadapi oleh masyarakat, maka tidak ada jalan lain hanya

berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu hukum praktis normologis dan

mengandalkan penelitian hukum normatif.48 Sedangkan dari sudut penerapannya,

penelitian ini adalah penelitian terapan (applied research). Tujuan utamanya yakni

diharapkan penelitian ini nantinya akan diterapkan dan dimanfaatkan dengan baik

oleh praktisi hukum di Indonesia.49

Spesifikasi penelitian Tesis ini termasuk deskriptif analitis, yaitu

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori

hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di

atas.

Sifat dari penelitian ini adalah Deskriptif Analitis, yang bertujuan untuk

membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan

tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan mengacu pada hukum dan

peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep,

teori-teori, dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari Peneliti pendahulu,

baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

48

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media Publishing, Cet. Ke - 2, 2006), hal. 73.

49

(41)

Sehubungan dengan Tipe Penelitian yang digunakan, yakni yuridis normatif, maka

penelitian ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yakni:

1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach)

Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua

Undang-Undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang

ditangani.50

2. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan kasus ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap

putusan Pengadilan atas kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan Penundaan

Kewajban Pembayaran Utang dan Kepailitan. Yang menjadi kajian pokok di

dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu

pertimbangan Pengadilan untuk sampai pada satu putusan.51

3. Pendekatan Konsep (conceptual approach)

Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep dari

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan dalam Hukum

Kepailitan.

2. Sumber Bahan Hukum

Sumber data kepustakaan dalam penelitian Tesis ini diperoleh dari:

50

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Hal. 93. 51

(42)

a. Bahan hukum primer, yaitu: Peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

dan putusan Hakim dalam Permohonan PKPU No. 05/PKPU/2010/PN.

Niaga-Medan.

b. Bahan hukum sekunder, seperti: hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,

artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah

lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau Bahan Hukum Penunjang, yang mencakup bahan

yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan

Hukum Primer dan Sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, serta

bahan-bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum yang relevan

dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam

penelitian ini.52 Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan Tesis ini

sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, seluruh bahan dikumpulkan dengan menggunakan

tehnik studi kepustakaan (library research), dengan mempelajari berbagai dokumen

dari sumber yang dipandang relevan, yaitu meneliti sumber bacaan yang

berhubungan dengan topik dalam Tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah

52

(43)

hukum, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan Pengadilan yang berkaitan

dengan penelitian, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan penunjang lainnya.

Perpustakaan yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan

Perpustakaan cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penelitian ini sepenuhnya mempergunakan data sekunder dengan alat

penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam

perkara-perkara kepailitan.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses pengorganisasian dan mengurutkan data

pada suatu pola kategori dan satuan. Data-data yang diperoleh melalui studi pustaka

yang dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan

satuan uraian dasar.53 Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari,

menganalisis, dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data, sehingga diperoleh

data yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan, selanjutnya akan

ditelaah dan dianalisa. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan

Pasal-Pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang beserta konsekwensi hukumnya, kemudian membuat

53

(44)

sistematika dari Pasal-Pasal tersebut, sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu,

sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian tesis ini.

Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti

dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yang diselaraskan dengan hasil dari data

pendukung, sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh

pokok permasalahan dalam penelitian ini. Dilihat dari tujuan analisis, maka ada dua

hal yang ingin dicapai dalam analisis kualitatif, yaitu: 1) Menganalisis proses

berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas

terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi,

data, dan proses suatu fenomena.54

54

(45)

BAB II

KEWENANGAN KREDITUR DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

A. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Surseance van Betaling, Suspension of Payment).

1. Pengertian

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam Bab Ketiga

yaitu dalam Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dilakukan dengan

maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran

pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur. Pasal 222 UUK dan

PKPU menentukan bahwa:

1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitur yang

mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditur atau oleh Kreditur,

2) Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan

membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat

(46)

mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian

atau seluruh utang kepada Kreditur,

3) Kreditur yang memperkirakan bahwa Debitur tidak dapat melanjutkan membayar

utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada

Debitur diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan

Debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran

sebagian atau seluruh utang kepada Krediturnya.

Dari ketentuan Pasal 222 UUK dan PKPU ini dapat diartikan, yang dimaksud

dengan penundaan kewajiban pembayaran utang pada umumnya adalah untuk

mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau

sebagian utang kepada kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur

konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk memungkinkan seorang debitur

meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari

kepailitan.55

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disebut juga moratorium,

harus dibedakan dengan gagal bayar, karena gagal bayar secara esensial berarti

bahwa seorang debitur tidak melakukan pembayaran utangnya. Gagal bayar terjadi

apabila si peminjam tidak mampu untuk melaksanakan pembayaran sesuai dengan

jadwal pembayaran yang disepakati baik atas bunga maupun atas utang pokok.

55

(47)

Debitur yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya dalam kesulitan

sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utangnya, dapat memilih beberapa

langkah dalam menyelesaikan utangnya tersebut. Beberapa upaya dimaksud antara

lain, sebagai berikut:56

1. Mengadakan perdamaian di luar Pengadilan dengan para Krediturnya,

2. Mengadakan perdamaian di dalam Pengadilan apabila debitur tersebut digugat

secara Perdata,

3. Mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),

4. Mengajukan perdamaian dalam PKPU,

5. Mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit oleh Pengadilan,

6. Mengajukan perdamaian dalam Kepailitan.

Berkaitan dengan alternatif pilihan yang tersebut di atas, Debitur seyogianya

memilih alternatif yang terbaik, salah satu pilihan adalah mengajukan permohonan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Permohonan PKPU ini harus

diajukan oleh Debitur sebelum adanya putusan Pernyataan Pailit; apabila putusan

Pernyataan Pailit sudah diucapkan oleh Hakim terhadap Debitur tersebut, maka

Debitur tersebut tidak dapat lagi mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU). Sebaliknya, Debitur dapat mengajukan permohonan

56

(48)

Kepailitan bagi dirinya bersama-sama dengan permohonan PKPU.57 Dalam keadaan

demikian, Hakim akan mendahulukan memeriksa PKPU,58 dan apabila permohonan

Pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, maka PKPU harus

diputuskan terlebih dahulu.59

Dikaji dari perspektif pandangan doktrina, maka Jerry Hoff lebih detail

menyebutkan bahwa tujuan PKPU adalah:

The purpose of suspension of payment is to prevent the bankruptcy of debtor

who is unable to pay but who maybe to pay in the near future. The debtor merely

facestemporary liquidity problem. In such cases, a bankruptcy would inevitavly lead

to erosion of capital value. This is clearly not in the interest of creditors. Suspension

of payment gives the debtor temporary relief (or a breathing space) against pressing

creditors in order to reorganize and continue in business, and ultimately to satisfy

creditors claims. If the reorganization of the business is not successful of payment

can be easily converted into bankruptcy.60

Konklusi dari konteks di atas mendeskripsikan bahwa Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang hanya dapat diajukan oleh Debitur sebelum Debitur tersebut

dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Secara tegas dinyatakan bahwa bila Debitur yang

telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan, tidak dimungkinkan untuk mengajukan

PKPU. Dalam praktik, terhadap pengajuan PKPU tersebut dapat diajukan secara

57

Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hal. 50.

58

H. Man S Sastrawidjaja, Op. Cit., hal. 202. 59

Pasal 229 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004. 60

Referensi

Dokumen terkait

Dalam gerakan tertentu yang yang tidak bisa diamati secara visual dan tidak dapat terjangkau oleh mata telanjang manusia, aplikasi pemrosesan video sering harus melakukan

(3) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas)

Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang ditandai dengan Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang ditandai dengan suatu

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 di

Alasan penulis memilih film animasi (kartun) sebagai objek penelitian ini karena penulis tertarik untuk mengetahui jenis dan fungsi kesopanan apa saja yang terdapat dan

Metode yang digunakan dalam penyusunan Tafsir al-Qur’an Tematik Kementerian Agama RI ini adalah metode tematik, atau dikenal juga dengan istilah maudhu’i..

Berdasarkan literatur, pelarut yang bersifat tidak terlalu polar juga dapat digunakan untuk membersihkan lendir pada permukaan daging lidah buaya Maksudnya agar tidak banyak

Sedangkan panjang total udang windu yang tertangkap pada trammel net monofilamen dengan mesh size 1,50 inci sebagian besar berada pada kisaran 136-140 mm, sedangkan