KUALITAS MIKROBIOLOGI DAGING SAPI
YANG DIRENDAM DALAM LARUTAN
TEH FERMENTASI KOMBUCHA DAN
DENGAN ATAU TANPA DIASAP
SKRIPSI UDIN AMINUDIN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
UDIN AMINUDIN. D14201077. Kualitas Mikrobiologi Daging Sapi yang Direndam dalam Larutan Teh Fermentasi Kombucha dan dengan atau tanpa Diasap. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA.
Daging merupakan salah satu bahan pangan hasil ternak yang bersifat perishable karena mengandung sejumlah nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pemasaran daging tradisional umumnya dibiarkan terbuka sehingga mudah terkontaminasi mikroba dan mengalami kerusakan. Penanganan yang memadai seperti pendinginan dan marinates diperlukan agar daging tetap dapat dikonsumsi, terjaga keamanannya, tahan lama dan tetap palatable. Proses pengolahan dengan pengasapan telah banyak dilakukan dalam pengawetan daging. Kombinasi metode pengawetan daging dengan pengasaman dan pengasapan menarik untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kualitas mikrobiologi daging asam asap yang dihasilkan dengan penggunaan larutan teh fermentasi kombucha yang dikombinasikan dengan proses pengasapan.
Daging yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Pasar Kebon Kembang, Bogor. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Pola Faktorial dengan dua faktor perlakuan dan empat kelompok sebagai ulangan. Faktor pertama yaitu perendaman daging dalam larutan teh fermentasi kombucha dalam tiga taraf yaitu 0, 1 dan 2 hari. Faktor kedua adalah pengasapan terhadap daging yang telah mengalami perendaman dalam dua taraf yaitu dengan atau tanpa pengasapan. Pengaruh masing-masing faktor perlakuan dan interaksi keduanya terhadap peubah yang diamati dianalisis dengan sidik ragam dan pengaruh yang nyata dari interaksi kedua faktor perlakuan diuji lebih lanjut dengan uji Least Squre Mean. Penelitian ini berlangsung dari bulan September 2005 sampai dengan Juni 2006, bertempat di Bagian Ilmu Produksi Ternak (IPT) Ruminansia Besar dan Bagian IPT Perah, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor serta di Balai Penelitian Veteriner (Balitvet), Cimanggu, Bogor.
Kualitas mikrobiologi yang diamati adalah total mikroba (Total Plate Count/TPC), Staphylococcus serta coliform dan Salmonella. Nilai rataan TPC dan coliform daging dengan perendaman 0 hari dan tanpa diasap (daging segar) sangat nyata lebih tinggi dari daging yang direndaman 0 hari dan diasap serta dengan perendaman 1 atau 2 hari, tanpa atau dengan diasap. Perendaman 1 atau 2 hari, dengan atau tanpa pengasapan mampu menurunkan TPC daging segar sebesar 3 desimal (dari 5,86 log10 cfu/g menjadi 2,27-2,73 log10 cfu/g) atau 2 desimal bila direndam 0 hari dan diasap (dari 5,86 log10 cfu/g menjadi 3,42 log10 cfu/g). Nilai rataan Coliform daging segar menurun dengan sangat nyata hingga tidak didapatkan pertumbuhannya setelah perendaman 0 hari dan diasap serta perendaman 1 atau 2 hari, dengan atau tanpa diasap. Hasil menunjukkan tidak terdapat kontaminasi Salmonella maupun Staphylococcus sejak awal hingga akhir perlakuan.
ABSTRACT
Microbiological Quality of Beef Immersed in Kombucha Fermented Tea Suspension with or without Smoking
Aminudin, A., I.I. Arief, and R.R.A. Maheswari
Meat is one of the perishable animal products due to its high nutrition content which are favorable for the growth of microorganisms. Marinating and smoking are well known as food processing and preservation methods. Combination of both methods on meat processing have a high concern to be examined. This experiment was aimed to study microbiological quality of smoked marinated beef product. Grouped Randomized Design with Factorial Pattern 3x2 and four groups as replications had been used in this experiment. This experiment had been conducted at Large Ruminant Laboratory and Dairy Cattle Laboratory, Dept. of Animal Production Science and Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University and Veterinary Research Site, Cimanggu, Bogor. The observed variables were Total Plate Count (TPC), total coliforms, Staphylococcus sp. and the existence of Salmonella sp. The data subjected to analyzed by General Linear Mode (GLM), and the significant effect of interaction between both treatments (immersion and smoke) further analyzed by Least Square Means (LSM) test. The results of this experiment shown that the immersion on kombucha tea and smoke treatments were significantly affected the total plate count and coliforms, but they had no significant effect on Salmonella sp. and Staphylococcus sp. of the smoked marinated beef products.
KUALITAS MIKROBIOLOGI DAGING SAPI
YANG DIRENDAM DALAM LARUTAN
TEH FERMENTASI KOMBUCHA DAN
DENGAN ATAU TANPA DIASAP
UDIN AMINUDIN D14201077
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
KUALITAS MIKROBIOLOGI DAGING SAPI
YANG DIRENDAM DALAM LARUTAN
TEH FERMENTASI KOMBUCHA DAN
DENGAN ATAU TANPA DIASAP
Oleh
UDIN AMINUDIN D14201077
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 13 Juni 2006
Pembimbing Utama
Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA.
Dekan Fakultas Peternakan Intitut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada hari Rabu tanggal 3 Maret 1982 di Kota Tangerang, Banten. Penulis merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan Ishak dan Ida Nurlinda.
Penulis menempuh pendidikan dasar di MI Fatahillah Ciledug, Tangerang (1988-1994). Pendidikan lanjutan menengah pertama dilanjutkan dari tahun 1994-1997 di SMP Budi Mulia Ciledug, Tangerang. Penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 63 Pesanggrahan, Jakarta Selatan (1997-2000). Penulis diterima sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada tahun 2001.
Selama menempuh pendidikan, penulis aktif di Forum Aktivitas Mahasiswa Muslim (FAMM) Al-An’aam periode 2002-2003 sebagai anggota aktif Divisi Kewirausahaan. Penulis aktif pula di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan IPB periode 2002-2003 sebagai staf Depeartemen Pengembangan Minat dan Bakat dan menjabat sebagai Ketua Pengembangan Departemen Pengembangan Ilmu dan Keprofesian periode 2003-2004. Penulis pernah menjabat sebagai Ketua KOMTI Program Studi Teknologi Hasil Ternak periode 2002-2003. Selain aktif di organisasi, penulis juga aktif di berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh kampus.
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh
Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin, segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT atas segala ilmu yang telah diajarkan-Nya melalui Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dengan segala Qadha’ dan Qadhar-Nya sehingga seluruh makhluk-Nya tunduk dan patuh menjalani hidupnya dengan penuh khidmat serta dengan penuh kekhusyu’an dan keikhlasan. Shalawat dan salam selalu bagi Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, shahabat dan seluruh penjaga, penganut, pelaksana dan penerus Dienul Islam.
Tidak terasa akhirnya penulis berhasil menyelesaikan tugas akhirnya ini yang berjudul “Kualitas Mikrobiologi Daging Sapi yang Direndam dalam Larutan Teh Fermentasi Kombucha dan dengan atau tanpa Diasap.” Tugas akhir skripsi berupa penelitian ini penulis pilih sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini berisi tentang pembahasan kualitas mikrobiologi dari daging yang diberi perlakuan perendaman dalam larutan teh fermentasi kombucha dan pengasapan dalam taraf yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan tentang produk olahan daging, terutama tentang kualitas mikrobiologi. Tuntutan masyarakat yang menginginkan agar produk olahan daging mudah untuk disajikan, palatable, aman dikonsumsi dan mampu memberikan nilai tambah semoga dapat terpenuhi oleh produk daging asam asap yang dihasilkan.
Penulis berharap semoga karya kecilnya ini, walaupun disadari masih banyak kekurangan dan perlu banyak perbaikan, dapat berguna bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya. Akhir kata semoga Allah SWT selalu memberi berkah dan rahmat kepada kita semua.
Bogor, Juni 2006
DAFTAR ISI
Analisis Kuantitatif Total Mikroba ... 14
Analisis Kuantitatif Staphylococcus sp. ... 15
Analisis Kualitatif Coliform ... 15
Analisis Kualitatif Salmonella sp. ... 15
Nilai pH ... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18
Nilai pH Daging Asam Asap ... 19
Total Plate Count (TPC) ... 21
Viabilitas Coliform ... 26
Viabilitas Salmonella sp. ... 28
Viabilitas Staphylococcus sp. ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN ... 31
Kesimpulan ... 31
Saran ... 31
UCAPAN TERIMA KASIH ... 32
DAFTAR PUSTAKA ... 33
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging ... 4 2. Kandungan Asam Organik Larutan Beberapa Jenis
Teh Fermentasi Kombucha ... 8 3. Rataan pH Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda ... 20 4. Rataan TPC Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman
dan Pengasapan yang Berbeda ... 22 5. Rataan Viabilitas Coliform Daging yang Diberi Perlakuan
Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda ... 26 6. Nilai Rataan Salmonella sp. Daging yang Diberi Perlakuan
Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda ... 29 7. Rataan Viabilitas Staphylococcus sp. Daging yang Diberi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Bentuk Tanaman Teh (Camelia Sinensis) ... 5
2. Bentuk Kultur Koloni Kombucha setelah Fermentasi Air Teh Manis Selama 8 Hari ... 7
3. Bentuk Bakteri Coliform Fekal (E. coli) ... 11
4. Tahapan Proses Pembuatan Larutan Teh Fermentasi Kombucha ... 16
5. Tahapan Proses Pembuatan Daging Asam Asap ... 17
6. Produk Daging Asam Asap yang Dihasilkan ... 18
7. Penurunan Nilai Rataan TPC Pada Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda ... 23
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Sidik Ragam TPC Daging yang Diberi Perlakuan
Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda ... 37 2. Hasil Sidik Ragam Coliform Daging yang Diberi Perlakuan
Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda ... 37 3. Hasil Sidik Ragam Salmonella sp. Daging yang Diberi Perlakuan
Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda ... 38 4. Hasil Sidik Ragam Staphylococcus sp. Daging yang Diberi
Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda ... 38 5. Hasil Sidik Ragam pH Daging yang Diberi Perlakuan
Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda ... 39 6. Tabel Daftar Angka Paling Memungkinkan (APM)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan populasi manusia dan peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya zat gizi untuk tubuh mendorong peningkatan kebutuhan masyarakat
terhadap produk makanan yang mengandung zat gizi yang berkualitas. Bahan pangan
hasil ternak, yaitu daging, merupakan salah satu bahan pangan yang mampu
mendukung terpenuhinya kebutuhan tubuh akan zat gizi, terutama protein.
Daging merupakan salah satu bahan pangan hasil ternak yang bersifat mudah
rusak (perishable) karena mengandung sejumlah nutrisi yang diperlukan bagi
pertumbuhan mikroorganisme. Penanganan daging pada suhu ruang, sesaat setelah
pemotongan ternak, berisiko terkontaminasi dari berbagai sumber seperti udara,
pekerja dan peralatan.
Daging yang dijual di pasar tradisional pada umumnya dibiarkan terbuka
sehingga mudah terkontaminasi oleh mikroba dan mudah mengalami kebusukan.
Penanganan yang memadai diperlukan agar daging tersebut tetap dapat dikonsumsi
dan tidak berbahaya bagi manusia. Proses pengolahan dapat diterapkan agar daging
tetap terjaga keamanannya serta memiliki daya simpan yang lama dan palatable.
Pengasaman daging merupakan salah satu alternatif pengolahan daging.
Diversifikasi produk olahan daging asam saat ini belum banyak diterapkan,
diantaranya adalah marinates dan sosis fermentasi. Pengasapan telah lama dikenal
sebagai salah satu cara pengawetan daging. Kombinasi metode pengawetan daging
dengan pengasaman dan pengasapan belum banyak dilakukan dan menarik untuk
diteliti.
Pengasaman daging dapat dilakukan dengan memfermentasikan daging
menggunakan kultur bakteri seperti Lactobacillus plantarum (Arief, 2003) yang
menghasilkan produk daging fermentasi (fermented meat product). Pengasaman
daging dapat pula dilakukan dengan merendam daging dalam larutan asam organik
untuk menghasilkan produk daging asam (acidified meat product) atau dikenal
sebagai marinated. Sumber asam organik yang dapat digunakan adalah asam yang
berasal dari hasil fermentasi teh dengan kombucha.
Teh fermentasi kombucha selama ini dikenal oleh masyarakat sebagai salah
misalnya sebagai obat anti stres, obat pelancar buang air kecil, kebugaran badan dan
lain sebagainya. Penggunaan teh fermentasi kombucha dalam pengasaman daging
diharapkan dapat memberikan nilai tambah lebih baik dibandingkan daging yang
hanya diasamkan dengan metode konvensional seperti perendaman daging dalam
larutan asam asetat (cuka).
Kedua metode pengawetan, yaitu aplikasi pengasapan setelah pengasaman
pada proses pengolahan mempunyai keuntungan yang saling melengkapi satu
dengan lainnya. Nilai tambah yang diharapkan dari produk yang dihasilkan oleh
kedua metode tersebut diantaranya mempunyai keamanan pangan yang tinggi,
produk dapat langsung dikonsumsi, palatable dan umur simpan (shelf life) yang
lebih lama.
Perumusan Masalah
Permasalahan yang dapat dirumuskan dari latar belakang yaitu:
1) penanganan daging segar belum dilakukan dengan baik pada pasar tradisional
sehingga daging berisiko mengalami kerusakan yang tinggi; dan
2) pengolahan daging melalui pengasaman yang dikombinasikan dengan proses
pengasapan merupakan suatu kombinasi yang dapat diaplikasikan untuk
menangani masalah tersebut diatas serta untuk mengembangkan diversifikasi
produk olahan daging.
Tujuan
1) Mempelajari penggunaan bahan pengasam organik yang berasal dari hasil
fermentasi teh dengan kombucha sebagai salah satu cara penanganan daging
segar yang dikombinasikan dengan proses pengasapan untuk menghasilkan
diversifikasi produk olahan daging asam dan diasap.
2) Mempelajari kualitas mikrobiologi daging asam asap yang dihasilkan.
3) Mengembangkan diversifikasi produk olahan daging agar dapat meningkatkan
TINJAUAN PUSTAKA
Daging
Daging, menurut Lawrie (1995), didefinisikan sebagai semua jaringan hewan
dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk
dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya.
Organ-organ seperi hati, ginjal, otak, paru-paru, jantung, limpa, pankreas dan
jaringan otot termasuk dalam definisi ini. Badan Standarisasi Nasional (1995) dalam
SNI 01-3947-1995, mendefinisikan daging sebagai urat daging yang melekat pada
kerangka, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga, yang berasal dari
sapi atau kerbau yang sehat sewaktu dipotong.
Soeparno (1998) menyatakan, bahwa daging adalah komponen utama dari
karkas. Karkas juga tersusun dari lemak jaringan adiposa, tulang, tulang rawan,
jaringan ikat, dan tendon. Komponen-komponen tersebut menentukan ciri-ciri
kualitas dan kuantitas daging. Perbedaan daging dengan karkas adalah pada
kandungan tulangnya. Karkas merupakan daging yang masih mengandung tulang,
sedangkan daging sudah tidak mengandung tulang (dipisahkan dari tulangnya).
Daging sapi adalah salah satu bahan pangan yang bergizi tinggi, karena dapat
mensuplai kebutuhan manusia untuk protein sebesar 50%, vitamin B12 60%, seng
30%, besi 20% dan niasin 20%. Data nilai gizi tersebut menunjukkan bahwa daging
sapi mempunyai nilai biologis yang tinggi, sehingga daging dinyatakan sebagai
makanan kaya gizi (Briggs, 1985). Hal ini menurut Soeparno (1998), daging sangat
sesuai untuk memenuhi persyaratan perkembangan mikroorganisme, termasuk
mikroba perusak atau pembusuk dikarenakan daging: (1) mempunyai kadar air yang
tinggi (68-75%); (2) kaya akan zat yang mengandung nitrogen (asam amino); (3)
mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan (gula); (4) kaya akan
mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme (unsur-unsur C,
O, N, P, S dan unsur-unsur makro dan mikro seperti Mg, Ca, Fe, Co, dan Cu); dan
(5) mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (5,6-6,5).
Daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) oleh
mikroorganisme karena ketersediaan gizi di dalamnya sangat mendukung untuk
pertumbuhan mikroorganisme, terutama mikroba perusak. Secara umum diketahui
dan Pseudomonas (Buckle et al., 1987). Sedangkan bakteri asam laktat merupakan
mikroba yang normal terdapat di dalam daging (Fardiaz, 1992). Badan Standarisasi
Nasional (BSN) telah mengeluarkan batas jumlah mikroba yang terdapat dalam
daging seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging (cfu/g) SNI No. 014-6366-2000
No. Jenis Cemaran Mikroba Batas Maksimum Cemaran Mikroba Daging Segar/Beku Daging Tanpa Tulang
1
Angka Lempeng Total Bakteri
(ALTB)
Keterangan: *) dalam satuan MPN/gram **) dalam datuan kualitatif
Sumber : BSN (2000)
Fermentasi
Fermentasi adalah suatu proses oksidasi karbohidrat anaerob atau anaerob
fakultatif, sedangkan pembusukan adalah suatu proses penguraian anaerob dari
bahan-bahan yang berprotein. Proses fermentasi tidak menimbulkan bau busuk dan
biasanya menghasilkan gas karbondioksida (CO2). Pembusukan dapat melepaskan
bahan-bahan yang mengandung CO2, akan tetapi ditandai dengan karakteristik gas
hidrogen sulfida (H2S) dan produk-produk penguraian protein yang mengandung
belerang/sulfur (Desrosier, 1988).
Fermentasi adalah suatu cara pengawetan yang menggunakan mikroba
tertentu untuk menghasilkan asam atau komponen lainnya yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba perusak lainnya. Organisme yang memegang peranan dalam
Penambahan garam, gula, nitrit dan asap serta penyimpanan atau pemeraman produk
pada suhu rendah dengan potensial oksidasi-reduksi yang menurun (misalnya dalam
wadah pembungkus) dapat merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat
mengalahkan pertumbuhan organisme lainnya yang tidak diinginkan (Fardiaz, 1992).
Menurut Buchanan dan Gibbons (1974), pada beberapa kasus, fermentasi
alamiah terjadi karena keberadaan bakteri asam laktat pada daging mentah. Varnam
dan Sutherland (1995) menambahkan, bahwa fermentasi alamiah dapat menyebabkan
fermentasi berlangsung lambat dan munculnya karakteristik yang tidak diharapkan
dari bakteri asam laktat, seperti pembentukan peroksida yang mendominasi sehingga
mempengaruhi kualitas daging fermentasi. Keadaan tersebut dapat diperbaiki dengan
melakukan fermentasi secara terkontrol.
Teh Fermentasi Kombucha
Teh
Menurut Carolus Linnaeus, di dalam buku Species Plantarum, teh dinamakan
sebagai Thea sinensis. Bertahun-tahun kemudian, para ahli memperkenalkan dua
nama ilmiah, yaitu Camelia thea dan Camelia theifera. Namun sekarang terdapat
keseragaman nama ilmiah untuk tanaman ini yaitu Camelia sinensis yang
diperkenalkan oleh O. Kuntze. Tanaman teh termasuk ke dalam genus Camelia dari
famili Theaceae. Camelia sinensis sendiri memiliki beberapa varietas yang penting,
seperti Cina, Assam dan Cambodia. Tiga produk olahan teh yang dapat dijumpai di
pasaran dalam dan luar negeri di antaranya teh hitam, teh hijau dan teh wangi
(Setyamidjaja, 2000). Bentuk tanaman teh dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar1. Bentuk dari Tanaman Teh (Camelia sinensis)
Herba, seperti teh, telah digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk
sebagai obat (Dragland et al., 2003). Teh hijau secara kimiawi telah
dikarakterisasikan secara khusus karena mengandung polifenol atau yang lebih
dikenal dengan kathekin (Lambert dan Yang, 2003). Secangkir teh hijau seduh
mengandung 30-40% bahan kering (BK) kathekin termasuk diantaranya epikathekin
(EC), epigallokathekin (EGC), epikathekin-3-gallat (ECG) dan
epigallokathekin-3-gallat (EGCG). Sejumlah besar kathekin berubah melalui fermentasi menjadi
theaflavin oligomer dan thearubugin oligomer dalam teh hitam. Hasil seduhan teh
hitam mengandung 3-10% kathekin, 2-6% theaflavin dan lebih dari 20% thearubigin.
Proses fermentasi teh hitam :
Polifenol oksidase + Kathekin ⎯⎯oksidasi⎯/⎯fermentasi⎯⎯→ Kathekin (rendah) + Theaflavin + Thearubugin
Blumberg (2003) menambahkan, kandungan relatif kathekin teh tergantung dari cara
proses pengeringan daun teh. Konsentrasi flavanoid dari beberapa minuman teh
tertentu tergantung dari tipe teh yang digunakan (hasil campuran, dekafeinasi atau
instan) dan penyiapannya (jumlahnya, waktu dan suhu).
Penelitian menunjukkan, bahwa kathekin dan asam tanat dapat berinteraksi
dengan usus halus. Hal tersebut terjadi karena pengikatan asam tanat dan kathekin
dengan protein endogenus dalam saluran usus yang menghambat penyerapannya
dalam usus halus. Ditambahkan bahwa sifat pengikatan protein dari kathekin
berhubungan dengan daya bakterisidalnya dan berperan di dalam saluran pencernaan
(Spencer, 2003).
Teh hijau mendapat perhatian besar sebagai sebuah agen yang dapat
mengurangi resiko beberapa tipe penyakit kanker beberapa tahun terakhir. Efek
cancer-chemopreventive dari teh hijau tampaknya diberikan oleh kandungan
polifenol. Penelitian tentang teh hijau menunjukkan bahwa polifenol yang terdapat di
dalam teh hijau dapat membangun proteksi terhadap berbagai jenis kanker. Data
laboratorium menjelaskan bahwa polifenol yang terdapat di dalam teh hijau memiliki
efek chemopreventive melawan kanker prostat pada manusia (Adhami et al., 2003).
Menurut Cao et al. (1996), teh hijau dan teh hitam memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi melawan radikal peroksil dibandingkan buah dan
sayuran. Sistem pertahanan terhadap antioksidan oleh tubuh dibangun atas beragam
Kombucha
Kombucha merupakan simbiosis antara kultur ragi (yeast) dan beberapa strain
bakteri yang tumbuh pada teh hijau atau hitam yang manis (Frank, 1999). Simbiosis
tersebut terdiri atas paling sedikit 3 mikroorganisme yaitu: Acetobacter xylinum, dan
yeast Zygosaccharomyces rouxii dan Candida sp. Nahrowi et al. (2002)
menambahkan, bahwa larutan teh fermentasi kombucha mengandung lima jenis
mikroorganisme yaitu Acetobacter spp., Saccharomyces cereviseae dan
Saccharomyces, bakteri sarcina dan bakteri bacillus. Koloni kombucha yang
terbentuk di teh fermentasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bentuk Kultur Koloni Kombucha setelah Fermentasi Air Teh Manis Selama 8 Hari
Nahrowi et al. (2002) menjelaskan, bahwa selama 7-10 hari fermentasi,
kultur kombucha menghasilkan metabolit berupa asam organik dalam larutannya,
yang diantaranya adalah asam glukoronat, asam asetat dan asam usnik. Naland
(2004) menambahkan, bahwa kombucha mampu menghasilkan asam laktat dan
alkohol dalam jumlah rendah. Asam glukoronat merupakan salah satu asam hasil
fermentasi yang penting dalam kombucha, karena disusun oleh ko-enzim
uridindifosfat (UDP)-asam glukoronat. Salah satu fungsi UDP-asam glukoronat
adalah sebagai produk antara dalam biosintesis asam askorbat (vitamin C) (Hoffman,
Asam laktat merupakan produk fermentasi yang sangat mempengaruhi nilai
derajat keasaman kombucha. Kisaran pH kombucha pada umur 7 hari bernilai
2,2-3,4. Semakin lama periode fermentasi yang diperlakukan terhadap teh kombucha,
akan menurunkan nilai pH, oleh karena itu asam laktat merupakan faktor pembatas
mikroba (kontaminan) yang dapat berkembang dan tumbuh dalam media teh manis
(Hoffman, 1999). Kandungan asam organik larutan beberapa jenis teh fermentasi
kombucha dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Asam Organik Larutan Beberapa Jenis Teh Fermentasi Kombucha
Larutan teh fermentasi kombucha mempunyai aktivitas antimikroba pada
kandungan 33 g/L asam total (7 g/L asam asetat) terhadap mikroorganisme Gram
negatif dan positif, yaitu Agrobacterium tumafaciens, Bacillus cereus, Salmonella
cholerasius serotip typhimurium, Staphylococcus aureus dan Escherischia coli
dihambat oleh larutan ini, aktivitas ini terbukti pada kultur teh fermentasi kombucha
yang dibuat dari 70 g/L (7%) daun teh kering.
Pengasaman
Pengawetan daging dapat dilaksanakan dengan pemeraman kering (curing)
atau dengan larutan asam. Daging dapat diasamkan dengan perendaman di dalam
larutan pengasam. Pengasaman daging segar terjadi dengan kecepatan + 1 inchi per
minggu atau tergantung pada ketebalan daging dan kadar bahan pengasam (Desrosier,
1988).
Aberle et al. (2001) mengidentifikasikan daging yang direndam dalam larutan
pickle yang mengandung garam, fosfat dan penyedap atau bahan pengempuk, kecuali
nitrat (curing) sebagai produk marinated. Pickle yang digunakan mengandung cuka
dan anggur dengan campuran herba dan rempah-rempah (Lawrie, 1991). Asam-asam
organik seperti asam asetat (cuka), asam laktat dan asam propionat dapat digunakan
dalam berbagai macam makanan sebagai peningkat flavor, peningkat daya simpan
dan mengurangi bahaya kontaminasi (bertindak sebagai antimikroba) (Ray, 2001).
Pengasapan
Pengasapan tradisional adalah proses yang sifat khas produknya terbentuk
dari gabungan perlakuan panas, komponen asap dan aliran gas (Harris dan Karmas,
1989). Metode pengasaman daging menurut Desrosier (1988) dapat dikombinasikan
dengan pengasapan. Pengasapan mempunyai daya mengawetkan dan sebagai
pelengkap pada proses pemeraman. Soeparno (1998) menambahkan, bahwa maksud
dari pengasapan daging adalah untuk mematangkan daging, meningkatkan flavor dan
menjadikan penampakan permukaan produk lebih menarik. Pengasapan pada suhu
50-54oC dimaksudkan untuk fiksasi warna daging curing, namun masih diperlukan
pemasakan lebih lanjut sebelum dikonsumsi (Aberle et al., 2001)
Menurut Hoffman (1972) yang dikutip oleh Harris dan Karmas (1989),
terdapat sekitar 300 senyawa kimia yang telah diidentifikasikan dalam asap, tetapi
umumnya jumlah komponen asap yang sebenarnya jauh lebih banyak. Kelompok
senyawa kimia yang dideteksi ada dalam asap kayu adalah karbonil, (aldehida dan
keton), asam organik, basa organik, fenol, alkohol, hidrokarbon dan gas seperti CO2,
Kombinasi panas dan asap efektif dalam mengurangi populasi mikroba di
permukaan daging secara signifikan. Harris dan Karmas (1989) menambahkan,
bahwa pengeringan permukaan dan koagulasi protein dihasilkan dari kondensasi
formaldehid dan fenol. Hal tersebut menghasilkan penghambatan fisik dan kimia
yang efektif terhadap pertumbuhan dan penetrasi mikroba pada produk yang
dihasilkan. Pelczar dan Chan (1988) menegaskan bahwa, kenaikan suhu dapat
menaikkan keefektifan suatu bahan antimikrobial. Buckle et al. (1987)
menambahkan, bahwa pengaruh bahan antioksidan juga dihasilkan oleh pemasukan
senyawa-senyawa fenol ke dalam produk dan pada permukaan bahan yang diasap.
Bahan-bahan ini menyebabkan ketahanan simpan yang lebih lama dan bebas dari
proses ketengikan.
Bakteri Patogen
Bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan terdiri atas bakteri pembusuk yang
menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen yang menyebabkan penyakit
bagi manusia (Hapsari, 2004). Bakteri patogen merupakan mikroorganisme indikator
keamanan pangan. Bakteri patogen dapat dibedakan atas penyebab intoksikasi dan
infeksi. Intoksikasi yaitu keracunan yang disebabkan oleh tertelannya toksin hasil
metabolisme bakteri yang terdapat di makanan, sedangkan infeksi yaitu keracunan
yang disebabkan oleh masuknya bakteri bersama makanan yang ditelan dan
menghasilkan racun di dalam saluran pencernaan.
Coliform
Coliform merupakan kelompok bakteri dalam famili Enterobacteriaceae,
yang terdiri atas empat genera bakteri, yaitu Enterobacter, Citrobacter, Escherichia
dan Klebsiella (Jay, 1997). Coliform merupakan kelompok bakteri yang dijadikan
indikator sanitasi. Coliform dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu coliform fekal
dan nonfekal (Fardiaz, 1992).
Menurut Fardiaz (1992), coliform fekal merupakan penghuni normal saluran
pencernaan manusia dan hewan yang sering terdapat di dalam feses dan digunakan
sebagai indikator pencemaran, termasuk di dalamnya Escherichia coli. Kelompok
coliform fekal dapat ditemukan dalam daging yang terkontaminasi. Bentuk bakteri
coliform fekal dapat dilihat pada Gambar 3. Coliform nonfekal tidak termasuk
tanaman/hewan yang telah mati dan sering menimbulkan lendir pada makanan.
Bakteri yang termasuk ke dalam coliform nonfekal adalah Enterobacter aerogenes.
Gambar 3. Bentuk Bakteri Coliform Fekal (E. coli)
Sumber: Betsville Agricultural Research (BARC)
Coliform merupakan bakteri Gram negatif anaerobik fakultatif. Coliform
dilaporkan dapat tumbuh pada rentang pH 4,4-9,0 (Jay, 1997). Coliform mampu
memfermentasikan laktosa dan menghasilkan gas. Sifat tersebut sering dimanfaatkan
dalam uji pendugaan coliform.
Salmonella sp.
Salmonella sp. termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae, seperti halnya
coliform. Salmonella sp. tergolong bakteri Gram negatif anaerobik fakultatif, mesofil
dan mampu memfermentasikan laktosa yang menghasilkan gas, dan merupakan
penyebab terbesar foodborne disease (Ray, 2001). Salmonella sp. dapat ditemukan
dalam usus manusia, ternak, reptil dan serangga. Sebagian besar kontaminasi
Salmonella sp. berasal dari feses.
Salmonella sp. menyebabkan penyakit makanan dengan cara masuk melalui
saluran pencernaan pada saat makan dan setelah berada di dalam usus Salmonella sp.
menghasilkan racun (toksin), sehingga Salmonella sp. disebut sebagai bakteri
penginfeksi. Salmonella sp. termasuk bakteri patogen yang berbahaya karena dapat
menimbulkan penyakit seperti tifus, paratifus dan salmonellosis (Varnam dan
Staphylococcus sp.
Staphylococcus sp. merupakan bakteri Gram positif anaerobik fakultatif.
Staphylococcus sp. dimasukkan ke dalam famili Micrococcaceae bersama dengan
genus Micrococcus (Fardiaz, 1992). Staphylococcus sp. tergolong patogen, karena
sering menyebabkan intoksikasi pada makanan melalui enterotoksin yang
dihasilkannya. Habitat Staphylococcus sp. adalah tanah, air, kulit dan selaput lendir
pada binatang berdarah panas, termasuk manusia (Pelczar dan Chan, 1986).
Staphylococcus sp. tumbuh optimal pada suhu 20-37oC sehingga tergolong ke
dalam bakteri mesofil serta mempunyai suhu minimun dan maksimum untuk
pertumbuhan pada 7-48oC (Ray, 2001). Namun menurut Jay (1997), bahwa suhu
optimal pertumbuhan Staphylococcus sp. antara 40-45oC dan menghasilkan
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2005 sampai dengan Juni 2006,
di Bagian Ilmu Produksi Ternak (IPT) Ruminansia Besar dan Bagian IPT Perah,
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor serta di Balai Penelitian Veteriner
(Balitvet), Cimanggu, Bogor.
Materi
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah daging sapi bagian
semitendinosus (gandik) yang dibeli di Pasar Kebon Kembang, Bogor, dan telah
melewati masa 4 jam postmortem. Daging yang dijual di Pasar Anyar berasal dari
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kodya Bogor. Bahan lain yang digunakan dalam
penelitian adalah kultur kombucha dari koleksi dr. Naland, Jakarta Timur, teh hijau
dengan merek dagang TARAJU, gula pasir (sukrosa), bricket asap, Buffer Pepton
Water (BPW), Plate Count Agar (PCA), Staphylococcus medium, Lactose Broth,
Salmonella-Shigella Agar (SSA) , buffer ber-pH 2 dan 7, alkohol dan aquadestilata.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah kompor, panci, saringan,
stoples, sendok, pinset, kain, inkubator, pisau, slicer, blender, kamar pengasap
(smoke chamber), pengemas vakum, masker, tutup kepala, cawan petri, spreader
gelas (hockey stick), bunsen, pipet, gelas piala, labu erlenmeyer, tabung reaksi,
autoclave, termometer, pencatat waktu (stopwatch), sentrifuse, pH meter, tabung
Durham dan rak tabung reaksi.
Rancangan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Pola Faktorial
dengan dua faktor perlakuan dan empat kelompok sebagai ulangan. Faktor pertama
yaitu perendaman daging dalam larutan teh fermentasi kombucha dalam tiga taraf
yaitu 0, 1 dan 2 hari. Faktor kedua adalah perlakuan pengasapan terhadap daging
yang telah direndam dalam larutan teh fermentasi kombucha dalam dua taraf yaitu
dengan atau tanpa pengasapan. Pengelompokkan didasarkan atas penggunaan empat
potong daging sapi bagian gandik yang berbeda.
Model matematika yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah
Yijk = μ + αi + j + k + α ij + εijk
Keterangan:
Yijk = hasil pengamatan
μ = nilai rata-rata pengamatan
αi = pengaruh faktor perlakuan perendaman taraf ke-i (0, 1 dan 2 hari)
j = pengaruh faktor perlakuan pengasapan ke-j (tanpa dan dengan)
k = pengaruh faktor pengelompokkan ke-k (1, 2, 3 dan 4)
α ij = pengaruh interaksi faktor perlakuan perendaman pada taraf ke-i dengan
faktor perlakuan pengasapan ke-j
εijk = pengaruh galat percobaan pada perlakuan perendaman taraf ke-i, peng-
asapan ke-j dan kelompok ke-k
Pengaruh masing-masing faktor perlakuan dan interaksi keduanya terhadap peubah
yang diamati dianalisis dengan sidik ragam (General Linear Mode/GLM), pengaruh
yang nyata (p<0,01) dari interaksi kedua faktor perlakuan diuji lebih lanjut dengan
uji Least Squre Mean (LSM) dengan piranti lunak SAS 6.12.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati diantaranya yaitu kualitas mikrobiologi daging dan
faktor yang mempengaruhinya, yaitu pH. Kualitas mikrobiologi daging ditentukan
dengan analisis terhadap jumlah total mikroba (Total Plate Count/TPC), total
Staphylococcus serta analisis kualitatif coliform dan Salmonella. Penentuan kualitas
mikrobiologi daging dan nilai pH dilakukan setelah perlakuan perendaman dalam
larutan teh fermentasi kombucha dan setelah perlakuan pengasapan.
Analisis Kuantitatif Total Mikroba/Total Plate Count (TPC) (DSN, 1992).
Penentuan untuk TPC menggunakan metode tuang (pour plate). Sebanyak 1 ml
sampel hasil pengenceran (pengenceran dilakukan hingga P-8) diambil dengan
menggunakan pipet steril dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya
dituangkan medium PCA ke dalam cawan petri yang telah berisi sampel hasil
pengenceran dan dihomogenkan dengan cara cawan diputar membentuk angka
delapan. Pemupukan dilakukan dengan metode tuang single layer. Setelah campuran
agar beserta sampel membeku, cawan petri diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48
jam dengan posisi terbalik. Hasil analisis jumlah bakteri dilaporkan dengan metode
Analisis Kuantitatif Staphylococcus spp. (Fardiaz, 1993). Pemupukan untuk
Staphylococcus sp. menggunakan metode permukaan (surface/spread plate).
Pemupukan menggunakan media Staphylococcus medium sebanyak 12-15 ml yang
terlebih dahulu dituang ke dalam cawan petri steril dan dibiarkan mengeras. Sampel
hasil pengenceran diambil sebanyak 0,1 ml dengan menggunakan pipet steril dan
disebarkan pada permukaan Staphylococcus medium hingga merata dengan
menggunakan spreader. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam dengan
posisi cawan terbalik. Hasil analisis jumlah bakteri dilaporkan dengan metode
Standard Plate Count (SPC).
Analisis Kualitatif Coliform (DSN, 1992). Analisa terhadap coliform dilakukan dengan menggunakan metode Angka Paling Memungkinkan/APM (Most Probable
Number/MPN) seri 3 tabung, yaitu dengan mengamati keberadaan gas yang
terbentuk dalam tabung Durham. Prosedurnya dimulai dengan mengencerkan
sebanyak 25 gram sampel ke dalam 225 ml BPW (P-1), pengenceran dilakukan
hingga 10-3 (P-3). Sebanyak 1 ml sampel dari masing-masing pengenceran diambil
dan dipindahkan ke dalam tabung yang berisi 5 ml Lactose Broth yang telah
disediakan dengan menggunakan pipet steril, tiap pengenceran disediakan 3 tabung
reaksi dan di dalam masing-masing tabung reaksi diletakkan tabung Durham dengan
posisi terbalik. Semua tabung diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam. Jumlah
tabung yang membentuk gas pada masing-masing pengenceran dicatat, kemudian
dikonversikan berdasarkan tabel yang telah ditetapkan untuk mendapatkan jumlah
bakteri Coliform (Lampiran 6).
Analisis Kualitatif Salmonella spp. (DSN, 1992. Sebanyak 0,1 ml biakan pada media Lactose Broth, yang berasal dari analisa kualitatif coliform, diambil dengan
pipet steril dan disebarkan pada permukaan media pemupukan selektif SSA. Inkubasi
dilakukan pada suhu 37oC selama 24 jam dengan posisi cawan terbalik. Jumlah
koloni Salmonella yang muncul dihitung, dengan ciri-ciri koloni tidak berwarna
sampai merah muda, bening sampai buram dan dilaporkan dengan berdasarkan
metode SPC.
Nilai pH (AOAC, 1995). Pengukuran nilai pH dilakukan dengan pH meter. Alat pH meter harus dikalibrasikan terlebih dahulu dengan menggunakan buffer ber-pH 2 dan
aquadestilata sampai 100 ml, kemudian dihomogenkan dengan blender selama 1
menit. Nilai pH sampel diukur dengan menempatkan eletroda pada sampel yang
telah diencerkan, dan ditunggu hingga nilai pH tertera pada layar pH meter.
Prosedur
Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan bahan dan tahap
pembuatan produk daging asam asap. Pada tahap persiapan bahan dibuat larutan teh
fermentasi kombucha menurut metode Frank (1999) seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Tahapan Proses Pembuatan Larutan Teh Fermentasi Kombucha
Tahapan penelitian yang selanjutnya adalah membuat daging asam asap.
Pembuatan daging asam asap menggunakan teknologi sederhana yang meliputi
teknologi pengasaman dan pengasapan. Proses perendaman daging menggunakan
larutan teh fermentasi kombucha dengan konsentrasi 100% dan perbandingan antara Air mendidih
Penambahan 10 gram teh hijau untuk tiap liter air, kemudian Didiamkan selama 15 menit agar teh larut
Penyaringan teh
Penambahan 100 gram gula pasir (sukrosa) untuk tiap liter air
Pendinginan air teh manis hingga mencapai suhu 20-30oC
Pemasukkan air teh manis ke dalam stoples
Inokulasi kultur koloni kombucha 10% (v/v) ke dalam stoples berisi
air teh manis dan penutupan dengan kain steril
Inkubasi pada suhu 23-27oC selama 8 hari
larutan teh kombucha dengan daging adalah 1:1 (v/b) yaitu 250 ml larutan teh
fermentasi dengan 250 g daging hingga seluruh bagian daging terendamdengan
merata. Proses pengasapan dilakukan dengan cara menggantung daging iris
menggunakan tali pada suhu 50oC selama + 4 jam di dalam smoker dan
menggunakan bahan pengasapdari bricket asap.
Produk daging yang direndam selama 0 hari dan tanpa diasap dapat dianggap
sebagai daging segar dan daging yang direndam selama 0 hari dan diasap dianggap
sebagai daging asap. Produk daging yang direndam selama 1 atau 2 hari dan tanpa
diasap dianggap sebagai daging asam, sedangkan daging yang direndam selama 1
atau 2 hari dan diasap merupakan produk daging asam asap. Proses pembuatan
daging asam asap dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Tahapan Proses Pembuatan Daging Asam Asap Pengirisan daging menggunakan slicer
dengan ketebalan1cm
Pengasapan daging asam pada suhu 50oC selama 4 jam dengan dua taraf perlakuan
(tanpa dan dengan diasap)
Daging asam asap Daging sapi
Perendaman daging dalam larutan teh kombucha dengan konsentrasi 100% pada suhu ruang selama 0, 1 dan 2 hari
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian perendaman daging dalam larutan teh fermentasi kombucha umur
8 hari, dengan nilai pH rata-rata 3,32, dan dengan atau tanpa dilakukan pengasapan
menghasilkan produk daging asam asap. Produk daging yang terbentuk dapat dilihat
pada Gambar 6.
Keterangan : A = Perendaman 0 hari dan tanpa diasap (daging segar) B = Perendaman 0 hari dan diasap (daging asap) C = Perendaman 1 hari dan tanpa diasap (daging asam) D = Perendaman 1 hari dan diasap (daging asam asap) E = Perendaman 2 hari dan tanpa diasap (daging asam) F = Perendaman 2 hari dan diasap (daging asam asap)
Gambar 6. Produk Daging Asam Asap yang Dihasilkan
Berdasarkan daging asam asap yang dihasilkan, secara visual, dapat dilihat
bahwa daging yang direndam selama 0, 1 dan 2 hari (0, 24 dan 48 jam) serta diasap
mempunyai warna yang lebih gelap dan tekstur yang lebih kering dibandingkan
dengan daging yang direndam selama 0, 1 dan 2 hari namun tanpa diasap. Hal ini
terjadi karena pengasaman yang dikombinasikan dengan pengasapan mampu
A B
C D
mengurangi kadar air daging. Warna daging asam asap yang gelap/cokelat
diakibatkan oleh myoglobin yang berubah menjadi metmyoglobin karena adanya
pengaruh panas.
Warna daging yang direndam selama 0 hari dan diasap lebih gelap dan lebih
kering dibandingkan dengan daging yang direndam 1 hari dan diasap. Hal tersebut
disebabkan oleh air bebas yang terdapat dalam daging yang direndam 1 hari dan
diasap keluar akibat proses osmosis karena zat asam yang memiliki konsentrasi yang
lebih tinggi dibandingkan air bebas dalam daging. Perbedaan konsentrasi tersebut
menyebabkan air bebas dalam daging keluar beserta myoglobin yang terlarut di
dalamnya, sedangkan asam organik dari kombucha masuk ke dalam daging.
Keterbatasan air dalam daging menyebabkan daging asam asap yang dihasilkan
tampak lebih kering dan pucat. Pada saat daging asam asap dimakan akan
mempunyai rasa asam dan tidak terlalu berair karena adanya larutan teh fermentasi
yang terserap ke dalam daging.
Warna daging yang direndam selama 2 hari dan diasap lebih gelap dan berair
dibandingkan dengan daging yang direndam 1 hari dan diasap. Proses perendaman
selama 2 hari mengakibatkan terjadinya proses osmosis balik dari daging karena
terbentuknya titik pH jenuh dalam daging sehingga asam dalam daging keluar dan
digantikan oleh air serta gula yang berasal dari teh fermentasi kombucha ikut masuk.
Adanya gula dalam daging menyebabkan terbentuknya warna yang lebih coklat
akibat peristiwa browning non enzimatis (karamelisasi dan Maillard) karena
pemanasan gula saat dilakukan pengasapan.
Nilai pH Daging Asam Asap
Faktor yang mempengaruhi kualitas mikrobiologi daging asam asam yang
diamati yaitu nilai pH. Pengukuran nilai pH dilakukan terhadap larutan teh manis
yang difermentasi menggunakan kultur kombucha selama 8 hari dan setelah proses
perendaman daging maupun setelah proses pengasapan daging. Nilai rataan pH
Tabel 3. Rataan pH Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda
Perendaman (hari) Pengasapan
tanpa dengan
Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (p<0,01)
Interaksi antara perlakuan perendaman dan pengasapan mempengaruhi nilai
pH daging asam asap yang dihasilkan. Nilai pH daging yang direndam selama 0 hari
dan diasap sangat berbeda nyata dibandingkan dengan daging yang direndam 0 hari
dan diasap serta dengan daging yang direndam selama 1 atau 2 hari dan dengan atau
tanpa diasap. Nilai pH daging yang direndam selama 0 hari dan diasap sangat
berbeda nyata dibandingkan dengan daging yang direndam selama 0 hari dan tanpa
diasap serta dengan daging yang direnadam selama 1 hari dan diasap dan dengan
daging yang direndam selama 2 hari, tanpa atau dengan diasap, namun hanya
berbeda nyata dibandingkan dengan daging yang direndam selama hari dan tanpa
diasap. Daging yang direnadam selama 1 hari dan diasap sangat berbeda nyata
dengan daging yang direndam selam 0 hari, tanpa atau dengan diasap dan dengan
daging yang direndam selama 1 hari dan tanpa diasap serta denga daging yang
direndam selama 2 hari dan diasap, namun tidak berbeda nyata dengan daging yang
direndam selama 2 hari dan tidak diasap. Perbedaan nilai-nilai rataan tersebut
diakibatkan oleh nilai rataan pH daging yang menurun dengan sangat nyata setelah
mendapatkan perlakuan perendaman dan tanpa atau dengan diasap.
Rataan nilai pH daging segar yang digunakan sebagai bahan baku dalam
penelitian lebih tinggi dari nilai pH daging segar umumnya yaitu 6,01. Menurut
Aberle et al. (2001), pH ultimat daging daging normal ialah 5,3-5,7. Hal tersebut
menandakan bahwa daging yang digunakan termasuk ke dalam daging Dark Firm
Dry (DFD). Daging DFD disebabkan oleh tingginya nilai pH daging setelah ternak
dipotong maupun tidak tercapainya masa postmortem dengan sempurna. Tingginya
nilai pH daging sesaat setelah ternak dipotong diakibatkan oleh rendahnya kadar
sebagai akibat dari proses respirasi anaerob otot yang sudah tidak mendapat suplai
O2 dari darah karena terhentinya kerja jantung. Rendahnya kadar asam laktat yang
terbentuk dipengaruhi oleh penanganan terhadap ternak sebelum dipotong. Apabila
ternak tidak diberi makan sesaat sebelum dipotong maka kadar asam laktat yang
terbentuk akan rendah, karena pakan menyediakan cadangan energi bagi ternak
dalam bentuk glikogen. Rendahnya glikogen dalam otot akan menyebabkan asam
laktat yang terbentuk akan rendah pula karena glikogen diubah menjadi energi
melalui respirasi anaerob dan menghasilkan asam laktat saat ternak mati.
Nilai pH daging segar turun dengan sangat nyata sebesar 1,25 unit setelah
direndam selama 0 hari dan diasap. Nilai rataan daging segar turun dengan sangat
nyata setelah direndam selama 1 dan 2 hari dan tanpa atau dengan diasap,
masing-masing senilai 1,44, 1,79, 1,84 dan 2,08 unit.
Penurunan nilai pH daging diakibatkan oleh pengaruh interaksi proses
perendaman dan perendaman. Proses perendaman menurunkan nilai rataan pH
daging segar melalui kandungan asam organik (terutama asam asetat dan laktat) yang
terdapat di dalam larutan teh fermentasi kombucha. Asam organik yang terdapat di
dalam larutan teh fermentasi kombucha meresap kedalam daging melalui proses
osmosis. Zat asam memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan air
bebas yang terdapat di dalam daging. Asam organik teh fermentasi kombucha masuk
ke dalam daging menyebabkan air bebas dalam daging keluar guna menyeimbangkan
konsentrasi dalam daging dengan lingkungannya. Asam organik yang masuk ke
dalam daging menyebabkan nilai pH daging menurun.
Proses pengasapan menurunkan nilai pH produk daging yang dihasilkan
melalui kandungan asam organik pada asap. Asam-asam organik yang terdapat di
dalam asap diantaranya asam format, asam asetat, butirat, kaprilat, vanilat dan
siringat. Kandungan asam organik yang beragam tersebut berasal dari selulosa dan
hemiselulosa yang terkondensasi pada suhu yang lebih rendah dari lignin, yang
terdekomposisi pada suhu 310oC (Aberle et al., 2001).
Total Plate Count (TPC)
Karakteristik mikrobiologi daging yang diberi perlakuan perendaman dan
pengasapan salah satunya ditentukan oleh jumlah Angka Lempeng Total
Tabel 4. Rataan TPC Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda
Perendaman (hari) Pengasapan
tanpa dengan
--- (log 10 cfu/g) ---
0
1
2
5,86A + 1,53
2,46B + 0,31
2,46B + 0,49
3,42B + 0,32
2,73B + 0,34
2,27B + 0,19
Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (p<0,01)
Interaksi antara kedua faktor perlakuan sangat nyata (p<0,01) mempengaruhi
nilai TPC. Nilai rataan TPC daging yang mendapat perlakuan perendaman 0 hari dan
tanpa diasap, selanjutnya disebut sebagai daging segar, sangat berbeda nyata dengan
daging yang mendapat perlakuan perendaman 0 hari dan diasap serta dengan
perendaman 1 dan 2 hari, tanpa atau dengan diasap. Perbedaan nilai-nilai rataan
tersebut diakibatkan oleh nilai rataan TPC daging segar yang menurun dengan sangat
nyata setelah mendapatkan perlakuan perendaman dan tanpa atau dengan diasap.
Rataan awal TPC daging segar dapat diturunkan dengan sangat nyata sebesar 58,02%
setelah direndam selama 1 dan 2 hari serta tanpa diasap. Nilai rataan TPC daging
segar turun dengan sangat nyata yaitu 41,64% (dari 5,86 menjadi 3,42), untuk
perendaman 0 hari dan dengan diasap. Nilai rataan TPC daging segar (5,86
log10cfu/g) turun secara nyata sebesar 53,41% (menjadi 2,73 log10cfu/g) pada
perendaman 1 hari dan diasap serta sebesar 61,26% (menjadi 2,27 log10cfu/g) pada
perendaman 2 hari dan diasap. Namun antara perendaman 1 hari dengan perendaman
2 hari (dengan atau tanpa diasap) secara statistik tidak terjadi penurunan rataan TPC
yang nyata pada daging (0%). Grafik pengaruh interaksi antara perlakuan
perendaman dan pengasapan pada daging terhadap nilai rataan TPC dapat dilihat
0 2 4 6
0 1 Perendaman (hari) 2
N
Gambar 7. Penurunan Nilai Rataan TPC pada Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda
Daging yang diberi perlakuan perendaman 0 hari dan tanpa diasap merupakan
daging segar. Nilai rataan TPC yang terkandung dalam daging segar yang diamati
termasuk tinggi yaitu 5,86 log 10 cfu/g dibandingkan dengan batasan maksimum TPC
daging menurut SNI 014-6366-2000 yaitu 4 log 10 (1 x 104) cfu/g, atau 46,5% lebih
tinggi. Tingginya nilai TPC yang terkandung dalam daging segar tersebut dapat
diakibatkan oleh faktor internal dan eksternal.
Penyebab tingginya nilai TPC daging segar dapat ditelusuri mulai dari saat
ternak masih hidup hingga setelah menjadi produk olahan daging. Pemberian pakan
(termasuk faktor internal) sesaat sebelum ternak dipotong dapat mempengaruhi nilai
TPC. Pakan menyediakan cadangan tenaga dalam otot berupa glikogen bagi ternak
dalam jumlah cukup banyak. Setelah dipotong, cadangan glikogen akan diubah
menjadi asam laktat melalui oksidasi anaerob. Semakin banyak cadangan glikogen
dalam otot maka akan semakin banyak pula asam laktat yang terbentuk sehingga pH
daging akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Nilai pH daging juga
dipengaruhi perlakuan rigormortis saat pelayuan daging. Jika daging tidak dibiarkan
mencapai rigormortis sempurna maka pH ultimat daging normal tidak akan tercapai,
sehingga pH daging akan tetap tinggi. Menurut Aberle et al. (2001), pH ultimat
daging daging normal ialah 5,3-5,7.
Tingginya pH daging menyebabkan mikroba dapat tumbuh dan berkembang
tumbuh pada kisaran pH 6,0-8,0. Pelczar dan Chan (1986) menambahkan, bahwa
kebanyakan spesies bakteri mempunyai nilai pH minimun dan maksimum antara 4
dan 9. Kondisi pH yang netral memungkinkan bakteri dapat berkembang biak
dengan baik. Rataan nilai pH daging segar yang digunakan sebagai bahan baku
dalam penelitian lebih tinggi dari nilai pH daging segar umumnya (5,3-5,7) yaitu
6,01. Nilai pH daging tersebut mendekati nilai pH netral dan termasuk dalam kisaran
nilai pH yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba.
Pakan dapat pula mempengaruhi rataan TPC apabila tercemar oleh
mikroorganisme, terutama patogen. Pakan yang terkontaminasi akan membuat ternak
menjadi sakit atau apabila tidak sakit, ternak tersebut akan menjadi menjadi
pembawa/karier mikroba patogen akibat pakan yang dikonsumsi. Daging yang
dihasilkan oleh ternak yang sakit atau karier mikroba patogen akan menjadi ikut
terkontaminasi.
Faktor lain yang mempengaruhi tingginya rataan TPC daging segar adalah
faktor eksternal daging. Kontaminasi eksternal daging terjadi mulai dari saat
eksanguinasi, distribusi hingga konsumsi. Sumber kontaminasi tersebut diantaranya
adalah peralatan yang dipergunakan, air yang dipergunakan, udara sekitar, pekerja
Rumah Pemotongan Hewan (RPH), jeroan ternak (selama eviserasi), tanah/kotoran
yang menempel pada kulit (saat dressing) dan lantai RPH. Selama proses
perpindahan daging antara RPH ke pedagang dapat terjadi kontaminasi silang antar
tiap potongan daging bila pengemasan dan pengangkutan yang dilakukan tidak
higienis. Dalam proses penjualan pun dapat terjadi kontaminasi, yaitu oleh serangga
penggangu (seperti lalat), peralatan yang dipergunakan, lingkungan tempat berjualan,
udara sekitar, pedagang dan konsumen. Kontaminasi mikroba pada daging selama
proses pengolahan oleh konsumen dapat berasal dari peralatan yang dipergunakan,
udara sekitar, air dan konsumen itu sendiri.
Perbedaan (penurunan) nilai rataan TPC pada produk daging diakibatkan oleh
adanya pengaruh dari interaksi perlakuan perendaman dan pengasapan yang
dilakukan. Hasil akhir nilai TPC daging yang direndam selama 2 hari dan tanpa
diasap (2,46 log10 cfu/g) masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai TPC yang
didapatkan Hapsari (2004) pada daging yang difermentasi dengan Lactobacillus
proses perendaman mampu menurunkan rataan TPC lebih baik dari pada proses
fermentasi daging dengan menggunakan kultur starter L. plantarum. Penurunan
rataan TPC setelah proses perendaman adalah sebagai akibat dari kandungan bahan
organik, terutama asam organik, yang terdapat di dalam larutan teh fermentasi
kombucha.
Kandungan asam organik yang terkandung dalam kombucha (terutama asam
asetat dan asam laktat) mampu menurunkan nilai rataan TPC dengan cara
menurunkan nilai pH lingkungan tempat tumbuh bakteri dan membuatnya menjadi
tidak kondusif sehingga bakteri terhambat dan terhenti pertumbuhannya. Hal ini
terbukti melalui hasil pengukuran pH daging, yaitu sebesar 1,44 unit menjadi 4,57
pada perendaman 1 hari dan turun sebesar 1,84 unit menjadi 4,17 pada perendaman 2
hari bila dibandingkan dengan rataan pH daging segar yang bernilai 6,01. penurunan
nilai pH tersebut sesuai dengan yang didapatkan Hapsari (2004) pada daging yang
difermentasi dengan L. plantarum yang mendapatkan adanya penurunan nilai pH
diakhir fermentasi hingga hari ke-5 yaitu sebesar 4,56. Dalam kondisi yang sama,
keefektifan daya antimikroba dari empat asam organik adalah sebagai berikut, asam
asetat lebih efektif dari pada asam propionat, asam propionat lebih efektif dari pada
asam laktat dan asam laktat lebih efektif dari pada asam sitrat (Ray, 2001).
Proses pengasapan menyebabkan rataan TPC menurun oleh karena
komponen asap yang dihasilkan dan suhu serta lamanya waktu pemanasan yang
diterapkan. Walaupun pengasapan dan pemanasan dapat dianggap sebagai dua
langkah pengolahan yang terpisah, namun dibahas menjadi satu kesatuan karena
kedua proses tersebut terjadi serempak dan saling mempengaruhi (Aberle et al.,
2001). Bahan antimikroba yang terpenting dari asap adalah formaldehid, fenol dan
kresol. Selain karena kandungan antimikroba, asap dapat menurunkan nilai pH
daging segar sebesar 2,80 unit (dari 6,01 menjadi 4,76) sehingga nilai rataan TPC
dapat turun. Kemampuan menurunkan nilai pH oleh asap disebabkan adanya
kandungan asam organik (asam format, asam asetat, butirat, kaprilat, vanilat dan
siringat) dalam bahan pengasap.
Menurut Ray (2001), panas yang yang diberikan saat pengasapan mampu
membunuh banyak mikroba dan pertumbuhan dari mikroba yang selamat dihambat
diberikan (+ 4 jam) menambah pengaruh penghambatan mikroba oleh panas
sehingga semakin lama waktu yang diterapkan maka akan semakin banyak pula
bakteri yang terbunuh dan terhambat pertumbuhannya.
Viabilitas Coliform
Bakteri coliform yang terdapat di dalam daging dapat digolongkan ke dalam
coliform fekal. Jumlah coliform yang terdapat di dalam daging akan mengindikasikan
penerapan sanitasi yang dilakukan. Viabilitas coliform dari daging yang mendapat
perlakuan perendaman dan pengasapan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Viabilitas Coliform Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda
Perendaman (hari) Pengasapan
tanpa dengan
--- (log 10 cfu/g) ---
0
1
2
3,13A + 0,17
0,48B + 0,00
0,48B + 0,00
0,48B + 0,00
0,48B + 0,00
0,48B + 0,00
Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (p<0,01)
Interaksi antara kedua faktor perlakuan sangat nyata (p<0,01) mempengaruhi
nilai viabilitas coliform. Nilai rataan viabilitas coliform daging segar sangat berbeda
nyata dengan daging yang mendapat perlakuan perendaman 0 hari dan diasap serta
perendaman selama 1 dan 2 hari, tanpa atau dengan diasap. Interaksi antara
perlakuan perendaman dengan perlakuan pengasapan terbukti mampu menurunkan
rataan viabilitas coliform daging segar dengan sangat nyata, yaitu sebesar 84,66%
(dari 3,13 log 10 cfu/g menjadi 0,48 log 10 cfu/g) atau dapat dikatakan mampu
membunuh sebagian basar coliform yang ada pada daging segar. Grafik pengaruh
interaksi antara perlakuan perendaman dan pengasapan pada daging terhadap nilai
0 1 2 3 4
0 1 Perendaman (hari) 2
Rata
Gambar 8. Rataan Coliform pada Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda
Bakteri coliform yang didapatkan dari daging yang direndam selama 0 hari
dan tanpa diasap (daging segar) merupakan bagian dari total keseluruhan bakteri
yang terdapat di daging (TPC). Berdasarkan nilai rataan viabilitas coliform daging
segar pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa bakteri coliform yang ada merupakan
bagian terbesar dari total bakteri di daging segar, yaitu sebesar 53.41% (3.13 log10
cfu/g dari nilai total 5.86 log10 cfu/g). Nilai rataan viabilitas coliform daging segar
termasuk tinggi, sebesar 3,13 log 10 cfu/g, dibandingkan dengan batasan maksimum
coliform menurut SNI No. 014-6366-2000 yang bernilai 2 log 10 (1 x 102) cfu/g.
Tingginya nilai rataan viabilitas coliform tersebut mengindikasikan bahwa daging
segar yang diamati tercemar oleh coliform. Pencemaran daging oleh coliform
disebabkan oleh kurangnya sanitasi yang diterapkan.
Tingginya nilai viabilitas coliform daging segar diakibatkan oleh kontaminasi
coliform yang berasal dari faktor eksternal maupun faktor internal daging. Faktor
internal penyebab kontaminasi coliform diantaranya isi saluran pencernaan (digesta)
dan atau feses, kulit ternak dan kelenjar limfa. Faktor eksternal penyebab
kontaminasi coliform diantaranya peralatan yang dipergunakan, personal yang
menangani dan air yang dipergunakan, namun sumber utama pencemaran adalah isi
saluran pencernaan dan atau feses ternak. Feses ternak dapat mencemari air yang
dipergunakan untuk proses mulai dari penjagalan hingga pemotongan daging
menjadi potongan komersil. Air yang dipergunakan untuk penanganan daging yang
diamati dapat dipastikan telah terkontaminasi oleh coliform, sehingga nilai rataan
nilai rataan coliform juga disebabkan oleh tingginya nilai pH daging segar. Nilai
rataan pH daging segar yang mencapai nilai 6,01 membuat coliform mampu tumbuh
dengan baik, karena nilai pH tersebut termasuk ke dalam nilai pH pertumbuhan
optimal coliform (4,4-9,0) (Jay, 1997).
Interaksi perlakuan perendaman dan pengasapan memberikan pengaruh yang
sangat nyata dalam menurunkan nilai viabilitas coliform daging segar. Efek
penurunan nilai viabiltas coliform diakibatkan oleh proses perendaman yang
memberikan pengaruhnya melalui kandungan asam organik larutan teh fermentasi
kombucha serta ditambah dengan proses pengasapan yang memberikan pengaruhnya
melalui komponen asap yang terbentuk dan tingginya suhu pemanasan yang terapkan.
Proses perendaman daging dalam larutan teh fermentasi kombucha
menurunkan nilai rataan viabilitas coliform melalui kandungan asam-asam organik
yang terdapat di dalamnya. Asam organik menurunkan nilai pH lingkungan tempat
tumbuh bakteri coliform dan membuatnya menjadi tidak kondusif sehingga bakteri
coliform terhambat dan terhenti pertumbuhannya. Hoffman (1999), melaporkan
bahwa larutan teh fermentasi kombucha memiliki aktivitas antimikroba terhadap
bakteri E. coli yang tergolong ke dalam kelompok bakteri coliform.
Pengaruh proses pengasapan terhadap penurunan nilai viabilitas coliform
diakibatkan oleh 3 faktor yang terjadi bersamaan saat pengasapan, yaitu tingginya
suhu dan komponen asap serta lamanya waktu yang diterapkan. Komponen asap
yang dapat menurunkan nilai viabilitas coliform diantaranya kandungan asam-asam
organik dan adanya antibakteria seperti formaldehid, fenol dan kresol. Pemanasan
saat pengasapan, yang dilakukan pada suhu 50oC dan selama 4 jam mampu membuat
coliform terhambat dan terhenti pertumbuhannya. Coliform tidak mampu tumbuh
pada suhu tinggi karena tergolong bakteri mesofil yang tumbuh optimal pada suhu
25-40oC.
Viabilitas Salmonella sp.
Salmonella sp. yang terdapat di dalam daging akan mengindikasikan keadaan
sanitasi daging dan pencemaran oleh feses, karena sebagian besar peristiwa
kontaminasi Salmonella sp. berasal dari feses. Nilai rataan Salmonella sp. dari
Tabel 6. Nilai Rataan Salmonella sp. Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda
Perendaman (hari) Pengasapan
tanpa dengan
0
1
2
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif
Keterangan : tidak terdapat pertumbuhan bakteri Salmonella sp.
Pengaruh perlakuan perendaman dan pengasapan serta interaksi antara
keduanya secara statistik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap viabilitas
Salmonella sp. Daging yang mendapat perlakuan perendaman 0, 1 dan 2 hari serta
dengan atau tanpa diasap menghasilkan nilai rataan Salmonella yang negatif. Tidak
didapatkan adanya pertumbuhan bakteri Salmonella sp. selama pengamatan terhadap
pengaruh kedua perlakuan. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat kontaminasi
yang disebabkan oleh Salmonella sp. serta mengindikasikan bahwa seluruh kegiatan
dilakukan dalam kondisi sanitasi yang baik dan terjaga.
Sanitasi yang baik memungkinkan terhindarinya kontaminasi Salmonella sp.
dari berbagai sumber seperti air, manusia dan peralatan yang dipergunakan. Tanpa
adanya kontaminasi, bakteri Salmonella sp. tidak dapat tumbuh dan berkembang biak
serta menginfeksi, sehingga produk daging yang dihasilkan dapat dikatakan layak
konsumsi.
Viabilitas Staphylococcus sp.
Keberadaan Staphylococcus sp. di dalam daging dan produk olahannya dapat
mengindikasikan terjadinya kontaminasi oleh pekerja. Viabilitas Staphylococcus sp.
dari daging yang diberi perlakuan perendaman dan pengasapan dapat dilihat pada
Tabel 7. Rataan Viabilitas Staphylococcus sp. Daging yang Diberi Perlakuan Perendaman dan Pengasapan yang Berbeda
Perendaman (hari) Pengasapan
Tanpa dengan
Keterangan : tidak terdapat pertumbuhan bakteri Staphylococcus sp.
Faktor perlakuan perendaman dan pengasapan serta interaksi antara keduanya
secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap viabilitas Staphylococcus sp. Nilai
rataan viabilitas Staphylococcus sp. pada daging yang diberi perlakuan perendaman
0,1 dan 2 hari serta dengan atau tanpa pengasapan bernilai nol. Menurut
Ardanariswari (1999), jumlah kisaran Staphylococcus sp. pada sosis fermentasi dari
daging sapi dengan kultur starter L. brevis adalah 4-6 log10 cfu/g. Sedangkan pada
penelitian ini, nilai rataan Staphylococcus sp. yang didapatkan dari produk daging
yang dihasilkan semua bernilai nol. Hal ini menunjukkan bahwa proses perendaman
dalam larutan teh fermentasi kombucha dan pengasapan mampu menghasilkan nilai
rataan Staphylococcus sp. yang lebih rendah dan lebih baik dibandingkan hanya
dengan perlakuan pemberian kultur starter L. brevis pada daging.
Nilai rataan viabilitas Staphylococcus sp. yang bernilai nol menandakan
bahwa tidak didapatkan adanya pertumbuhan Staphylococcus sp. selama pengamatan
terhadap kedua pengaruh perendaman dan pengasapan serta tidak terdapat
kontaminasi Staphylococcus sp. dari berbagai sumber terutama manusia dikarenakan
seluruh kegiatan dilakukan dalam kondisi sanitasi yang baik dan terjaga. Untuk
menghindari kontaminasi Staphylococcus sp., sedikit mungkin dihindari kontak
langsung antara kulit dengan daging yang diamati dan meskipun bersinggungan tetap
dilakukan desinfeksi terlebih dahulu.
Berdasarkan jumlah bakteri Staphylococcus sp. yang nol, dapat dikatakan
bahwa produk daging yang dihasilkan tergolong aman dikonsumsi karena terbebas
dari intoksikasi pangan yang disebabkan oleh enterotoksin yang dihasilkan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Interaksi antara perlakuan perendaman dan pengasapan sangat berpengaruh
terhadap kualitas mikrobiologi daging asam asap yang dihasilkan. Perlakuan
perendaman selama 0 hari dan tanpa diasap (daging segar) memberikan nilai total
bakteri (TPC) dan coliform yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
perendaman selama 0 hari dan diasap serta dengan perendaman 1 dan 2 hari, dengan
atau tanpa diasap. Antara perlakuan perendaman 0 hari dan diasap serta perlakuan
perendaman 1 dan 2 hari, dengan atau tanpa diasap, masing-masing memberikan
nilai total bakteri (TPC) dan coliform yang tidak berbeda dari daging asam asap yang
dihasilkan. Pola umum yang dapat digambarkan dari penjelasan diatas adalah
terjadinya penurunan jumlah populasi hingga produk akhir. Perlakuan perendaman
dalam larutan teh fermentasi kombucha, dengan konsentrasi 100%, selama 1 hari
ataupun perlakuan pengasapan pada suhu 50oC selama 4 jam terhadap daging sapi,
yang diiris dengan ketebalan 1 cm, dapat menurunkan nilai TPC dan coliform daging
segar.
Bakteri Salmonella sp. dan Staphylococcus sp. tidak dideteksi
pertumbuhannya pada produk olahan daging yang dihasilkan. Penurunan jumlah
mikroorganisme yang cukup tinggi pada produk daging disebabkan oleh keasaman
yang tinggi yang ditunjukkan oleh nilai pH yang rendah akibat perendaman di dalam
larutan teh fermentasi kombucha dan adanya pengaruh pemanasan dan komponen
asap yang terbentuk selama proses pengasapan. Perlakuan pengasaman dengan atau
tanpa diikuti dengan pengasapan mampu membebaskan produk daging asam asap
dari bakteri patogen sehingga aman bila dikonsumsi manusia.
Saran
Berdasarkan bukti bahwa perlakuan perendaman dan pengasapan mampu
menurunkan sejumlah besar mikroba, maka penulis menyarankan agar selanjutnya
dilakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan larutan teh fermentasi kombucha
dalam konsentrasi yang berbeda (0, 25, 50, 75 dan 100%) serta perbedaan waktu
pengasapan (0, 2 dan 4 jam) dan suhu pemanasan (30, 50 dan 80oC) agar dapat