Pengaruh Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia
(Tenore) Steenis)
Terhadap Re-epitelisasi Epidermis Pada
Luka Bakar Tikus Sprague dawley
(Studi Pendahuluan Lama Paparan 10 Detik Dengan Plat Besi)
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
Memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Oleh
SEFLAN SYAHIR AHLIADI
NIM : 1111103000086
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 8 September 2014
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pengaruh Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore)
Steenis)Terhadap Re-epitelisasi Epidermis Pada Luka Bakar Tikus Sprague
dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan 10 Detik Dengan Plat Besi)
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked)
Oleh Seflan Syahir Ahliadi NIM : 1111103000086
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1435 H / 2014 M Pembimbing I
Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed
Pembimbing II
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Penelitian berjudul Pengaruh Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) Terhadap Re-epitelisasi Epidermis Pada Luka Bakar Tikus Sprague dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan 10 Detik Dengan Plat Besi) yang diajukan oleh Seflan Syahir Ahliadi (NIM: 1111103000086) diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada tanggal 8 September 2014. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada program Studi Pendidikan Dokter.
Jakarta, 8 September 2014
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed
Pembimbing I
Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed
Pembimbing II
dr. Dyah Ayu Woro, M.Biomed
Penguji I
dr. Devy Ariany, M.Biomed
Penguji II
dr. Achmad Luthfi SpB-KBD
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan FKIK UIN
Prof. Dr. (hc) dr. MK. Tadjudin, Sp.And
Kaprodi PSPD
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan penelitian ini. Shalawat dan salam semoga selalu
terselesaikan tepat pada waktunya karea adanya dukungan, bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr (hc). dr. M.K Tadjudin, SpAnd, dr. M. Djauhari Widjajakusumah,
DR. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes, Dra. Farida Hamid, MA selaku Dekan
dan Wakil Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Witri Ardini, M. Gizi, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter atas bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh
pendidikan di PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
3. Rr. Ayu Fitri Hapsari, M.Biomed selaku pembimbing 1 yang telah banyak
meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam
menyusun dan menyelesaikan laporan penelitian ini.
4. dr. Dyah Ayu Woro, M. Biomed selaku pembimbing 2 yang telah
memberikan masukan judul penelitian dan banyak mencurahkan waktu,
pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam menyusun dan
menyelesaikan laporan penelitian ini.
5. dr. Flori Ratnasari, PhD selaku penanggung jawab modul riset yang selalu
memberikan arahan dan mengingatkan penulis untuk segera
menyelesaikan penelitian ini.
6. Pusat Konservasi Tumbuhan–Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah bersedia memberikan surat
determinasi
7. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberikan beasiswa
kepada penulis untuk menyelesaikan studi di FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
8. Ayah dan Ibu, Ismed Rosyidin dan Kasmawati, atas limpahan kasih
vi
selalu dipanjatkan, dan dorongan semangat kepada penulis selama
melaksanakan penelitian.
9. Kedua kakak tercinta, Mohd. Aprikansyah dan Dwi Nova Yuriska, terima
kasih untuk doa dan dukungan yang selalu diberikan.
10.Ibu Rr. Ayu Hapsari, M. Biomed selaku PJ Laboratorium Histologi, Ibu
Nurlaely, PhD selaku PJ Laboratorium Animal House, dr. Ahmad Azwar
Habibie, M. Biomed selaku PJ Laboratorium Anatomi dan dr. Nurul
Hiedayati, PhD selaku PJ Laboratorium Farmakologi yang telah
memberikan izin penggunaan laboratorium.
11.Mbak Dina, Mas Rachmadi, Mas Pandji, Mas Manaf dan laboran laboran
yang lain telah memberikan bantuan kepada penulis dalam pengabilan data
12.Teman-teman satu kelompok penelitian, Syifa, Asmie, Farah dan Audi.
Terima kasih atas kerja sama dan dukungannya selama melakukan
penelitian ini
13.Teman-teman “Santri Jadi Dokter Angkatan 2011” yang telah memberikan
bantuan, doa, dan sarannya.
14.Teman-teman, kakak-kakak dan adik-adik di PSPD dan teman-teman lain
yang penulis kenal namun tidak sempat tersebutkan
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari
berbagai pihak. Demikian laporan penelitian ini penulis susun, semoga dapat
bermanfaaat dengan baik.
Ciputat, 15 April 2014
vii
ABSTRAK
Seflan Syahir Ahliadi. Program Studi Pendidikan Dokter. Pengaruh Salep Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis)Terhadap Re-epitelisasi Epidermis Pada Luka Bakar Tikus Sprague dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan 10 Detik Dengan Plat Besi)
Latar belakang: Angka kejadian luka bakar banyak terjadi pada negara berpendapatan menengah kebawah, tertinggi pada kawasan Asia Tenggara. Masyarakat dibeberapa daerah menggunakan daun binahong sebagai obat tradisional untuk menangani kasus luka bakar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun binahong terhadap penyembuhan luka bakar. Re-epitelisasi epidermis pada luka bakar dibandingkan, antara pemberian silver sulfatiazin, basis salep, dan salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia
(Tenore) steenis). Metode: Penelitian ini berjenis eksperimental deskriptif analitik yang menggunakan 25 ekor tikus diberikan lima perlakuan berbeda. Perlakuan dibagi atas kelompok kontrol positif (silver sulfatiazin), kontrol negatif (basis salep), salep ekstrak binahong 10% (P1), salep ekstrak binahong 20% (P2) dan salep ekstrak binahong 40% (P3). Setelah lima hari, dilakukan pengambilan jaringan kulit dan kemudian dijadikan preparat dengan pewarnaan HE. Hasil: Pada hasil pengamatan mikroskopik didapatkan rata-rata re-epitelisasi pada kontrol positif: 45,04 µm; kontrol negatif: 11,14 µm; P1: 28,01 µm; P2: 57,54 µm dan P3: 88,39 µm. Simpulan: Pemberian salep ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) steenis) dengan konsentrasi 10%, 20% dan 40%, membantu proses re-epitelisasi. rata-rata re-epitelisasi pada P2 dan P3 lebih baik dibandingkan kontrol positif.
viii ABSTRACT
Seflan Syahir Ahliadi. Medical Education Study Program. Effect of Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) steenis) leaf extract ointment Against the Epidermal Re-epithelialization in Rats Sprague dawley with Burn Wound (preliminary study of long exposure 10 seconds with iron plate)
Background: The incidence of burn wound occured in many middle to lower income countries, highest in the South East Asia region. Peoples in some region used binahong leaf as a traditional medicine to handle cases of burn wound.The aim of this research is to determine the effect of binahong leaves extract on healing burn wound. Epidermal re-epithalialized on burn wound is compared between Silver Sulphatiazine, ointment based and binahong (Anredera cordifolia (Tenore) steenis) leaf extract ointment. Method: This research was a descriptive analitic experimental which used 25 rats, each given five different treatments. The treatment consists of a control positive, control negative, binahong extract ointment with concentrated 10% (P1), binahong extract ointment with concentrated 20% (P2) and binahong extract ointment with concentrated 40% (P3). After five days, the skin tissue is taken and then made preparation with HE staining. Result: On Microcopic examination, the average re-epithalialization of control positive: 45,04 µm ;control negative: 11,14 µm; P1: 28,01 µm; P2: 57,54 µm and P3: 88,39 µm. Conclution: Giving Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) steenis) leaf extract ointment with 10%, 20% and 40% concentration, are assisted process of re-epithalialization. P2 and P3 groups are better then control positive on average re-epithalialization.
ix
1.4 Manfaat Penelitian ... 3
1.4.1 Bagi peneliti ... 3
2.1.1 Sistem Integumen ... 6
2.1.2 Luka Bakar ... 11
2.1.3 Anredera cordifolia (Tenore) steenis ... 16
2.1.4 Ekstraksi ... 18
2.1.5 Sediaan Obat ... 19
2.1.6 Tikus Sprague dawley ... 19
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 22
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 22
3.3 Bahan Uji ... 22
3.4 Populasis dan Besar Sampel Percobaan ... 22
3.4.1 Kriteria Inklusi ... 23
3.4.2 Kriteria Eksklusi... 23
3.5 Sampel Penelitian ... 23
3.6 Identifikasi Variabel ... 23
3.6.1 Variabel Bebas ... 23
3.6.2 Variabel Terikat ... 24
x
3.8 Alat dan Bahan Penelitian ... 25
3.8.1 Alat Penelitian ... 25
3.8.2 Bahan Penelitian ... 26
3.9 Cara Kerja Penelitian ... 26
3.9.1 Tahap Persiapan ... 26
3.9.1.1 Determinasi Anredera cordifolia (Tenore) steenis ... 26
3.9.1.2 Ekstraksi daun Anredera cordifolia (Tenore) steenis ... 26
3.9.1.3 Pembuatan Konsentrasi Ekstrak ... 27
3.9.1.4 Aklimatisasi Hewan Uji ... 28
3.9.1.5 Pembuatan Alat Luka Bakar ... 28
3.9.2 Tahap Pengujian ... 28
3.9.2.1 Pembuatan Luka Bakar ... 28
3.9.2.2 Pemberian Terapi ... 28
3.9.2.3 Pengambilan Jaringan ... 28
3.9.2.4 Pembuatan Preparat ... 29
4.1.1 Re-Epitelisasi Epidermis ... 33
4.1.2 Pembahasan ... 36
4.2 Keterbatasan Penelitian ... 38
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 39
5.2 Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Teori ... 4
Gambar 1.2 Kerangka Konsep ... 5
Gambar 2.1 Kedalaman Luka Bakar ... 12
Gambar 2.2 Rule of Nine ... 13
Gambar 2.3 Tahap Penyembuhan Primer dan Sekunder ... 15
Gambar 2.4 Daun Binahong ... 17
Gambar 2.5 Keadaan Fisiologi Tikus... 20
Gambar 2.6 Perbandingan Usia tikus dan Manusia ... 21
Gambar 4.1 Hasil Makroskopik ... 33
Gamabr 4.2 Hasil Pengambilan Gambar Preparat HE Perbesaran 100x ... 34
Gambar 4.3 Hasil Penghitungan Re-epitelisasi Epidermis ... 35
Gambar 6.1 Keterangan Determinasi Tanaman ... 43
Gambar 6.2 Keterangan Ekstraksi... 44
Gambar 6.3 Surat Keterangan Sehat Tikus Sprague Dawley ... 45
Gambar 6.4 Daun Binahong ... 46
Gambar 6.5 Daun Binahong Kering ... 46
Gambar 6.6 Hasil Ekstraksi Kental ... 46
Gambar 6.7 Vaseline Album ... 46
Gambar 6.8 Adaps Lanae ... 46
Gambar 6.9 Hard Colar ... 46
Gambar 6.10 Aklimatisasi ... 47
Gambar 6.11 Tikus Yang Sudah Dicukur ... 47
Gambar 6.12 Pencairan Bahan Dasar... 47
Gambar 6.13 Pencampuran Bahan Dasar... 47
Gambar 6.14 Pencampuran Ekstrak dan Bahan Dasar... 47
Gambar 6.15 Kontrol positif, negatif dan salep ekstrak... 47
Gambar 6.16 Alat Pembuat Luka Sedang Dipanaskan ... 48
Gambar 6.17 Perlakuan Luka ... 48
Gambar 6.18 Tikus Yang Menggunakan Hard Colar ... 48
Gambar 6.19 Pemberian Perlakuan Salep ... 48
Gambar 6.20 Pengambilan Jaringan ... 48
Gambar 6.21 Jaringan Yang Akan Dijadikan Preparat ... 48
Gambar 6.22 Program Mikroskop... 49
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Identifikasi/Determinasi Bahan Uji... 43
Lampiran 2 Surat Keterangan Ekstraksi ... 44
Lampiran 3 Surat Keterangan Sehat Tikus Sprague Dawley ... 45
Lampiran 4 Alat, Bahan, dan Proses ... 46
1
BAB 1
Pendahuluan
1.1Latar Belakang
Luka bakar merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi
didunia. Menurut data dari WHO menunjukkan sekitar 195.000 orang
meninggal akibat kejadian ini setiap tahunnya. Terutama terjadi dinegara yang
mempunyai pendapatan yang rendah sampai menengah. Pada negara yang
mempunyai pendapatan tinggi angka kejadian luka bakar menurun, rata-rata
angka kematian akibat luka bakar ini tujuh kali lebih tinggi pada negara
pendapatan rendah sampai menengah dibanding negara berpendapatan tinggi.
Hampir dari setengah angka kejadian tersebut terjadi di daerah Asia Tenggara
berdasarkan data yang dimiliki WHO.1
Luka bakar yang tidak menyebabkan kematian merupakan penyebab
utama dari terjadinya morbiditas, rawat inap di rumah sakit yang lama, dan
disabilitas. Pada negara berpendapatan rendah sampai menengah penyebab
utama dari disability-adjusted life-years (DALYs). Pada tahun 2004 , hampir
11 juta orang didunia mengalami luka bakar yang membutuhkan perawatan
dirumah sakit. Sekitar 80% kasus luka bakar terjadi di rumah.1,2
Luka merupakan diskontinuitas dari suatu jaringan, termasuk pada
jaringan kulit. Luka tersebut dapat diperoleh dari hal yang tidak diinginkan,
misalnya luka akibat kecelakaan ataupun didapat dari hal yang disengaja
seperti luka bekas operasi. Penyembuhan luka adalah salah satu dari respon
tubuh terhadap cedera. Pada proses penyembuhan luka bakar prinsipnya sama
seperti prinsip umum penyembuhan luka dapat dibagi menjadi beberapa tahap,
yakni: inflamasi, migrasi-proliferasi (termasuk deposisi kolagen) dan
remodelling. 3,4
Penanganan kasus luka bakar prinsip umumnya dengan membersihkan
luka dari debris, melakukan debridement untuk membuang jaringan nekrosis,
mencegah dan menangani infeksi sekunder. Setelah dilakukan
penanganan awal, dilanjutkan dengan pemberian silver sulfatiazin sebagai
profilaksis mencegah infeksi sekunder dan membantu proses penyembuhan.5
Salah satu tanaman yang sering digunakan oleh masyarakat untuk
membantu penyembuhan luka bakar adalah tanaman binahong yang memiliki
nama ilmiah Anredera cordifolia (Tenore) steenis. Tanaman binahong juga
pernah digunakan untuk membantu penyembuhan, seperti penyakit diabetes
militus dan demam tifoid. Pada beberapa penelitian setelah dilakukan analisis
fitofarmaka, didapatkan pada daun binahong mengandung banyak kandungan
seperti saponin, alkaloid dan flavonoid. Zat-zat tersebut mempunyai
kemampuan untuk membantu proses penyembuhan luka. Sehingga, tumbuhan
binahong terutama bagian daunnya ini sering digunakan oleh beberapa
masyarakat untuk menangani kasus luka bakar.3
Pada penelitian Hidayati (2009) telah ditemukan bahwa dalam kandungan
daun binahong ini mengandung beberapa senyawa sebagai antibakteri seperti
alkaloid, polifenol dan saponin. Selain itu juga pada penelitian yang
dilakukan oleh Widya (2013), ditemukan kandungan antioksidan dan
flavonoid dalam ekstrak daun binahong yang mungkin membantu dalam
proses penyembuhan luka. Pada penelitian yang dilakukan oleh Isnatin (2012)
ekstrak daun binahong yang menggunakan pelarut etanol mampu membantu
proses penyembuhan pada luka eksisi dibandingkan dengan povidone iodine
pada marmut. Konsentrasi 20% dan 40% ekstrak daun binahong yang
mempunyai nilai bermakna terhadap proses penyembuhan luka eksisi.3,6,7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah bagaimana efek salep ekstrak daun Anredera cordifolia (Tenore)
steenis dengan konsentrasi 10%, 20% dan 40% terhadap re-epitelisasi
epidermis luka bakar tikus Sprague dawley dengan paparan plat besi selama
1.3Hipotesis
Semakin besar konsentrasi ekstrak daun Anredera cordifolia (Tenore)
steenis semakin besar pengaruh terhadap re-epitelisasi epidermis luka bakar
tikus Sprague dawley dengan paparan plat besi selama 10 detik.
1.4Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efek pemberian salep ekstrak daun Anredera cordifolia
(Tenore) steenis dengan konsentrasi 10%, 20% dan 40% terhadap
re-epitelisasi epidermis pada luka bakar dengan paparan plat besi selama 10
detik.
1.4.2 Tujuan Khusus
Mengetahui konsentrasi dari ekstrak daun Anredera cordifolia (Tenore)
steenis yang berpengaruh pada re-epitelisasi epidermis luka bakar dengan plat
besi lama paparan 10 detik .
1.5Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
1. Menambah pengalaman dalam penelitian eksperimental
2. Menambah pengetahuan manfaat penggunaan salep ekstrak daun
Anredera cordifolia (Tenore) steenis dalam re-epitelisasi epidermis
luka bakar dengan menggunakan ilmu kedokteran yang telah
dipelajari.
3. Menambah pengetahuan kadar dari ekstrak daun Anredera cordifolia
(Tenore) steenis yang mampu membantu dalam re-epitelisasi
1.5.2 Bagi Institusi
1. Memajukan FKIK UIN dalam bidang penelitian.
2. Memberikan informasi tentang kasus luka bakar.
1.5.3 Bagi Keilmuan
1. Memberikan informasi manfaat dari ekstrak daun Anredera cordifolia
(Tenore) steenis dalam re-epitelisasi epidermis luka bakar.
2. Dijadikan bahan referensi bagi yang mau melakukan penelitian tentang
obat herbal yang mampu membantu penyembuhan luka bakar.
1.5.4 Bagi Sosial
1. Dikembangkan menjadi obat herbal topikal untuk penyembuhan luka
1.7Kerangka Konsep
Gambar 1.2 Kerangka Konsep
Peningkatan Re-epitelisasi epidermis Salep ekstraksi daun binahong
dengan berbagai konsentrasi
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Sistem Integumen
Sistem integumen tersusun atas kulit dan derivatnya seperti kuku, rambut,
kelenjar sebasea dan kelenjar keringat lainnya. Dalam sistem integumen,
komponen penyusun yang paling banyak adalah kulit, selain itu juga kulit
merupakan organ yang paling berat di tubuh. Jumlah total kulit sebagai penyusun
tubuh sekitar 15-20% berat pada orang dewasa.8,9
Kulit merupakan lapisan pada tubuh manusia yang paling luar sehingga
mempunyai peran cukup banyak, terutama dalam hal protektif. Namun kulit juga
mempunyai fungsi-fungsi yang lain. Berikut ini fungsi-fungsi yang lebih spesifik:
Protektif (perlindungan)
Kulit merupakan pelindung utama tubuh dari serangan patogen dari luar.
Kulit memiliki epitel yang berlapis ini membantu melindungi dari abrasi mekanik,
seperti gesekkan. Selain itu juga, terdapat lapisan glikolipid yang menyebabkan
epidermis bersifat non permiabel terhadap air sehingga berperan dalam mencegah
keluarnya cairan tubuh. Adanya sel melanosit yang menghasilkan pigmen
melindungi kulit dari radiasi sinar ultraviolet
Persepsi Sensorik
Kulit memiliki peran sebagai indera peraba. Dalam berinteraksi dengan
objek fisik kita mampu merasakan sifat suatu bentuk baik itu dari bentuk dan
suhu, sehingga kita mampu mengenali benda tersebut tanpa harus melihat secara
langsung. Pada kulit terdapat banyak sekali ujung-ujung saraf sensorik yang
Regulasi Suhu (Termoregulator)
Aktifitas fisik ataupun keadaan lingkungan di luar tubuh yang panas
mengakibatkan tubuh akan meningkatan proses berkeringat. Mekanisme ini
bertujuan agar suhu tubuh menjadi turun melalui proses penguapan keringat dari
permukaan kulit. Selain itu juga, ada juga proses dilatasi pembuluh darah untuk
memungkinkan aliran darah maksimum ke kulit. Namun dalam keadaan
lingkungan dengan suhu rendah, suhu tubuh dijaga agar tetap hangat melalui
proses vasokonstriksi dan penurunan aliran darah ke kulit.
Metabolik (pembentukan vitamin D)
Sel-sel yang ada di kulit berperan dalam sintesis vitamin D yang didapat
dari sinar UV. Prekursor vitamin D berada pada lapisan epidermis. Vitamin D
diperlukan untuk metabolisme kalsium didalam usus pada proses absorbsi
sehingga membantu proses pembentukkan tulang. Selain itu juga, kulit berperan
dalam penyimpanan energi yang belum terpakai melalui lemak yang tersimpan
dilapisan subkutan.
Ekskresi
Melalui proses pembentukkan keringat yang dilakukan oleh kelenjar
keringat, produk-produk sisa seperti: air, natrium dan urea dapat diekskresikan
melalui kulit.8,9,10
Kulit terdiri dari epidermis dan dermis. Epidermis merupakan bagian
permukaan dari kulit. Lapisan epitel epidermis berasal dari ektoderm sedangkan
untuk dermis merupakan jaringan ikat yang berasal dari endoderm. Lapisan
epidermis mengalami regenerasi setiap 15-30 hari, bergantung pada usia, bagian
tubuh dan faktor-faktor pendukung lainnya.9,11
A. Epidermis
Epidermis ini terdiri dari lapisan-lapisan sel epitel. Lapisan epidermis yang
bagian luar ini, epitelnya berbentuk gepeng. Sedangkan pada lapisan epidermis
jenis sel yang bisa ditemukan, yakni: keratinosit, sel Langerhans, melanosit dan
sel Merkel.8,10
Epidermis memiliki beberapa lapisan yakni: stratum basal, stratum
spinosum, strtum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum. Dibawah
ini akan dijelakan lapisan-lapisan tersebut.
Stratum Basal (Germinativum)
Lapisan ini merupakan lapisan yang paling dalam atau lapisan dasar di
epidermis. Lapisan ini terdiri dari satu lapisan sel kuboid atau kolumnar basofilik
yang terletak pada membran basal yang menjadi perbatasan antara lapisan
epidermis dan dermis. Hemidesmosom yang terdapat pada plasmalema basal
membantu dalam mengikat sel-sel pada lamina basal dan desmosom membantu
dalam mengikat sel-sel yang ada pada lapisan dipermukaan atas dan lateralnya.
Sel yang ada pada stratum basal ini sebagai sel induk bagi epidermis karena pada
lapisan ini banyak terjadi mitosis. Sel yang mengalami pembelahan dan
pematangan bermigrasi ke lapisan yang lebih superfisial. Sel-sel yang ada pada
stratum basal menghasilkan filamen keratin intermediet ketebalannya sekitar 10
nm yang mengandung keratin.
Stratum Spinosum (Spinosa)
Lapisan kedua ini merupakan bagian dari epidermis yang paling tebal,
terdiri dari empat sampai enam tumpukan sel. Lapisan ini tersusun atas sel-sel
kuboid atau agak gepeng dengan inti ditengah dan sitoplasma yang aktif
menghasilkan filamen keratin. Dilanjutkan pembentukkan berkas tonofilamen dan
berkonvergensi pada sejumlah desmosom yang saling membantu dalam
memperkuat ikatan antar sel apabila terjadi gesekkan, sehingga tonofilamen ini
mempunyai fungsi mempertahankan kohesi diantara sel dan menghasilkan
resistensi terhadap abrasi yag terjadi pada epidermis. Lokasi epidermis yang
mengalami gaya gesek dan tekanan secara terus-menrus, seperti pada telapak kaki
mempunyai lapisan spinosum lebih tebal dibandingkan dengan yang lain karena
Stratum Granulosum (Granular)
Lapisan ini tersusun oleh tiga sampai lima lapis sel poligonal gepeng yang
mengalami deferensiasi terminal. Sitoplasmanya mengandung massa basofilik
intens yang disebut granul keratohialin. Granula ini tidak dibungkus oleh
membran dan berkaitan dengan berkas tonofilamen keratin. Kemudian terjadi,
berupa kombinasi antara tonofilamen keratin dengan granula keratohialin yang
akan menghasilkan keratin. Proses ini merupakan keratinisasi. keratin yang
dihasilkan berupa keratin lunak kulit. Gambaran khas lainnya dapat kita temukan
granula lamela yang berselubung membran, struktur banyak mengandung lamel
yang tersusun oleh berbagai lemak. Granula lamela ini mengeluarkan material
lemak secara eksositosis ke dalam ruang antar sel distratum granulosum dan
menutupi kulit. Lapisan selubung lipid ini merupakan komponen utama dari sawar
epidermis terhadap hilangnya air dari kulit. Oleh karena proses ini, menyebabkan
kulit relatif impermeabel terhadap air.
Stratum lusidum
Lapisan ini hanya dapat ditemukan pada kulit tebal. Stratum lusidum
terdiri atas lapisan tipis transulen sel eosinofilik yang sangat pipih. Lapisan ini
terletak diatas stratum granulosum dan dibawah stratum korneum. Sel-selnya
tersusun rapat karena sitoplasma hampir sepenuhnya terdiri dari filamen keratin
yang padat. Selain itu juga organel dan inti telah menghilang.
Stratum korneum
Lapisan paling luar ini mempunyai 15 sampai 20 lapis sel gepeng
berkeratin tanpa inti. Semua nukleus dan organel sel menghilang dari selnya
akibat dari enzim-enzim hidrolitik yang merusaknya. Filamen keratin
mengandung enam macam polipeptida dengan massa molekul antara 40 kDa
sampai 70 kDa. Sel ini terus mengalami keratinisasi. Apabila proses keratinisasi
telah selesai, sel-sel hanya memiliki protein amorf dan fibrilar serta membran
plasma yang semakin menebal, disebut dengan sel tanduk. Sel-sel terutama pada
bagian yang paling superfisial pada stratum korneum mengalami deskuamasi
B. Dermis
Dermis merupakan jaringan ikat yang menunjang epidermis dan
mengikatnya pada jaringan subkutan (hipodermis). Bentuknya yang tidak rata,
berbentuk tonjolan ini membentuk ikatan antara lapisan epidermis dan dermis,
Lapisan epidermis dan dermis dipisahkan oleh membrana basalis. Ketebalan
dermis ini bermacam-macam tergantung lokasinya pada tubuh. Pada daerah
punggung mempunyai ketebalan maksimum 4 mm. Selain itu juga di dermis juga
terdapat derifat epidermis, seperti kelenjar sebasea, kelenjar keringat dan folikel
rambut.8,9,10,11
Lapisan dermis dapat dibagi menjadi dua , yakni : stratum papillare dan
stratum reticulare. Berikut penjelasannya:
Stratum Papillare
Stratum papillare merupakan lapisan yang paing luar pada dermis.
Lapisan yang tipis ini terdiri atas jaringan ikat longgar tidak teratur. Jaringan
ikatnya tersusun atas serat, sel dan pembuluh darah. Kita dapat temukan juga
fibroblas dan sel-sel jaringan ikat lainnya, seperti sel mast dan makrofag.
Papillare dan cristae cutis (epidermal ridges) membentuk evaginasi dan
interdigitasi. Pada papillare dapat ditemukkan reseptor sensorik corpusculum
tactile atau biasanya yang disebut badan Meissner.
Stratum Reticulare
Stratum reticulare merupakan lapisan terakhir pada dermis. Lapisan yang
paling bawah ini paling tebal pada lapisan dermis. Berbeda pada stratum
papillare, lapisan ini tersusun oleh jaringan ikat padat yang tidak teratur. Namun,
perbatasan antara stratum papillare dan stratum reticulare tidak ada batas yang
jelas. Pada lapisan ini jumlah selnya sedikit dan kolagennya terutama untuk
kolagen tipe 1. Stratum reticulare langsung berbatas inferior dengan hipodermis
atau lapisan subkutis fasia superfasial. Lapisan ini juga mengandung anastomosis
arteriovenosa dan reseptor sensorik corpusculum lamellosum (Pacinian
2.1.2 Luka Bakar
2.1.2.1 Klasifikasi luka
Luka merupakan rusaknya jaringan sehingga sebagian substansi jaringan
ada yang rusak atau pun hilang. Secara umum luka dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
Luka terbuka adalah luka yang bisa mengakibatkan terjadi kontak antara
lingkungan luar tubuh dan dalam tubuh, seperti: luka lecet, luka tusuk, luka
bakar, luka potong, luka robek dan luka tembak.
Luka tertutup adalah luka dimana yang tidak mengakibatkan adanya kontak
antara lingkungan luar tubuh dan dalam tubuh, seperti: luka memar
Berdasarkan lama penyembuhan, dapat dibagi menjadi:
Luka akut adalah lamanya penyembuhan luka sesuai dengan lama
penyembuhan jaringan secara normal.
Luka kronik adalah luka yang mengalami kegagalan dalam melakukan
penyembuhan akibat faktor eksogen dan endogen.
Namun untuk luka bakar sendiri mempunyai klasifikasi tersendiri. Berdasarkan
kedalaman jaringan yang mengalami cedera, luka bakar dapat dibagi menjadi
derajat I, II, III, dan IV.2, 12,13
Derajat I (superficial), hanya terjadi di permukaan kulit. Manifestasinya
berupa kulit tampak kemerahan, tidak ada bulla dan nyeri serta tidak
meniimbulkan jaringan parut saat remodeling.
Derajat II (superficial dermal) melibatkan semua lapisan epidermis dan
sebagian dermis. Kulit akan diteemukan bulla, sedikit edem dan nyeri berat.
Derajat III (deep dermal) kerusakan terjadi pada semua lapisan kulit diserta
nekrosis. Luka tampak putih dan sensasi rasa menghilang.
Derajat IV (full thickness) kulit tampak seperti arang akibat jarigan yang
Gambar 2.1 Kedalaman luka bakar
Sumber: Management of Burns in the Community 2009
Sedangkan berdasarkan luas lesi dapat diklasifikasikan menjadi 3 yakni:
Luka bakar ringan, yakni luka bakar derajat I seluas <10% atau derajat II
seluas <2%.
Luka bakar sedang, yakni luka bakar derajat 1 seluas 10-15% atau derajat II
seluas 5-10%
Luka bakar berat, yakni luka bakar derajat II seluas >20% atau derajat III
seluas >10%
Untuk menilai luas luka menggunakan metode “Rule of Nine”
berdasarkan LPTT (Luas Permukaan Tubuh Total). Luas luka bakar ditentukan
untuk menentukan kebutuhan cairan, dosis obat dan prognosis. Persentase pada
orang dewasa dan anak-anak berbeda. Pada dewasa, kepala memiliki nilai 9%
untuk ektremitas atas memiliki nilai masing-masing 9%. Untuk bagian tubuh
anterior dan posterior serta ekstremitas bawah memiliki nilai masing-masing 18%,
yang termasuk adalah toraks, abdomen dan punggung. Serta alat genital 1%.
Sedangkan pada anak-anak persentasenya berbeda pada kepala memiliki nilai
Gambar 2.2 Rule of Nine
Sumber: Management of Burns in the Community 2009
2.1.2.2 Penyembuhan luka
Sel-sel didalam tubuh kita dapat beregenerasi sendiri, namun
kemampuannya dalam beregenasi berbeda-beda tergantung jenis selnya. Sel-sel
dapat dengan cepat melakukan regenerasi karena termasuk dalam siklus
normalnya seperti sel pada epitel, sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sementara
itu, sel-sel ada juga yang dapat beregenerasi namun hanya mampu
mempertahankan bentuk dari sel-sel dasarnya, contohnya sel-sel hati, epitel
tubulus ginjal dan tulang. Sedangkan sel-sel permanen tidak mempunyai
kemampuan untuk melakukan regenerasi, seperti sel pada neuron-neurom sistem
saraf pusat, glomerulus ginjal dan otot jantung, sehingga dalam melakukan
perbaikan dengan cara pembentukan jaringan parut.14, 15
Selain itu juga peningkatan aliran darah ke daerah yang mengalami
kerusakan, membantu untuk membersihkan sel dan benda asing yang mungkin
ada didaerah luka, ini merupakan tahap awal dari proses penyembuhan. Proses
penyembuhan luka ini dapat dibantu dengan perawatan, seperti melindungi area
luka tersebut dan menjaga kebersihannya.14,15
Berdasarkan Wound Healing Society (WHS), penyembuhan luka adalah
dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS ini kriteria ideal dari penyembuhan luka
adalah kembali normalnya struktur, fungsi dan anatomi kulit. Lamanya
penyembuhan tergantung dari tipe luka, luas luka, faktor eksogen dan endogen.
Dalam penyembuhan ada dua tipe, yaitu :
Penyembuhan primer atau healing by first intention yakni penyembuhan luka
insisi yang tepi dari lukanya dapat didekatkan. Tepi luka awalnya ditahan
oleh bekuan darah atau dengan jahitan. Terjadi respon peradangan akut
dibentuk pada jaringan di sebelahnya yang menimbulkan pertumbuhan
jaringan granulasi ke darah dalam beberapa hari. Pada stadium ini terjadi
terjadi regenerasi epidermis. Kemudian terjadi regenerasi epidermis sempurna
dan parut dermis yang padat.
Penyembuhan dengan granulasi atau healing by second intention yakni kulit
yang mengalami luka, bagian tepinya tidak bisa saling direkatkan selama
proses penyembuhan. Prosesnya hampir sama terjadi pada penyembuhan
primer namun melibatkan regenerasi epitel yang lebih luas dan pembentukkan
jaringan parut yang lebih banyak. Penyembuhan dapat berlansung dibawah
keropeng atau tidak. Hasilnya terjadi sebuah parut besar dan bagian epidermis
baru yang tidak berambut dan apendiks kulit yang lain.14
Setelah terjadi suatu cedera maka akan terjadi berbagai macam proses.
Berikut ini yang terjadi selama proses penyembuhan:
Luka insisi
Perdarahan, hemostasis, pembentukkan bekuan- permukaan menjadi kering,
membentuk keropeng
Respon peradangan akut
Kontraksi tepi luka
Debridemen – pembersihan darah dan debris oleh fagosit
Stadium organisasi atau proliferasi, membentuk jaringan granulasi untuk mengisi luka (pembentukkan pucuk kapiler dari angioblas, kolagen dari
fibroblas, dan migrasi sel-sel epitel dari tepi luka dibawah keropeng menuju
Maturasi kolagen dan kontaksi parut
Remodeling parut14
Gambar 2.3 Tahap penyembuhan luka primer dan sekunder
Sumber: Buku ajar patologi Robbins 2012
Dalam penyembuhan primer dan sekunder memiliki berbagai macam
perbedaan dalam hal:
Jaringan granulasi akan terbentuk lebih besar dan dalam jumah yang banyak
pada proses penyembuhan sekunder. Terbentuknya jaringan granulasi ini
Pada penyembuhan sekunder terjadi proses atau fenomena kontraksi luka.
Proses ini berasal dari miofibroblas yaitu fibroblas yang berubah menjadi
berbagai gambaran ultra struktural dan fungsional sel otot polos kontraktil
Terjadi kerusakan jaringan yang luas sehingga terdapat dalam jumlah yang banyak dari debris, eksudat dan fibrin. Faktor ini akan mengakibatkan reaksi
peradangan menjadi hebat sehingga bisa menjadi cedera sekunder. Proses ini
terjadi secara intrinsik15
2.1.2.3 Epitelisasi
Seluruh tubuh manusia ditutupi oleh epitel yang berguna untuk melindungi
paparan dari lingkungan. Lapisan yang terluar pada kulit merupakan epitel gepeng
berlapis dengan lapisan tanduk yang mempunyai banyak fungsi, seperti:
melindungi kulit dari invasi bakteri, trauma dan kehilangan cairan. Jika terjadi
trauma yang tidak terlalu signifikan, maka epitel akan sembuh sendiri melalui
proses epitelisasi. Ada 2 hal yang terpenting, yaitu: migrasi dan mitosis. Migrasi
sel epitel mengawali proses perbaikan dengan cara sel-sel bergerak dari tepi luka.
Jika tidak sampai membran basalis, maka prosesnya akan berlangsung dengan
cepat. Setelah bermigrasi sel-sel akan berubah bentuknya menjadi
tonjolan-tonjolan ke jaringan sekitar dan mulai membelah diri. Faktor yang membantu
migrasi ini adalah fibronektin dan vitronektin, sedangkan yang mempengaruhi
mitosis antara lain FGF, PDGF, TNF-alfa, dan EGF.13
2.1.3 Anredera cordifolia (Tenore) steenis
Anredera cordifolia (Tenore) steenis di Indonesia disebut dengan daun
binahong. Selain itu ada juga nama lainnya seperti Boussingaultia gracilis Miers;
Boussingaultia cordifolia; dan Boussingaultia basselloides. Tanaman ini
merupakan tanaman menjalar, bisa mencapai panjang lebih dari 6 m. Tanaman
yang berumur panjang ini mempunyai batang yang lunak berwarna merah dan
berbentuk silindris saling membelit melekat terkadang seperti umbi di ketiak daun
dengan bentuk tak beraturan serta bertekstur kasar. Daunnya tunggal bertangkai
pendek, berwarna hijau bentuknya seperti hati sehingga dalam bahasa Inggris
yang tipis mempunyai ujung yang runcing namun pada pangkalnya berlekuk
dengan tepi rata serta permukaan yang licin. Untuk bunganya jenis majemuk
berbentuk tandan, bertangkai pnjang bisanya muncul di ketiak daun dengan
mahkota berwarna krem keputih-putihan berjumlah lima helai dengan ukuran
0,5-1 cm serta mempunyai bau harum.17
Gambar 2.4 Daun binahong
Sumber: Badan POM RI 2008
Berikut ini klasifikasi dari Anredera cordifolia (Tenore) steenis17
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Caryophyllales
Suku : Basellaceae
Marga : Anredera
Jenis : Anredera cordifolia (Tenore) steenis
2.1.4.1 Kandungan Daun Binahong
Dalam beberapa penelitian daun binahong mempunyai kemampuan untuk
membantu proses pemulihan luka bakar. Di dalam ekstrak daun binahong
mempunyai efek sebagai antiinflamasi, antioksidan, antibakteri dan sebagai
analgesik. Semua efek itu kemungkinan disebabkan oleh saponin, alkaloid, dan
flavonoid yang ada pada daun binahong. Dalam beberapa penelitian juga
glikosida pada berbagai tanaman mempunyai efek dalam membantu
penyembuhan luka bakar.3,6
Untuk saponin mempunyai mekanisme pada penyembuhan luka dengan
menstimulasi untuk memproduksi kolagen tipe 1 yang sangat penting dalam
penutupan luka dan meningkatkan re-epitelisasi jaringan kulit. Sedangkan
flavonoid berkerja responsif terhadap radikal bebas dengan demikian mencegah
dan memperlambat neksrosis sel dan meningkatkan vaskularisasi pada daerah
luka. Glikosida, flavonoid dan tannin mempunyai efek sebagai antibakteri.
Polifenol juga mempunyai efek seperti flavonoid, serta mempunyai kandungan
antioksidan yang berfungsi meningkatkan proliferasi sel, menekan proses
inflamasi dan menghambat kontraksi pada jaringan kolagen.3
2.1.5 Ekstraksi
Untuk membuat suatu ekstraksi, kita harus menentukkan terlebih dahulu
simpislia (bahan alamiah yang dimanfaatkan sebagai obat) yang belum pernah
mengalami pengolahan kecuali pengeringan. 18
Tujuan ekstraksi ini untuk memisahkan suatu bahan dari campurannya
menggunakan pelarut sehingga memperoleh ekstrak yang diinginkan. Ekstrak ini
merupakan kandungan senyawa aktif dari suatu tumbuhan. Pada saat melakukan
ekstraksi perlu menjadi perhatian:
1. Dingin, ada dua metode seperti:
a. Maserasi
2. Panas, ada beberapa metode seperti:
a. Refluks
b. Soxhlet
c. Digesti
d. Infus
e. Dekok18,19
Dalam penelitian ini menggunakan cara yang dingin metode maserasi.
Metode ini yang paling mudah dan cocok untuk simplisia yang tidak tahan
panas.20
2.1.5 Sediaan Obat
Dalam penatalaksanaan luka bakar tergantung dari derajat luka dan luas
dari luka tersebut. Terapi dapat diberikan secara topikal ataupun secara sistemik.
Sediaan obat yang digunakan secara topikal seperti salep, gel, solution dan
lain-lain. Sediaan tersebut tergantung dari vehikulumnya yang ditentukan berdasarkan
kelarutan zat aktif.22
Ektraksi yang digunakan dijadikan salep dengan zat pembawanya adeps
lanae dan vaselin album, karena perlakuan secara topikal. Fungsi dari zat
pembawa ini untuk membantu bahan ektraksi dapat kontak lebih lama dengan
bagian kulit yang mengalami luka.3,21
2.1.6 Tikus Sprague dawley
Sprague dawley dipilih sebagai hewan coba berbagai penelitian biomedik
karena hewan ini merupakan contoh yang paling menunjukkan sistem pada hewan
mamalia atau manusia dilihat dari berbagai aspek memiliki berbagai kesamaan.
Sehingga berbagai penelitian yang menggunakan manusia sebagai bahan uji
digantikan oleh tikus ini. Hampir 80% penelitian yang dilakukan menggunakan
Gambar 2.5 Keadaan fisiologi tikus Sprague dawley
Sumber: International Journal of Preventive Medicine 2013
Selain itu dalam pemilihan jenis kelamin pada hewan uji sangat
diperhatikan. Paling banyak penggunaan jenis kelamin jantan karena pada tikus
ini tidak dipengaruhi dari proses metabolisme pada tikus. Pada tikus betina
memilik sistem metabolisme yang fluktuatif ehingga bisa mempengaruhi dalam
Begitu juga dalam pemilihan usia hewan uji, terutama tikus ini, yang
dibutuhkan usia yang dewasa. Karena pada usia yang sudah dewasa semua sistem
dalam tubuh telah matur. Berikut ini perbandingan usia tikus dengan usia
manusia.
Gambar 2.6 Perbandingan usia manusia dan tikus Sprague dawley
Sumber: International Journal of Preventive Medicine 2013
Sehingga yang kita pakai sebagai hewan uji tikus dengan usia 6 bulan. Usia
tersebut dibandingkan dengan usia yang biasanya dicapai manusia dibandingkan
dengan usia tikus paling tua yang biasa ditemukan. Sehingga kita dapat
menentukan usia tikus yang dapat digunakan sebagai hewan uji dalam suatu
22
BAB III
Metode Penelitian
3.1 Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental deskriptif analitik untuk
melihat pengaruh ekstrak daun Anredera cordifolia (Tenore) steenis terhadap
re-epitelisasi epidermis pada kasus luka bakar.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari-Agustus 2014. Penelitian
ini dilakukan di laboratorium farmakologi, laboratorium histologi dan
laboratorium animal house Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
3.3 Bahan Uji
Daun Anredera cordifolia (Tenore) steenis didapatkan dari toko tanaman
obat herbal binahong Jakarta sebanyak 4 Kg daun basah . Alamat jalan Palmerah
Utara 2 Jakarta Barat Indonesia yang dijadikan ekstrak dengan metode maserasi di
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO), kemudian dijadikan
sediaan salep.
3.4 Populasi dan Besar Sampel Percobaan
Pada penelitian ini hewan percobaan yang digunakan sebagai objek
penelitian adalah tikus jantan jenis Sparague dawley umur 2-3 bulan yang
didapatkan dari Departemen Patologi Institut Pertanian bogor disertai surat
keterangan sehat dari Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Hewan pecobaan dibagi kedalam lima kelompok. Yaitu kelompok I hewan
uji diterapi salep dengan konsentrasi ekstrak 10%, kelompok II hewan uji diterapi
salep dengan konsentrasi ekstrak 20%, kelompok III hewan uji diterapi salep
dengan konsentrasi ekstrak 40% kelompok IV kontrol positif dan kelompok V
kontrol negatif. Kelompok kontrol negatif adalah tikus normal dengan luka bakar
diberikan basis salep. Kelompok kontrol positif adalah tikus yang normal dengan
Jumlah sampel hewan percobaan pada penelitian ini diambil dari
perhitungan rumus Federer sebagai berikut:
Dari perhitungan rumus Federer didapatkan jumlah sampel 5 tikus untuk setiap
kelompok.25
3.4.1 Kriteria Inklusi
Tikus Sprague dawley sehat, jantan, usia 2-3 bulan dan berat 300-400
gram.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Tikus Sprague dawley yang mempunyai kecacatan pada kulit punggung
3.5 Sampel penelitian
Pertumbuhan epitel epidermis dalam penyembuhan luka bakar pada tikus
Sprague dawley.
3.6 Identifikasi Variabel
3.6.1 Variabel bebas
Salep ekstrak daun binahong dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 40%,
3.6.2 Variabel Terikat
Ketebalan lapisan re-epitelisasi epidermis yang terjadi setelah hari kelima
perlakuan yang diamati secara mikroskopis
3.7 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Defenisi
Operasional
Tidak ada Tidak ada Kategorik
3 Salep Kontrol
Tidak ada Tidak ada Kategorik
4 Silver
Sulfatiazine
Salep untuk luka
bakar
3.8 Alat dan Bahan Penelitian
3.8.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini (lampiran 4), sebagai berikut:
kandang tikus
kawat (untuk pembatas dan alas kandang)
hard colar buat tikus terbuat dari kertas rontgen
tempat makan dan minum tikus
sarung tangan
alat pembersih kandang tikus (sabun dan sikat)
penangas air
plat besi pembuat luka bakar
benang
lumpang dan alu
timbangan
sendok
hot plate stirrer
tempat sampel jaringan
serbuk kayu
alat bedah minor
mikroskop cahaya
pencukur bulu
komputer/laptop
kotak tempat preparat
termometer
3.8.2 Bahan penelitian
Bahan-bahan penelitian yang diperlukan:
Daun Anredera cordifolia (Tenore) steenis
tikus jantan jenis Sprague dawley formalin 10%
3.9.1.1 Determinasi Anredera cordifolia (Tenore) steenis
Dilakukan dengan cara memberikan sampel daun berserta tangkainya
kepada pihak Institus Pertanian Bogor bagian bidang konservasi ex-situ PKT
kebun Raya Bogor – LIPI. Bertujuan untuk menentukan jenis dari sampel yang
kita berikan apakah sesuai dengan ekstrak yang akan kita pakai saat penelitian.
Determinasi dilakukan selama 3 hari.
3.9.1.2 Ektraksi Daun Anredera cordifolia (Tenore) steenis
Daun binahong yang basah kemudian dicuci dan dipotong kecil-kecil.
Daun binahong yang basah digunakan pada penelitian ini sebanyak 4 Kg.
Dikeringkan dibawah matahari selama 3 hari, ini masih tergantung dengan cuaca.
Setalah dilakukan penjemuran, daun yang sudah kering dilakukan penimbangan.
Didapatkan daun binahong yang sudah kering seberat 535 gr. Daun binahong ini
diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% pada suhu
27oC
Dari semua proses ekstraksi didapatkan ekstrak kental daun binahong
sebanyak 26,2 g. Setelah itu ekstrak kental itu dibagi menjadi berbagai
vaseline album. Dibagi menjadi 0% sebagai kontrol negatif, 10% untuk perlakuan
1, 20% untuk perlakuan 2, 40% untuk perlakuan 3 dan sebagai kontrol positif
menggunakan silver sulfatiazin yang merupakan terapi dari guideline WHO
tentang penatalaksanaan luka bakar.
3.9.1.3 Pembuatan Konsentrasi Ekstrak
Basis salep menggunakan adeps lanae dan vaselin album. Lumpang
dipanaskan beserta alu didalam oven dengan suhu 500 C sehingga panas.
Kemudian keluarkan dari oven. Masukkan adaps lanae terlebih dahulu kemudian
aduk hingga lebur , ditambahkan vaselin album dan diaduk secara konstan hingga
homogen. Tambahkan ekstrak daun sesuai konsentrasi yang dibutuhkan dan
diaduk hingga homogen.
Formula standar dasar salep menurut Agoes Goeswin (2006) ialah:
R/ Adeps Lanae 15 g
Vaselin Album 85 g
m.f salep 100 g
Sediaan salep yang digunakan pada penelitian ini menggunakan konsentrasi daun
binahong 10%, 20% dan 40% dibuat sebanyak 30 g
a. salep ekstrak daun binahong 10 %
R/ Ekstrak daun binahong 3 g
Dasar salep 27 g
m.f salep 30 g
b. salep ekstrak daun binahong 20%
R/ Ekstrak daun binahong 6 g
Dasar salep 24 g
m.f salep 30 g
c. salep ekstrak daun binahong 40%
R/ Ekstrak daun binahong 12 g
Dasar salep 18 g
3.9.1.4 Aklimatisasi Hewan Uji
Sebelum dilakukan percobaan, dilakukan aklimatisasi dahulu pada semua
hewan sampel di laboratorium Animal House Fakultas Ilmu Kesehatan dan
Kedokteran selama satu minggu. Hewan diadaptasikan dengan lingkungan
barunya, makanan dan minumannya. Pemberian makanannya dengan pakan
standar secara ad libitum.
3.9.1.5 Pembuatan Alat Luka Bakar
Menggunakan plat besi yang mempunyai luas penampang 4x2 cm disertai
gagang yang mempermudah kita dalam membuat luka bakar pada tikus Sparague
dawley.
3.9.2 Tahap Pengujian
3.9.2.1 Pembuatan Luka Bakar Derajat II
Sebelum melakukan perlakukan, bulu disekitar punggung dicukur dan saat
melakukan pencukuran diberikan gel khusus pencukur bulu, bertujuan untuk
meminimalkan cedera yang terjadi pada kulit tikus. Berikan terlebih dahulu
anastesi eter secara inhalasi sebelum perlakuan. Alat pembuat luka yang terbuat
dari plat berukuran 4x2 cm dicelupkan ke air panas 980 C selama 5 menit ,
kemudian ditempelkan pada kulit tikus yang telah dianastesi selama 10 detik.31
3.9.2.3 Pemberian Terapi
Setelah dilakukan perlukaan, langsung diberikan perlakuan dengan sesuai
kelompok yang sudah ditentukan. Perlakuan dilakuan 2 kali sehari (pagi dan sore
hari). Perlakuan dilakukan selama 5 hari. Terapi yang dilakukan secara topikal
sesuai dengan luas dari luka.
3.9.2.3 Pengambilan Jaringan
Setelah dilakukan selama 5 hari, hewan uji dianatesi dengan cara
memasukkannya kedalam toples yang mengandung larutan eter. Setelah itu
Kemudian dimasukkan ke dalam pot sampel yang berisi formalin 10%.
Dikirimkan ke tempat pembuatan preparat dibagian Departemen Histologi
Universitas Indonesia.
3.9.2.4 Pembuatan Preparat
Pembuatan preparat dilakukan di Departemen Patologi Anatomi
Universitas Indonesia. Preparat dibuat menggunakan pewarnaan Hematoxylin
Eosin.
3.9.2.5Pengambilan Gambar Histopatologi
Preparat diamati pada tepi luka dalam proses penyembuhan luka
menggunakan mikroskop cahaya Olympus BX41 menggunakan perbesaran 100x.
Kemudian diambil gambar menggunakan kamera mikroskop Olympus DP25
dengan disertai penggunaan software Olympus DP2-BSW. Foto diambil dengan
perbesaran 100x. Hasil foto ini yang menjadi perhitungan re-epitelisasi epidermis.
Sehingga satu preparat mempunyai dua foto sisi re-epitelisasi yang kemudian
kedua nilai dirata-ratakan. Untuk menghitung ketebalan re-epitelisasi
menggunakan software ImageJ.
3.9.2.6 Cara Penghitungan Ketebalan Re-epitelisasi Epidermis
Tahap penggunaan aplikasi ImageJ untuk menghitung re-epitelisasi yang
dilakukan sebanyak 5 kali setiap foto preparat.
1. Setelah komputer dinyalakan, buka aplikasi ImageJ
2. Klik file pada menu kemudian open lalu pilih foto yang akan dilakukan
perhitungan
3. Setelah foto tersaji, kemudian klik straight pada menu toolbar
4. Buatlah garis sepanjang garis yang ada pada pojok kanan bawah pada hasil
foto preparat.
5. Klik Analyze pada menu kemudian set scale
6. ukuran panjang yang kita ketahui yang tertera pada pojok kanan bawah,
Distance dan untuk kolom Unit of Length dimasukkan satuan µm
(micrometer). Kemudian klik Ok
7. Buatlah garis kembali pada ketebalan re-epitelisasi yang telah kita
tentukan
8. Kik Analyze pada menu dan kemudian klik Measure
9. Selanjutnya akan muncul Result, pada penghitungan re-epitelisasi yang
digunakan data pada kolom Length
10.Jika akan melakukan kembali ikuti langkah-langkah dari 1-9 dan apabila
akan menyimpan data tersebut, langsung klik file kemudian save.
Pada penelitian ini melakukan pengukuran ketebalan re-epitelisasi
3.9.3 Alur Penelitian
Determinasi Pengumpulan daun Anredera
3.10 Managemen Data
Data dari hasil penelitian efek pemberian salep ekstrak daun Anredera
cordifolia (Tenore) steenis terhadap re-epitelisasi epidermis pada luka bakar
Sprague dawley dianalisis menggunakan program SPSS 16.0 untuk melihat
efektifitas yang bermakna pada setiap bahan uji yang terdiri dari kontrol positif,
kontrol negatif dan salep dengan berbagai konsentrasi ekstrak
Dari penelitian ini data didapatkan berupa variabel numerik-numerik yang
lebih dari dua kelompok tidak berpasangan dan dengan distribusi data normal
menggunakan uji one way ANOVA.23 Jika data tidak terdistribusi dengan normal,
maka dilakukan transformasi dengan log 10. Jika data tetap tidak normal, maka
dilakukan uji non parametrik tes.
3.11 Etika Penelitian
Hewan coba sebanyak 25 ekor tikus Sprague dawley diberikan makanan
dan minuman secara ad libitum. Hewan ditempatkan di kandang yang nyaman.
Satu kandang hanya untuk satu tikus. Setelah diberikan perlakuan selama 5 hari,
pada hari ke–6 dilakukan terminasi dengan menggunakan anestesi eter.
Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel jaringan kulit bagian dorsal. Sampel
jaringan kemudian dibawa ke Laboratorium Patologi Anatomi FKUI. Bagian
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Re-epitelisasi Epidermis
Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan luka bakar pada bagian
punggung. Tikus diberikan perlakuan selama lima hari kemudian dibuat preparat
setiap jaringan kulit. Berikut gambar hasil pembuatan luka bakar.
Gambar 4.1 Hasil makroskopik hari ke lima A: kontrol positif; B: kontrol negatif;
C: P1 (konsentrasi 10%); D: P2 (konsentrasi 20%) dan E: P3 (konsentrasi
40%)Hasil pembuatan luka bakar; tanda panah: luka bakar paparan plat besi
selama 10 detik
A B
C D
Re-epitelisasi epidermis luka bakar dihitung rata–ratanya setelah diberikan
perlakuan. Dari hasil penghitungan, salep ekstrak daun binahong mempunyai
pengaruh dalam proses re-epitelisasi. Hal ini dapat kita lihat dari ketebalan
epidermis yang sudah terbentuk pada penilaian secara mikroskopik.
Gambar 4.2 Hasil pengambilan gambar preparat HE dengan perbesaran 100x. A: kontrol positif; B: kontrol negatif; C: P1 (konsentrasi 10%); D: P2 (konsentrasi 20%) dan E: P3 (konsentrasi 40%); tanda panah: tepi luka
A
E
D C
0
Gambar 4.3 Hasil penghitungan re-epitelisasi epidermis
Re-epitelisasi epidermis yang terjadi dihitung menggunakan aplikasi
ImageJ. Re-epitelisasi epidermis yang tertinggi terdapat pada pemberian salep
ekstrak daun binahong konsentrasi 40% (P3) dengan rata-rata 88,39 µm,
sedangkan yang terendah adalah kontrol negatif dengan rata-rata 11,14 µm. Dapat
dilihat hasil pengambilan gambar preparat HE dengan perbesaran 100x.
Tabel 4.1 Hasil pengukuran re-epitelisasi epidermis
Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun
binahong, maka re-epitelisasi epidermis akan semakin meningkat. Bahkan dalam
penelitian ini, pemberian salep ekstrak daun binahong konsentrasi 20% (P2)
re-epitelisasi melebihi kontrol positif.
Data yang telah didapatkan pertama kali dilakukan uji normalitas.
Didapatkan data distribusinya normal dengan nilai P value 0,075 (>0,05).
Kemudian dilakukan uji homogenitas dan didapatkan P value 0,216 (>0,05). Nilai
ini menujukkan data tersebut homogen.
Setelah data dinyatakan normal dan homogen, kemudian dilakukan uji
One-way ANOVA. P value didapatkan nilai 0,000 (<0,05). Nilai tersebut
menunjukkan hubungan pemberian salep ekstrak daun binahong terhadap
re-epitelisasi epidermis luka bakar.
4.1.2 Pembahasan
Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa konsentrasi ekstrak daun
binahong 20 % dan 40% yang terjadi re-epitelisasi lebih besar dibanding dengan
re-epitelisasi kontrol positif yang menggunakan silver sulfatiazin. Hal ni
membuktikan daun binahong mempunyai peran dalam membantu proses
re-epitelisasi pada epidermis kulit bahkan efektifitasnya lebih tinggi dibandingkan
dengan silver sulfatiazin.
Sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh Isnatin Miladiayah (2012),
tentang efek ekstrak daun binahong pada penyembuhan luka sayat di marmut.
Menggunakan ekstrak etanol daun binahong dengan konsentrasi mulai dari 20%
mampu membantu dalam proses penyembuhan luka bila dibandingkan kontrol
positifnya (povidone iodine). Hasil penelitian Isnatin sesuai dengan hasil
penelitian. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Syuhar, Windarti dan
Kurniawati (2012) melakukan uji daun binahong yang hanya ditumbuk lalu
ditempel pada luka bakar derajat II, ternyata hasilnya tidak efektif. Luka dinilai
dari secara mikroskopik tidak ada perbedaaan bermakna antara pemberian daun
binahong dengan kontrol. Hal tersebut mungkin disebabkan daun binahong tidak
sehingga mampu meningkatkan efektifitas dari senyawa pada daun binahong
tersebut. 3, 26
Daun binahong memiliki kandungan beberapa senyawa seperti saponin,
terpenoid, steroid, glycoside dan alkaloid. Dalam suatu penelitian yang dilakukan
oleh Sri Murni Astuti DKK (2011), seluruh bagian dari tumbuhan binahong
memiliki kandungan saponin baik itu dalam keadaan sampel kering ataupun
segar.3 Selain itu juga dalam penelitian Isnatin (2012), terdapat juga beberapa
senyawa lain yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka, seperti
flavonoid, tanin, dan polifenol.
Selain itu juga pada penelitian Sri Murni Astuti DKK (2011) didapatkan
bahwa pada daun binahong memiliki kandungan saponin 28,14 ± 0,22 persen
untuk setiap 20 mg sampel kering. Sedangkan untuk tangkai tanaman binahong
hanya mengandung 3, 65 ± 0,11 persen. Namun, untuk bagian akar mengandung
paling banyak saponin yakni 43,15 ± 0,10 persen dari setiap 20 mg sampel kering.
Pada penelitian ini sampel yang diambil adalah daun walaupun kandungan
saponan paling tinggi pada akar. Namun di masyarakat paling banyak
menggunakan daun binahong sebagai obat tradisional luka bakar.27
Saponin berperan dalam mekanisme pada penyembuhan luka dengan cara
menstimulasi produksi kolagen tipe I yang mana akan berperan penting dalam
penutupan luka dan peningkatan re-epitelisasi jaringan.3 Kim YS (2011)
melakukan penelitian, mendapatkan pada kelompok yang diberikan saponin
kecepatan migrasi sel-sel keratinosit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Disimpulkan dari hasil penelitian tersebut bahwa saponin meningkatkan
kecepatan migrasi sel keratinosit yang berpengaruh pada re-epitelisasi
epidermis.30
Sedangkan flavonoid beraksi dalam respon terhadap radikal bebas yang
mencegahan dan memperlambat proses nekrosis sel serta meningkatkan
vaskularisasi pada darah yang mengalami luka. Sedangkan untuk tannin, glikosida
dan flavonoid berperan sebagai antibakteri. Kegunaan dari antioksidan pada
proses penyembuhan dalam proliferasi sel, menekan proses inflamasi dan
kontraksi pada jaringan kolagen dengan cara menghambat adanya radikal bebas.
askorbat mampu meningkatkan daya tahan terhadap infeksi sekunder, memelihara
mebran mukosa dan mempersingkat proses penyembuhan luka. Sedangkan asam
oleanolik mempunyai manfaat sebagai anti inflamasi dan mampu mengurangi rasa
nyeri pada luka.29
Pada daerah luka, tingkat kelembaban sangat berpengaruh karena dapat
mempercepat pembentukkan growth factor pada re-epitelisasi yang membentuk
stratum korneum dan angiogenesis. Proses tersebut semakin meningkat jika,
keadaan lingkungan yang lembab. Proses re-epitelisai pada luka terbuka
menyebabkan reduksi dari ukuran luka. Pada tahap inflamasi, proses ini semakin
lama jika terjadi infeksi sekunder. Oleh karena itu, pada kasus luka diberikan
antibiotik sehingga menurunkan risiko terjadinya infeksi sekunder.29
Dalam penelitian ini proses untuk mengubah daun binahong menjadi
ekstrak kental menggunakan metode maserasi alasan pemilihan metode ini karena
pengerjaannya mudah dan sederhana. Metode maserasi hanya mampu mengambil
semua senyawa aktif dalam sampel, namun tidak bisa memisahkan senyawa aktif
satu persatu. Sehingga pada penelitian ini tidak dapat ditentukan kadar senyawa
aktif. Namun dapat kita asumsikan bahwa senyawa saponin, alkaloid dan
flavonoid mempunyai peran besar dalam proses re-epitelisasi epidermis. Selain
itu juga ekstrak daun binahong dijadikan sediaan salep dengan tujuan dapat
membantu proses penyerapan dari zat aktif yang terkandung pada daun binahong
ke kulit.
4.2 Keterbatasan Penelitian
1. Tidak melakukan pengambilan gambar makroskopik setelah melakukan
paparan dengan plat besi.
2. Tidak melakukan pembuatan preparat untuk melihat secara mikroskopik
39
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Salep ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi 10%, 20% dan 40%
mempunyai efek dalam re-epitelisasi epidermis pada luka bakar dengan
paparan plat besi selama 10 detik.
2. Konsentrasi salep ekstrak daun binahong 20% dan 40% melebihi kontrol
positif (silver sulfatiazin) dalam membantu proses re-epitelisasi. Semakin
tinggi konsentrasinya ekstrak daun binahong maka efektifitasnya semakin
tinggi dalam membantu proses re-epitelisasi epidermis.
5.2 Saran
1. Melakukan pengambilan gambar makroskopik setelah perlakukan
paparan plat besi.
2. Melakukan pembuatan preparat untuk melihat secara mikroskopik setelah
paparan plat besi.
3. Penggunaan simplisia untuk pembuatan ekstrak bisa menggunakan
akarnya karena ada dibeberapa penelitian lainnya menyatakan kandungan
saponin paling tinggi.
4. Diharapkan dapat menentukkan zat aktif spesifik mana dan berapa
banyak yang paling berperan dalam membantu prosesreepitelisasi.
5. Diharapkan dapat mengetahui lebih lanjut mekanisme zat-zat aktif yang
terkandung pada tumbuhan binahong yang mampu membantu proses
penyembuhan berbagai macam luka.
6. Diharapkan dapat memberikan ekstraksi dengan cara peroral agar dapat
dilihat pengaruh zat-zat aktif binahong secara sistemik.
7. Menggali lagi potensi lain dari zat-zat aktif yang terkandung ditumbuhan
Daftar Pustaka
1. Krug, Etienne. Burn prevention and care. Geneva, Switzerland: World
Health Organization; 2008. p. 2-3
2. Sabiston, David C. Buku ajar bedah bagian 1. Jakarta: EGC; 1995. h.
155-156
3. Miladiyah, Isnatin. Ethanolic extract of Andredera cordifolia (Ten.)
Steenis leaves improved wound healing in guinea pigs. Jogjakarta:
Departemen Farmakologi Universitas Islam Indonesia; 2012. p. 4-9
4. Cameron, Alex et. al. Burn wound management: a surgical perspective. South Australia: Women’s and Childrens’ Health Research Institute; 2010. p. 35-40
5. Connolly, Siobhan. Clinical practice guidelines: burn patient management.
Russia: Agency for Clinical Innovation; 2011. p. 34
6. Paju, Niswah. Dkk. Uji efektivitas salep ekstrak daun binahong
(Andredera cordidolia (ten.) Steenis) pada kelinci (Oryctolagus cuniculus)
yang terinfeksi bakteri staphylococcus aureus. Manado : Universitas
Samratulangi; 2013. h. 51-59
7. Astuti, Sri Murni Et al. Determination of saponin compound from
Anredera cordifolia (ten.) Steenis (Binahong) to potential treatment for
several disease. Pahang, Malaysia: Universiti Malaysia Pahang; 2011. p.
224-228
8. Eroschenko, Victor P. Atlas histologi di Fiore: dengan korelasi fungsional.
Ed. 11. Jakarta: EGC; 2010. h. 223-230
9. Mescher, Anthony L. Histologi dasar Junqueira : teks dan atlas. Ed. 12.
Jakarta: EGC; 2011. h. 309-321
10.Sherwood, Lauralee. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Ed. 6. Jakarta:
EGC; 2011. h. 485-487
11.Wonodirekso, Sugito. Penuntun praktikum histologi universitas indonesia.
Jakarta : bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2003. h. 151-155
12.Yapa, Kshemendra Senarath. Wounds. Vol. 5 : Management of burns in