• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran cacing tanah Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus dalam mengkonsumsi sampah organik:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran cacing tanah Eisenia fetida dan Lumbricus rubellus dalam mengkonsumsi sampah organik:"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN CACING TANAH Eisenia fetida DAN Lumbricus

rubellus DALAM MENGKONSUMSI SAMPAH ORGANIK

PUSPA ELIDAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Peran Cacing Tanah Eisenia fetida Dan Lumbricus rubellus Dalam Mengkonsumsi Sampah Organik” adalah benar hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Puspa Elidar NRP. G352070131

(3)

ABSTRACT

PUSPA ELIDAR. The Role of Earthworms Eisenia fetida and Lumbricus

rubellus in Consumpting Organic Wastes. Under direction of by RIKA RAFFIUDIN and TRI HERU WIDARTO.

Organic wastes polluting the environment are mainly caused by human being. Vermicomposting is a process to decompose organic wastes by using earthworms in interaction with microorganisms. Eisenia fetida and L. rubellus

are the most common earthworm species used in vermicomposting. The aims of the study were to determine the effect of different earthworm combinations (single and mixed species) and the ratio between earthworm and vegetable wastes on (1) consumption rate, (2) growth and reproduction of worms and (3) chemical composition of produced vermicompost. Ratio earthworm and vegetable wastes 1:1 (R1.1), 1:2 (R1.2) and 2:1 (R2.1) were used to decompose two kinds of waste (fermented and non fermented). The consumption rate was the percentage of the wastes consumed by earthworm weekly. Growth and reproduction of earthworm were measured by weighing their biomass and counting their cocoon production weekly, respectively the results showed that the consumption rate on fermented waste in the combination of both species was not significantly different (P<0.05). In the first two weeks, earthworms biomass increased in R1.1 and R1.2 ratio, however in R2.1 ratio their biomass decreased afterward. The highest number of cocoons was found in E. fetida (265.67±79.25) in R1.2 ratio and fermentation waste. Cocoon incubation period in E. fetida was faster than that in L. rubellus. The cocoons of E. fetida produced the highest number of hatchlings per cocoon (4.5±0.8). Chemical composition of vermicompost increased significantly in K (P<0.05). Vermicomposting by combination of E. fetida and L. rubellus with R2.1 ratio was the most effective to decompose fermented vegetable wastes.

(4)

RINGKASAN

PUSPA ELIDAR. Peran Cacing Tanah Eisenia fetida Dan Lumbricus rubellus

Dalam Mengkonsumsi Sampah Organik. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN dan TRI HERU WIDARTO.

Berbagai bentuk dan jenis sampah dihasilkan oleh masyarakat. Sampah yang terkumpul disekitar rumah, pasar maupun di TPA semakin sulit untuk ditanggulangi. Salah satu cara yang baik untuk mereduksi sampah domestik adalah dengan melakukan vermicomposting. Vermicomposting merupakan proses konsumsi bahan organik dengan melibatkan kerjasama cacing tanah dan mikroorganisme. Hasil akhir dari proses ini adalah vermikompos yang sangat berguna bagi tanaman. Cacing tanah E. fetida dan L. rubellus merupakan dua dari spesies cacing tanah yang sangat berpotensi dalam proses vermicomposting.

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji peran dua spesies cacing tanah dalam mengolah bahan organik dengan mengukur: (1) laju konsumsi bahan organik, (2) pertumbuhan cacing tanah (3) produktivitas cacing tanah, dan (4) perubahan kondisi media selama proses vermikompos.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan April 2009. Penelitian ini teridiri atas dua tahap, yaitu tahap budi daya cacing tanah dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai Januari 2009, dan tahap eksperimen dan pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Februari-April 2009. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bagian Fungsi Hayati dan Prilaku Hewan, Departemen Biologi, FMIPA Institut Pertanian Bogor. Pada tahap budi daya cacing tanah, dipersiapkan populasi cacing tanah, media hidup, dan wadah percobaan. Cacing tanah yang digunakan adalah E. fetida dan L. rubellus yang telah memiliki klitelum. Media hidup terdiri dari kotoran sapi dan bahan organik berupa sayuran kol atau kubis (Brassica oleracea), sawi (B. junco), tomat (Solanum lycopersicum) dan wortel (Dancus carota). Kotoran sapi digunakan sebagai starter dikeringanginkan ± 10-12 hari. Bahan organik dicacah kasar 2-3 cm, dan diperlakukan pada dua kondisi yaitu difermentasi secara anaerob dalam kantung plastik selama tujuh hari dan non-fermentasi. Ditambahkan tanah ke dalam media hidup untuk membantu proses pencernaan cacing tanah. Wadah percobaan berupa wadah plastik berukuran panjang, lebar, dan tinggi 40 cm x 30 cm x 15 cm. Seluruh wadah dilubangi pada dasarnya sebanyak 9-12 lubang dan ditutupi dengan kain kasa plastik.

Penelitian ini terdiri atas tiga tingkat perlakuan pada dua jenis cacing tanah

E. fetida, L. Rubellus, dan kombinasi E. fetida dan L. rubellus, dengan rasio antara berat cacing tanah dan bahan organik 1:1 (R1.1), 1:2 (R1.2),dan 2:1 (R2.1), serta dua jenis bahan organik yang difermentasi dan non- fermentasi. Kondisi awal media hidup diatur pada suhu, kelembaban dan pH berturut-turut 24 oC, 60%, dan 6.8. Setiap tujuh hari dilakukan pengukuran terhadap parameter biologi cacing tanah.

(5)

Selanjutnya, setiap tujuh hari dilakukan penambahan bahan organik ke dalam media hidup sebanyak 60 gr untuk R1.1, 120 gr untuk R1.2, dan 60 gr untuk R2.1.

Pertumbuhan cacing tanah diukur dengan menimbang cacing tanah di atas timbangan digital (ADAM PGW-4531, d=0.001 gr). Produktivitas cacing tanah diukur dengan menghitung jumlah kokon yang diproduksi di dalam setiap wadah setiap tujuh hari. Kokon yang dihasilkan oleh masing-masing spesies cacing tanah ditempatkan pada wadah yang dialasi kapas lembab. Perkembangan kokon diamati setiap hari sampai menetas untuk mengetahui masa inkubasi kokon. Selanjutnya, jumlah juvenil yang keluar dari tiap kokon dihitung.

Vermikompos yang dihasilkan tiap spesies cacing tanah dari jenis bahan organik yang berbeda ditimbang seberat 100 gr untuk dianalisa kandungan kimianya. Kandungan C organik dianalisa dengan metode Walkey & Black, N total dengan metode Kjeldahl, P dengan spektrofotometri dan K dengan Flamefotometri. Analisa kandungan kimia dilakukan di laboratorium tanah dan tanaman SEAMEO BIOTROP, Bogor. Selanjutnya, data dianalisis menggunakan software SPSS V 15.0 for Windows, dan uji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata (α=0.05).

Berdasarkan hasil pengamatan, laju konsumsi bahan organik pada R2.1 lebih cepat pada semua spesies dan kombinasinya baik bahan organik fermentasi maupun non-fermentasi. Laju konsumsi paling baik ditunjukkan oleh kombinasi

E. fetida dan L. rubellus dengan bahan organik fermentasi pada rasio R2.1, dan laju konsumsi terendah oleh L. rubellus dengan bahan organik non-fermentasi pada R1.2. Secara ringkas, laju konsumsi oleh kedua spesies cacing tanah dengan masing-masing perlakuan baik bahan organik fermentasi dan non-fermentasi adalah E+L>E>L, sedangkan rasio cacing tanah dan bahan organik adalah R2.1>R1.1>R1.2. Perbedaan laju konsumsi bahan organik ini disebabkan oleh jumlah populasi cacing tanah, kualitas, dan kuantitas bahan organik. Jumlah populasi turut mempercepat laju konsumsi bahan organik, karena semakin besar jumlah populasi cacing tanah, maka semakin cepat aktivitas konsumsi terhadap bahan organik. Disamping itu, bahan organik yang lunak dan substrat dengan tingkat nutrisi tinggi dapat mempercepat proses konsumsi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan cacing tanah kombinasi E. fetida dan L. rubellus yang ditunjukkan pada R1.1 dan R1.2, cenderung memiliki berat lebih baik dari E. fetida dan L. rubellus secara tunggal baik dengan bahan organik fermentasi maupun non-fermentasi. Sementara L. rubellus memiliki berat yang lebih rendah. Sebaliknya pada R2.1, L. rubellus

dengan sampah fermentasi dan non-fermentasi menunjukkan berat yang lebih baik dari E. fetida dan kombinasinya. Pertumbuhan cacing tanah sangat bergantung pada ketersediaan dan kualitas bahan organik, serta kerapatan jumlah populasi cacing tanah. Cacing tanah yang mengkonsumsi bahan organik lebih banyak dapat tumbuh lebih cepat daripada cacing tanah yang mengkonsumsi sedikit bahan organik. Selain itu, kerapatan populasi cacing tanah dan ketersediaan pakan yang tidak mencukupi akan menurunkan laju pertumbuhan cacing tanah.

Kombinasi E. fetida dan L. rubellus menghasilkan kokon dengan jumlah terbanyak pada R1.2 pada bahan organik fermentasi. Spesies E. fetida

(6)

kokon E. fetida lebih rendah daripada L. rubellus. Jumlah juvenil yang dihasilkan

E. fetida lebih banyak daripada L. rubellus.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa struktur media mengalami perubahan bentuk dan berat. Media L. rubellus mengalami penurunan berat lebih cepat pada R1.2 dengan bahan organik non-fermentasi.

Kandungan kimiawi pada vermikompos E. fetida dan L. rubellus

menghasilkan bahwa rasio C/N vermikompos lebih rendah daripada substrat awal baik bahan organik fermentasi maupun non-fermentasi. Kandungan P pada vermikompos E. fetida dan L. rubellus menurun pada bahan organik fermentasi dan meningkat pada non-fermentasi. Kandungan K pada vermikompos E. fetida

dan L. rubellus meningkat dari substrat awal baik bahan organik fermentasi maupun non-fermentasi. Menurunnya rasio C/N pada vermikompos menunjukkan terjadi humifikasi dan stabilisasi bahan organik selama proses vermicomposting.

Peningkatan kandungan P dan K pada vermikompos menunjukkan adanya peningkatan mineralisasi unsur-unsur yang diakibatkan oleh aktivitas enzim dan mikrob dalam saluran pencernaan cacing tanah.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB,tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah,

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PERAN CACING TANAH

Eisenia fetida

DAN

Lumbricus

rubellus

DALAM MENGKONSUMSI SAMPAH ORGANIK

PUSPA ELIDAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magíster Sains pada

Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Tesis : Peran Cacing Tanah Eisenia fetida Dan Lumbricus rubellus Dalam Mengkonsumsi Sampah Organik.

Nama : Puspa Elidar NRP : G.352070131

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rika Raffiudin. M.Si Ir. Tri Heru Widarto. M.Sc

Ketua Anggota

Disetujui,

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro. M.S.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang berlimpah kepada penulis sehingga tesis yang berjudul ”Peran Cacing Tanah

Eisenia fetida Dan Lumbricus rubellus Dalam Mengkonsumsi Sampah Organik” telah dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Keberhasilan penulisan tesis ini tidak lepas dari masukan dan arahan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si dan Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc, selaku komisi pembimbing atas jerih arahan, bimbingan dan dorongan semangat selama proses awal hingga terselesaikannya tesis ini; Dr. Triadiati M.Si, selaku penguji luar komisi; Bapak Rudi, budidayawan cacing tanah; Hari Nugroho S.Si, selaku Staf Peneliti di di Laboratorium Entomologi Bidang Zoologi, Puslit Biologi – LIPI yang telah membantu penulis dalam mengidentifikasi cacing tanah; Staf Laboratorium Tanah SEAMEO BIOTROP Bogor atas bantuannya menganalisa kandungan kimiawi vermikompos; Bapak Nunuk, laboran Lab. Fisiologi Tumbuham; seluruh Staf Dosen Mayor Biosains hewan yang telah memberikan bekal ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik; seluruh staf laboratorium zoologi yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang berguna; Departemen Agama RI yang telah memberikan beasiswa pendidikan kepada penulis.

Disamping itu, ucapan terima kasih yang sangat dalam kepada suami tercinta Drs. Mufti Sudibyo, M.Si atas cinta kasih, kesabaran dan dorongan semangat, keluarga besar Almarhum H. A. Kadir Ahmadi atas doa dan perhatian, teman-teman satu Tim cacing tanah dan cacing laut: Budi, Ilyas, Sevi dan Sri terima kasih atas kerjasama, dukungan dan persahabatan kita selama ini, serta teman-teman mahasiswa BUD Depag RI Angkatan ke-2.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2009

(11)

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Tanjung Pura pada tanggal 15 Januari 1966 dari Almarhum Bapak H. A. Kadir Ahmadi dan Almarhummah Ibu Hj. Nurbainah. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara. Penulis telah menikah dengan Drs. Mufti Sudibyo M.Si pada tanggal 7 Januari 2005 dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki Rijalul Akhyar.

Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri Tanjung Pura dan melanjutkan ke Perg.Tinggi IAIN-SU Medan. Tahun 1994 lulus menjadi PNS dan menjadi guru Biologi di Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjung Pura sampai tahun 2005. Tahun 2002, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan strata S1 di Universitas Negeri Medan jurusan Pendidikan Biologi dengan dana beasiswa dari Dept. Agama RI. Tahun 2007, kembali penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan strata S2 di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Biologi Mayor Biosains Hewan dengan dana beasiswa dari Dept. Agama RI.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

(13)

PEMBAHASAN ... 38

Laju Konsumsi Bahan Organik Oleh Cacing Tanah ... 38

Pertumbuhan Cacing Tanah ... 40

Produktivitas Cacing Tanah ... 42

Perubahan Kondisi Media Selama Proses Vermikompos ... 43

SIMPULAN DAN SARAN ... 48

Simpulan ... 48

Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi bahan yang digunakan dalam percobaan

vermikomposting ...

16

2 Hasil analisis laju konsumsi, berat cacing tanah, dan jumlah kokon ...

24

3 Kandungan kimiawi vermikompos dari kedua spesies cacing tanah ...

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Cacing tanah Eisenia fetida (a) , Lumbricus rubellus (b) ... 4

2 Tahap-tahap reproduksi cacing tanah, mating (a), kokon (b), juvenil keluar dari kokon(c) ...

8

3 Pemeliharaan dan budi daya cacing tanah, sistem windrow (a) sistem bin(b) ……….

15

4 Wadah percobaan (a), bahan organik (b), bedding (c) …………. 15

5 pH media hidup pada R1.1, R1.2 dan R2.1 dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○) ...

20

6 Kelembaban (rH) media hidup pada R1.1, R1.2 dan R2.1 dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non

fermentasi (○) ...

21

7 Suhu media hidup pada R1.1, R1.2 dan R2.1 dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non- fermentasi (○) ..

22

8 Laju pertumbuhan E. fetida, L. rubellus dan kombinasinya pada R1.1, R1.2, R2.1 dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○) ...

28

9 Rata-rata jumlah kokon E. fetida, L. rubellus,dan kombinasinya pada R1.1, R1.2, R2.1 dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○) ...

30

10 Jumlah kokon total kokon tiap spesies dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○) ...

32

11 Jumlah kokon total dari wadah yang berisi kombinasi E. fetida

dan L. rubellus dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○) ...

33

12 Waktu rata-rata inkubasi kokon dari kedua spesies cacing tanah .. 34

(16)

14 Perubahan tekstur media kotoran sapi menjadi vermikompos: kombinasi kotoran sapi dan tanah (a), minggu pertama sampai minggu keenam (b-g), vermikompos yang telah diayak (h) ...

35

15 Penurunan berat basah media cacing tanah E. fetida, L. rubellus

dan kombinasinya pada R1.1, R1.2, R2.1 dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○) ...

36

(17)

LAMPIRAN

Halaman

1a

Data hasil pengukuran pH media setiap minggu ……… 57

1b Data hasil pengukuran kelembaban media setiap minggu ………. 57

1c Data hasil pengukuran suhu media setiap minggu ………. 57

2a Data hasil pengukuran berat cacing setiap minggu ……… 58

2b Data hasil pengukuran jumlah kokon setiap minggu ………. 58

2c Data hasil pengukuran penurunan berat media cacing setiap minggu ………

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sampah organik maupun anorganik dapat menimbulkan pencemaran

sehingga berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti bau yang tidak sedap,

berbagai penyakit kulit, dan mengganggu resapan air tanah yang dapat

mencemari sumur penduduk. Sampah dari tahun ke tahun selalu meningkat,

misaknya tahun 2005 di DKI Jakarta dihasilkan sampah sebanyak 6.000 ton/hari

(25.687 m3/hari) atau setara dengan 267 l/jiwa/hari dengan komposisi 65.05% merupakan bahan organik dan 34.95% non-organik (Sagala 2005).

Pengelolaan sampah organik dapat dilakukan dengan pengurangan sumber

(source reduction), penggunaan kembali (reuse), pemanfaatan ulang (recycling),

pengolahan (treatment), dan pembuangan (disposal) (Janagan 2003). Sampah

organik dapat dikelola melalui proses pengomposan dan ini merupakan salah satu

cara yang baik untuk mereduksi sampah rumah tangga.

Pengomposan adalah proses dekomposisi oksidatif-biologi dari penyusun

bahan-bahan organik dalam limbah (Sharma et al. 1997), yang menghasilkan

kompos kaya unsur hara (Bintoro 2008). Proses dekomposisi bahan organik

dapat dipercepat dengan adanya mikroba dalam lingkungan alami dengan kondisi

hangat, lembab, dan aerobik (Dominguez et al. 1997; Nair 2006).

Pengomposan sampah organik dapat dilakukan dengan cara langsung atau

dengan bantuan cacing tanah yang dikenal dengan istilah vermicomposting.

Kotoran sapi yang sudah matang digunakan sebagai starter dan cacing tanah

Lumbricidae digunakan sebagai dekomposer. Proses ini melibatkan kerjasama

cacing tanah dan mikroba (Ghosh 2004; Naddafi et al. 2004) yang berlangsung

pada suhu mesofilik (35−40 oC). Hasil akhir vermicomposting berupa vermikompos dan cacing tanah (Sharma et al. 2005). Stuktur vermikompos

lembut, warna coklat gelap, tidak berbau dan mudah terserap air (Ismail 1997).

Vermikompos juga memiliki stuktur, porositas, aerasi, drainase dan kapasitas

menahan kelembaban yang sangat baik (Dominguez et al. 1997) selain kaya

(19)

Cacing tanah berperan penting dalam menghancurkan bahan organik

sehingga dapat memperbaiki aerasi, drainase, dan struktur tanah. Akibatnya tanah

menjadi lebih subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi maksimum.

Selain itu cacing tanah juga dapat meningkatkan populasi mikroba yang

bermanfaat bagi tanaman (Subler et al. 1998).

Cacing tanah yang hidup sebagai epigeic (pada kedalaman 1-7cm) seperti

Eisenia fetida, E. eugeniae, Perionyx excavatus dan Lumbricus rubellus diketahui

sangat potensial untuk degradasi bahan organik (Gajalakshmi et al. 2002; Loh et

al. 2004). Cacing E. fetida sering dimanfaatkan dalam pembuatan vermikompos

karena spesies ini sangat toleran terhadap perubahan lingkungan (Edward 1988).

Satu gram cacing tanah mampu menghancurkan 4 gram lumpur pabrik tekstil

yang dicampur kotoran ternak dalam 5 hari, dengan asumsi bahwa 1 gram cacing

tanah dapat mengolah bahan organik sebanyak 0.8 gr/hari (Hartenstein dan

Hartenstein 1981). Cacing L. rubellus merupakan spesies cacing tanah lain

yang sangat aktif dalam mengkonsumsi bahan organik, dan bersifat epigeic.

Kombinasi antar keduanya dapat memberikan solusi mengatasi tumpukan bahan

organik untuk lebih cepat terdekomposisi.

Pemberian kotoran ternak dan ampas tebu meningkatkan reproduksi

cacing tanah, pada rasio kotoran ternak : ampas tebu adalah 1:1 dan 3:1 (Aquino

et al. 1994). Proses dekomposisi bahan organik dengan menggunakan E. fetida, E.

euginae dan P. excavatus serta penggabungan ketiga spesiesnya memberikan hasil

lebih baik dan maksimal (Rao 1997).

Hou et al. (2005) menggunakan spesies E. fetida untuk mengetahui

pertumbuhan dan kemampuan hidupnya pada bahan yang telah difermentasi

selama berturut-turut 6, 8, 12, 15, 18 hari. Berdasarkan hasil penelitia tersebut

disimpulkan bahwa cacing tanah mampu bertahan hidup pada pH 6.5–8.6.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji peran dua spesies cacing tanah

dalam mengolah bahan organik dengan mengukur: (1) laju konsumsi bahan

organik, (2) pertumbuhan cacing tanah (3) produktivitas cacing tanah, dan (4)

(20)

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan (1) dapat menanggulangi pengolahan

limbah rumah tangga melalui percepatan pengomposan dan peningkatan kualitas

kompos dengan proses vermicomposting, (2) memberikan informasi tentang cara

mengatasi limbah rumah tangga, (3) membuka peluang usaha baru pembuatan

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengenalan Cacing Tanah

Cacing tanah E. fetida dan L. rubellus termasuk ke dalam filum Annelida.

Kedua spesies cacing tanah ini banyak dijumpai di tempat yang lembab, dan hidup

dalam kotoran hewan (Hartenstein et al. 1979; Edwards et al. 1988; Gunadi et al.

2003). Cacing belang atau E. fetida, memiliki warna tubuh coklat tua dengan

belang kuning antar segmen (Gambar 1a). Bentuk tubuh bulat dengan panjang ±

32−130 mm dan segmen tubuhnya berjumlah ± 80−110 segmen (Edward & Lofty

1972). Cacing merah atau L. rubellus, memiliki warna merah kecoklatan atau

merah violet pada bagian dorsalnya sedang bagian ventralnya berwarna lebih

pucat (Gambar 1b). Bentuk tubuh agak pipih dengan panjang 25−105 mm, dan

segmen berjumlah 95−120 segmen (Edward & Lofty 1972). Disetiap segmennya

terdapat rambut yang keras, berukuran pendek dan jumlahnya sedikit, yang

disebut sebagai seta. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka kedua spesies

cacing ini dimasukkan ke dalam subkelas Oligochaeta (Brusca & Brusca 2003).

Edward dan Lofty (1972) menyatakan Oligochaeta terdiri dari 5 famili,

satu diantaranya adalah Lumbricidae dengan klasifikasi sebagai berikut:

Filum : Annelida

Kelas : Clitellata

Ordo : Oligochaeta

Famili : Lumbricidae

a b

Gambar 1 Cacing tanahE. fetida (a), L.rubellus (b).

(Sumber: Kinderzeichnungen 2005).

Famili Lumbricidae mencakup semua spesies cacing tanah, dengan tubuh

yang relatif besar, dan pemakan serasah. Lumbricidae memiliki seta yang kadang

(22)

segmen ke-15, sedangkan lubang betina (female pore) terdapat pada segmen

ke-14. Testes terdiri dari dua pasang, dan terdapat pada segmen 10 dan 11. Testes

tidak mempunyai prostata, tetapi kadangkala terdapat kelenjar berbentuk prostata,

dan spermatekanya sangat sederhana. Ovari terdapat pada segmen ke-13 bagian

posterior testes. Lambung sederhana dan berkembang baik, terdapat di depan

usus. Esophagus mengandung kelenjar kalsiferus yang berfungsi untuk

menetralisir media jika dalam kondisi asam. Klitelum berbentuk saddle , terdapat

di bagian posterior dari lubang jantan (Edward & Lofty 1972).

Distribusi geografi Lumbricidae

Lumbricidae dengan berbagai spesies banyak dijumpai di seluruh dunia.

Namun jarang sekali terdapat di gurun pasir, lahan yang tetap dilapisi salju, bukit

berbatu, dan kawasan miskin lapisan tanah dan vegetasi (Lee 1985). Cacing

tanah umumnya hidup di darat dan beberapa hidup di air tawar. Cacing tanah

hidup pada suhu sedikit panas sampai daerah lebih dingin di daerah Hemisphere

bagian Utara, Jepang, Siberia, Asia Tengah, Eropa, India Utara dan Pakistan,

Israel, Jordan, dan Amerika Utara. Namun beberapa spesies dapat tersebar luas

atau perigrin (kosmopolitan) dan beberapa bersifat endemik yaitu terdapat di

kawasan tertentu (Edward & Lofty 1972).

Wilayah distribusi Eisenia sp. terdapat di Siberia, Rusia bagian selatan,

Israel, Eropa dan Amerika Utara. Wilayah distribusi Lumbricus sp. terdapat di

Siberia, Eropa, Iceland, Amerika Utara, dan telah tersebar luas di dunia (Edward

& Lofty 1972). Hal ini berkaitan dengan pola distribusi yang meliputi tiga faktor

utama yaitu barrier geografi, distribusi alami dan distribusi oleh manusia

(Monroy et al. 2006).

Fisiologi Cacing Tanah

Sistem pencernaan

Sistem pencernaan cacing tanah berupa tabung lurus dengan spesialisasi

regional dari rongga mulut, faring, esofagus, tembolok, lambung, dan usus.

Rongga mulut berhubungan secara langsung dengan saluran pencernaan. Bahan

(23)

ditarik ke perut depan. Tembolok berupa esofagus yang membesar untuk

menyimpan makanan. Lambung mencerna pakan secara mekanis dengan bantuan

batuan kecil yang turut masuk bersama pakan. Kelenjar kalsiferus yang dihasilkan

oleh organ pencernaan berfungsi untuk menyerap kalsium dari bahan yang

dicerna. Kalsium berguna untuk menetralisir media jika kondisinya asam. Tiflosol

merupakan bagian dari usus yang berlipat-lipat, berguna untuk memperluas

permukaan usus. Lambung dan usus mensekret enzim-enzim seperti protease,

lipase, amilase, sellulase, dan kitinase (Hand 1988). Selain itu fungi, algae,

aktinomisetes, dan mikroba hidup pada usus cacing tanah. Sel kloragen adalah sel

berpigmen pada usus tengah yang berfungsi sebagai tempat metabolisme dan

berperan dalam ekskresi. Bahan organik atau substrat melewati saluran

pencernaan akan dicerna dan diserap, sedangkan bahan yang tidak dicerna akan

dibuang lewat anus (Edward & Lofty 1972). Lambung dan usus bekerja sebagai

bioreaktor dan hanya 5−10% komponen organik dicerna dan diserap tubuh

selanjutnya dikeluarkan berupa butiran yang dilapisi mukus disebut vermikompos

(Hand 1988).

Sistem ekskresi

Organ ekskresi cacing tanah terdiri atas sepasang metanefridia yang

terletak di seluruh segmen tubuh kecuali pada tiga segmen pertama dan terakhir.

Sistem ekskresi bersifat sebagai penyaring yang menggerakkan sisa atau sampah

dan mengembalikan substansi yang berguna ke sistem sirkulasi (Edward & Lofty

1972).

Metanefridia cacing tersusun atas preseptal nefrostom, postsegmental

nefridioduct dan nefridiofor. Nefrostom bersilia bermuara di rongga tubuh

(pseudoselom) dan berlanjut pada saluran berliku-liku (nefridioduct). Bagian akhir

dari nefridioduct akan membesar seperti gelembung. Gelembung ini akan

bermuara ke bagian luar tubuh melalui pori yang merupakan lubang nefridiofor.

Ujung nefridiofor berbentuk bulbus berfungsi untuk mendorong sisa atau sampah

keluar tubuh (Edward & Lofty 1972).

Cairan atau larutan yang diserap pada proses ekskresi berupa sisa atau

(24)

Cl-). Cairan tubuh akan ditarik ke nefrostom dan masuk ke nefridium oleh gerakan silia dan otot. Saat cairan tubuh mengalir melalui nefridioduct, bahan-bahan yang

berguna seperti air, protein dan ion akan diambil oleh sel-sel tertentu dari tabung.

Bahan-bahan ini akan menembus kapiler dan disirkulasikan kembali. Sedangkan

sampah nitrogen dan sedikit air yang tersisa dalam nefridium akan diekskresikan

keluar melalui nefridiofor (Edward & Lofty 1972).

Sistem reproduksi dan perkembangan

Cacing tanah bersifat hermaprodit atau biseksual, artinya pada setiap tubuh

cacing tanah terdapat alat kelamin jantan dan betina sekaligus (unisex). Namun,

dalam proses kawin (mating) cacing tanah akan berpasangan dengan cacing lain,

dan saling mentransferkan spermanya.

Klitelum adalah bagian dari tubuh yang menebal dan warnanya lebih

terang merupakan ciri cacing yang telah dewasa, fungsinya sebagai produksi

kokon. Struktur klitelum E. fetida terletak pada segmen 24, 25, dan 26−32,

sedangkan klitelum L. rubellus terletak pada segmen 26, 27−32. Klitelum

menghasilkan tiga tipe kelenjar, yaitu: kelenjar penghasil mukus (untuk

kopulasi), kelenjar pembentuk kokon, dan kelenjar penghasil albumin (dalam

kokon) (Edward & Lofty 1972). Klitelum pada cacing tanah berkembang berusia

± 2−3 bulan (Garg et al. 2005), dan semakin meningkat perkembangannya pada

kelembaban 64% (Reinecke & Venter 1987).

Sistem reproduksi jantan terdiri dari 1−2 pasang testis pada segmen ke

10−11. Sperma yang diproduksi dilepaskan ke rongga selom hingga dewasa.

Selanjutnya, sperma dewasa masuk ke vesikula seminalis hingga matang.

Kemudian melalui corong bersilia, sperma yang matang dibawa menuju gonofor

jantan.

Pada sistem reproduksi betina, terdiri dari sepasang ovarium di bagian

posterior sistem reproduksi jantan (segmen ke 12). Sel telur diproduksi di ovarium

dilepas ke rongga selom, dan disimpan hingga matang pada kantung dinding septa

(ovisac). Melalui corong bersilia, sel telur dibawa menuju gonofor betina (Edward

(25)

Cacing tanah melakukan perkawinan (mating) pada posisi yang

berlawanan bagian anterior (Gambar 2a). Proses perkawinan dapat berlangsung

selama beberapa jam, dan dari klitelum dikeluarkan lendir yang berguna untuk

melindung sel-sel sperma. Pada saat terjadinya kopulasi, kedua cacing tanah tidak

sensitif dalam merespon rangsangan luar seperti sentuhan dan cahaya (Edwards &

Lofty 1972). Setelah cacing berpisah, klitelum akan membentuk selubung kokon

dan bergerak ke arah anterior. Selubung kokon akan bertemu sel telur (keluar dari

gonofor) dan sperma (keluar dari spermateka). Fertilisasi terjadi di dalam

selubung kokon, dan terbentuk zigot yang terselubung di dalam kokon (Gambar

2b). Kokon yang berisi sel telur ini akan bergerak kearah anterior tubuh cacing

berkembang mulai dari telur yang tersimpan dalam kokon. Kokon akan menetas

sekitar 14−21 hari dan menghasilkan juvenil (Gambar 2c) (Edward & Lofty 1972)

a b c

Gambar 2 Tahap-tahap reproduksi cacing tanah, mating (a) (modifikasi dari Tembe dan Dubash 1963), kokon E. fetida (b), juvenil keluar dari kokon E. fetida (c).

Sistem saraf

Sistem saraf utama pada cacing tanah terdiri atas sebuah ganglion serebral

dorsal, sepasang konektif atau penghubung sirkumenterik dan satu buah atau lebih

tali saraf longitudinal. Ganglion serebral dorsal mensuplai saraf bagian anterior

tubuh dan saraf prostomial. Pergerakan tubuh cacing tanah diatur oleh ganglion

subenterik. Sedangkan konektif sirkumenterik dan tali saraf longitudinal cacing

tanah mengontrol saraf sensoris dan motoris keseluruh dinding tubuh serta organ

di setiap segmen.

Cacing tanah mempunyai prostomium yang terletak di bagian segmen

(26)

Pada cacing tanah ditemukan dua tipe organ sensoris, yaitu fotoreseptor dan

organ perasa epitelia yang berfungsi sebagai kemoreseptor (Edward & Lofty

1972). Kemoreseptor dapat mendeteksi bahan makanan, dan memberi informasi

tentang kondisi lingkungan. Disamping itu, kemoreseptor juga berperan dalam

proses perkawinan dengan mendeteksi getah mukus yang dihasilkan oleh cacing

tanah yang lain (Smith 1902).

Cacing tanah sangat respon terhadap rangsangan cahaya, terutama pada

cahaya yang tiba-tiba terpapar setelah berdiam lama dalam kondisi gelap

(Laverack 1963). Lumbricidae bersifat fotopositif terhadap cahaya yang lemah,

dan bersifat fotonegatif pada cahaya yang kuat (Hess 1924).

Ekologi dan pola pencarian pakan cacing tanah.

Cacing tanah dapat hidup hampir pada semua jenis tanah. Tanah sebagai

media hidup cacing harus mengandung bahan organik dalam jumlah yang besar.

Bahan-bahan organik tanah dapat berasal dari serasah (daun yang gugur), kotoran

ternak atau tanaman dan hewan yang mati. Cacing tanah menyukai bahan-bahan

yang mudah membusuk karena lebih mudah dicerna oleh tubuhnya.

Cacing tanah berdasarkan tempat hidupnya dan ketersediaan pakannya

dikelompokkan sebagai berikut:

1. Epigeic, spesies cacing tanah yang hidup dan mencari serasah di lapisan

atas tanah. Cacing tanah epigeic memiliki tubuh kecil (1−7 cm), dan

sangat sensitif terhadap perubahan cahaya, contohnya E. fetida

(Hartenstein et al. 1979; Sherman 2003) , L. rubellus dan E. euginiae

(Kale & Bano 1988).

2. Endogeic, spesies cacing tanah yang mempunyai daerah pakan luas,

membuat liang secara horizontal dengan kedalaman ± 50 cm dan sangat

baik untuk aerasi (Sherman 2003). Cacing tanah ini memiliki ukuran

panjang tubuh 2−12 cm sebagai contoh Aporrectodea calignosa.

3. Anecic, cacing tanah yang hidup memakan organik debris dan

mengubahnya menjadi humus. Cara hidupnya dengan mengambil serasah

(27)

kedalaman mencapai 2 m. Spesies cacing tanah yang hidup di lokasi ini

memiliki ukuran tubuh yang besar (8−15 cm) contoh L. terrestris.

Cacing Tanah Sebagai Dekomposer

Cacing tanah berperan penting dalam perombakan bahan-bahan organik.

Dekomposisi bahan organik merupakan suatu proses biokimia dan fisik yang

melibatkan berbagai kelompok mikroba dan makroorganisme lainnya seperti

cacing tanah. Proses perombakan bahan organik dapat dilakukan oleh bakteri,

fungi, aktinomisetes, protozoa, dan cacing tanah. Keberadaan cacing tanah dapat

meningkatkan populasi mikroba yang bermanfaat bagi tanaman. Selain itu cacing

tanah juga dapat mendekomposisi sampah organik menjadi humus (Sharma et al.

2005).

Proses perombakan bahan organik dapat berlangsung secara aerobik dan

menghasilkan kompos secara cepat, sedangkan anaerobik membutuhkan waktu

dekomposisi yang lebih lama dan menimbulkan masalah bau (Obeng & Wright

1987). Proses perombakan bahan organik secara aerob merupakan proses

dekomposisi yang berlangsung dengan bantuan oksigen. Hasil akhir dekomposisi

adalah CO2, air, unsur hara, senyawa-senyawa sederhana dan energi (Gaur 1981).

Selama proses dekomposisi bahan organik mikroba berperan

mendegradasi secara biokimia bahan organik ke bentuk yang lebih sederhana dan

mudah diserap tumbuhan seperti nitrogen, kalium, dan fosfor (Ndegwa et al.

2001). Cacing tanah secara fisik dan biokimia menguraikan bahan organik ke

dalam bentuk partikel tanah (Sharma et al. 2005).

Cacing tanah menguraikan bahan organik melalui proses

vermicomposting. Cacing tanah dan mikroba akan bersimbiosis untuk

mempercepat proses dekomposisi bahan organik (Ronald et al. 1977).

Vermicomposting merupakan suatu proses perubahan bahan organik menjadi

komponen yang berguna dengan melibatkan kerja sama cacing tanah dan mikroba

(Edward et al. 1988; Dominguez et al. 1997; Aire et al. 2002; Naddafi et al.

2004). Proses ini berlangsung pada rentang suhu mesofilik (35−40 oC). Hasil akhir proses ini menghasilkan vermikompos dan biomasa cacing tanah itu sendiri

(28)

warna coklat gelap, tidak berbau dan mudah terserap air (Ismail 1997), memiliki

porositas, aerasi, drainase dan kapasitas menahan kelembaban yang sangat baik

(Dominguez et al. 1997), juga kaya dengan keragaman mikroba (Subler et al.

1998).

Cacing tanah dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang optimal untuk

pertumbuhan dan perkembangannya. Beberapa faktor tersebut antara lain: suhu,

kelembaban, pH, dan rasio C/N.

Suhu media hidup cacing tanah sangat mempengaruhi periode

pertumbuhan mulai dari penetasan sampai dewasa kelamin. Menurut Selden et al.

(2005) suhu media sebaiknya dijaga pada kisaran 21−27 oC. Cacing tanah hidup pada kisaran suhu 20−30 oC (Khwairakpam et al. 2005). Spesies E. fetida

merupakan cacing tanah yang sangat peka terhadap suhu lingkungan hidupnya.

Jenis cacing ini akan mengalami perkembangan yang baik pada suhu optimum 25

o

C (Venter & Reinecke 1988; Gunadi et al. 2003).

Kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan daya reproduksi cacing

tanah. Kelembaban yang ideal antara 60−90% (Haukka 1987), dan pada 70−80%

(Khwairakpam et al. 2005). Kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan

cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati.

Cacing tanah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah yang

sedikit asam sampai netral. Kemasaman tanah pada pH 6.0−7.2 merupakan pH

optimum bagi aktivitas cacing (Gaddie & Douglas 1975). Spesies E. fetida hidup

baik pada media dengan pH 6.5–8.6 (Hou et al. 2005). Tanah yang pH-nya asam

dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembang biak cacing tanah serta

kurang mendukung percepatan proses pembusukan bahan-bahan organik. Dengan

demikian tanah yang asam dan ditambah dengan kapur dapat menaikkan pH

tanah. Penambahan kapur sebanyak 0.3% dari berat campuran media akan

menaikkan pH antara 0.14−0.30 (Waluyo 1993)

Kualitas pakan tidak hanya mempengaruhi jumlah populasi cacing tanah

tapi pertumbuhan dan reproduksinya (Aira et al. 2006). Cacing tanah lebih

memilih bahan organik dengan rasio C/N yang rendah sebagai pakannya, dan ini

(29)

(2005) menyatakan bahwa laju dekomposisi optimum pada rasio C/N substrat 20

pada suhu 20 oC pada bahan organik yang telah difermentasi selama 18 hari.

Vermikompos mengandung banyak zat hara yang berguna untuk

meningkatkan kesuburan tanah. Vermikompos dapat memperbaiki struktur tanah

dan membantu menahan kelembaban dan mineral sehingga tidak hanyut tercuci

air. Pada tanah berpasir atau liat, vermikompos meningkatkan porositas yang

memungkinkan akar tanaman dengan mudah menembus tanah dan

memungkinkan air permukaan mengalir di antara partikel-partikel tanah.

Vermikompos dapat menyuburkan halaman, kebun, taman, dan lahan pertanian.

Vermikompos dapat juga digunakan untuk lapisan penutup (mulching), seperti

disekeliling pepohonan atau tanaman berbunga. menyatakan Vermikompos dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman, diameter stem, pertumbuhan akar, dan

jumlah bunga (Hidalgo et al. 2006). Selain itu vermikompos juga mengandung

(30)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan April 2009.

Penelitian ini terdiri atas dua tahapan. Tahap pertama adalah tahap pemeliharaan,

budi daya cacing tanah. Tahap kedua studi pendahuluan, pengamatan dan

pengambilan sampel yang dilaksanakan di Laboratorium Bagian Fungsi Hayati

dan Prilaku Hewan, Departemen Biologi, FMIPA Institut Pertanian Bogor.

Sedang analisa vermikompos dilakukan di Laboratorium Tanah dan Tanaman

SEAMEO BIOTROP, Bogor.

Pemeliharaan dan Budi Daya Cacing Tanah.

Penelitian ini menggunakan dua spesies cacing tanah dewasa E. fetida

dan L. rubellus yang ditandai dengan adanya klitellum (Gambar 1). Kedua

spesies cacing ini diperoleh dari bapak Rudi Rochmat pembudi daya cacing tanah

“Kelompok Cacing Tanah Mandiri” desa Warna Sari Kec. Pengalengan Kab.

Bandung. Identifikasi spesies cacing tanah dilakukan di Laboratorium

Entomologi, Bidang Zoologi Puslit Biologi – LIPI, Cibinong. Kemudian kedua

spesies ini dibudidayakan sampai menjelang penelitian dengan sistem windrow,

yaitu sistem budidaya cacing tanah dalam barisan yang disusun secara sejajar

(Gambar 3a), dan sistem bin, yaitu sistem budidaya cacing tanah dengan

menggunakan wadah (Gambar 3b). Media hidup cacing tanah digunakan kotoran

sapi yang diperoleh dari kandang Fakultas Peternakan IPB. Sebelum digunakan,

media dikeringanginkan selama ± 10−12 hari bertujuan untuk menguapkan gas

beracun dan memudahkan pencampuran dengan tanah. Tanah diambil dari

kedalaman 50−100 cm dengan maksud agar yang terambil adalah tanah (bukan

campuran dengan bahan organik lainnya). Tanah dikeringkan selama ± 10 hari

dan diayak untuk memisahkannya dari batuan kerikil, selanjutnya tanah

(31)

Pelaksanaan Penelitian dan Pengumpulan Data

Proses pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data meliputi analisa awal

tanah, kotoran sapi dan bahan organik, persiapan wadah percobaan, media hidup

dan cacing tanah, pemeliharaan dan pengukuran parameter penelitian.

Tahap akhir dilakukan analisa komposisi kotoran sapi, tanah dan bahan

organik. Analisa ketiga bahan tersebut meliputi: derajat keasaman (pH),

C-organik (%), N total (%), kadar P (mg/100 g), dan kadar K (mg/100 g).

Kotak atau wadah plastik (sebagai wadah percobaan) berukuran 40 cm x

30 cm x 15 cm sebanyak 54 kotak dilubangi bagian dasarnya sebanyak 9−12

lubang dan ditutupi dengan kain kasa plastik (Gambar 4a). Pemberian lubang

pada wadah tersebut berfungsi sebagai aerasi dan untuk mengalirkan kelebihan air

pada media.

Media berupa kotoran sapi sebagai starter ditimbang masing-masing 300

g dan 200 g tanah dengan timbangan digital AEADAM QBW-1500 berskala 1500

g dicampur secara homogen dan diletakkan pada tiap dasar wadah. Media yang

digunakan dalam kondisi pH 6.8, kelembaban (rH) 60%, dan temperatur 24 oC. Untuk mendapatkan kelembaban tersebut diinginkan dilakukan dengan

menambahkan air. Percampuran kotoran sapi dan tanah dilakukan satu hari

sebelum cacing tanah dimasukkan pada media.

Bahan organik berupa sayuran kol atau kubis (Brassica oleracea), sawi (B.

junco), tomat (Solanum lycopersicum) dan wortel (Dancus carota) diperoleh dari

warung-warung sepanjang jalan Babakan Raya Dramaga, Bogor (Gambar 4b)

digunakan sebagai pakan cacing tanah. Bahan organik tersebut dicacah kasar ±

2−3 cm dan diperlakukan pada dua kondisi yaitu fermentasi (F) dengan anaerob

dalam kantung plastik selama tujuh hari dan non-fermentasi (NF). Bahan organik

fermentasi (pH = 5.3) diperoleh dari ekstrak bahan organik ditambahkan aquadest

dan diukur dengan pH meter. Bahan ditimbang dengan timbangan digital ADAM

PGW-4531 berskala 0.001 g untuk persediaan bahan selama enam hari

berturut-turut sebanyak 60, 120, dan 60 g dan ditumpukkan pada media. Untuk menjaga

kelembaban media dan mengurangi penguapan maka digunakan bedding dari

jerami yang dicacah kasar ± 7−10 cm dan telah direndam dengan air (Gambar

(32)

dimasukkan pada rasio cacing tanah : bahan organik (1:1, 1:2, dan 2:1). Media

biak yang telah berisi cacing tanah ditutupi dengan bedding dari jerami yang

dibatasi dengan kain kasa ukuran 30 cm x 30 cm.

Cacing tanah dimasukkan pada media dan setiap tujuh hari dilakukan

pengukuran pH, rH dan perubahan suhu selama 42 hari. Bedding disemprot

dengan air supaya selalu dalam keadaan lembab tiap tiga hari sekali, kemudian

diamati kondisi tekstur media. Apabila ditemukan media terlalu padat maka

dilakukan pembalikan, agar aerasi berlangsung dengan baik.

a b

Gambar 3 Pemeliharaan dan budi daya cacing tanah, sistem windrow (a), sistem bin (b).

a b c

Gambar 4 Wadah percobaan (a), bahan organik (b), bedding (c).

(33)

Tabel 1 Komposisi bahan yang digunakan dalam percobaan vermicomposting (kotoran sapi 300 g, tanah 200 g)

No Perlakuan

Pengukuran parameter penelitian dilakukan setiap tujuh hari meliputi:

Laju konsumsi bahan organik

Pemberian bahan organik pada cacing tanah berlaku setiap tujuh hari.

Perhitungan bahan dilakukan setiap hari dengan cara mengambilnya dari wadah

dengan pinset, menimbang dan mengembalikannya kembali ke dalam wadah.

Untuk perhitungan laju konsumsi diperoleh persentase penguraian mutlak perhari

(Boonruang 1984) dengan menggunakan rumus:

Y = ( )x100%

BK = berat akhir penimbangan (g)

Pertumbuhan cacing tanah

Setiap tujuh hari dilakukan penimbangan bobot cacing tanah. Cacing tanah

dipisahkan dari media dengan metode hand-sorting yaitu memisahkan secara

manual lalu ditimbang dengan timbangan digital ADAM PGW-4531 berskala

(34)

Produktivitas cacing tanah

Produksi cacing tanah merupakan penjumlahan kokon yang dihasilkan

dalam tujuh hari. Kokon yang dihasilkan dari dua spesies cacing tanah dipisahkan

dan ditempatkan pada wadah lain hingga menetas. Masa inkubasi kokon dan

jumlah juvenil per kokon diketahui dengan menetaskan enam butir kokon dari

tiap spesies cacing tanah pada wadah lain, dan dihitung jumlah juvenil yang

keluar.

Perubahan kondisi media selama proses vermikompos.

Perubahan struktur media dapat ditunjukkan dengan mengambil sampel

media dari awal (masih berupa kotoran sapi dan tanah) sampai terbentuk

vermikompos setiap tujuh hari. Penurunan bobot media ditimbang setiap tujuh

hari dengan menggunakan timbangan digital AEADAM QBW-1500 berskala 1500

g.

Cacing tanah dipisahkan dari vermikompos setelah 42 hari pengamatan.

Pemisahan cacing tanah dapat dilakukan dengan membuat lapar cacing tanah

selama ± 5−7 hari. Selanjutnya ditambahkan bahan segar pada media supaya

cacing tanah pindah dan berkumpul pada bahan segar dan vermikompos dapat di

panen (Bogdanov 1996). Vermikompos dipanen dan dilakukan analisa

kandungan kimia yaitu rasio C/N, kandungan P, dan K. Kandungan C organik

dianalisa dengan metode Walkey & Black, N total dengan metode Kjeldahl, P

dengan spektrofotometri dan K dengan Flamefotometri. Analisa kandungan kimia

dilakukan di Laboratorium Tanah dan Tanaman SEAMEO BIOTROP, Bogor.

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pola faktorial (3 x 3 x 2) masing-masing

sebanyak tiga kali ulangan. Faktor pertama (A) adalah tiga tingkat perlakuan pada

dua jenis cacing (E, L, E+L). Faktor kedua (B) rasio berat cacing : bahan (1:1, 1:2,

2:1), dan faktor ketiga (C) dua jenis bahan organik yang difermentasi dan non-

fermentasi. Dengan demikian total percobaan adalah 54 unit percobaan.

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam atau analysis of

(35)

maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata

(36)

HASIL

Nilai pH, rH, dan Suhu Media Hidup Cacing Tanah

Hasil pengamatan yang dilakukan setiap tujuh hari selama 42 hari

menunjukkan bahwa pada perlakuan R1.1 dan R1.2 cenderung pH media hidup

menurun pada minggu pertama baik pada bahan organik fermentasi maupun

non-fermentasi. Selanjutnya pH media hidup meningkat dan mengalami fluktuasi

antara 6.3−6.8 . Keasaman media hidup pada R2.1 lebih stabil dan hanya pada

minggu pertama dan minggu keempat cenderung menurun, selanjutnya pH

meningkat (pH = 6.8) (Gambar 5, Lampiran 1a).

Kelembaban (rH) media hidup pada bahan organik fermentasi dan

non-fermentasi adalah 20−90% (Lampiran 1b). Pada R1.1, kelembaban media sedikit

meningkat dari minggu pertama sampai minggu ketiga, selanjutnya mengalami

penurunan. Pada R1.2, kelembaban media cenderung naik pada minggu pertama,

selanjutnya menurun sampai akhir pengamatan. Berbeda dengan R2.1,

kelembaban media menurun tajam pada minggu pertama dan selanjutnya

berfluktuasi meningkat naik hingga minggu keenam (Gambar 6).

Suhu media hidup cacing pada bahan organik fermentasi dan

non-fermentasi adalah 22−29 oC (Lampiran 1c). Pada R1.1 dan R1.2 mengalami penurunan pada minggu pertama baik pada bahan organik fermentasi dan

(37)
(38)

R1.1

(39)
(40)

Laju Konsumsi Bahan Organik Oleh Cacing Tanah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laju konsumsi pada R2.1 lebih

cepat daripada R1.1 dan R1.2 pada semua spesies dan kombinasinya baik bahan

organik fermentasi maupun non-fermentasi. Laju konsumsi paling baik

ditunjukkan oleh kombinasi E. fetida dan L. rubellus pada R2.1 dengan

mengkonsumsi bahan organik fermentasi rata-rata ± 23.1% /minggu, dan bahan

organik non-fermentasi ± 19.95% /minggu. Sementara laju konsumsi terendah

ditunjukkan oleh L. rubellus pada R1.2 dengan mengkonsumsi bahan organik

fermentasi rata ± 17.06% /minggu, dan bahan organik non-fermentasi

rata-rata ± 15.53% / minggu (Tabel 2).

Terdapat interaksi antara spesies cacing tanah, rasio cacing tanah dan

pakan serta jenis pakan (P<0.05). Analisa lanjutan menunjukkan bahwa pada

minggu pertama laju konsumsi bahan organik E. fetida lebih baik daripada L.

rubellus dan kombinasi E. fetida dan L. rubellus pada R2.1. Konsumsi bahan

organik fermentasi pada kombinasi E. fetida dan L. rubellus tidak berbeda nyata

dengan konsumsi bahan organik fermentasi E. fetida pada R2.1 minggu kedua dan

kelima (P = 0.000), namun laju konsumsi bahan organik fermentasi kombinasi E.

fetida dan L. rubellus lebih baik. Selanjutnya berdasarkan rasio cacing tanah dan

(41)

Tabel 2 Hasil analisis laju konsumsi, berat cacing tanah, dan jumlah kokon

E. fetida

Parameter nilai P R1.1 R1.2 R2.1

F NF F NF F NF 1. Laju M1=0.00 20.00±0.00ab 15.95±0.16c 23.48±0.81a 14.52±0.18c 25.00±0.00a 25.00±0.00a

konsumsi M2=0.00 20.00±0.00ab 20.00±0.00ab 24.32±0.55a 18.87±1.46b 25.00±0.00a 20.00±0.00ab

M3=0.00 19.15±0.51ab 20.00±0.00ab 16.67±0.00bc 16.42±0.44bc 20.00±0.00ab 16.67±0.00bc

M4=0.00 19.15±0.51ab 20.00±0.00ab 16.67±0.00bc 16.42±0.44bc 20.00±0.00ab 15.70±0.57c

M5=0.00 20.00±0.00ab 20.00±0.00ab 17.10±1.03bc 18.37±1.07b 25.00±0.00a 18.48±0.62b

M6=0.00 19.15±0.51ab 20.00±0.00ab 16.57±0.18bc 16.42±0.44bc 20.00±0.00ab 16.0±1.12bc

2. Berat M1=0.00 18.60±1.48b 18.53±0.47b 21.03±1.00a 15.10±0.44c 22.45±1.81a 25.20±1.11a

cacing M2=0.93 22.57±1.26a 22.17±0.42a 24.67±0.74a 27.13±0.40a 19.98±1.92ab 26.39±0.55a

M3=0.04 19.18±2.62ab 19.76±1.01ab 22.30±1.23a 25.81±0.47a 18.91±1.26b 21.71±2.22a

M4=0.42 17.39±1.64bc 16.37±2.29bc 21.83±1.87a 23.96±1.35a 17.04±1.51bc 21.63±0.33a

M5=0.23 16.31±2.44bc 13.34±2.93c 20.68±0.57ab 21.44±2.26a 12.80±1.24c 17.97±1.94bc

M6=0.27 15.09±1.37c 12.87±2.34c 19.91±0.30ab 20.55±1.69ab 10.81±0.37c 16.16±2.31bc

3. Jumlah M1=0.63 1.67±1.53c 2.00±1.73c 0.00±0.00c 0.00±0.00c 3.00±1.73c 12.33±2.52c

kokon M2=0.64 4.33±2.08c 14.33±6.35c 16.00±10.15bc 2.33±2.08c 19.33±9.7ab 37.67±12.74a

M3=0.06 38.67±17.04a 42.00±6.25a 50.67±14.47a 10.00±3.00c 26.33±12.50a 52.00±13.86a

M4=0.72 48.33±12.06a 36.33±11.24a 71.00±9.54a 23.67±12.06a 11.33±7.57c 21.33±9.87a

M5=0.01 30.00±12.17a 15.33±10.26c 70.00±18.68a 38.00±9.85a 5.33±1.53c 3.00±3.61c

M6=0.45 14.00±11.79c 4.00±2.65c 70.00±18.69a 32.33±19.76a 1.67±1.53c 2.33±2.08c

(42)

Table 2 (lanjutan)

L. rubellus

Parameter nilai P R1.1 R1.2 R2.1

F NF F NF F NF

1. Laju m1=0.00 18.97±0.35b 15.47±0.41c 16.02±1.17bc 15.20±0.51c 25.00±0.00a 25.00±0.00a

konsumsi m2=0.00 17.95±1.77bc 19.10±1.53ab 19.66±0.21ab 16.63±1.36bc 25.00±0.00a 25.00±0.00a

m3=0.00 16.44±0.21bc 16.44±0.39bc 16.67±0.00bc 15.15±0.62c 25.00±0.00a 16.67±0.00bc

m4=0.00 16.44±0.21bc 16.36±0.54bc 16.19±0.42bc 15.15±0.62c 20.00±0.00ab 16.67±0.00bc

m5=0.00 17.12±0.67bc 17.29±1.50bc 17.44±1.30bc 15.85±0.89c 20.00±0.00ab 19.50±0.86ab

m6=0.00 16.44±0.21bc 16.36±0.54bc 16.19±0.42bc 15.15±0.62c 19.72±0.49ab 16.67±0.00bc

2. Berat m1=0.00 16.33±0.64bc 15.73±1.29c 20.07±2.40ab 17.57±1.85bc 27.20±1.16a 25.36±0.63a

cacing m2=0.93 17.80±0.26bc 17.77±0.31bc 20.93±2.84ab 18.57±0.32b 25.53±3.37a 25.97±1.04a

m3=0.04 14.54±1.51c 15.02±0.47c 18.07±1.49b 15.70±3.11c 20.77±3.06ab 24.93±0.29a

m4=0.42 12.93±1.85c 12.07±0.77c 16.16±1.66bc 14.67±4.01c 18.59±2.19b 20.99±1.44ab

m5=0.23 11.50±1.41c 10.46±0.48c 16.14±1.88bc 13.72±3.44c 16.12±0.80bc 17.71±1.96bc

m6=0.27 10.72±1.33c 8.61±0.88c 14.93±0.19c 12.75±2.56c 14.67±1.16c 15.95±2.39c

3. Jumlah m1=0.63 12.67±0.58c 9.33±3.06c 5.67±1.53c 5.67±4.93c 3.33±1.53c 0.33±0.58c

kokon m2=0.64 33.00±5.50a 31.33±5.51a 34.6±9.07a 7.33±4.04c 20.67±9.45ab 15.67±1.15c

m3=0,06 59.33±12.50a 44.33±2.31a 43.67±17.62a 8.67±5.13c 32.33±2.31a 16.00±7.81bc

m4=0.72 51.67±7.57a 35.00±19.05a 51.00±23.81a 15.00±8.54c 8.00±3.61c 13.00±13.00c

m5=0.01 20.00±12.77ab 18.33±6.66b 36.33±4.04a 33.67±12.22a 9.33±4.16c 2.00±2.00c

m6=0.45 11.00±8.72c 6.67±5.51c 27.00±16.37a 15.67±9.07c 2.33±2.08c 2.00±2.00c

(43)

Table 2 (lanjutan)

E. fetida dan L. rubellus

Parameter nilai P R1.1 R1.2 R2.1 Uji Duncan, α<0.05

F NF F NF F NF

1. Laju m1=0.00 20.00±0.00ab 15.44±0.42c 16.86±1.32bc 16.05±0.59bc 25.00±0.00a 25.00±0.00a E>EL>L ; R2.1>R1.1>R1.2 konsumsi m2=0.00 25.00±0.00a 19.74±0.45ab 16.36±0.39bc 19.39±0.92ab 25.00±0.00a 25.00±0.00a EL=E>L ; R2.1>R1.1>R1.2 m3=0.00 20.00±0.00ab 16.67±0.00bc 16.22±0.62bc 16.55±0.21bc 20.00±0.00ab 16.67±0.00bc E>L=EL ; R2.1>R1.1>R1.2 m4=0.00 20.00±0.00ab 16.67±0.00bc 16.13±0.54bc 16.55±0.21bc 20.00±0.00ab 16.67±0.00bc E>EL>L ; R2.1>R1.1>R1.2 m5=0.00 20.00±0.00ab 18.74±0.45b 16.86±1.32bc 18.87±0.57b 25.00±0.00a 19.69±0.27ab EL=E>L ; R2.1>R1.1>R1.2 m6=0.00 23.83±1.25a 16.67±0.00bc 16.38±0.39bc 16.55±0.21bc 23.75±0.50a 16.67±0.00bc EL>E>L ; R2.1>R1.1>R1.2

2. Berat m1=0.00 22.43±0.93a 20.57±1.12ab 15.63±0.25c 22.67±1.30a 22.82±0.56a 23.00±2.53a EL=L>E ; R2.1>R1.1>R1.2 cacing m2=0.93 25.17±0.72a 24.73±1.55a 25.60±0.82a 24.20±2.05a 22.81±1.6a 23.49±2.14a EL=E>L ; R2.1>R1.2>R1.1 m3=0.04 19.79±0.47ab 22.00±0.69a 23.99±0.83a 21.59±1.98a 19,82±1.23ab 21.75±2.42a EL=E>L ; R2.1=R1.2>R1.1

m4=0.42 17.95±1.96bc 17.70±3.27bc 24.15±1.29a 20.80±3.28ab 18.02±1.45b 18.45±1.08b E=EL>L ; R1.2>R2.1>R1.1 m5=0.23 16.93±1.86bc 15.56±2.53c 21.85±0.89a 17.68±2.79bc 15.86±1.53c 16.73±1.16bc EL=E>L ; R1.2>R2.1>R1.1 m6=0.27 13.45±1.37c 13.23±4.29c 20.28±1.17ab 16.65±2.61bc 14.47±1.71c 15.85±0.95c E=EL>L ; R1.2>R2.1>R1.1

3. Jumlah m1=0.63 0.00±0.00c 4.00±6.93c 5.67±2.52c 7.00±1.00c 3.67±1.15c 5.00±7.00c L=EL>E ; R1.1>R2.1>R1.2 kokon m2=0.64 6.33±6.61c 9.33±5.69c 19.00±5.29ab 8.67±4.04c 20.67±5.03ab 27.67±12.34a L>E=EL ; R2.1>R1.1>R1.2 m3=0.06 44.67±10.97a 39.00±10.82a 39.00±13.00a 23.33±10.69a 17.6±8.62bc 22.00±5.29a E=L=EL ; R1.1>R1.2=R2.1 m4=0.72 45.00±7.21a 42.67±15.28a 49.33±6.51a 24.00±4.58a 4.00±4.00c 12.00±4.00c E=EL=L ; R1.1=R1.2>R2.1 m5=0.01 28.00±4.36a 9.00±6.56c 86.67±12.50a 31.33±10.50a 5.33±2.89c 4.33±2.09c EL=E>L ; R1.2>R1.1>R2.1 m6=0.45 7.00±1.73c 3.00±1.73c 73.33±27.23a 26.33±2.52a 2.67±2.31c 3.33±3.52c EL=E=L ; R1.2>R1.1=R2.1

(44)

Pertumbuhan Cacing Tanah

Selama percobaan tidak ditemukan adanya cacing tanah yang mati. Pada

R1.1 dan R1.2, menunjukkan pola pertumbuhan cacing tanah yang sama. Berat

cacing tanah mengalami peningkatan pada awal percobaan sampai minggu

kedua. Kemudian berat cacing tanah menurun mulai minggu ketiga hingga akhir

percobaan. Berbeda dengan R2.1, pada minggu pertama sampai ketiga berat

cacing tanah meningkat, dan selanjutnya berat cacing tanah menurun.

Kombinasi E. fetida dan L. rubellus yang ditunjukkan pada R1.1 (25.17

g/wadah) dan R1.2 (25.60 g/wadah) (Lampiran 2a), cenderung memiliki

pertambahan berat lebih baik dari spesies E. fetida dan L. rubellus secara tunggal

baik dengan bahan organik fermentasi maupun non-fermentasi. Sementara

spesies L. rubellus memiliki berat terendah yaitu 8.61 g/wadah (R1.1) dan 12.75

g/wadah (R1.2). Sebaliknya pada R2.1, L. rubellus dengan bahan organik

fermentasi menunjukkan berat 27.20 g/wadah lebih baik dari E. fetida dan

kombinasinya. Berat badan paling rendah yaitu 10.81 g/wadah ditunjukkan oleh

E. fetida pada rasio R2.1 (Gambar 8).

Terdapat interaksi antara spesies cacing tanah, rasio cacing tanah dan

pakan serta jenis pakan (P<0.05). Analisa lanjutan menunjukkan bahwa pada

minggu pertama berat kombinasi E. fetida dan L. rubellus tidak berbeda nyata

dengan berat L. rubellus pada R2.1 (P = 0.000), namun berat kombinasi E. fetida

dan L. rubellus lebih baik (23.00 ± 2.53). Sementara pada minggu ketiga berat

kombinasi E. fetida dan L. rubellus pada bahan organik fermentasi dan

non-fermentasi tidak berbeda nyata dengan berat E. fetida (P = 0.038). Namun berat

kombinasi E. fetida dan L. rubellus lebih baik. Sedangkan perlakuan rasio R2.1

(45)

(46)

Produktivitas Cacing Tanah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada R1.1 terjadi peningkatan

produksi kokon pada semua perlakuan dari minggu kedua hingga minggu ketiga

(Gambar 9). Selanjutnya, produksi kokon menurun sampai minggu keenam. Pada

R1.2 , seluruh perlakuan menunjukkan peningkatan produksi kokon dari minggu

kedua sampai minggu kelima, sedangkan pada minggu keenam produksi kokon

menurun. Pada R2.1, produksi kokon rata-rata meningkat sampai minggu ketiga,

namun dari minggu keempat produksi kokon menurun. Sehingga pada minggu

keenam L. rubellus dengan pakan non-fermentasi tidak memproduksi kokon.

Pada R1.1, L. rubellus menghasilkan kokon terbanyak 31.28

kokon/minggu pada bahan organik fermentasi, dan kombinasi antara E. fetida dan

L. rubellus menghasilkan 17.83 kokon/minggu pada bahan organik

non-fermentasi. Pada R1.2, kombinasi E. fetida dan L. rubellus menghasilkan kokon

terbanyak 45.50 kokon/minggu pada bahan organik fermentasi, dan terendah L.

rubellus menghasilkan kokon 14.33 kokon/minggu pada bahan organik

non-fermentasi. Sementara itu pada R2.1, E. fetida menghasilkan kokon terbanyak

21.44 kokon/minggu pada bahan organik fermentasi dan terendah L. rubellus

8.17 kokon/minggu pada bahan organik non-fermentasi (Lampiran 2b).

Terdapat interaksi antara spesies cacing tanah, rasio cacing tanah dan

pakan serta jenis pakan (P<0.05). Analisa lanjutan menunjukkan bahwa pada

minggu kelima rata-rata jumlah kokon kombinasi E. fetida dan L. rubellus tidak

berbeda nyata dengan rata-rata jumlah kokon E. fetida pada R1.2 (P = 0.007),

namun rata-rata jumlah kokon kombinasi E. fetida dan L. rubellus lebih baik.

Selanjutnya rasio cacing tanah dengan pakan menunjukkan bahwa produktivitas

(47)
(48)

Jumlah kokon total selama enam minggu menunjukkan bahwa pada R1.1

L. rubellus menghasilkan 187.67 kokon dengan mengkonsumsi bahan organik

fermentasi dan E. fetida menghasilkan 114.00 kokon dengan bahan organik

non-fermentasi. Pada R1.2, E. fetida menghasilkan 265.67 kokon pada fermentasi dan

L. rubellus menghasilkan 86.00 kokon pada bahan organik non-fermentasi. Pada

R2.1 E. fetida menghasilkan 128.67 kokon pada bahan organik non-fermentasi

dan L. rubellus menghasilkan 76.00 kokon pada bahan organik fermentasi

(49)

Gambar 10 Jumlah kokon total tiap spesies, dengan bahan organik fermentasi (●), dan bahan organik non-fermentasi (○).

(50)

Kombinasi E. fetida dan L. rubellus pada wadah yang sama, menunjukkan

bahwa E. fetida menghasilkan kokon lebih banyak dari L. rubellus pada R1.1,

R1.2 dan R2.1 dengan bahan organik fermentasi maupun non-fermentasi

(51)

Dari enam kokon yang diinkubasi diperoleh masa inkubasi kokon antara

14−22 hari. Waktu yang diperlukan untuk menetaskan kokon tersebut pada E.

(52)

rata-Perubahan Kondisi Media Selama Proses Vermikompos.

Kondisi fisik dan kimiawi media (kotoran sapi dan tanah) dan bahan

organik mengalami perubahan selama enam minggu pengamatan. Perubahan fisik

media dilihat dari perubahan bentuk dan warnanya. Struktur media secara

bertahap mengalami perubahan dari bentuk gumpalan menjadi butiran-butiran

yang lebih kecil hingga diperoleh vermikompos yang halus dan remah (Gambar

14).

a b c d

e f g h

Gambar 14 Perubahan tekstur media kotoran sapi menjadi vermikompos:

kombinasi kotoran sapi dan tanah (a), minggu pertama sampai minggu keenam (b-g), vermikompos yang telah diayak (h).

Perubahan struktur media juga diikuti dengan penurunan berat pada akhir

setiap minggu. Pada R1.1, penyusutan berat media lebih cepat pada minggu

pertama sampai keempat dari pada minggu kelima dan keenam. Penurunan berat

media paling cepat ditunjukkan oleh E. fetida sebesar 40.91% dengan

non-fermentasi pada minggu keempat pada R1.2. Sementara spesies yang lain berkisar

antara 21−35%. (Gambar 15, lampiran 2c).

Pada R1.1, media kombinasi E. fetida dan L. rubellus menurun± 52.17

g/minggu pada bahan organik fermentasi dan media L. rubellus menurun±37.83

gr/minggu dengan bahan organik non-fermentasi. Pada R1.2, media L. rubellus

menurun ± 60.14 g/minggu pada bahan organik non-fermentasi, dan media

(53)

organik fermentasi. Sementara pada R2.1, media L. rubellus menurun ± 49.17

g/minggu dan media kombinasi E. fetida dan L. rubellus menurun ± 43.53

g/minggu, keduanya pada bahan organik fermentasi (Gambar 15).

(54)

Analisis kandungan kimia vermikompos dari E. fetida dan L. rubellus

menunjukkan bahwa rasio C/N mengalami penurunan yang signifikan baik pada

bahan organik fermentasi maupun non-fermentasi (P = 0.006) (Tabel 3). Namun

untuk vermikompos L. rubellus penurunan ini tidak signifikan (P>0.05).

Kandungan P menunjukkan penurunan yang signifikan pada bahan organik

fermentasi baik E. fetida maupun L. rubellus (P = 0.035). Akan tetapi kandungan

P vermikompos yang dihasilkan oleh E. fetida dan L. rubellus dari bahan organik

non-fermentasi mengalami peningkatan meskipun secara statistik tidak signifikan.

Kandungan K pada vermikompos yang dihasilkan oleh kedua spesies cacing

tanah menunjukkan kenaikan yang signifikan (P<0.05 atau P = 0.000).

Tabel 3 Kandungan kimiawi vermikompos dari kedua spesies cacing tanah

Rasio C / N (%)* Kadar P (mg/100g)* Kadar K (mg/100g)* Spesies Bahan

organik awal akhir awal akhir awal akhir F 9.65±1.04a 7.62±1.21b 52.19±5.13a 43.32±2.08b 593.01±96.49c 1074.49±39.14b E

NF 8.55±1.19ab 5.79±0.76c 41.66±5.46b 49.32±4.03ab 563.33±24.13c 1311.97±1.15a F 9.65±1.04a 7.75±0.49b 52.19±5.13a 41.81±0.34b 593.01±96.49c 1058.67±205.41b L

Gambar

Gambar 3  Pemeliharaan dan budi daya cacing tanah, sistem windrow (a),
Tabel 1  Komposisi bahan yang digunakan dalam percobaan
Gambar 6  Kelembaban (rH) media hidup pada R1.1, R1.2 dan R2.1 dengan bahan        organik  fermentasi (●), dan  bahan organik non- fermentasi (○)
Gambar 7  Suhu media hidup pada R1.1, R1.2 dan R2.1 dengan bahan  organik            fermentasi (●), dan  bahan organik non- fermentasi (○)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kerjasama antara pemerintah desa dengan masyarakat dalam mengelola dana desa dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya atau potensi dari masyarakat itu sendiri,

IPW menilai, Kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tahun 2014 lalu, sangat tidak memuaskan masyarakat. Reformasi di internal Kepolisian juga jalan di tempat.. Makanya,

sifat tersebut dari indukan kepada turunannya... %ersilangan monohibrid cukup sederhana karena hanya perlu melakukan persilangan %ersilangan monohibrid cukup sederhana karena

Konflik yang terjadi antara nelayan rawai dengan nelayan yang menggunakan jaring batu di perairan Bengkalis dua dekade belakangan ini disebabkan penambahan jumlah

Berdasarkan keseluruhan analisis data, maka persentase dari hasil yang diperoleh dalam penelitian pemanfaatan koleksi repository Perpustakaan Fakultas MIPA UGM menggunakan

(2004) melaporkan bahwa cekaman kekeringan (60% kapasitas lapang) pada fase V2–R2 (fase vegetatif dengan 2 buku-fase mulai pembentukan ginofor) tidak mengakibat- kan penurunan

Pengajaran mikro dilaksanakan mulai Februari sampai Juni 2013. Dalam Pengajaran mikro mahasiswa melakukan praktek mengajar pada kelas kecil. Adapun yang berperan

dan dinyatakan sebagai Lethal Concentration (LC), ANOVA One Way untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak terhadap jumlah kematian larva dan uji Tukey untuk