• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU SOSIAL INDUK-ANAK ORANGUTAN (Pongo abelii)

DI PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA, BUKIT

LAWANG, TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

SKRIPSI

SIDAHIN BANGUN

050805039

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERILAKU SOSIAL INDUK-ANAK ORANGUTAN (Pongo abelii)

DI PUSAT PENGAMATAN ORANGUTAN SUMATERA, BUKIT

LAWANG, TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

LEMBAR PENGESAHAN

OLEH

SIDAHIN BANGUN

050805039

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing I

Panut Hadisiswoyo, M. A M.Sc Drs. Arlen Hanel.J., M.Si NIP. 19581018 199003 1 001

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010

(3)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian dengan judul “Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser” .

Terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Arlen Hanel John, M.si selaku Pembimbing I dan Bapak Panut Hadisiswoyo, S.S, M.Sc selaku Pembimbing II atas bimbingan dan arahannya kepada penulis demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Selanjutnya, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S dan Ibu Masitta Tanjung, M.Si selaku ketua dan sekretaris penguji yang telah banyak memberikan kritikan, saran juga masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi dan Ibu Nunuk Priyani, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi terimakasih banyak atas bantuannya yang tak terhingga kepada penulis selama menjalani perkuliahan di Biologi FMIPA USU. Kepada Ibu Masitta Tanjung, M.Si selaku Dosen Penasihat Akademik, terimakasih atas bantuan dan waktunya. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Illyas M.Biomed mengenai analisis data statistiknya. Kepada Bu Dr. Sri Suci Utami Atmoko Phd dari Biologi UNAS, terima kasih atas bimbingannya mengenai penelitian orangutan yang sangat membantu penulis. Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku pegawai Departemen Biologi FMIPA USU serta Ibu Nurhasni Muluk selaku analis dan laboran di Laboraturium Departemen Biologi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis.

Terima kasih kembali kepada Direktur Yayasan Orangutan Sumatera

Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), David Dellatore dan Bapak Gary

Saphiro atas beasiswa yang diberikan kepada penulis. Kepada Bapak Ian Singleton, Phd selaku Direktur Sumatera Orangutan Conservation Programme (SOCP) terima kasih atas kepercayaan dan dana penelitian yang diberikan kepada penulis. Kepada Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser Ir. Harijoko SP, MM, Kabid BPTN III Stabat Ir. Ari Subiantoro,MP, Kepala SPTN V Bohorok Hendra W,S.Hut terima kasih atas izin penelitian dan bantuan informasi yang sangat membantu penulis.

Kepada kedua orangtua yang saya cintai, ayahanda S. Bangun dan ibunda A. Sembiring yang selalu memberikan doa dan bimbingan tiada henti, penulis sangat mensyukuri atas semua yang telah ayahanda dan ibunda lakukan kepada penulis. Kepada kakak saya Fitri Y. Bangun dan abang ipar saya Edi S. Ginting serta adik saya Ida Yanti dan Gopin Bangun penulis juga mengucapkan terima kasih banyak atas semangat dan motivasi yang sangat berharga bagi penulis.

(4)

K’Tria, K’ Vina, K’ Maini, K’ Eka, K’ Henita, K’ Marliya, K’ Roma, terima kasih atas arahan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama mengikuti kuliah di Departemen Biologi.

Kepada rekan penelitian saya Fifi Willyanti yang memiliki semangat besar untuk melakukan penelitian terima kasih atas bantuan materil dan moril yang tidak dapat dibalas penulis dan Teman se-angkatan saya, Juned, Rico, Misran, Taripar, Andi, Rahmad, Verta, Efendi, Irfan, Kabul, Toberni, Julita, Kurniayanti, Erni, Fitria, Valentina, Erna, Simlah, Andini, Delni, Susi, Widya, Nikmathul, Ummi, Tetty, Diana, Erie, Nurzaidah, Seneng, Yanti, Susanti, Elprida, Dwi, Rosida, Winda, Gustin, Riris, Kalista, Susanti Sari, Patimah, Riris, Siti, Mustika, Dini, Ruth, Wulan, Sarah terima kasih juga atas semangat yang diberkan.

Kepada B’ Sofyan, B’ Indra, B’ Taqim, B’ Ibink, B’ Mail, B’ Mulyadi, B’ Jamil, B’ Pebroni, K’ Nova, K’ Hera, K’ Klara dari YOSL-OIC, Bapak Nuzuar, B’ Asril, B’ Hubert, B’ Mistar, K’ Aisah dari SOCP terima kasih atas arahan dan saran yang diberikan. Kepada B’ Tomiran selaku manager Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS), Pak Wayan, Pak Warji, Pak Riswan, Pak Iskandar terima kasih atas kemudahan administrasi yang diberikan, kepada B’ Edizon, B’ Arshad, B’ Petrus, B’ Sindra, B’ Erik, B’Aliman terima kasih atas dampingannya selama pengambilan data dan terima kasih juga kepada B’ Dharma, B’ Roy, B’ Wisnu dan Bram selaku petugas PPOS.

Adik-adik angkatan saya Umri, Marjuki, Kasbi, Incai, Jayana, Afan, Reymond, Juventus, Gilang, Aini, Misfala, Desy, Sri Jayanthi, Eva, Lenni, Diah, Juhardi, Ika, Surya, angkatan 2006, angakatan 2007, angkatan 2008 yang namanya tidak disebutkan saya mengucapkan terima kasih banyak.

Kepada siapa saja yang sudah membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini yang tidak tersebut namanya, penulis memohon maaf dan terima kasih atas bantuannya baik secara moril atau materil dan secara langsung atau tidak langsung.

Penulis

(5)

Penelitian tentang Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser telah dilakukan dari bulan September 2009 sampai Februari 2010. Penelitian ini menggunakan metode Focal Animal Sampling dengan pencatatan data secara

instantaneous dan ad libitum sampling. Dari ketiga objek penelitian diperoleh

persentase perilaku sosial induk-anak orangutan tertinggi adalah pada individu Minah-Cathrine sebesar 19,10 % yang terdiri dari sosial bermain, sosial mengutui dan sosial makan bersama, pola makan yang sama pada ketiga objek penelitian yaitu perilaku makan hand to hand (HTH) dan mouth to hand (MTH), indeks mendekat-menjauh yang bernilai negatif pada Sumi yang masih muda (4 bulan) serta jarak induk-anak orangutan yang terlalu dekat dengan pengunjung yaitu < 5 meter, < 2 meter bahkan 0 meter yang dapat membahayakan guide dan pengunjung.

Kata kunci : Perilaku Sosial, Induk-Anak Orangutan

ABSTRACT

(6)

Park has been carried out from September 2009 until February 2010. This study uses

Focal Animal Sampling with data recording instantaneous and ad libitum sampling.

Of the three objects obtained percentage research parent-child social behavior orangutans is on the highest is Minah-Catherine for 19,10 % of social play, social grooming and social of eating together, eating the same pattern in all three objects of study on behavior of hand to hand (HTH) and mouth to hand (MTH),

Approach-Leave Index a negative value on the individual young Sumi (four month) and

parent-child distance of orangutan which are too close to the visitor that is < 5 meters, < 2 meters even 0 meter that can endanger the guides and visitors.

Keyword : Social behavior, Parent-Child Orangutan

DAFTAR ISI

Penghargaan Abstrak Abstract

(7)

Daftar Isi

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

2.1 Orangutan dan Klasifikasi 2.2 Ciri-Ciri Umum

2.3 Biologi/Reproduksi orangutan 2.4 Habitat Orangutan

2.5 Distribusi Orangutan 2.6 Prilaku Sosial Orangutan

2.6.1 Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan

2.6.2 Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan Dengan Manusia

Bahan Dan Metode 3.1 Deskripsi Area 3.2 Potensi Kawasan

3.2.1 Flora 3.2.2 Fauna 3.2.3 Wisata

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian 3.4 Peralatan Penelitian

3.5 Objek Penelitian 3.6 Metode Penelitian 3.7 Prosedur Kerja

3.7.1 Pencarian (Searching)

3.7.2 Metode Pencatatan Data (Recording Data Method) 3.7.3 Analisis Data

Hasil dan Pembahasan

4.1Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan

4.2Jarak Induk dan Anak Orangutan dalam melakukan Aktivitas 4.2.1 Untuk Keseluruhan Aktivitas

4.2.2 Pada Pohon yang Sama 4.2.3 Pada Pohon yang Beda

4.2.4 Jarak Induk dan Anak ketika Berada di

Flatform

4.2.5 Jarak Induk dan Anak ketika Berada di Tanah

(8)

Bab 5

Flatform

4.3.2 Jarak Induk dan Anak dengan Pengunjung ketika berada di Hutan

4.4Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Petugas dalam Keseluruhan Aktivitas

4.5Perilaku Kontak Inisiatif Gendong Antara Induk dan Anak 4.5.1 Ketika adanya pakan

4.5.2 Saat Pergerakan 4.5.3 Saat Bermain Sendiri

4.5.4 Saat Bermain dengan yang Lain 4.5.5 Saat Menyusui

4.6Perilaku Makan Anak ketika Induk Makan 4.7Proporsi Mendekat-Menjauh

Tabel 3.1. Induk dan Anak yang Menjadi Objek Penelitian 17

(9)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 3.1.

Gambar 4.1. Gambar 4.2

Gambar 4.3

Gambar 4.4

Orangutan yang menjadi Objek Penelitian A. Suma-Sumi

B. Minah-Cathrine C. Pesek-Wati

Grafik Persentase Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan A. Sosial Bermain di Tanah

B. Sosial Makan Bersama

Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dalam Keseluruhan Aktivitas

Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan pada Pohon yang Sama

17

23 25 25 26

(10)

Gambar 4.6

dengan Jarak 0 meter

Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan pada Pohon yang Beda

Induk dan Anak Orangutan pada Pohon yang beda dengan Jarak < 2 meter

Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan ketika Berada di Flatform

Induk dan Anak Orangutan ketika Berada di Flatform dengan Jarak 0 meter

Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan ketika Berada di Tanah

Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung dalam Keseluruhan Aktivitas

Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung ketika di Flatform

Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung ketika di Flatform

Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung Waktu di Hutan

Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung ketika Berada di Hutan

Petugas dan Orangutan di Flatform

Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Petugas dalam Keseluruhan Aktivitas

Grafik Persentase Perilaku Kontak Inisiatif Induk dan Anak Orangutan ketika Adanya Pakan

Grafik Persentase Perilaku Kontak Inisiatif Induk dan Anak Orangutan saat Pergerakan

Grafik Persentase Perilaku Kontak Inisiatif Induk dan Anak Orangutan Disaat Bermain Sendiri

Wati Bermain dengan Sumi yang Ada dalam Gendongan Suma

Grafik Persentase Perilaku Kontak Inisiatif Induk dan Anak Orangutan Disaat Bermain dengan yang Lain Grafik Persentase Perilaku Kontak Inisiatif Induk dan Anak Orangutan Disaat Menyusui

Anak Orangutan (Sumi) Sedang Disusui Induk

Grafik Persentase Perilaku Makan Anak Orangutan Ketika Induk Makan

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran A Peta Areal Penelitian 60

Lampiran B Lembar Data Penelitian 61

(12)

Penelitian tentang Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser telah dilakukan dari bulan September 2009 sampai Februari 2010. Penelitian ini menggunakan metode Focal Animal Sampling dengan pencatatan data secara

instantaneous dan ad libitum sampling. Dari ketiga objek penelitian diperoleh

persentase perilaku sosial induk-anak orangutan tertinggi adalah pada individu Minah-Cathrine sebesar 19,10 % yang terdiri dari sosial bermain, sosial mengutui dan sosial makan bersama, pola makan yang sama pada ketiga objek penelitian yaitu perilaku makan hand to hand (HTH) dan mouth to hand (MTH), indeks mendekat-menjauh yang bernilai negatif pada Sumi yang masih muda (4 bulan) serta jarak induk-anak orangutan yang terlalu dekat dengan pengunjung yaitu < 5 meter, < 2 meter bahkan 0 meter yang dapat membahayakan guide dan pengunjung.

Kata kunci : Perilaku Sosial, Induk-Anak Orangutan

ABSTRACT

(13)

Park has been carried out from September 2009 until February 2010. This study uses

Focal Animal Sampling with data recording instantaneous and ad libitum sampling.

Of the three objects obtained percentage research parent-child social behavior orangutans is on the highest is Minah-Catherine for 19,10 % of social play, social grooming and social of eating together, eating the same pattern in all three objects of study on behavior of hand to hand (HTH) and mouth to hand (MTH),

Approach-Leave Index a negative value on the individual young Sumi (four month) and

parent-child distance of orangutan which are too close to the visitor that is < 5 meters, < 2 meters even 0 meter that can endanger the guides and visitors.

Keyword : Social behavior, Parent-Child Orangutan

DAFTAR ISI

Penghargaan Abstrak

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara yang paling kaya akan jenis mamalia, karena sampai saat ini diperkirakan ada sekitar 700 jenis (sekitar 12-13 % mamalia dunia) terdapat di Indonesia (Petocz, 1994; Suyanto, 2005). Selanjutnya dijelaskan bahwa jumlah jenis mamalia di dunia yang sudah diketahui sekitar 5000-6000 jenis. Meijaard et al., (2001) menyatakan bahwa jenis mamalia yang sangat diperhatikan adalah dari golongan kera, karena jenis mamalia ini sangat menarik dan memiliki tingkat kecerdasan tinggi, diantaranya adalah kera besar Bonobo Afrika (Pan paniscus), Simpanse (Pan troglodytes) dan Gorila (Pan gorila), serta kera besar yang terdapat di pulau Sumatera dan Borneo, yaitu orangutan (Pongo sp.).

(15)

wilayah Republik Indonesia. Orangutan di pulau Sumatera dinamakan Pongo abelii sedangkan orangutan di pulau Kalimantan disebut Pongo pygmaeus.

Di Sumatera habitat orangutan terbesar terdapat di Taman Nasional Gunung Leuser. Jumlah populasi orangutan di kawasan ini diperkirakan sebanyak 6.624 individu dengan luas ± 11.710 km2 (Wich et al., 2008). Jumlah ini mengalami penurunan yang drastis dari tahun ke tahun terlihat dari batas sempit yaitu dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas ± 8.526 km2 diperkirakan ada 5.800 individu yang sekarang sudah menurun jauh. Kawasan inilah yang memiliki potensi paling ideal untuk daerah konservasi Orangutan Sumatera (Sugardjito, 1994). Sehingga wajar disebut Taman Nasional Gunung Leuser sebagai Tropical Rainforest

Heritage of Sumatera atau World heritage Site (Situs Warisan Dunia) oleh UNESCO

Bukit Lawang merupakan salah satu Resort yang menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser yang menjadi Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera sebanyak 229 ekor pada tahun 1972-2001 yang didapatkan dari sitaan, peliharaan masyarakat, tangkapan pemburu dan hasil jual beli yang berhasil digagalkan oleh petugas kepolisian. Orangutan tersebut diberikan ke pihak karantina untuk diajari bagaimana pola bertahan hidup di alam. Pada tahun 1995 Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera berubah nama menjadi Kawasan Ekowisata Bukit Lawang yang sekarang dikenal sebagai Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS).

Sebelum orangutan sitaan dilepasliarkan terlebih dahulu mengalami proses pembelajaran. Di karantina orangutan ini akan belajar secara bertahap, yang dimulai dari tahap rendah sampai benar-benar mampu hidup di habitat alaminya bersama dengan orangutan liar dan fauna lain. Beberapa tahap pembelajaran sangat sulit diajarkan seperti hal memanjat, mencari makan, berinteraksi dengan orangutan lain dan belajar bagaimana bertahan hidup. Kebanyakan orangutan semiliar yang sudah mandiri dilepasliarkan di kawasan hutan yang terlindungi dan kawin dengan orangutan liar atau dengan orangutan sesama semiliar.

(16)

aktivitas satwa, diantaranya orangutan di kawasan ini seperti membuang sampah sembarangan, memberi makan dengan buah dan makanan yang dibawa, serta mengganggu satwa ini (YOSL OIC, 2009).

Adanya pengunjung yang memasuki kawasan ini setiap hari dapat mempengaruhi hubungan induk dan anak. Apakah anak akan selalu bersama dengan induk sesuai dengan perkembangan umur atau tidak dan bagaimana kemandirian anak dengan adanya aktivitas ini?. Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul : ”Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan (Pongo abelii) di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung

Leuser,”.

1.2Permasalahan

Orangutan merupakan objek penarik wisatawan di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang. Tujuan utama wisatawan datang ke kawasan ini adalah bertemu dengan orangutan. Dengan seringnya induk dan anak orangutan Sumatera (Pongo abelii) berinteraksi dengan manusia dapat mengganggu perilaku sosialnya. Namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah perilaku sosial induk-anak orangutan, jarak antara induk-anak, inisiatif gendong, perilaku makan anak dan proporsi mendekat-menjauh berdasarkan perbedaan umur anak dengan adanya aktivitas manusia di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera.

1.3Tujuan Penelitian

(17)

1.4Hipotesis

Berdasarkan perbedaan umur anak orangutan akan menunjukkan perbedaan perilaku sosial induk-anak orangutan, baik pada variasi jarak induk-anak dalam melakukan aktivitas, inisiatif gendong antara induk dan anak perilaku makan anak ketika induk makan dan proporsi mendekat-menjauh.

1.5Manfaat Penelitian

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Orangutan dan Klasifikasi

Istilah orangutan diambil dar Dalam pemberian nama ini para ahli anthropologi fisik mengalami kesulitan dalam memberikan defenisi yang tepat mengenai bagaimana caranya kita dapat mengenal kera besar, namun dalam daftar biasanya disebutkan bahwa kera besar memiliki anggota badan yang dapat bergerak agak leluasa ke semua arah, tidak mempunyai ekor, mempunyai kebiasaan membuat sarang di atas pohon (Van Schaik, 2006).

Menurut Groves (2001) orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut :

(19)

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Family : Homonidae

Subfamily : Pongoninae

Genus : Pongo

Spesies : Pongo abelii dan Pongo pygmaeus

Van Schaik (2006) menyatakan bahwa pada saat ini orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang masih terdapat di Asia, yaitu hanya dapat ditemukan di pedalaman hutan-hutan di pulau Kalimantan dan pulau Sumatera. Menurut beberapa ahli taksonomi, orangutan yang ada saat ini hanya terdiri dari satu spesies dengan dua subspesies.

Markham (1980) menyatakan bahwa kedua subspesies ini terisolasi secara geografis paling sedikit sejak 10.000 tahun yang lalu ketika permukaan laut antara Sumatera dan Kalimantan naik. Akibatnya, kedua pulau yang semula merupakan satu bagian dari Daratan Sunda ini terpisah menjadi dua pulau besar. Isolasi tersebut menyebabkan munculnya beberapa genetis dan morfologis, tetapi ketika ditemukan kedua spesimen tersebut berada dalam kondisi yang sama misalnya dalam tangkapan, keduanya dengan mudah berkembang biak dan menghasilkan keturunan. Pola-pola perilaku kedua subspesies tersebut hampir seluruhnya identik, walaupun ada perbedaan kemampuan sosialnya.

Jones et al., (2004) dalam Siregar (2009) menjelaskan bahwa orangutan yang hidup di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan tidak satu spesies melainkan satu genera yang masing-masing terdiri dari dua spesies yaitu Pongo abelii yang hidup di pulau Sumatera dan spesies Pongo pygmaeus yang hidup di pulau Kalimantan.

(20)

Supriatna & Edy (2000) menyatakan bahwa ukuran tubuh orangutan jantan 2 kali lebih besar dari pada betina. Orangutan jantan dewasa yang hidup di alam memiliki berat badan antara 50-90 kg, dan yang peliharaan dapat mencapai 150 kg dengan pola warna biasanya coklat kekuningan dan umumnya rambut agak tebal atau panjang. Sedangkan orangutan betina dewasa yang hidup di alam memiliki berat badan antara 30-50 kg dan yang peliharaan dapat mencapai 70 kg, bayi yang baru lahir memiliki berat badan antara 1-2 kg (rata-rata 1,8 kg) dengan kulit muka dan tubuh biasanya berwarna pucat, warna rambutnya coklat sangat muda (Meijaard et al, 2001). Selanjutnya Payne (2000) menjelaskan bahwa orangutan Sumatera (Pongo

abelii) jantan terbesar tingginya mencapai 1,4 m dengan rentangan antara kedua

(21)

2.3Biologi/Reproduksi orangutan

Musfarayani (2008) menyatakan bahwa orangutan betina sudah matang secara seksual pada umur 7 tahun dan siap bereproduksi pada usia 14 tahun, namun demikian berdasarkan informasi di Bukit Lawang ditemukan orangutan betina telah bereproduksi pada umur 11 tahun, dengan lama kehamilan rata-rata 254 hari (8 bulan, 20 hari). Selanjutnya Meijaard et al., (2001) menjelaskan bahwa setiap kelahiran hanya menghasilkan satu bayi dengan jarak kelahiran 6-9 tahun.

Dalam suatu kasus orangutan betina dewasa dapat mengambil anak angkat dari anak orangutan lain dan tidak membedakan cara mengasuhnya baik pada anak kandung atau anak angkatnya (Supriatna & Edy, 2000). Menurut Van Schaik (2006) orangutan dalam kehidupannya melewati tahapan bayi, anak-anak, remaja, pradewasa, dewasa dan tua. Meskipun tahapannya bisa dilihat dengan nyata, transisi itu sendiri berlangsung secara berangsur-angsur dan sangat lama yang dapat mencapai 50 sampai 60 tahun.

(22)

2.4Habitat Orangutan

Untuk mendukung kehidupan satwa liar diperlukan satu kesatuan kawasan yang dapat menjamin segala keperluan hidupnya baik dalam makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak maupun tempat untuk mengasuh anak-anaknya. Kawasan tersebut terdiri dari komponen abiotik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup yang disebut habitat (Alikodra, 2002).

Primata ini sangat peka terhadap perubahan kondisi hutan tropik yang menjadi habitatnya. Dimana hutan tropik yang menjadi habitatnya harus menyediakan beragam tumbuhan buah yang menjadi sumber pakan utamanya sehingga primata ini dapat bertahan hidup. Selain buah orangutan juga memakan bagian lain dari tumbuhan seperti bunga, daun muda, kulit kayu, beberapa tumbuhan yang dihisap getahnya dan berbagai jenis serangga. Dengan demikian pembukaan hutan tropik sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasinya. Di Kalimantan, orangutan kehilangan lebih dari separuh habitatnya, dimana dari areal hutan seluas ± 415.000 km2 saat ini tersisa seluas ± 165.000 km2 (± 39,76%), sedangkan di Sumatera, dari areal hutan seluas ± 89.000 km2 saat ini yang tersisa seluas ± 23.000 km2 (± 25,84%) (Supriatna & Edy, 2000)

2.5Distribusi Orangutan

(23)

Orangutan hidup di dataran rendah sampai hutan pegunungan dataran tinggi. Umumnya hidup di hutan primer dan hutan sekunder, dari hutan rawa sampai hutan perbukitan. Namun saat ini karena kerusakan habitat aslinya, mereka dapat ditemukan di pinggiran ladang, perkebunan atau dekat perkampungan masyarakat (Payne, 2000; Supriatna & Edy, 2000). Di Sumatera orangutan masih ditemukan pada lereng gunung dengan ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut (dpl) khususnya jantan dewasa, sedangkan di Kalimantan orangutan tidak ditemukan pada ketinggian 500 m dpl (Groves, 2001; Rijksen & Meijaard dalam Wich et al., 2009).

Populasi terbesar orangutan terdapat pada ketinggian 200-400 m di atas permukaan laut yang biasa didominasi pohon dari famili Dipterocarpaceae. Kepadatan tertinggi dapat mencapai 2 individu/km2, sedangkan kepadatan di hutan perbukitan hanya 1 ekor per km2 (Payne ,1988; Van Scaik & Azwar, 1991).

Meijaard et al., (2001) menjelaskan bahwa orangutan tidak tersebar merata menurut waktu dan lokasi di suatu kawasan. Keadaan ini disebabkan karena kera besar tersebut menghabiskan waktunya untuk menjelajah dan mencari makanan, sehingga terkadang menetap di lokasi yang sama sekali belum pernah didatangi. Antara mencari makan dan membuat wilayah baru selalu dilakukan setiap harinya sampai ke jenis hutan yang berbeda.

Penyebaran Orangutan Sumatera terbatas hanya di bagian Utara Sumatera sampai ke Aceh (Wich et al., 2009). Selanjutnya Van Schaik et al., (1994) menjelaskan bahwa batas sebaran Orangutan Sumatera hanya diketahui pada beberapa kelompok populasi yang berbeda yaitu :

1) Populasi Singkil, merupakan populasi orangutan yang hidup pada kawasan terlindungi di Singkil Barat yang merupakan hutan rawa. Gangguan yang sedang terjadi di kawasan ini adalah perusakan habitat.

(24)

3) Populasi Kawasan Ekowisata Leuser Barat. Daerah penyebaran orangutan ini merupakan kawasan hutan konservasi yang berbatasan dengan Gunung Leuser di bagain Utara dan Barat Laut. Kawasan ini merupakan habitat populasi orangutan terbesar.

4) Populasi Kawasan Ekosistem Leuser Timur, merupakan suatu populasi orangutan di kawasan konservasi yang sub-populasinya di bagian Utara dan Selatan dipisahkan oleh jalan raya Kutacane-Blangkejeren. Bagian Utara dari populasi ini terdiri dari Taman Nasional dan daerah yang tersisa dari Tamiang (yang merupakan hutan produksi). Menuju ke Timur terdapat sub-populasi kecil yang dipisahkan oleh Sungai Wampu. Batas Utara populasi ini tidak diketahui tetapi masih terdapat hutan yang tidak terganggu di sebelah Utara dan Timur Laut Blangkejeren.

5) Diduga masih terdapat satu populasi lagi di sebelah Barat dari Takengon, akan tetapi informasi yang diperoleh belum jelas.

2.6Perilaku Sosial Orangutan

(25)

Menurut Nellemann et al., (2007) dan Supriatna & Edy, (2000) orangutan pada umumnya bersifat menyendiri atau soliter, hanya pada saat tertentu hidup bersama dengan individu lain seperti saat reproduksi antara jantan dan betina, atau induk betina yang diikuti oleh satu atau dua anak yang belum dapat mandiri. Orangutan hidup arboreal yaitu menghabiskan waktunya di pohon dengan bergelantungan dari satu dahan ke dahan yang lain dengan menggerakkan keempat anggota tubuhnya.

Orangutan adalah primata besar, kuat dan cerdas. Menggunakan alat mencari makan, menata sarang di atas pohon serta berinteraksi dengan sesama orangutan melalui suara. Orangutan mengeluarkan bunyi jeritan seperti sendawa panjang yang dikeluarkan oleh betina dewasa dan seruan (long call) yang dikeluarkan jantan dewasa pada siang dan malam hari (Payne & Francis, 2000). Menurut Galdikas (1978), ada satu kelompok di Kalimantan yang secara rutin menumbangkan pohon ke tanah sambil menaikinya sementara pohon itu jatuh. Kelompok lain di Sumatera menggunakan teknik serupa sebagai manufer defensif, yakni mendorong-dorong pohon ketika mereka merasa terancam. Dan hanya ada satu kelompok orangutan yang bisa menggunakan tongkat untuk mengusir serangga dari lubang pohon atau mengeluarkan biji dari buah-buahan.

2.6.1 Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan

(26)

Induk betina melakukan toleransi aktivitas terhadap anaknya (Mac Kinnon, 1974 dan Rijksen, 1978). Toleransi tersebut antara lain seperti pemberian makanan yang dilumatkan oleh mulut induk kepada anaknya atau membantu anak dalam pergerakan dari pohon ke pohon (Rijksen, 1978). Menurut Mac Kinnon (1974) dan Galdikas (1986) orangutan benar-benar terlihat memiliki sifat sosial sendiri, seperti sosial bermain, sosial mengutui/dikutui dan sosial makan barsama antara ibu dan anak baik di tanah maupun di pohon pada anak yang masih bayi atau sudah besar sekalipun.

Induk orangutan melakukan aktivitas harian bersama anak yang digendongnya. Pemilihan pakan untuk anak dilakukan oleh induk sepenuhnya karena ketergantungan anak sangat besar terhadap induk (Amda, 2009). Apalagi umur anak yang masih muda sangat bergantung dari banyakya susu induk dibanding makanan yang dari alam. Saat masih menyusui anak, kebutuhan akan pakan orangutan bertambah banyak pula. Tidak jarang dalam kesehariannya orangutan mencari makan di tempat sampah di pemukiman penduduk yang merupakan perilaku yang menyimpang dari sifat alami orangutan (Siregar, 2009).

2.6.2 Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan Dengan Manusia

(27)

Sampai sekarang wisatawan tetap mendatangi Kawasan Ekowisata Bukit Lawang walaupun setelah terjadinya banjir bandang tahun 2003. Sambil camping mereka sangat tertarik untuk melihat orangutan walaupun hanya sebentar. Pengunjung asing membayar mahal guide lokal untuk menunjukkan tempat dimana dapat bertemu dengan orangutan secara langsung. Beberapa wisatawan asing mengahabiskan waktu dengan tracking di dalam hutan agar bertemu dengan orangutan dan berharap dapat menghasikan foto kenangan yang bagus. Sehingga beberapa guide sering menirukan long call (seruan panjang) untuk memanggil orangutan, memancing dengan buah, sengaja membawa nasi bungkus dan kacang garing untuk diberikan kepada orangutan untuk melindungi diri dan wisatawan. Hal ini jelas mempengaruhi perilaku harian orangutan dimana terdapat penyimpangan perilaku harian yang ditandai lebih dominannya perilaku istirahat dari pada perilaku makan dan didapatkan perilaku memakan kembali hasil kunyahan (muntahan), istirahat dan bermain di tanah yang tidak ditemukan pada orangutan liar (Siregar, 2009).

(28)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Deskripsi Area

Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 30 30’-30 45’ Lintang Utara dan 900- 980 15’ Bujur Timur. Sedangkan secara administratif, lokasi penelitian termasuk dalam kawasan Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Kawasan tersebut berjarak 90 km dari Kota Medan, yang merupakan bekas Stasiun Rehabilitasi Orangutan Sumatera (Abdulhadi, 1986).

Kawasan penelitian ini memiliki luas sekitar 200 ha. Kawasan hutan di sekitar lokasi penelitian berada pada ketinggian 100-700 m dpl, mempunyai topografi berbukit-bukit hingga curam, sedangkan topografi datar dapat dikatakan tidak ada. Jenis tanah yang ditemukan pada kawasan hutan terdiri dari jenis tanah kompleks podsolik merah kuning, latosol, litosol dan kompleks potsolik coklat. Keadaan iklim berdasarkan sistem klasifikasi Schmid dan Ferguson tergolong dalam tipe A dengan rata-rata curah hujan pertahun 4.673mm, dengan rata-rata hari hujan 207 hari. Suhu udara rata-rata tercatat 240C, dengan kisaran 210-330C dengan kelembaban udara nisbi berkisar antara 72-94% (Visitor Centre, 1989).

Lokasi penelitian merupakan kawasan wisata di Bukit Lawang terletak pada kaki bukit (zone ketiga). Morfologi sungai Bahorok pada lokasi wisata tersebut adalah

river braided, yaitu sungai yang bercabang-cabang dengan pasir gosong yang berada

(29)

3.2 Potensi Kawasan

3.2.1 Flora

Hutan di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bukit Lawang termasuk kawasan hutan tropis basah. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan dengan metode kuadran diketahui bahwa tingkatan seedling didominasi oleh jenis Asam kandis (Garcinia sp), Semantuk (Shorea sp), Baja berinau (Rhodamnia sp), Kayu merah (Eugenia sp). Tingkatan pole didominasi oleh jenis: Kayu merah (Eugenia sp), Kayu minyak (Dipterocarpus sp), Kayu kuning (Eugenia sp), Kandis (Garcinia sp). Untuk tingkatan pohon jenis yang mendominasi adalah Damar laut (Shorea

materalis), Meranti bakau (Shorea macroptera) dan Durian hutan (Durio sp)

(Abdulhadi, 1986).

Selain pohon, flora lain yang memiliki potensi adalah Bunga Seroja, beberapa famili Begoniaceae, Anggrek hutan, beragam jenis rotan, jamur dan pada musim tertentu di kawasan penelitian dapat ditemukan Bunga Bangkai (Amorphophallus sp). Sebagian besar potensi flora dikawasan tersebut sudah banyak dipublikasi oleh pengunjung namun penelitian secara ilmiah dan sumber datanya masih kurang.

3.2.2 Fauna

Kawasan hutan di sekitar Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera, Bukit Lawang, Sumatera Utara merupakan habitat beberapa jenis hewan seperti: Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Siamang (Symphalangus sindactylus), Kedih (Presbytis thomasii), Owa (Hylobates lar), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Beruk (M. nemestrina), Jelarang (Ratufa

bicolor), Beruang madu (Helarctos malayanus), Burung rangkong (Buceros bicolor)

(30)

3.2.3 Wisata

Desa Bukit Lawang merupakan kawasan wisata alam terbesar ketiga di Provinsi Sumatera Utara. Tujuan utama pengunjung datang adalah melihat orangutan semiliar di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (YOSL-OIC, 2009). Pengunjung dapat melihat orangutan secara langsung saat pemberian makan dan berjalan ke habitatnya dengan cara tracking. Selain mengamati orangutan pengunjung dapat menikmati pemandangan alam (hutan, sungai), melakukan arung jeram dan wisata tradisional seperti Cubing. Banyak sarana dan prasarana yang telah dibangun di sekitar kawasan wisata seperti hotel, restoran, toko dan lainnya.

Seiring dengan berkembangnya kawasan wisata ini semakin padat juga permukiman yang berada di sekitarnya. Ironisnya sebagian besar dibangun pada dataran banjir (floodplain) bahkan pada kiri-kanan dari sungai Bahorok dengan kepadatan bangunan yang cukup tinggi, maka ketika terjadi bencana banjir bandang sebagian besar bangunan dan permukiman yang terdapat di sekitar bantaran sungai dapat tersapu oleh banjir. (http://www.penataanruang. pu.go.id, 2008 ).

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan lebih kurang 6 bulan yang dimulai dari bulan September 2009-Februari 2010 di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara. Lokasi tersebut merupakan tempat yang pernah digunakan sebagai Stasiun Rehabilitasi Orangutan yang sudah ditutup sejak tahun 1997 (SK Menteri Kehutanan 280/ KPTS II/ 1995).

3.4 Peralatan Penelitian

(31)

Kompas, Counter, Pita berwarna, Jam tangan digital, Kamera digital, Headlamp,

Daypack, Jas hujan, Meteran, Plastik packing dan Parang.

3.5 Objek Penelitian

Individu orangutan yang menjadi objek penelitian ada 3 induk dengan anaknya yang memiliki data ketika penelitian berlangsung dapat dilihat pada Gambar berikut:

Data Induk-Anak Orangutan

Nama induk/Anak : Suma/Sumi

Umur Induk/Umur Anak : ± 34 Tahun/± 4 Bulan Sex Anak : Betina

Kategori : Induk dan Bayi

Asal Induk : Dari Ketambe, pada umur 3 tahun diterima di Bukit Lawang 31-01-1979

Nama induk/Anak : Minah/Cathrine

Umur Induk/Umur Anak : ± 31 Tahun/± 1,8 Tahun Sex Anak : Betina

Kategori : Induk dan Kanak-kanak Asal Induk : Dari Aceh, diterima di Bukit

Lawang 30-01-1979

Nama induk/Anak : Pesek/Wati

Umur Induk/Umur Anak : ± 29 Tahun/± 3,8 Tahun Sex Anak : Betina

Kategori : Induk dan Bayi

Asal Induk : Kantor Imigrasi, Lhok Seumawe, diterima di Bukit Lawang 19-05-1975

Gambar 3.1 Orangutan yang menjadi Objek Penelitian B

A

(32)

Penelitian ini menggunakan metode Focal Animal Sampling, yaitu mengikuti individu target (induk dan anak orangutan) yang dimulai dari sarang waktu bangun tidur sampai tidur kembali di sarang sore harinya. Pencatatan data dilakukan secara

Instantaneous, yaitu mencatat setiap perilaku harian individu target setiap dua menit

sebagai point sampling. Selain dengan instantaneous dilakukan juga dengan ad

libitum sampling, yaitu mencatat setiap perilaku sosial individu target yang menarik

yang diamati dan tidak ada pembatasan sistematik apa dan kapan aktifitas tercatat fokal tidak 1 hari penuh (sarang pagi sampai sarang sore), maka data tersebut tidak dimasukkan dalam analisis (Meididit, 2006).

3.7 Prosedur Kerja

3.7.1 Pencarian (Searching)

Pencarian individu target dilakukan dengan mengunjungi TPM (Tempat Pemberian Makan) atau tempat-tempat lain yang sering dikunjungi orangutan. Dijadikannya TPM sebagai pusat pencarian individu target orangutan disebabkan kawasan tersebut sering dikunjungi orangutan dalam mencari makan.

Apabila individu target tidak dijumpai di TPM hingga waktu pemberian makan selesai, maka pencarian dilakukan dengan cara menyusuri trail yang terdapat dilokasi penelitian atau dengan mengunjungi beberapa sumber pakan di dalam kawasan jelajahnya. Beberapa tanda yang digunakan untuk mengetahui keberadaan objek penelitian antara lain: suara gerak pindah, bau (tubuh, urin atau feses), vokalisasi (“kiss squaek’, “kiss hoot”, ataupun calls). Apabila individu yang menjadi objek penelitian ditemukan, pengambilan data dilakukan dengan mengikuti dan mencatat seluruh perilaku dalam perilaku harian dan daerah jelajahnya.

(33)

ditemukan kembali diikuti untuk diambil data perilaku hariannya hingga batas waktu yang ditentukan tercapai atau individu tersebut hilang. Apabila objek penelitian hilang sebelum sarang tidur dibuat maka aktivitas pencarian kembali dilakukan, baik individu yang sama atau individu lain yang menjadi objek penelitian.

3.7.2 Pencatatan Data (Recording Data)

a. Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan

Pencatatan data dilakukan pada data sheet yang sudah ditentukan sesuai dengan metode penelitian di atas. Dari data sheet lapangan dihitung persentase masing-masing aktivitas yang salah satunya perilaku sosial induk dan anak orangutan. Untuk persentase perilaku sosial induk-anak orangutan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% Sosial = Sosial Induk-Anak X 100%

Total Waktu Pengamatan

Perilaku sosial yang diamati antara lain sosial bermain sosial mengutui/dikutui dan sosial makan bersama. Pada sosial bermain pencatatan data dilakukan ketika induk dan anak melakukan sosial bermain bersama. Untuk sosial mengutui/dikutui pencatatan dilakukan ketika induk mengutui/dikutui anak. Sedangkan, untuk sosial makan bersama dicatat ketika induk dan anak makan bersama pada keseluruhan aktivitas makan baik di platform maupun di hutan. Setelah persentase perilaku sosial didapatkan kemudian diproporsikan persentase sosial bermain, sosial mengutui dan sosial makan bersama.

b. Jarak Induk dengan Anak Orangutan dalam Melakukan Aktivitas

Terdapat beberapa kategori jarak berdasarkan pertimbangan kanopi dan jarak antar pohon, pengamatan dilakukan dengan Focal Animal Sampling sehingga kategori yang digunakan sebagai berikut:

(34)

2) Jarak induk dan anak orangutan pada pohon yang sama dengan kategori 0; <2; <5; <10; <20; dan <50 meter,

3) Jarak induk dan anak orangutan pada pohon beda dengan kategori jarak <2; <5; <10; <20; dan <50 meter,

4) Jarak induk dan anak orangutan ketika berada di platform dengan kategori jarak 0; <2; <5; <10; <20; dan <50 meter,

5) Jarak induk dan anak orangutan ketika berada di tanah dengan kategori jarak 0; <2; <5; <10; <20; dan <50 meter.

c. Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung dalam Melakukan Aktivitas

1) Jarak induk dan anak orangutan dengan pengunjung ketika berada di platform dengan kategori 0; <2; <5; <10; <20; dan <50 meter,

2) Jarak induk dan anak orangutan dengan pengunjung ketika berada di hutan dengan kategori 0; <2; <5; <10; <20; dan <50 meter.

d. Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Petugas Ketika dalam Melakukan Aktivitas

Jarak induk dan anak orangutan dengan petugas ketika di platform dengan kategori 0; <2; <5; <10; <20; dan <50 meter.

e. Perilaku Kontak Inisiatif Gendong Antara Induk dan Anak

(35)

f. Perilaku Makan Anak Ketika Induk Makan

Beberapa jenis perilaku makan anak terhadap induk, diantaranya Co-feeding, yaitu dua orangutan mengambil makan dari makanan yang sama pada pohon yang sama, kemudian jika makanan diberikan atau diambil langsung dari mulut ke mulut (mouth to mouth/mtm), mulut ke tangan (mouth to hand/mth), tangan ke mulut (hand

to mouth/htm) atau dari tangan ke tangan (hand to hand/hth). Pencacatan data

dilakukan dengan Ad Libitum Sampling.

g. Proporsi Mendekat-Menjauh

Menjauh atau mendekat dimulai saat satu individu melewati diantara beberapa kelas jarak: 1, 2, 3, 4, 5, 10, 15, 20 atau 30 meter. Dalam hal ini siapakah individu (induk atau anak) yang berinisiatif lebih dulu untuk mendekat dan menjauh ketika individu satu diantaranya diam (tidak bergerak pindah). Proporsi mendekat-menjauh diketahui dengan menghitung indeks mendekat-menjauh (Approach-Leave Index). Pencacatan data dilakukan dengan Ad Libitum Sampling.

Indeks mendekat-menjauh dikalkulasikan untuk mengetahui inisiatif menjaga dan memutuskan hubungan kontak antara induk dan anak. Penghitungan dilakukan dengan mengambil proporsi mendekat yang dilakukan oleh anak dibagi dengan jumlah total pendekatan yang dilakukan oleh anak dan induk dikurangi proporsi menjauh yang dilakukan oleh anak dibagi dengan jumlah total menjauh yang dilakukan oleh anak dan induk (Van Adrichem et al., 2006). Berikut rumus perhitungan indeks mendekat-menjauh.

Indeks Mendekat-Menjauh = [Apo/(Apo + Apm)] – [Lvo/(Lvo + Lvm)]

Keterangan:

(36)

Hasil yang terlihat pada perhitungan indeks berkisar antara -1 dan +1. Nilai indeks negatif (-1) menyatakan bahwa inisiatif dalam pemeliharaan mendekat-menjauh dilakukan oleh induk (anak yang selalu terlihat mendekat-menjauh), sedangkan bernilai positif (+1) menyataka bahwa inisiatif dalam pemeliharaan mendekat-menjauh dilakukan oleh anak (anak yang selalu terlihat mendekat) dan jika hasilnya nol maka diindikasikan bahwa keduanya (induk dan anak) sama-sama berinisiatif untuk menjaga prporsi mendekat dan menjauh.

3.7.3 Analisis Data

Dalam menguji hipotesis digunakan teknik pengujian non-parametrik. Menurut Siegel (1986) data-data yang diperoleh merupakan distribusi bebas, sehingga tidak ada anggapan bahwa data-data yang diperoleh telah ditarik dari suatu populasi dengan distribusi tertentu dan tidak adanya perlakuan yang diberikan terhadap objek penelitian.

Data-data yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan perangkat lunak

“Statistic Programme for Scientific and Social science” (SPSS) 16.0 untuk Windows.

(37)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan terhadap individu Suma-Sumi, Minah-Catherine dan Pesek-Wati, diperoleh perilaku sosial induk-anak orangutan tersebut antara lain : jarak induk dan anak orangutan dalam melakukan aktivitas (pada pohon yang sama, beda, di platform, di tanah), jarak induk dan anak orangutan dengan pengunjung dalam keseluruhan aktivitas (di platform dan di hutan), jarak induk dan anak orangutan dengan petugas dalam keseluruhan aktivitas, perilaku kontak inisiatif gendong antara induk dan anak orangutan, perilaku makan anak ketika induk makan (Co-feeding, HTH, HTM, MTH dan MTM) dan proporsi mendekat-menjauh serta perilaku aktivitas lainnya sebagai berikut :

4.8Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan dalam melakukan Aktivitas Harian

Perilaku sosial adalah bagian dari perilaku harian orangutan selain perilaku makan, bergerak, istirahat, bersarang. Perilaku sosial antara induk-anak orangutan dapat berupa sosial bermain, sosial mengutui/dikutui, sosial makan bersama dan lain-lain. Untuk perilaku sosial induk-anak orangutan dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut.

0%

(38)

Perilaku sosial induk-anak orangutan dalam melakukan aktivitas harian, seperti sosial bermain, mengutui, dan makan bersama yang paling tinggi diperoleh adalah pada individu Minah-Cathrine, yaitu 19.10%, kemudian diikuti oleh individu Pesek-Wati (17.35%). sedangkan yang paling sedikit diperoleh adalah pada individu Suma-Sumi, yaitu 4.11%. Hal ini dikarenakan Cathrine lebih banyak berinteraksi dengan induk saat melakukan aktivitas hariannya dibandingkan Sumi dan Wati. Dari ciri-ciri fisik Sumi sering terlihat lemah apa lagi setelah bergerak digendong oleh Suma, dimana saat bergerak jauh Suma bergerak dengan leluasa saja tanpa memegangi Sumi dan disaat hujan datang Suma tetap melakukan aktivitas biasa dan sangat jarang ditemukan membuatkan payung/ sarang untuk berteduh sehingga Sumi menggigil dan lemas setelah hujan datang. Walaupun Sumi memiliki hubungan gendong yang besar dan jarak yang lebih dekat dengan Suma, namun untuk saling berinteraksi Suma memiliki keinginan yang lebih kecil dibandingkan kedua induk orangutan yang diamati. Selain itu Cathrine dan Wati terlihat lebih aktif bergerak dan wajah yang segar. Amda (2009) menjelaskan bahwa aktivitas sosial anak orangutan tidak dipengaruhi oleh tingkatan umur anak, pada umumnya anak yang paling muda lebih tinggi melakukan aktivitas sosial dengan induknya.

Sosial bermain pada setiap pasangan individu mempunyai persentase yang berbeda. Persentase bermain pada ketiga pasangan individu masing-masing Suma-Sumi 95.41%, Minah-Cathrine 64.13% dan Pesek-Wati 56.96%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel. 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Sosial Bermain, Mengutui, Makan Bersama Induk-Anak Orangutan

Sosial Induk Anak Bermain Mengutui Makan Bersama

Suma-Sumi 95.41% 0.00% 4.59%

Minah-Cathrine 64.13% 0.00% 35.87%

Pesek-Wati 56.96% 0.00% 43.04%

(39)

bermain namun dengan persentase yang rendah. Berdasarkan data pengamatan waktu penelitian dapat dilihat bahwa setiap harinya Minah menggunakan waktu yang lama untuk memberikan dan melakukan sosial bermain dengan Cahtrine. Sosial bermain ang dilakukan antara lain adalah makan bersama, berguling di tanah, saling mengigit, saling mencium dan lain-lain (Gambar 4.2 A-B). Sosial bermain dapat dilakukan pada saat makan, bergerak, bersarang, dan saat istirahat.

Gambar 4.2 A. Sosial Bermain di Tanah B. Sosial Makan Bersama

Selain sosial bermain, sosial mengutui/ dikutui dan sosial makan bersama juga

ditemukan saat pengamatan berlangsung. Untuk sosial mengutui tidak ditemukan dalam data pengamatan untuk ketiga pasangan individu. Hal ini dikarenakan waktu pencatatan yang singkat (maksimal 10 detik), tetapi di luar waktu pencatatan ada ditemuka n. Sosial mengutui/dikutui pada induk dan anak orangutan pada pengamatan ditemukan ketika pasangan individu lagi berada di sarang, tanah dan percabangan pohon.

(40)

4.9 Jarak Induk dan Anak Orangutan dalam Melakukan Aktivitas

Untuk melihat hubungan induk dengan anak orangutan harus dilakukan beberapa kategori

pengamatan. Salah satunya mengamati setiap jarak yang terjadi ketika induk dan anak

orangutan melakukan aktivitas. Hubungan tersebut meliputi jarak pada keseluruhan

aktivitas, pada pohon yang sama, pada pohon yang beda, ketika di tanah dan ketika di

platform (khusus orangutan semiliar), serta hubungan induk dan anak ketika adanya

pengujung dan petugas pemberi makan.

4.2.1 Jarak Induk dan Anak Orangutan dalam Keseluruhan Aktivitas

Dalam melakukan aktivitasnya ketiga anak orangutan (Wati, Cathrine dan Sumi) yang menjadi target penelitian masih menggunakan jarak 0 meter. Hal tersebut ditemukan pada pengamatan anak orangutan masih digendong oleh induknya saat makan, bergerak, bermain dan pada saat istirahat dengan persentase terbesar 97,26% (Gambar 4.3) pada pasangan Suma-Sumi. Besarnya persentase ini memperlihatkan bahwa Sumi (umur 4 bulan) sangat dekat dan lebih sering ditemukan dalam gendongan induk dibandingkan pada Wati dan Cathrine yang ditemukan lebih rendah.

Gambar 4.3 Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dalam Keseluruhan Aktivitas

Pada individu Wati yang telah berumur 3,8 tahun memiliki jarak yang lebih jauh dari induknya. Dimana pada jarak < 2, < 5, < 10, < 20 dan < 50 meter untuk

0%

(41)

keseluruhan aktivitas, Wati memiliki persentase tertinggi dengan persentase masing-masing 43,66 %, 24,86 %, 9,66 %, 2,82 % dan 0,20 %. Berdasarkan uji Friedman pada ketiga pasang induk-anak orangutan diperoleh perbedaan sangat nyata (P = 0,000) pada masing-masing jarak induk-anak, kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney diperoleh hasil bahwa Sumi tidak menggunakan jarak < 20 meter (P = 0,150) dari induk dan Cathrine juga jarang namun masih menggunakan jarak tersebut. Namun jarak Wati dengan induknya berbeda dibandingkan pada Sumi dan Cathrine yang ditemukan jarak < 50 meter (P = 0,073). Hal ini menunjukkan bahwa Wati dan Cathrine lebih mampu bergerak jauh dari induk dibandingkan Sumi (umur 4 bulan) karena tidak ditemukan berjarak < 5 meter atau lebih dari induknya. Baik menjauh saat makan, bermain sendiri atau saat adanya individu lain yang datang. Menurut Adrichem et al. (2006) jarak antara induk dan anak akan meningkat sejalan dengan meningkatnya umur anak.

Pada individu Cathrine dan Sumi tidak ditemukan jarak < 50 m dengan induknya. Kedua anak orangutan ini lebih memilih sering berada bersama induk walaupun pada kondisi tertentu ada kesempatan untuk bermain dengan individu lain yang jaraknya jauh dari induk. Hal ini menunjukkan bahwa kedua individu tersebut masih sangat tergantung pada induk untuk melakukan aktivitas hariannya. Amda (2009) menjelaskan bahwa pada umumnya anak mulai berada lebih jauh (> 50 m) dari induk setelah berumur > 5 tahun, walaupun masih tergantung kepada induknya.

4.2.2 Jarak Induk dan Anak Orangutan Pada Pohon yang Sama

(42)

Gambar 4.4 Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan pada Pohon yang Sama

Berdasarkan Gambar 4.4 di atas terlihat bahwa persentase terbesar untuk jarak 0 meter antara induk dan anak orangutan pada pohon yang sama ditemukan di pasangan individu Suma-Sumi yaitu 97,26 %. Pada pohon yang sama induk-anak orangutan biasanya ditemukan sedang melakukan aktivitas makan, istirahat dan bermain antara lain di pohon Kayu merah (Eugenia sp), Beringin (Ficus sp) dan Kayu meranti (Shorea sp). Besarnya persentase jarak 0 meter pada pohon yang sama untuk individu Sumi dikarenakan Sumi yang masih berumur 4 bulan, sehingga seluruh aktivitas harian anak orangutan ini sangat diperhatikan oleh induknya. Keadaan ini disebabkan karena dalam melakukan aktivitas harian lebih sering ditemukan dalam gendongan induknya, baik saat bergerak, makan, istirahat, sosial dan aktivitas lainnya. Sedangkan pada individu Minah-Cathrine diperoleh sebesar 63,25 % dan Pesek-Wati sebesar 25,62 % (Gambar 4.4). Besarnya persentase pada ketiga pasangan individu tersebut menunjukkan hubungan antara induk dan anak orangutan yang diamati terutama dalam kedekatan anak dengan induknya cukup tinggi.

0%

Jarak pada Pohon Sama

(43)

Gambar 4.5 Induk dan Anak Orangutan pada Pohon yang Sama dengan Jarak 0 meter

Untuk jarak < 2, < 5, < 10, dan < 20 meter induk dan anak orangutan ditemukan persentase tertinggi pada pasangan individu Pesek-Wati dan berdasarkan uji Friedman diperoleh perbedaa sangat nyata (P = 0,000) pada keseluruhan jarak induk-anak orangutan yang diamati, kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney diperoleh hasil yang tidak berbeda pada jarak < 10 m (P = 0,150) untuk Suma-Cathrine, < 20 m (P = 0,150) untuk Sumi-Wati dan < 2 m (P = 0,141) untuk Cathrine dan Wati. Hasil uji menunjukkan bahwa kedua anak yang termuda lebih dekat dengan induk dibandingkan kedua anak yang lebih tua (Sumi-Cathrine dengan Cathrine-Wati).

(44)

4.2.3 Jarak Induk dan Anak Orangutan pada Pohon yang Beda

Selain pada pohon yang sama induk dan anak orangutan juga melakukan aktivitas di

pohon yang berbeda. Keadaan yang dimaksudkan adalah ketika induk berada di pohon satu

dan anak berada di pohon lain yang biasanya berukuran kecil sampai besar sekalipun. Untuk

aktivitas induk dan anak pada pohon yang berbeda tidak ditemukan pada individu Sumi,

tetapi hanya ditemukan pada individu Cathrine dan Wati Gambar 4.6 dan 4.7 berikut.

Gambar 4.6 Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan pada Pohon yang Beda

Berdasarkan pengamatan dilapangan dan data sheet menunjukkan bahwa Sumi

tidak pernah melakukan aktivitas di pohon yang berbeda dengan induk. Hal ini dipengaruhi

oleh kemampuan memanjat Sumi yang masih rendah karena umur yang masih sangat muda.

Dengan demikian Sumi lebih banyak melakukan aktivitas bersama induk.

Gambar 4.7 Induk dan Anak Orangutan pada Pohon yang Beda dengan Jarak < 2 meter

Persentase tertinggi untuk jarak < 2 dan < 5 meter pada pohon yang beda ditemukan

pasangan individu Minah-Cathrine dengan persentase masing-masing 36,16 % dan 49,18 %

0%

<2m <5m <10m <20m <50m

P

Jarak pada Pohon Beda

(45)

(Gambar 4.6). Sedangkan pada jarak < 10, < 20 dan < 50 m persentase tertinggi didapatkan

pada pasangan individu Pesek-Wati masing-masing 26,63 %, 9,28 % dan 0,76 %. Dari uji

Friedman diperoleh hasil berbeda sangat nyata (P = 0,000) pada penggunaan jarak

induk-anak orangutan pada pohon yang berbeda, kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney

diperoleh hasil yang tidak berbeda pada jarak < 10 meter (P = 0,008) untuk Sumi-Cathrine, <

50 m (P =0,073) untuk Sumi-Wati dan < 2 m (P = 0,142) untuk Cathrine-Wati. Hasil uji

menunjukkan besar perbedaan penggunaan jarak pada Sumi-Wati dibandingkan dengan

Sumi-Cathrine dan Cathrine-Wati. Selain itu Cathrine juga selalu menjaga jarak dan tidak

terlalu jauh dengan induk, seperti pada pasangan individu Pesek-Wati yang memiliki jarak

cukup jauh antara keduanya, yaitu mencapai ± 30 m. Jarak tersebut tidak ditemukan pada

individu Minah-Cathrine. Dengan tingginya persentase jarak yang semakin jauh antara induk

dengan anak, maka aktivitas anak semakin kecil diperhatikan oleh induk.

4.2.4 Jarak Induk dan Anak Orangutan ketika Berada di Platform

Jarak induk-anak orangutan ketika di platform hanya ditemukan pada orangutan

yang masih diberi makan oleh petugas di Feeding platform (Tempat Pemberian Makan).

Pemberian makan tersebut hanya dilakukan pada orangutan semiliar yang datang ke

platform dan tidak dilakukan pada orangutan liar. Di PPOS Bukit Lawang pemberian makan

dilakukan setiap hari dengan waktu yang berbeda yaitu pada pagi hari pukul 08.00 WIB dan

sore hari pukul 15.00WIB.

Dalam melakukan aktivitasnya baik di platform, di pohon dan di tanah, dapat dilihat

bahwa Sumi sangat jarang lepas dari gendongan induknya, hal ini berbeda dengan Cathrine

dan Wati yang ditemukan memiliki jarak yang lebih bervariasi (Gambar 4.9). Besarnya

persentase jarak antara induk dan anak orangutan di platform dapat dilihat pada Gambar 4.8

(46)

Gambar 4.8 Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan ketika Berada di Platform

Di platform Wati lebih aktif dibandingkan dengan Cathrine dan Sumi. Dimana

persentase untuk jarak < 2 m, < 5 m, < 10 m (setelah lepas dari gendongan induk) tertinggi

diperoleh pada individu Wati dengan masing-masing 47,62 %, 18,37 %, dan 20,41 %. Hanya

pada jarak < 20 m persentase tertinggi (3.21 %) adalah Cathrine. Salah satu penyebab

kejadian ini adalah adanya individu lain di platform yang diajak bermain bersama dan

memilih menjauhi induk yang sedang makan didekat petugas.

Berdasarkan uji Friedman diperoleh hasil berbeda sangat nyata (P = 0,000) untuk

jarak induk-anak orangutan ketika di platform, kemudian dilanjutkan dengan uji

Mann-Whitney diperoleh hasil berbeda pada jarak < 2 m (P = 0,001) untuk Sumi-Cathrine, < 2 m

(0,000) dan < 5 m (P = 0,001) untuk Sumi-Wati dan 0 m (P = 0,004) untuk Cathrine-Wati. Hal

ini menunjukkan bahwa Wati lebih aktif dari Cathrine karena memiliki perbedaan yang

sangat nyata pada satu (< 2 m) kategori jarak sedangkan pada Wati dengan Sumi memiliki

perbedaan pada dua (< 2 m dan < 5 m) kategori jarak. Hal ini dikarenakan ketika di platform,

Wati lebih sering berpisah dengan induk dan menjauh ke pohon lain di platform sambil

mengamati petugas pemberi makan. Ketika ada kesempatan Wati akan mendekat dengan

petugas pemberi makan untuk mendapatkan pisang (biasanya hanya 1 buah).

0%

0m <2m <5m <10m <20m <50m

P

Jarak Ketika di Flatform

(47)

Gambar 4.9 Induk dan Anak Orangutan ketika Berada di Platform dengan Jarak 0 meter

4.2.5 Jarak Induk dan Anak Orangutan ketika Berada di Tanah

Orangutan melakukan aktivitasnya kebanyakan di atas pohon (arboreal) dan sangat jarang menginjak lantai hutan. Bila mereka turun ke tanah biasanya untuk minum, memungut buah dan memakan termit (Van Schaik, 2006 dan Geoffrey, 1998). Berdasarkan hasil dari pengamatan waktu penelitian di lapangan ditemukan individu orangutan melakukan aktivitas di tanah. Aktivitas di tanah ini adalah salah satu perilaku menyimpang pada orangutan karena perilaku ini tidak di temukan pada orangutan liar seperti di Ketambe dan Suaq Balimbing. Untuk jarak induk dan anak ketika berada di tanah dapat dilihat pada Gambar 4.10 berikut ini:

Gambar 4.10 Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan ketika Berada di Tanah

0% 20% 40% 60% 80% 100%

0m <2m <5m <10m <20m <50m

P

e

r

se

n

ta

se

Jarak Ketika di Tanah

(48)

Dari Gambar 4.10 didapatkan jarak antara induk dan anak orangutan ketika berada

di tanah diketahui bahwa persentasi tertinggi untuk jarak 0 meter adalah Sumi (100%). Hal

ini dikarenakan Sumi yang masih kecil dan selalu berpegang erat pada induknya di tanah

karena merasa ketakutan. Selain melindungi anak, gendongan tersebut dapat mempercepat

pergerakan Suma di tanah. Peristiwa ini terjadi karena Suma mengejar orangutan karantina

(Sasa) yang di bawa ke tengah hutan untuk dilepasliarkan, melihat kejadian ini petugas

melakukan pengusiran agar Suma kembali naik ke atas pohon. Ketika bergerak di tanah Sumi

selalu ditemukan dalam gendongan induk.

Persentase tertinggi kedua untuk jarak 0 meter adalah Minah-Catherine (97,72 %).

Penyebab terbesar turunnya Minah ke tanah dikarenakan panggilan guide dari kejauhan

yang kemudian ditanggapi dengan menyusul suara guide tersebut. Ketika berhadapan

langsung guide akan menyuguhkan beberapa macam buah untuk menarik perhatian Minah.

Walaupun hal ini salah namun masih dilakukan untuk menyelamatkan pengunjung dari

kejaran Minah. Selain mengejar guide dan penggunjung Minah juga melakukan aktivitas lain

di tanah, seperti menunggu guide dan pengunjung di trail (di balik pohon). Pada saat adanya

guide dan pengunjung Cathrine selalu berpengan erat dengan induknya karena merasa takut.

Namun, ketika bermain dengan induk Cathrine akan lepas dari gendongan induk sehingga

kehadiran guide dan pengunjung tidak mempengaruhi aktivitas mereka.

Persentase tertinggi untuk jarak < 2 m dan < 5 m antara induk dan anak orangutan ketika melakukan aktivitas di tanah setelah lepas dari gendongan ditemukan pada pasangan individu Pesek-Wati yang masing-masing persentasenya 51,39 % dan 10,36 %. Aktivitas yang mereka lakukan adalah bergerak, bermain makan kulit buah dan beristirahat. Saat bermain sekalipun Pesek tetap memperhatikan keberadaan Wati. Dalam kondisi tersebut induk selalu menjaga jarak dengan anaknya dan selalu waspada dengan hewan lain yang berbahaya, seperti babi hutan ataupun Harimau Sumatera.

(49)

(P = 0,000) dan < 2 meter (P = 0,003) dimana Cathrine lebih sering menggunakan jarak < 2 meter dari pada jarak 0 meter sedangkan Sumi sebaliknya, untuk Sumi-Wati diperoleh hasil yang berbeda pada jarak < 2 meter (0,000) yang menunjukkan Wati menggunakan jarak ini lebih besar dibandingkan dengan Sumi dan untuk Cathrine-Wati berbeda nyata hanya pada jarak 0 meter (P = 0,004) yang memperlihatkan bahwa ketika berada di tanah jarak yang digunakan Wati juga sebagian besar digunakan oleh Cathrine. Dimana kedua induk-anak orangutan ini melakukan aktivitas yang sama di tanah yang diantaranya bermain dan makan bersama. Rijksen (1978) menjelaskan bahwa orangutan semiliar lebih sering menggunakan permukaan tanah sebagai tampat aktivitasnya, sedangkan orangutan liar di Ketambe hanya berada di permukaan tanah apabila akan menyebrangi fragmen-fragmen hutan yang gundul.

4.3 Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung dalam Keseluruhan Aktivitas

Di kawasan PPOS ditemukan interaksi antara induk dan anak orangutan dengan pengunjung. Hal tersebut disebabkan PPOS merupakan salah satu objek wisata yang sering dikunjungi oleh wisatawan lokal dan wisatawam manca negara. Jarak antara orangutan dengan pengunjung di kawasan PPOS dapat terjadi pada waktu dan lokasi yang berbeda-beda, baik pengunjung yang mendekati orangutan atau orangutan yang mendekati turis. Jarak induk dan anak orangutan dengan pengunjung dalam melakukan aktivitas dapat dilihat pada Gambar 4.11 berikut.

Gambar 4.11 Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung dalam Keseluruhan Aktivitas

0%

Jarak OU-Pengunjung dalam Keseluruhan Aktivitas

(50)

Berdasarkan Gambar 4.11 jarak tertinggi antara induk dan anak orangutan dengan pengunjung adalah < 10 meter dengan persentase masing-masing Suma-Sumi (47,75 %), Minah-Cathrine (32.20 %) dan Pesek-Wati (49,34 %). Persentase jarak tertinggi tersebut ditemukan di feeding platform karena lokasi ini sudah di khususkan untuk melihat orangutan saat pemberian makan. Namun demikian masih ada ditemukan jarak antara induk dan anak orangutan dengan pengunjung adalah < 5 meter, keadaan ini kurang baik dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena jarak yang aman yang disarankan petugas kepada pengunjung adalah berkisar antara 7-10 m. Selanjutnya YOSL-OIC (2009) menambahkan, bahwa jarak tujuh sampai sepuluh meter adalah jarak yang cukup untuk mengamati orangutan.

Ketika melakukan pengamatan pada objek penelitian di sekitar feeding

platform dan di hutan masih saja ditemukan jarak antara induk-anak orangutan dengan

pengunjung < 5, < 2 bahkan jarak 0 meter. Jarak yang dekat lebih sering ditemui di hutan saat pengunjung melakukan tracking. Jarak tersebut dapat menimbulkan masalah yang berarti baik kepada orangutan dan pengunjung. Pada orangutan akan timbul rasa ingin dekat dengan pengunjung/manusia karena orangutan adalah primata yang cerdas dan memiliki rasa ingin tahu yang besar, ingin makanan yang dimakan/dibawa dalam tas guide atau pengunjung ketika melakukan tracking yang dapat mengurangi besarnya pakan orangutan dari alam sehingga orangutan menjadi malas mencari makan dan selalu berharap mendapatkan makanan dari guide dan pengunjung. Selain itu keagresipan orangutan (Minah orangutan semiliar Bukit Lawang) yang selalu mengikuti, mengganggu bahkan memengejar guide dan pengunjung dapat membahayakan guide dan pengunjung ketika melakukan tracking (Siregar, 2009).

Berdasarkan uji Friedman diperoleh hasil berbeda sangat nyata (P = 0,000) terhadap ketiga pasangan individu pada pengggunaan jarak induk-anak orangutan dengan pengunjung pada keseluruhan aktivitas. Hal ini dikarenakan setiap induk-anak orangutan memiliki perbedaan tanggapan ketika ada pengunjung yang melintas atau membuat “seruan suara” untuk memanggil orangutan saat tracking. Untuk Suma biasanya akan diam dan tenang ketika pengunjung datang walaupun dipanggil oleh

(51)

pisang, rambutan, jeruk, markisah dan wortel) yang dibawa guide. Untuk Pesek akan mendekat setelah dipanggil oleh guide dan rela menunggu pemberian dari pengunjung atau guide walaupun terkadang tidak ada buah yang diberikan kepadanya. Hal ini yang sering membuat emosi Pesek yang terkadang memberikan atraksi emosi seperti berusaha menagkap buah yang berada dalam pegangan guide tersebut. Sedangkan untuk Minah sudah lebih dulu menunggu pengunjung yang tracking baik di sarang pada pohon yang lokasinya tidak jauh dari jalur tracking, di tanah yang menjadi jalur

tracking atau tempat biasa dimana pengunjung dan guide beristirahat dan di balik

pohon besar yang ada di jalur tracking.

4.3.1 Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung ketika di Platform

Di tempat pemberian makan turis dapat mengambil foto dan menikmati keunikan orangutan semi-liar. Lokasi ini adalah tempat khusus untuk pengunjung dalam mengamati orangutan saat pemberian makan berlangsung yang sudah dibatasi setiap sisinya dengan pagar demi menjaga jarak antara pengunjung dengan orangutan.

Dengan adanya pembatas seperti pagar diharapkan jarak antara orangutan dengan pengunjung dapat terjaga. Dengan jarak yang disarankan petugas diharapkan pengunjung dapat memahami pentingnya menjaga jarak dengan orangutan. Tapi saat pemberian makan berlangsung terkadang orangutan tidak langsung ke platform melainkan melalui tanah atau sisi belakang lokasi pengamatan. Pada saat inilah orangutan yang terlihat mendekati area pengamatan, jarak induk dan anak orangutan dengan pengunjung ketika di platform dapat dilihat pada Gambar 4.12 berikut.

0%

0m <2m <5m <10m <20m <50m

(52)

Gambar 4.12 Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung Ketika di Platform

Dari Gambar 4.12 terlihat bahwa persentase tertinggi dengan jarak yang normal/aman (10 meter) di platform adalah ditemukan pada pasangan individu Suma-Sumi (61,40%), dilanjutkan Minah-Cathrine (46.38%) dan Pesek-Wati (41,18%). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pasangan individu tersebut menggunakan platform lebih tinggi dibanding substrat lain untuk mendapatkan makanan dari petugas. Ditemukan juga jarak yang lebih rendah dari 10 meter seperti < 5 dan < 2 meter karena orangutan tidak langsung naik ke platform melainkan menunggu makanan di pagar, pohon rendah dan tanah di lokasi pengamatan yang dekat dengan pengunjung (Gambar 4.13) berikut.

Gambar 4.13 Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung ketika di

Platform

(53)

4.3.2 Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung ketika berada di Hutan

Saat pengamatan orangutan di hutan (tracking) jarak antara orangutan dengan pengunjung sangat bervariasi. Biasanya orangutan dari jarak yang jauh dapat mendengar suara yang dikeluarkan oleh guide, sehingga sering membuat orangutan mendekat sekalipun sedang berstirahat di sarang. Setelah orangutan datang dan mendekati pengunjung, guide akan menceritakan sedikit profil orangutan tersebut. Disaat inilah kesempatan pengunjung mengambil foto, mengamati fisik dan tingkah laku primata langka ini sembari berdiskusi dengan guide atau teman. Untuk jarak masing-masing antara induk-anak orangutan dengan pengunjung ketika berada di hutan dapat dilihat pada Gambar 4.14 (A dan B) dan Gambar 4.15 berikut.

Gambar 4.14 A dan B Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung ketika Berada di Hutan

Gambar 4.15 Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dengan Pengunjung ketika Berada di Hutan

0%

0m <2m <5m <10m <20m <50m

(54)

Jarak < 10 dan 20 meter adalah persentase tertinggi pada setiap pasangan individu. Hal tersebut menunjukkan lebih tinggi jarak aman dibandingkan jarak yang terlalu dekat atau terlalu jauh saat melakukan pengamatan orangutan. Saat pengamatan di hutan guide melakukan caranya tersendiri untuk mendekatkan orangutan dengan pengunjung. Beberapa cara yang dilakukan seperti memanggil nama fokalnya, menirukan kiss-squeak, memancing dengan makanan bahkan dengan memberi makanan langsung kepada orangutan tersebut.

Jarak terlalu jauh tidak begitu memuaskan pengunjung sehingga memilih untuk lebih dekat lagi. Ketika jarak orangutan sudah dekat, pengunjung terkadang meminta lebih dekat bahkan sampai bersentuhan (jarak 0 meter). Terlihat dari Gambar 4.15 bahwa untuk jarak yang sudah ditetapkan masih dilanggar ketika di

hutan. Jarak tersebut seperti 0, < 2 dan < 5 meter. Untuk jarak < 5 meter persentase tertinggi didapatkan pada individu Minah-Cathrine (26,58 %) kemudian pada individu Pesek-Wati (16,95 %) dan Suma-Sumi (11,78 %). Tingginya persentase jarak < 5 meter antara individu Minah-Cathrine dan pengunjung dikarenakan Minah berharap mendapatkan makanan dari guide yang dilakukan dengan mengejarnya langsung. Ketika makanan tidak diberikan maka guide atau pengunjung yang sedang melewatinya akan dikejar bahkan sampai dilukai. Untuk Pesek dan Suma lebih sering dipancing oleh guide untuk datang mendekati pengunjung yang sedang menunggu.

Untuk jarak < 2 meter persentase tertinggi adalah Pesek-Wati (10,59 %) kemudian Suma-Sumi (4,14 %) dan Minah-Cathrine (1,64 %). Tingginya persentase ini dikarenakan saat ditemukan di hutan Pesek dan Suma biasanya sedang diberi makan atau berfoto bersama pengunjung. Untuk individu Minah ditemukan dalam posisi mengejar turis dan berusaha menangkapnya, serta setelah lepas dari pengangannya. Oleh karena itu perintah menjauhi orangutan dan tetap menjaga jarak dengan pengunjung sering ditegaskan oleh guide. Hal ini bertujuan menjaga jarak aman dari penularan penyakit orangutan ke manusia atau sebaliknya dan memudahkan pengunjung menghindar dari orangutan yang agresif.

Gambar

Gambar 4.1 Grafik Persentase Perilaku Sosial Induk-Anak Orangutan
Tabel 4.1 Sosial Bermain, Mengutui, Makan Bersama Induk-Anak Orangutan Sosial Induk Anak Bermain Mengutui Makan Bersama
Gambar 4.3  Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan dalam  Keseluruhan Aktivitas
Gambar 4.4  Grafik Persentase Jarak Induk dan Anak Orangutan pada Pohon  yang Sama
+7

Referensi

Dokumen terkait

(2) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi kesehatan dan sosial sebagai Instansi teknis pembina pada kesehatan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d.. (3)

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor:BA-127/ULPD/WI.2/2016 Tanggal 16 Juli 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian Keuangan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan Bidang Jasa Periklanan dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada Layanan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan Jasa Periklanan dan Rumah Produksi dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

[r]

Permainan ini juga diberikan alat bantu untuk mempermudah penyelesaian dengan mencantumkan angka pada pojok kiri gambar atau video yang sedang diacak. Dengan permainan ini kita