TUGAS AKHIR
TINJAUAN ATAS SANKSI ADMINISTRASI DALAM RANGKA IMPOR BARANG DI KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN TIPE – A3
TELUK NIBUNG
O L E H
Nama : RICKY WARMAN PUTRA NIM : 072600069
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Menyelesaikan Studi Pada Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberi
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan
dan menyelesaikan penulisan Laporan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
dengan judul “Tinjauan Atas Sanksi Administrasi Dalam Rangka Impor Barang
Di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Tipe – A3 Teluk Nibung”.
Laporan PKLM ini diajukan guna untuk memenuhi salah satu persyaratan
untuk dapat menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Administrasi
Perpajakan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna baik dalam susunan
kalimat maupun pembahasannya, Oleh karena itu penulis mengharapkannya adanya
kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun laporan ini kearah yang
lebih baik.
Penulis laporan ini tidak terlepas dari bantuan dan perhatian berbagai pihak.
Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih setulus-tulusnya kepada:
- Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Sc selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
- Bapak Drs.H.M. Husni Thamrin Nst, Msi, selaku Ketua Program Studi
Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP USU.
- Bapak Drs.H.M. Husni Thamrin Nst, M.si, selaku Dosen Pembimbing, yang
telah banyak membantu dan memberikan pengarahan - pengarahan dalam
proses penulisan Laporan PKLM.
- Seluruh Dosen Pengajar Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan,
yang telah memberi ilmu dan wawasan selama mengikuti perkuliahan.
- Seluruh Staf Pengajar jurusan Administrasi Perpajakan yang telah banyak
membantu penulis.
- Bapak Rizal F Lubis selaku Kepala Dinas PU yg telah banyak memberikan
nasehat dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.
- Ayahanda dan Ibunda tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayangnya,
didikan, dorongan dan restunya kepada penulis, dan juga materil yang
diberikan yang tidak dapat dinilai dengan suatu apapun.
- Special for my Lovely sisters Huzna & Ihfa terima kasih atas dorongan,
semangat dan do’anya sehingga penulis tetap bersemangat menghadapi segala
kesulitan dan cobaan. Khusus buat jagoan kecil Feji Bako ponakanku yang
lasak dan lucu yang membuat penulis bersemangat.
- Seluruh teman-teman terbaikku Tax B’ 2007 yang telah banyak membantu
dan memberikan sumbangan pikiran dalam menyelesaikan laporan ini. dan
keluarga besar IMPROSAJA gak nyangka bisa kenal dengan kalian yang aneh
- aneh dan gokil gak terasa 3 tahun telah kita lalui bersama, pokoknya dari A
sampai Z juga, makasih buat semuanya, Insyallah persahabatan ini tidak
- Buat teman – teman kos (ayep damanique, ahmad, edochan, luhut) makasih
atas supportnya, dan buat appara awak (Anaschan damaique) makasih banyak
atas dukungan kalian semua.
- Buat Ade Hanifah, Singgih, Manto, Bayu, Fadly, Heru, Vicha, Agung
makasih bahwasanya klen slalu ngingetin penulis selama proses penulisan
tugas akhir ini.
- Buat temen – temen team sibolga (Fahmi, hafiz, dede, ovi, kucing, vai, ricky)
terima kasih atas dukungan kalian semua ya.,,,,,
- Seluruh teman-teman seperjuangan Tax Administration 2007
- Pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya
mengucapkan ribuan terimakasih atas bantuan dan dukungannya sehingga
laporan ini dapat selesai. Dan saya berharap kiranya Laporan PKLM ini dapat
bermanfaat dalam memperkaya ilmu pendidikan.
Medan, Desember 2010
Penulis
Ricky Warman Putra
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) ... 1
B. Tujuan dan Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri ... 4
C. Ruang Lingkup Praktik Kerja Kapangan Mandiri ... 6
D. Metode Praktik Kerja Lapangan Mandiri ... 7
E. Metode Pengumpulan Data ... 8
F. Sistematika Penulisan Laporan Praktik Kerja Lapangan Mandiri .. 9
BAB II GAMBARAN UMUM KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI TIPE – A3 TELUK NIBUNG ... 11
A. Sejarah Umum Perusahaan ... 11
B. Struktur Organisasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung ... 14
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ATAS PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM RANGKA IMPOR
BARANG ... 17
A. Bea Masuk Dikenakan Terhadap Semua Barang Impor ... 17
B. Cara Penghitungan Bea Masuk dan Sanksi Administrasi dalam Rangka Impor Barang ... 24
C. Tata Cara Penagihan Piutang Bea Masuk, Denda Administrasi dan Pajak Dalam Rangka Impor ... 28
BAB IV ANALISA DAN EVALUASI ... 51
A. Analisa ... 51
B. Evaluasi ... 53
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55
A. Kesimpulan... 55
B. Saran ... 56
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak yang
luas dan kompleks. Kemajuan tersebut tentunya membutuhkan kesiapsediaan semua
pihak Perguruan Tinggi sebagai sebuah wadah pendidikan tertinggi dalam suatu
jenjang pendidikan formal. Berperan serta dalam meningkatkan mutu pendidikan
sehingga produk-produk yang dihasilkan benar-benar berkualitas, terampil dan siap
dipekerjakan ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Dan mahasiswa sebagai salah
satu elemen perguruan tinggi dituntut untuk mampu berpikir kritis, tegas dan kreatif
khususnya dibidang yang mereka pilih. Hal ini sangat penting karena mahasiswa
sebagai generasi muda diharapkan dapat meneruskan pembangunan bangsa ini.
Guna memenuhi tuntunan kerja dibutuhkan produk-produk perguruan tinggi
yang berkualitas, mahasiswa tidak hanya dituntut untuk lulus dari program
pendidikannya tetapi juga harus mampu mengembangkan dan menambah ilmu
pengetahuan dari ilmu yang diperolehnya, untuk itu maka mahasiswa diwajibkan
mengikuti Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM).
Dalam melaksanakan PKLM ini, maka mahasiswa memerlukan sebuah wadah
atau tempat untuk mengaplikasikan teori perkuiahannya tersebut. Bahasan yang
diambil tentu saja yang berhubungan dengan perpajakan. Sektor pajak di Indonesia
dari pajak pusat dan daerah, juga berasal dari impor dan ekspor barang. Impor dan
ekspor barang merupakan tugas dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang mana
lembaga ini di bawah Departemen Keuangan.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai aparat
kepabeanan, mempunyai tugas yang cukup berat dalam memenuhi pendapatan negara
yang telah ditetapkan dalam APBN. Yang mana APBN juga berasal dari Impor dan
Ekspor barang, sehingga dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus aktif
dalam melaksanakan pembinaan, pengawasan, dan peninjauan terhadap pelaksanaan
kepabeanan terutama melakukan peninjauan terhadap Sanksi Administrasi atas impor
barang, agar masyarakat mematuhi peraturan yang telah dtentukan dalam
undang-undang kepabeanan, dan untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan,
transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, untuk mendukung upaya
peningkatan dan pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan
perdagangan global, untuk mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan
efektivitas pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean
Indonesia dan lalu lintas barang tertentu dalam daerah pabean Indonesia, serta untuk
mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu pengaturan yang
lebih jelas dalam pelaksanaan kepabeanan.
Sesuai dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006
yang merupakan perubahan atas Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini.
Dalam pelaksanaan pengawasan terhadap impor barang tersebut tentunya
terdapat permasalahan-permasalahan yang salah satunya adalah dalam hal sanksi
administrasi terhadap impor barang. Oleh karena itu, petugas bea dan cukai yang
berwenang harus meningkatkan kinerjanya, sehingga dapat mengatasi permasalahan
yang timbul. Apabila permasalahan tersebut dapat teratasi tentunya dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap peraturan ataupun sanksi yang
diberlakukan, sehingga penerimaan negara akan meningkat.
Agar tidak salah pengertian atau penafsiran serta penyimpangan yang jauh
dalam memahami tulisan ini, maka penulis berusaha memberi batasan pengertian dari
judul yang sekaligus memberi arah dalam penulisan proposal ini.
Dengan dasar inilah penulis memilih Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea
dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung sebagai tempat penelitian yang hasilnya akan
B. Tujuan Dan Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) 1. Tujuan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
a. Untuk mengetahui pelaksanaan peninjauan atas sanksi administrasi dalam
rangka impor barang pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai
Tipe A3 Teluk Nibung.
b. Untuk mengetahui data tentang impor barang.
c. Untuk mengetahui masalah maupun kendala yang dihadapi dalam penerapan
sanksi administrasi terhadap impor barang.
d. Untuk mengetahui upaya - upaya yang ditempuh dalam penerapan sanksi
administrasi terhadap impor barang.
e. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan atas sanksi administrasi dalam rangka
impor barang.
2. Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Bagi Mahasiswa
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang perpajakan khususnya
dalam kepabeanan.
b. Agar dapat menerapkan teori-teori yang didapat selama perkuliahan
c. Agar dapat meningkatkan keterampilan mahasiswa. Dalam melaksanakan
kegiatan PKLM mahasiswa dapat menuangkan keterampilan dan
mengaplikasikan dengan baik dalam melaksanakan tugas-tugas yang
berhubungan dengan pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi masalah
d. Mengaplikasikan disiplin ilmu yang telah dipelajari ke dalam permasalahan
yang timbul selama PKLM.
e. Dengan melaksanakan PKLM ini dapat menjadi wadah bagi mahasiswa untuk
mempersiapkan dirinya untuk menjadi mahasiswa yang siap memasuki dunia
kerja yang semakin sulit, karena telah dibekali keterampilan,
pengalaman-pengalaman dunia kerja dalam melaksanakan PKLM tersebut.
Bagi kantor/instansi
a. Sebagai sarana untuk meningkatkan hubungan antara Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung dengan Universitas
Sumatera Utara khususnya Program Studi Diploma III Administrasi
Perpajakan sehingga instansi tersebut dapat mengetahui sejauh mana tingkat
perkembangan ilmu pengetahuan dilembaga pendidikan Program Diploma III
Administrasi Perpajakan FISIP USU
b. Untuk membantu dalam mensosialisasikan sanksi administrasi dalam rangka
impor barang.
c. Hasil dari proposal ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan
pemikiran kepada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3
Teluk Nibung.
d. Untuk menambah Ide dan gagasan untuk perbaikan sistim kerja yang ada di
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung .
Bagi Universitas
a. Untuk meningkatkan kerja sama antara Universitas dengan Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.
b. Agar memperkenalkan sumber daya Universitas Sumatera Utara Khususnya
Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP USU.
c. Membuka interaksi antara Program Studi Diploma III Administrasi Perpajakan FISIP USU dengan instansi yang bersangkutan khususnya Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.
C. Ruang Lingkup Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
1. Pelaksanaan peninjauan atas sanksi administrasi dalam rangka impor barang
pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk
Nibung.
2. Data tentang impor barang.
3. Kendala dalam penerapan sanksi administrasi terhadap impor barang pada
D. Metode Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data serta perolehan informasi sesuai
dengan metode yang digunakan, maka tahapannya adalah sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
Dalam tahap ini, penulis melakukan berbagai persiapan yang menyangkut
PKLM ini, mulai dari penentuan judul tempat praktik kerja lapangan mandiri,
mencari bahan untuk membuat proposal, serta konsultasi dengan dosen.
2. Studi Literatur
Yaitu mengumpulkan buku- buku yang diperlukan, Undang – Undang di
bidang Perpajakan dan Kepabeanan, dan bahan – bahan tertulis lainnya yang
berhubungan dengan laporan ini.
3. Observasi Lapangan
Dalam tahap ini penulis melakukan peninjauan/pengamatan secara langsung
pada objek praktik kerja lapangan dan meninjau secara langsung kondisi
tempat pelaksanaan kegiatan untuk mengetahui sistem kerja yang berlaku
pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk
Nibung.
4. Pengumpulan Data
Pada tahap ini penulis mengumpulkan data melalui dua cara yaitu data primer
dan sekunder yang bertujuan untuk pengumpulan data yang berhubungan
5. Analisis Data dan Evaluasi
Setelah penulis memperoleh data yang diperlukan, penulis akan menganalisa
dan mengevaluasi data atau keterangan mengenai tinjauan atas sanksi
administrasi dalam rangka impor barang.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Wawancara
Dalam hal ini penulis mengajukan pertanyaan langsung kepada para pegawai
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas atau bertanya langsung
kepada pegawai yang dianggap mampu memberikan data primer dan data
yang diperlukan mengenai impor barang.
2. Observasi
Dalam metode ini penulis langsung turun kelapangan peninjauan, mendengar
serta mencatat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan
yang dibahas, meneliti, dan meninjau sanksi administrasi dalam rangka impor
barang.
3. Dokumentasi
Studi dokumentasi dengan mempelajari buku dan/atau literatur, hasil-hasil
penelitian, meminta dokumen atau data-data pendukung yang berhubungan
F. Sistematika Penulisan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)
Dalam pembahasan penulisan laporan ini penulis menyajikan pembahasan
laporan ini kedalam 5 bab. Adapun yang menjadi sistematika dalam penyusunan
laporan Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis menjelaskan secara singkat latar belakang
yang menjadi pemikiran dalam pemilihan judul. Bab ini berisikan
latar belakang PKLM, tujuan, manfaat PKLM, ruang lingkup PKLM,
metode pengumpulan data dan sistematika penulisan.
BAB II : GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI
Dalam bab ini penulis menguraikan secara singkat mengenai lokasi PKLM, sruktur organisasi, uraian tugas pokok dan fungsi, serta
gambaran mengenai pegawai Kantor Pengawasan dan Pelayanan
Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.
BAB III : GAMBARAN DATA DALAM RANGKA IMPOR BARANG Dalam bab ini penulis menjelaskan data yang berkaitan dengan
peninjauan atas sanksi administrasi dalam rangka impor barang pada
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk
BAB IV : ANALISIS DAN EVALUASI
Pada bab ini penulis akan membandingkan penerapan teori yang ada
dengan data yang diperoleh di lapangan, yaitu peninjauan sanksi
administrasi dalam rangka impor barang pada Kantor Pengawasan
dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran. Dimana dalam bab ini
disimpulkan uraian-uraian dari bab-bab sebelumnya dan saran yang
mungkin dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang ada.
Bab ini merupakan penutup dari bab-bab sebelumnya yang berisi
kesimpulan dan saran yang kiranya dapat mengingkat pelayanan dan
pengawasan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai
BAB II
GAMBARAN UMUM KANTOR PENGAWASAN DAN PELAYANAN BEA DAN CUKAI
TIPE – A3 TELUK NIBUNG
A. Sejarah Umum Perusahaan
Dimasa pemerintahan Belanda (VOC), sebenarnya praktik Kepabeanan telah
ada, namun belum ada peraturan yang baku dan hanya berupa pengumuman/ plakat
yang dibuat oleh VOC yang hanya diberlakukan terhadap pedagang rempah-rempah.
Akibat perdagangan yang semakin maju dan ramai serta kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, pemerintah Belanda berusaha membuat peraturan yang baku agar
setiap orang mengetahui dan mematuhinya.
Pada tahun 1854, Belanda pertama kalinya mengumumkan berlakunya
“Regeling Reglement” dan dalam pasal 129 dinyatakan “Tarif Bea Masuk, Bea
Keluar, dan Bea Pengangkutan” terus ditetapkan dengan undang-undang Tarif 1865
yang mulanya dimaksudkan hanya berlaku sampai dengan tahun 1872. Namun pada
tahun 1871, Van Boose sebagai Menteri Urusan Jajahan mengajukan Rancangan
Undang-undang (RUU) baru pengganti Undang-undang Tarif tahun 1865, dengan
alasan Bea Masuk dan Bea Keluar sangat diperlukan untuk pemasukan kas Belanda,
disamping masyarakat pedagang tidak ada yang keberatan.
Pada tanggal 18 November 1873, pemerintah colonial Belanda mengesahkan
diberlakukan secara efektif mulai tanggal 01 Januari 1874 di seluruh daerah
jajahannya di Indonesia. Undang-undang Tarif (UUT) 1873 berorientasi pada
pemasukan uang sebanyak-banyaknya ke kas Belanda yang lazim dikenal dengan
“System Fiscal”. Undang-undang ini hanya memuat 10 pasal dan pemungutan bea
berdasarkan atas:
1. Tarif Advalorum yaitu pemungutan bea berdasarkan harga barang
2. Tarif Spesifik yaitu pemungutan bea berdasarkan jumlah/berat barang
Untuk menentukan besarnya tariff Bea Masuk terhadap suatu jenis barang,
ditetapkan tarif yang dilampirkan pada Undang-undang Tarif (UUT) tersebut yang
dikenal dengan “Lampiran A”, yang pada saat itu baru memuat 95 pos tariff harga,
dan pada saat ini dimuat dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia
(BTBMI)/Harmonize System
Undang-undang Tarif ini mengalami beberapa kali perubahan dan
penambahan terakhir dengan Ketetapan Raja Belanda pada tahun 1879, yang dimuat
dalam stbl 1910, dimana dinyatakan bahwa Undang-undang Tarif 1872 yang telah
ditambah dan diubah dan diundangkan kembali dan diberi nama “Indische Tarif Wet”
Sejak saat itu sampai Proklamasi RI, Undang-undang Tarif inilah yang
berlaku dengan segala perubahannya, demikian pula halnya setelah Proklamasi RI,
sesuai dengan bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yaitu “Segala peraturan yang ada masih berlaku selama belum diberlakukan yang baru”.
Ordonansi Bea (OB) mulai berlaku sejak tanggal 01 Oktober 1882 dan
ini merupakan penjabaran dari Undang-undang tariff yang terdiri dari 30 pasal. Untuk
melaksanakan ketentuan dalam Ordonansi Bea dibuat aturan pelaksanaannya yang
dikenal dengan “Reflement A” yang terdiri dari 58 pasal.
Tahun 1872 RUU Tarif kepabeanan
Tahun 1873 Penetapan UU Tarif Kepabeanan dalam 10 pasal
Tahun 1874 Menteri menetapkan Ordonansi Bea (OB) sebagai pelaksanaan
UU Tarif dalam 30 pasal
Dirjen menetapkan Reflement A (RA) sebagai pelaksanaannya
OB dalam 30 pasal
Sampai dengan April 1985, Indonesia masih menggunakan UUT 1872 sebagai
dasar dan pedoman bagi Aparat Bea/Cukai, dan mulai tanggal 01 April 1985
pemerintah membekukan sementara pelaksanaan UUT 1872 karena sudah tidak
memadai dan tidak sesuai untuk menampung tuntutan pembangunan serta pandangan
internasional yang semakin berkembang. Pemerintah mengeluarkan undang-undang
baru yaitu Inpres Nomor 4 Tahun 1985. Hal yang menonjol dalam Inpres tersebut
adalah pembatasan kewenangan. Aparat Bea/Cukai dalam menangani barang impor
yaitu hanya impor yang bernilai FOB US$ 5.000 atau kurang. Nilai FOB diatas US$
5.000 wajib diperiksa oleh surveyor di Negara pemasok.
Surveyor yang ditunjuk pemerintah adalah perusahaan swasta yang bergerak
dibidang Surveyor khusus barang impor dari Swiss yaitu “Society de Generele
Surveyor (SGS)” yang dikontrak sebesar Rp. 100 Milyar. Pemeriksaan di Negara
sebelum pengapalan dan hasil pemeriksaannya dituangkan dalam Laporan Kebenaran
Pemeriksaan (LKP).
Barang yang sudah dilindungi LKP tidak diperiksa oleh Aparat Bea dan
Cukai. Namun peraturan ini tidak bertahan lama karena pada tahun 1992 pemerintah
mengeluarkan Inpres Nomor 3 tahun 1992 yang menyatakan bahwa pemeriksaan pra
pengapalan yang bernilai FOB di atas US$ 5.000 dilaksanakan oleh perusahaan
Surveyor yang ditunjuk oleh Pemerintah yaitu PT Surveyor Indonesia. Hasil
pemeriksaan PT Surveyor Indonesia dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan
Surveyor (LPS). Namun, PT Surveyor Indonesia ditutup karena Surveyor Luar
Negeri hanya percaya pada pedagang tanpa melalui pemeriksaan fisik barang
sebelumnya. Yang menyebabkan terjadinya ketidakcocokan fisik barang dengan LPS.
B. Struktur Organisasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A3 Teluk Nibung.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 74/ PMK.01/2009 tanggal 08
April 2009 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai. Susunan Organisasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan
Cukai Tipe A3 Teluk Nibung termaktub pada Bagian Keenam Pasal 222 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 74/PMK. 05/2009 tersebut diatas terdiri dari:
a. Subbagian Umum
b. Seksi Penindakan dan Penyidikan
d. Seksi Kepabeanan dan Cukai
e. Seksi Dukungan Teknis dan Distribusi Dokumen
f. Kelompok Jabatan Fungsional
C. Job Description Masing – masing Bidang Kerja
Adapun bidang – bidang kerja berdasarkan Struktur Organisasi Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea/Cukai Tipe A3 Teluk Nibung adalah sebagai berikut:
1. Subbagian Umum mempunyai tugas melakukan urusan ketatausahaan,
kepegawaian, keungan, dan rumah tangga Kantor Pengawasan dan Pelayanan
Kantor, pengawasan pelaksanaan tugas dan evaluasi kinerja, penyuluhan dan
publikasi peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai, pelaporan
dan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan aparat pengawasan
fungsional dan pengawasan masyarakat, serta penyusunan rencana kerja dan
laporan akuntabilitas.
2. Seksi Penindakan dan Penyidikan mempunyai tugas melakukan intelijen,
patron dan operasi pencegahan dan penindakan pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai serta pengelolaan dan
pengadministrasian sarana operasi, sarana komunikasi dan senjata api.
3. Seksi Perbendaharaan mempunyai tugas melakukan pemungutan dan
pengadministrasian bea masuk, bea keluar, cukai dan pungutan Negara
lainnya yang dipungut oleh Direktorat Jenderal, pelayanan kepabeanan atas
4. Seksi Kepabeanan dan Cukai mempunyai tugas melakukan pelayanan teknis
dan fasilitas di bidang kepabeanan dan cukai
5. Seksi Dukungan Teknis dan Distribusi Dokumen mempunyai tugas
melakukan pengoperasian komputer dan sarana penunjangnya, pengelolaan
dan penyimpanan data dan file, pelayanan dukungan teknis komunikasi data,
pertukaran data elektronik, pengolahan data kepabeanan dan cukai,
penerimaan, penelitian kelengkapan dan pendistrubusian dokumen
kepabeanan dan cukai, serta penyajian data kepabeanan dan cukai
6. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai
dengan jabatan fungsional masing-masing berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea/Cukai
Tipe A3 Teluk Nibung
Subbagian Umum
Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Dukungan Teknis dan Distribusi Dokumen Seksi Kepabeanan
dan Cukai Seksi
Perbendaharaaan Seksi Penindakan
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ATAS PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI DALAM RANGKA IMPOR BARANG
A. Bea Masuk Dikenakan Terhadap Semua Barang Impor
Setiap barang yang dimasukkan kedalam Daerah Pabean diperlukan
atau dianggap sebagai barang impor yang padanya telah terutang Bea Masuk.
Maksudnya setiap pemasukan barang dari luar negeri (Impor), secara yuridis
yaitu pada saat barang memasuki Daerah Pabean dan merupakan barang
tersebut wajib Bea Masuk serta merupakan dasar yuridis bagi Pejabat Bea dan
Cukai untuk melakukan pengawasan.
Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai
Pemberitahuan Pabean yang diajukan, terhadap Barang impor dilakukan
Pemeriksaan Pabean dalam bentuk penelitian terhadap dokumen dan
pemeriksaan atas fisik barang. Dalam rangka memperlancar arus barang,
pemeriksaan atas fisik barang dilakukan secara selektif, dalam arti
pemeriksaan barang hanya dilakukan terhadap importasi yang beresiko tinggi,
(Pasal 3 UU No 17 Tahun 2006) Tentang kepabeanan antara lain:
a) Barang yang Bea Masuknya tinggi
b) Barang berbahaya bagi masyarakat
c) Impor yang dilakukan oleh importir yang mempunyai reputasi serta
Pengeluaran barang impor dari Kawasan Pabean dilakukan dengan tujuan :
a) Diimpor untuk dipakai
b) Diimpor untuk sementara
c) Diekspor kembali
Ad.a) Diimpor untuk dipakai
Terhadap barang impor yang akan dikeluarkan dari Kawasan Pabean dengan
tujuan diimpor untuk dipakai, Importir/ Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan
(PPJK), harus menyiapkan pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan dokumen
pelengkap pabean lainnya serta menghitung sendiri Bea Masuk, Cukai, dan Pajak
Dalam Rangka Impor yang harus dibayar (Self Assessment).
Pembayaran dapat dilakukan pada Bank Devisa Pesrsepsi dengan cara
pembayaran biasa atau pembayaran berkala. Pembayaran berkala adalah cara
pembayaran Bea Masuk, Cukai dan Pajak yang dilakukan secar periodik dan hanya
diberikan kepada importir yang mendapatkan fasilitas jalur prioritas.
Jalur prioritas tersebut diberikan kepada Importir yang telah memenuhi
persyaratan tertentu, yaitu:
a) Bidang usaha (Nature of Business) yang jelas ;
b) Tidak pernah menyalahgunakan fasilitas di Bidang Kepabeanan selama satu
tahun terakhir ;
c) Tidak pernah memberitahukan jumlah dan jenis barang serta nilai pabean
yang berbeda dengan yang diimpor selama satu tahun terakhir ;
e) Tidak mempunyai tunggakan utang berupa kekurangan pembayaran Bea
Masuk dan Pajak kepada Direktorat Jenderal.
(Pasal 32 Kep. DJP Nomor Kep-07/BC/2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Tatalaksana Kepabeanan Dibidang Impor ).
Atas pembayaran yang dilakukan importir tersebut, maka Bank Devisa Persepsi
menyerahkan bukti pembayaran dengan memberikan nomor serta tanggal
pembayaran pada bukti pembayaran dimaksud dan mengirimkan credit advice
melalui system PDE Kepabeanan ke Kantor Pabean yang telah menerapkan system
PDE Kepabeanan.
Berdasarkan criteria yang ditentukan Pejabat Bea dan Cukai menetapkan jalur
pengeluaran Barang Impor yang terdiri dari :
1. Jalur merah diberikan untuk impor yang baru, Importir yang termasuk dalam
kategori resiko tinggi, barang re-impor dan barang yang terkena pemeriksaan
acak, serta barang impor yang termasuk dalam komoditi tinggi dan berasal dari
Negara yang beresiko tinggi
2. Jalur hijau, diberikan kepada Importir dan Importasi yang tidak termasuk kepada
criteria diatas. Atas Pemberitahuan Impor Barang (PIB) jalur hijau hanya
dilakukan penelitian dokumen
3. Jalur Prioritas, diberikan kepada importir yang ditetapkan sebagai importir jalur
priorotas. Pada jalur prioritas ini tidak dilakukan Pemeriksaan Pabean
terhadap barang impor sementara, barang re-impor dan barang-barang yang
ditetapkan Pemerintah.
Ad.b) Impor Sementara
Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada
waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. Barang impor
sementara sampai saat diekspor kembali berada pada pengawasan Pabean dan barang
siapa yang tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu
yang telah ditentukan dikenai denda sebesar 100 % dari Bea Masuk yang seharusnya
dibayar.
Tujuan pengaturan impor sementara adalah untuk memberikan kemudahan
atas pemasukan barang dengan tujuan tertentu seperti barang pameran, barang
perlombaan, barang penelitian yang digunakan untuk penelitian sains dan teknologi
serta pendidikan, yang digunakan untuk sementara waktu dan pada saat
pengimpornya telah jelas bahwa, barang tersebut akan diekspor kembali.
Ad.c) Diekspor kembali
Terhadap barang impor yang masih berada didalam Kawasan Pabean dapat
diekspor kembali apabila: • Tidak sesuai pesanan
• Tidak boleh diimpor karena adanya perubahan-perubahan
• Salah kirim
• Tidak dapat memenuhi persyaratan impor dari instansi teknis
Importir mengajukan permohonan re-ekspor kepada Kepala Kantor Pelayanan
Bea dan Cukai dengan menyebutkan alas an sebagaimana tersebut diatas.
Sanksi administrasi adalah sanksi berupa denda yang dikenakan terhadap
setiap orang yang melakukan pekanggaran administrasi yang secara nyata telah
diatur dalam Undang- Undang. Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 28/ Tahun 2008 tanggal 11 April 2008.
Adapun proses timbulnya sanksi administrasi yakni tambah bayar berupa
Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk (SKPPBM) antara lain:
a. Kesalahan dalam pengklasifikasian (penggolongan) jenis barang kedalam tarif
pos yang tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTMI),
dikenakan sanksi administrasi berupa denda setinggi-tingginya 500 % dan
serendah-rendahnya 100% dari jumlah Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
b. Kesalahan dalam hal pemberitahuan Nilai Pabean yakni, pihak importir
membuat/ menetapkan harga pembelian barang impor yang terlalu rendah dari
harga yang telah ditetapkan berdasarkan Data Base Harga (DBH) yang
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dikenakan sanksi
administrasi berupa denda setinggi-tingginya 500% dan serendah-rendahnya
100% dari jumlah Bea Masuk yang seharusnya dibayar.
c. Karena kesalahan dalam pemberitahuan jumlah dan berat (tonase) barang,
500% dan serendah-rendahnya 100% dari Jumlah Bea Masuk yang
seharusnya dibayar.
Jenis – jenis sanksi administrasi menurut Undang-Undang No.17 Tahun 2006,
pasal 7 ayat (7) dan (8) , Pasal 8A ayat (2) dan (3), Pasal 8C ayat (3) dan ayat (4),
Pasal 9A ayat (2) dan (3), Pasal 10A ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) adalah:
a. Denda berdasarkan nilai rupiah
b. Denda berdasarkan persentase
c. Denda berdasarkan tingkat minimum dan maksimum (dalam
rupiah)
d. Denda berdasarkan tingkat minimum dan maksimum(dalam
persentase).
Dari Laporan Kegiatan Impor Harian menunjukan:
Nilai Pelunasan SPKPBM tahun 2007 :
Bea Masuk : Rp 34 .568.325
Cukai : -
Denda Administrasi : Rp 27.988.218
PPN : Rp 48.210.178
PPNBM : Rp 73.258.549
PPh Pasal 22 : Rp 13.743.149
Nilai Pelunasan SPKPBM tahun 2008 :
Cukai : -
Denda Administrasi : Rp 138.788.606
PPN : Rp 37.018.637
PPNBM : Rp 1.604.340
PPh Pasal 22 : Rp 8.853.570
Nilai Pelunasan SPKPBM tahun 2009 :
Bea Masuk : Rp 42.836.492
Cukai : -
Denda Administrasi : Rp 90.546.241
PPN : Rp 26.731.779
PPNBM : -
PPh Pasal 22 : Rp 6.682.946
Surat Penetapan Tarif Dan/Atau Nilai Pabean ( SPTNP ) Tahun 2010,
Periode Januari – Oktober 2010 :
Uraian Diberitahukan Ditetapkan Kekurangan Kelebihan
Bea Masuk Rp 27.046.000 Rp 43.228.000 Rp 16.182.000 -
Cukai - - - -
PPN Rp 106.858.000 Rp 124.855.000 Rp 17.997.000 -
PPNBM - - - -
PPh Pasal 22 Rp 27.380.000 Rp 31.216.000 Rp 3.836.000 -
Sanksi administrasi berupa denda lebih banyak diakibatkan oleh kesalahan
importer dalam hal :
1. Penetapan Nilai Pabean, yakni pihak importir membuat atau menetapkan
harga pembelian barang impor yang terlalu rendah dari harga yang telah
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
2. Kesalahan dalam hal pengklasifikasian (penggolongan) jenis barang kedalam
tarif yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
B. Cara Penghitungan Bea Masuk dan Sanksi Administrasi dalam Rangka Impor Barang.
Nilai Pabean yang dijadikan dasar penghitungan Bea Masuk, Denda
Administrasi dan Pajak dalam rangka Impor dinyatakan dalam rupiah sebagai hasil
perkalian NDPBM (Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk) dengan nilai CIF (Cost
Insurance Freight) dalam valuta asing. Penetapan nilai pabean didasarkan pada
ketentuan yang berlaku pada saat PIB mendapat nomor pendaftaran. Nilai Pabean
tersebut dibulatkan dalam rupiah penuh dengan cara menghilangkan bagian dari
satuan rupiah.
Jika dalam satu PIB terdapat kelebihan bayar dalam satu pos dan kekurangan
bayar pada pos yang lain, maka kelebihan bayar dapat dikompensasikan untuk
melunasi kekurangan bayar sepanjang masih dalam mata anggaran uang sama.
Biaya transportasi atau freight barang impor ke pelabuhan atau tempat
impor di Daerah Pabean adalah biaya trasnportasi yang sebenarnya atau seharusnya
dibayar yang umumnya tercantum dalam B/L atau AWB dari barang impor yang
bersangkutan.
Apabila biaya transportasi yang tercantum dalam B/L (Bill of Lading) ATAU
AWB (Air Wiil Bill) bukan biaya transportasi yang sebenarnya atau seharusnya
dibayar, biaya transportasi adalah biaya transportasi yang sebenarnya atau yang
seharusnya dibayar sepanjang importer dapat menunjukakan bukti nyata atas biaya
transportasi tersebut.
Apabila importir tidak dapat menunjukkan bukti nyata dimaksud, maka biaya
transportasi ditetapkan sebagai berikut:
A. Untuk Transportasi Laut
15% dari harga FOB untuk barang yang berasal dari Eropa, Amerika, dan
Afrika dan Jepang
10% dari harga FOB untuk barang yang berasal dari Asia-non-ASEAN dan
Australia
5% dari harga FOB untuk barang berasal dari Negara ASEAN
B. Untuk transportasi udara besarnya biaya transportasi ditetapkan berdasarkan tarif
IATA (International Air Transport Association)
Dalam hal terdapat lebih dari satu jenis barang yang tergolong dalam
perbandingan harga tiap jenis barang dengan harga keseluruhan barang dikalikan
jumlah keseluruhan biaya trasnportasi.
II. Biaya Asuransi
Biaya Asuransi yang berkaitan dengan pengangkutan barang adalah
sebagaimana tercantum dalam polis asuransi apabila asuransi ditutup didalam negeri,
maka nilai rupiah dari premi asuransi dalam menetapkan nilai pabean dianggap nihil,
dengan syarat importir wajib menyerahkan polis asuransi.
Apabila importir tidak dapat menujukkan polis asuransi, besarnya biaya asuransi
ditetapkan setengah perseratus (0,5%) dari harga C&F (Cost and Freight).
1. Dalam hal terdapat lebih dari satu jenis barang yang tergolong dalam
klasifikasi tarif yang berbeda dalam satu Pemberitahuan Impor Barang (PIB),
besarnya biaya asuransi untuk tiap-tioap jenis barang dihitung berdasarkan
perbandingan harga keseluruhan barang dikalikan jumlah keseluruhan biaya asuransi.
CIF (Nilai Pabean dalam Rupiah) : Rp.100.000
BM (sesuai HS) 5% x Rp.100.000 Rp. 5.000
PPN 10% x Rp.105.000 (BM + CIF) Rp. 10.500
PPh (dgn API) 2,5% x Rp.105.000
Jumlah BM dan PDRI yang seharusnya dibayar Rp.18.125 Rp. 2.625
2. Untuk pembayaran BM dan PDRI impor sementara selama 1 (satu) tahun
adalah:
PPN 12 x 2%/Bulan x Rp.10.500 Rp. 2520 (dengan SSPCP)
PPh 12 x 2%/Bulan x Rp. 2.625
Yang dibayar Rp. 4350
Rp. 630 (dengan SSPCP)
Yang dijaminkan Rp. 18.125-Rp.4.350 Rp.13.775
3. Apabila diperpanjang 1 (satu) tahun, Metode yang dipergunakan untuk
pembayaran BM sama dengan Angka 1
Yang dibayar Rp. 4.350
Yang dijaminkan Rp. 18.125- (2 x Rp. 4.350) Rp. 9.425
4. Apabila dibayar atau diekspor kembali, perhitungan BM dan PDRI adalah
sebagai berikut:
BM dan PPN dihitung sesuai kurs dan tarif pada saat pemasukkannya PPh dihitung
sesuai kurs pada saat pelunasannya.
Contoh:
CIF (Nilai Pabean dalam Rupiah) : Rp.100.000
BM (sesuai HS) 5% x Rp.100.000 Rp. 5.000
PPN 10% x Rp.105.000 (BM + CIF) Rp. 10.500
PPh (dgn API) 2,5% x (CIF valuta asing x
Kurs pada saat pelunasan + BM, sehingga menjadi)
...dimisalkan... Rp 3.000
Jumlah BM dan PDRI yang terutang Rp 18.500
BM dan PDRI yang telah dibayarkan selama 2 (tahun)
Jumlah BM dan PDRI yang masih harus dibayar adalah Rp. 9.800
Sanksi administrasi berupa denda 100% x BM Rp. 5.000
*) yang terdiri dari:
BM Rp. 5.000 – (2 x Rp.1.200) Rp. 2.600 (dgn SSPCP)
PPN Rp.10.500 – (2 x Rp.2.250) Rp. 5.460 (dgn SSPCP)
PPh Rp. 3.000 – (2 x Rp. 630)
Jumlah Rp. 9.800
Rp. 1.740 (dgn SSPCP)
C. Tata Cara Penagihan Piutang Bea Masuk, Denda Administrasi dan Pajak Dalam Rangka Impor
Peran serta masyarakat khusunya pengguna jasa kepabeanan dalam memenuhi
kewajibannya membayar bea masuk dan pajak sangat diharapkan sesuai dengan
kerangka self assessment yakni menetapkan dan menghitung pajak sendiri
maksudnya suatu system pemungutan dimana pembayaran pajak diserahkan
sepenuhnya kepada pembayar pajak untuk dilakukan atas inisiatif dan kesadaran
masing-masing (Jacob Taihutu). Beberapa catatan perihal self assessment system
dalam pajak penghasilan). Akan tetapi, dalam kenyataannya masih terdapat cukup
banyak market forces (dalam hal ini Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran
Bea Masuk) yang telah diterbitkan. Dengan tidak dibayarnya utang tersebut maka
akan menjadi tunggakan, dan untuk itu dilakukanlah tindakan penagihan terhadap bea
Tindakan penagihan terhadap utang Bea Masuk dan Pajak dilakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat
Paksa. Undang-undang ini mempunyai kekuatan hukum yang bersifat memaksa agar
Penanggung Bea/Cukai (Wajib Pajak) mau melunasi utangnya.
1. Surat Teguran
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa yang menjadi dasar
penagihan Bea Masuk, Denda Administrasi, Bunga dan Pajak dalam rangka impor
adalah Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk (SPKPBM) yang
diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai dengan masa tenggang
waktu 30 hari sejak tanggal diterbitkan. Setelah jangka waktu 1 bulan sejak SPKPBM
tersebut diterbitkan, Penanggung Bea/Cukai belum melunasi utangnya, dan setelah
ditambah 7 hari barulah dilakukan suatu tindakan penagihan aktif dengan nama Surat
Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis yang dimaksudkan untuk
menegur atau memperingatkan kepada Penanggung Bea/Cukai untuk melunasi
utangnya. Sejak 1 Januari 2010 SPKPBM telah mengalami perubahan nama menjadi
Surat Penetapan Tarif dan atau Nilai Pabean (SPTNP).
Penerbitan surat teguran ini merupakan tindakan awal dari tindakan penagihan
dan pelaksanaannya harus dilakukan sebelum dilanjutkan dengan menerbitkan Surat
Teguran namun langsung diterbitkan dan diberikan Surat Paksa maka secara yuridis
Surat Paksa tersebut dianggap tidak ada karena tidak didahului oleh Surat Teguran.
Jangka waktu dari surat Teguran tersebut hanya 21 hari sejak tanggal
diterbitkan dan terhadapnya telah dikenakan bunga sebesar 2% setiap bulannya atas
keterlambatan pembayarann utangnya dan bunga tersebut hanya digunakan untuk
utang/tagihan bea cukai saja. Apabila dalam tenggang waktu 21 hari, Penanggung
Bea/Cukai masih juga tidak melunasi utangnya, maka Kepala Kantor Pelayanan Bea
dan Cukai segera menerbitkan Surat Paksa.
1. Surat Paksa
Dalam melaksanakan tindakan penagihan, ternyata tidak selalu didahului
dengan pelaksanaan Surat Paksa, akan tetapi dapat juga langsung dengan melakukan
tindakan berupa penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa
perlu menunggu jatuh tempo pembayaran. Ada dua kata yang penting untuk dipahami
yaitu kata” seketika”, dan ”sekaligus”. Yang dimaksud dengan penagihan seketika
dan sekaligus adalah penagihan yang dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh
tempo pembayaran, sedangkan penagihan sekaligus adalah penagihan yeng meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis Pajak dan tahun pajak.
2.1 Penagihan Seketika dan Sekaligus
Surat Paksa adalah surat perintah untuk membayar utang Bea masuk, Denda
Administrasi dan Bunga serta Biaya Penagihan. Dalam hal terjadi suatuperistiwa atau
keadaan yang mendesak dan untuk menjaga kemungkinan terjadinya sesuatu yang
Pejabat diberi wewenang untuk menerbitkan Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus.
Sedangkan, salah satu tugas dari Juru Sita Bea dan Cukai adalah melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus sampai tuntas. Secara preventif tindakan ini
dimaksudkan agar penerimaan Negara di sektor Bea Masuk dan Pajak dapat
diamankan dalam waktu yang singkat.
Adanya tindakan penagihan seketika dan sekaligus ini tidak lain dimaksudkan
agar Penanggung Bea/Cukai dan Penanggung Pajak tetap harus mendahului
kepentingan Negara untuk melunasi utangnya sebelum kepentingan-kepentingan lain
diselesaikan.
Dalam pasal 20 Undang-undang nomor 28 Tahun 2007, menegaskan bahwa
tindakan penagihan seketika dan sekaligus dapat dilakukan apabila hal-hal berikut ini
diketahui, yaitu:
a. Penanggung Bea/Cukai akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya atau berniat untuk itu ;
b. Penanggung Bea/Cukai menghentikan atau secara nyata mengecilkan
kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia ataupun
memindahtangankan barang yang dimilikinya atau dikuasainya ;
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Bea/Cukai akan membubarkan
badan usahanya atau berniat untuk itu ;
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara ;
e. Terjadi penyitaan atas barang Penangggung Bea/Cukai oleh pihak ketiga
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa apabila Penanggung Bea/Cukai akan
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau mempunyai niat untuk itu, maka
ia harus melunasi utangnya terlebih dahulu. Untuk itu, sesuai Undang-undang No.9
tahun 1992 tentang Keimigrasian, upaya hukum yang dapat dilakukan untuk itu
adalah dengan cara mencegah Penanggung Bea/Cukai yang bersangkutan berangkat
ke luar negeri antara lain dengan cara pencekalan. Usulan pencegahan dan
pencekalan demikian hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri
Kehakiman dan HAM sepanjang menyangkut urusan piutang Negara.
Surat Perintah Penagihan dan Sekaligus sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama dan alamat Penanggung Bea/Cukai
b. Besarnya utang Bea Masuk dan Utang Pajak
c. Perintah untuk membayar
d. Saat pelunasan Bea Masuk dan Utang Pajak
2.2 Isi dan Karakteristik dari surat Paksa
Surat Paksa atau disebut parate eksekusi (eksekusi langsung), yang berarti
bahwa Penagihan Bea/Cukai dan Pajak secara paksa dapat dilakukan tanpa melalui
proses pengadilan Negeri. Hal ini bisa dimengerti karena Surat Paksa itu mempunyai
kekuatan hukum yang tetap (pasti), dimana fiskus dalam melaksanakan kewajibannya
mempunyai hak ”Parate Eksekusi”. Dilihat dari segi isinya Surat Paksa memuat
a. Berkepala kata-kata ”Atas nama Keadilan” yang dengan undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 4 disesuaikan bunyinya menjadi ” DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” ; b. Nama Penanggung Bea/Cukai, keterangan yang cukup tentang alasan yang
menjadi dasar penagihan serta perintah membayar ;
c. Dikeluarkan atau ditandatangani oleh Pejabat berwenang yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan .
Sedangkan dari segi karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan Hakim dalam
perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim atasan ;
b. Mempunyai kekuatan hukum yang tetap ;
c. Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak
(biaya-biaya penagihan) ;
d. Dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/pencegahan
Mengingat Surat Paksa mempunyai kedudukan hukum yang tetap, maka
pemberitahuan/penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung dan kepada kedua
belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa sebagai
pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
Juru sita Bea/Cukai melaksanakan penagihan Piutang Bea/Cukai dengan Surat Paksa
adalah dengan cara sebagai berikut:
a. Jurusita menandatangani tempat tinggal atau tempat kedudukan Penanggung
mengemukakan maksud kedatangannya yaitu memberitahukan Surat Paksa
dengan pernyataan dan menyerahkan salinan Surat Paksa tersebut.
b. Jika Jurusita bertemu langsung dengan Penanggung Bea/Cukai (PBC) maka
diminta agar PBC memperlihatkan surat-surat keterangan Pabean yang ada
untuk diteliti:
• Apabila tunggakan Bea/Cukai menurut SPKPBM sesuai dengan jumlah
tunggakan yang tercantum dalam Surat Paksa
• Apakah terhadap utang dalam Surat Paksa telah diajukan keberatan yang
memenuhi syarat.
c. Apabila Jurusita tidak menjumpai Penanggung Bea/Cukai, maka salinan Surat
Paksa tersebut dapat diserahkan kepada:
• Keluarga Penanggung Bea/Cukai atau orang bertempat tinggal bersama
Penanggung Bea Cukai yang telah akhil baliq (dewasa dan sehat mental) • Anggota pengurus komisaris atau para Pesero dari Badan Usaha yang
bersangkutan
• Pejabat Pemerintah setempat (Bupati/Walikota/Camat/Lurah) dalam hal
mereka tersebut dalam butir c.1 dan c.2 di atas tidak dijumpai.
Pejabat-pejabat tersebut harus memberi tanda tangan pada Surat Paksa dan
Salinannya, sebagai tanda diketahuinya menyampaikan salinannya kepada
• Jurusita yang telah melaksanakan penagihan Bea Masuk dan pajak dengan
Surat Paksa harus membuat laporan pelaksanaan Surat Paksa.
d. Jika Penanggung Bea/Cukai tidak diketemukan dikantor atau tempat usaha/
tempat tinggal, maka Jurusita dapat menyerahkan salinan Surat Paksa kepada: Seseorang yang ada di kantornya (salah seorang pegawai)
Seseorang yang ada ditempat tinggalnya (misalnya istri, anak atau
pembantu), dengan catatan anak tersebut telah berumur 14 tahun keatas.
Surat paksa yang akan disampaikan kepada Penanggung Bea/Cukai dilakukan
paling lambat setelah lewat 21 hari setelah surat teguran atau surat peringatan lain
yang sejenis diterbitkan, dan bila diterbitkan kurang dari 21 hari sejak tanggal surat
teguran, maka Surat Paksa menjadi batal demi hukum.
3. Penyitaan
Penyitaan adalah ”suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Bea/Cukai untuk menguasai barang Penanggung Bea/Cukai guna dijadikan jaminan untuk melunasi uangnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pengertian penyitaan menurut Pasal 1 KUHP adalah: ” Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan dibawajh penguasanya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dan dalam penuntutan dan peradilan”.
Penyitaan dalam hukum pidana ini bertujuan menjadikan barang yang disita
Dalam perundang-undangan Pajak tidak ada istilah baku tentang pengertian
penyitaan, oleh karena itu Mouljo Hadi, S.H mencoba memberikan pengertian
penyitaan yakni sebagai berikut:
”Serangkaian tindakan Jurusita Pajak (Jurusita Bea/Cukai) dengan dibantu oleh 2 orang saksi untuk menguasai barang dari Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utangnya sesuai peraturan perundang-undangan Pajak yang berlaku.”
Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah Surat Paksa
yang hanya dapat dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam sebagaimana dimaksud
dalam Surat Paksa dilewati. Artinya, apabila Penanggung Bea/Cukai tetap tidak
melunasi utangnya barulah tindakan penyitaan dapat dilakukan.
Penyitaan baru dapat dilakukan apabila Kepala Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai telah mengeluarkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP). Dalam
melaksanakan penyitaan Jurusita harus memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
1. Penyitaan dilakukan harus didampingi oleh dua (2) orang saksi yang telah
memenuhi syarat antara lain:
a. Warga Negara Indonesia
b. Sudah mencapai usia 21 tahun
c. Dikenal Jurusita
d. Dapat dipercaya
Jika nilai barang bergerak tidak mencukupi, barukah dapat diteruskan dengan
menyita barang tidak bergerak sampai jumlahnya mencukupi untuk membayar
utang Bea/Cukai serta biaya pelaksanaannya.
3. Jurusita setelah melakukan penyitaan harus membuat Berita Acara
Pelaksanaan Sita (BAPS).
Perincian mengenai barang bergerak yang dapat disita adalah sebagai
berikut:
a. Semua barang bergerak yang ada dirumah Penanggung Bea/Cukai, seperti: • Perkakas rumah tangga (lemari, meja, kursi dan sebagainya)
• Barang – barang mewah (lemari es, tape recorder, kompor gas, dsb)
• Barang-barang perhiasan (kalung, gelang, cincin dari emas)
• Uang tunai
• Kendaraan (mobil, sepeda motor, dsb)
• Lain-lainnya (lukisan, jam dinding, dsb)
b. Semua barang bergerak yang ada di toko Penanggung Bea/Cukai, seperti: • Barang dagangan (baik yang berbeda di toko tersebut maupun yang
ada digudang)
• Semua barang bergerak milik Penanggung Bea/Cukai ada enam jenis
barang yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud dalam
Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan
oleh Penanggung Bea/Cukai dan keluarga yang menjadi
tanggungannya
Penanggung makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan
beserta peralatan memasak yang ada dirumah
Perlengkapan Penanggung Bea/Cukai yang bersifat dinas
Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan
Penanggung Bea/Cukai dan alat-alat yang digunakan untuk
keperluan pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan
Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk
melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah
seluruhnya tidak lebih dari Rp. 10.000.000
Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung
Bea/Cukai dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
prinsipnya penyitaan dalam hukum pajak tidak mengubah status kepemilikan
atas suatu barang, bahkan barang yang telah disita dapat dititipkan kepada
Penanggung Bea/Cukai atau dapat disimpan ditempat lain. Pemilik barang pada
dasarnya masih tetap dapat mempergunakan barang yang telah disita sepanjang atas
barang, atau menghilangkan barang yang merupakan tindakan pidana sesuai Pasal
Apabila Penanggung Bea/Cukai sudah melunasi utangnya sebelum
permintaan penetapan tanggal pelelangan diajukan, maka Kepala Kantor Pelayanan
Bea dan Cukai harus mengeluarkan Surat Pencabutan Sita
4. Hak Mendahulu
Hak mendahulu adalah suatu hak yang oleh Undang-undang diberikan kepada
seseorang berpiutang sehingga tingkatannya menjadi lebih tinggi dari pada orang
yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Dalam Undang-undang Pajak, hak mendahulu pajak diatur dalam Pasal 21
Undang-undang No.16 Tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat 1) : Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak
Ayat 2) : Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pokok pajak, bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan
Ayat 3) : Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang barang bergerak maupun barang tidak bergerak
c. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan
Ayat 4) : Hak mendahulu baru hilang setelah lampau waktu 2 tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Kekurangan Bea Masuk, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Bandingyang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam waktu dua tahun tersebut Surat Paksa untuk membayar itu diberikan penundaan pembayaran.
Ayat 5) : Dalam hak Surat Paksa untuk membayar diberitahukan
secara resmi, jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat
Paksa atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu dua tahun ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran
5. Gugatan
Dalam rangka menegakkan keadilan, Undang-undang No. 19 Tahun 2000
tetap memberikan perlindungan hukum, baik kepada Penanggung Bea/cukai maupun
kepada pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan, karena pelaksanaan
sanggahan pada hakikatnya tidak berbeda dengan pelaksanaan penagihan Bea Masuk
dan Pajak berupa pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan diajukan kepada Badan
kepemilikan barang yang disita ditujukan ke Pengadilan Negeri (PN). Hal tersebut
sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan bahwa sanggahan atau gugatan Penanggung Bea/Cukai
terhadap pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan hanya dapat diajukan kepada Badan
Peradilan Pajak yang selanjutnya disebut Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Perlindungan hukum terhadap hak dimaksud diberikan porsi tersendiri yang
dituangkan berupa ketentuan dalam pasal di dalam Undang-Undang tersebut.
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak adalah Badan Peradilan Pajak yang
mempunyai tugas memeriksa dan memutus sengketa Pajak berupa:
a. Banding terhadap keputusan pejabat yang berwenang
b. Gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan Perpajakan di
bidang penagihan
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak seperti halnya Surat Paksa juga
mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dengan kepala
keputusan diberi kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”
Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir
bagi Penanggung Pajak dan Putusannya tidak dapat digugat ke Pengadilan Pajak.
Pengertian gugatan menurut pasal 1 sub 7 Undang-undang Nomor 17 Tahun
”Gugatan adalah upaya hukum terakhir terhadap pelaksanaan penagihan pajak sebagaimana diatur dalam perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan”.
Menurut Pasal 38 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan
Pajak dengan surat Paksa menyebutkan bahwa:
”gugatan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Negeri yang menerima surat gugatan dari pihak ketiga memberitahukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang (Pejabat Bea/Cukai dan Pajak), selanjutnya pejabat setelah menerima pemberitahuan secara tertulis tersebut melakukan penangguhan pelaksanaan penagihan hanya terhadap barang yang disanggah kepemilikannya saja”.
Menurut Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 19 tahun 2000, Jurusita
Bea dan Cukai bertugas:
a. Melaksanakan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
b. Memberitahukan/menyerahkan Surat Paksa
c. Melaksanakan Penyitaan atas Barang Penanggung Bea/Cukai berdasarkan
Surat Perintah Melakukan Penyitaan
d. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
Jurusita Bea/Cukai harus dilengkapi dengan Kartu Tanda Pengenal dan Surat
Tugas yang harus diperlihatkan kepada Penanggung Bea/Cukai. Dalam melaksanakan
tugasnya Penanggung Bea/Cukai berwenang memasuki dan memeriksa semua
ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek
tinggal Penanggung Bea/Cukai atau tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat
penyimpanan objek sita. Dalam melaksankan tugasnya tersebut, Jurusita Bea/Cukai
dapat meminta bantuan Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehakiman dan HAM,
Pemerintah Daerah Setemnpat, Badan Pertanahan Setempat, Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank, atau pihak Lain dalam rangka
melaksanakan penagihan Bea Masuk dan Pajak.
Peraturan Pemerintah RI N0.28 Tahun 2008 Tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan
Pasal 1
1. Undang-undang adalah Undang-Undang Nomor.10 tahun 1995 tentang
Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 10 Tahun
1995 tentang kepabeanan.
2. Menteri adalah Menteri Keuangan RI
3. Pejabat bea dan cukai adalah pegawai DJBC yang ditunjuk dalam jabatan tertentu
berdasarkan Undang-Undang.
Pasal 2
1. Sanksi administrasi berupa denda dikenakan hanya terhadap pelanggaran yang
diatur dalam Undang-undang
2. Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) besarnya
dinyatakan dalam :
b. Nilai rupiah minimum sampai dengan maksimum
c. Persentase tertentu dari bea masuk yang seharusnya dibayar
d. Persentase tertentu minimum ampai dengan maksimum dari kekurangan
pembayaran bea masuk atau bea keluar,atau
e. Persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum dari bea masuk yang
seharusnya dibayar
Pasal 3
1.Besarnya denda yang dinyatakan dalam nilai rupiah tertentu sebagaimana
dimaksud pada pasal 2 ayat (2) huruf a dilaksanakan sesuai dengan Undang-
undang
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Pasal 10A ayat
(8) , pasal 11A ayat (6), pasal 45 ayat (3), pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), pasal
81 ayat (3), pasal 82 ayat (3) huruf b, pasal 86 ayat (2) pasal 89 ayat (4), pasal
90 ayat (4), dan pasal 91 ayat (4) Undang-undang.
Pasal 4
1. Besarnya denda yang dinyatakan dalam nilai rupiah minimum sampai dengan
maksimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf (b) ditentukan
secara berjenjang dengan ketentuan apabila dalam 6 (enam) bulan terakhir
terjadi:
a. 1 (satu) kali pelanggaran, dikenai denda sebesar 1 (satu) kali denda
b. 2 (dua) kali pelanggaran, dikenai denda sebesar 2 (dua) kali denda
minimum
c. 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) kali pelanggaran, dikenai denda
sebesar 5 (lima) kali denda minimum
d. 5 (lima) sampai 6 (enam) kali pelanggaran dikenai dendasebesar 7
(tujuh) kali denda minimum
e. Lebih dari 6 (enam) kali pelanggaran dikenai denda sebesar 1 (satu)
kali denda maksimum
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk pasal 7A
ayat (7), Pasal 7A ayat (8), Pasal 8A ayat (2), dan ayat (3), Pasal 8C ayat
(3) dan ayat (4), pasal 9A ayat (3), dan pasal 10A ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang
Pasal 6
1. Besarnya denda yang dinyatakan dalam persentase tertentu minimum sampai
dengan maksimum dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf d ditetapkan secara
berjenjang berdasarkan perbandingan antara kekurangan pembayaran bea
masuk atau bea keluar dengan bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar
dengan ketentuan apabila kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar:
a. Sampai dengan 25% dari bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar,
dikenai denda sebesar 100% dari kekurangan pembayaran bea masuk atau
b. Diatas 25% sampai dengan 50% dari bea masuk atau bea keluar yang telah
dibayar, dikenai denda sebesar 200% dari kekurangan pembayaran bea
masuk atau bea keluar
c. Diatas 50% sampai dengan 75% dari bea masuk atau bea keluar yang telah
dibayar, dikenai denda sebesar 400% dari kekurangan pembayaran bea
masuk atau bea keluar
d. Diatas 75% sampai dengan 100% dari bea masuk atau bea keluar yang
telah dibayar, dikenai denda sebesar 700% dari kekurangan pembayaran
bea masuk atau bea keluar atau
e. Diatas 100% dari bea masuk atau bea keluar yang telah dibayar, dikenai
denda sebesar 1000% dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea
keluar
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk pasal 16 ayat
(4), pasal 17 ayat (4), pasal 82 ayat (5), dan ayat (6), dan pasal 86A
Undang-undang
Pasal 7
2. Besarnya denda yang dinyatakan dalam persentase minimum sampai dengan
maksimum dari bea masuk yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e ditetapkan secara berjenjang berdasarkan
perbandingan antara bea masuk atas fasilitas yang disalahgunakan dengan
total bea masuk yang mendapat fasilitas dengan ketentuan apabila kekurangan
a. Sampai dengan 20% dikenai denda sebesar 100% dari bea masuk yang
seharusnya dibayar
b. Diatas 20% sampai dengan 40% dikenai denda sebesar 200% dari bea
masuk yang seharusnya dibayar
c. Diatas 40% sampai dengan 60%, dikenai denda sebesar 300% dari bea
masuk yang seharusnya dibayar
d. Diatas 60% sampai dengan 80% dikenai denda sebesar 400% dari bea
masuk yang seharusnya dibayar
e. Diatas 80% sampai dengan 100% dikenai denda sebesar 500% dari
bea masuk yang seharusnya dibayar
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk pasal 25 ayat
(4) dan pasal 26 ayat (4) undang-undang
Pasal 8
Terhadap pelanggaran yang dikenai sanksi administrasi berupa denda yang dihitung
berdasarkan persentase dari bea masuk, dalam hal tarif atau tarif akhir bea masuk atas
barang yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut besarnya 0% dikenai sanksi
CONTOH PERHITUNGAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA
Penghitungan besarnya sanksi administrasi berupa denda atas pelanggaran
Pasal 16 ayat (4) dan Pasal 82 ayat (6) dilakukan dengan cara terlebih dahulu
menghitung besarnya persentase denda, dan setelah itu dilakukuan penghitungan
besarnya denda yang harus dikenakan atas pelamnggaran yang dilakukan.
Contoh kasus tambah bayar yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam
menghitung besarnya sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diuraikan
dibawah ini:
1. Kesalahan yang menyebabkan terjadinya kekurangan pembayaran Bea
Masuk dari suatu Pemberitahuan Impor Barang, yaitu kesalahan yang
mengakibatkan denda Penghitungan denda dilakukan dari kelmpok
kesalahan yang mengakibatkan denda yaitu dengan cara:
• Jumlah kekurangan pembayaran Bea Masuk dijumlahkan
• Prosentase denda dihitung dari jumlah kekurangan pembayaran
• Bea Masuk dibagi dengan Jumlah Bea Masuk yang telah dibayar
• Jumlah denda yang harus dibayar adalah hasil perkalian antara
prosentase denda dengan jumlah kekurangan Bea Masuk yang
mengakibatkan denda
2. Penghitungan sanksi administrasi berupa denda yang dikenakan terhadap
satu jenis barang yang mempunyai dua kesalahan, yaitu kesalahan yang
dilakukan dengan cara menghitung terlebih dahulu kekurangan bayar yang
tidak dikenakan denda setelah itu baru dihitung kekurangan bayar yang
mengakibatkan denda
Perhitungan:
a. Kekurangan Bayar tanpa denda:
1. Bea Masuk yang telah dibayar dengan kesalahan pembebanan
adalah Rp. 50 jt x 5% = Rp. 2,5 jt
2. Bea Masuk yang seharusnya dibayar tanpa kesalahan
pembebanan adalah Rp. 50 jt x 10% = Rp. 5 jt
3. Terdapat kekurangan pembayaran Bea Masuk sebesar Rp. 2,5 jt
b. Kekurangan bayar dengan denda:
1. Apabila tidak ada kesalahan pembebanan maka importir
membayar Rp 50 jt x 10% = Rp.5 jt
2. Bea Masuk yang seharusnya dibayar dengan Nilai Pabean yang
sebenarnya adalah Rp 200 jt x 10% = Rp. 20 jt
3. Prosentase denda dihitung dari kekurangan pembayaran Bea
Masuk yang seharusnya dibayar, dengan yang dibayar apabila
tidak terdapat kesalahan pembebanan, yaitu: kekurangan bayar/
seharusnya dibayar = 15/5 x 100% = 300%. Berarti 5 kali dari
Bea Masuk kurang bayar
4. Denda administrasi yang dikenakan adalah sebesar 5 x Rp. 15 jt
5. Bea Masuk yang kurang dibayar = Rp 17,5 jt
Denda administrasi = Rp. 75 jt
3. Kekurangan bayar yang mengakibatkan denda terhadap barang yang
pembebanannya 0% hanya dikenakan satu kali untuk satu PIB, apabila
pada PIB tersebut tidak ada barang impor lain yang harus dikenai denda
4. Dalam hal pemeriksaan fisik dan/ atau dokumen, ternyata dalam satu PIB
terdapat barang yang tidak diberitahukan dan ada barang yang tidak
ditemukan, maka jumlah penerimaan yang telah dibayarkan untuk barang
yang tidak ditemukan tersebut diperhitungkan sebagai pungutan yang
sudah dibayar untuk barang yang tidak diberitahukan
Perhitungan:
i. Barang A sesuai,
ii. Pungutan yang dibayar untuk barang B dianggap pungutan yang
sudah dibayar untuk barang C
iii. Kurang Bayar (200-100) = 100 jt
iv. % denda (100/100 x 100% = 100%), 4 kali Bea Masuk kurang
bayar
v. Jumlah denda = 4 x 100 jt = 400 juta
5. Dalam hal setelah pemeriksaan fisik dan/ atau dokumen, ternyata dalam
satu PIB terdapat barang yang tidak diberitahukan maka terhadap barang
tersebut diperhitungkan sebagai barang baru dan dikenakan pungutan
BAB IV
ANALISA DAN EVALUASI
A. Analisa
a. Saat Terjadinya Hutang Bea Masuk
Barang yang dimasukkan ke dalam Daerah Pabean dianggap sebagai
barang Impor dan terutang Bea Masuk. Besarnya hutang Bea Masuk
dihitung berdasarkan Nilai Pabean.
b. Proses Timbulnya Sanksi Administrasi
Proses timbulnya sanksi administrasi dapat berupa yaitu:
Kesalahan dalam pengklasifikasian (penggolongan) jenis barang ke
dalam taif pos yang ada pada Buku Tarif Bea Masuk Indonesia.
Misalnya barangnya adalah bantuan besi kereta api untuk rel kereta api
yang seharusnya diklasifikasikan ke dalam Tarif Pos 760.200.000
dengan pembebanan BM 5% (n 10%, dan PPh 25%). Jadi, dalam hal
ini dikenakan ”tambah bayar” karena kesalahan dalam pemberitahuan
jenis barang yakni atas selisih dari BM dan PPN serta Denda
Administrasi
Kesalahan dalam hal pemberitahuan Nilai Pabean, yakn pihak importir
membuat atau menetapkan harga pembelian barang impor lebih rendah
Kesalahan dalam pemberitahuan jumlah dan berat barang dari yang
sebenarnya, misalnya jumlah dan berat barang dalam dokumen PIB
diberitahukan seberat 50 ton, tetapi dari hasil pemeriksaan fisik barang
dilapangan kedapatan 55 ton, sehingga dikenakan tambah bayar atas
kelebihan jumlah dan berat barang tersebut.
c. Tata Cara Penagihan Piutang Sanksi Administrasi
1. Surat Teguran
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa yang
menjadi dasar penagihan Bea Masuk, Denda Administrasi, Bunga