• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Pasien Usia Lanjut dengan Pneumonia Komunitas di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Tahun 2013 - 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Pasien Usia Lanjut dengan Pneumonia Komunitas di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Tahun 2013 - 2014"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Penyebab pneumonia komunitas menurut NAS dan BTS ... 8

Tabel 2.2. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT ... 12

Tabel 2.3. Derajat skor risiko menurut PORT ... 13

Tabel 2.4. Perbedaan kekuatan otot diafragma pada usia lanjut dengan dewasa ... 20

Tabel 4.1. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin ... 40

Tabel 4.2. Karakteristik berdasarkan kelompok usia ... 41

Tabel 4.3. Karakteristik berdasarkan tingkat pendidikan ... 42

Tabel 4.4. Karakteristik berdasarkan status pernikahan ... 43

Tabel 4.5. Karakteristik indeks massa tubuh (Asia-Pasifik) ... 46

Tabel 4.6. Karakteristik tanda vital ... 47

Tabel 4.7. Perbandingan tanda vital pada penelitian ini dengan penelitian lain ... 48

Tabel 4.8. Karakteristik status kesadaran dan tekanan darah ... 48

Tabel 4.9. Perbandingan gambaran klinis penelitian ini dengan penelitian lain ... 51

Tabel 4.10. Karakteristik kebiasaan perilaku ... 51

Tabel 4.11. Karakteristik penyakit penyerta ... 52

Tabel 4.12. Karakteristik hasil radiologi toraks ... 53

Tabel 4.13. Karakteristik lama rawat inap ... 54

Tabel 4.14. Karakteristik antibiotik yang diberikan ... 55

Tabel 4.15. Karakteristik kematian ... 56

(2)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi sistem pernapasan ... 16

Gambar 2.2. Diagram volume ekspirasi maksimal menurut usia ... 19

Gambar 4.1. Grafik karakteristik pekerjaan pasien ... 44

Gambar 4.2. Diagram jalur masuk ke rumah sakit... 45

(3)

xii

DAFTAR SINGKATAN

ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome ATS : American Thoracic Society

BTS : British Thoracic Society

CAP : Community Acquired Pneumonia CHF : Congestive Heart Failure

DM : Diabetes Melitus

ELISA : Enzime Linked Immunosorbent Assay HAP : Hospital Acquired Pneumonia

HIV : Human Immunodeficiency Virus ICU : Intencive Care Unit

IDSA : Infectious Disease Society Of America IGD : Instansi Gawat Darurat

IMT : Indeks Massa Tubuh

LRTI : Lower Respiratory Tract Infections NAS : North American Studies

PA : Posterior Anterior

PORT : Pneumonia Patient Outcome Research Team PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar RR : Respiratory Rate

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah TB : Tuberkulosis

(4)

1 1.1. Latar Belakang

Dewasa ini, pengaruh lingkungan, kebiasaan perilaku dan gaya hidup masa kini telah membuat kondisi tubuh manusia semakin rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit salah satunya adalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan.1

Keadaan ini tidak boleh dipandang sebelah mata, karena data World Health Organization (WHO) telah menyebutkan dari 10 macam penyakit penyebab angka kematian di dunia, tercatat bahwa infeksi saluran pernapasan bawah merupakan penyakit infeksi terbesar ke-4 yang menyebabkan kematian di dunia selama 1 dekade terakhir dengan jumlah kematian mencapai 3,1 juta kematian pada tahun 2012.1

Di Indonesia pada tahun 2014, diketahui bahwa pneumonia merupakan salah satu penyakit menular langsung yang dapat menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat Indonesia.2

Hal ini didukung berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI) pada tahun 2013 melalui Riset Kesehatam Dasar (Riskesdas), yang mendapatkan bahwa peningkatan prevalensi pneumonia pada semua jenjang usia dari 2,1 % pada tahun 2007 menjadi 2,7% pada tahun 2013. Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok usia 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada kelompok usia 45-54 tahun dan semakin meningkat sesuai bertambahnya usia.3

(5)

dan penurunan kekuatan otot rongga dada. Pada proses penuaan juga terjadi perubahan imunitas yaitu penurunan sel imun. Dari perubahan-perubahan tersebut dapat mempermudah terjadinya infeksi pada paru-paru.4-8

Di Amerika, prevalensi pneumonia tampak lebih banyak ditemukan pada kelompok usia lanjut. Pneumonia komunitas merupakan penyebab paling umum kematian pada usia lanjut dari beberapa penyakit menular lainnya. Sebuah penelitian terhadap 46.237 pasien usia lanjut yang dimonitoring selama 3 tahun, memperlihatkan jumlah kasus pneumonia komunitas di antara usia 65 – 69 tahun terdapat 18.2 kasus dari 1000 pasien pertahun. Sedangkan pada usia lebih dari 85 tahun terdapat 52.3 kasus dari 1000 pasien pertahun. Dari data tersebut dapat diperkirakan, 1 dari 20 orang pada usia lebih dari 85 tahun mengalami pneumonia komunitas.9-11

Di Indonesia, prevalensi pneumonia semakin meningkat sesuai bertambahnya usia, peningkatan terjadi terutama pada kelompok usia 45-54 tahun sebesar 5,4%, kelompok usia 55-64 tahun sebesar 6,2%, kelompok usia 65-74 tahun sebesar 7,7%, dan usia lebih dari 75 tahun sebesar 7,8%.3

Usia lanjut sangat berkaitan dengan berbagai perubahan akibat proses penuaan seperti perubahan anatomi, fisiologi dan sistem imun yang apabila disertai pengaruh psikososial akan berdampak pada perubahan gambaran klinis pasien usia lanjut tersebut dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.12

Khususnya di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, penelitian tentang profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas belum pernah diteliti. Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan tersebut di atas peneliti tertarik dan merasa perlu untuk melakukan penelitian ini, sehingga dapat diketahui profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang sesungguhnya.

1.2. Rumusan Masalah

(6)

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui status sosio-demografi pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014.

b. Mengetahui gambaran klinis pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014.

c. Mengetahui penyakit penyerta pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014. d. Mengetahui angka kematian pasien usia lanjut dengan pneumonia

komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014.

1.4. Manfaat

1.4.1. Bagi Peneliti

Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas.

1.4.2. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi dan pengetahuan tambahan kepada masyarakat tentang gambaran klinis pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang berbeda tampilan klinisnya dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.

1.4.3. Bagi Institusi

(7)

4

2.1. Pneumonia Komunitas

2.1.1. Definisi dan Klasifikasi

Menurut World Health Organitation (WHO), pneumonia merupakan infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang paru-paru. Ketika paru-paru seseorang terkena pneumonia, alveolusnya akan terisi oleh nanah dan cairan, yang dapat menyebabkan sesak napas dan mengurangi pemasukan oksigen.13

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru.14

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI), pneumonia adalah radang paru yang disebabkan oleh bakteri dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat, sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah dan nafsu makan berkurang).3

Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya : 1. Community-Acquired Pneumonia

Community-Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas merupakan suatu infeksi pada paru-paru yang dimulai dari luar rumah sakit atau didiagnosis dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit pada pasien yang tidak menempati fasilitas perawatan kesehatan jangka panjang selama 14 hari atau lebih sebelum gejala muncul, serta biasanya disertai dengan adanya gambran infiltrat pada pemeriksaan radiologi dada.15

(8)

strains penicillin resistant). Ketiga bakteri tersebut dijumpai hampir di 85% kasus pneumonia komunitas. Pneumonia biasanya menular karena masuknya patogen melalui inhalasi atau aspirasi ke segmen paru atau lobus paru.16,17

2. Hospital-Acquired Pneumonia

Berdasarkan American Thoracic Society (ATS), Hospital-Acquired Pneumonia atau pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang muncul setelah dirawat di rumah sakit lebih dari 48 jam tanpa pemberian intubasi endotrakeal. Pneumonia nosokomial terjadi karena terdapat ketidakseimbangan pertahanan tubuh dengan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi saluran napas bagian bawah. Pneumonia nosokomial sering disebabkan oleh bakteri Pseudomonas aeroginosae, Klebsiella sp, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumoniae. ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit).18,19

2.1.2. Epidemiologi

Lower respiratory tract infections (LRTI) dan CAP adalah penyebab terbesar dari angka kesakitan dan kematian pada kelompok usia lebih dari 65 tahun di Inggris Raya dan beberapa Negara di Eropa.20

Di Amerika, prevalensi pneumonia tampak lebih banyak ditemukan pada usia lanjut. Sebuah penelitian pada 46.237 pasien usia lanjut yang diikuti selama 3 tahun, didapatkan bahwa jumlah kasus CAP pada kelompok usia 65 – 69 tahun adalah sebanyak 18,2 kasus dari 1000 pasien pertahun. Sedangkan pada usia lebih dari 85 tahun terdapat 52,3 kasus dari 1000 pasien per tahun. Dari data tersebut dapat diperkirakan, 1 dari 20 orang pada usia lebih dari 85 tahun mengalami CAP.8-10

(9)

Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Di Indonesia prevalensi kejadian pneumonia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan insiden paling banyak terjadi pada usia 65 tahun keatas. Pada tahun 2013 prevalensi pneumonia pada usia 65- 74 tahun sebesar 7,7% dan pada usia 75 tahun keatas sebesar 7,8% baik yang telah terdiagnosis oleh dokter maupun yang belum terdiagnosis pneumonia tetapi menderita gejala klinis pneumonia.3

2.1.3. Etiologi

Mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan pneumonia adalah: a) Bakteri

Streptococccus pneumonia: merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri patogen ini dapat ditemukan pada pneumonia komunitas rawat inap di luar Intensive Care Unit (ICU) sebanyak 20-60%, sedangkan yang di dalam rawat inap ICU sebanyak 33%.21

Staphylococcus aureus: merupakan bakteri anaerob fakultatif.

Penyebaran tersering melalui obat secara intravena yang memungkinkan infeksi kuman menyebar secara hematogen dari kontaminsi injeksi awal menuju paru-paru.21

 Enterococcus (E.faecalis, E. faecium): merupakan organisme streptococcus group D yang merupakan flora normal usus.21

Pseudomonas aeruginosae: Bakteri anaerob, yang berbentuk

batang dan memiliki bau yang khas.21

Klebsiella pneumonia: Bakteri anaerob fakultatif, yang berbentuk

batang tidak berkapsul.21

Haemophillus influenza: Bakteri anaerob yang berbentuk batang

dengan berkapsul atau tidak berkapsul.21 b) Virus

(10)

c) Jamur

Infeksi pneumonia yang diakibatkan oleh jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik, dimana spora dari jamur masuk ke dalam tubuh melalui udara. Jamur yang dapat menginfeksi seperti Candida sp., Aspergillus sp., Crytococcus neoformans.21

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri virus dan jamur namun penyebab pneumonia komunitas berdasarkan prevalensi kejadian menurut North American Studies (NAS) dan British Thoracic Society (BTS) dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini.22

Tabel 2.1. Penyebab pneumonia komunitas menurut NAS dan BTS

Penyebab Prevalensi

NAS BTS

Kuman tipikal

Streptococcus pneumonia 20-16 60-75

Haemophilus influenza 3-10 4-5

Staphylococcus aureus 3-5 1-5

Basil gram negative 3-10 Jarang

Lainnya 3-5 -

Kuman atipikal 10-20 -

Legionella 2-8 2-5

Mycoplasma pneumonia 1-6 5-18

Clamydia pneumonia 4-6 -

Virus 2-15 8-16

Aspirasi 6-10 -

Sumber : Nair, G. B., & Niederman, M. S. Community-acquired pneumonia: an unfinished battle. 2011.

(11)

bahwa bakteri golongan gram positif terbanyak yang menjadi penyebab pneumonia komunitas adalah Streptococcus pneumonia (14,04%) dan dari golongan gram negatif yaitu Klebsiella pneumonia (45,18%).23

2.1.4. Patofisiologi

Pneumonia disebabkan oleh adanya proliferasi dari mikroorganisme patogen di dalam alveolus dan respon tubuh terhadap patogen. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi yaitu, keadaan individu atau imunitas tubuh, jenis mikroorganisme patogen dan lingkungan sekitar. Ketiga faktor tersebut dapat menentukan berat ringannya penyakit, diagnosis, rencana terapi serta prognosis dari pasien.14

Proses infeksi dimana patogen masuk ke saluran napas bagian bawah setelah melewati mekanisme pertahanan oleh tubuh berupa pertahanan mekanik (epitel, silia, mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan komplemen) dan seluler (leukosit, makrofag, limfosit, dan sitokin). Infeksi menyebabkan peradangan pada membran paru sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler masuk ke dalam alveoli. Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun dan saturasi oksigen menurun. Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru akan dipenuhi sel radang dan cairan, dimana sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk membunuh patogen, tetapi dengan adanya dahak dan fungsi paru menurun yang akan mengakibatkan kesulitan bernapas sehingga dapat terjadi sianosis, asidosis respiratorik dan kematian.14

2.1.5. Patologi

Pada paru yang terinfeksi oleh bakteri S. Pneumonia dapat menyebabkan 2 pola pneumonia, yaitu pneumonia lobaris atau bronkopneumonia. Pada pola bronkopneumonia fokus konsolidasi terdistribusi di satu atau beberapa lobus terutama di daerah lateral atau basal. Sebelum diberikan antibiotik, bakteri ini mengenai hampir seluruh lobus dan berkembang dalam 4 stadium:23, 24

(12)

 Hepatisasi Merah: Lobus paru memperlihatkan konsistensinya menyerupai hati karena rongga alveolusnya dipenuhi oleh neutrofil, sel darah merah dan fibrin. Dan pleura biasanya memperlihatkan eksudat fibrinosa atau fibrinopurulen.

 Hepatisasi Abu Abu: Paru paru terlihat menjadi kering, abu abu dan padat karena seldarah merah mengalami lisis.

 Resolusi: Terjadi pada kasus yang tidak mengalami komplikasi, eksudat di alveolus di cerna secara enzimatis dan diserap atau dibatukan sehingga arsitektur paru tetap utuh.

2.1.6. Tanda dan Gejala

Setiap orang dapat menderita pneumonia, meskipun orang tersebut sudah usia lanjut. Gambaran klinis yang timbul akibat pneumonia dapat di temukan dengan gejala sebagai berikut, batuk (baik non produktif atau produktif), demam, menggigil, berkeringat, nafas pendek, nyeri dada seperti ditusuk saat nafas dalam atau sedang batuk, sakit kepala, sesak nafas, lemah dan gelisah.14,25

Kelainan yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan fisik paru adalah saat inspeksi bagian yang sakit akan tertinggal saat bernafas, pada saat palpasi akan terdapat peningkatan fremitus vokal dan raba, pada saat perkusi terdapat suara perkusi redup/pekak, pada saat auskultasi akan terdapat pleural friction rub terdapat suara napas bronkial dan terdapat ronkhi basah.26,27

Manifestasi klinis pneumonia komunitas pada pasien usia lanjut berbeda dengan kelompok usia lainnya. Pada pasien usia lanjut kadang tidak terdapat demam, penurunan batuk dan sputum, perubahan status mental mungkin adalah hal yang paling menonjol. Pada pasien usia lanjut, gejala pneumonia pada infeksi awal tidak memperlihatkan gejala klinis, kebanyakan gejala klinis timbul pada saat pneumonia yang dideritanya sudah kronis.28

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang

a) Gambaran Radiologis

(13)

sampai konsolidasi dengan air broncogram, penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kavitas.

b) Kultur darah.

c) Deteksi antigen patogen pada urin

L. pneumophila sero group 1 dapat dideteksi di urin pasien dengan Legionnaires oleh enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).27

2.1.8. Diagnosis

Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan dengan cara anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisik, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis peneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks didapatkan infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan paling sedikit 1 kriteria gejala mayor atau 2 kriteria gejala minor bawah ini:29

a. Kriteria gejala mayor  Batuk-batuk  Produksi sputum  Demam > 37,8oC b. Kriteria gejala minor

 Sesak napas

 Nyeri dada pleuritik

 Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronkhi

 Leukosit > 12.000 ribu/ml.

2.1.9. Prognosis

(14)

Mortalitas pasien pneumonia komunitas yang di rawat di ICU adalah sebesar 20%.29

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti yang tertera pada tabel 2.3. di bawah ini:30

Tabel 2.2. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT

Karakteristik pasien Jumlah poin

Faktor demografi

 Gagal jantung kongestif +10

 Penyakit serebrovaskular +10

 Penyakit ginjal +10

Pemeriksaan fisik

 Perubahan status mental +20

 Frekuensi napas > 30 kali/menit +20  Tekanan darah sistolik < 90 mmHG +20  Suhu tubuh < 35oC atau > 40oC +15

(15)

Tabel 2.3. Derajat skor risiko menurut PORT30

Risiko Kelas Risiko Total Skor Perawatan

Rendah I Tidak diprediksi Rawat jalan

II < 70 Rawat jalan

III 71 - 90 Rawat inap/rawat jalan

Sedang IV 91 - 130 Rawat inap

Berat V > 130 Rawat inap

Sumber: Ewig S, Ruiz M, Mensa J, Marcos MA, Martinez JA, Aranbica F, Niederman MS. Severe community-acquired pneumonia assessment of severity criteria. 1998.

Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu atau lebih kriteria di bawah ini: 29

a) Kriteria minor:

• Frekuensi napas > 30 kali/menit • Rasio Pa02/FiO2 < 250 mmHg

• Foto toraks paru menunjukkan infiltrat bilateral • Infiltrat paru melibatkan > 2 lobus

• Tekanan sistolik < 90 mmHg • Tekanan diastolik < 60 mmHg • Disorientasi

Blood Urea Nitrogen > 20 mg/dL • Leukopenia ( leukosit < 4.000 sel/mm3)

• Trombositopenia (trombosit < 100.000 sel/mm3) • Hipotermia ( suhu < 36oC)

b) Kriteria mayor:

• Membutuhkan ventilasi mekanik • Infiltrat bertambah > 50%

• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)

(16)

Kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pasien pneumonia komunitas adalah :23

a. Skor PORT lebih dari 70.

b. Bila skor PORT kurang < 70 maka pasien tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini:

 Frekuensi napas > 30/menit

 PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg

 Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral  Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus

 Tekanan sistolik < 90 mmHg  Tekanan diastolik < 60 mmHg c. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Untuk kriteria perawatan intensif pada pneumonia komunitas adalah sebagai berikut:29

a. Pasien yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventilasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam (syok septis) atau

b. 2 dari 3 gejala minor tertentu (PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg, foto

toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg).

Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor pasien, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada pasien yang dirawat.

(17)

inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.35

2.1.10. Komplikasi

Jika pneumonia tidak ditatalaksana dengan baik maka akan terjadi beberapa komplikasi seperti, pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakterimia, pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru dan infark miokard akut, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), sepsis, gagal napas, syok, abses paru dan efusi pleura.14

Penelitian yang dilakukan oleh MJ Fine,dkk menunjukkan bahwa kebanyakan pasien yang masih hidup memiliki 1 atau lebih komplikasi medis, sedangkan dari semua pasien yang meninggal, penyebab utamanya adalah gagal napas (42,5%), aritmia jantung (8%), dan sepsis (5,3%). Hasil pada penelitian lain menunjukkan komplikasi gagal napas, sepsis atau bakteremia, dan aritmia jantung merupakan penyebab kematian paling banyak.32

2.2. Lanjut Usia

2.2.1. Definisi

Usia lanjut adalah tahap akhir dari proses perkembangan pada siklus kehidupan manusia. Seorang individu yang usianya telah mencapai lebih dari 60 tahun dapat dikatakan sebagai usia lanjut. Usia lanjut merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.33,34

(18)

2.2.2. Anatomi dan Fisiologi Sitem Pernapasan Dewasa

Gambar 2.1. Anatomi sistem pernapasan

Sumber: Cecie Starr dan Ralph Taggart. Biology: The Unity and Diversity of Life, 8th ed. 1998.

Fungsi respirasi adalah adalah memperoleh oksigen (O2) untuk digunakan

oleh sel tubuh dan untuk mengeluarkan karbon dioksida (CO2) yang diproduksi

oleh sel. Respirasi meliputi, respirasi internal yaitu reaksi-reaksi metabolik intrasel yang mengggunakan O2 dan menghasilkan CO2 sewaktu oksidasi molekul

nutrient untuk menghasilkan energi dan respirasi eksternal yaitu berbagai tahap dalam pemindahan O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel jaringan.35

Saluran napas menghantarkan udara dari atmosfer ke alveolus, yang berfungsi sebagai pertukaran gas. Pertukaran O2 dan CO2 antara udara di paru dan

darah di kapiler paru berlangsung di dinding alveolus yang dibentuk oleh sel alveolus tipe I. Paru terletak di dalam kompartemen thoraks , yang volumenya dapat diubah oleh akyivitas kontraktil otot-otot respirasi yang mengelilinginya. Paru dikelilingi oleh suatu kantung tertutup yaitu kantung pleura.35

Ventilasi atau bernapas, adalah proses pemasukan ke dan pengeluaran udara dari paru secara bergantian sehingga udara di alveolus lama yang telah ikut serta dalam pertukaran O2 dan CO2 dengan darah kapiler paru dapat ditukar

(19)

akibat recoil paru selama ekspirasi, udara keluar paru menuju tekanan atmosfer yang lebih rendah.35

Volume paru biasanya sekitar 2-2,5 liter sewaktu volume napas rata-rata 500 ml udara masuk dan keluar setiap kali bernapas. Jumlah udara yang masuk dan keluar paru dalam satu menit, ventilasi paru, sama dengan volume napas kali kecepatan napas. Tidak semua udara yang masuk dan keluar untuk pertukaran O2

dan CO2 dengan darah, karena sebagian menempati saluran napas penghantar,

yang dikenal sebagai ruang rugi anatomi.35

Kontraksi dan relaksasi bergantian otot-otot inspirasi secara tidak langsung menimbulkan inflasi dan deflasi paru dengan secara siklik mengembangkan dan mengempiskan rongga thoraks , dengan paru secara pasif mengikuti gerakannya. Ekspirasi aktif yang lebih kuat, kontraksi otot-otot abdomen semakin mengurangi ukuran rongga thoraks dan paru, yang meningkatkan graden tekanan intra alveolus terhadap atmosfer.35

O2 dan CO2 berpindah menembus membran melalui difusi pasif mengikuti

penurunan gradient tekana parsial. Tekanan parsial suatu gas dalam udara adalah bagian dari tekanan atmosfer total yang disumbangkan oleh gas tersebut, yang berbanding lurus dengan persentase gas ini dalam udara. Tekan parsial suatu gas dalam darah bergantung pada jumlah gas tersebut yang larut dalam darah. Difusi netto O2 terjadi pertama antara alveolus dan darah, kemudian antar darah dengan

jaringan akibat gradien tekana parsial O2 yang terbentuk karena pemakaina

terus-menerus O2 di sel dan penggantian terus-menerus O2 di alveolus adri ventilasi.

Difusi netto Co2 terjadi pertama antara jaringan dan darah lalu antara darah dan

alveolus, akibat gradien tekanan parsial CO2 yang terbentuk oleh produksi secara

terus-menerus CO2 alveolus melalui ventilasi.35

Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, maka akan berikatan

secara kimiawi dengan hemoglobin (Hb). Faktor utama yang menentukan seberapa banyak Hb berikatan dengan O2 adalah tekanan O2 darah,. Karbon

(20)

Ventilasi melibatkan dua aspek berbeda, keduanya berada di bawah kontrol saraf, yaitu pergantian siklik antara inspirasi dan ekspirasi, dan regulasi besar ventalasi yang sebaliknya bergantung pada kontrol laju pernapasan dan kedalamman volume napas. Irama bernapas dihasilkan oleh anyaman saraf kompleks yang mengaktifkan neuron-neuron inspirasi yang terletak di kelompok respirasi dorsal (KRD) pada pusat pernapasan di medulla batang otak. Neuron-neuron inspirasi ini melepaskan muatan, impuls akhirnya mencapai otot-otot inspirasi untuk menimbulkan inspirasi.35

Pada saat neuron-neuron inspirasi berhenti melepaskan muatan, maka otot-otot inspirasi akan relaksasi dan terjadi proses ekspirasi. Jika akan terjadi ekspirasi aktif, maka otot-otot ekspirasi diaktifkan oleh impuls dari neuron ekspirasi medulla di kelompok respirasi ventral (KRV) pusat control pernapsan di medulla.35

Irama ini diperhalus oleh keseimbangan aktivitas di pusat apnustik dan pneumotaksik yang terletak lebih tinggi di batang otak, di pons. Pusat apnustik memperlama inspirasi sedangkan pusat pneumotaksik yang lebih kuat membatasi inspirasi.35

2.2.3. Perubahan pada Sistem Pulmonal Lanjut Usia

Pada usia lanjut terjadi perubahan dari anatomi paru-paru sehingga berdampak juga terhadap perubahan fisiologinya, yaitu terjadi degenerasi dari serat elastis di sekitar saluran pernapasan yang dimulai pada usia 50 tahun, keadaan tersebut membuat saluran pernapasan pada usia lanjut menjadi kaku sehingga menyebabkan penyempitan saluran napas. Penyempitan ini akan meningkatkan resistensi saluran napas, sehingga udara yang masuk ke dalam paru-paru sedikit yang menyebabkan kompensasi tubuh berupa sesak napas saat beraktivitas.36

(21)

menurunnya sekresi dari kelenjar mukus ke saluran pernapasan atas yang membuat mukus terakumulasi di saluran pernapasan bawah, sekret menjadi kental dan mikroorganisme akan terperangkap di dalam paru paru hal ini dapat meningkatkan terjadinya infeksi pada paru-paru.36

Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada parenkim paru, khususnya elastisitas dari alveolus yang mulai menurun pada proses penuaan, hilangnya elastisitas dari alveolus tersebut membuat daya rekoil dari alveolus menurun atau terganggu, sehingga pertukaran gas dari rongga dada ke pembuluh darah berkurang yang menyebabkan oksigen yang masuk ke dalam pembuluh darah sedikit dan sedikit karbon dioksida yang dikeluarkan sehingga menyebabkan sulit untuk bernapas, hal ini juga dipengaruhi oleh otot- otot bantu napas dan diafrgama yang melemah, sehingga akan menurunkan fungsi bernapas yaitu menurunnya inspirasi oksigen dan ekspirasi karbon dioksida.36,37,38

Perubahan anatomi seperti penurunan komplian paru dan dinding dada turut berperan dalam peningkatan kerja pernapasan dan penurunan laju ekspirasi paksa sekitar 20% pada usia 60 tahun.36,39

Gambar 2.2. Diagram volume ekspirasi maksimal menurut usia

Sumber: Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. 2006.

Penuaan juga dapat merubah anatomi pada tulang dan otot-otot dada. Penuaan membuat kalsifikasi kartilago kosta sehingga menyebabkan kekakuan pada tulang iga pada saat pengembangan paru dan akan mengakibatkan pernapasan abdominal dan menurunnya suara paru pada bagian dasar.36

(22)

diafragma hanya sedikit yang bisa didapatkan. Pengukuran kekuatan otot-otot pernapasan ditentukan oleh transdiapraghmatic pressure (Pdi), maximum voluntary ventilation (MMV), dan maximum inspiratory pressure (MIP). MIP merupakan indeks kekuatan untuk pengukuran fungsi kekuatan diafragma yang dilakukan dengan pemberian tekanan mekanik dengan menutup mulut saat inspirasi. MIP merupakan indikator kekuatan otot-otot inspirasi dan determinan dari kapasistas vital paru. Penurunan MIP dapat mengakibatkan ventilasi yang inadekuat dan gangguan fungsi sekret saluran napas yang biasa ditemukan pada penyakit neuromuskular. MIP pada laki-laki 30% lebih besar dibandingkan dengan perempuan pada semua kelompok usia dan terjadi penurunan MIP sekitar 0,8-2,7 cm H2O/tahun pada usia 65-85 tahun. Penurunan nilai MIP yang lebih

besar terjadi pada laki-laki. Menurut penelitian Tolep dkk, terjadi penurunan nilai Pdi sekitar 25% yang diukur menggunakan Mueller maneuver pada individu yang berusia 65-75 tahun pada 10 orang sampel.39

Tabel 2.4. Perbedaan kekuatan otot diafragma pada usia lanjut dengan dewasa

Tekhnik Pdi (cmH2O) Penurunan

Dewasa Usia Lanjut

Mueller manuever 171 + 8 128 + 9 25%

Sumber: Sharma G, Goodwin J. Effect of aging on respiratory system physiology and immunology. 2006.

Penurunan kekuatan otot diafragma pada usia lanjut berhubungan dengan proses penuaan yaitu terjadi karena atrofi otot dan penurunan fungsi serat saraf akibat penuaan. Penurunan kekuatan diafragma akibat penuaan ini dapat menjadi predisposisi untuk terjadinya diapraghmatic fatigue dan gagal napas saat terjadi peningkatan kebutuhan ventilasi pada sistem respirasi.39

2.2.4. Perubahan pada Sistem Pencernaan Lanjut Usia

(23)

Air liur/saliva disekresikan sebagai respon terhadap makanan yang yang telah dikunyah. Saliva memfasilitasi pencernaan melalui mekanisme sebagai penyediaan enzim pencernaan, pelumasan dari jaringan lunak, remineralisasi pada gigi, pengaontrol flora pada mulut dan penyiapan makanan untuk dikunyah.41,42

Proses penuaan membuat dilatasi esofagus dan penurunan refleks muntah sehingga menyebabkan peningkatan terjadinya risiko aspirasi.

2.2.5. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal Lanjut Usia

Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekular menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah dan sering patah baik akibat benturan ringan maupun spontan.40

Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan diskus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan barrel-chest.40

Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur. Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi dan pergerakan yang kurang aktif.40

2.2.6. Perubahan pada Sistem ImunLanjut Usia

Leukosit merupakan unit yang dapat bergerak dalam sistem pertahanan imun tubuh. Imunitas adalah kemampuan tubuh untuk menahan atau menyingkirkan benda asing atau sel abnormal yang berpotensi menginfeksi tubuh. Leukosit dan turunan-turunannya, bersama dengan berbagai protein plasma, membentuk sistem imun.33

(24)

Pada usia lanjut akan mengalami perubahan imunitas sistemik, yaitu imunitas alami, dan imunitas adaptif. Imunitas alami adalah respon imun yang terdiri dari makrofag, Natural killer cell (sel NK), dan neutrofil yang menjadi sistem pertahanan lini pertama terhadap masuknya mikroorganisme patogen. Pada usia lanjut fungsi sel-sel tersebut akan menurun, karena terdapat defek pada sumsum tulang individu yang mengalami penuaan sehingga menyebabkan penurunan kemampuan makrofag, dan neutrofil untuk menghilangkan mikroba. Sel NK berperan dalam interaksi antara respons imun alami, dan adaptif. Produksi sel NK terjadi penurunan pada usia lanjut yang dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi, dan kematian pada pasien usia lanjut.43

Pada usia lanjut, timus mengalami involusi progresif sehingga output sel-sel baru berkurang secara signifikan sejak usia 40 tahun. Perubahan morfologi, dan fungsional berupa perluasan ruang perivaskular. Penurunan timopoisis adalah proses aktif yang dimediasi oleh sitokin timosupresi, terutama IL-6, faktor penghambat leukemia (LIF), dan oncostatin M (OSM). Produksi IL-7 yang diperlukan dalam timopoisis untuk menjamin kelangsungan hidup sel dengan mempertahankan protein anti-apoptosis Bcl-2 secara signifikan menurun. Atrofi kronis timus disebabkan oleh kekurangan reseptor leptin, dan progenitor sel T yang bertambah tua. Leptin berperan sebagai zat perlindungan terhadap bakteri endotoksin yang mengawali proses atrofi. Sedangkan sel T yang menua mengakibatkan produksi sitokin timus menurun, seperti IL-1, IL-3, TGF-β, OSM dan LIF yang berperan merangsang fase dini hematopoiesis serta IL-6, IL-7 yang berperan sebagai sitokin timosupresi.43

(25)

mengakibatkan rendahnya respons imun dalam menghadapi infeksi, dan vaksinasi.44

Kualitas respons imun humoral menurun sesuai usia. Perubahan ini ditandai dengan respons antibodi yang lebih rendah, dan penurunan produksi antibodi berafinitas tinggi. Penurunan proliferasi sel B karena usia menurunkan aktivasi sel B dan memberikan defek pada afinitas reseptor, dan sinyal permukaan sel B. Sel Th CD4+ membantu secara tidak adekuat di pusat-pusat germinal, dan menghasilkan antibodi berafinitas rendah akibat penurunan pelepasan IL-2, dan IL-4. Proses penuaan berperan pada perubahan sitokin dari Th1 ke Th2 sebagai respons terhadap rangsangan kekebalan tubuh. Kelebihan produksi sitokin Th2 dapat meningkatkan gangguan autoimun yang dimediasi sel B dengan meningkatkan produksi antibodi autoreaktif. Dengan penurunan imunitas humoral, produksi antibodi berafinitas tinggi menjadi rendah sehingga melemahkan respons antibodi pasien usia lanjut.43

2.2.6. Patofisiologi

Dengan diketahuinya perubahan - perubahan pada berbagai organ tersebut di atas maka akan dapat diketahui bahwa tampilan klinis pneumonia komunitas pada pasien usia lanjut berbeda dengan kelompok usia lainnya.45

Pada orang usia lanjut lebih mudah terinfeksi pneumonia hal ini disebabkan oleh adanya gangguan refleks muntah, melemahnya imunitas, gangguan kardiopulmoner, dan gangguan respon pengaturan suhu. Gangguan refleks muntah, dan sistem saraf pusat mengakibatkan pneumonia aspirasi. Gangguan pada kardiopulmoner mempengaruhi penurunan dari fungsi jantung, dan paru. Sistem imunitas humoral pada usia lanjut terjadi gangguan pada fungsi limfosit B sehingga akan menurunkan produksi antibodi, yang akan menjadi faktor predispoposi infeksi mikroorganisme patogen yang menyebabkan pneumonia.46,47

(26)

inspirasi maksimal. Pada usia lanjut, volume inspirasi dan ekspirasi jumlahnya menurun karena menurunnya fungsi otot-otot pernapasan. Penurunan volume tersebut mengakibatkan penurunan fungsi batuk untuk mengeluarkan mukus yang diproduksi. Mikroorganisme yang terperangkap oleh mukus tidak akan bisa dikeluarkan karena fungsi mukosilia yang menurun dan akan mengakibatkan mukus terakumulasi pada saluran pernapasan bawah sehingga manifestasi klinis pneumonia komunitas pada usia lanjut akan mengalami penurunan pada respon batuk dan sputum.33,36,37

Mukus di saluran napas yang terakumulasi karena tidak dapat dikeluarkan dengan respon batuk menyebabkan obstruksi pada saluran pernapasan. Disamping itu, proses degenerasi serat elastis pada saluran pernapasan juga terjadi sehingga membuat resistensi jalur napas meningkat sehingga mengganggu proses masuknya oksigen ke dalam paru paru yang membuat tubuh melakukan kompensasi melalui peningkatan frekuensi napas untuk mencukupi kebutuhan oksigen dalam tubuh.36

Selain itu, defek sumsum tulang yang terjadi pada individu berusia lanjut menyebabkan penurunan produksi sel-sel imun seperti makrofag dan neutrofil. Makrofag berfungsi memfagosit patogen yang masuk ke dalam tubuh lalu melepaskan sitokin pirogen endogen, sitokin ini diduga mencapai organ sirkumventrikular otak yang tidak memiliki sawar darah otak dan menyebabkan reaksi demam melalui prostaglandin PGE2.. Pada usia lanjut, fungsi tersebut mulai

(27)
(28)
(29)

2.5. Definisi Operasional

(30)
(31)

Dikelompokkan menjadi

Jenis pekerjaan adalah macam pekerjaan yang dilakukan seseorang atau ditugaskan kepada seseorang yang sedang bekerja atau yang

8. Hipotensi Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau tekanan darah diastolik < 60 mmHg.55

Rekam Medis

(32)
(33)

penyempitan jalan udara atau tersumbat sebagian.62

 Ronkhi adalah nada rendah dan sangat kasar yang terdengar karena terdapat keluarnya isi lambung hingga ke mulut dengan

19. Anoreksia Anoreksia adalah tidak adanya nafsu makan.65

Minum alkohol adalah seseorang yang yang menghisap udara napas dari lingkungannya yang mengandung asap rokok.65

Rekam Medis

Baca Kategorik

(34)

inflamasi kronik saluran dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa seluruh jaringan tubuh secara adekuat.67

Renal diseases adalah gangguan ginjal yang disebabkan oleh

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran

(35)

sedikit udara.70

28. Efusi pleura Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat.70 asuhan dan pelayanan keperawatan dan

30. Antibiotika Antibiotika adalah segolongan senyawa, dalam suatu organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri.72

Rekam Medis

Baca Kategorik

31. Meninggal Meninggal adalah sudah menghilangnya nyawa atau tidak hidup

Rekam Medis

(36)

lagi.72 terjadi aktivasi proses inflamasi.70

(37)

34

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang (cross-sectional) dengan pendekatan retrospektif yang menggunakan data sekunder berupa rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng. Desain ini digunakan untuk mengetahui profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng pada bulan Januari 2013 - Desember 2014.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di RSUD Cengkareng periode Januari 2013 - Desember 2014 selama bulan Juli-Agustus 2015.

3.3. Populasi Penelitian

a. Populasi target :

Pasien yang didiagnosis menderita pneumonia di RSUD Cengkareng. b. Populasi terjangkau :

Pasien usia lanjut yang didiagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng pada Januari 2013 - Desember 2014.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi

 Pasien dengan usia lebih dari 60 tahun.

 Pasien yang sudah terdiagnosis pneumonia komunitas oleh dokter di RSUD Cengkareng.

(38)

b. Kriteria Eksklusi

 Pasien pneumonia pada anak.

 Pasien pneumonia komunitas dengan usia kurang dari 60 tahun.  Pasien pneumonia nosokomial

 Pasien dengan HIV positif.

3.5. Besar dan Cara Pengambilan Sampel Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kategorik. Rumus besar sampel yang digunakan adalah :

n =

n =

n = 385 Zα = Derajat kepercayaan

P = Prevalensi pneumonia (dari kepustakaan) Q = 1-P

d = Limit dari eror atau presisi absolut n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan

Tingkat kepercayaan ditetapkan sebesar 95%, sehingga α = 5% dan Zα = 1,96 dengan kesalahan prediksi yang bisa diterima (d) sebesar 5%. Prevalensi (P) ditetapkan sebesar 0,5 karena prevalensi pneumonia di Indonesia kurang dari 10%, sehingga Q (1-P) didapatkan 0,5. Dengan demikian, besar sampel minimal yang diperlukan adalah 385.

(39)

3.6. Cara Kerja Penelitian

 Melakukan persiapan penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

 Mengurus perizinan ke RSUD Cengkareng untuk mengambil data.  Mengambil data rekam medik yang sesuai dengan syarat penelitian

peneliti melalui seleksi subjek dari populasi terjangkau berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

 Didapatkan pasien sesuai dengan besar sampel yang peneliti tentukan.  Masukan data rekam medik kedalam lembaran data penelitian.

 Melakukan pengolahan data berdasarkan hasil lembaran data penelitian.  Melaporkan hasil penelitian.

3.7. Alat dan Bahan

a. Alat

 Program Software SPSS 21  Pulpen

 Pensil b. Bahan

(40)

3.8. Alur Penelitian

Persiapan Penelitian

Pemilihan Sampel

Pembuatan Proposal

Pengolahan Data

Pembahasan Hasil Data Pengambilan

Data Rekam Medik Distribusi Proposal ke

RSUD Cengkareng

Input Data

(41)

3.9. Manajemen Data

Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapat langsung melalui rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi pasien pneumonia komunitas di atas usia 60 tahun di RSUD Cengkareng. Pengolahan data penelitian ini menggunakan software statistic, yaitu semua data yang terkumpul dicatat dan dilakukan editing dan coding untuk kemudian dimasukan kedalam program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) dengan tahapan sebagai berikut:

a. Cleaning

Data “dibersihkan” terlebih dahulu dengan cara meneliti data yang ada supaya tidak terdapat data yang tidak perlu.

b. Editing

Pada tahapan ini, dilakukan pemeriksaan kelengkapan data. c. Coding

Tahapan ini merupakan tahapan dimana data yang telah terkumpul diberi kode-kode untuk memudahkan pemasukan data.

d. Entry

(42)

39

Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang (cross-sectional) dengan pendekatan retrospektif, yang menggambarkan profil pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data ini diolah berdasarkan distribusi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, indeks massa tubuh (IMT), tanda vital, gejala klinis, kebiasaan perilaku, penyakit penyerta, foto radiologi toraks, lama rawat inap, pemberian antibiotik, kematian dan penyebab kematian yang ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.

4.1. Karakteristik Demografi

Karakteristik demografi pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas dalam penelitian ini terdiri dari jenis kelamin, usia, pendidikan, status pernikahan, pekerjaan. Berikut gambaran karakteristik pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng.

Tabel 4.1. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin

Variabel Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 41 53,2

Perempuan 36 46,8

(43)

pneumonia komunitas di Pakistan, didapatkan bahwa jumlah laki-laki lebih banyak yaitu sebesar 55% dibandingkan perempuan sebesar 45%. Hal serupa juga ditemukan oleh Rodriguez L,dkk (2009) pada penelitiannya di Spanyol bahwa laki-laki lebih mendominasi (52%) dibandingkan perempuan (48%). Di negara India yang merupakan negara berkembang, yang memiliki keidentikan sama halnya dengan Indonesia, didapatkan data pneumonia komunitas dari penelitian Bilal BA,dkk (2012) bahwa pasien pneumonia komunitas lebih banyak pada laki-laki berjumlah 35 pasien (70%) dibandingkan perempuan yang berjumlah 15 pasien (30%). Namun, jika melihat penelitian lain, seperti penelitian Viegi G,dkk (2006) yang membahas epidemiologi pneumonia komunitas di Napoli, Italia, mendapatkan bahwa perempuan lebih banyak sebesar 53,1% dibandingkan laki-laki yang berjumlah 46,7%. Akan tetapi dari semua data penelitian tersebut, Vila-Corcoles A,dkk (2008) menyampaikan bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara pasien pneumonia komunitas dengan jenis kelamin pasien.74,75,76,77,78

Tabel 4.2. Karakteristik berdasarkan kelompok usia

Variabel Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Kelompok Usia

60-74 tahun 60 77,9

75-90 tahun 16 20,8

>90 tahun 1 1,3

(44)

didapatkan penurunan jumlah kasus yaitu, pada kelompok usia 65-74 tahun sebesar 64%, kelompok usia 75-84 tahun sebesar 28% dan kelompok usia lebih dari 85 tahun sebesar 8%. Perbedaan peningkatan angka morbiditas pasien pneumonia komunitas pada kelompok usia lanjut tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan populasi yang diteliti yang apabila ditelusuri lebih lanjut hal ini berhubungan erat dengan akses pasien tersebut ke pusat layanan kesehatan atau rumah sakit.76,78

Tabel 4.3. Karakteristik berdasarkan tingkat pendidikan

Variabel Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Pendidikan

Tidak sekolah 1 1.3

Tamat SD 46 59,7

Tamat SMP 8 10,4

Tamat SMA 17 22,1

Perguruan tinggi 5 6,5

(45)

oleh Izquierdo C,dkk (2010) menjelaskan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan terakhir pasien dengan hasil pengobatan yang dilakukan pasien, sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat mortalitas pasien pneumonia tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan terakhir pasien.79,80,81

Tabel 4.4. Karakteristik berdasarkan status pernikahan

Variabel Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Status pernikahan

Menikah 47 61

Belum menikah 7 9,1

Pernah menikah 23 29,9

(46)

Gambar 4.1. Grafik karakteristik pekerjaan pasien pedagang sebanyak 1 pasien (1,3%). Berdasarkan data hasil penelitian ini, terlihat tingkat sosio-ekonomi populasi pasien mayoritas berada pada golongan yang masih rendah. Malik AS,dkk (2012) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara status sosio-ekonomi populasi dengan frekuensi pasien pneumonia komunitas, yaitu pada status sosio-ekonomi yang rendah didapatkan frekuensi yang tinggi terhadap morbiditas pneumonia komunitas (68,75%). Hal ini pun serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Loeb MB (2004) yang mendeskripsikan bahwa status sosio-ekonomi pasien yang rendah dapat meningkatkan risiko kejadian pneumonia komunitas. Lebih lanjut pada penelitian Malik AS,dkk (2012) mengemukakan pendapat bahwa pengaruh status sosio-ekonomi terhadap frekuensi pneumonia kemungkinan disebabkan pada golongan sosio-ekonomi rendah tidak dapat membayar biaya pengobatan pada tahap awal sakit karena kemiskinan, yang dapat menjadi faktor predisposisi tinggi untuk memperberat morbiditas dan meningkatkan risiko kematian.74,83

(47)

IGD 71 (92,2%) Poli 6 (7,8%)

Jalur Masuk Rumah Sakit

IGD Poli

Namun pada beberapa penelitian yang lalu menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara status sosio-ekonomi terhadap kejadian pneumonia komunitas. Seperti pada dua penelitian Farr BM,dkk (2000) dengan judul yang berbeda, menyatakan bahwa diagnosis pneumonia komunitas dan status ekonomi tidak memiliki hubungan antar keduanya. Selain itu, status sosio-ekonomi juga tidak berpengaruh terhadap hasil dari perawatan pneumonia komunitas seperti pada penelitian Izquierdo C,dkk (2010) di Barcelona, Spanyol yang pada kesimpulan penelitiannya menyatakan bahwa status sosio-ekonomi tidak memiliki hubungan terhadap hasil perawatan pneumonia komunitas. Hal serupa juga disampaikan oleh Vrbova L,dkk (2005) di Ontario, Kanada yang berkesimpulan bahwa status sosio-ekonomi tidak berpengaruh terhadap frekuensi pneumonia komunitas dan tingkat mortalitasnya.81,84,85

Gambar: 4.2. Diagram jalur masuk ke rumah sakit

(48)

4.2. Karakteristik Indeks Massa Tubuh (IMT)

Tabel 4.5. Karakteristik indeks massa tubuh (Asia-Pasifik)

Pada tabel 4.5. didapatkan hasil indeks massa tubuh pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas sebanyak 55 pasien yang memiliki data antropometri (BB dan TB) di RSUD Cengkareng dan 22 pasien tidak memiliki data antopometri. Dari hasil penelitian terlihat bahwa sebanyak 29 pasien (52,7%) memiliki indeks massa tubuh yang baik (normoweight), sebanyak 13 pasien (23,6%) memiliki indeks masaa tubuh yang kurang (underweight), sebanyak 8 pasien (14,5%) mengalami pre obesitas, sebanyak 4 pasien (7,3%) mengalami obesitas grade 1, dan sebanyak 1 pasien (1,8%) mengalami obesitas grade 2. Pada hasil penelitian, didapatkan indeks massa tubuh (IMT) pasien pneumonia lebih tinggi pada pasien yang memiliki IMT normal sebanyak 37,7%, kemudian yang tertinggi kedua adalah pasien yang memiliki IMT underweight sebanyak 16,9%. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Rodriguez L,dkk (2009) dimana IMT pasien pneumonia komunitas yang terbanyak adalah normal, namun terdapat perbedaan pada IMT terbanyak kedua, yaitu pre-obesitas. Pada penelitian yang dilakukan oleh Phung DT,dkk (2013) menyatakan bahwa pada status IMT underweight dan obesitas berat dapat meningkatkan risiko kejadian pneumonia komunitas. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Tores A,dkk (2013) yang menyatakan bahwa status IMT underweight meningkatkan risiko lebih tinggi terhadap kejadian pneumonia komunitas dibandingkan dengan status IMT yang normal, sedangkan status IMT overweight mempunyai risiko lebih kecil atau

Variabel Frekuensi (n=77) Presentase (%)

IMT

Underweight 13 16,9

Normal 29 37,7

Pre obesitas 8 10,4

Obesitas grade I 4 5,2

Obesitas grade II 1 1,3

(49)

mempunyai risiko yang sama dengan status IMT normal. Lebih lanjut pada penelitian Lee J,dkk (2015) menekankan bahwa status IMT underweight dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian.75,79,86,87

4.3. Karakteristik Tanda Vital

Tabel 4.6. Karakteristik tanda vital

Variabel Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Ya Tidak Ya Tidak

Tekanan darah

Sistolik < 90 mmHg 3 74 3,9 96,1

Diastolik < 60 mmHg 15 62 19,5 80,5 Frekuensi nadi > 100

kali/menit 9 68 11,7 88,3

RR > 20 kali/menit 62 15 80,5 19,5

Suhu > 37,8 0C 6 71 7,8 92,2

(50)

Tabel 4.7. Perbandingan tanda vital pada penelitian ini dengan penelitian Saldias

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Heckerling P,dkk (1990) dikatakan bahwa pasien yang mempunyai suhu lebih dari 37,8oC dan frekuensi nadi yang lebih dari 100 kali/menit merupakan faktor prediktor independen yang signifkan dalam mendiagnosis pneumonia komunitas. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Gennis P,dkk (1990) dan Metlay J,dkk (2003) menyatakan bahwa indikasi perlunya pemeriksaan radiologi pada pasien pneumonia komunitas adalah pada saat pasien mempunyai gambaran tanda vital berupa suhu lebih dari 37,8oC, frekuensi nadi lebih dari 100 kali/menit, dan frekuensi napas lebih dari 20 kali/menit.89,90,91

Tabel 4.8. Karakteristik status kesadaran dan tekanan darah

Variabel Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Status Kesadaran

(51)

0 status kesadaran yang terbanyak adalah compos mentis, yaitu sebanyak 69 pasien (89,6%), diikuti oleh somnolen 5 pasien (6,5%) apatis sebanyak 2 pasien (2,6%) dan sopor 1 pasien (1,3%). Adapun pada tanda vital tekanan darah, lebih banyak yang memiliki tekanan darah dalam batas normal, yaitu 31 pasien (40,3%). Jumlah interpretasi lain dalam tekanan darah, yaitu pre-hipertensi didapat sebanyak 9 pasien (11,7%), hipertensi derajat I 21 pasien (27,3%), dan hipertensi derajat II 16 pasien (20,8%).

4.4. Karakteristik Gambaran Klinis

Gambar 4.3. Grafik gambaran klinis pasien

(52)

sesak napas sebanyak 55 pasien (71,4%), kemudian mual sebanyak 49 pasien (63,6%), anoreksia sebanyak 46 pasien (59,7%), batuk sebanyak 44 pasien (57,1%), dahak sebanyak 34 pasien (44,2%), gangguan suara napas sebanyak 26 pasien (33,8%), nyeri dada pleuritik sebanyak 13 pasien (16,9%) dan demam adalah gejala pasien yang paling sedikit yaitu sebanyak 6 pasien (7,8%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Riquelme dkk (1997), yang didapatkan gejala yang paling banyak adalah sesak napas sebesar 71%, lalu batuk sebesar 67% dan demam sebesar 64%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Bilal BA,dkk(2012) di dapatkan hasil gambaran klinis pasien pneumonia komunitas pada usia lebih dari 65 tahun, yaitu gejala paling banyak adalah batuk sebesar 74%, sputum sebesar 64%, demam 56%, sesak napas 22%, nyeri dada pleuritik 20% dan gangguan saluran cerna 8%.76,92

Menurut Zalacin R,dkk (2003) didapatkan gejala pasien pneumonia usia lanjut di Spanyol yang paling banyak adalah batuk sebesar 81%, lalu demam sebesar 76%, lalu sesak napas sebesar 70%, sputum 66% dan nyeri dada sebesar 43%. Menurut penelitian yang dilakukan Masahiro T,dkk (2014) di Jepang didapatkan gejala pasien pada usia 65-74 tahun paling banyak adalah batuk 68,4%, demam 31,6% dan sesak napas sebesar 26,3%.93,94

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Saldias Penafiel F, dkk (2003) didapatkan gejala paling banyak adalah batuk sebesar 83%, sesak napas 71%, sputum 71%, demam 63% dan nyeri dada sebesar 12%.88

Tabel 4.9. Perbandingan gambaran klinis penelitian ini dengan penelitian lain.

(53)

4.5. Karakteristik Kebiasaan Perilaku

Tabel 4.10. Karakteristik kebiasaan perilaku

Variabel Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Ya Tidak Ya Tidak

Merokok 15 62 19,5 80,5

Minum alkohol 1 76 1,3 98,7

Dari data tabel 4.10. diketahui karakteristik kebiasaan perilaku pasien pneumonia komunitas pada usia lebih dari 60 tahun, didapatkan bahwa jumlah pasien merokok sebesar 15 pasien (19,5%) dan meminum minuman beralkohol sebanyak 1 pasien (1,3%). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bilal BA,dkk (2012) menunjukkan hasil pasien pneumonia yang memiliki kebiasaan merokok sebesar 74% dan mengatakan bahwa terdapat peran penting antara kebiasaan merokok dengan peningkatan risiko kejadian pneumonia. Merokok dapat meningkatkan faktor risiko pneumonia komunitas karena dapat mengubah flora normal di saluraan pernapasan, mekanisme pembersihan jalur napas dan pertahanan seluler di saluran pernapasan. Pembersihan jalan napas oleh mukosiliar berjalan tidak sempurna pada pasien dengan kebiasaan merokok karena menurunnya frekuensi gerakan siliar sehingga terjadi peningkatan kolonisasi bakteri di saluran pernapasan bawah yang lebih banyak ditemukan pada pasien yang memiliki kebiasaan merokok dibandingkan yang tidak merokok. Sependapat dengan Nuorti J,dkk (2000) yang mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan faktor risiko terpenting yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia komunitas.73,90

(54)

yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol. Namun pada penelitian lain yang dilakukan oleh Baik I,dkk (2000) menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara kebiasaan meminum minuman alkohol terhadap pneumonia komunitas. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan statistik yang lemah atau adanya kriteria inklusi untuk peminum alkohol yang rendah.76,79,96

4.6. Karakteristik Penyakit Penyerta

Tabel 4.11. Karakteristik penyakit penyerta

Variabel

Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Ya Tidak Ya Tidak

Asma 2 75 2,6 97,4

Diabetes melitus (DM) 10 67 13,0 87

Congestive heart failure 2 75 2,6 97,4

Renal diseases 3 74 3,9 96,1

Penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK) 1 76 1,3 98,7

(55)

saluran napas kronik termasuk PPOK dan asma meningkatkan risiko 2 kali sampai 4 kali lebih besar terhadap risiko terjadinya pneumonia komunitas, penyakit penyerta kardiovaskular kronik meningkatkan risiko terjadinya pneumonia komunitas hingga 3 kali lebih besar, gangguan fungsi hepar dan ginjal juga meningkatkan risiko terjadinya pneumonia komunitas 2 kali lebih besar.79

4.7. Karakteristik Hasil Radiologi Toraks

Tabel 4.12. Karakteristik hasil radiologi toraks

Variabel Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Ada radiologi 61 79,2

Tampak infiltrat 50 82

Tidak tampak infiltrat 11 18

Tidak ada radiologi 16 20,8

(56)

untuk melakukan terapi pneumonia komunitas tanpa konfirmasi radiologi bagi pasien yang mempunyai kesulitan untuk melakukan pemeriksaan.77

4.8. Karakteristik Lama Rawat Inap

Tabel 4.13. Karakteristik lama rawat inap

Dari tabel 4.16. didapatkan data rawat inap pasien dari 0-3 hari sebanyak 22 pasien (28,5%), 4-7 hari sebanyak 40 pasien (52%), 8-11 hari sebanyak 10 pasien (13%), dan 12-14 hari sebanyak 5 pasien (6,5%). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Masotti L,dkk (2000) menyatakan beberapa hal yang dapat memperpanjang lama rawat inap yaitu demam tinggi menunjukkan hubungan yang bermakna dengan lamanya rawat inap. Penyakit penyerta, kateterisasi saluran kemih, dan ISK sekunder, dan tingginya laju endap darah juga mempunyai hubungan yang bermakna terhadap lamanya rawat inap pada pasien pneumonia komunitas. Dehidrasi pada pasien pneumonia komunitas usia lanjut juga diketahui berpengaruh terhadap lamanya rawat inap. Menurut Masotti L,dkk (200) data tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi sehingga dapat mengurangi biaya perawatan. Menurut Isabella S,dkk (2012) menyatakan bahwa frekuensi napas lebih dari 20 kali per menit dan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg pada pasien pneumonia usia lanjut dapat memperpanjang masa rawat inap di rumah sakit.97,99

Lama Rawat Inap Frekuensi (n=77) Persentase (%)

0-3 hari 22 28,5

4-7 hari 40 52

8-11 hari 10 13

(57)

4.9. Karakteristik Antibiotik yang Diberikan dalam Pengobatan Pneumonia

Komunitas di pada Usia Lanjut

Tabel 4.14. Karakteristik antibiotik yang diberikan

Golongan Antibiotik Frekuensi (n=67) Persentase (%)

Derivat Beta Laktam

Sefalosporin Generasi ke-3 52 67,5

Karbapenem 9 11,7

Fluoroquinolone 1 1,3

Sefalosporin + fluoroquinolone 3 3,9

Karbapenem + fluoroquinolone 2 2,6

Tidak ada data 10 13

(58)

dirawat dirumah sakit tetapi tidak di rawat di ICU sedangkan untuk pasien pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit dan di rawat di ICU serta dicurigai terinfeksi bakteri pesudomonas diberikan kombinasi terapi antipesudomonas beta laktam(meropenem atau imipenem) dan fluoroqinolone(levofloxacin atau levofloxacin).77,100

4.10. Karakteristik Kematian

Tabel 4.15. Karakteristik kematian

Variabel Frekuensi (n=77) Persentase (%)

Tidak meninggal 60 77,9

Meninggal 17 22,1

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 77 pasien yang dirawat, sebanyak 60 pasien hidup (77.9%) dan 17 pasien meninggal dunia (22.1%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shah BA,dkk (2009) mengatakan bahwa mortalitas akan semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya skor dari PSI dan CURB-65.98

4.11. Karakteristik Penyebab Kematian

Tabel 4.16. Karakteristik penyebab kematian

Penyebab Kematian Frekuensi (n=17) Persentase (%)

Sepsis 2 11,7

Multiple organ failure 1 5,9

Gagal napas et causa sepsis 6 35,3

Gagal napas et causa pneumonia berat 3 17,6

Gagal napas et causa pneumonia

dengan efusi pleura 1 5,9

Tidak ada data penyebab 4 23,5

(59)
(60)

57 5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa :

a) Status sosiodemografi 77 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014 adalah sebagai berikut: pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 41 pasien (53,2%) dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 36 pasien (46,8%), dengan kelompok lansia (60-74 tahun) sebanyak 60 pasien (77,9%), kelompok lansia tua (75-90 tahun) sebanyak 16 pasien (20,8%) dan lansia sangat tua (>90 tahun) sebanyak 1 pasien (1,3%). Sebanyak 46 pasien (59,7%) adalah tamatan SD, dengan 31 pasien (40,3%) merupakan ibu rumah tangga.

b) Gambaran klinis yang menonjol pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014 adalah sebagai berikut: sesak napas sebanyak 55 gejala (71,4%), mual sebanyak 49 gejala (63,6%), nafsu makan berkurang sebanyak 46 gejala (59,7%), batuk sebanyak 44 gejala (57,1%), dahak sebanyak 34 gejala (44,2%) dan gejala yang paling sedikit yaitu demam sebanyak 6 gejala (7,8%).

c) Penyakit penyerta yang banyak menyertai pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di RSUD Cengkareng tahun 2013 - 2014 yaitu DM sebanyak 10 pasien (13%), lalu gangguan ginjal sebanyak 3 pasien (3,9%), diikuti asma bronkial dan Congestive Heart Failure sebanyak 2 pasien (2,6%) serta PPOK sebanyak 1 pasien (1,3%).

(61)

5.2. Saran

a) Untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik pada peneliti selanjutnya, maka sebaiknya dilakukan pengambilan sampel dengan rentang waktu yang panjang dengan jumlah sampel yang lebih besar pada lokasi yang berbeda.

b) Staff medik RSUD Cengkareng Jakarta disarankan lebih melengkapi data rekam medik pasien, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, baik pada pasien rawat inap maupun rawat jalan. Diharapkan, dengan begitu, penelitian-penelitian selanjutnya yang akan dilakukan dapat mencapai hasil yang lebih optimal dengan jumlah sampel yang lebih memadai.

c) Pihak Manajemen RSUD Cengkareng diharapkan membuka akses yang lebih luas kepada para peneliti khususnya kepada bagian rekam medik sehingga tidak terjadi hambatan/kendala-kendala dalam proses pengambilan sampel seperti yang terjadi pada penelitian ini.

5.3. Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan beberapa faktor keterbatasan dalam proses pengambilan data. Faktor-faktor keterbatasan tersebut adalah :

a) Pengambilan data sekunder berupa rekam medik dari RSUD Cengkareng, hanya terbatas dari tahun Januari 2013-Desember 2014. Sehingga membatasi jumlah sampel yang akan diambil. Hal ini dikarenakan, adanya regulasi baru dari pihak manajemen RSUD tentang rekam medik di bawah tahun 2013 yang sudah diarsipkan. b) Pengambilan data sekunder tersebut di atas dibatasi hanya untuk 10

hari saja dan pihak bagian rekam medik hanya memberikan 10 rekam medik per hari.

(62)

59

1. World Health Organization. The 10 leading causes of death in the world, 2000 and 2012. The top 10 causes of death. Fact sheet No310. Diakses dari: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/.

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penyakit menular penyebab kematian terbanyak di Indonesia.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2014. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Riset kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta: Balitbang Kemenkes RI. 2013. 4. Stuckey-Schrock K, Hayes B, George C. Community-Acquired Pneumonia in

Children. Amecican Academy Family Physicians. 2012 Oct 1;86(7):661-667. 5. Chong CP, Street PR. Pneumonia n the elderly: a review of the epidemiology,

pathogenesis, microbiology, and clinical features. South Med. J. 2008;101(11):1141–1145.

6. Velez JA, Mortensen EM, Anzueto A, Restrepo MI. Antimicrobial treatment of community-acquired pneumonia in the elderly. Aging Health. 2006;2(6):999–1011.

7. Ho JC, Chan KN, Hu WH, et al. The effect of aging on nasal mucociliary clearance, beat frequency, and ultrastructure of respiratory cilia. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 2001;163(4):983–988.

8. Meyer KC. The role of immunity in susceptibility to respiratory infection in the aging lung. Respir. Physiol. 2001;128(1):23–31.

9. File TM Jr, Marrie TJ. Burden of community-acquired pneumonia in North American adults. Postgrad Med. 2010;122(2):130-41.

10. Fung HB, Monteagudo-Chu MO. Community-acquired pneumonia in the elderly. Am J Geriatr Pharmacother. 2010;8(1):47-62.

11. Jackson ML, Neuzil KM, Thompson WW, Shay DK, Yu O, Hanson CA, et al. The burden of community-acquired pneumonia in seniors: results of a population-based study. Clin Infect Dis. 2004;39(11):1642-50.

Gambar

Gambar 2.1.  Anatomi sistem pernapasan  ...............................................................
Tabel 2.1. Penyebab pneumonia komunitas menurut NAS dan BTS
Tabel 2.2. Sistem skor pada pneumonia komunitas berdasarkan PORT
Tabel 2.3. Derajat skor risiko menurut PORT30
+7

Referensi

Dokumen terkait

ABSTRAK Institut Teknologi Telkom Sebagai kampus yang berbasis teknologi informasi akses internet merupakan hal yang sangat vital digunakan untuk mencari informasi, salah

lanjut dengan memeriksa keutuhan angket. Setelah angket terkumpul dan diseleksi kemudian diklasfikasikan berdasarkan variabel sikap mental wirausaha dan variabel

Tujuan penelitian untuk mengetahui sebaran keluhan utama dan kejadian keterlambatan area perkembangan yang ditemukan seperti motorik kasar, motorik halus,

Aset produktif dihapusbuku yg dipulihkan/berhasil ditagih Persentase kredit kepada Usaha Mikro Kecil (UMK) terhadap total kredit. Penyertaan

Abstrak: Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai yang unik dan fenomenal, ia lahir dari rahim gerakan sosial keagamaan bernama Jama’ah Tarbiyah yang kemudian

Melalui penelitian Subkhi yang dilakukan terhadap 15 orang responden pasien diabetes melitus didapatkan hasil dari analisis menggunakan uji beda rerata ( paired t test ), bahwa p

4.2.1.3 The Effect of Cooperative Learning in Improving Students Writing Competence .... viii LIST

Laporan skripsi dengan judul ”Game Pengenalan Konsep Pemrograman Dasar Menggunakan Blockly Berbasis Website” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam