• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Luar Negeri Indonesia terhadap ASEAN : studi kasus proses pembentukan ASEAN community

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik Luar Negeri Indonesia terhadap ASEAN : studi kasus proses pembentukan ASEAN community"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP ASEAN

(Studi Kasus: Proses Pembentukan

ASEAN Community

)

OLEH:

NABIL AHMAD FAUZI

NIM: 103033227824

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA TERHADAP ASEAN

(Studi Kasus: Proses Pembentukan

ASEAN Community

)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Sebagai Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

Nabil Ahmad Fauzi

NIM: 103033227824

Di Bawah Bimbingan

Drs. Agus Nugraha, M.Si.

NIP: 150 299 478

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi dengan judul “Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap ASEAN (Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 31 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 31 Maret 2008

Sidang Munaqasyah Ketua,

Dr. Masri Mansoer, M.A. NIP. 150 244 493

Sekretaris,

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A NIP. 150 270 808

Penguji I,

Drs. Zakky Mubarak, M.A. NIP. 150 371 093

Penguji II,

Drs. Idris Thaha, M.Si. NIP.150 317 723

Pembimbing,

(4)

KATA PENGANTAR

SubhanAllah Walhamdulillah Wa Laa Ilaha IllAllah, Allahu Akbar. Segala puji hanya milik Allah yang melimpahkan ketentraman dan ketenangan di batin yang terdalam. Berkat rahmat dan kuasa-Nya serta kekuatan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah dan melimpah kepada penghulu agung, rasul junjungan Muhammad Saw beserta para sahabat, keluarga dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan dan kelemahan penulis, skripsi ini tidak akan bisa terselesaikan tanpa adanya bantuan, sokongan serta dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis bermaksud mengucapkan ribuan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tinginya kepada:

1. Ayahanda tercinta Yusman Namud beserta Ibunda terkasih Titin Indrayani yang tiada henti memberikan cinta, kasih sayang, perhatian serta dukungan penuh kepada penulis baik dalam semua hal. Terimakasih atas kesabaran menanti kelulusan ananda. Semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan.

2. Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si. selaku dosen pembimbing yang menyempatkan waktu dan memberikan arahan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pertahankan eksistensi FUF dari ancaman hedonisme yang menggerogoti nalar intelektualitas dan moralitas mahasiswa.

4. Bapak Drs. Agus Darmadji M.Fil., dan Ibu Drs.Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Terima kasih atas petunjuk serta kemudahan yang diberikan selama proses studi dan skripsi ini.

(5)

ada peningkatan intensitas dan kualitas kehadirannya di kelas) serta dosen-dosen lainnya tanpa mengurangi rasa hormat penulis. Semoga ilmunya dapat bermanfaat.

6. Segenap karyawan tata usaha FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga sistem administrasi dan pelayanannya semakin baik.

7. Saudara Mochammad Sidiq, S.Sos. dan Ifa Djuliah, S.Sos. atas segala saran dan masukan bagi skripsi ini.

8. Saudara Amirul Hasan, S.Sos. selaku ”pembimbing kedua”. Semoga kerjasama dan persahabatn kita tetap terus terjalin dan semoga sukses dalam mengarungi kejamnya kehidupan ibukota.

9. Keluarga Besar Markaz Dakwah Kabupaten Tangerang atas segala bantuan dan fasilitas yang mendukung proses penulisan skripsi ini. Semoga Allah membalasnya dengan kemajuan dan ’kemenangan’ dakwah di masa yang akan datang.

10.Keluarga Besar KAMMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan ”warna baru” bagi kehidupan penulis, serta segala ruang kreativitas, intelektualitas dan aktivitas dalam merekonstruksi cara pandang penulis terhadap dunia.

11.Keluarga Besar Partai Intelektul Muslim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala ruang aktualisasi pemikiran politik penulis. Mungkin kemenangan itu bukan ditakdirkan pada periode ini, namun yakinlah janji Allah adalah pasti. 12.Ust. Hasanih dan teman-teman pengajian, semoga senantiasa Istiqomah. 13.Kawan-kawan di PPI angkatan 2003 yang memberikan cakrawala berpikir

bagi penulis dalam seluruh proses dialektika. Ditunggu kiprahnya dalam merekonstruksi bangunan Indonesia baru, sebagai sebuah entitas peradaban dunia.

14.Para Direksi PIONEER INSTITUTE dengan seluruh pengalaman pahit dan manisnya membangun institusi bisnis. Semoga Allah mempermudah segala upaya kita agar ’kekayaan’ itu berada dalam genggaman para mukminin. Kekayaan itu bukan keinginan, tapi keharusan.

(6)

Penulis menyadari bahwa ada banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karenanya penulis sangat mengharapakan dan terima kasih atas segala saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Ciputat, Maret 2008

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………iii

DAFTAR ISI………...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….10

D. Metodologi Penelitian………...11

E. Sistematika Penelitian………...11

BAB II TINJAUAN UMUM POLITIK LUAR NEGERI A. Pengertian Politik Luar Negeri……….14

B. Kepentingan Nasional………...19

C. Peran dan Diplomasi……….22

D. Kerjasama Regional………..28

BAB III GAMBARAN UMUM ASEAN DAN ASEAN COMMUNITY A. Selayang Pandang ASEAN...30

1. Sejarah Berdirinya ASEAN……….30

2. Posisi ASEAN dalam Politik Luar Negeri Indonesia………..37

B. Profil Singkat ASEAN Community………....42

1. Pengertian Umum ASEAN Community………....42

2. ASEAN Security Community (ASC)………..44

3. ASEAN Economic Community (AEC)………...45

(8)

BAB IV POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM PROSES

PEMBENTUKKAN ASEAN COMMUNITY

A. Kepentingan-Kepentingan Indonesia………...47

1. Stabilitas Politik, Keamanan dan Ekonomi………...47

2. Peran Regional Power Center di ASEAN……….49

3. Pengembalian Citra………52

B. Peranan Indonesia………56

C. Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia………...65

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………..71

B. Saran………72

DAFTAR PUSTAKA………73

LAMPIRAN

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan para pemimpin pemerintahan sepuluh negara anggota ASEAN

(Association of South East Asian Nations), yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja, menyepakati Bali Concord II pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN IX tanggal 7 Oktober 2003 lalu menjadi momentum yang sangat penting. Bali Concord II merupakan pencapaian penting dalam proses menuju integrasi ASEAN, dengan dibentuknya ASEAN Community (Komunitas ASEAN) yang ditargetkan berlaku pada tahun 2015.

Melalui sebuah komunitas, ASEAN berjuang untuk mengubah statusnya dari

sekedar “perhimpunan bangsa-bangsa “ menuju satu kesatuan masyarakat yang terdiri atas bangsa-bangsa (transforming it self from an association of states into a real community of nations).1 Dengan kata lain, ASEAN memulai proses transformasi dari kumpulan negara yang berasosiasi ke arah komunitas kawasan yang lebih terintegrasi. Sampai tahun 2007, kesepakatan pembentukkan ASEAN Community dan kesepakatan ASEAN Charter (Piagam ASEAN) merupakan pencapaian tertinggi dalam sejarah empat puluh tahun berdirinya perhimpunan ini. Sejak terbentuknya pada 8 Agustus 1967 silam di Bangkok, Thailand, yang ditandai dengan Deklarasi Bangkok, ASEAN mengalami perkembangan yang tidak terlalu signifikan. Perhimpunan kerjasama regional Asia Tenggara ini awalnya dipelopori oleh Menteri

1

(10)

Luar Negeri (Menlu) Adam Malik dari Indonesia, Deputi Perdana Menteri (PM) Malaysia Tun Abdul Razak, Menlu Filipina Narcisco Ramos, Menlu Thailand Thanat Khoman dan Menlu Singapura S. Rajaratnam.2 Dalam perkembangannya terkini, anggota ASEAN telah mencapai sepuluh negara yang berada di kawasan Asia Tenggara yakni para negara pelopor dan negara-negara anggota baru, yaitu Brunei Darussalam, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja.3

Ada tiga pilar utama dari ASEAN Community ini, yaitu ASEAN Security Community (Komunitas Keamanan ASEAN) disingkat ASC, ASEAN Economic Community (Komunitas Ekonomi ASEAN) disingkat AEC, dan ASEAN Socio-Cultural Community (Komunitas Sosial Budaya ASEAN) disingkat ASCC. Ketiga pilar tersebut merupakan prasyarat utama yang dianggap mampu menerjemahkan visi integrasi ASEAN sebagaimanaamanat ASEAN Vision 2020.4

Adapun kerangka umum Bali Concord II yang berisi pembentukkan ASEAN

Community tersebut menggariskan bahwa ;

An ASEAN Community shall be established comprising three pillars, namely political and security cooperation, economic cooperation, and socio-cultural cooperation that are closely interwined and mutually reinforcing for the purpose of ensuring durable peace, stability and shared prosperity in the region.5

Kerangka tersebut secara tegas mengupayakan suatu pendekatan yang dibangun untuk mewujudkan ASEAN yang damai, stabil dan sejahtera. Oleh karena itu, politik,

2

James Luhulima, Asia Tenggara dan Negara Luar Kawasan Yang Mempengaruhinya: Pendekatan Politik dan Keamanan (Jakarta: Kompas-Grasindo, 1998), h. 35.

3

Brunei Darussalam bergabung di ASEAN pada tanggal 8 Januari 1984, Vietnam menjadi anggota ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Laos dan Myanmar bergabung pada tanggal 23 Juli 1997 dan Kamboja menjadi negara terakhir yang bergabung pada tanggal 30 April 1999. S. Pusphanathan, “The Establishment of ASEAN Community for the Future of ASEAN”, dalam Seminar ASEAN Charter: The Future of ASEAN ?, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma Syahida, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 1.

4

Dian Triansyah Djani, “The Future of ASEAN Regional Cooperation After the 40th Anniversary”, dalam Seminar ASEAN Charter: The Future of ASEAN ?, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, tanggal 3 September 2007 di Wisma Syahida, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 1.

5

(11)

keamanan, ekonomi dan sosial budaya menjadi bidang prioritas dan vital untuk menuju Komunitas ASEAN.

Setidaknya ada beberapa latar belakang yang menjadikan ASEAN Security Community sebagai pilar pertama dalam kerangka ASEAN Community yakni untuk menjamin ASEAN mengatur stabilitas keamanan regional oleh para negara anggotanya. Hal ini penting untuk memastikan serta menangkal pengaruh kekuatan negara-negara besar luar kawasan (Amerika Serikat, Cina, Australia dan Rusia) secara langsung. Selain itu, ASEAN Security Community akan semakin memperkuat posisi ASEAN dalam konstelasi geopolitik internasional.

Dalam kaitan yang lebih luas, meminjam pendapat Juwono Sudarsono, “era pasca-Perang Dingin”, “globalisasi ekonomi” dan “Dunia Tanpa Tapal Batas”, masalah-masalah perimbangan kekuatan militer antar bangsa tetap menjadi sentral dalam hubungan internasional menuju abad-21.6 Oleh karena itu kerjasama keamanan

kawasan diperlukan untuk mengimbangi kepentingan nasional negara anggota ASEAN dalam membangun pertahanan dan persenjataan domestiknya. Selain itu untuk menjamin setiap penyelesian permasalahan dalam lingkup ASEAN diselesaikan tidak dengan pendekatan militer.

Unsur ekonomi yang diwujudkan dalam ASEAN Economic Community merupakan elemen lain yang juga penting. Pertama, untuk mempercepat langkah meminimalisir jurang pertumbuhan dan perkembangan ekonomi antar negara anggota yang masih besar. Kedua, memperkuat pertahanan ekonomi kawasan agar tidak mengulangi krisis ekonomi tahun 1997 yang dipicu oleh krisis mata uang Thailand yang dengan mudahnya menyebar kesemua negara di Asia Tenggara. Tuntutan untuk

6

(12)

terintegrasi terhadap pasar bebas dunia juga menjadi motivasi utama kerjasama ekonomi ini.

Sedangkan aspek ASEAN Socio-Cultural Community dalam ASEAN Community diperlukan dalam upaya mempercepat visi integrasi ASEAN. Kedekatan sosial budaya yang dibangun di tingkatan elit diharapkan mampu berdampak pada integrasi sosial budaya pada level masyarakat (civil society) dari negara-negara anggota. Selama ini, kurangnya rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kekitaan

(we feeling) dari masyarakat negara-negara anggota ditengarai sebagai faktor lambatnya perkembangan kerjasama integrasi ASEAN.

Sejak awal, ada tiga alasan utama yang melatarbelakangi berdirinya perhimpunan tersebut, yakni keinginan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, sosial, dan kebudayaan kawasan melalui program-program kerjasama; menjaga stabilitas politik dan ekonomi kawasan dari rivalitas negara besar; menyediakan

forum bagi penyelesaian perbedaan-perbedaan intra-regional.7

Pada awalnya, terlihat motivasi politik yang sangat besar melatar belakangi berdirinya ASEAN ini, namun para negara pendiri masih terlalu riskan untuk menempatkan masalah politik dan keamanan dalam mainstream kebijakan perhimpunan. Hal mendasar yang melandasi sikap kehati-hatian ini adalah masalah politik dan keamanan masih merupakan hal yang terlalu sensitif. Pasalnya ini akan menyentuh masalah vital di mana beberapa negara pendiri baru memulihkan hubungan diplomatiknya. Selain itu, perbedaan perspektif dalam menyikapi kehadiran pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Asia Tenggara masih menjadi persoalan penting. Sehingga dikhawatirkan pembahasan yang terlalu berat dalam wilayah politik

dan keamanan dapat mengancam kelangsungan hidup ASEAN yang masih baru.

7

(13)

Seiring dengan perkembangan dan perubahan peta politik internasional yang ditandai dengan berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet pada awal era 1990-an, ASEAN bergerak menuju ranah penguatan kerjasamanya. Terlebih ketika tahun 1992 Amerika Serikat secara resmi keluar dari Filipina yang sejak lama didudukinya semakin memotivasi negara-negara anggota ASEAN untuk mulai merumuskan kembali pola kerjasama regional yang lebih luas tanpa terlalu dicampuri oleh kepentingan-kepentingan negara luar kawasan.

Pengalaman negara-negara ASEAN yang selama puluhan tahun “dipermainkan” oleh negara luar kawasan, menjadi titik awal kesadaran negara – negara ASEAN untuk menciptakan kerjasama kawasan yang lebih konkret. Hal ini diwujudkan dengan lahirnya konsep ASEAN Security Community, di mana tema politik dan keamanan menjadi isu sentral.

Selain itu, badai krisis ekonomi yang menerjang Asia Tenggara pada tahun

1997 juga menyadarkan ASEAN bahwa diperlukan suatu kerjasama yang erat dalam bidang ekonomi. Kesadaran akan Pasar Tunggal ASEAN sebagai wujud respon negara-negara anggota dalam menghadapi globalisasi juga menjadi alasan penting. Oleh karena itu, lahirlah gagasan pembentukkan ASEAN Economic Community.

Terlebih, eksistensi ASEAN masih menjadi komoditas para elit politik negara-negara anggota. Hal ini menjadikan ASEAN tidak mengakar dalam kehidupan sosial budaya masyarakat negara anggota. Karena itu pembentukan ASEAN Socio-Cultural Community menjadi sangat penting. Ketiga faktor di atas menjadi pilar dalam kerangka pembentukkan ASEAN Community, di mana hal ini menjadi sebuah keniscayaan dalam peta konstelasi sosial politik dunia internasional kontemporer.

Dalam perspektif yang lebih khusus, proses pembentukan ASEAN Community

(14)

ASEAN. Peran Indonesia dalam hal ini sangat besar, dengan menjadi pelopor pembentukan ASEAN Community ini. Hal ini terbukti di mana kelahiran Bali Concord II pada KTT ASEAN IX di Bali di awali dengan konsep ASEAN Security Community

yang digagas oleh Indonesia.

Jika mengacu pada sejarahnya, tidak heran jika Indonesia mengambil peran yang besar dalam proses politik di ASEAN. Sejak berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto mengambil kebijakan strategis dengan menempatkan kawasan Asia Tenggara dalam prioritas politik luar negeri Indonesia. Hal ini merupakan langkah strategis dalam konteks kebijakan politik luar negeri Indonesia saat itu.

Soeharto lebih memilih memperkuat kawasan Asia Tenggara daripada lingkup politik internasional yang lebih luas, seperti Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok. Hal ini diimplementasikan dengan menjadikan Indonesia sebagai pelopor

dan pendiri ASEAN. Indonesia beranggapan bahwa stabilitas kawasan merupakan elemen penting dalam menopang stabilitas nasional. Oleh karena itu, Indonesia menempatkan ASEAN dalam ruang yang khusus dalam politik luar negeri Indonesia sejak saat itu.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN ini setidaknya dilandasi oleh 3 (tiga) faktor utama, 8 yakni; pertama, orientasi politik luar negeri Indonesia dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu ”…Supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi…”.9

8

Kebijakan politik luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mecapai tujuan nasional yang spesifik yang ditujukan dalam terminologi kepentingan nasional. A.A. Banyu Perwita dan Yanyan M. Yani, Pengantar Hubungan Internasional (Bandung: Rosda Karya, 2005), h. 49.

9

(15)

Kedua, patron politik luar negeri Indonesia yakni Bebas dan Aktif. Sebagaimana yang digariskan oleh pernyataan Muchtar Kusumaatmadja (mantan Menlu Indonesia era Orde Baru), Orientasi “Bebas” berarti Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang ada, karena pemihakan kepada salah satu kekuatan pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa yang mana dicerminkan dalam Pancasila dan politik Bebas-Aktif. Adapun “Aktif diartikan bahwa dalam menjalankan kebijakan luar negerinya Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif.10

Ketiga, Indonesia beranggapan bahwa “dalam strategi internasional, kawasan ini berada dalam jalur yang sangat potensial dilihat dari segi ekonomi dan sosio-politik di mata negara-negara adikuasa.”11 Faktor geografis ini menjadi penting bagi Indonesia.12 Karenanya Indonesia menganggap sangat diperlukan mekanisme kerjasama regional yang kuat untuk menjamin kehidupan bernegara dan bertetangga

yang aman, damai dan stabil sebagai penopang stabilitas nasional.

Dengan kerangka di atas, maka tidak heran jika Indonesia menjadi negara penting dalam perkembangan ASEAN. Keberhasilan ASEAN membangun masyarakat yang aman untuk bagian terbesar adalah berkat pendekatan kerja sama dan kemitraan yang dipelopori oleh Indonesia sejak tahun 1967, yaitu politik luar negeri yang diabdikan untuk kepentingan nasional dengan mendahulukan pembangunan nasional. Strategi dasar inilah yang ditempuh Indonesia, diterima sebagai hal yang membangun tindak percaya (confidence building measure) di

10

Muchtar Kusumatmadja, Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa ini (Bandung: Alumni, 1983), h. 7.

11

Harry Kawilarang, Dunia di Tengah Kemelut; Bunga Rampai Masalah Internasional 1983-1984 (Jakarta: UI Press, 1984), h. xi.

12

(16)

kalangan negara-negara Asia Tenggara yang kemudian diakui oleh negara–negara besar di Asia Pasifik.13

Namun, perubahan peta politik domestik yang ditandai dengan runtuhnya era Orde Baru menjadikan posisi Indonesia cenderung melemah dalam konstelasi politik regional ASEAN. Kesibukan dengan pergulatan masalah-masalah domestik sedikit melemahkan tarikan politik luar negeri Indonesia. Belum lagi citra kerusuhan, konflik SARA (Suku, Adat, Ras dan Agama), separatisme sampai terorisme menambah buruknya citra Indonesia dalam peta dunia internasional dan ASEAN. Namun, pada KTT ASEAN IX di Bali itulah yang menjadi titik balik kembalinya peran penting Indonesia di ASEAN.

Manuver Indonesia yang sejak awal menggagas terbentuknya ASEAN Security Community menjadi fenomena tersendiri. Terlebih gagasan Indonesia ini kemudian menggelinding menghasilkan multiplier effect. Terbukti dengan terwujudnya

kepakatan ASEAN Community dalam Bali Concord II. Bahkan hingga kini, Indonesia masih tetap fokus untuk mengawal pengembangan dan pembangunan ASEAN Community dalam bingkai ASEAN Charter (Piagam ASEAN) dalam forum-forum regional.14 Maka muncul beberapa pertanyaan, yakni peran dan kepentingan apa yang melandasi manuver politik luar negeri Indonesia tersebut.

Oleh karena itu, fenomena tersebut menjadi penting dan sangat menarik untuk diangkat dalam penelitian akademik. Karenanya penulis mengajukan ini sebagai skripsi dengan judul “Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap ASEAN (Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community ) ”.

13

James Luhulima, Asia Tenggara, h. ix.

14

(17)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, tetapi tetap fokus pada pokok-pokok persoalan yang diangkat, maka penulis membatasi masalah pada politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan ASEAN Community.

2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah: a. Bagaimana politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN? b. Apa yang dimaksud dengan ASEAN Community?

c. Bagaimana politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan ASEAN Community?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN. b. Untuk mengetahui gambaran umum ASEAN Community.

c. Untuk mengetahui politik luar negeri Indonesia dalam proses pembentukan

ASEAN Community. 2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah mampu memberikan kontribusi akademis dan ilmiah mengenai politik luar negeri

(18)

Ushuluddin dan Filsafat, Civitas Academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat umum.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (library reseach), sumber data penelitian ini sepenuhnya berdasarkan pada riset kepustakaan, buku-buku tentang politik luar negeri, data dan informasi primer dari Sekretariat Jendral ASEAN dan Departemen Luar Negeri Indonesia serta tulisan lainnya yang terkait dengan penelitian ini.

Adapun metode pembahasan penelitian ini menggunakan metode deskriptif - analisis kritis. Penulisan skripsi ini, secara umum mengacu pada buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007/2008.

E. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Pendahuluan meliputi latar belakang masalah yang membahas tentang kondisi ASEAN sebagai sebuah organisasi regional. Selain itu, mengangkat peran politik luar negeri Indonesia dalam pembentukkan ASEAN Community. Dalam pembatasan masalah, penulis fokus pada proses pembentukkan ASEAN Community. Pada perumusan masalah hanya dititik beratkan pada politik luar negeri Indonesia terhadap ASEAN, pengertian ASEAN Community dan politik luar negeri Indonesia pada proses pembentukan ASEAN Community. Selain itu, terdapat tujuan dan manfaat penelitian.

(19)

Bab II Tinjauan Umum Politik Luar Negeri

Meliputi pengertian dan teori-teori politik luar negeri di mana penulis mengklasifikasikan secara umum dalam tiga perspektif; realis, pluralis dan global. Terdapat juga pengertian kepentingan nasional yang merupakan pilar tertinggi dari politik luar negeri setiap negara. Pada definisi peran dan diplomasi dalam politik luar negeri, penulis fokus pada fungsi utama dari diplomasi. Pengertian kerjasama regional turut dimasukan sebagai landasan dalam memadang ASEAN.

Bab III Gambaran Umum ASEAN dan ASEAN Community

Bab ini terdiri dari dua bagian, yakni, pertama, menguraikan tentang sejarah kelahiran ASEAN yang dideklarasikan pada 1967 dengan lima negara pendiri awal. Posisi ASEAN dalam politik luar negeri Indonesia menempati posisi vital dan

merupakan soko guru. Kedua, membahas pengertian umum ASEAN Community yang merupakan sebuah konsep ASEAN yang terintegrasi sebagai sebuah masyarakat antar bangsa. Dalam penjelasan tentang ASEAN Security Community (bidang politik dan keamanan), ASEAN Economic Community (bidang ekonomi) dan ASEAN Socio-Cultural Community (bidang sosial budaya) difokuskan pada penegrtian umumnya.

Bab IV Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Proses Pembentukkan ASEAN

Community.

Membahas kepentingan-kepentingan Indonesia yang dilandasi pada; status

regional power center, stabilitas politik, kemanan dan ekonomi serta pengembalian citra. Peranan Indonesia yang sangat besar dalam pembentukan ASEAN Community

(20)

Bab V Penutup

Berisi kesimpulan bahwa Indonesia menempatkan ASEAN pada posisi vital politik luar negerinya dan berperan penting dalam pembentukan ASEAN Community.

(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM POLITIK LUAR NEGERI

A. Pengertian Politik Luar Negeri

Politik luar negeri merupakan sebuah komponen penting dalam pemerintahan suatu negara. Hal ini lebih disebabkan kebijakan politik luar negeri suatu negara berdimensi ganda, yakni; dimensi domestik dan negara lain. Karena itu, studi politik luar negeri atau hubungan internasional berdimensi luas yang meliputi dimensi politik, ekonomi dan sosial budaya.

Pada dasarnya, politik luar negeri merupakan “action theory”, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan,

mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan internasional. Dari dimensi nasional, dukungan rakyat merupakan prasayarat bagi presiden dalam mengemudikan politik luar negeri.15 Namun seringkali otoritas presiden melebihi legitimasi publik dalam penentuan kebijakan luar negeri. Hal ini kemudian melahirkan gap besar antara kebijakan dengan legitimasi publik yang berdampak lemahnya dukungan masyarakat.

Selain itu, politik luar negeri dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang telah diformulasikan sedemikian rupa oleh satu pihak (dalam hal ini state) untuk memperjuangkan dan mencapai kepentingan nasional satu pihak.16 Dalam konsep

15

Hans. J. Morgenthau, Politik Antar-Bangsa, terj.S. Maimoen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), h. 225.

16

(22)

Holsti,17 pokok dalam membuat politik luar negeri pada umumnya dititik beratkan pada usaha untuk memecahkan berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan masalah dalam maupun luar negeri dan diwujudkan melalui berbagai cara yang bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya yang direfleksikan melalui perumusan kebijakan politik luar negerinya. Sehingga menurutnya, kebijakan luar negeri dibuat sebagai suatu reaksi negara terhadap lingkungan eksternal, keseimbangan dan ketidakseimbangan semua unit dalam sistem.

Berdasarkan hal tersebut, setiap kebijakan luar negeri yang dibuat sebuah negara akan bersifat spesifik dan tentunya sesuai dengan kebutuhan negara. Sebagaimana akan penulis paparkan dalam BAB IV penelitian ini, langkah Indonesia mengusung pembentukan ASEAN Security Community yang berkembang menjadi ASEAN Community merupakan implementasi dari pendapat tersebut.

Dalam konteks lain, kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana

tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.18 Menurut Rosenau, apabila kita mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan memasuki fenomena yang luas dan kompleks, meliputi kehidupan internal (internal life) dan kebutuhan eksternal (eksternal needs).19

Politik luar negeri merupakan dua komponen yang berbeda tetapi membentuk sebuah pengertian umum. Memahami konsep politik luar negeri dapat dielaborasi dengan jalan memisahkannya dalam dua komponen: politik dan luar negeri.

17

K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka Analisa, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), h. 175-176.

18

Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional (Bandung: Abardin, 1999), h. 5.

19

(23)

Politik atau kebijakan (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah diterapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep ”pilihan (choices)”: memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu dalam upaya memahami konsep politik luar negeri

(foreign). Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah (dalam) yang dimiliki suatu negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan keluar wilayah suatu negara.20

Dengan kata lain, studi politik luar negeri berada intersection (persilangan) antara aspek dalam negeri suatu negara (domestik) dan aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara.21 Pengaruh proses persentuhan atau persilangan ini merupakan substansi dari perumusan kebijakan politik luar negeri, di mana

pemerintahan dituntut untuk dapat mengkompromikan kepentingan domestik dengan kepentingan internasional di sisi lain.

Dengan menggunakan teori analisa politik luar negeri James N. Rosenau dan Gavin Boyd, ada empat faktor sumber yang secara umum yang telah meliputi dimensi internal dan eksternal. Sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan kebijakan luar negeri, yaitu: pertama, sumber sistemik (systemic sources), merupakan sumber yang berasal dari lingkungan eksternal suatu negara. Sumber ini menjelaskan struktur hubungan antara negara-negara besar, pola-pola aliansi yang terbentuk antara negara-negara dan faktor situasional eksternal yang dapat berupa isu area atau krisis.

Kedua, sumber masyarakat (societal sources), merupakan sumber yang berasal dari

20

Banyu Perwita dan M. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, h. 48.

21

(24)

lingkungan internal. Sumber ini mencakup faktor kebudayaan dan sejarah, pembangunan ekonomi, struktur sosial dan perubahan opini publik.

Ketiga, sumber pemerintahan (governmental sources) merupakan sumber internal yang menjelaskan tentang pertanggung jawaban politik dan struktur dalam pemerintahan. Keempat, sumber idiosinkratik (idiosyncratic sources) merupakan sumber internal yang melihat nilai-nilai pengalaman, bakat serta kepribadian elit politik yang mempengaruhi persepsi, kalkulasi dan perilaku mereka terhadap kebijakan luar negeri.22 Keempat faktor dalam terminologi Rosenau dan Boyd tersebut merupakan faktor-faktor yang tampak dalam menganalisis politik luar negeri suatu negara. Beberapa faktor akan terlihat dominan di atas faktor lainnya.

Dengan demikian, politik luar negeri suatu negara ditujukan untuk memajukan dan melindungi kepentingan negaranya. Kemudian politik luar negeri dalam aspeknya yang dinamis adalah sebuah sistem tindakan suatu pemerintahan terhadap

pemerintahan lain atau suatu negara terhadap negara lain. Ia termasuk jumlah keseluruhan hubungan luar negeri suatu bangsa. Penyusunan politik luar negeri mungkin merupakan fungsi politik paling tinggi dalam suatu negara. Kesalahan dalam perumusannya bisa membawa pada akibat yang paling serius. Karena itu, perumusan politik luar negeri telah menjadi hak prerogatif pimpinan eksekutif suatu negara.23 Namun demikian, beberapa perkembangan kontemporer menggariskan keterlibatan unsur pimpinan negara lainnya serta peran partisipatif dari publik turut serta mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri.

Mengacu pada pendapat Zainudin Djafar,24 terdapat beberapa klasifikasi teori yang sering dipakai dalam mengkaji politik luar negeri, yakni;

22

Ibid., h. 57.

23

S.L. Roy, Diplomasi (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 33.

24

(25)

1. Realis

Kaum realis mendasarkan diri pada empat asumsi. Pertama, negara merupakan aktor yang prinsipil dan penting dalam hubungan internasional. Kedua, negara adalah aktor yang merupakan satu kesatuan (unitary actor). Ketiga, negara adalah aktor yang rasional. Keempat, bahwa isu-isu internasional mempunyai hierarki di mana national security menempati urutan paling pertama, oleh karenanya tidaklah mengherankaan kalau power menjadi konsep kunci dalam perspektif realis.

2. Pluralis

Yang tidak kalah menarik adalah perspektif kaum pluralis yang berasumsi;

pertama, bahwa aktor non state merupakan entitas penting dan tidak boleh diabaikan dalam hubungan internasional. Kedua, bahwa negara bukanlah aktor yang satu kesatuan. Ketiga, karena negara adalah yang rasional maka negara akan berupaya mencapai konsensus (kesepakatan). Keempat, bahwa agenda politik internasional

bersifat ekstensif, artinya masalah internasional tidak melulu diwarnai oleh masalah keamanan, militer, tetapi juga meluas ke masalah ekonomi dan sosial.

3. Global

Untuk kaum globalis yang baru muncul, mereka berasumsi; pertama, bahwa titik awal analisis hubungan internasional adalah konteks global, di mana negara-negara sebagai entitas yang berinteraksi satu sama lain. Kedua, bahwa sangat penting dan bahkan diharuskan untuk melihat hubungan internasional dari perspektif historis.

Ketiga, mereka secara tipikal sangat memperhatikan masalah ketergantungan (interdependensi) antar negara-negara maju dengan negara-negara berkembang.

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan utama dalam konteks

(26)

hubungan dengan negara lain. Karenanya, kepentingan nasional menjadi faktor determinan dalam politik luar negeri.

B. Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional (national interest) didefinisikan sebagai kepentingan negara yang dicapai melalui kebijakan nasional.25 Kebijakan luar negeri suatu negara merupakan produk dari berbagai faktor dan kondisi baik yang bersifat tetap maupun berubah untuk suatu waktu tertentu. Sebagai bagian dari kebijakan nasional, kebijakan luar negeri jelas merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang direncanakan dan dilaksanakan demi kepentingan nasional. Adapun kepentingan nasional tersebut, menurut pendapat Moenir Ari Soenada,26 pada dasarnya terbagi atas dua faktor yaitu faktor tetap dan faktor berubah yang dikaitkan dengan waktu dan totalitas bangsa.

Pertama, faktor-faktor yang tetap itu pada umumnya diputuskan sesuai

dengan sistem politik dan koridor konstitusinya, yang menyangkut perlindungan bangsa seperti kemerdekaan politik, kemampuan memelihara kesatuan wilayah dan penduduk, dan keselamatan lembaga-lembaga masyarakat dan negara untuk tumbuh berkembang. Muatan dari faktor tetap tersebut dapat turut memuat sejumlah unsur prinsipil seperti mitos nasional dan falsafah negara yang disetujui rakyat. Kedua, faktor-faktor yang berubah diputuskan oleh eksekutif karena tekanan-tekanan kebutuhan baik oleh pemerintah itu sendiri, oleh badan legislatif atau oleh berbagai kelompok kepentingan yang dapat mempengaruhi para pembuat keputusan.

Kepentingan nasional merupakan sebuah faktor yang agak bias dalam kebijakan politik suatu negara. Hal ini lebih dikarenakan rumitnya menentukan

faktor-faktor penentu sebuah hal dikatakan atau didefinisikan sebagai kepentingan

25

Daniel S. Papp, Contemporary International Relations, h. 43.

26

(27)

nasional, terlebih membedakan antara kepentingan elit politik pembuat kebijakan dengan kepentingan nasional secara umum.

Kepentingan nasional adalah kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi kehidupan bangsa dan negara. Hal itu jelas berbeda dengan kepentingan golongan, yang lebih kecil konteks permasalahannya. Walaupun demikian, terdapat kepentingan golongan besar dari masyarakat yang dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah menjadi kepentingan nasional.

Dalam hal ini, Papp27 memberikan beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai penentu apakah suatu kepentingan dapat dikatakan sebagi kepentingan nasional. Kriteria tersebut adalah: kriteria ekonomi, ideologi, yang berkaitan dengan penambahan power (kekuatan atau pengaruh), keamanan militer, dan moralitas-legalitas. Namun, tidak semua kriteria tersebut terdapat dalam landasan kepentingan nasional suatu negara.

Berbagai kebijakan yang dapat meningkatkan perekonomian suatu negara maka dapat dilihat sebagai national interest. Kebijakan tersebut dapat meningatkan neraca perdagangan negara yang bersangkutan, memperkuat dasar perindustrian suatu negara, menjamin akses terhadap kebutuhan minyak serta sumber-sumber energi lainnya dapat dikatakan sebagai national interest yang dilihat dari kriteria ekonomi.28

Ideologi merupakan salah satu faktor yang dalam beberapa kesempatan memegang peran vital dalam perumusan kebijakan nasional suatu negara. Hal ini dipengaruhi oleh sistem ideologi negara yang mengikat sehingga proses perumusan kebijakan nasionalnya bergantung pada kepentingan nasional berbasis ideologinya. Pengaruh terbesar ideologi dalam perumusan kepentingan nasional dapat kita lihat

pada negara-negara berideologi komunisme dan marxisme seperti Uni Sovyet, Cina,

27

Daniel S. Papp, Contemporary International Relations, h. 44-45.

28

(28)

Vietnam Utara, Korea Utara, Kuba. Kutub ideologi seringkali menarik sebuah negara dalam pusaran konflik dengan negara musuh dalam peta ideologi mereka.

Power, didefinisikan oleh Hans Morgenthau sebagai sesuatu yang membuat satu pihak (dalam hal ini state) dapat mendirikan dan memelihara kendali (control)

terhadap pihak (state) lain. Menurutnya, power membuat negara bertahan, dan karena itu semua negara berkepentingan untuk memperolehnya. Oleh karena itu,

argumentation of power adalah adalah salah satu cara mendefinisikan national interest. Kebijakan apapun yang dapat meningkatkan power suatu negara merupakan

national interest negara yang bersangkutan.29 Dengan kata lain, power menjadi instrumen determinan yang mampu menempatkan posisi sebuah negara dalam konstelasi politik internasional. Karena itu, perebutan terhadap power menjadi bagian penting dalam hubungan internasional serta dalam memahami setiap kebijakan politik luar negeri suatu negara.

Kepentingan militer atau military security and/or advantage adalah kriteria yang paling utama dalam menentukan national interest. Secara alami, negara hanya berusaha untuk mempertahankan keamanan militernya yang dijadikan minimum determinant dalam national interest mereka karena tanggung jawab suatu negara adalah menjamin keamanan warga negaranya.30 Dalam konteks ini, terdapat benang merah antara upaya perebutan power dengan sebuah kepentingan militer atau lebih tepatnya disebut dengan penggunaan kekuatan militer. Singkatnya, penambahan

power selalu dilakukan seiring dengan penambahan kekuatan militer suatu negara. Moralitas-legalitas dalam sebuah kepentingan nasional merupakan peran etika dan budaya politik suatu negara. Hal ini dilandasi sebuah pemahaman bahwa budaya

politik merupakan perwujudan dari nilai-nilai moral dan kultur masayarakat suatu

29

Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: Struggle For Power and Peace, second edition, (New York: Alfred A. Knopf, 1956), h. 25-31

30

(29)

negara. Namun, hal ini seringkali tersingkirkan oleh basis moralitas-legalitas elit politik pembuat kebijakan yang kemudian menentukan kapentingan nasional negaranya.

Kepentingan nasional terkandung di dalam cita-cita, aspirasi dan tujuan bangsa dan negara serta menetukan sikap satu bangsa terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Kepentingan nasional ini pulalah yang menentukan cara untuk menerjemahkan cita-cita dan wawasan suatu bangsa ke dalam bentuk-bentuk yang nyata, baik secara bilateral, maupun secara regional ataupun internasional. Identifikasi kepentingan nasional merupakan langkah pertama dalam penentuan politik luar negeri suatu negara. Setelah itu barulah ditentukan tingkat atau derajat intensitas kepentingan itu dalam bentuk strategi dan terakhir kepentingan tersebut dicapai melalui tindakan nyata atau langkah-langkah dalam bentuk foreign policy.31

C. Peran dan Diplomasi

Peran merupakan implementasi dari perumusan kebijakan politik luar negeri

suatu negara. Beberapa peran yang dimainkan oleh suatu negara dalam politik luar negeri seperti pelopor pembentukan organisasi regional, multilateral, sanksi-sanksi, mediator konflik negara vis a vis negara, negara vis a vis separatis, serta aksi militer atau invasi. Keseluruhan peran tersebut termasuk dalam konteks diplomasi dalam aspek luasnya.

Adapun diplomasi, merupakan kata kunci dalam studi hubungan internasional. Kata tersebut merupakan hal yang signifikan yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik luar negeri. Diplomasi diyakini berasal dari kata Yunani “diploun” yang berarti “melipat”. Hal ini berhubungan dengan pola yang digunakan dalam memberlakukan surat jalan lintas wilayah di masa Kekaisaran Romawi masa

31

(30)

itu. Adapun surat jalan tersebut disebut sebagai ‘diplomas’.32 Kata ini kemudian berkembang dalam hubungan antar negara pada saat itu, kemudian menjadi kata baku yang terkandung dalam hubungan internasional.

Terdapat banyak definisi tentang diplomasi, salah satunya adalah The Oxford English Dictionary memberikan konotasi diplomasi adalah; “manajemen hubungan internasional melalui negosiasi; yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil bisnis atau seni para diplomat. 33 Namun, dalam konteks hubungan internasional, definisi KM. Panikkar dalam bukunya The Principle and Practice of Diplomacy terasa lebih tepat. Ia menyatakan, “diplomasi, dalam hubungannya dengan politik internasional, adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain.34

Dari pendapat di atas tersebut sebenarnya ada elemen-elemen pokok dalam definisi diplomasi ini yakni, negosiasi, kepentingan nasional, seni. Tetapi juga patut

dikedepankan di sini bahwa diplomasi ada untuk tujuan damai maupun perang. Hal ini mengingat faktor terpenting dalam diplomasi adalah kepentingan nasional. Maka apabila kepentingan nasional suatu negara merasa terancam, pilihan kebijakan ancaman maupun perang besar kemungkinan akan diambil.

Dengan demikian, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa diplomasi adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi, dengan cara-cara damai dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan sebagai cara untuk memperoleh tujuan-tujuan itu.35 Berbagai pilihan

(31)

tersebut diambil jika kemudian kepentingan nasional menggariskan ketentuan pilihan-pilihan tersebut dalam kebijakan politik luar negeri suatu negara.

Bagi negara manapun, tujuan utama diplomasinya adalah pengamanan kebebasan politik dan integritas teritorialnya. Ini bisa dicapai dengan memperkuat hubungan dengan negara sahabat, memelihara hubungan erat dengan negara-negara yang sehaluan dan menetralisir negara yang memusuhi. Persahabatan bisa dibina dan sahabat-sahabat baru diperoleh melalui negosiasi yang bermanfaat. Ini akan lebih mudah apabila terdapat persamaan kepentingan. Namun demikian tujuan-tujuan politik diplomasi suatu negara harus seimbang dengan sumber daya dan power nya. Hal ini mengingat daya bargaining position dari diplomasi sangat ditentukan kedua faktor tersebut.

Oleh karena itu, efektifitas diplomasi suatu negara bergantung pada sejauh mana kekuatannya. Sebaliknya sebuah negara besar dan kuat yang dilanda

pertentangan sipil, ketidakstabilan pemerintah yang kronis atau kebangkrutan keuangan, dan sebagainya akan gagal untuk menimbulkan kepercayaan dari negara lain. Dalam kasus seperti itu diplomasi jarang menghasilkan tujuan yang diinginkan.36

Faktor ekonomi ternyata juga tidak kalah penting dibanding dengan pertimbangan politik yang menjadi faktor determinan dalam diplomasi. Selama ratusan tahun diplomasi komersial sebagai tujuan kebijaksanaan nasional telah memperoleh landasannya yang kuat. Negara-negara yang secara teknologi maju telah berusaha mengeksploitasi negara-negara yang secara ekonomi lemah dan terbelakang. Penggunaan sebutan seperti ‘imperialisme ekonomi’, diplomasi dollar dan sebagainya membuktikan kenyataan ini.

36

(32)

Dengan lahirnya laissez faire dan sistem perdagangan bebas serta menimbulkan dampak atas penekanan ekonomi nasional, negara-negara maju maupun terbelakang telah menjumpai kenyataan bahwa perdagangan dan keuangan bisa digunakan sebagai alat utama kebijaksanaan nasional. Akibatnya, pencapaian perolehan-perolehan ekonomi telah menjadi tujuan penting dari diplomasi.37 Dalam konteks ini sebenarnya merupakan penggambaran dari dimensi lain mengenai keterkaitan erat antara politik dengan ekonomi. Artinya, aktivitas politik selalu memiliki dampak ekonomi.

Selain kedua faktor determinan di atas, faktor sosial dan kebudayaan menempati posisi yang cukup penting dalam diplomasi. Untuk menggambarkan betapa sisi kerjasama sosial budaya menjadi faktor diplomasi dapat dilihat dari meningkatnya aktivitas pertukaran budaya antar negara. Kekuatan utama diplomasi sosial budaya terletak pada nilai politiknya yang cenderung lebih rendah daripada diplomasi politik

dan ekonomi.

Penawaran dan negosiasi merupakan bagian utama dari diplomasi. Adapun kedua hal tersebut adalah bagian dari sebuah proses yang kompeks, begitu rumitnya sehingga ditandai dengan adanya dua faktor. Pertama, banyak negara yang melalui dua level dalam penawaran yang ingin berlanjut; penawaran internasional antar

negara dan penawaran harus sesuai dengan keinginan perunding, wakil negara dan begitu beragamnya konstituen domestik, keduanya harus menerima posisi negosiasi dan harus “mengakui” kesepakatan antar dua negara.

Kedua, penawaran dan negosiasi, dalam konteks ini, sebuah kegiatan batas budaya.38 Artinya dua komponen negara yang berbeda kultur menegaskan pentingya

37

Ibid., h. 10.

38

(33)

pendekatan kultural dalam proses diplomasi. Dalam hal inilah, batas budaya seringkali menjadi halangan dalam menghasilkan satu persepktif bersama dari hasil yang diinginkan.

Jika melihat proses umum dari diplomasi tersebut, memang terlihat diplomat sebagai aktor dari proses diplomasi dituntut untuk memainkan peran besar dalam proses penawaran dan negoisasi. Banyak faktor yang kemudian berperan dalam mendukung hal tersebut. Dalam hal ini kerangka tugas menjadi penting. Adapun kerangka diplomasi memiliki empat tugas, di antaranya:

1. Diplomasi harus menentukan tujuannya selaras dengan kemampuan yang ada. 2. Diplomasi harus menilai tujuan-tujuan negara lain dan kemampuannya untuk

mencapai tujuan-tujuan itu.

3. Diplomasi harus menentukan sampai sejauh mana tujuan-tujuan yang berlainan itu cocok satu sama lain, dan

4. Diplomasi harus menggunakan cara-cara yang selaras dengan pencapaian tujuan-tujuannya.39

Diplomasi juga memiliki peraturan-peraturan yang bisa menjadi acuan dalam melakukan interaksi dengan negara-negara lain baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Peraturan-peraturan tersebut adalah:

a. Diplomasi harus didasarkan kepada semangat juang yang tinggi.

b. Tujuan-tujuan politik luar negeri haruslah di dasarkan kepada kepentingan nasional dan perlu didukung oleh kekuatan yang memadai.

c. Diplomasi harus memandang pentas politik itu dari sudut pandang bangsa lain. d. Bangsa-bangsa harus bersedia melakukan kompromi terhadap isu yang

dianggap vital bagi mereka.40

39

(34)

Corak politik luar negeri suatu negara sebenarnya dapat terlihat dari pola diplomasinya. Kecenderungan negara dengan pola diplomasi menekan hanya dapat dilakukan ketika bargaining position negara tersebut di atas atau lebih kuat dari negara lainnya. Karena itu dalam hubungan internasional akan selamanya membentuk konstelasi dari tipologi-tipologi negara kuat-negara lemah, negara maju-negara berkembang, Utara-Selatan dan pola-pola dikotomistis lainnya.

Berdasar paparan tersebut, di sinilah letak diplomasi memainkan peran penting dari suatu negara. Bagaimana sebuah negara dengan berbagai perbedaannya dengan negara lain mampu memajukan kepentingan nasionalnya melalui kekuatan diplomasi. Jika mengacu pada pemaparan ini, akan terlihat bahwa implementasi diplomasi yang dilakukan Indonesia terhadap negara anggota ASEAN dalam upaya pembentukkan

ASEAN Community sangat kompleks, sebagaimana akan dibahas pada BAB IV penelitian ini.

D. Kerjasama Regional

Dalam melakukan kerja sama internasional, sekurang kurangnya harus dimiliki dua syarat utama. Pertama, adanya keharusan untuk menghargai kepentingan nasional masing-masing anggota yang terlibat. Tanpa adanya penghargaan, tidak mungkin dapat dicapai suatu kerjasama seperti yang diharapkan semula, bahkan sebaliknya akan menimbulkan konflik yang tidak diharapkan. Kedua, adanya keputusan bersama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul. Untuk mencapai keputusan bersama (komitmen) diperlukan komunikasi dan konsultasi secara berkesinambungan. Bahkan, kedua hal itu lebih penting daripada komitmen yang

biasanya dilakukan sewaktu-waktu saja bila diperlukan.

40

(35)

Pada dasarnya, kerjasama regional merupakan bentuk saling ketergantungan yang diatur berdasarkan kedekatan geografis yang bisa berkembang menjadi berbagai kepentingan bersama. Oleh karena itu, regionalisme merupakan tahap yang diperlukan masyarakat internasional dalam menuju globalisme yang di cita-citakan.41

Tahap-tahap kerjasama regional dan subregional biasanya dibagi kepada dua bagian: 1) tahap vertikal dan 2) tahap horisontal. Yang dimaksud dengan tahap vertikal adalah tiga tahap sebagai berikut:

1. Tahap kerjasama (cooperation), yang didalamnya negara-negara anggota masih belum dihadapkan kepada penyerahan kedaulatan apapun. Meskipun demikian dalam tahap ini sudah diperlukan kebulatan tekad dan kesungguhan niat untuk menuju cita-cita kerjasama regional serta perlu menyingkirkan hambatan intra regional serta rumusan bidang kerjasama.

2. Tahap koordinasi (coordination) di mana sudah diharuskan penyerahan

sebagian dari kedaulatan demi mencapai tingkat interdependensi yang lebih tinggi dan lebih teatur. Koordinasi sama artinya dengan harmonisasi usaha-usaha nasional yang menyangkut kepentingan bersama seperti kebijaksanaan ekonomi, rencana pembangunan dan lainnya

3. Tahap integrasi (integration) merupakan tahap akhir dalam proses perkembangan kerjasama regional. Apabila suatu kerjasama regional telah sampai pada puncaknya, maka tahap itu disebut tahap integrasi, di mana negara-negara anggota telah menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada

41

Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerja Sama ASEAN, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), h. 17

(36)

suatu badan supranasional yang mempunyai yuridiksi mengatur kepentingan bersama.42

Adapun tahap horisontal adalah mencakup bidang ekonomi dan kebudayaan. Kedua bidang ini merupakan pilihan yang biasanya dijadikan starting point dalam pembentukkan dan pertumbuhan sebuah kerjasama dan organisasi regional. Bahkan, seringkali kedua bidang tersebut dijadikan landasan utama bagi kerjasama yang dibangun. Mengingat kedua bidang inilah yang memiliki efek perbedaan dan sensitifitas yang lebih rendah dibanding bidang politik.

42

(37)

BAB III

GAMBARAN UMUM ASEAN DAN ASEAN COMMUNITY

B. Selayang Pandang ASEAN

1. Sejarah Berdirinya ASEAN

Istilah Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh pasukan Sekutu yang terdapat di wilayah Asia Tenggara pada waktu itu dengan nama Komando Asia Tenggara (South East Asia Command).43 Komando ini berpangkalan di Kolombo, Sri Langka, wilayah Asia Selatan, hal ini dikarenakan wilayah Asia Tenggara sedang diduduki oleh Jepang selama Perang Dunia ke-II berlangsung. Pasukan ini memang khusus disiapkan sebagai bagian dari strategi merebut kawasan Asia Tenggara dari Jepang dalam Perang Asia Pasifik.

Adapun yang termasuk dalam wilayah Komando Asia Tenggara itu adalah

negara-negara yang sekarang bernama Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina dan Indonesia. Jauh sebelumnya, kawasan ini oleh orang Eropa disebut sebagai Wilayah Timur (oriental) atau Timur Jauh (far east), Cina menyebutnya Wilayah Selatan (nan yang), India menyebut Hindia Belakang, Jepang menyebut “Nan Yo” (Asia Timur Raya) dan PBB menyebutnya Asia Timur Jauh.44

Pada dekade awal 1960-an, Asia Tenggara merupakan kawasan yang sarat konflik dan terpecah belah. Hal ini disebabkan oleh sangat kuatnya pengaruh negara-negara luar kawasan yang mencengkram sebagian besar negara-negara-negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini merupakan efek yang ditimbulkan oleh kemunculan dua negara

43

Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerja Sama ASEAN, h. 17.

44

(38)

super power “pemenang” Perang Dunia ke-II yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet yang kemudian melahirkan sekutu-sekutu dalam bentuk pakta pertahanan seperti NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan Pakta Warsawa.

Dengan konstelasi demikian, tidak heran jika kawasan Asia Tenggara, menjadi lahan perebutan dari kekuatan dua super power tersebut. Sebut saja Inggris yang “bermain” di Malaysia (dulu bernama Malaya) dan Singapura, Amerika Serikat di Filipina dan Uni Soviet di kawasan Indo Cina (Kamboja, Vietnam dan Laos). Menyikapi fenomena ini, maka muncul upaya-upaya untuk melepaskan kawasan Asia Tenggara dari pengaruh kekuatan negara luar kawasan.

Regionalisme Asia Tenggara pertama kali dimunculkan Dr. Abu Hanifah ketika Asian Relations Conference berlangsung di New Delhi, India, pada tahun 1947. Ide pembentukan kelompok Asia Tenggara muncul pada konferensi itu sebagai jawaban atas keyakinan para anggota delegasi Asia Tenggara bahwa negara-negara

besar, India, dan China tidak dapat diharapkan untuk mendukung perjuangan nasional mereka. Pada pertemuan itu, tulis Abu Hanifah, para anggota delegasi Indonesia, Myanmar, Thailand, Vietnam, Filipina, serta Malaya (Singapura dan Malaysia) membahas tentang suatu perhimpunan negara-negara Asia Tenggara yang secara erat bekerja sama. Pada awalnya hanya dalam masalah ekonomi dan kebudayaan, dan dalam perkembangan berikutnya barulah merajut kerja sama politik. Beberapa delegasi bahkan bermimpi lebih jauh, yakni terbentuknya suatu Federasi Asia Tenggara.45 Pembahasan tentang kegunaan regionalisme pada waktu itu mencerminkan ketidakmampuan negara-negara Asia Tenggara untuk meraih kepercayaan diri tanpa usaha bersama.

45

(39)

Kemudian muncul upaya yang dilakukan oleh Thailand, Filipina dan Malaysia yang membentuk ASA (Association of Southeast Asia) pada tahun 1961 yang bertujuan untuk bekerja sama dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Indonesia yang menganut kebijakan non-blok, menyatakan tidak tertarik untuk bergabung dalam ASA. Faktor utamanya adalah status Thailand dan Filipina yang saat itu masih tergabung dalam SEATO (South East Asia Treaty Organization)46 yang diprakarsai oleh Amerika Serikat dan status Malaysia yang masih dikuasai oleh Inggris. Namun, nasib ASA ini tidak berumur panjang. Faktor nya adalah konflik berkepanjangan antara Malaysia dan Filipina dalam permasalahan perebutan wilayah Sabah dan kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia47 semakin membuat suram potensi kerjasama regional.48

Seiring dengan berputarnya bandul perjalanan sejarah, kepemimpinan Soekarno tumbang dan digantikan oleh Soeharto dengan bendera Orde Baru di tahun

1966 berdampak pada perubahan kebijakan politik luar negeri Indonesia, khususnya terhadap kawasan Asia Tenggara. Sejak itu, kebijakan politik luar negeri Orde Baru

46

SEATO adalah perskutuan delapan negara yang menandatangani Perjanjian Pertahanan Kolektif Asia Tenggara (South East Collective Defense Treaty) di Manila, Filipina tanggal 8 September 1954. Kedelapan negara itu adalah Australia, Prancis, Inggris, Selandia Baru, Pakistan, Filipina, Thailand dan Amerika Serikat. Perjanjian yang diprakarsai oleh Menlu Amerika Serikat John Foster Dulles un tuk membendung menyebarnya komunisme di Asia Tenggara. Bantuan ekonomi menjadi kompensasi bagi negara yang mau bergabung dalam persekutuan ini. Namun, karena dianggap gagal dalam membendung komunisme, SEATO akhirnya dibubarkan secara resmi pada tanggal 30 Juni 1977. James Luhulima, Asia Tenggara, h. 33.

47

Kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia dipicu oleh pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura dan wilayah Kalimantan Utara (Sabah dan Sarawak). Kebijakan ini diambil oleh Presiden Soekarno akibat kebijakan Inggris dan Malaysia yang memutuskan tetap membentuk Federasi Malaysia dengan mengabaikan Perjanjian London yang disepakati dengan Indonesia dan ditandatangani pada 9 Juli 1963 di mana disepakati adanya Plebisit yang menyebutkan bahwa rakyat di Kalimantan Utara diberikan hak menentukan pendapatnya terhadap pembentukan federasi. Konsekuensinya Indonesia tidak akan mengganggu proses pembentukan Federasi Malaysia. Namun Federasi Malaysia akhirnya tetap dibentuk pada 29 Agustus 1963, padahal hasil plebisit belum diketahui. Akibat konfrontasi tersebut, Malaysia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Indonesia pada 17 September 1963. Hal ini semakin membuat ‘panas’ Indonesia. Puncak dari “kemarahan” Indonesia adalah kebijakan fenomenal Presiden Soekarno yang menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan di PBB (Perhimpunan Bangsa-Bangsa) dan Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking (kini Beijing)-Pyong Yang. Ibid., h. 34-35.

48

(40)

adalah memberi prioritas pada kawasan Asia Tenggara dan normalisasi hubungan bilateral maupun internasional dengan berbagai pihak. Keduanya merupakan satu rangkaian kebijakan yang saling terkait.

Kebijakan normalisasi hubungan ini dimaksudkan untuk menciptakan iklim kondusif di kawasan Asia Tenggara, sehingga akan lebih mudah bagi Indonesia untuk mendorong kerjasama yang lebih maju dan konstruktif. Salah satunya adalah kebijakan untuk menormalisasi hubungan dengan Malaysia yang beku akibat kebijakan konfrontasi. Normalisasi ini dilakukan pada tanggal 11 Agustus 1966, ketika Menlu Adam Malik dan Menlu Malaysia Tun Abdul Razak bertemu di Jakarta dan menandatangani persetujuan normalisasi hubungan diplomatik kedua negara.49

Membaiknya hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura, serta Malaysia dengan Filipina, memicu munculnya pemikiran untuk membangun sebuah perhimpunan kerjasama regional baru di Asia Tenggara. Beberapa pendapat

yang mengemuka adalah menghidupkan kembali ASA. Namun hal ini ditolak mentah-mentah oleh Indonesia yang masih berpendapat ASA adalah kepanjangan tangan dari SEATO buatan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia tidak menginginkan status keanggotaan baru dari perhimpunan yang sudah ada. Sebagai jalan keluar, Indonesia mengajukan usul untuk membentuk suatu perhimpunan regional yang semua anggotanya memiliki status dan hak yang sama.

Pada awalnya, nama yang diusulkan bagi perhimpunan tersebut adalah SEAARC (South East Asian Association for Regional Cooperation). Namun hal ini ditolak oleh Menlu Thailand Thanat Khoman yang berpendapat nama tersebut mirip dengan kata shark (ikan hiu). Akhirnya, nama usulan Menlu Adam Malik, yakni

49

(41)

ASEAN (Association of South East Asian Nations) disepakati sebagai nama bagi perhimpuan regional baru di Asia.50

Negara-negara pendiri ASEAN tersebut menginginkan keikutsertaan seluruh negara di Asia Tenggara untuk bergabung dalam perhimpunan ini. Akan tetapi situasi politik saat itu sangat tidak memungkinkan. Upaya yang pernah dilakukan oleh Indonesia untuk mewujudkan keikutsertaan negara lain adalah diplomasi terhadap Myanmar dan Kamboja.

Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan image ASEAN sebagai organisasi pro-Barat, dikarenakan seluruh pendirinya adalah negara-negara non-komunis. Namun, Myanmar dan Kamboja menolak bergabung dan tetap memilih untuk netral, namun tidak akan menentang pembentukan ASEAN.

Akhirnya, setelah melalui serangkaian proses panjang, pada tanggal 8 Agustus 1967 bertempat di Bangkok, Thailand, draft Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh

Menteri Luar Negeri (Menlu) Adam Malik dari Indonesia, Perdana Menteri (PM) Malaysia Tun Abdul Razak, Menlu Filipina Narcisco Ramos, Menlu Thailand Thanat Khoman dan Menlu Singapura S. Rajaratnam.51 Para negara tersebut tercatat sebagai pendiri sekaligus anggota pertama dari perhimpuan regional baru di Asia Tenggara. Dalam perkembangannya terkini, anggota ASEAN telah mencapai sepuluh negara Asia Tenggara yakni para negara pendiri dan negara-negara anggota baru, yakni Brunei Darussalam, Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja.52

Berangkat dari konteks kelahirannya, ada tiga alasan utama yang melatar belakangi berdirinya perhimpunan tersebut, yakni keinginan untuk meningkatkan

(42)

pembangunan ekonomi, sosial, dan kebudayaan kawasan melalui program-program kerjasama; menjaga stabilitas politik dan ekonomi kawasan dari rivalitas negara besar; menyediakan forum bagi penyelesaian perbedaan-perbedaan intra-regional.53

Satu hal yang disadari semua pihak dalam pembentukkan ASEAN, bahwa setiap kerjasama regional tidak akan berguna dan bertahan lama, jika tidak didasarkan pada landasan yang kuat. Yang dimaksud dengan landasan yang kuat adalah bidang-bidang yang paling sedikit mengandung unsur perbedaan dan paling banyak mengandung kepentingan bersama, serta yang berkemampuan menunjang bidang lainnya.54

Keputusan untuk menentukkan bidang ekonomi sebagai dasar ASEAN mencerminkan jauhnya pandangan serta penyesuaian dengan kondisi ideal masa itu. Bagaimana tidak, konfrontasi antar negara baru berakhir, hubungan antar negara masih diselimuti sikap kecurigaan. Oleh karena itu bidang ekonomi merupakan

pilihan tepat pada saat itu. Kemudian diikuti dengan bidang budaya mengingat dalam bidang itu tidak terdapat perbedaan yang terlalu signifikan. Namun yang perlu ditegaskan, hal tersebut akan berubah mengikuti kebutuhan dan situasi dunia internasional yang terus berubah.

Dalam perjalanannya, ASEAN pernah terancam bubar oleh dua permasalahan besar, yakni; pertama, krisis pada bulan Maret 1968. Saat itu muncul ketegangan dalam hubungan Malaysia dan Filipina akibat sebuah krisis yang disebut sebagai The Corregidor Affairs.55

Pokok persoalannya adalah adanya isu pemanfaatan Pulau Corregidor sebagai tempat pemusatan latihan tempur bagi satuan militer khusus Muslim oleh pemerintah

(43)

puncaknya adalah pemutusan hubungan dilomatik kedua negara pada tahun 1968. Namun, atas peran besar Indonesia melalui Presiden Soeharto sebagai mediator, konflik ini dapat diatasi. Terbukti, pada bulan Desember 1969, kedua negara menyepakati pemulihan hubungan diplomatiknya.

Ancaman kedua yakni, ketika Pemerintah Singapura menjatuhkan hukuman mati terhadap dua anggota KKO (Korps Komando AL) Indonesia yang tertangkap saat melakukan sabotase di era konfrontasi Indonesia-Malaysia pada bulan Oktober 1968.56 Pada titik inilah, Indonesia menunjukkan sikap kedewasaan dan kepemimpinannya dengan tidak melakukan tindakan gegabah. Proses penyelesaian masalah ini dijalankan tetap dalam koridor diplomasi. Hal ini dilakukan agar kelangsungan hidup ASEAN tetap terjaga. Setelah sempat beku, hubungan kedua negara membaik setelah pada bulan Mei 1973, PM Lee Kuan Yew berkunjung ke Indonesia dan melakukan acara tebar bunga di kedua makam prajurit yang digantung

di Singapura.

Walaupun seringkali diguncang dengan memanasnya hubungan antar negara anggota, ASEAN sejak pendiriannya sampai dengan dekade 1990-an mendapatkan pujian dari dunia internasional sebagai salah satu organisasi kawasan yang sukses di kalangan negara berkembang. ASEAN dinilai mampu menyatukan negara-negara di kawasan yang dikenal sebagai Balkan of the East (Balkan di Timur) atau kawasan yang penuh pergulatan,57 sebagaimana yang dipaparkan di atas.

Yang unik dari organisasi ASEAN adalah selama empat puluh tahun, keberadaan dan bentuk kerja sama berlangsung efektif meski tanpa konstitusi, anggaran dasar atau piagam resmi. ASEAN bergerak hanya berdasarkan dokumen

pendirian yakni Deklarasi Bangkok 1967. Sementara itu, deklarasi hanyalah

56

Ibid., h. 37.

57

Referensi

Dokumen terkait

untuk menghapus mail, pilih mail yang akan dihapus dari messages list , lalu click tombol delete pada toolbar, atau buka menu File , lalu pilih Delete. - mengembalikan mail

Pendekatan masalah yang digunakan penulis adalah pendekatan yang bersifat Yuridis Sosiologis (empiris) yaitu penelitian yang dilakukan langsung ke lapangan untuk

Bidang Pelayanan Sosial di YKI selain mendanai pemeriksaan deteksi dini dan skrining beberapa jenis kanker seperti Pap Smear, Mammografi dan lain-lain, juga mendanai

Dibawah ini yang merupakan jenis surat berdasarkan wujudnya adalah ..... Surat dinas Surat

Waria ini mulai eksisnya dan menunjukan penampilannya kepada masyarakat dan juga keluarganya di Lubuk Basung pada tahun 2013, yang mana waria ini telah menerima

Pembahasan hasil penelitian ini memberikan interpretasi lebih lanjut, terutama mengenai hasil analisis data yang telah dikemukakan sebelumnya. Pembahasannya sebatas dalam

agar penyusunan serta penulisan laporan akhir ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari permasalahan yang akan di bahas, maka penulis membatasi ruang lingkup

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia terikat oleh suatu kekuatan hukum, struktur kekuasaan formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita- cita hukum yang